Anda di halaman 1dari 31

Dermatitis

Dermatitis adalah peradangan pada kulit yang menimbulkan gejala mengganggu,


seperti ruam kemerahan polimorfi serta kulit yang terasa gatal, kering, dan bersisik.
Ada beberapa macam dermatitis dengan penyebab dan ciri khas yang berbeda.

1. Dermatitis Atopik
a. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit peradangan kulit yang sifatnya
menahun residif disertai rasa gatal hebat, eksaserbasi kronik dan remisi,
dengan etiologi yang sifatnya multifaktorial. Dermatitis atopik biasanya
berhubungan dengan penyakit alergi lainnya seperti asma bronkial dan
rhinokonjungtivitis alergi.
b. Etiologi
Belum ditemukan penyebab pasti dermatitis atopik. Berbagai faktor
yang kemungkinan berperan dalam patogenesis dermatitis atopik antara lain
faktor genetik, lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit, infeksi, stres, dan
lain-lain, dan sistem kekebalan (Leung dkk., 2012)
c. Epidemiologi
Prevalensi dermatitis atopik berbeda-beda antar negara. Di negara
agraris seperti Cina, Eropa Timur, dan Asia Tengah prevalensi DA jauh
lebih rendah. Yaitu sekitar 10%-20% dan 1%-3% pada anak anak. Prevalensi
di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia lebih tinggi yaitu sekitar 1%-
3% pada dewasa dan pada anak sekitar 10%-20%. (Afshari dkk., 2016).
d. Faktor Resiko
 Faktor genetic
Beberapa gen yang terlibat adalah gen pada kromosom 5q31-33 yang
mengandung famili gen sitokin Th2, kromosom 16p11.2-12 merupakan
lokasi IL-4 reseptor gen alfa (IL-4Rα), Gen pada 12q21-1q24.1, yaitu
gen IFN-γ dan faktor sel punca yang berhubungan dengan igE total yang
tinggi dan lokus gen 11q13 sebagai daerah untuk rantai β reseptor IgE.
 Faktor Lingkungan
Faktor-faktor gaya hidup seperti penggunaan antibiotic yang meningkat,
jumlah anggota keluarga yang menurun, dan higienitas yang meningkat,
meningkatkan kemungkinan menderita DA (Bloomfield dkk., 2016).
 Riwayat alegi
DA sering ditemukan pada penderita rhinitis alergika dan asma serta
diantara para anggota keluarga penderita.
e. Patogenesis
Etiologi dan patogenesis dermatitis kontak sampai saat ini belum
diketahui dengan jelas namun berbagai faktor ikut berinteraksi dalam
patogenesis dermatitis kontak. Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik
adalah melalui reaksi imunologi yang diperantarai oleh sel –sel yang berasal
dari sumsum tulang (Sularsito dkk, 2011).
f. Diagnosis
Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau gambaran histologik yang
spesifik untuk menegakkan diagnosis DA. Dengan demikian, anamnesis dan
pemeriksaan fisik menjadi dasar penegakan diagnosis DA. Diagnosis DA
bisa ditegakkan dengan Kriteria William,dkk yaitu (Sularsito dkk, 2011):
1. Harus ada Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih:
 Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).
 Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-anak).
 Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.
 Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak

Pemeriksana yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan kadar IgE dan


skin prick test. Peningkatan kadar IgE ditemukan pada 80% pasien DA,
tetapi hasil serupa juga dapat ditemukan pada keadaan atopik lain.
Sementara uji tusuk kulit (skin prick test/SPT) atau pemeriksaan IgE spesifik
yang hasilnya positif hanya menunjukkan adanya sensitisasi terhadap
alergen bersangkutan, tetapi tidak berarti secara langsung menjadi penyebab
(Schneider & Tilles, 2012).

g. Tata Laksana
 Tatalaksana DA yang efektif meliputi kombinasi penghindaran
pencetus, pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin, perbaikan
sawar kulit, dan obat anti inflamasi (Schneider & Tilles, 2012).
 Fungsi sawar kulit diperbaiki dengan hidrasi yang baik dan aplikasi
pelembab. Disarankan berendam di air hangat selama kurang lebih 10
menit, memakai sabun dengan pelembab (moisturizing cleanser), diikuti
aplikasi pelembab segera setelah mandi. Emolien bisa dieberikan untuk
melembutkan kulit dan mengurangi gatal, menciptakan lapisan minyak
di atas kulit yang dapat memerangkap air di bawahnya. Perbaikan sawar
ini mencegah penetrasi bahan-bahan iritan, alergen dan bakteri
(Schneider & Tilles, 2012)..
 Steroid topikal masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi DA.
Potensi steroid yang digunakan bersifat individual, bergantung pada
derajat dermatitis, lokasi dermatitis, luas permukaan kulit yang terkena,
dan usia pasien.
 Antihistamin oral digunakan untuk mengontrol gatal. Antihistamin
sedatif misalnya hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine,
lebih disarankan dibandingkan anti histamin non-sedatif (Schneider &
Tilles, 2012).
 Cortikosteroid sistemik hanya di berikan untuk penanganan akut DA
yang berat. Penggunaan steroid sistemik jangka panjang tidak
disarankan karena potensi efek samping yang besar (Watson & Kapur,
2011).
h. Prognosis
Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tatalaksana yang tepat.
Meskipun demikian, pasien dan orang tua pasien harus memahami bahwa
penyakit ini tidak dapat sembuh sama sekali. Eksaserbasi diminimalkan
dengan strategi pencegahan yang baik. Prognosis buruk jika riwayat
keluarga me miliki penyakit serupa, onset lebih awal dan luas, jenis kelamin
perempuan, dan bersamaan dengan rinitis alergika dan asma (Watson
&Kapur, 2011).

2. Dermatitis Kontak Alergi


a. Definisi
Dermatitis kontak adalah inflamasi atau peradangan pada kulit yang
diakibatkan oleh kontak langsung dengan substansi yang menyebabkan
reaksi inflamasi atau alergi. Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat atau reaksi imunologi tipe IV, dimediasi
terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang menyebabkan
peradangan dan edema pada kulit yang terjadi ketika kulit terkontak dengan
bahan kimia, pada seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi (Menaldi,
2015).
b. Etiologi
Sekitar 25 bahan kimia yang tampaknya memberi pengaruh terhadap
sebanyak setengah dari semua kasus DKA. Ini termasuk nikel, pengawet,
pewarna, dan parfum.
c. Epidemiologi
Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit yang terkait dengan
pekerjaan di Amerika Serikat. Sementara itu, tidak ada data yang cukup
tentang epidemiologi dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun
berdasarkan penelitian pada penata rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen
memiliki efek samping kosmetik, dimana 25, 4 persen dari angka itu
menderita DKA. Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, prevalensi
DKA lebih banyak perempuan (18,8%) dan laki-laki (11,5%).
d. Faktor Resiko
 Usia
Dalam sebuah studi menyebutkan bahwa individu yang lebih muda (18
sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk
terjadi dermatitis dibandingkan orang tua. Hal ini bisa disebabkan
karena sistem kekebalan tubuh yang belum matang. Ada beberapa
pendapat ahli yang menjelaskan hal ini terjadi karena hiporesponsifitas
yang jelas pada anak-anak mungkin karena terbatasnya paparan dan
bukan karena kurangnya imunitas.
 Pekerjaan
Ada banyak pekerjaan yang berhubungan dengan DKA dan hal itu
berkaitan dengan alergen yang sering terpapar pada pekerjaan tertentu
seperti industri tekstil, dokter gigi, pekerja konstruksi, elektronik dan
industri lukisan, rambut, industri sektor makanan dan logam, dan
industri produk pembersih.
 Riwata alergi pada pasien dan keluarga pasien.
e. Patogenesis
1. Fase sensitisasi
Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel
Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada
Human Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan kompleks yang
diekspresikan pada permukaan sel Langerhans. Sel Langerhans akan
bergerak melalui jalur limfatik ke kelenjar regional, dimana akan
terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T dengan CD4-positif.
Kompleks antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor T-sel
tertentu (TCR) dan kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan
mengeluarkan Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan IL-1
mengaktifkan sel T. Sel T mensekresi IL-2 dan mengekspresikan
reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini menyebabkan stimulasi
autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di seluruh tubuh dan
kembali ke kulit.
2. Fase elisitasi
Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau
memori dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam jumlah dan
beredar melalui pembuluh darah kemudian masuk ke kulit. Ketika
antigen kontak pada kulit, antigen akan diproses dan dipresentasikan
dengan HLA-DR pada permukaan sel Langerhans. Kompleks akan
dipresentasikan kepada sel T4 spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau
keduanya), dan elisitasi dimulai. Kompleks HLA-DR-antigen
berinteraksi dengan kompleks CD3-TCR spesifik untuk mengaktifkan
baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan menginduksi sekresi IL-1
oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh sel
T. Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan
mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-gamma, dan granulocyte macrophage
colony-stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin akan
mengaktifkan sel Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang
teraktivasi akan mensekresi IL-1, kemudian IL-1 mengaktifkan
phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik untuk produksi
prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi aktivasi
sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan
histamin yang melalui sel mast. Karena produk vasoaktif dan
chemoattractant, sel-sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah.
Keratinosit yang teraktivasi juga mengungkapkan intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR, yang memungkinkan interaksi
seluler langsung dengan sel-sel darah.
Gambar 1. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi

f. Diagnosis
Dermatitis kontak alergi disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan
yang bersifat alergen. Sehingga pada anamnesis bisa di cari adanya riwayat
paparan alergan tersebut dan riwayat munculnya keluhan serupa sebelumnya
yang membaik jika pajanan dihilangkan. Gejala subyektif berupa rasa gatal.
Gambaran klinisnya polimorfik, sangat bervariasi bergantung stadiumnya.
Pada stadium akut akan muncul tampakan klinis eritema, edema, dan
vesikel. Pada Subakut gambaran eritema, eksudatif (madidans), krusta dapat
terlihat. Sedangkan pada stadium kronik akan tampak adanya likenifikasi,
fisura, sdan kuama. Lesi dapat juga non-eksematosa, misalnya purpurik,
likenoid, pigmented, dan limfomatoid.. DKA diklasifikasikan menjadi
lokalisata dan sistemik. Pada DKA lokalisata, lesi berbatas tegas dan
berbentuk sesuai dengan bahan penyebab. Sedangkan pada DKA sistemik,
lesi dapat tersebar luas/generalisata (Brasch et al., 2014)...
Pemeriksaan penunjang dapat menggunakan . Uji tempel untuk
mencari penyebab. Uji tempel dapat digunakan dengan alergen standar,
alergen seri tertentu (misal seri kosmetik, seri sepatu, dll), serta alergen
tambahan yang berasal dari bahan yang dicurigai (misalnya dari potongan
sepatu, bahan dari pabrik tempat bekerja). Pada DKA kosmetika, apabila tes
tempel meragukan/negatif dapat dilanjutkan dengan tes pakai (use test), tes
pakai berulang (repeated open application test/ROAT) (Brasch et al., 2014).

Gambar 2 Gambaran klinis dermatitis kontak alergi


g. Tata Laksana
Penatalaksanaan awal dan utama dari semua jenis DKA diduga terdiri
dari reduksi atau, jika memungkinkan, eliminasi semua alergen yang
dicurigai (Castanedo & Zug, 2012).
Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium asetat
bermanfaat untuk vesikel akut dan erupsi yang basah, sedangkan erupsi
likenifikasi paling baik ditangani dengan emolien. Pruritus dapat dikontrol
dengan antipruritus topikal atau antihistamin oral, antihistamin topikal atau
anestesi sebaiknya dihindari karena risiko merangsang alergi sekunder pada
kulit yang sudah mengalami dermatitis.
Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid
bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi BB/NB UVB atau obat
imunosupresif sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin. Bila ada
superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik (Brasch et al., 2014).
h. Prognosis
Individu dengan dermatitis kontak alergi dapat memiliki dermatitis
persisten atau kambuh, terutama jika bahan yang mereka alergi tidak dapat
diidentifikasi. Pada kasus dermatitis kontak ringan, prognosis sangat
bergantung pada kemampuan menghindari bahan iritan penyebab. Pada
kasus dermatitis kontak yang berat diakibatkan pekerjaan keluhan dapat
bertahan hingga 2 tahun walaupun sudah berganti pekerjaan (Brasch et al.,
2014).

3. Dermatitis Kontak Iritan


a. Definisi
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non
imunologik, yaitu kerusakan kulit yang terjadi langsung tanpa didahului
proses pengenalan atau sensitisasi. Paparan sebelumnya tidak diperlukan dan
efek yang terjadi dalam hitungan menit atau jam (Menaldi, 2015).
b. Etiologi
Bahan-bahan iritan yang dapat digolongkan sebagai penyebab DKI
antara lain bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk
kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat
molekul rendah, dan bahan kimia higroskopik.
c. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan mempunyai persentase sebesar 80% dan
dermatitis kontak alergi memiliki persentase sekitar 10-20%. Menurut Cahill
dkk. (2012), secara epidemiologi diperkirakan dermatitis kontak berkisar
antara 79-95% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja. Kejadian
dermatitis kontak iritan lebih sering pada wanita dibanding pria. Pada wanita
faktor lingkungan lebih berperan dibanding faktor genetik yang lebih
berperan pada pria. Kejadian dermatitis kontak iritan lebih sering pada umur
> 50 tahun karena keadaan kulit yang lebih kering dan tipis.
d. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang berpengaruh dan dapat diidentifikasi pada DKI
antara lain :
 Kecenderungan terpajan dengan bahan iritan dalam jangka waktu dan
intensitas tertentu
 Riwayat atopic
 Polimorfisme pada gen fillagrin (FLG), yang menyebabkan terhentinya
produksi FLG dan pada akhirnya terjadi perubahan barier kulit
e. Patogenesis
Ada 3 bentuk perubahan patofisiologi, yaitu kerusakan barrier kulit,
kerusakan seluler epidermis, dan pengeluaran sitokin. Dengan keluarnya
sitokin pro inflamasi dari sel-sel kulit, terutama keratinosit, menyebabkan
inflamasi sebagai respon terhadap pajanan bahan-bahan iritan.
Penetrasi bahan iritan membuat kerusakan membran lipid keratinosit
dalam beberapa menit-jam. Difusi bahan iritan melalui membrane akan
merusak lisosom, mitokondria, dan komponen inti sel yang pengaktifan
fosfolipase dan menghasilkan asam arakidonik. Asam arakidonik
membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang dapat berefek pada
pembuluh darah dan transudasi faktor sirkulasi dari komplemen dan sistem
kinin.
Keratinosit memegang peranan penting di dalam inisiasi reaksi
inflamasi kulit atas responnya terhadap sitokin. Berbagai stimuli yang
bertindak sebagai iritan, seperti substansi kimia dapat merangsang
keratinosit epidermis untuk mengeluarkan sitokin inflamasi (IL-1, TNF-α),
sitokin kemotaksis (IL-8, IL-10), growth-promoting cytokines (IL-6, IL-7,
IL-15, GMC-SF, TGF α), dan sitokin pengatur imunitas humoral dan selular
(IL-10, IL-12, IL-18). ICAM 1 menyebabkan infiltrasi leukosit ke epidermis,
sehingga menyebabkan reaksi inflamasi di kulit.
f. Diagnosis
Anamnesis terarah tentunya diperlukan untuk mengeksplor riwayat
pajanan terhadap bahan atau substansi kimia tertentu. Gejala subyektif
berupa rasa gatal, terbakar/nyeri. Onset penyakit sampai timbulnya gejala
klinis dalam hitungan menit sampai jam tergolong tipe simpel akut. Tipe
akut lambat biasanya dalam hitungan 8-24 jam. Tipe kumulatif cenderung
merupakan konsekuensi dari pajanan berulang dengan konsentrasi substansi
yang rendah. Biasanya tempat predileksi DKI adalah pada tangan dan lengan
diikuti wajah. kelainan yang timbul biasanya berupa hiperpigmentasi,
hiperkeratosis, likenifikasi, fisura, dan kadang-kadang eritema dan vesikel.
Karena tes diagnostik untuk DKI tidak ada, maka untuk pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan patch test untuk mengeksklusi dermatitis kontak
alergi dan dapat dilakukan pemeriksaan KOH untuk mengeksklusi penyakit
jamur. Penunjang diagnostik yang akurat salah satunya adalah
histopatologis. Didapatkan gambaran intraselular edema atau spongiosis.
Gambaran parakeratosis juga bisa muncul pada dermatitis kontak iritan
kronik disertai hiperplasia sedang sampai berat, dan pemanjangan rete
ridges.

Gambar 2 Gambaran klinis dermatitis kontak iritan

g. Tata Laksana
Prinsip penatalaksanaan pada DKI ada 3, yaitu penghentian pajanan
terhadap bahan iritan yang dicurigai, perlindungan bagian tubuh yang
terpapar, dan penggantian bahan iritan dengan yang tidak bersifat iritan.
Terapi medikamentosa untuk dermatitis kontak iritan mempunyai
beberapa prinsip, seperti, emollient, menghindari iritasi, dan krim yang
mengandung dimethicone adalah terapi yang digunakan sebagai mainstay.
Pengobatan sistemik dapat diberikan antihistamin sebagai efek anti pruritus.
Topikal kortikosteroid digunakan sebagai antiinflamasi, supresi aktivitas
mitotik, dan vasokonstriksi. Efek steroid juga dapat mensupresi pengeluaran
histamine, sehingga bisa juga sebagai antipruritus.
Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid
bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi dengan BB/NB UVB atau
obat sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin. Bila ada superinfeksi
oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik.
h. Prognosis
Umumnya baik untuk penderita tanpa riwayat atopik, tipe akut dan
diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat.

4. Dermatitis Numularis
a. Definisi
Dermatitis numularis atau eksema discoid. adalah suatu kelainan kulit
inflamatif berupa papul dan papulovesikel yang berkonfluensi membentuk
plak berbentuk koin berbatas tegas dengan oozing, krusta, dan skuama.
Sangat gatal, dengan predileksi pada ekstremitas atas dan bawah.
b. Etiologi
Penyebab pasti dermatitis numularis belum diketahui. Berbagai faktor yang
dianggap berhubungan yaitu xerosis, sensitisasi kontak alergi, reaktivasi
aeroallergen lingkungan, kolonisasi staphylococcus, penggunaan sabun yang
membuat iritasi, lingkunan yang memiliki kelembaban rendah, trauma pada
kulit dan beberapa pengobatan (antivirus, interferon, isotretinoin, retinoid,
dan ribavirin) (Bonamonte et al., 2012).
c. Epidemiologi
Dermatitis numular menyerang wanita berusia 15 hingga 25 tahun dan pria
berusia 50 hingga 65 tahun. Prevalensi berkisar dari 0,1% hingga 9,1%
(Bonamonte et al., 2012).
d. Faktor Resiko
 Faktor lingkungan : Faktor alergen lingkungan yang berperan sebagai
pencetus yaitu: tungau debu rumah dan Candida albicans.
 Stres emosional, disfungsi liver atau konsumsi alkohol berlebihan
dapat memperberat penyakit (Bonamonte et al., 2012).
e. Patogenesis
Proses penuaan, statais vena kronis, kolonisasi bakteri, beberapa obat, dan
sensitisasi kontak allergen, dan beberapa logam (nikel sulfat, potassium
dichromat, dan cobalt chloride), yang dapat merusak dan menembus barrier
lipid pada kulit, lalu memicu keluarnya sitokin (IFN gama dan IL17) yang
hasilnya berupa peningkatan sel T, sel dendritic, dan sel Langerhans. Hal ini
membuat hiperplasi epidermis dan munculnya lesi dengan karakteristik khas
pada dermatitis numularis (Rozalski et al., 2016).
f. Diagnosis
Keluhan subjektif sangat gatal, terutama pada fase akut. Predileksi dermatitis
numularis yaitu di ekstremitas atas termasuk punggung tangan (wanita) dan
ekstremitas bawah (pria). Kelainan kulit dapat bersifat akut, subakut, atau
kronik. Karakteristik lesi berupa plak berukuran 1-3 cm berbentuk koin yang
terbentuk dari konfluensi papul dan papulovesikel. Pada bentuk akut terdapat
vesikel, erosi dan eksudasi membentuk lesi yang basah (oozing), serta krusta
pada dasar eritema. Pada fase kronis, berupa plak kering, berskuama, dan
likenifikasi. Lesi menyembuh dimulai dari bagian tengah membentuk
gambaran anular. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan
penunjang khusus. Namun apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang sesuai diagnosis banding (Todorova, 2015).

Gambar 4 Gambaran klinis dermatitis numularis


g. Tata Laksana
Pada kasus akut, lesi dapat dikompres dan diberi kortikosteroid topikal
potensi sedang hingga kuat. Pilihan lainnya inhibitor kalsineurin seperti
takrolimus dan pimekrolimus atau preparat tar. Terapi sistemik yang bisa
diberikan adalah histamine oral. Pada kasus berat dan refrakter dapat diberi
kortikosteroid sistemik. Sedangkan pada kasus generalisata dapat
ditambahkan fototerapi broad/narrow band UVB (Ingram, 2016).
h. Prognosis
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad functionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Perjalanan klinis umumnya berlangsung kronis. Penyakit ini sering
mengalami rekurensi dan umumnya timbul pada lokasi yang sama atau dekat
dengan lokasi sebelumnya (Ingram, 2016).

5. Dermatitis Intertrigenosa
a. Definisi
Intertrigo merupakan istilah umum untuk kelainan kulit di daerah
lipatan/intertriginosa, yang dapat berupa inflamasi maupun infeksi bakteri
atau jamur. Dermatitis intertriginosa atau intertrigo adalah ruam pada area
lipatan kulit.
b. Etiologi
Menurut Black (2014) Salah satu penyebab tersering intertrigo adalah
kontaminasi dengan cairan tubuh, seperti terjadi pada inkontinnsia urine.
Infeksi sekunder bacterial (Pseudomonas atau Staphylococcus) atau candida
albicans dapat terjadi.Kappanpun timbul kandidiasis evaluasi yang teliti yang
harus dilakukan.
c. Epidemiologi
Prevalensi dermatitis intertrigenosa paling sering pada jenis kelamin
perempuan dibanding laki-laki.
d. Faktor Resiko
Sebagai faktor predisposisi ialah keringat/kelembaban, kegemukan, gesekan
antar 2 permukaan kulit dan oklusi.
e. Patogenesis
Gesekan antar lipatan berulang dapat merusak dan menembus barrier lipid
pada kulit, lalu memicu keluarnya sitokin (IFN gama dan IL17) yang hasilnya
berupa peningkatan sel T, sel dendritic, dan sel Langerhans. Hal ini membuat
hiperplasi epidermis dan munculnya lesi (Rozalski et al., 2016).
f. Diagnosis
Intertrigo ditandai terutama oleh eritema ringan yang awalnya muncul sebagai
plak merah, di setiap sisi lipatan kulit. Erythema dapat berkembang menjadi
peradangan yang lebih intens dengan erosi, eksudasi, maserasi, dan
pengerasan kulit. Pasien mungkin datang dengan rasa gatal, terbakar, dan
nyeri di area yang terkena. Dalam kondisi seperti ini, mudah sekali terjadi
superinfeksi oleh Candida albicans, yang ditandai oleh eritema berwarna
merah-gelap, dapat disertai papulpapul eritematosa di sekitarnya (lesi satelit).

Gambar 5 Gambaran klinis dermatitis Intertrigo dengan infeksi sekunder candida

g. Tata Laksana
Penatalaksanaan intertrigo menurut Black (2014) adalah mengeliminasi
maserasi dengan mendorong pengeringan dan mengaerasi lipatan kulit tubuh.
Tinjaulah perubahan lingkungan yang mendorong pengeringan lipatan tubuh,
seperti memakai pakaian katun yang longgar atau melepaskan pakaian secara
periodic agar kering, enghindari pakaian ketat seperti jeans juga aktivitas yang
menyebabkan berkeringat. Penatalaksanaan medikamentosa dengan
menggunakan agen pengering seperti bedak; lotion steroid ringan topikal pada
kasus inflamasi yang dominan.
h. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Penelitian ”Karakteristik Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi di Puskesmas
Karanglewas Purwokerto Periode April 2019 – April 2021” dilaksanakan dengan
menggunakan sampel yang didapatkan dari data sekunder pasien penderita
penyakit kulit akibat non infeksi yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas
Karanglewas Purwokerto. Sampel yang dipilih telah memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
Hasil penelitian berupa karakteristik penyakit kulit akibat non infeksi
berdasarkan penyakit, variabel usia, jenis kelamin dan jaminan kesehatan.

1. Karakterisik Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi


Dari penelitian diperoleh distribusi penderita Penyakit Kulit Akibat Non
Infeksi di Puskesmas Karanglewas Purwokerto periode 2020 – 2021 sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi

No Penyakit kulit non infeksi Frekuensi (orang) Prevalensi (%)


1 Dermatitis atopic 36 1,6
2 Dermatitis kontak alergi 229 10,29
3 Dermatitis kontak iritan 3 0,13
4 Dermatitis numularis 588 26,41
4 Dermatitis intertrigenosa 2 0,09
5 Dermatitis non spesifik 1368 61,45
Total 2226 100

Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah penderita Penyakit Kulit Akibat


Non Infeksi di Puskesmas Karanglewas Purwokerto periode 2020 – 2021
mencapai 2226 dengan Dermatitis non spesifik merupakan penyakit terbanyak
yaitu 1.368 atau 61,45% dari seluruh penyakit kulit non infeksi. Dermatitis
numularis merupakan penyakit terbanyak kedua yaitu sebanyak 588 orang atau
26,41%. DKA menempati urutan ketia dengan jumlah penderita 229 orang atau
sebanyak 10,29% kasus. Selanjutnya dermatitis atopic dengan 36 penderita atau
1,6% kasus. DKI 0,13% kasus atau sebanyak 3 kasus saja. Dan dermatitis
intertrigenosa yang hanya 0,09% kasus atau sebanyak 2 penderita.

2. Karakteristik Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi berdasarkan Usia

Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan jumlah penderita Penyakit


Kulit Akibat Non Infeksi berdasarkan usia di Puskesmas Karanglewas
Purwokerto periode 2019 – 2021 sebagai berikut:

Tabel 4.2.1. Distribusi dermatitis atopik berdasarkan usia


Usia (Tahun) Jumlah kasus Prevalensi (%)
Anak-anak (≤18 tahun) 9 25
Dewasa (>18 tahun) 27 75

Pada tabel, hasil penelitian menunjukkan 25% kasus dermatitis atopik


diderita oleh kelompok umur anak-anak (≤18 tahun) sebanyak 9 kasus dan 75%
kasus diderita oleh kelompok umur dewasa (>18 tahun) sebanyak 27 kasus.

Tabel 4.2.2 Distribusi dermatitis kontak alergika berdasarkan usia


Usia (Tahun) Jumlah kasus Prevalensi (%)
Anak-anak (≤18 tahun) 63 27,5
Dewasa (>18 tahun) 166 72,5

Pada table, hasil penelitian menunjukkan 27,5% kasus dermatitis


kontak alergika diderita oleh kelompok umur anak-anak (≤18 tahun) sebanyak
63 kasus dan 72,5% kasus diderita oleh kelompok umur dewasa (>18 tahun)
sebanyak 166 kasus.

Tabel 4.2.3 Distribusi dermatitis kontak iritan berdasarkan usia


Usia (Tahun) Jumlah kasus Prevalensi (%)
Anak-anak (≤18 tahun) 0 0
Dewasa (>18 tahun) 3 100

Pada table, hasil penelitian menunjukkan 0 kasus dermatitis kontak


iritan diderita oleh kelompok umur anak-anak (≤18 tahun) dan 100% kasus
diderita oleh kelompok umur dewasa (>18 tahun) sebanyak 3 kasus.

Tabel 4.2.4 Distribusi dermatitis numularis berdasarkan usia


Usia (Tahun) Jumlah kasus Prevalensi (%)
Anak-anak (≤18 tahun) 163 27,7
Dewasa (>18 tahun) 425 72,3

Pada tabel, hasil penelitian menunjukkan 27,7% kasus dermatitis


numularis diderita oleh kelompok umur anak-anak (≤18 tahun) sebanyak 163
kasus dan 72,3% kasus diderita oleh kelompok umur dewasa (>18 tahun)
sebanyak 425 kasus.

Tabel 4.2.5 Distribusi eritma intertrigo berdasarkan usia


Usia (Tahun) Jumlah kasus Prevalensi (%)
Anak-anak (≤18 tahun) 1 50
Dewasa (>18 tahun) 1 50

Pada tabel, hasil penelitian menunjukkan 50% kasus eritema intertrigo


diderita oleh kelompok umur anak-anak (≤18 tahun) sebanyak 1 kasus dan 50%
kasus diderita oleh kelompok umur dewasa (>18 tahun) sebanyak 1 kasus.

Tabel 4.2.6 Distribusi Dermatitis, unspecified berdasarkan usia


Usia (Tahun) Jumlah kasus Prevalensi (%)
Anak-anak (≤18 tahun) 369 27
Dewasa (>18 tahun) 999 73

Pada tabel, hasil penelitian menunjukkan 27% kasus dermatitis


unspecified diderita oleh kelompok umur anak-anak (≤18 tahun) sebanyak 369
kasus dan 73% kasus diderita oleh kelompok umur dewasa (>18 tahun)
sebanyak 999 kasus.

3. Karakteristik Penyakit Kulit Akibat Infeksi berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin yang dikelompokkan menjadi perempuan dan laki-


laki, diperoleh distribusi penderita Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi di Puskesmas
Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021 sebagai berikut :
Tabel 4.3.1 Distribusi Dermatitis Atopik Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah kasus Prevalensi (%)


Laki-laki 20 55,6
Perempuan 16 44,4

Pada tabel 4.3.1, terdapat penderita dermatitis atopik di Puskesmas


Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan
jenis kelamin didapatkan pada populasi laki-laki sebanyak 20 penderita (55.6%),
sedangkan jumlah penderita perempuan berjumlah 16 penderita (44.4%)

Tabel 4.3.2 Distribusi DKA Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah kasus Prevalensi (%)


Laki-laki 85 37,1
Perempuan 144 62,9

Pada tabel 4.3.2, terdapat penderita DKA di Puskesmas Karanglewas


Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan jenis kelamin
didapatkan pada populasi perempuan sebanyak 144 penderita (62,9%), sedangkan
jumlah penderita laki-laki berjumlah 85 penderita (37,1%)

Tabel 4.3.3 Distribusi DKI Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah kasus Prevalensi (%)


Laki-laki 1 33,3
Perempuan 2 66,7
Pada tabel 4.3.3, terdapat penderita DKI di Puskesmas Karanglewas
Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan jenis kelamin
didapatkan pada populasi perempuan sebanyak 2 penderita (66,7%), sedangkan
jumlah penderita laki-laki berjumlah 1 penderita (33,3%)

Tabel 4.3.4 Distribusi Dermatitis Numularis Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah kasus Prevalensi (%)


Laki-laki 295 50,2
Perempuan 293 49,8

Pada tabel 4.3.4, terdapat penderita dermatitis numularis di Puskesmas


Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan
jenis kelamin didapatkan pada populasi laki-laki sebanyak 295 penderita (50,2%),
sedangkan jumlah penderita perempuan berjumlah 293 penderita (49,8%)

Tabel 4.3.5 Distribusi Dermatitis Intertrigo Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah kasus Prevalensi (%)


Laki-laki 1 50.0
Perempuan 1 50.0

Pada tabel 4.3.5., terdapat penderita dermatitis intertrigo di Puskesmas


Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan
jenis kelamin sama antara laki-laki dan perempuan yaitu didapatkan pada populasi
laki-laki sebanyak 1 penderita (50,0%), sedangkan jumlah penderita perempuan
berjumlah 1 penderita (50,0%)

Tabel 4.3.6 Distribusi Dermatitis Non Spesifik Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah kasus Prevalensi (%)


Laki-laki 369 27.0
Perempuan 999 73.0
Pada tabel 4.3.6., terdapat penderita dermatitis non spesifik di Puskesmas
Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan
jenis kelamin didapatkan lebih banyak di populasi perempuan berjumlah 999
penderita (73.0%). Sedangkan pada populasi laki-laki sebanyak 369 penderita
(27,0%).

4. Karakteristik Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi berdasarkan Jaminan Kesehatan

Berdasarkan jaminan yang dikelompokkan menjadi umum, JKN dan JPS,


BPJS, dan HI diperoleh distribusi penderita Penyakit Kulit Akibat Non Infeksi di
Puskesmas Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021 sebagai berikut :
Tabel 4.4.1 Distribusi Dermatitis Atopik Menurut Jaminan Kesehatan

Jaminan Jumlah kasus Prevalensi


Umum 17 47,2
JKN 13 36,1
JPS 6 16,7
BPJS 0 0
HI 0 0

Pada tabel 4.4.1, terdapat penderita dermatitis atopik di Puskesmas


Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan
jaminan didapatkan pada pengguna umum sebanyak 17 orang (47,2%). Pengguna
JKN sebanyak 13 orang (36,1%) dan JPS sebanyak 6 orang (16,7%).

Tabel 4.4.2 Distribusi DKA Menurut Jaminan Kesehatan

Jaminan Jumlah kasus Prevalensi


Umum 93 40,6
JKN 87 38,0
JPS 44 19,2
BPJS 5 2,2
HI 0 0
Pada tabel 4.4.2, terdapat penderita DKA di Puskesmas Karanglewas
Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan jaminan
didapatkan pada pengguna umum sebanyak 93 orang (40,6%). Pengguna JKN
sebanyak 87 orang (38,0%), JPS sebanyak 44 orang (19,2%), dan BPJS sebanyak
5 orang (2,2%).

Tabel 4.4.1 Distribusi DKI Menurut Jaminan Kesehatan

Jaminan Jumlah kasus Prevalensi


Umum 1 33,3
JKN 2 66,7
JPS 0 0
BPJS 0 0
HI 0 0

Pada tabel 4.4.3, terdapat penderita DKI di Puskesmas Karanglewas


Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan jaminan
didapatkan pada pengguna JKN sebanyak 2 orang (66,7%) dan selanjutnya
pengguna umum sebanyak 1 orang (33,3%).

Tabel 4.4.4 Distribusi Dermatitis Numularis Menurut Jaminan Kesehatan

Jaminan Jumlah kasus Prevalensi


Umum 214 36,4
JKN 312 53,1
JPS 57 9,7
BPJS 5 0,9
HI 0 0

Pada tabel 4.4.4, terdapat penderita dermatitis numularis di Puskesmas


Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan
jaminan didapatkan pada pengguna JKN sebanyak 312 orang (53,1%). Pengguna
umum sebanyak 214 orang (36,4%), JPS sebanyak 57 orang (9,7%), dan BPJS
sebanyak 5 orang (0,9%).
Tabel 4.4.5 Distribusi Dermatitis Intertrigo Menurut Jaminan Kesehatan

Jaminan Jumlah kasus Prevalensi


Umum 0 0
JKN 0 0
JPS 0 0
BPJS 2 100
HI 0 0

Pada tabel 4.4.5, terdapat penderita dermatitis intertrigo di Puskesmas


Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, seluruh penderita menggunakan
BPJS yaitu sebanyak 2 orang (100%).

Tabel 4.4.6 Distribusi Dermatitis Non Spesifik Menurut Jaminan Kesehatan

Jaminan Jumlah kasus Prevalensi


Umum 586 42,8
JKN 626 45,8
JPS 133 9,7
BPJS 23 1,7
HI 0 0

Pada tabel 4.4.6, terdapat penderita dermatitis non spesifik di Puskesmas


Karanglewas Purwokerto periode 2019 – 2021, proporsi terbanyak berdasarkan
jaminan didapatkan pada pengguna JKN sebanyak 626 orang (45,8%). Pengguna
umum sebanyak 586 orang (42,8%), JPS sebanyak 133 orang (9,7%), dan BPJS
sebanyak 23 orang (1,7%).

B. Pembahasan

Penelitian ini mendapatkan total 2226 sampel penelitian yang termasuk


dalam kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel yang didapatkan dari data sekunder
pasien penderita penyakit kulit akibat non infeksi yang melakukan pemeriksaan
di Puskesmas Karanglewas Purwokerto dari tahun 2019-2021.
Berdasarkan distribusi usia, penyakit dermatitis atopik paling banyak pada
usia diatas 18 tahun sebanyak 75% kasus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Indrastiti dkk tahun 2015 di RSUD Tugurejo Semarang. Yang
menunjukkan 70% responden dengan diagnosis dermatitis atopik merupakan
pasien lansia. Meski banyak penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa
distribusi kasus de rmatitis atopik paling banyak pada usia anak-anak, seperti
penelitian di Palembang yang dilakukan oleh Eliska dkk tahun 2015, paling
banyak kasus dermatitis atopik terjadi pada kelompok usia 0-3 tahun sebanyak 23
pasien (43,4%). Hal ini serupa dengan penelitian DA di Korea yang menujukkan
pasien DA pada anak lebih banyak pada kelompok usia 0-3 tahun dan dibawah 5
tahun yaitu 47,6%. Jumlah anak-anak menjadi paling banyak dikarenakan sistem
imun anak belum sempurna, ada paparan terhadap allergen lingkungan, dan
meningkatnya kesadaran terhadap munculnya DA juga bisa menjelaskan
peningkatan angka pada kelompok usia 0-3 tahun. Meskipun ada perbedaan
distribusi usia pada penelitian ini dengan mayoritas penelitian sebelumnya, hal
ini bisa terjadi karena perbedaan profil penduduk yang berbeda.
Serupa dengan dermatitis atopi, penyakit DKA juga paling banyak pada
usia diatas 18 tahun sebanyak 72,5%. Serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Chairunisa dkk tahun 2009-2012 di Palembang yang menunjukkan bahwa
Secara keseluruhan usia terbanyak adalah kelompok usia 48-55. Hal ini bisa
disebabkan oleh karena penurunan daya tahan tubuh pada usia ini sedangkan
pada usia tersebut masih banyak pekerjaan yang berpaparan langsung dengan
alergen. Meskipun usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi sehingga tidak
hanya pada usia dewasa, dermatitis kontak alergik juga dapat mengenai segala
usia (Sunaryo, 2014).
Distribusi kasus DKI sebanyak 100% pada usia diatas 18 tahun. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya di Dr Soetomo Surabaya, yang
menunjukkan Selama 3 tahun (2010-2012) kunjungan terbanyak dermatitis
kontak iritan terdapat pada kelompok umur 25-44 tahun (56%). hal ini bisa
terjadi karena usia tersebut merupakan usia produktif kerja, dan beresiko tinggi
terpapar bahan iritan saat kerja (Honari et al., 2012).
Pada penelitian ini 72,3% pasien dermatitis numularis berusia diatas 18
tahun. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrastuti dkk tahun 2019
di Yogyakarta yang menunjukkan distribusi dermatitis numularis rata-rata di usia
27 tahun. Hal ini didukung dengan jurnal yang ditulis oleh Hardin dkk yang
menyatakan bahwa dermatitis numular adalah dermatosis inflamasi pruritik yang
paling sering dijumpai pada orang dewasa paruh baya. Banyak pemicu potensial
telah diidentifikasi, namun etiologinya masih belum dipahami sepenuhnya
(Bonamonte et al., 2012).
Sebanyak 73% kasus dermatitis non spesifik terjadi pada pada usia diatas
18 tahun. Dermatitis non spesifik merupakan diagnosis eksklusi dari dermatitis
jenis lainya. Bentuk lesi yang tidak khas, distribusi dan penyebab yang tidak jelas
menjadi alasan diagnosis ini dipilih. Spektrum eksim dan dermatitis yang luas
dan diagnosisnya yang bergantung pada gejala klinis, yang seringkali sulit untuk
diklasifikasikan dengan benar bahkan oleh seorang dokter yang sudah
berpengalaman, karena fitur klinis dan patomekanisme dari berbagai jenis eksim
tumpang tindih (Dorynska & Radoslaw, 2012).
Berbeda dengan penyakit lain, dermatitis intertrigo laki-laki dan
perempuan memiliki distribusi yang sama. Hal ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin bertambah usia, maka akan
meningkatkan resiko terkena dermatitis intertrigo. Hanya ada sedikit studi
empiris yang menjelaskan epidemiologi intertrigo. Dalam studi prospektif di dua
unit dermatologi di Senegal, prevalensi intertrigo dilaporkan 2,5% pada individu
dewasa dengan rata-rata usia 41,5 tahun. Sejumlah faktor individu dan
lingkungan berkaitan dengan kondisi ini. Seperti hiperhidrosis, kebersihan yang
buruk, malnutrisi dan peningkatan usia. Penuaan secara umum dikaitkan dengan
sejumlah perubahan kulit seperti peningkatan permukaan kulit. Kekeringan kulit
juga merupakan masalah umum pada pasien usia lanjut yang sering dikaitkan
dengan penurunan hidrasi stratum cor-neum (SCH) dan penurunan kehilangan air
transepi-dermal (TEWL) yang meningkatkan resiko terjadinya dermatitis
intertrigo (Gabriel et al., 2019). Perbedaan penelitian ini dengan hasil penelitian
sebelumnya bisa saja terjadi dikarenakan jumlah sampel yang sedikit.
Pada penelitian ini, distribusi jenis kelamin pada dermatitis atopic paling
banyak pada laki-laki. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang sudah ada
sebelumnya. Penelitian yang dilakukan di RS Karyadi 2012-2013 menunjukkan
bahwa penderita dermatitis atopi paling banyak pada perempuan yaitu 61,39%
dan laki-laki hanya 38,61%. Serupa dengan penelitian di RSUP Palembang tahun
2011-2013 menunjukkan perempuan merupakan jumlah terbanyak yang
menderita dermatitis atopic. Perbedaan hasil penelitian ini bisa disebabkan
karena distribusi sampel dan kondisi social budaya yang berbeda.

Distribusi jenis kelamin pada DKA di penelitian ini menunjukkan paling


banyak pada perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
yang salah satunya dilakukan di Semarang tahun 2014 yang menunjukkan DKA
lebih sering pada perempuan yaitu 71,4%. Hal ini bisa dikarenakan penggunaan
kosmetik yang lebih sering di lakukan oleh perempuan dibanding laki-laki.
Kebiasaan penggunaan, sering bergonta ganti kosmetik, penggunaan parfum, dan
bahan logam dapat meningkatkan resiko terjadinya DKA (Menaldi, 2015).

Sementara ini distribusi jenis kelamin pada DKI di penelitian ini


menunjukkan bahwa lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 66,7%.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Surabaya tahun 2010-2012
yang menunjukkan jumlah penderita DKI lebih banyak pada laki-laki yaitu
64,3%. Hal ini bisa terjadi karena memang jenis kelamin bukan merupakan
faktor endogen yang menyebabkan kulit seseorang rentan terhadap paparan
bahan dari luar, namun hal ini semata-mata terjadi tergantung dari jenis dan lama
kontak terhadap bahan paparan itu sendiri (Hanori et al., 2012).

Penderita dermatitis numularis pada penelitian ini paling banyak pada jenis
kelamin laki-laki yaitu 50,2%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh American Academy of Dermatology National yang menyatakan bahwa laki-
laki lebih sering menderita dermatitis numularis dibanding perempuan. Hal ini
bisa terjadi karena kondisi kelembaban kulit yang berbeda, yang mana kondisi
kulit yang kering meningkatkan terjadinya dermatitis numularis (Bonamonte et
al., 2012).

Distribusi jenis kelamin pada dermatitis intertrigo antara laki-laki dan


perempuan tidak ada bedanya di penelitian ini. Seharusnya jenis kelamin wanita
yang memiliki peluang lebih besar menderita dermatitis intertrigo hal ini
berkaitan dengan kecenderungan wanita utamanya usia tua yang obesitas, yang
mana hal ini meningkatkan resiko terjadinya dermatitis intertrigo (Cotterell et al.,
2020).

Pada penelitian ini, distribusi dermatitis non spesifik paling banyak pada
perempuan yaitu sebanyak 55%. Belum ada penelitian sebelumnya yang
membahas tentang dermatitis non spesifik dan distribusinya.
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa pembayaran yang digunakan
oleh mayoritas pasien di Puskesmas Karanglewas Purwokerto dari tahun 2019-
2021 adalah menggunakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sementara
mayoritas kedua menggunakan pembayaran umum. Hal ini menjadi catatan,
karena masih banyak masyarakat yang berobat ke Puskesmas dengan
pembayaran umum. Dalam Sidang WHO Executive Board ke 144 tahun 2019,
telah disepakati WHO 13th General Program of Work untuk dicapai pada tahun
2023 oleh semua negara anggota WHO, termasuk Indonesia. Salah satu target
yang harus dicapai ialah 1 miliyar orang mendapat manfaat UHC (Universal
Health Coverage). Ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi Pemerintah
daerah Banyumas dalam mengupayakan tercapainya UHC di wilayah Banyumas,
agar semua warga Banyumas memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang komprehensif dan bermutu tanpa hambatan finansial.
TINJAUAN PUSTAKA

Bonamonte D, Foti C, Vestita M, Ranieri LD, Angelini G. Nummular eczema and


contact allergy: a retrospective study. Dermatitis. 2012 Jul-Aug;23(4):153-7

Brasch J, Becker D, Aberer W, Bircher A, Kranke B, Jung K, et al. Guideline Contact


Dermatitis. Allergo J Int. 2014; 23: 126-38.

Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic contact dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Dalam: Fitzpatrick‟s
Dematology in General Medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill;
2012.

Cotterell, L. Ralph, B. & Dale, C. 2020. Managing intertriginous dermatitis


(intertrigo) with a Total Barrier ProtectionTM strategy. Wounds UK, Vol 16,
No 4.

Dorynska, A & Radoslaw, S. 2012. Epidemiology of Skin Diseases from the


Spectrum of Dermatitisand Eczema. Malaysian Journal of Dermatology.
Volume 29.

Gabriel, S., Elisabeth H., Ulrike Blume-Peytavi & Jan K. 2019. Prevalence and
associated factors ofintertrigo in aged nursing home residents:a multi-center
cross-sectional prevalencestudy. BMC Geriatrics, 19:105
Honari G, Taylor JS, Sood A. Occupational skin disease due to irritants and allergens.
In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K,
editors. Fitzpatrick's dermatology in th general medicine. 8 ed. New York:
McGraw Hill Companies; 2012.p.2612-22.

Ingram R.J. Eczematous Disorders. Dalam: Griffiths C. Barker J. Bleiker T. Chalmers


R. Creamer D. penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-9.
Oxford: Blackwell; 2016.h.39.7-39.9.

Menaldi SLSW. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2015

Rożalski M, Rudnicka L, Samochocki Z. Atopic and Non-atopic Eczema. Acta


Dermatovenerol Croat. 2016 Jun;24(2):110-5

Schneider L, Tilles S, Lio P, et al. Atopic dermatitis: a practice parameter update


2012. J Allergy Clin Immunol. 2013;131(2):295-9.

Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,


editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hlm. 129-53

Sunaryo Y. Profil Dermatitis kontak di poliklinik Kulit dan Kelamin BLU RSUP
Prof.Dr.R.D.KandouManado periode Januari –Desember 2013
(Skripsi).Manado: FK Unsrat; 2014.

Todorova A. Eropean handbook of dermatological treatments. Katsambas AD, Lotti


TM, Dessinioti C, D’Erme AM editor. Edisi ke-3. New york: Springer.
2015.h.671-680.

Watson W. & Kapur S. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.
2011;7: Suppl 1:S4
Yu J-S, Lee C-J, Lee H-S, Kim J, Han Y, Ahn K. 2012. Prevalence of atopic
dermatitis in Korea: analysis by using national statistic. J Korean Med Sci.
25;1828-30

Anda mungkin juga menyukai