Dermatitis Fix
Dermatitis Fix
1. Dermatitis Atopik
a. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit peradangan kulit yang sifatnya
menahun residif disertai rasa gatal hebat, eksaserbasi kronik dan remisi,
dengan etiologi yang sifatnya multifaktorial. Dermatitis atopik biasanya
berhubungan dengan penyakit alergi lainnya seperti asma bronkial dan
rhinokonjungtivitis alergi.
b. Etiologi
Belum ditemukan penyebab pasti dermatitis atopik. Berbagai faktor
yang kemungkinan berperan dalam patogenesis dermatitis atopik antara lain
faktor genetik, lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit, infeksi, stres, dan
lain-lain, dan sistem kekebalan (Leung dkk., 2012)
c. Epidemiologi
Prevalensi dermatitis atopik berbeda-beda antar negara. Di negara
agraris seperti Cina, Eropa Timur, dan Asia Tengah prevalensi DA jauh
lebih rendah. Yaitu sekitar 10%-20% dan 1%-3% pada anak anak. Prevalensi
di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia lebih tinggi yaitu sekitar 1%-
3% pada dewasa dan pada anak sekitar 10%-20%. (Afshari dkk., 2016).
d. Faktor Resiko
Faktor genetic
Beberapa gen yang terlibat adalah gen pada kromosom 5q31-33 yang
mengandung famili gen sitokin Th2, kromosom 16p11.2-12 merupakan
lokasi IL-4 reseptor gen alfa (IL-4Rα), Gen pada 12q21-1q24.1, yaitu
gen IFN-γ dan faktor sel punca yang berhubungan dengan igE total yang
tinggi dan lokus gen 11q13 sebagai daerah untuk rantai β reseptor IgE.
Faktor Lingkungan
Faktor-faktor gaya hidup seperti penggunaan antibiotic yang meningkat,
jumlah anggota keluarga yang menurun, dan higienitas yang meningkat,
meningkatkan kemungkinan menderita DA (Bloomfield dkk., 2016).
Riwayat alegi
DA sering ditemukan pada penderita rhinitis alergika dan asma serta
diantara para anggota keluarga penderita.
e. Patogenesis
Etiologi dan patogenesis dermatitis kontak sampai saat ini belum
diketahui dengan jelas namun berbagai faktor ikut berinteraksi dalam
patogenesis dermatitis kontak. Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik
adalah melalui reaksi imunologi yang diperantarai oleh sel –sel yang berasal
dari sumsum tulang (Sularsito dkk, 2011).
f. Diagnosis
Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau gambaran histologik yang
spesifik untuk menegakkan diagnosis DA. Dengan demikian, anamnesis dan
pemeriksaan fisik menjadi dasar penegakan diagnosis DA. Diagnosis DA
bisa ditegakkan dengan Kriteria William,dkk yaitu (Sularsito dkk, 2011):
1. Harus ada Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih:
Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).
Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-anak).
Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.
Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak
g. Tata Laksana
Tatalaksana DA yang efektif meliputi kombinasi penghindaran
pencetus, pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin, perbaikan
sawar kulit, dan obat anti inflamasi (Schneider & Tilles, 2012).
Fungsi sawar kulit diperbaiki dengan hidrasi yang baik dan aplikasi
pelembab. Disarankan berendam di air hangat selama kurang lebih 10
menit, memakai sabun dengan pelembab (moisturizing cleanser), diikuti
aplikasi pelembab segera setelah mandi. Emolien bisa dieberikan untuk
melembutkan kulit dan mengurangi gatal, menciptakan lapisan minyak
di atas kulit yang dapat memerangkap air di bawahnya. Perbaikan sawar
ini mencegah penetrasi bahan-bahan iritan, alergen dan bakteri
(Schneider & Tilles, 2012)..
Steroid topikal masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi DA.
Potensi steroid yang digunakan bersifat individual, bergantung pada
derajat dermatitis, lokasi dermatitis, luas permukaan kulit yang terkena,
dan usia pasien.
Antihistamin oral digunakan untuk mengontrol gatal. Antihistamin
sedatif misalnya hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine,
lebih disarankan dibandingkan anti histamin non-sedatif (Schneider &
Tilles, 2012).
Cortikosteroid sistemik hanya di berikan untuk penanganan akut DA
yang berat. Penggunaan steroid sistemik jangka panjang tidak
disarankan karena potensi efek samping yang besar (Watson & Kapur,
2011).
h. Prognosis
Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tatalaksana yang tepat.
Meskipun demikian, pasien dan orang tua pasien harus memahami bahwa
penyakit ini tidak dapat sembuh sama sekali. Eksaserbasi diminimalkan
dengan strategi pencegahan yang baik. Prognosis buruk jika riwayat
keluarga me miliki penyakit serupa, onset lebih awal dan luas, jenis kelamin
perempuan, dan bersamaan dengan rinitis alergika dan asma (Watson
&Kapur, 2011).
f. Diagnosis
Dermatitis kontak alergi disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan
yang bersifat alergen. Sehingga pada anamnesis bisa di cari adanya riwayat
paparan alergan tersebut dan riwayat munculnya keluhan serupa sebelumnya
yang membaik jika pajanan dihilangkan. Gejala subyektif berupa rasa gatal.
Gambaran klinisnya polimorfik, sangat bervariasi bergantung stadiumnya.
Pada stadium akut akan muncul tampakan klinis eritema, edema, dan
vesikel. Pada Subakut gambaran eritema, eksudatif (madidans), krusta dapat
terlihat. Sedangkan pada stadium kronik akan tampak adanya likenifikasi,
fisura, sdan kuama. Lesi dapat juga non-eksematosa, misalnya purpurik,
likenoid, pigmented, dan limfomatoid.. DKA diklasifikasikan menjadi
lokalisata dan sistemik. Pada DKA lokalisata, lesi berbatas tegas dan
berbentuk sesuai dengan bahan penyebab. Sedangkan pada DKA sistemik,
lesi dapat tersebar luas/generalisata (Brasch et al., 2014)...
Pemeriksaan penunjang dapat menggunakan . Uji tempel untuk
mencari penyebab. Uji tempel dapat digunakan dengan alergen standar,
alergen seri tertentu (misal seri kosmetik, seri sepatu, dll), serta alergen
tambahan yang berasal dari bahan yang dicurigai (misalnya dari potongan
sepatu, bahan dari pabrik tempat bekerja). Pada DKA kosmetika, apabila tes
tempel meragukan/negatif dapat dilanjutkan dengan tes pakai (use test), tes
pakai berulang (repeated open application test/ROAT) (Brasch et al., 2014).
g. Tata Laksana
Prinsip penatalaksanaan pada DKI ada 3, yaitu penghentian pajanan
terhadap bahan iritan yang dicurigai, perlindungan bagian tubuh yang
terpapar, dan penggantian bahan iritan dengan yang tidak bersifat iritan.
Terapi medikamentosa untuk dermatitis kontak iritan mempunyai
beberapa prinsip, seperti, emollient, menghindari iritasi, dan krim yang
mengandung dimethicone adalah terapi yang digunakan sebagai mainstay.
Pengobatan sistemik dapat diberikan antihistamin sebagai efek anti pruritus.
Topikal kortikosteroid digunakan sebagai antiinflamasi, supresi aktivitas
mitotik, dan vasokonstriksi. Efek steroid juga dapat mensupresi pengeluaran
histamine, sehingga bisa juga sebagai antipruritus.
Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid
bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi dengan BB/NB UVB atau
obat sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin. Bila ada superinfeksi
oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik.
h. Prognosis
Umumnya baik untuk penderita tanpa riwayat atopik, tipe akut dan
diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat.
4. Dermatitis Numularis
a. Definisi
Dermatitis numularis atau eksema discoid. adalah suatu kelainan kulit
inflamatif berupa papul dan papulovesikel yang berkonfluensi membentuk
plak berbentuk koin berbatas tegas dengan oozing, krusta, dan skuama.
Sangat gatal, dengan predileksi pada ekstremitas atas dan bawah.
b. Etiologi
Penyebab pasti dermatitis numularis belum diketahui. Berbagai faktor yang
dianggap berhubungan yaitu xerosis, sensitisasi kontak alergi, reaktivasi
aeroallergen lingkungan, kolonisasi staphylococcus, penggunaan sabun yang
membuat iritasi, lingkunan yang memiliki kelembaban rendah, trauma pada
kulit dan beberapa pengobatan (antivirus, interferon, isotretinoin, retinoid,
dan ribavirin) (Bonamonte et al., 2012).
c. Epidemiologi
Dermatitis numular menyerang wanita berusia 15 hingga 25 tahun dan pria
berusia 50 hingga 65 tahun. Prevalensi berkisar dari 0,1% hingga 9,1%
(Bonamonte et al., 2012).
d. Faktor Resiko
Faktor lingkungan : Faktor alergen lingkungan yang berperan sebagai
pencetus yaitu: tungau debu rumah dan Candida albicans.
Stres emosional, disfungsi liver atau konsumsi alkohol berlebihan
dapat memperberat penyakit (Bonamonte et al., 2012).
e. Patogenesis
Proses penuaan, statais vena kronis, kolonisasi bakteri, beberapa obat, dan
sensitisasi kontak allergen, dan beberapa logam (nikel sulfat, potassium
dichromat, dan cobalt chloride), yang dapat merusak dan menembus barrier
lipid pada kulit, lalu memicu keluarnya sitokin (IFN gama dan IL17) yang
hasilnya berupa peningkatan sel T, sel dendritic, dan sel Langerhans. Hal ini
membuat hiperplasi epidermis dan munculnya lesi dengan karakteristik khas
pada dermatitis numularis (Rozalski et al., 2016).
f. Diagnosis
Keluhan subjektif sangat gatal, terutama pada fase akut. Predileksi dermatitis
numularis yaitu di ekstremitas atas termasuk punggung tangan (wanita) dan
ekstremitas bawah (pria). Kelainan kulit dapat bersifat akut, subakut, atau
kronik. Karakteristik lesi berupa plak berukuran 1-3 cm berbentuk koin yang
terbentuk dari konfluensi papul dan papulovesikel. Pada bentuk akut terdapat
vesikel, erosi dan eksudasi membentuk lesi yang basah (oozing), serta krusta
pada dasar eritema. Pada fase kronis, berupa plak kering, berskuama, dan
likenifikasi. Lesi menyembuh dimulai dari bagian tengah membentuk
gambaran anular. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan
penunjang khusus. Namun apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang sesuai diagnosis banding (Todorova, 2015).
5. Dermatitis Intertrigenosa
a. Definisi
Intertrigo merupakan istilah umum untuk kelainan kulit di daerah
lipatan/intertriginosa, yang dapat berupa inflamasi maupun infeksi bakteri
atau jamur. Dermatitis intertriginosa atau intertrigo adalah ruam pada area
lipatan kulit.
b. Etiologi
Menurut Black (2014) Salah satu penyebab tersering intertrigo adalah
kontaminasi dengan cairan tubuh, seperti terjadi pada inkontinnsia urine.
Infeksi sekunder bacterial (Pseudomonas atau Staphylococcus) atau candida
albicans dapat terjadi.Kappanpun timbul kandidiasis evaluasi yang teliti yang
harus dilakukan.
c. Epidemiologi
Prevalensi dermatitis intertrigenosa paling sering pada jenis kelamin
perempuan dibanding laki-laki.
d. Faktor Resiko
Sebagai faktor predisposisi ialah keringat/kelembaban, kegemukan, gesekan
antar 2 permukaan kulit dan oklusi.
e. Patogenesis
Gesekan antar lipatan berulang dapat merusak dan menembus barrier lipid
pada kulit, lalu memicu keluarnya sitokin (IFN gama dan IL17) yang hasilnya
berupa peningkatan sel T, sel dendritic, dan sel Langerhans. Hal ini membuat
hiperplasi epidermis dan munculnya lesi (Rozalski et al., 2016).
f. Diagnosis
Intertrigo ditandai terutama oleh eritema ringan yang awalnya muncul sebagai
plak merah, di setiap sisi lipatan kulit. Erythema dapat berkembang menjadi
peradangan yang lebih intens dengan erosi, eksudasi, maserasi, dan
pengerasan kulit. Pasien mungkin datang dengan rasa gatal, terbakar, dan
nyeri di area yang terkena. Dalam kondisi seperti ini, mudah sekali terjadi
superinfeksi oleh Candida albicans, yang ditandai oleh eritema berwarna
merah-gelap, dapat disertai papulpapul eritematosa di sekitarnya (lesi satelit).
g. Tata Laksana
Penatalaksanaan intertrigo menurut Black (2014) adalah mengeliminasi
maserasi dengan mendorong pengeringan dan mengaerasi lipatan kulit tubuh.
Tinjaulah perubahan lingkungan yang mendorong pengeringan lipatan tubuh,
seperti memakai pakaian katun yang longgar atau melepaskan pakaian secara
periodic agar kering, enghindari pakaian ketat seperti jeans juga aktivitas yang
menyebabkan berkeringat. Penatalaksanaan medikamentosa dengan
menggunakan agen pengering seperti bedak; lotion steroid ringan topikal pada
kasus inflamasi yang dominan.
h. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian ”Karakteristik Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi di Puskesmas
Karanglewas Purwokerto Periode April 2019 – April 2021” dilaksanakan dengan
menggunakan sampel yang didapatkan dari data sekunder pasien penderita
penyakit kulit akibat non infeksi yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas
Karanglewas Purwokerto. Sampel yang dipilih telah memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
Hasil penelitian berupa karakteristik penyakit kulit akibat non infeksi
berdasarkan penyakit, variabel usia, jenis kelamin dan jaminan kesehatan.
B. Pembahasan
Penderita dermatitis numularis pada penelitian ini paling banyak pada jenis
kelamin laki-laki yaitu 50,2%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh American Academy of Dermatology National yang menyatakan bahwa laki-
laki lebih sering menderita dermatitis numularis dibanding perempuan. Hal ini
bisa terjadi karena kondisi kelembaban kulit yang berbeda, yang mana kondisi
kulit yang kering meningkatkan terjadinya dermatitis numularis (Bonamonte et
al., 2012).
Pada penelitian ini, distribusi dermatitis non spesifik paling banyak pada
perempuan yaitu sebanyak 55%. Belum ada penelitian sebelumnya yang
membahas tentang dermatitis non spesifik dan distribusinya.
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa pembayaran yang digunakan
oleh mayoritas pasien di Puskesmas Karanglewas Purwokerto dari tahun 2019-
2021 adalah menggunakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sementara
mayoritas kedua menggunakan pembayaran umum. Hal ini menjadi catatan,
karena masih banyak masyarakat yang berobat ke Puskesmas dengan
pembayaran umum. Dalam Sidang WHO Executive Board ke 144 tahun 2019,
telah disepakati WHO 13th General Program of Work untuk dicapai pada tahun
2023 oleh semua negara anggota WHO, termasuk Indonesia. Salah satu target
yang harus dicapai ialah 1 miliyar orang mendapat manfaat UHC (Universal
Health Coverage). Ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi Pemerintah
daerah Banyumas dalam mengupayakan tercapainya UHC di wilayah Banyumas,
agar semua warga Banyumas memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang komprehensif dan bermutu tanpa hambatan finansial.
TINJAUAN PUSTAKA
Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic contact dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatrick‟s
Dematology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill;
2012.
Gabriel, S., Elisabeth H., Ulrike Blume-Peytavi & Jan K. 2019. Prevalence and
associated factors ofintertrigo in aged nursing home residents:a multi-center
cross-sectional prevalencestudy. BMC Geriatrics, 19:105
Honari G, Taylor JS, Sood A. Occupational skin disease due to irritants and allergens.
In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K,
editors. Fitzpatrick's dermatology in th general medicine. 8 ed. New York:
McGraw Hill Companies; 2012.p.2612-22.
Menaldi SLSW. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2015
Sunaryo Y. Profil Dermatitis kontak di poliklinik Kulit dan Kelamin BLU RSUP
Prof.Dr.R.D.KandouManado periode Januari –Desember 2013
(Skripsi).Manado: FK Unsrat; 2014.
Watson W. & Kapur S. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.
2011;7: Suppl 1:S4
Yu J-S, Lee C-J, Lee H-S, Kim J, Han Y, Ahn K. 2012. Prevalence of atopic
dermatitis in Korea: analysis by using national statistic. J Korean Med Sci.
25;1828-30