Anda di halaman 1dari 37

Bed Site Teaching

DERMATITIS ATOPIK

Oleh

Faridatul Lutfi 1810312111

Preseptor :

Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.D.V.E, Subsp, D.K.E, M. Ag, FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah


SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Bed Site Teaching dengan judul Moluskum Kontangiosum ini yang
merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Bagian Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang. Keberhasilan
dalam penyusunan Bed Site Teaching ini telah dibantu oleh berbagai pihak. Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Satya Wydya
Yenny, Sp. D.V.E, Subsp, D.K.E, M. Ag, FINSDV, FAADV selaku preseptor dan dr.
Deasy Archika A selaku pendamping preseptor dalam penyusunan tugas ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah Bed Site
Teaching ini dapat memberikan manfaat bagi pelayanan rumah sakit, dunia
pendidikan, instansi, dan masyarakat luas. Akhir kata, segala saran dan masukan akan
penulis terima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 20 Oktober 2023

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis Atopik merupakan penyakit kulit berupa peradangan yang kronis
residif, disertai rasa gatal yang mengenai bagian tubuh tertentu dan umumnya
dikaitkan dengan manifestasi atopik lain seperti alergi makanan, rhinitis alergi, dan
asma1,2. Dermatitis atopik ditandai rasa gatal ringan sampai berat, bersifat
kekambuhan, sebagian besar muncul pada saat bayi dan anak.3,4 Prevalensi DA
meningkat tiga kali lipat Sejak tahun 1960.3 Peningkatan insidensi DA kemungkinan
disebabkan oleh beberapa faktor misalnya urbanisasi, polusi, dan hygiene
hypothesis.5 DA merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia, dengan prevalensi
pada anak sebesar 10-20% dan pada dewasa sekitar 1-3%.3 Sebanyak 50% kasus DA
muncul pada tahun pertama kehidupan. 4 Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi
antar negara dari 1,1% pada usia 13-14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12
tahun di Singapura.6
Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis dermatitis atopik, antara lain
faktor genetik terkait dengan kelainan sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor
lingkungan.7 Terdapat peningkatan transepidermal water loss (TEWL), kulit kering,
dan peningkatan kadar serum IgE pada pasien DA. Kulit kering memudahkan
masuknya alergen, iritan, dan keadaan patologik kulit.5 Sitokin IL-2, IL-6, dan IL-8
berperan pada pruritus pasien DA.8 Berdasarkan gambaran klinis, DA dapat dibagi
menjadi 3 bentuk yaitu DA pada bayi (2 bulan-2 tahun), anak (2–10 tahun), dan
dewasa (lebih dari 10 tahun). Gejala utama DA berupa gatal didapatkan pada semua
tingkatan DA.4
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat pasien.
Beberapa kriteria diagnosis telah diajukan oleh banyak pakar dermatologi, namun
yang sering digunakan di Indonesia adalah kriteria Hanifin Rajka yang meliputi
kriteria mayor dan minor. Kriteria William merupakan kriteria diagnosis yang praktis,
biasanya digunakan pada studi epidemiologis. Diagnosis DA sering dikaitkan dengan
penentuan derajat keparahan DA karena hal ini akan berkaitan dengan pemberian
terapi. Derajat keparahan DA menggunakan skala perhitungan yang diajukan oleh
pakar dermatologi di Eropa yaitu indeks Scoring for Atopic Dermatitis (SCORAD).5
Pedoman Asia Pasifik membuat penatalaksanaan yang holistik pada DA yang
tertuang dalam 5 pilar penatalaksanaan DA meliputi edukasi pasien, pencegahan dan
modifikasi faktor pencetus, peningkatan fungsi sawar kulit yang optimal,
penatalaksanaan kelainan kulit inflamasi, dan kontrol siklus gatal garuk.6 Saat ini
telah didapatkan kemajuan dalam penatalaksanaan DA, namun oleh karena sifat
penyakit yang kronis dan residif, secara umum belum didapatkan pengobatan DA
yang memuaskan. Kepatuhan terhadap terapi biasanya rendah disebabkan lamanya
kebutuhan penggunaan obat, baik pada periode kambuh maupun periode
pemeliharaan. Kegagalan terapi atau terapi yang tidak adekuat, dapat menyebabkan
lesi radang yang rekuren, mengganggu kualitas hidup pasien dan keluarganya, serta
menyebabkan gangguan tidur yang persisten.

1.2 Batasan Penulisan


Makalah ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
klasifikasi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dermatitis atopik.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah Bed Site Teaching (BST) ini bertujuan untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman mengenai dermatitis atopik.

1.4 Manfaat Penulisan


Makalah ini ditulis berdasarkan pemeriksaan pasien dengan menggunakan metode
tinjauan pustaka dengan mengacu kepada beberapa literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dermatitis atopik merupakan kondisi inflamasi kronik pada kulit yang dihubungkan
dengan gatal, nyeri, dan gangguan tidur. Dermatitis Atopik (DA) bersifat kronis dan
residif yang disebabkan oleh reaksi alergi dan bersifat menurun. Dermatitis atopik
dapat berkembang menjadi penyakit atopik lainnya, misalnya asma dan rhinitis alergi.
Seseorang dengan DA akan lebih rentan terkena asma dan rhinitis alergi dibandingkan
seseorang tanpa dermatitis atopik.1

2.2 Epidemiologi

Dermatitis atopik awalnya dianggap penyakit anak usia dini, dengan


prevalensi 15% - 25% pada anak-anak, namun bukti terbaru menunjukkan bahwa
dermatitis atopik juga sangat umum pada orang dewasa dengan prevalensi 1% - 10%.
Sebanyak 45% kasus DA dimulai dalam enam bulan pertama kehidupan, 60% selama
tahun pertama, dan 80% - 90% sebelum tahun kelima kehidupan. Perjalanan DA
dapat berlanjut selama bertahun-tahun tetapi dapat juga menunjukkan pola relaps-
remitting.9

Berdasarkan penelitian dari berbagai Negara, terjadi peningkatan prevalensi


DA dalam 5 hingga 10 tahun terakhir. Prevalensi dermatitis atopik di Indonesia
sebesar 1,1% pasien DA usia 13-14 tahun. Pada tahun 2013 dari laporan 5 rumah
sakit yang melayani dermatologi anak yaitu RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, RS
Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Dr. Kandou Manado,
RSU Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus
diantara 2356 pasien baru (11,8%), sedangkan di RSUP M. Djamil Padang, kasus DA
merupakan 5 besar penyakit terbanyak di Poliklinik kulit dan kelamin pada tahun
2014. Prevalensi DA pada usia dewasa dalam populasi keseluruhan di Amerika
Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang masing-masing 4,9%, 4,4%, 3,5% dan
2,1%.9

2.3 Etiopatogenesis

Beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan DA berhubungan dengan interaksi


antara penurunan fungsi sawar kulit, sistem imun, genetik, serta faktor pemicu
lainnya seperti faktor lingkungan maupun agen infeksi.10

1. Penurunan fungsi sawar kulit


Kulit merupakan organ terluar yang melindungi tubuh dari lingkungan sekitarnya dan
membantu tubuh berinteraksi dengan lingkungan. Fungsi kulit antara lain mencegah
keluarnya cairan berlebihan dari dalam tubuh dan menahan substansi yang merugikan
masuk ke dalam tubuh; hal ini terutama dilakukan oleh lapisan epidermis paling luar,
yaitu stratum korneum. Pada DA kulit menjadi kering; hal ini berhubungan dengan
disfungsi permeabilitas sawar epidermis yaitu hilangnya fungsi mutasi gen filaggrin
(FLG). Gen ini mengkode protein profilargin sebagai prekusor struktur protein FLG
pada diferensiasi kompleks epidermal. FLG terekspresi pada granula keratohialin
selama diferensiasi terminal epidermis (Gambar 1). Setelah keratinosit menjadi padat,
protein FLG melepaskan natural moisturizing factor (NMF).11

2. Imunopatogenesis dermatitis atopik


Umumnya pasien DA memiliki peningkatan jumlah eosinofil dan kadar
serum Immunoglobulin E (IgE). Hal ini berhubungan dengan mekanisme imunologi
dan seluler yang berperan penting dalam patogenesis DA. Kelainan imunopatogenesis
utama DA berkaitan dengan sel T helper (Th), yang berfungsi mengenali antigen dan
mengatur respon imun seperti inflamasi, pertahanan terhadap infeksi virus, serta
proliferasi sel T dan B spesifik. Sel Th berperan utama dalam patogenesis DA dimana
jumlah Th 2 lebih banyak pada penderita atopi sedangkan jumlah Th1 menurun.12

Pada DA terdapat 2 tipe sel dendritik dengan afinitas tinggi terhadap IgE
(reseptor IgE yang mengandung mieloid) yaitu sel Langerhans (SL) dan sel epidermal
dendritik inflamasi (SEDI). SL yang mengandung IgE tampaknya berperan penting
pada presentasi alergen kulit pada sel Th2 yang memproduksi IL-4, dimana pada DA
akut Th2 yang terlibat dan sitokin terutama IL-4, IL-5 dan IL-13 serta penurunan
IFN-γ, yang memediasi perubahan isotipe imunoglobulin ke sintesis IgE dan
meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotelial. Berbeda halnya
dengan DA kronis yang melibatkan produksi sitokin Th1, IL-12, IL-18, dan IL-5,
serta IFN-γ yang mengalami upregulation dalam keratinosit.12

Gambar 1. Proses dan fungsi filaggrin pada epidermis


Gambar 2. Fase akut dan kronik dari dermatitis atopi

3. Genetik
Bila salah satu orang tua memiliki riwayat DA, maka insiden terkena DA menjadi
dua kali lipat pada anaknya. Insiden ini menjadi tiga kali lipat bila riwayat DA
ditemukan pada kedua orang tua.25 Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat dengan
DA yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25. Hal ini masih paradoksal karena
psoriasis dengan gambaran klinis yang berbeda juga terkait dengan kromosom yang
sama. Selain itu, kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit atopi
lainnya. Juga ditemukan peran kromosom lainnya seperti 5q31-33 sebagai penyandi
gen sitokin Th2.12
Faktor-faktor pencetus lainnya
DA merupakan hasil interaksi kompleks dari berbagai faktor, antara lain genetik,
sistem imun, disfungsi sawar kulit dan berbagai faktor pencetus lainnya baik yang
bersifat alergik maupun non alergik.13

Makanan
Banyak studi yang selama bertahun-tahun meneliti hubungan antara DA dan
hipersensitifitas terhadap makanan pada anak dan dewasa. Diperkirakan 30-40% bayi
dan anak usia muda menderita DA sedang sampai berat dengan alergi makanan
sebagai faktor pencetus. Prevalensi tertinggi alergi makanan dijumpai pada bayi,
menurun pada usia anak, dan makin berkurang pada dewasa. Makanan yang paling
sering sebagai faktor pencetus ialah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah.14
Alergi makanan sering dimulai pada tahun pertama kehidupan dimana saluran
cerna bayi baru lahir akan terpapar dengan protein makanan dalam ASI serta
lingkungan sekitar yang dikelilingi bakteri. Hal ini merupakan suatu perubahan
dramatis dengan kondisi bayi sebelumnya di dalam rahim yang hanya menelan air
ketuban steril dan bebas alergen. Umumnya akibat proses sensitisasi dan reaksi
hipersensitifitas spesifik terhadap protein makanan, terbentuk IgE spesifik terhadap
makanan. Alergen makanan cepat diabsorpsi dan melewati sawar mukosa saluran
cerna melalui aliran darah, kemudian dibawa ke seluruh tubuh dan menyebar ke sel
mast di kulit sehingga menimbulkan rasa gatal dan menyebabkan lesi DA. Hampir
85% pasien dengan DA menunjukkan tingginya kadar total IgE.14
Tabel 1. Jenis makanan dan protein

Gambar 3. Berbagai faktor penyebab dermatitis atopi


Aeroalergen
Paparan terhadap alergen inhalan seperti serbuk sari, jamur, tungau, dan bulu
binatang berhubungan dalam perjalanan penyakit pada beberapa kasus DA. Pertama
kali dilaporkan oleh Walker (1918), alergen inhalan nampaknya sering pada anak-
anak yang lebih tua dan orang dewasa yang mengakibatkan rasa gatal dan lesi atopik
setelah individu tersebut tersensitisasi secara inhalasi bronkial. Perbaikan klinis dapat
terjadi bila individu tersebut tidak terkena atau berada pada lingkungan yang kurang
alergen. Kadar IgE meningkat pada individu yang sering tersensitisasi dengan tungau,
serbuk sari, dan bulu binatang, serta berhubungan erat dengan tingkat keparahan
penyakit.13
Mekanisme bagaimana alergen dapat memasuki tubuh dan memperberat
eksema masih dalam perdebatan, namun hal ini berhubungan dengan fungsi sawar
kulit yang mendukung invasi alergen ke dalam epidermis. Penelitian Riley et al.
mendapatkan bahwa sensitisasi terhadap alergen inhalan dapat juga melalui
transkutan.13

Staphylococcus aureus
Infeksi S. aureus paling sering terjadi, diperkirakan sekitar 90% pada DA.18,20,29
Hal ini dikarenakan kemampuan bakteri tersebut untuk menyekresi toksin yang
dikenal sebagai superantigen. Bahan ini akan menstimulasi aktivasi sel T dan
makrofag. Mekanisme meningkatnya kolonisasi S. aureus pada DA masih belum
diketahui pasti, diduga akibat kombinasi berbagai faktor. Menggaruk merupakan
salah satu faktor penting karena dapat meningkatkan pengikatan bakteri akibat
terganggunya fungsi sawar kulit.13
Gambar 4. Peran Staphylococcus aureus pada patogenesis dermatitis atopi

Faktor-faktor ini didukung oleh berbagai studi, yaitu:


1) Lesi kulit pada DA akut dikolonisasi oleh S. aureus dengan jumlah lebih banyak
dibandingkan pada DA kronik;
2) Pengobatan dengan anti inflamasi seperti kortikosteroid topikal atau inhibitor
kalsineurin secara bermakna dapat mengurangi jumlah S.aureus pada kulit penderita
atopik;
3) Studi pada tikus mendapatkan jumlah bakteri lebih besar pada kulit yang dimediasi
oleh sel Th2 dibandingkan oleh sel Th1. Kegagalan fungsi sawar kulit akibat pH
meningkat, penurunan antimicrobial peptides (AMP), serta penurunan jumlah lemak
dan sphingosine (prekusor ceramides) merupakan predisposisi infeksi dan kolonisasi
S. aureus. Infeksi dan kolonisasi ini akan memperburuk disfungsi sawar. Strain
toksigenik sering menyebabkan infeksi klinis dan merangsang terjadinya pruritus
melalui enterotoksin dan induksi produksi IgE. Toksin yang bertindak sebagai
superantigen akan merangsang proliferasi sel T. Il-13 yang diproduksi oleh aktivasi
sel T menyebabkan pruritus.15
Stres

Gambar 5 Mekanisme stres menyebabkan dermatitis atopik


Studi terbaru menunjukkan faktorfaktor psiko-neuro-imunologi dan stres emosional
berperan penting dalam terjadinya DA. Stres dapat menyebabkan rusaknya fungsi
sawar kulit dan memicu terjadinya respon alergi atau Th2. Pada saat stres, saraf
sensoris melepaskan neuromediator yang meregulasi inflamasi dan respon imun
seperti pada penurunan fungsi sawar kulit. Respon hypothalamus-pituitary-adrenal
axis (HPA) pada sistem saraf pusat akan berespon terhadap stres psikologis dengan
meningkatkan regulasi hormon stres corticotrophin-releasing hormone (CRH) dan
adrenocorticotropic hormone (ACTH). CRH dan ACTH menstimulasi norepinefrin
(NE) dan pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal, serta langsung menstimulasi sel
imun dalam darah dan perifer melalui masing-masing reseptor. Akibatnya terjadi
umpan balik negatif dari kortisol pada CRH dan ACTH, kemudian hipotalamus dan
hipofisis. Produksi serotonin pada batang otak (5HT) meningkat. Substansi P (SP),
gastrin-releasing peptide (GRP), dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada
ganglia spinalis dorsalis juga meningkat. Pada kulit, sel-sel imun melepaskan sitokin,
kemokin, dan neuropeptida, yang memodulasi respon inflamasi lokal. Selain itu, saraf
sensoris melepaskan neuromediator yang memodulasi inflamasi kulit, nyeri, dan
gatal, serta mengirimkan rangsangan sensorik melalui ganglia spinalis dorsalis dan
medula spinalis ke area tertentu dari sistem saraf pusat. Sel mast kulit berhubungan
erat dengan substansi P (SP), CGRP, pituitary adenylate cyclase-activating protein
(PACAP), dan opioid releasing neurons. Kesemuanya akan memicu sintesis dan
sekresi mediator inflamasi sebagai respon terhadap berbagai rangsangan fisik dan
biokimia. Produksi lokal dari neurohormon dan neuropeptida dengan serabut saraf SP
terjadi pada kulit sebagai respon terhadap stress.16

2.4 Klasifikasi
Dermatitis atopik diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan organ tubuh, yaitu
dermatitis atopik murni dan dermatitis atopik dengan kelainan di organ lain.
Dermatitis atopik murni hanya terdapat di kulit, sedangkan DA dengan kelainan di
organ lain, misalnya asma bronkial, rhinitis alergi, serta hipersensitivitas terhadap
berbagai allergen polivalen. Dermatitis atopik murni terdiri atas 2 tipe, yaitu tipe
intrinsik dan ekstrinsik. Dermatitis atopik intrinsik adalah dermatitis atopik tanpa
bukti hipersensitivitas terhadap allergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE
total serum. Sedangkan dermatitis atopik ekstrinsik bila terbukti pada uji kulit
terdapat hipersensitivitas terhadap allergen hirup dan makanan.1

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala dan distribusi dermatitis atopik tergantung pada usia pasien. Dermatitis atopik
biasanya muncul selama tahun pertama kehidupan dengan papul eritematosa, bercak,
atau plak di wajah (terutama pipi), kulit kepala, batang tubuh, dan ekstremitas.1,2
Gejala yang ditemukan pada kulit diantaranya:2
Pada fase akut, terjadi erosi dengan eksudat serosa atau rum dan vesikel papular
yang sangat gatal pada dasar eritematosa.
Pada fase subakut, terdapat lesi yag ditandai dengan skuama atau plak di atas lesi
eritematosa.
Pada fase kronis, terdapat lesi yang berbentuk likenifikasi dan adanya perubahan
pigmen dengan papul dan nodul yang tereksoriasi. Lesi tersebut dapat mengalami
infeksi sekunder apabila digaruk. Lesi yang terinfeksi tersebut hadir muncul dengan
krusta kuning atau impetigo.
Manifestasi secara klinis pada dermatitis atopik juga dapat dibedakan berdasarkan
usia yang dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase infantil, fase anak-anak, dan fase dewasa.1
1. Fase infantile (2 bulan – 2 tahun)
Tempat predileksi utama pada bayi di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris.
Lesi dapat meluas hingga ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan,
dan tungkai. Seiring bertambahnya usia, fungsi motorik akan menjadi lebih sempurna
dan anak akan mulai belajar merangkak sehingga lesi kulit meluas hingga di bagian
ekstensor, misalnya lutut, siku, dan tempat-tempat yang mudah mengalami trauma.
Fase infantile dapat mereda dan menyembuh. Pada sebagian pasien dapat
berkembang menjadi fase anak atau fase remaja. Pada bayi dengan usia kurang dari 1
tahun, alergen seperti susu sapi, telur, dan kacang-kacangan masih menjadi alergen
yang berengaruh, sedangkan pada usia dewasa, alergen hirup menjadi lebih
berpengaruh dalam menimbulkan manifestasi dermatitis atopik.1
2. Fase anak (2 – 10 tahun)
Dermatitis atopik pada anak-anak terjadi karena tidak ada intervensi terhadap DA
yang terjadi pada masa infantile, atau muncul tanpa didahului dase infantile. Pada
anak-anak (biasanya pada usia 2 tahun), tanda-tanda DA lebih banyak terdapat pada
lipatan kulit, termasuk kelopak mata, leher, lipatan siku, poplitea, dan lipatan kulit
lainnya. Plak eritematosa akan terasa sangat gatal tanpa lesi yang terlihat sampai
terjadi garukan dan membentuk papil, eritem, atau likenifikasi. Lesi tersebut akan
bertahan lama dan menyebabkan terjadinya gangguan tidur. Pada fase ini pasien DA
lebih sensitive terhadap allergen hirup, wol, dan bulu binatang.1
3. Fase remaja dan dewasa (>13 tahun)
Tempat predileksi utama dermatitis atopik pada remaja dan dewasa adalah daerah-
daerah yang mirip dengan dermatitis atopik pada anak, tetapi dapat meluas hingga
mengenai kedua telapak tangan, bibir, leher bagian anterior, dan puting susu.
Manifestasi klinis berupa plak hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi,
ekskoriasi, dan skuamasi yang bersifat kronis. Rasa gatal pada dermatitis atopik
dewasa akan terasa lebih hebat saat istirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini
berlangsung kronik- residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih.1
2.5 Diagnosis Dermatitis Atopik
American Academy of Dermatology (AAD) telah menyederhanakan diagnosis
menggunakan kriteria diagnostik yang telah divalidasi sebelumnya. Dermatitis atopik
merupakan diagnosis klinis tanpa pemeriksaan laboratorium yang definitif.2

Kriteria diagnostik dermatitis atopik menurut AAD

1. Fitur penting yang harus ada untuk diagnosis


Riwayat kronis atau kekambuhan
Eksim (akut, subakut, kronis)
Pruritus
Morfologi khas dan pola sesuai usia*
2. Fitur penting yang mendukung diagnosis
Atopi (riwayat individu atau keluarga)
Onset usia dini
Reaktivitas imunoglonulin E
Xerosis
3. Fitur terkait yang menunjukkan diagnosis tetapi tidak spesifik
Respon vaskular atipikal (facial pallor, white dermographism)
Keratosis piliaris,
pityriasis alba, hyperlinear palm, atau ichtyosis
Perubahan okular atau periorbital
Aksentuasi perifolikular, likenifikasi, atau lesi prurigo
* pola meliputi: keterlibatan wajah, leher, ekstensor pada bayi dan anak-anak; lesi
fleksural pada semua kelompok usia;

Kriteria diagnosis dermatitis atopik di Indonesia yang paling sering digunakan yaitu
kriteria Hanifin- Rajka yang terdiri dari kriteria mayor dan minor.1
Kriteria Hanifin Rajka
1. Kriteria mayor (harus terdapat 3)
Pruritus (gatal)
Morfologi dan distribusi lesi: Wajah dan ekstensor pada bayi dan likenifikasi
fleksural pada dewasa
Bersifat kronik eksaserbasi
Ada riwayat atopi di keluarga
2. Kriteria minor (harus terdapat 3 atau lebih)
Xerosis/kulit kering
Iktiosis
Hiperlinearis palmaris
Keratosis pilaris
Alergi tipe I / peningkatanserum IgE
Dermatitis tangan / kaki Cheilitis
Dermatitis papilla mamae
Terdapat peningkatan S. aureus dan virus herpes simpleks
Keratosis perifolikuler
Pitiriasis alba
Awitan usia dini
Konjungtivitis berulang
Lipatan Dennie-Morgan
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intoleran terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan atau emosi
White dermographism dan delayed blanch response
Kriteria William yang lebih sederhana untuk menentukan diagnosis penyakit DA
sebagai berikut.1
 Harus ada: Kulit gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
 Ditambah dengan adanya tiga ataupun lebih tanda-tanda berikut:
1. Riwayat perubahan kulit di fosa kubiti, poplitea, bagian anterior dorsum
pedis, atau di sekitar leher (termasuk kedua pipi pada anak dengan usia kurang
dari 10 tahun)
2. Riwayat asma atau hay fever pada anak-anak (riwayat atopi kurang dari 4
tahun pada generasi 1 di dalam keluarga)
3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun.
4. Dermatitis pada bagian fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak
usia kurang dari 4 tahun)
5. Awitan terjadi di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak kurang dari
4 tahun)
Penentuan derajat keparahan dermatitis atopik berhubungan dengan terapi yang akan
diberikan. Derajat keparahan dermatitis atopik menggunakan skala yang diajukan
oleh seorang ahli dermatologi Eropa, yaitu dengan menggunakan indeks Scoring for
Atopic Dermatitis (SCORAD)1. Penilaian SCORAD:
A. Penilaian luas penyakit
Pada penilaian ini, luas lesi kulit yang dihitung adalah lesi inflamasi dan tidak
termasuk kulit kering dengan menggunakan metode “rule of nine” dan selanjutnya
lesi digambarkan pada selembar kertas kosong untuk kemudian dievaluasi. Luas
telapak tangan pasien menggambarkan 1% dari luas permukaan tubuh. Namun pada
anak yang berusia kurang dari 2 tahun, terdapat sedikit perbedaan dalam penilaian
“rule of nine”, yaitu pada area kepala dan tungkai bawah.1
B. Penilaian intensitas

Eritema, papul/edema, eksudasi/krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit kering


merupakan hal yang dinilai pada morfologi lesi. Setiap morfologi lesi dinilai
intensitasnya berdasarkan panduan yang terdapat pada gambar atau foto dengan
indeks 0 = tidak ada lesi, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat.1
C. Penilaian subjektif
Penilaian terhadap keluhan subjektif dilakukan dengan menanyakan adanya rasa gatal
dan gangguan terhadap tidur pada 3 hari terakhir. Penilaian ini juga dilakukan dengan
menggunakan Visual Analog Scale (VAS) yang dinyatakan dalam skor 0 – 10
terhadap masing-masing kriteria.1
Total nilai indeks SCORAD: A/5 + 7B/2 + C
Keterangan :
A : adalah jumlah luas permukaan kulit yang terkena dermatitis atopik di luar kulit
kering dengan mengikuti rule of nine dengan jumlah skor tertinggi kategori A adalah
100.
B : adalah jumlah dari 6 kriteria inflamasi yaitu eritema/kemerahan, edema/ papul/
gelembung yang melepuh, oozing/krusta, ekskoriasi, likenifikasi/berkerak/bersisik,
keringan kulit, semua mempunyai nilai masing-masing berskala 0-3 (0 = tidak ada, 1
= ringan, 2 = sedang, 3 = berat), jumlah skor tertinggi kategori B ini adalah 18.
C : adalah jumlah dari nilai gatal dan gangguan tidur dengan skala 0 – 10 dengan
jumlah skor tertinggi kategori C adalah 20.
Gambar 6. Indeks SCORAD

Berdasarkan dari penilaian SCORAD, dermatitis atopik digolongkan menjadi


beberapa derajat keparahan:
1. Dermatitis atopik ringan (SCORAD < 15) perubahan warna kulit
menjadi kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi
sekunder.
2. Dermatitis atopik sedang (SCORAD 15 – 40) kulit kemerahan, infeksi
kulitringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.
3. Dermatitis atopik berat (SCORAD > 40) kemerahan kulit, gatal,
likenifikasi,gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat.1
2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Immunoglobulin

Kadar Ig E biasanya meningkat pada 80 sampai 90% penderita dermatitis


atopik. Peningkatan kadar Ig E erat hubungannya dengan tingkat keparahan
penyakit, dan tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi,
ataupun sedang mendapat pengobatan. Kadar Ig E ini biasanya akan kembali
normal 6 sampai 12 bulan setelah remisi. Beberapa tehnik pemeriksaan
terhadap kadar Ig Eini dapat dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-
linked immunosorbent assay), ataupun RAST (Radio allergosorbent test).17

2. Bakteriologi

Pada kulit penderita dermatitis atopik yang aktif biasanya sering dijumpai
bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus walaupun tanpa gejala klinis
infeksi.17

3. Uji tusuk (Skin Prick Test)

Merupakan uji kulit yang sering dilakukan pada anak yang dicurigai
menderita dermatitis atopik. Tempat uji adalah pada volar lengan bawah
dengan jarak 2 cm dari pergelangaan tangan dan lipat siku. Setelah
meletakkan alergen pada permukaan kulit kemudian kulit ditusuk dengan
kedalaman 1 mm dengan menggunakan lanset. Sebagai kontrol positif
digunakan histamin dan untuk kontrol negatif digunakan larutan gliserin.
Reaksi terhadap alergen dibaca 15 menit kemudian dan dikatakan positif bila
dijumpai rasa gatal, eritema dan urtikaria.17

4. Uji tempel (Atopy Patch Test)

Uji ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap


aeroalergen pada dermatitis atopik. Uji dilakukan selama masa remisi
penyakit. Sekitar 25 sampai 150 alergen pada plastik uji ditempelkan pada
punggung bagian atas penderita dengan menggunakan bahan perekat yang
hipoalergenik. Sebagai kontrol positif di gunakan histamin sedangkan
sebagai kontrol negatif digunakan larutan salin. Hasil pembacaan dilakukan
pada 48 jam, 72 jam dan 96 jam kemudian. reaksi dikatakan positif apabila
dijumpai eritema, papul, kulit terasa gatal, dan pada yang ekstrim dapat
dijumpai vesikel, reaksi seperti terbakar dan kulit melepuh.17

5. Uji eliminasi dan provokasi

Uji ini biasanya dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap


makanan sebagai salah satu pencetus terjadinya dermatitis atopik. Eliminasi
makanan dilakukan selama tiga minggu sebelum dilakukan uji provokasi.
Uji provokasi makanan (food challenge) dimulai dengan makanan yang
paling tidak dicurigai akan menimbulkan reaksi alergi. Bila setelah 1
minggu dijumpai gejala alergi maka makanan tersebut dicurigai sebagai
penyebab alergi dan apabila dalam tiga kali provokasi di waktu yang
berbeda dijumpai reaksi yang sama maka makanan tersebut dinyatakan
definitif penyebab alergi.17
2.7 Diagnosis Banding
Dermatitis atopik didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, dermatitis kontak,
dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis, dematitis herpetiformis, sindrom
Sezary danpenyakit Letterer-Siwe. Pada bayi, dapat pula didiagnosis banding dengan
sindromWiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.18, 19

2.8 Tatalaksana Dermatitis Atopik


 Penatalaksanaan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yaitu:20
1) Menemukan faktor risiko
2) Menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan termasuk pakaian sepert wol atau
bahan sintetik
3) Memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab
4) Menjaga kebersihan bahan pakaian
5) Menghindari pemakaian bahan kimia tambahan
6) Membilas badan segera setelah selesai berenang untuk menghindari kontak klorin
yang terlalu lama
7) Menghindari stress psikis
8) Menghindari bahan pakaian terlalu tebal, ketat, kotor
9) Pada bayi, menjaga kebersihan di daerah popok, iritasi oleh kencing atau feses, dan
hindari pemakaian bahan-bahan medicated baby oil
10) Menghindari pembersih yang mengandung antibakteri karena menginduksi
resistensi
 Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi diberikan dengan:
a. Topikal (2x sehari)
- Pada lesi di kulit kepala, diberikan kortikosteroid topikal, seperti: Desonid krim
0.05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonidkrim 0.025%)
selama maksimal 2 minggu.
- Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat
diberikan golongan betametason valerat krim 0.1% atau mometason furoat krim
0.1%).20
- Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal
atau sistemik bila lesi meluas.
b. Oral sistemik
- Antihistamin sedatif yaitu: hidroksisin (2 x 1 tablet) selama maksimal 2 minggu,
atau
- Loratadine 1x10 mg/ hari atau antihistamin non sedatif lainnya selama maksimal 2
minggu.20
2.8 Prognosis

Prognosis dermatitis atopik secara umum baik asalkan pasien menghindari factor
pencetus, rutin kontrol, makan obat teratur, dan menggunakan obat topical secara
teratur.1
2.9 Komplikasi

Dermatitis atopik dapat berkembang menjadi asma bila tidak dilakukan tatalaksana
dan pencegahan yang baik Pencegahan: Pencegahan terjadinya kekambuhan
dilakukan dengan penghindaran pencetus atau dengan pemberian antihistamin
generasi baru jangka panjang.1
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. ASN
Usia : 6 Tahun
Tanggal lahir : 6 Juli 2017
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar TK
Agama : Islam
Suku : Minangkabau
Status Perkawinan : Belum kawin
Alamat : Desa Padang birik-birik Naras 3, Teluk Belibis, Pariaman,
Sumatera Barat
Ibu Kandung : Ny. Leni
No. HP : 082259976480
Tanggal Pemeriksaan : 19 Oktober 2023

3.2 Anamnesis (alloanamnesis)


Keluhan Utama
Seorang pasien perempuan berusia 6 tahun datang dibawa ibunya ke Poli Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil dengan keluhan utama gatal-gatal disertai bintik-bintik
kemerahan, bercak kemerahan disertai sisik putih halus, bercak-bercak putih, luka
lecet, adanya keropeng yang terasa gatal di sekitar lipatan lutut, lipatan lengan, wajah,
dada, kedua lengan atas, punggung, dan tungkai yang semakin bertambah sejak 7 hari
yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Gatal-gatal disertai bintik-bintik kemerahan, bercak kemerahan disertai sisik putih
halus, bercak-bercak putih, luka lecet, adanya keropeng yang terasa gatal di sekitar
lipatan lutut, lipatan lengan, wajah, dada, kedua lengan atas, punggung, dan tungkai
yang semakin bertambah sejak 7 hari yang lalu.
Pasien gatal-gatal sejak usia 4 tahun
Pasien merasakan gatal semakin bertambah apabila pasien berkeringat
Pasien merasakan gatal ketika berada di lingkungan suhu dingin dan ketika musim
hujan
Pasien juga sering merasakan gatal sampai terbangun dari tidur dengan skor 7
Gatal-gatal yang dirasakan kambuh sebulan 2 kali
Pasien sering menggaruk bintik merah sehingga menimbulkan luka lecet dan
keropeng
Pasien merasakan kulit kering diseluruh badan, muncul kemerahan yang terasa kering
di kedua sudut bibir
Pasien bersin-bersin ketika pagi hari dan suhu dingin
Pasien memiliki alergi udang, cumi, tongkol, ayam, telur, dan santan
Ibu pasien mengeluhkan adanya bercak-bercak putih di punggung, dada, dan tangan
pasien
Riwayat memakai pakaian tebal tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


Ada riwayat atopi pada ayah dan ibu pasien yaitu bersin-bersin ketika berada di
lingkungan dengan suhu dingin
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mendapat pengobatan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36.2°C
Status gizi : BB: 16.67 kg TB: 113 cm
Status Generalis
Rambut : hitam, tidak mudah rontok, alopesia tidak ada
Kepala : normochepal, dalam batas normal
Mata : konjungitva hiperemis -/-, hiperlakrimasi -/-, sekret -/-, area
hitam di palpebra inferior (+/+)
Tampak lingkaran hitam dibawah kelopak mata kiri dan kanan
Tampak garis dennie morgan di kelopak mata bawah kanan dan kiri
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Telinga : tidak ditemukan kelainan
KGB : Tidak ada pembesaran KGB
Paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Tidak ada pembesaran jantung
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Irama jantung reguler, bising jantung (-), mumur (-)
Regio Abdomen:
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, edem tidak ada
Status Dermatologikus
Lokasi : Ektremitas atas, ekstremitas bawah, dan wajah
Distribusi : simetris
Bentuk : bulat - tidak khas
Susunan : diskret - konfluens
Batas : tegas – tidak tegas
Ukuran : miliar – plakat
Efloresensi : plak eritema, likenifikasi disertai ekskoriasi, dan macula serta papul
pada daerah eskremitas atas, ekstremitas bawah, dan wajah, disertai adanya bercak-
bercak hipopigmentasi dan hiperpigmentasi merata di punggung, dada, ekstremitas
atas, dan ekstremitas bawah

Status Venereologikus
Tidak dilakukan pemeriksaan
Foto Pasien
RESUME
Seorang anak perempuan berusia 6 tahun datang dibawa ibunya ke Poli Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil dengan keluhan gatal-gatal disertai bintik-bintik
kemerahan, bercak kemerahan disertai sisik putih halus, bercak-bercak putih, luka
lecet, adanya keropeng yang terasa gatal di sekitar lipatan lutut, lipatan lengan, wajah,
dada, kedua lengan atas, punggung, dan tungkai yang semakin bertambah sejak 7 hari
yang lalu. Pasien gatal-gatal sejak usia 4 tahun. Pasien merasakan gatal semakin
bertambah apabila pasien berkeringat. Pasien merasakan gatal ketika berada di
lingkungan suhu dingin dan ketika musim hujan. Pasien juga sering merasakan gatal
sampai terbangun dari tidur dengan skor 7. Gatal-gatal yang dirasakan kambuh
sebulan 2 kali. Pasien sering menggaruk bintik merah sehingga menimbulkan luka
lecet dan keropeng. Pasien merasakan kulit kering diseluruh badan, muncul
kemerahan yang terasa kering di kedua sudut bibir. Pasien bersin-bersin ketika pagi
hari dan suhu dingin. Pasien memiliki alergi udang, cumi, tongkol, ayam, telur, dan
santan. Ibu pasien mengeluhkan adanya bercak-bercak putih di punggung, dada, dan
tangan pasien. Riwayat memakai pakaian tebal tidak ada.
Dari pemeriksaan dermatologikus ditemukan adanya lesi di lokasi : lipatan
lutut, lipatan lengan, dan tungkai bawah, distribusi simetris, berbentuk bulat - tidak
khas, susunan diskret - konfluens, batas tegas-tidak tegas, ukuran miliar-plakat,
efloresensi didapatkan plak eritema, likenifikasi disertai ekskoriasi dan makula serta
papul pada daerah lipatan lutut, lipatan lengan dan tungkai pasien. Ayah dan ibu
pasien memiliki atopi berupa bersin-bersin ketika berada di lingkungan dengan suhu
dingin. Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan. Berdasarkan pemeriksaan
status dermatologikus, ditemukan lesi di lokasi ektremitas atas, ekstremitas bawah,
dan wajah dengan distribusi simetris, bentuk bulat - tidak khas, susunan diskret –
konfluens, batas tegas – tidak tegas, ukuran miliar – plakat, efloresensi plak eritema,
likenifikasi disertai ekskoriasi, dan macula serta papul pada daerah eskremitas atas,
ekstremitas bawah, dan wajah, disertai adanya bercak-bercak hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi merata di punggung, dada, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah.
Diagnosis Kerja
Dermatitis atopik fase anak derajat sedang (dengan nilai SKORAD 39,7)
Diagnosis Banding
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien, tidak ada diagnosis
banding dari penyakit pasien
Pemeriksaan Laboratorium dan Anjuran
Pemeriksaan immunoglobulin IgE
Uji bakteriologi
Uji tusuk (Skin Prick Test)
Tatalaksana
Umum
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa penyakit yang dialami pasien
disebabkan oleh gangguan sawar kulit dan sistem imun pada pasien atau keluarganya
yang memiliki riwayat atopi terhadap pajanan allergen.
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga cara merawat kulit pasien dengan mandi
menggunakan air hangat, tidak lebih dari 10 menit, menggunakan sabun netral, pH
rendah, hipoalergenik, berpelembab, segera setelah mandi 3 menit mengoleskan
pelembab 2-3 kali sehari atau bila masih teraba kering.
Menghindari faktor pencetus.
Membersihkan alas kasur, selimut dan karpet agar tidak berdebu.
Mencegah garukan agar luka lecet tidak bertambah.
Menghindari memakai baju berlapis atau kegiatan yang berkeringat.
Menjelaskan kepada pasien untuk selalu menggunakan pelembab untuk membuat
kulit menjadi lembab dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Khusus
Topikal: krim mometason furoat 0.1% 2 kali sehari
Krim Urea 10% dioleskan sesering mungkin setelah mandi.
Sistemik: Loratadine 1x10 mg/ hari.
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
BAB 4
DISKUSI

Dermatitis atopik merupakan kondisi inflamasi kronik pada kulit yang


dihubungkan dengan gatal, nyeri, dan gangguan tidur. Dermatitis Atopik (DA) bersifat
kronis dan residif yang disebabkan oleh reaksi alergi dan bersifat menurun. Penyakit
ini merupakan penyakit kulit yang umum terjadi pada anak-anak dan sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita. Pada kasus ini seorang pasien perempuan berusia 6 tahun
dengan keluhan bintik kemerahan dan bercak kemerahan yang terasa gatal yang
semakin bertambah sejak 7 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat bersin di pagi
hari. Ayah ibu pasien juga memiliki atopi bersin-bersin ketika berada di lingkungan
suhu dingin.
Manifestasi klinis pada dermatitis atopik adalah munculnya lesi pada kulit
berupa papul eritema multipel dengan sebaran sesuai umur pasien saat munculnya
lesi. Berdasarkan umurnya, lokasi lesi dermatitis atopik dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu: bayi (0-2 tahun), anak-anak (2 tahun-pubertas), dan remaja/dewasa.
Pada bayi sebaran lesi kulit biasanya terdapat di daerah wajah, leher, badan dan
permukaan ekstensor dari ekstremitas, sedangkan untuk anak- anak sebaran lesi
biasanya terdapat di leher, pergelangan tangan dan kaki, dan di bagian lipatan dari
ekstremitas. Pada remaja dan dewasa lesi di tangan, kaki, dan bagian lipatan dari
ekstremitas. Pada kasus dimana pasien berusia 8 tahun, lesi kulit yang muncul adalah
papul eritema dan sewarna kulit mutipel berbentuk bulat dengan sebaran lesi sesuai
kelompok umurnya, yaitu di daerah lipatan ekstremitas dan tungkai. Dari gambaran
klinis, lokasi sebaran lesi kulit, dan status dermatologikus pada pasien sangat
mendukung diagnosis ke arah dermatitis atopi.
Pada kasus di atas, pasien mengeluh gatal, lesi di ekstremitas atas, ekstremitas bawah,
dan wajah, dan adanya riwayat atopi di keluarga. Berdasarkan kriteria hanifin rajka,
telah memenuhi 3 kriteria mayor. Pada pasien, terdapat kulit kering di seluruh tubuh
dan tepi bibir, dermatitis tangan / kaki Cheilitis, pitiriasis alba berupa bercak-bercak
hipopigmentasi di punggung, dada, ektremitas atas, dan ektremitas bawah, adanya
lipatan Dennie-Morgan kelopak mata bawah sisi kanan dan kiri, gatal apabila
berkeringat, hipersensitif terhadap makanan, gatal juga dipengaruhi suhu dingin, dan
gatal-gatal muncul awitan usia dini. Berdasarkan kriteria Hanifin Rajka, keluhan
pasien telah memenuhi 8 kriteria minor. Diagnosis dermatitis atopic ditegakkan
apabila keluhan pasien memenuhi 3 kriteria mayor dan 3 atau lebih kriteria minor.
Derajat keparahan inflamasi dermatitis pada pasien dengan menggunakan
SCORAD (Score of Dermatitis Atopic) dengan menilai (A) luas lesi, (B) tanda-tanda
inflamasi, dan (C) keluhan gatal dan gangguan tidur. Pada pasien, luas lesi terdapat
pada kedua ekstremitas atas, ekstremitas bawah, dan wajah. Berdasarkan penilaian
rule of nine, nilai luas lesi 58,5%. Tanda-tanda inflamasi pada pasien didapatkan skor
6. Gatal-gatal hingga mengganggu tidur pasien didapatkan skor 7 dari skala 0-10.
Berdasarkan rumus nilai indeks SCORAD: A/5 + 7B/2 + C didapatkan pada pasien
ini yaitu derajat sedang dengan total skor 39,7.
Pengobatan dermatitis atopik dapat menggunakan sediaan topikal maupun
sistemik. Pengobatan topikal dapat menggunakan sediaan untuk menghidrasi kulit,
kortikosteroid topikal, dan imunomodulator topikal. Sedangkan pengobatan sistemik
yang digunakan adalah kortikosteroid, antiinfeksi, antihistamin, dan innterferon.
Sediaan topikal untuk menghidrasi kulit digunakan karena keadaan kuit pasien
dermatitis atopik yang cenderung kering menyebabkan fungsi sawarnya berkurang
dan mudah retak, hal ini memudahkan masuknya mikroorganisme, alergen, dan bahan
iritan, sehingga perlu diberikan pelembab seperti krim hidrofilik urea 10%.
Penggunaan kortikosteroid topikal untuk pasien dermatitis atopik merupakan
pengobatan yang paling sering digunakan sebagai antiinflamasi lesi kulit. Namun
penggunaannya harus dilakukan hati-hati agar tidak menimbulkan efek samping.
Pemilihan kortikosteroid topikal juga harus disesuaikan dengan potensi dari
kortikosteroid tersebut, umur pasien, lokasi pemakaian. Penggunaan sistemik untuk
pasien dermatitis atopik yang biasa digunakan adalah kortikosteroid, namun
penggunaannya terbatas. Selain itu penggunaan antihistamin sistemik juga dapat
digunakan untuk mengendalikan rasa gatal yang terutama dirasakan pasien di malam
hari yang dapat mengganggu tidurnya. Pada pasien ini, pemberian obat loratadin
tablet 10 mg berfungsi untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien terutama saat
tidur, krim urea 10% untuk mengurangi keluhan kulit kering, dan krim mometason
furoat 0.1% untuk mengatasi inflamasi pada kulit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2019. 167–183 p.
2. C A. Overview of Atopic Dermatitis. AJMC. 2017;23(8).
3. Yeung DYM, Tharp M, Boguniewicz M. Atopic dermatitis. In: Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8thed. New York: Mc Graw
Hill; 2012.p.165-82.
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Atopic dermatitis, eczema, and non
infectious immuodeficiencies disorder. In: Gabbedy R, Pinczewski S, editors.
Andrews’ disease of the skin. 11th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2011.p.62-70.
5. Pohan SS. Dermatitis atopik: masalah dan penatalaksanaan. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin 2006;18(8):165-71.
6. Rubel D, Thirumoorty T, Soebaryo RW, Weng SC, Gabriel TM, Villafuerte
LL, et al. Consensus guidelines for the management of atopic dermatitis: an
asia-pacific perspective. J of Dermatol 2013; 40:160-71.
7. Sugito TL, Boediardja SA, Wisesa TW, Prihanti S, Agustin T. Buku panduan
dermatitis atopik. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.
8. Budianti WK., Widaty S., Poesponegoro EH., Wiryadi BE. Patogenesis
pruritus pada dermatitis atopik. MDVI 2010; 37(10):190-7.
9. Torres T, Ferreira EO, Goncalo M, Bastos PD, Selores M FP. Update on Atopic
Dermatitis. Acta Med Port. 2019;32(9):606–13.
10. Watson W, Kapur S. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology. 2011:7;S4
11. Brown SJ, Irvine AD. Atopic eczema and the filaggrin story. Semin Cuan
Med Surg. 2008:27:128-37.
12. Sularsito SA, Djuanda A. Dermatitis. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi ke5). Jakarta: FKUI, 2007; p.129-58
13. Dahbi SM, Renz H. Role of inhalant allergens in atopic dermatitis. In:
Reitamo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Text book of Atopic Dermatitis.
London: Informa UK Ltd, 2008; p.101-15
14. Bieber T. Atopic dermatitis. Ann Dermatol. 2010: 22(2):125-37.
15. Esmail FT. Skin barrier function and atopic eczema. Current Allergy and
Clinical Immunology. 2011:24(4):193-8.
16. Suarez AL, Feramisco JD, Koo J, Steinhoff M. Psychoneuroimmunology of
psychological stress and atopic dermatitis: pathophysiologic and therapeutic
updates. Acta Derm Venereol. 2012;92(1):7-15.
17. M N. Atopy patch testing with airborne allergens. Acta Dermatoverologica.
2013; 22:39–42.
18. Burns T. Rook’s Textbook dermatology edisi ke-8. Blackwell Publishing.
2010; 24-40.
19. Werfel T. Classification, Clinical features and Differential Diagnosis of
Atopic Dermatitis. dalam: Werfel T, W. Kiess, J. M. Spergel. Atopic
Dermatitis in Childhood and Adolescence. Switzerland: Karger publisher;
2011;15: 2-20.
20. KEMENKES. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. 2013;417-422.

Anda mungkin juga menyukai