Anda di halaman 1dari 12

MARTABAT MANUSIA MENURUT

PANDANGAN KRISTIANI          
1.2   Martabat  Manusia

“Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya, menurut citra Allah diciptakan-Nya dia: laki-
laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej. 1: 27)  Karena ia diciptakan menurut citra
Allah, maka manusia menduduki tempat khusus dalam ciptaan. Manusia yang adalah citra Allah
itu adalah laki-laki dan perempuan, yang dari kodratnya dia diciptakan satu dalam jiwa-badan,
dan Allah menjadikannya sahabat-Nya.[3]

1.2.1   Menurut  Citra  Allah

            Dalam topik tentang asal-usul manusia menurut Kitab Suci, telah dijelaskan bahwa
manusia adalah bagian integral dari dunia. Ia mempunyai tempatnya di antara semua mahluk
yang lain dan hidup dalam pelbagai hubungan dan keterikatan dengan ciptaan lain di sekitarnya.
Tetapi sekaligus juga digambarkan bahwa manusia adalah mahluk istimewa yang merupakan

puncak (P)
&
 pusat  (Y)
dari seluruh ciptaan dan mempunyai hubungan khusus dengan Penciptanya.[4]

    Dari segala ciptaan yang kelihatan, hanya manusia itu yang “mampu mengenal dan mencintai
Penciptanya” (GS 12, 3): ialah “yang di dunia merupakan satu-satunya mahluk, yang Allah
kehendaki demi diri-Nya sendiri” (GS 24, 3): hanya dialah yang dipanggil, supaya dalam
pengertian dan cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Manusia diciptakan untuk tujuan
ini, dan itulah sekaligus dasar bagi martabatnya.[5] Sudah sejak pembuahannya, manusia telah
ditentukan untuk kebahagiaan abadi dalam Pencipta.[6]

            Manusia diciptakan menurut citra Allah, karena itu dia memiliki martabat sebagai
pribadi. Ia bukan sesuatu, melainkan seseorang. Ia mampu mengenal dirinya sendiri, menjadi
tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan
orang lain, dan karena rahmat Allah, ia sudah dipanggil ke dalam perjanjian dengan Penciptanya,
untuk memberi kepada-Nya jawaban iman dan cinta,[7] hal mana tidak dapat diberikan oleh
mahluk lain.
            Penyelidikan ilmu pengetahuan (khususnya ilmu alam), membantu manusia untuk tahu,
bagaimana manusia berakar dalam dunia pramanusiawi dan kemudian berkembang menjadi
manusia dalam suatu proses yang berlangsung jutaan atau bahkan milyaran tahun lamanya.
Tetapi berdasarkan hasil penyelidikan ilmu pengetahuan itu, ada banyak antropologi yang ingin
menjelaskan manusia semata-mata sebagai hasil dari faktor-faktor atau kondisi-kondisi
pramanusiawi itu. Misalnya, ada antropologi yang menyebut manusia sebagai komputer (atau
robot), karena dilihat dari sistem syarafnya saja. Demikian pun ilmu-ilmu seperti sosiologi,
psikologi, bio-kimia, biologi, genetika, ilmu kedokteran, dll, memahami manusia hanya dari
sudut pandang ilmunya. Jelas antropologi seperti ini merupakan antropologi regionalistik, yang
menjelaskan sebagian atau salah satu atau beberapa aspek dari manusia, tetapi itu bukan manusia
seutuhnya. Gabungan dari semua ilmu itu pun, belum menjadi suatu antropologi yang utuh,
karena manusia itu bukan sekedar gabungan semua unsur atau komponen yang membentuknya.

            Terhadap antropologi-antropologi reduksionistik seperti itu, teologi perlu


mempertahankan personalitas manusia, yakni manusia sebagai subyek dan pribadi yang
mengalami dirinya sebagai kesatuan dan keunikan.[8] Namun, subyektivitas atau personalitas
itu  tidak boleh dipahami sebagai salah satu unsur di samping unsur-unsur lain yang membentuk
manusia. Kepribadian atau personalitas manusia itu adalah suatu kualitas yang menyangkut
seluruh unsur-unsur tersebut. Bukan, di samping sistem syaraf, tulang, informasi genetic, struktur
psikis, dll…, ada juga personalitas manusia. Tetapi, justru karena adanya personalitas, maka
semua yang lain menjadi manusia.[9] Di dalam personalitas itu terletak martabat manusia.

            Lalu, personalitas itu apa?  Pada dasarnya, personalitas  itu berarti bahwa manusia
dipanggil, atau karena ia  dipanggil, karena ia disapa sebagai ENGKAU, disapa dengan nama
unik, karena itu ia berpribadi. Manusia menjadi pribadi, karena Allah Pencipta
memperlakukannya sebagai pribadi, menyapanya dengan firman-Nya yang kreatif dan
menyanggupkannya untuk suatu dialog dengan diri-Nya.[10] Sebagai partner Allah (co-creator)
kita adalah pribadi.

            Latar belakang ini menjelaskan bagaimana manusia menjadi puncak dan penyelesaian
penciptaan. Penciptaan melalui firman itu berarti bahwa Allah ingin melanjutkan dialog cinta,
yang membahagiakan Trinitas baik ke dalam diri-Nya, maupun ke luar diri-Nya. Penciptaan
melalui firman juga berarti bahwa Allah memulai suatu dialog, tetapi suatu dialog  baru bisa
terjadi kalau firman pertama itu dijawab (penciptaan sebelum manusia). Memang seluruh ciptaan
dalam eksistensinya merupakan jawaban bisu atas firman Pencipta, tetapi secara sadar dan
bebas, secara pribadi jawaban itu baru bisa diberikan oleh manusia.  Maka, dalam pujian yang
dipanjatkan secara sadar oleh manusia kepada Allah, manusia membawa pujian dari seluruh
ciptaan kepada Allah. Baru dalam diri manusia maksud Allah terhadap ciptaan terlaksana, yaitu
dialog antara Allah dengan apa yang diciptakan-Nya.[11]

            Namun dialog antara Allah dan manusia itu sering mengalami hambatan. Manusia
sebagai mahluk terbatas dan dinodai oleh dosa, tidak sanggup untuk menjawab dialog itu secara
sempurna. Maka Allah maju selangkah lagi untuk menciptakan dialog sempurna antara ciptaan
dengan diri-Nya dalam inkarnasi,[12] Allah menjadi manusia dalam diri Yesus.
            Lalu, apa muatan martabat pribadi manusia itu? Paus Yohanes XXIII, dalam Pacem in
Terris (Ensk.), dalam pembelaannya terhadap HAM dan penghormatan terhadap martabat
pribadi manusia, mengungkapkan bahwa setiap orang menyandang hak alami untuk dihormati.

[13] Sri Paus mengungkapkan bahwa ada dua pendasaran HAM yang mewujudkan martabat
manusia.

Pertama, adalah pendasaran hak-hak alami. Diungkapkan bahwa ada 3 (tiga) unsur
yang menjadi “kaki tiga emas” sebagai muatan martabat pribadi manusia, yakni:

akal budi
kebebasan
hati nurani. 
Ketiga unsur itulah yang secara alami dan hakiki membedakan manusia dari pengada infrainsani
(fauna, flora, materi).

Dengan akal budinya , manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya


untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat. Setiap manusia
diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nuraninya dan dipenuhi
dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. Dalam tindakan moralnya, tampaklah martabat
manusia.[14] Dengan hati nuraninya, manusia mempunyai kewajiban yang harus
dipertanggungjawabkan kepada Penciptanya, tempat manusia itu merasa tergantung. Berkat
jiwanya dan berkat kekuatan rohani akal budi dan kehendaknya, manusia dilengkapi dengan
kebebasan, yang adalah lambang yang unggul citra ilahi dalam pribadi manusia.[15]  “Kaki
tiga emas” ini menyatu dalam satu pribadi dan disebut sebagai martabat atau harkat pribadi.
Martabat atau harkat pribadi itulah yang menjadi landasan hak-hak azasi (termasuk hak dan
kebebasan beragama, keadilan, dan hukum yang adil).[16]

Kedua
            , alasan teologis. Iman Kristiani berpandangan bahwa “kaki tiga emas” itu
langsung ditanamkan atau diletakkan oleh Allah dalam diri manusia pada waktu penciptaannya.
Inilah makna Kej. 1: 26.  “Menurut gambar dan rupa” menunjuk kepada anugerah kreatif dari
Allah Mahaluhur untuk mengenakan kepada manusia secuil dan secara terbatas sifat-sifat Ilahi
yang Mahaluhur dan tak terbatas itu.[17]

            Ketiga unsur sebagai muatan martabat pribadi manusia itu, secara singkat perlu
dijelaskan bagaimana pandangan Gereja tentangnya.
Kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak
atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan
perbuatan dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan dirinya sediri.
Dengan kebebasannya, manusia harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan
kebaikan. Kebebasan itu baru mencapai kesempurnaannya apabila diarahkan kepada Allah,
sumber dan tujuan kebahagiaan manusia.[18]

            Selama kebebasan belum mengikatkan diri secara definitif kepada Allah, milik-nya
tertinggi,  terdapatlah di dalamnya kemungkinan untuk memilih antara yang baik dan yang
jahat; jadi, entah tumbuh dalam kesempurnaan atau gagal dalam dosa. Kebebasan merupakan
kekhasan dari setiap perbuatan yang sungguh-sungguh manusiawi. Kebebasan menjadi dasar
bagi pujian atau celaan, jasa atau kesalahan.[19] Semakin manusia melakukan yang baik,
semakin bebas pula manusia itu. Kebebasan yang benar hanya terdapat dalam pengabdian
kepada yang baik dan adil. Keputusan kepada ketidaktaatan dan kepada yang jahat adalah
penyalahgunaan kebebasan dan membuat orang menjadi hamba dosa (Rom 6: 17).[20]

            Oleh kebebasan, manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sejauh ia


menghendakinya.[21] Tanggung jawab atas perbuatan dapat berkurang, malahan dapat dihapus
sama sekali, oleh ketidakpahaman, ketidaksadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi
berlebihan, serta faktor psikis atau sosial lainnya.[22] Namun, setiap perbuatan yang langsung
dikehendaki, harus diperhitungkan kepada pelakunya.[23]

            Kebebasan dilaksanakan dalam hubungan antar manusia. Tiap manusia memiliki hak
kodrati untuk diakui sebagai mahluk yang bebas dan bertanggung jawab, karena ia telah
diciptakan menurut citra Allah. Semua manusia harus memberi penghormatan ini satu sama lain.
Hak untuk melaksanakan kebebasan diikiat secara tak terpisahkan dengan martabat manusia,
terutama dalam masalah kesusilaan dan agama.[24] Hak ini harus diakui oleh hukum Negara,
dan dilindungi dalam batas-batas kepentingan bersama dan tata tertib umum.[25]

            Tentang Hati Nurani, Gereja menjelaskan sebagai berikut. 

            “Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari
dirinya sendiri, tetapai harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk
mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari yang jahat. Bila mana perlu,
suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkalah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya
manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,…
Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri
bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya.”[26]

            Hati Nurani mempunyai dua fungsi, yakni, pertama, untuk membedakan mana yang baik
dan yang buruk/jahat (moral sense), dan kedua, mewajibkan manusia melakukan yang baik dan
menjauhi yang jahat (sense of duty; imperatif).[27]

            Oleh karena asal yang sama, bahwa manusia diciptakan oleh Allah Pencipta yang satu,
dan setiap manusia memiliki martabat pribadi yang sama, karena diciptakan menurut citra Allah
yang sama, maka umat manusia merupakan satu kesatuan.[28] “Karena Allah menjadikan dari
satu orang saja semua bangsa dan umat manusia” (Kis. 17:26). Hukum solidaritas dalam cinta
(Allah mencipta karena cinta, dan relasi cinta tak terbatas Trinitas), menegaskan kepada kita,
bahwa kendati keanekaragaman pribadi, kebudayaan dan bangsa, semua manusia adalah
benar-benar saudara dan saudari.[29]

1.2.2   Manusia  Diciptakan Satu Dalam Jiwa dan Badan

            Pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah adalah wujud jasmani dan sekaligus
rohani. Hal ini diungkapkan dalam bahasa khiasan oleh Kitab Suci Kej. 2:7 (Allah membentuk
manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung-nya; demikianlah
manusia itu menjadi mahluk yang hidup). Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia seutuhnya
dikehendaki oleh Allah.[30]

            Jiwa, dalam Kitab Suci, sering berarti kehidupan manusia (Bdk. Mat. 16: 25-26; Yoh.
15: 13), atau seluruh pribadi manusia (Bdk. Kis 2: 41). Tetapi, jiwa juga berarti unsur ter-dalam
pada manusia (Bdk. Mat 26:38; Yoh 12: 27), sebagai yang paling bernilai padanya (bdk. Mat
10: 28, 2Mak 6:30), yang paling mirip dengan citra Allah: “Jiwa” adalah prinsip hidup rohani
dalam diri manusia.[31] Dan jiwa adalah relasi pribadi manusia dengan Allah.[32]

            Tubuh manusia mengambil bagian pada martabat keberadaan menurut citra Allah: ia
adalah tubuh manusiawi karena ia dijiwai oleh jiwa rohani. Pribadi manusiawi secara
menyeluruh sudah ditentukan menjadi kenisah Roh dalam Tubuh Kristus (bdk. 1Kor 6: 19-20;
15: 44-45).[33]  Gaudium et Spes menulis,

“Manusia, yang satu jiwa maupun raganya, melalui kondisi badaniahnya sendiri menghimpun
unsur-unsur dunia jasmani dalam dirinya, sehingga melalui dia unsur-unsur itu mencapai
tarafnya tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang Pencipta.
Oleh karana itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; tetapi sebaliknya, ia wajib
memandang baik serta layak menghormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh Allah dan
harus dibangkitkan pada hari terakhir (GS 14,1) 

            Kesatuan jiwa dan badan  begitu mendalam, sehingga jiwa harus dipandang sebagai
bentuk  badan (bdk. Konsili Viene), artinya bahwa jiwa rohani menyebabkan bahwa badan yang
dibentuk dari materi menjadi badan manusiawi yang hidup. Dalam manusia, roh dan materi
bukanlah dua kodrat yang bersatu, melainkan kesatuan mereka membentuk kodrat yang satu
utuh.[34]  Gereja mengajarkan bahwa setiap jiwa rohani langsung diciptakan Allah[35] – ia tidak
dihasilkan oleh orangtua – dan tidak dapat mati[36]: Ia tidak binasa, apabila pada saat kematian
ia berpisah dari badan, dan ia akan bersatu lagi dengan badan baru pada hari kebangkitan.[37]

            Dalam Surat Kepada Jemaat di Tesalonika, Rasul Paulus berdoa, “Semoga Allah, damai
sejahtera, menguduskan kamu seluruhnya, dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara
sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus” (1Tes 5:23) Gereja mengajarkan
bahwa perbedaan ini tidak membagi jiwa menjadi dua.[38] Dengan roh dimaksudkan bahwa
manusia sejak penciptaannya diarahkan kepada tujuan adi-kodratinya[39]  dan bahwa jiwanya
dapat diangkat kepada persekutuan dengan Allah karena rahmat.[40]

            Tradisi rohani Gereja juga menekankan pentingnya hati dalam arti biblis, sebagai “dasar
hakikat” atau “batin” (Yer 31:33), di mana manusia memutuskan berpihak kepada Allah atau
melawan Allah.[41]

1.2.3   Manusia Diciptakan Sebagai Pria dan Wanita  

            Laki-laki dan Perempuan diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang
sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia, dan di pihak lain dalam kepriaan dan
kewanitaannya. “Kepriaan”  dan  “kewanitaan” adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah,
artinya, keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberikan
kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya.[42]  Keduanya, pria dan wanita, bermartabat
sama ”menurut citra Allah”. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan
kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.[43] Jadi, persamaan dan perbedaan sebagai pria dan
wanita adalah dikehendaki Allah.

      “Allah sendiri sama sekali tidaklah menurut citra manusia. Ia bukan pria, bukan juga wanita.
Allah adalah Roh murni, pada-Nya tidak bisa ada perbedaan jenis kelamin. Namun, dalam
“kesempurnaan-kesempurnaan” pria dan wanita tercermin sesuatu dari kesempurnaan Allah yang
tidak terbatas: ciri khas seorang ibu dan istri, dan ciri khas seorang ayah dan suami.”[44]

            Kej 2: 18 menegaskan bahwa Allah menciptakan pria dan wanita secara bersamaan dan
menghendaki yang satu untuk yang lain. [“Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku
akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.”]. Dan “dari antara binatang-
binatang manusia tidak menemukan satu pun yang sepadan dengan dia (Kej 2: 19-20). Maka,
wanita yang Allah bentuk dari rusuk pria, dibawa kepada manusia, lalu manusia itu begitu
bahagia karena persekutuan dengan wanita itu, dan berkata: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku” (Kej 2: 23). Pria menemukan wanita itu sebagai aku yang lain, sebagai
sesama manusia.[45] 

            Pria dan wanita itu diciptakan satu untuk yang lain, bukan seakan-akan Allah membuat
mereka sebagai manusia setengah-setengah dan tidak lengkap, melainkan Ia menciptakan
mereka untuk satu persekutuan pribadi, sehingga kedua orang itu di satu pihak, sama sebagai
pribadi (“tulang dari tulangku”), sedangkan di lain pihak mereka saling melengkapi dalam
kepriaan dan kewanitaannya. Dalam perkawinan Allah mempersatukan mereka sedemikian erat,
sehingga mereka “menjadi satu daging” (Kej 2: 24) dan dapat meneruskan kehidupan manusia:
“Beranak-cuculah dan bertambah-banyaklah; penuhilah bumi” (Kej 2: 28). Dengan meneruskan
kehidupan kepada anak-anaknya, pria dan wanita sebagai suami-istri dan sebagai orangtua,
bekerja sama dengan karya Pencipta atas cara yang sangat khusus.[46]

            “Menurut rencana Allah, pria dan wanita memiliki panggilan supaya sebagai “wakil”
yang ditentukan Allah, mereka “menaklukkan dunia”. Keunggulan ini tidak boleh menjadi
kelaliman yang merusak. Diciptakan menurut citra Allah, yang “mengasihi segala yang ada (Keb
11: 24), pria dan wanita terpanggil untuk mengambil bagian dalam penyelenggaraan ilahi untuk
mahluk-mahluk lain. Karena itu, mereka bertanggungjawab untuk dunia yang dipercayakan
Allah kepada mereka.”[47]

1.2.4   Seksualitas Manusia

Seksualitas adalah ciri khas sifat kepriaan dan kewanitaan yang merasuki seluruh kepribadian
manusia.[48]  Kepriaan dan kewanitaan mencakup segi fisik, psikis, sosial, mental dan spiritual.
Seksualitas sangat kuat mewarnai kehidpan manusia, sebagai pria atau sebagai wanita. Tuhan
menciptakan manusia sebagai pria dan wanita untuk saling tertuju, saling melengkapi dan saling
menyempurnakan (lih. sub-tema tentang Manusia Diciptakan sebagai Pria dan Wanita). Manusia,
dalam kepriaan dan kewanitaan, dengan seluruh ciri seks-nya (organ seksual yang menjadi
cirinya) adalah dikehendaki oleh Allah, dan merupakan anugerah Pencipta untuk melanjutkan
keturunan dan sungguh amat baik.

Dorongan untuk melanjutkan keturunan dalam diri manusia sangat kuat. Namun, dorongan itu, di
satu pihak bersifat kreatif, tetapi di pihak lain juga bersifat destruktif.[49] Oleh karena itu, maka
melalui kemampuan akal budinya manusia hendaknya mengatur dan menertibkan dorongan
tersebut. Dorongan seks alamiah harus dibudayakan.

Pria dan wanita tidak hanya berbeda ciri seks fisik, tetapi juga psikologis. Pria cenderung mampu
mengendalikan perasaannya, sedangkan wanita lebih mudah tergetar dan lebih emosional. Pria
cenderung mudah mengungkapkan perasaannya, sedangkan wanita cenderung menahan
perasaannya. Pria cenderung berpikir objektif, menyeluruh, logis dan kokoh dalam putusannya,
sedangkan wanita cenderung  berpikir hal-hal kecil, sesaat, intuitif dan subyektif. Perbedaan ini
harus dipelajari dan dikenal oleh masing-masing pihak, agar komunikasi dua pribadi dapat
berjalan dengan baik. Kecenderungan psikologis yang berbeda antara pria dan wanita, adalah
hal-hal indah yang akan memperkaya kehidupan suami-istri, menunjang fungsi dan perannya
sebagai orang-tua yang akan membesarkan anak-anaknya.

Hubungan seksual sebagai ungkapan cinta yang total terjadi dalam rangka perkawinan dan hidup
keluarga (lih. sub-tema tentang asal-usul manusia). Cinta kasih antara seorang isteri dan suami
yang diungkapkan dalam persatuan mesra, tertuju pada melahirkan keturunan dan tanggung
jawab pada pendidikan anak. Hubungan seksual-eksklusif seorang suami dan seorang isteri
dimaknai sebagai ungkapan iman dan kasih setia.

1.2.5   Manusia Ditempatkan Dalam Taman Firdaus

            Manusia pertama diciptakan sebagai mahluk yang baik dan ditempatkan dalam
persahabatan dengan Penciptanya dan dalam keselarasan dengan dirinya sendiri serta dalam
keselarasannya dengan ciptaan lain yang berada di sekitarnya. Hanya oleh kemuliaan penciptaan
baru dalam Kristus, persahabatan dan harmoni ini dapat dilampaui.[50]

            Gereja menjelaskan perlambangan bahasa biblis dalam terang Perjanjian Baru dan Tradisi
secara otentik dan mengajarkan bahwa nenek moyang kita, Adam dan Hawa, ditempatkan dalam
suatu keadaan “kekudusan dan keadilan” yang asli. Rahmat kekudusan yang asli itu adalah
“berpartisipasi dalam kehidupan ilahi”.[51]  Oleh sinar rahmat ini, kehidupan manusiawi
diperkuat menurut dan dalam segala aspeknya. Selama manusia tinggal dalam hubungan erat
dengan Allah, ia tidak perlu mati (bdk. Kej 2: 17; 3: 19) atau bersengsara (bdk. Kej 3: 16).
“Keselarasan batin dari pribadi manusiawi, keselarasan antara pria dan wanita (Kej. 2: 25), dan
keselarasan antara pasangan suami-istri pertama dengan seluruh ciptaan, merupakan keadaan
yang dinamakan “keadilan purba”.[52]

            “Kekuasaan” atas dunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia sejak awal,
dilaksanakan pada tempat pertama sekali di dalam manusia itu sendiri, yaitu, kekuasaan atas diri
sendiri. Manusia dalam seluruh kodratnya utuh dan teratur, karena ia bebas dari tiga macam
hawa nafsu (bdk. 1Yoh 2: 16),[53] yang membuat dia menjadi hamba kenikmatan hawa nafsu,
ketamakan akan harta duniawi, dan haus kekuasaan serta penonjolan diri yang bertentangan
dengan petunjuk akal budi.[54]

            Bukti hubungan baik dengan Allah ialah bahwa Allah menempatkan manusia dalam
“kebun”  atau “taman” (bdk. Kej 2: 8). Ia hidup di dalamnya untuk mengusahakan dan
memelihara taman itu (bdk. Kej 2: 15). Pekerjaan itu, untuk pria dan wanita itu, bukan kerja
paksa (bdk. Kej 3: 17-19), melainkan kerja sama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaan
yang kelihatan.[55]  Memang kemudian, seluruh keselarasan keadilan purba itu, yang
dipersiapkan dan direncanakan Allah sejak semula, rusak dan hilang oleh dosa nenek moyang
kita[56] Adam dan Hawa, manusia pertama.

1.3   Manusia  Pembangun, Manusia Pencinta, Manusia Pendoa

            Implementasi dan realisasi martabat pribadi manusia adalah ketika dia menyadari fungsi
dan eksistensinya sebagai manusia pembangun (pekerja), manusia pecinta dan manusia pendoa
(bdk. kaki tiga emas sebagai muatan martabat pribadi manusia)[57].

1.3.1. Manusia Pembangun (Homo Faber)

            Kisah penciptaan telah mengungkapkan bahwa manusia diciptakan dan ditempat-kan di
Taman Firdaus, diberi kuasa untuk menaklukkan bumi, diberi tugas untuk merawat/memelihara
dan mengolah taman itu. Itu artinya, dia diciptakan untuk bekerja. Juga dalam kisah-kisah
lanjutan setelah kisah penciptaan, diungkapkan specialisasi kerja menurut silsilah-silsilah, yang
memperlihatkan bagaimana berkat Allah yang pertama itu dilaksanakan.[58]

            Dalam kebanyakan mitos tentang penciptaan manusia, ditekankan bahwa manusia
diciptakan sebagai hamba para dewa yang mesti melayani mereka, terutama dalam kultus, dan
kerja dibebankan kepada manusia supaya para dewa bebas, tidak bekerja. Namun, Kitab Suci
menggambarkan manusia sebagai partner Allah, yang boleh juga mengambil bagian dalam
kreativitas Allah. Kerja, menurut Kitab Suci, dilihat sebagai berkat, yang di dalamnya manusia
bisa merealisasikan diri sebagai pencipta yang tercipta.[59] 

            Melalui usahanya, manusia bisa mengubah dunia, bisa membuatnya menjadi lebih
manusiawi. Manusia bisa membentuk dunia menurut hasil pikiran atau imaginasinya sendiri.
Dan, karena manusia itu merupakan puncak  dari seluruh ciptaan, maka segala usaha dan kerja
manusia untuk membentuk dunia seturut gambarannya, membawa dunia lebih dekat kepada
Allah. Segala perkembangan yang diusahakan manusia, sejauh sungguh manusiawi, membawa
dunia lebih dekat kepada tujuannya.[60] Maka kerja manusia mempunyai nilai tinggi,
perkembangan dan pembangunan yang sejati sungguh turut menyiapkan kerajaan Allah.

            Manusia tidak boleh hanya melihat kesia-kesiaan yang ada dalam kerja dan usahanya
(sebagaimana Kitab Suci melukiskan “semak dan rumput duri akan dihasilkan tanah bagimu”).
Dalam kesia-siaan, yang mungkin sering kali dialami manusia, toh masih terdapat berkat Allah,
yang pada awal mula diberikan terhadap kerja manusia, sehingga, kerja manusia itu juga bisa
berhasil. Karena, dosa hanya bisa mengganggu ciptaan serta tata-aturannya, tetapi tidak dapat
menghapusnya sama sekali.[61]

            Manusia, di dalam dan melalui kerjanya, melaksanakan dirinya sebagai co-Creator
(rekan kerja Pencipta). Maka pandangan bahwa Allah mengatur segala sesuatu dan manusia
hanya menunggu nasib, adalah tidak benar. Manusia dituntut sebagai pribadi bebas dan kreatif
untuk membentuk dunia dalam kerja samanya dengan Penciptanya, supaya berguna bagi dirinya
sendiri dan sesamanya. Allah telah menyerahkan seluruh dunia kepada manusia, untuk dipakai,
digunakan demi kepentingan umat manusia, supaya umat manusia berbahagia dan dengan
demikian Allah Pencipta dimuliakan.

            Paus Yohanes Paulus II, dalam Laborem Exercens (Ensk.) menegaskan bahwa pribadi
manusia sebagai subyek kerja harus memuliakan setiap pekerjaan. Bahwa tidak ada perkerjaan
yang hina dan pekerjaan yang mulia, sebab subyek kerja adalah manusia berpribadi yang
dimuliakan Allah. Dari subyek tersebut, setiap kerja memperoleh nilai yang tinggi. Laborem
Exercens juga menegaskan bahwa manusia tidak boleh dilihat sebagai tenaga kerja semata,
sehingga kerja dipakai sebagai ukuran untuk menilai seorang manusia.[62] Seharusnya adalah
sebaliknya, manusia sebagai pribadi mesti menjadi ukuran untuk menilai setiap kerja.

            Pernyataan Laborem Exercerns, membawa implikasi sosial, misalnya dalam dunia
perburuhan. Upah yang layak untuk manusia, harus dilihat dari subyek dalam hanganya sebagai
pribadi manusia serta tanggung jawab sosialnya terhadap anak-isteri.[63] Dalam ensiklik ini,
Paus juga menolak segala pandangan mengenai ekonomi dan produksi, yang memperlakukan
manusia hanya sekedar sebagai alat, sebagai salah satu faktor dalam proses produksi semata.[64]
Manusia selalu harus dilihat sebagai pribadi, sebagai subyek yang dengan sadar melakukan kerja
tertentu dan melalui pekerjaan itu menjadi co-Creator, partner Allah dalam pembentukan dunia.
[65]

            Tentang kemajuan dan perkembangan dunia berkat usaha manusia, dibicarakan dalam
Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral (Gaudium et Spes) art. 33-39 (tugas mahasiswa
meringkas)ó. Inti harapannya bahwa kerja dan usaha manusia sebagai pengambilan bagian dalam
menghadirkan kerajaan Allah di dunia. Maka segala daya upaya untuk membangun dunia berarti
membangun Tubuh Kristus. Kerajaan Allah itu sebenarnya sudah hadir di dalam dunia,
meskipun diliputi rahasia.[66] Sejauh kita berhasil membuka hati orang untuk cinta, damai,
kerukunan, persaudaraan, sejauh itu juga kita memberi ruang untuk Allah dan kerajaan-Nya (ubi
caritas et amor, ibi Deus est).[67]
1.3.2   Manusia Pencinta  (Homo Amans)

            Memiliki pekerjaan dan memperoleh rezeki saja, belumlah lengkap bagi manusia.
[Sesudah menempatkan manusia di taman Eden dan memberi kerja kepadanya, Allah masih
melihat ada yang belum lengkap, karena, ”tidak baiklah, kalau manusia itu seorang diri saja”].
Jadi, penciptaan manusia baru bisa selesai ketika manusia menerima partnernya yang sepadan
dengan dia. Dalam kebersamaan sosial, manusia baru sungguh menjadi manusia.[68]

            Karena manusia itu diciptakan menurut citra Allah yang bersifat Tritunggal, bersifat
dialog cinta di dalam diri-Nya, maka manusia juga pada inti pribadinya bersifat dialogal atau
sosial. Manusia adalah partner pribadi bagi Allah, tetapi juga dengan sesamanya manusia
membutuhkan dialog cinta untuk berkembang dalam pribadinya.[69] Sapaan Allah yang
menciptakan kita sebagai pribadi yang unik, seolah-olah dikonkretkan dalam sapaan ibu-bapa
dan orang lain yang memungkinkan kita berkembang.

            Kondisi sosial sangat besar dan mendalam pengaruhnya terhadap perkembangan hidup
dan pribadi seorang manusia. Kita menjadi pribadi dalam kontak dengan pribadi-pribadi lain,
sehingga pribadi-pribadi itu menjadi bagian integral dari pribadi kita.[70]  Sudah lazim
diketahui bahwa manusia bersifat luar biasa terbuka menurut pembawaan biologisnya. Seorang
manusia tidak memiliki spesialisasi tetap seperti seekor binatang. Karena itu, kalau seorang bayi
ditinggal sendirian, dia tidak tahu bagaimana dia harus bertindak dalam dunia untuk
mempertahankan hidupnya. Berbeda dengan binatang, yang dikuasai dan dikendalikan oleh
naluri bawaannya, lebih tepat dan cepat memberi reaksi terhadap rangsangan tertentu (khususnya
untuk mempertahankan hidupnya). Sedangkan pada manusia, sangat sedikit dan terbatas
dipengaruhi oleh naluri alamiah. Kebanyakan pola tingkah laku diambil alih dari lingkungan
sosial, dari pribadi lain. Bawaan biologis bisa dan harus dibentuk menurut pola-pola yang
disajikan oleh lingkungan sosialnya. Tetapi yang terutama dan paling fundamental untuk
perkembangan seorang pribadi adalah penerimaan emosional, kehangatan cinta yang diberikan
oleh ayah dan ibu dan anggota keluarga lain yang paling dekat.[71]

            Dalam kaitan dengan relasi sosial antar manusia, mengenai cinta kepada sesama dan
mengenai mendirikan persekutuan antar manusia yang sesuai dengan kehendak Allah, maka
prinsip keadilan berperan sangat fundamental di sana. Cinta bukanlah suatu perasaan sentimental
belaka, melainkan pada dasarnya adalah penghargaan yang kita berikan kepada orang lain
seturut martabatnya, berarti, memperlakukan orang lain sebagaimana layak menurut hak yang
dimilikinya sebagai manusia.[72]

            Dalam terang wahyu ilahi, kesatuan dan saling menghargai itu mendapat dimensi baru
yang mendalam. Kesatuan sosial antar manusia atas dasar keadilan dan cinta adalah bentuk
pengambilan bagian dalam kesatuan dan cinta Allah Tritunggal yang menjiwai dan
menyempurnakan usaha manusiawi itu.[73] Maka, manusia secara pribadi baru ber-kembang dan
menjadi matang kalau menyerahkan diri kepada orang lain dalam cinta, dan dengan ini, sekaligus
sosialitas manusia (persekutuan antar manusia) dikembangkan dengan sebaik-baiknya sesuai
kehendak Allah. Seluruh persekutuan manusia itu terbuka terhadap Allah, dari sana manusia
memperoleh daya cinta dan ke sana manusia mengarahkan dirinya dan persekutuannya; karena di
dalam Dia, manusia memperoleh kepenuhan persekutuan dengan mengambil bagian secara
sempurna dalam cinta Tritunggal.[74] 

            Itulah idealnya. Namun, secara konkret, manusia sering mengalami tegangan antara
pribadi/individu dan persekutuan/masyarakat. Dalam situasi seperti itu, manusia gampang untuk
mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lain, dan akhirnya merusak kedua-duanya. Di
satu pihak, manusia cenderung menyeleweng ke individualisme: setiap orang secara egois
hanya mau memperhatikan kepentingannya sendiri, tanpa peduli dengan akibat tindakannya
untuk orang lain (dasar pertumbuhan kapitalisme klasik); dan di pihak lain, manusia cenderung
juga menyeleweng kepada kolektivisme: setiap individu hanya dilihat sebagai sebagian dari
masyarakat, yang bisa dikorbankan untuk kepentingan masyarakat, dan biasanya ada satu
kelompok lain yang berkuasa, dan berasumsi bahwa mereka yang paling tahu apa yang
dibutuhkan oleh anggota masyarakatnya (asumsi dasar dan model yang dilaksanakan dalam
marxisme-komunisme). Pada prinsipnya, pribadi dan masyarakat tidak bertentangan dalam
perkembangannya, malah sebaliknya, dua realita itu saling membutuhkan. Setiap pribadi hanya
bisa hidup dan berkembang dengan baik sebagai anggota pelbagai lingkungan sosial. Dan setiap
persekutuan/masyarakat hidup dari aktivitas pribadi-pribadi yang menjadi anggotanya. Maka,
dalam pengertian ini, kesejahteraan umum (bonum commune) diartikan sebagai [jumlah] kondisi
sosial yang memungkinkan kelompok-kelompok dan individu-individunya dapat mencapai
kesempurnaannya dengan cara yang lebih gampang dan menyeluruh.[75] Sehingga,
perkembangan individu dan kelompok sosial bisa berjalan selaras, yang satu tidak boleh
menghambat atau menekan yang lain.

            Terhadap ketegangan (pertentangan) antara dua kutub di atas, Gereja menekan-kan ajaran
sosialnya, tentang prinsip subsidiaritas, yang melindungi hak dan kebebasan unit-unit yang
lebih kecil terhadap unit sosial yang lebih besar.  Unit yang lebih kecil mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengurus sendiri apa yang bisa diurusnya, dan bila mencapai batas
kesanggupannya, unit yang lebih besar harus membantu dengan kemampuan yang lebih besar.
Dengan prinsip ini, kolektivisme bisa diatasi, dan hak pribadi bisa dilindungi.[76]

            Pada sisi yang lain, untuk membendung berkembang dan meluasnya sikap individualisme
yang kurang peka terhadap kewajiban sosial dan kebutuhan bersama masyarakat, Paus Paulus
VI, melalui Populorum Progressio (Ensk.) menekankan bahwa milik pribadi tidak bisa
dipandang sebagai milik mutlak, dalam arti pemiliknya bisa menggunakannya seturut
kemauannya. Milik pribadi tidak memberikan kepada siapa pun juga hak mutlak dan tanpa
syarat. Tidak seorang pun dibenarkan menyimpan untuk pemakaiannya sendiri secara khusus
apa yang tidak diperlukannya, sementara orang lain menderita kekurangan.[77] Hal ini sejalan
dengan prinsip tradisional, bahwa hak atas milik tidak pernah boleh dijalankan sedemikian rupa
sehingga merugikan kepentingan umum.[78] Dan, jika terjadi konflik antara hak-hak pribadi
yang telah diperoleh dan keperluan-keperluan pokok masyarakat, maka menjadi tanggung jawab
para penguasa umum untuk mencarikan penyelesaian, dengan penyertaan aktif dari orang-
perorangan dan kelompok-kelompok sosial.[79]

            Uraian di atas memperlihatkan bagaimana Gereja berusaha mempertahankan


keseimbangan yang sehat antara kepentingan pribadi dan kepenting persekutuan / masyarakat,
berdasarkan wahyu ilahi mengenai manusia, yang masing-masing diciptakan menurut citra
Allah; supaya ia bersama saudara-saudarinya membentuk keluarga / persekutuan yang mencapai
kebahagiaannya, jika hidup rukun, berdamai, saling menghormati dan menghargai, sampai
dipersatukan secara sempurna dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal sebagai tubuh
Kristus.

            Bertolak dari kenyataan bahwa manusia diciptakan untuk mencintai dan dicintai, maka
setiap pribadi seharusnya berupaya untuk menciptakan suatu suasana sosial, di mana setiap orang
bisa berkembang seturut kemampuannya, tetapi berkembang sebagai mahluk sosial yang tahu
mencintai, memperhatikan orang lain, supaya ia sendiri memberikan lagi sumbangannya untuk
perkembangan masyarakat bersama. Itulah sikap yang adil, dan hanya dengan mengusahakan
keadilan cinta itu menjadi konkret, menjadi nyata, bukan sekedar kata-kata kosong, tanpa makna.

1.3.3.   Manusia Pendoa  (Homo Orans)

            Manusia sering keliru memahami otonomi-nya. Manusia diciptakan Allah sebagai
persona, bebas, dalam kemandirian relatif; namun seringkali manusia menyangka bahwa dia
dapat sungguh-sungguh mandiri jika melepaskan keterikatannya dari Allah.

            Menurut ajaran kristiani, yang didasarkan pada Kitab Suci dan pengalaman rohani sekian
banyak orang yang mempraktekkannya, bahwa manusia yang melepaskan diri ke dalam Allah
dan mengikatkan diri secara mutlak kepada Allah, tidak kehilangan dirinya atau kebebasannya,
melainkan secara paradoksal sungguh menjadi dirinya sendiri, menjadi bebas untuk mengalami
kepenuhan eksistensi dirinya yang membahagiakan.[80] Hanya dalam pengalaman seperti itu,
menjadi nyata apa yang kita imani mengenai penciptaan manusia sebagai gambar Allah. Hanya
jika manusia dalam doa membuka diri kepada Allah dan mau dibentuk oleh Allah, ia dapat
mengalami Allah bukan sebagai sesuatu yang asing, tetapi dapat menyelami inti pribadinya yang
terdalam dan dapat menjadi dirinya, karena ia adalah gambaran Allah.[81] Dengan
mengosongkan dirinya, manusia tidak kehilangan dirinya, tetapi justru mengalami kepenuhan
hidup. Ia tidak dileburkan dalam Allah, tetapi semakin menjadi pribadi, karena kesatuan cinta
tidak menghapus kepribadian, melainkan menguatkannya dalam penerimaan. Sikap doa ini,
yakni, keterbukaan terhadap Allah, seharusnya menjiwai segala usaha dalam pekerjaan dan
hidup sosial antar manusia. Hanya dari sumber itu segala kegiatan lain bisa disembuhkan dan
bisa dijalankan menurut  ideal Kristus yang kita gambarkan. Dan sebagai orang Kristiani, hidup
doa kita mencapai puncaknya dalam ekaristi, di mana kita sudah memurnikan hati dalam tobat,
mendengarkan Sabda Tuhan dengan hati terbuka dan membawakan diri seutuhnya kepada Bapa
bersama Kristus, serta akhirnya menerima Kristus dari Bapa sebagai makanan, yang mengubah
kita menjadi anggota tubuh Kristus; maka ekaristi adalah sungguh pusat dan inti hidup kita.
Dengan semangat ekaristi, kita hidup dalam dunia sebagai manusia baru, yang bisa mengubah
dunia menjadi tubuh Kristus yang universal.[82] Dinamisme itu berkarya dalam diri kita
manusia, mahkota ciptaan, yang secara bebas dan sadar bisa bekerja sama dengan Tuhan, dan
turut dalam proses besar, yakni membawa seluruh ciptaan kepada tujuannya, yakni Allah sendiri.
[83] Sikap yang terbuka dalam doa memungkinkan semangat Kristus memampukan kita untuk
melaksanakan pekerjaan kita demi kemajuan dunia dan menjalankan hubungan sosial secara
bermartabat dan bertanggungjawab.

Anda mungkin juga menyukai