Anda di halaman 1dari 33

Case Report Session

MOLUSKUM
KONTANGIOSUM

Oleh

Diska Rahmalia 1910311022


Faridatul Lutfi 1810312111

Preseptor :
Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.D.V.E, Subsp, D.K.E, M. Ag, FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada


Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan Case Report Session dengan judul Moluskum Kontangiosum
ini yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Bagian Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Keberhasilan dalam penyusunan Case Report Session ini telah dibantu oleh
berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp. D.V.E, Subsp, D.K.E, M. Ag, FINSDV, FAADV
selaku preseptor dan dr. Deasy Archika A selaku pendamping preseptor dalam
penyusunan tugas ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan


hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga Case Report ini
dapat memberikan manfaat bagi pelayanan rumah sakit, dunia pendidikan,
instansi, dan masyarakat luas. Akhir kata, segala saran dan masukan akan penulis
terima dengan senang hati demi kesempurnaan Case Report ini.

Padang, 17 Oktober 2023

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Moluskum kontagiosum merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
Molluscum contagiosum Virus (MCV), kelompok Pox Virus dari genus Molluscipox
virus.1 Angka kejadian moluskum kontagiosum di seluruh dunia diperkirakan sebesar
2% - 8%, dengan prevalensi 5% - 18% pada pasien HIV/AIDS. Moluskum
kontagiosum bersifat endemis pada komunitas padat penduduk, higiene buruk dan
daerah miskin. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak, usia dewasa dengan
aktivitas seksual aktif dan status imunodefisiensi.1
Moluskum kontangiosum dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi
aktif atau autoinokulasi, penularan secara tidak langsung melalui pemakaian bersama
alat-alat pribadi seperti handuk, pisau cukur, alat pemotong rambut serta penularan
melalui kontak seksual.1 Diagnosis moluskum kontagiosum pada sebagian besar
kasus dapat ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis yang tampak. Pemeriksaan
histopatologi melalui biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis pada beberapa
kasus dengan gejala klinis tidak khas.12
Prevalensi Moluskum kontagiosum tertinggi terdapat di Afrika Timur, yaitu
sebesar 52%. Sedangkan prevalensi moluskum kontagiosum di Indonesia sebesar
40,4% dibandingkan penyakit kulit lain.13 Terapi untuk memperbaiki gejala yang
timbul diperlukan pada beberapa pasien dengan penurunan status imun, dimana
didapatkan lesi ekstensif dan persisten.1 Pada laporan kasus kali ini, kami akan
membahas mengenai moluskum kontagiosum pada anak perempuan usia 4 tahun
yang sudah mengeluhkan gejala yang mengarah pada diagnosis moluskum
kontagiosum sejak 1 tahun yang lalu dan meningkat jumlahnya sejak 1 bulan yang
lalu.
1.2 Batasan Masalah
Case Report Session ini akan membahas definisi, etiologi, epidemiologi, gambaran
klinis, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, dan prognosis
pada moluskum kontangiosum.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan CRS ini adalah untuk menambah wawasan sebagai dokter muda
mengenai moluskum kontagiosum.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan CRS ini berdasarkan pemeriksaan pasien dan studi kepustakaan
yang merujuk ke berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan


Melalui penulisan CRS ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan
penulis dan pembaca mengenai definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari moluskum contangiosum.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Moluskum Kontangiosum


Moluskum kontagiosum (MK) adalah penyakit kulit dengan lesi popular jinak
yang disebabkan oleh virus Molluscum contagiosum (MC).1

2.2 Epidemiologi Moluskum Kontangiosum


Moluskum kontagiosum ditemukan di seluruh dunia, terutama daerah tropis,
higiene buruk, dan endemis pada komunitas padat penduduk. Prevalensi
moluskum kontagiosum di seluruh dunia berkisar antara 5%-7,5%. Prevalensi
meningkat pada pasien imunocompromise, yaitu sebesar 5%-18% dan 30% pada
penderita AIDS. Di Indonesia, prevalensi molluscum contagiosum tergolong tinggi,
yaitu 40,4% dari penyakit kulit lainnya. Penyakit ini paling banyak menyerang anak-
anak usia di bawah 14 tahun dengan rerata usia 5 tahun.1 Tidak ada perbedaan
gender. Data pada prevalensi MC terbatas. Sebuah meta-analisis dari survei cross-
sectional di kalangan anak-anak mengungkapkan keseluruhan prevalensi 8,28% (95%
CI 5,1-11,5) dan menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi di wilayah geografis
dengan iklim hangat. Pada remaja dan dewasa, MC dapat terjadi sebagai penyakit
menular seksual atau dengan kontak saat berolahraga. 2,3
2.3 Etiologi Moluskum Kontangiosum
Moluskum Kontagiosum (MK) disebabkan oleh virus molluscum contagiosum
(MCV), virus DNA untai ganda yang termasuk dalam famili Poxviridae dengan
manusia menjadi host satu-satunya MCV. MCV memiliki 4 genotipe yang berbeda:
MCV 1, MCV 2, MCV 3, dan MCV 4. MCV 1 adalah genotipe yang paling umum
(75–96%), diikuti oleh MCV 2, sedangkan MCV 3 dan 4 sangat jarang terjadi.
Sebuah penelitian di Slovenia menunjukkan bahwa pada anak-anak, infeksi MCV 1
lebih sering terjadi dibandingkan pada orang dewasa, dan pada wanita dewasa, infeksi
MCV 2 lebih sering terjadi dibandingkan MCV 1.2
2.4 Patofisiologi Moluskum Kontangiosum
Lesi akan sembuh sendiri dan tidak meninggalkan bekas, tetapi garukan dan
terapi yang destruktif dapat menyebabkan luka parut. Masa inkubasi virus moluskum
kontagiosum adalah 2-6 minggu. Virus moluskum kontagiosum bereplikasi di
sitoplasma sel epitel. Virus masuk ke sel dengan endositosis atau fusi sel. Replikasi
virus menghasilkan badan inklusi sitoplasma yang disebut Henderson-Paterson
bodies. Badan inklusi virus berkembang di stratum basal epidermis, membesar, serta
mendesak organel sel di epidermis. Membesarnya sel-sel yang dipenuhi virion
menyebabkan disintegrasi stratum korneum dan pembentukan ostium dengan
cekungan (dimple-like).4,5
2.5 Manifestasi Klinis
Pasien yang terinfeksi MCV menunjukkan papula bulat yang keras dari 2 sampai 5
mm, merah muda atau sewarna kulit, mengkilat dan permukaan umbilicated (Gambar
1). Lesi mungkin tunggal, banyak atau berkerumun, dan kadang-kadang memiliki
halo eritematosa atau pedikulasi. Pada anak-anak, daerah yang terkena dampak utama
adalah tempat yang terpapar kulit, seperti batang tubuh, ekstremitas, daerah
intertriginosa, alat kelamin, dan wajah, kecuali telapak tangan dan telapak kaki.
Keterlibatan mukosa mulut jarang terjadi. Pada orang dewasa, lesi paling sering
terletak di perut bagian bawah, paha, alat kelamin, dan daerah perianal, sebagian
besar kasus ditularkan melalui kontak seksual. Pada anak-anak, lesi genital terutama
terjadi karena autoinokulasi dan bukan patognomonik pelecehan seksual. Durasi lesi
bervariasi, tetapi sebagian besarnya dalam kasus-kasus tersebut, penyakit ini dapat
sembuh sendiri dalam jangka waktu 6 hingga 9 bulan. Namun, beberapa kasus
mungkin bertahan lebih dari 3 atau 4 tahun dan menggambarkan sebuah fenomena
yang disebut “permulaan tanda akhir” (BOTE) yang mengacu pada eritema klinis dan
pembengkakan lesi kulit MC saat fase regresi dimulai (Gambar 2). Fenomena ini
kemungkinan besar disebabkan oleh respon imun terhadap infeksi MC daripada
superinfeksi bakteri.
Gambar 1 Papula padat, bulat, berwarna kulit dengan permukaan mengkilat dan
berpusar2

Gambar 2 Pembengkakan dan eritema pada tanda “BOTE”2


Pada pasien dengan imunosupresi, seperti pasien yang terinfeksi dengan HIV, lesi
mungkin luas, letaknya tidak khas lokasi yang diameternya lebih besar dari 1 cm (MC
raksasa) atau refrakter terhadap pengobatan. Pasien mungkin mengalami plak eksim
di sekitar salah satunya atau lebih lesi MC, sebuah fenomena yang dikenal sebagai
“dermatitis moluskum” (MD) atau “eksim molluscorum” (EM) yang lebih sering
terjadi pada pasien dengan Dermatitis Atopik. Diperkirakan bahwa 9-47% pasien MC
mengalami MD.
Lesi MC juga bisa bersifat bawaan saat ditularkan secara vertikal melalui kontak
dengan MCV di jalan lahir. Dalam hal ini, lesi biasanya terletak di kulit kepala dan
memiliki susunan melingkar. Presentasi klinis lesi periokular digambarkan sebagai
eritematosa, umbilikasi nodular, besar/raksasa, meradang, atau bertangkai.2,6,7,8

2.6 Diagnosis Moluskum Kontangiosum


Diagnosis moluskum kontagiosum ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis, yaitu lesi khas berupa papul umbilkasi sentral mengandung
material kaseosa dengan distribusi tertentu pada dewasa.5 Salah satu pemeriksaan
penunjang yang bermanfaat, yaitu dermoskopi. Pada dermoskopi dapat ditemukan
struktur amorfus polilobular sentral berwarna putih kekuningan dikelilingi peripheral
crown vessels (red corona).2,4
Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan histopatologi. Indikasi
pemeriksaan histopatologi pada moluskum kontagiosum yaitu bila diagnosis tidak
dapat ditegakkan dengan jelas. Pada pemeriksaan histopatologi akan ditemukan
gambaran patognomonik, yaitu sel epitel membesar dengan badan moluskum
intrasitoplasma (Henderson-Paterson bodies). Pemeriksaan penunjang lainnya adalah
deteksi antigen Virus dengan pemeriksaan antibodi fluoresen, partikel virus dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan DNA virus dengan pemerikaan PCR;
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut jarang dilakukan.4,5
Gambar 3 Dermoskopi MK2

Gambar 2.4 Histopatologi MK4


2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding moluskum kontagiosum dibagi menjadi tiga etiologi, yaitu
inflamasi, infeksi, dan neoplasma. Diagnosis banding tergantung usia dan status
imunologi individu.2,5 Pada individu imunocompromise, diagnosis banding yang
perlu dipertimbangkan adalah karsinoma sel basal dan infeksi jamur diseminata,
seperti kriptokokosis, penisiliosis, dan histoplasmosis.2,4,5 Diagnosis banding
moluskum kontagiosum tampak pada tabel 1.
Tabel 1 Diagnosis banding MK5

2.8 Tatalaksana Moluskum Kontangiosum


Tatalaksana moluskum kontagiosum sampai saat ini masih diperdebatkan. Hal ini
karena infeksi moluskum kontagiosum dapat sembuh sendiri (self-limited disease)
pada penderita imunokompeten. Lesi moluskum kontagiosum akan sembuh sendiri
setelah beberapa bulan atau tahun pada individu imunokompeten.5
Indikasi tata laksana moluskum kontagiosum, yaitu jika lesi bertambah
banyak dan meluas, timbulnya infeksi bakteri sekunder ataupun dermatitis moluskum
dan konjungtivitis, serta jika menimbulkan gangguan kosmetik. Terapi juga untuk
mencegah transmisi dan autoinokulasi.4,5 Terapi aktif untuk moluskum kontagiosum
terbagi menjadi empat, yaitu terapi mekanik, terapi kimiawi, imunomodulator, dan
antiviral. Selain terapi aktif tersebut, penatalaksanaan nonfarmakologis yang perlu
diperhatikan adalah tidak menggaruk atau menggosok lesi moluskum dan tidak boleh
berbagi handuk ataupun berendam pada satu bak mandi (bath tub) yang sama.2,9
1. Terapi Mekanik
Terapi mekanik untuk moluskum kontagiosum, yaitu kuretase eksisi, pengeluaran inti
lesi secara mekanik, krioterapi, dan bedah listrik. Kuretase eksisi merupakan salah
satu terapi yang paling efektif.2 Studi uji coba terkontrol acak (randomized controlled
trial) oleh Hanna, dkk. menunjukkan terjadi resolusi sebesar 80,3% pada satu sesi
kuretase dan tanpa kekambuhan saat tindak lanjut di bulan ke-6.10 Kuretase eksisi
dapat dilakukan dengan alat kuret, biopsi plong, dan spekulum telinga.2 Untuk
mengurangi nyeri saat kuretase, dioleskan EMLA topikal (kombinasi lidocaine 2,5%
dan prilocaine 2,5%) 1 jam sebelum tindakan dimulai. Kuretase eksisi dapat
menyebabkan nyeri, perdarahan, dan luka parut, oleh karena itu, terapi ini dianjurkan
untuk moluskum kontagiosum dengan lesi sedikit.5 Seusai prosedur kuretase,
diberikan povidone iodine topikal 3 kali sehari hingga lesi resolusi. Selain itu, untuk
mencegah adanya infeksi sekunder juga dapat diberikan antibiotic seperti asam
fusidat2 Krioterapi untuk moluskum kontagiosum dapat dikerjakan dengan dua
metode, yaitu menggunakan cotton-tipped swab dan portable sprayer. Krioterapi
dilakukan sebanyak 1-2 siklus selama 10-20 detik tiap siklus dengan jarak antar
siklus 2-3 minggu.2,5 Krioterapi baik digunakan untuk ibu hamil dan menyusui.5
Kelemahan krioterapi adalah timbulnya luka parut dan hipo atau hiperpigmentasi
pasca inflamasi. Terapi mekanik lain yang jarang digunakan karena ketersediaan alat
dan faktor biaya, yaitu pulsed-dye laser. Pulsed-dye laser lebih baik digunakan untuk
kasus refrakter. Terapi pulsed-dye laser memberikan hasil memuaskan dengan sedikit
efek samping.2
2. Terapi Kimiawi
Cara kerja terapi kimiawi adalah merusak lesi moluskum kontagiosum dengan
menimbulkan respons inflamasi. Salah satu terapi kimiawi yang paling sering
digunakan, yaitu cantharidin (0,7% atau 0,9%).5 Cantharidin merupakan penghambat
fosfodiesterase, menghancurkan plakat desmosome, sehingga terjadi akantolisis dan
intraepidermal blistering, kemudian memicu ekstrusi badan moluskum.4 Cantharidin
0,7% atau 0,9% digunakan secara hati-hati agar mencegah kontak dengan kulit
normal di sekeliling lesi. Penggunaan di daerah wajah dan anogenital harus dihindari
karena dapat menyebabkan lepuh disertai nyeri dan eritema serta superinfeksi
bakteri.2 Cantharidin dioleskan pada lesi, dengan ataupun tanpa oklusi kemudian
dicuci dengan air dan sabun setelah 30-60 menit aplikasi. Setelah aplikasi, lepuh akan
timbul dalam 24 jam, menyebabkan lesi terkelupas dan hilang dalam 4-5 hari.5
Pengolesan cantharidin diulang setiap 3-4 minggu sampai terjadi resolusi. Resolusi
rata-rata terjadi setelah tindakan dengan cantharidin sebanyak 2,1 kali.4 Cantharidin
adalah terapi pilihan untuk anak-anak karena tidak nyeri, sehingga tidak traumatik
bagi anak-anak. Krim podophyllotoxin 0,5% digunakan 2 kali sehari selama 3 hari
berturut-turut dalam kurun waktu 1 minggu, diulang dengan jarak 1 minggu selama
maksimal 4 minggu. Kalium hidroksida adalah alkali kuat sebagai agen terapi
kimiawi. Tingkat konsentrasi bervariasi antara 5%-20%. Aplikasi kalium hidroksida
dua kali sehari atau selang sehari selama 7 hari hingga timbul inflamasi dan ulserasi
superfisialis. Kalium hidroksida merupakan salah satu terapi yang aman dan efektif,
serta memiliki efektivitas yang setara dengan krioterapi dan imiquimod.2 Preparat
krim tretinoin 0,05% atau gel 0,025% dapat juga digunakan.5 Tretinoin dioleskan
pada lesi selama beberapa hari hingga muncul respons inflamasi dan resolusi lesi.
Asam salisilat 17% yang banyak digunakan untuk veruka vulgaris juga bermanfaat.
Aplikasi asam salisilat 17% selama beberapa kali hingga tercapai inflamasi efektif
untuk mengobati lesi moluskum kontagiosum. Terapi kimiawi lain yang tercatat
berguna untuk moluskum kontagiosum adalah pasta perak nitrat, asam trikloroasetat
(25%-35%), asam laktat, asam glikolat, benzoil peroksida, dan podofilin (10%- 25%
resin).5
3. Terapi Imunomodulator
Tujuan terapi imunomodulator adalah untuk menstimulasi respons imun penderita
terhadap infeksi moluskum kontagiosum. Imunomodulator yang paling sering
digunakan adalah imiquimod, yaitu agen stimulasi imun, agonis toll-like receptor 7
yang mengaktivasi sistem imun bawaan (innate) dan adaptif (acquired).3 Krim
imiquimod 5% digunakan dengan cara dioleskan 3 kali sehari selama 5 hari dalam 1
minggu dengan durasi 4 minggu. Imiquimod dapat digunakan untuk lesi moluskum
kontagiosum daerah genitalPengobatan lain, yaitu cimetidine, antagonis reseptor H2
yang dapat memicu reaksi hipersensitivitas tipe lambat2. Cimetidine oral lebih baik
untuk lesi moluskum kontagiosum yang tidak berada di area wajah. Dosis yang
disarankan adalah 25- 40 mg/kg/hari. Cimetidine oral tidak efektif sebagai
monoterapi moluskum kontagiosum, melainkan berguna sebagai terapi tambahan.5
Agen imunomodulator lain yang dapat digunakan, yaitu interferon alfa, candidin, dan
diphencyprone. Interferon alfa digunakan untuk moluskum kontagiosum berat dan
refrakter; pemberian dapat secara intra-lesi ataupun subkutan. Candidin diberikan
secara intra-lesi dengan dosis 0,2-0,3 mL setiap tiga minggu, dapat diencerkan
dengan lidocaine 50%. Studi retrospektif menunjukkan candidin memberikan
resolusi komplit sebesar 55% dan resolusi parsial sebesar 37,9%.2
4. Antivirus
Antivirus untuk terapi moluskum kontagiosum adalah sidofovir. Sidofovir 1-3%
dapat digunakan secara topikal ataupun intravena. Efek samping sidofovir intravena
adalah nefrotoksisitas. Secara umum, pilihan terapi untuk tata laksana moluskum
kontagiosum tergantung tingkat kenyamanan operator (dokter) untuk melakukan
tindakan tersebut, jumlah dan derajat keparahan lesi, usia pasien, lokasi lesi, dan
preferensi pasien atau orang tua pasien.2,5,10
2.9 Prognosis
Penyakit ini biasanya jinak dan dapat disembuhkan dengan sendirinya.
Resolusi spontan umumnya terjadi pada usia 18 bulan pada individu imunokompeten.
Namun, lesi telah terjadi dilaporkan bertahan selama 5 tahun. Pada pasien sehat,
pengobatannya biasanya efektif, meskipun lesi dapat merusak dan dapat
menimbulkan kecemasan pasien, keluarga, dan fasilitas penitipan anak atau sekolah.
Lesi akan sembuh sendiri dan tidak meninggalkan bekas, tetapi garukan dan terapi
yang destruktif dapat menyebabkan luka parut. Kekambuhan terjadi pada sebanyak
35% pasien setelah penyembuhan awal. Penyebab kekambuhan ini tidak diketahui.
Kemungkinan akibat infeksi berulang, eksaserbasi penyakit yang sedang berlangsung,
atau lesi baru yang timbul setelah penyakit laten yang berkepanjangan. Penyakit ini
sering menjadi umum pada pasien yang terinfeksi HIV ataujika tidak, mereka
mengalami gangguan kekebalan. Korelasi langsung telah ditemukan antara keduanya
meningkatkan keparahan penyakit dan menurunkan jumlah CD4. Durasi infeksi
ketidakpastian pada populasi dengan infeksi HIV dan pada populasi yang tidak
terinfeksi HIV immunocompromised (misalnya, pasien yang telah menjalani
transplantasi ginjal), karena moluskum kontagiosum mungkin tidak dapat sembuh
dengan sendirinya dalam kasus ini. 1,11
2.10 Komplikasi
Penyakit Komplikasi moluskum kontagiosum meliputi iritasi, peradangan, dan infeksi
sekunder. Lesi pada kelopak mata mungkin berhubungan dengan folikel atau
konjungtivitis papiler. Selulitis adalah komplikasi moluskum kontagiosum yang tidak
biasa pada pasien yang menderita moluskum kontagiosum terinfeksi HIV. Infeksi
sekunder Staphylococcus aureus telah menyebabkan pembentukan abses, sedangkan
Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan nekrosis selulitis.1
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : Adila Giara Rumaisya
Umur : 4 tahun 7 bulan 6 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Belum Bekerja
No RM : 01193345
Alamat : Plak Neneh Siulak Kerinci
Status Perkawinan : Belum Menikah
Negeri Asal : Jambi, Indonesia
Agama : Islam
Suku : Melayu
Tanggal Pemeriksaan : 17 Oktober 2023
3.2 Anamnesis (Alloanamnesis)
Seorang pasien perempuan berusia 4 tahun dan kedua orang tuanya datang ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 17
Oktober 2023 dengan:
3.2.1 Keluhan Utama
Muncul bintil-bintil pada kedua paha, dada, perut, dan tangan kanan yang
tidak terasa gatal maupun nyeri sejak satu bulan ini.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Awalnya satu tahun yang lalu bintil terlihat di paha bagian atas kedua kaki
pasien.pasien tidak mengeluhkan gatal dan nyeri. Pasien tidak diberikan
pengobatan.
Pada 7 bulan yang lalu ibu dan ayah pasien melihat bintil pada tubuh pasien
bertambah banyak di paha atas kaki kiri. Pasien kemudian dibawa ke
puskesmas untuk diobati. Pasien mendapatkan obat salep berwarna putih yang
tidak diketahui merknya namun digunakan sehari 2 kali. Obat digunakan
selama 2 bulan namun dirasa tidak ada perbaikan .
Pada 5 bulan yang lalu, pasien dibawa berobat ke klinik spesialis anak untuk
mengobati keluhannya, pasien mendapat obat salep racikan yang tidak
diketahuin isinya apa. Obat digunakan selama 1 bulan dan dioleskan 2 kali
sehari. Namun keluhan pasien tidak ada perbaikan.
Pada 3 bulan yang lalu, bintil dirasakan semakin bertambah banyak dan
bertambah luas. Pasien dibawa berobat ke rumah sakit di Sungai Penuh dan
kembali mendapatkan terapi obat salep yang berwarna putih digunakan sehari
2 kali. Obat ini digunakan selama 2 bulan namun pasien tidak ada perbaikan.
Pasien selanjutnya dirujuk ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP M. Djamil
Padang.

3.2.3 Riwayat penyakit Dahulu

Riwayat timbul bintik-bintik sewarna kulit tidak ada.

Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya

3.2.4 Riwayat Pengobatan


Salep yang tidak diketahui merknya apa
Krim racikan dokter yang tidak diketahui isinya
Obat OAT sejak satu bulan yang lalu
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Kakak pasien pernah mengalami penyakit yang sama 2 tahun lalu, tidak
sebanyak bintil-bintil pada pasien dan sekarang sudah sembuh
3.2.6 Riwayat atopi/alergi

Riwayat bersin-bersin ≥ 5X di pagi tidak ada

Riwayat asma tidak ada

Riwayat mata merah dan gatal tidak ada

Riwayat alergi makanan tidak ada

Riwayat alergi obat tidak ada

Riwayat kaligata tidak ada


Riwayat alergi serbuk sari tidak ada

3.2.7 Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Kebiasaan


Mandi 1-2x sehari, menggunakan sabun
Mengganti baju 2x sehari
Tetangga/teman sepermainan pasien yang terkena penyakit ini tidak ada
Pasien tidak ada riwayat menggunakan pakaian dan handuk bersama

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Vital Sign
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36.2°C
Status gizi : BB: 14 kg TB: 100 cm
IMT
Status Generalis
Kepala : Normocephal Tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva hiperemis (-), sekret (-) Sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-0 cmH2O
KGB : Tidak ada pembesaran KGB
Thorax :
Paru
Inspeksi : Dada simetris kanan dan kiri (statis)
Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri (dinamis)
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : SN Vesikuler, Rh-/- , Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Atas : RIC II
Kanan : Linea parasternalis dekstra
Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen : Tidak ada
kelainan
Extremitas : Tidak ada kelainan

b. Status Dermatologis
Lokasi : Kedua paha, dada kiri, perut, dan tangan kanan.
Distribusi : Terlokalisir diskrit
Bentuk : Bulat
Susunan : Tidak khas
Batas : Tegas
Ukuran : Milier sampai Lentikuler
Efloresensi : Papul-papul bulat, keras mirip liln sewarna kulit dan papul
kemerahan dengan permukaan disertai delle serta terdapat makula hipopigmentasi
dan makula hiperpigmentasi
Gambar 3.1 Moluskum Contangiosum pada paha kanan dan kiri
Gambar 3.2 Moluskum kontangiosum pada paha kanan dan kiri posisi lebih
dekat
Gambar 3.3 moluskum kontangiosum disertai hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi pada paha kiri dengan posisi lebih dekat

Gambar 3.4 moluskum kontangiosum disertai hiperpigmentasi pada paha kanan


dengan posisi lebih dekat
Gambar 3.5 Moluskum kontangiosum pada dada kiri, dan perut
Gambar 3.6 Moluskum Kontangiosum pada bahu kanan
Gambar 3.7 Moluskum kontangiosum berbatas tegas disertai adanya delle, foto
diambil dengan posisi sangat dekat
Gambar 3.8 Moluskum kontangiosum disertai dengan delle, foto diambil dengan
teropong

Status Venerelogikus : Tidak dilakukan pemeriksaan.


Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan.
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan.
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan.
Kelainan kelenjar limfe : Tidak ada tanda-tanda pembesaran kelenjar limfe.
RESUME
Seorang pasien perempuan berusia 4 tahun diantar ayah dan ibunya datang ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 17
Oktober 2023 dengan keluhan muncul bintil-bintil pada kedua paha, dada kiri,
perut, dan tangan kanan yang tidak terasa gatal maupun nyeri sejak satu bulan ini
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya satu tahun yang lalu bintil terlihat di paha
bagian atas kedua kaki pasien.pasien tidak mengeluhkan gatal dan nyeri. Pasien
tidak diberikan pengobatan. Pada 7 bulan yang lalu ibu dan ayah pasien melihat
bintil pada tubuh pasien bertambah banyak di paha atas kaki kiri. Pasien kemudian
dibawa ke puskesmas untuk diobati. Pasien mendapatkan obat salep berwarna
putih yang tidak diketahui merknya namun digunakan sehari 2 kali. Obat
digunakan selama 2 bulan namun dirasa tidak ada perbaikan . Pada 5 bulan yang
lalu, pasien dibawa berobat ke klinik spesialis anak untuk mengobati keluhannya,
pasien mendapat obat salep racikan yang tidak diketahuin isinya apa. Obat
digunakan selama 1 bulan dan dioleskan 2 kali sehari. Namun keluhan pasien
tidak ada perbaikan. Pada 3 bulan yang lalu, bintil dirasakan semakin bertambah
banyak dan bertambah luas. Pasien dibawa berobat ke rumah sakit di Sungai
Penuh dan kembali mendapatkan terapi obat salep yang berwarna putih digunakan
sehari 2 kali. Obat ini digunakan selama 2 bulan namun pasien tidak ada
perbaikan. Salep yang tidak diketahui merknya apa. Kakak pasien pernah
mengalami penyakit yang sama 2 tahun lalu, tidak sebanyak bintil-bintil pada
pasien dan sekarang sudah sembuh. Dari pemeriksaaan dermatologikus ditemukan
lesi moluskum di daerah kedua paha, perut, dada kiri, dan tangan kanan dengan
distribusi terlokalisir, bentuk bulat, susunan tidak khas, batas tegas, ukuran milier
sampai lentikuler dengan efloresensi papul-papul bulat, keras mirip lilin sewarna
kulit dan papul kemerahan dengan permukaan disertai delle serta terdapat makula
hipopigmentasi dan makula hipermpigmentasi.

3.4 Diagnosis Kerja


Moluskum kontangiosum
3.5 Diagnosis Banding
Varisela
Millium
Impetigo bulosa
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Peneropongan
3.7 Diagnosis
Moluskum Kontangiosum
3.8 Penatalaksanaan
UMUM

 Menjelaskan tentang penyakit bahwa penyakitnya bisa


menular melalui kontakfisik baik dengan teman maupun
dengan mainan teman
 Mandi minimal 2 kali sehari menggunakan sabun

 Handuk dicuci sekali seminggu, setelah pemakaian handuk


dijemur

 Pemakaian sabun mandi dipisahkan dengan keluarga


atau menggunakan sabuncair
 Seluruh badan harus dikeringkan setelah mandi,
dan selama sakit dilaranguntuk berenang
 Minum obat dan pakai krim teratur sesuai dengan aturan pakai
obat

KHUSUS

 Ekstraksi Lesi

Memberitahukan kepada pasien perlu dilakukan


tindakan ekstraksi semua lesi moluskum untuk
memutus rantai penyebaran dan tindakan ini membuat
pasien kurang nyaman. Sebelum tindakan diberikan
krim anastesi lokal EMLA (Lidokain Prilokain 5%)
untuk mengurangi rasa sakit saat tindakan

 Topikal

KOH 10 % : dibiarkan selama 4 jam lalu dicuci


(pada lesi setelah mandi)diberikan 2 kali sehari
Asam fusidat : post ektraksi lesi untuk mencegah infeksi
sekunder

3.9 Prognosis

 Quo Ad Vitam : Bonam

 Quo Ad Sanationam : Bonam

 Quo Ad Cosmeticum : Bonam

 Quo Ad Functionam : Bonam


3.10 Resep Obat
dr. Farida
Praktik Umum SIP: 28392772
Hari:Senin-Jumat Jam 19.00-21.00
Alamat: Ambacang, No.94, Padang, Telp.0812837372

Padang, 17 Oktober 2023

R/ Lidokain Prilokain 5% tube No.I Sue


R/ KOH cream 10% tubeNo.II Sue 2dd app loc dol

Pro : Adela Giara Rumaisya


Usia : 4 tahun
Alamat : Kerinci, Jambi
BAB 4

DISKUSI
Telah dilaporkan kasus seorang pasien perempuan, berusia 4 tahun datang ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 17
Oktober 2023 dengan diagnosis Moluskum Kontagiosum.
Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa terdapat bintil-bintil pada kedua
paha, dada, perut, dan tangan kanan yang tidak terasa gatal maupun nyeri sejak
satu bulan ini. Awalnya satu tahun yang lalu bintil terlihat di paha bagian atas
kedua kaki pasien. pasien tidak mengeluhkan gatal dan nyeri. Pasien tidak
diberikan pengobatan. Dari pemeriksaaan dermatologikus ditemukan lesi
moluskum di daerah kedua paha, dada kiri, perut, dan tangan kanan dengan
distribusi terlokalisir diskrit, bentuk bulat, susunan tidak khas, batas tegas, ukuran
milier sampai lentikuler dengan efloresensi Papul-papul bulat, keras mirip lilin
sewarna kulit dengan permukaan disertai delle serta terdapat makula
hipopigmentasi dan makula hiperpigmentasi.

Molluscum contagiosum adalah infeksi virus ringan yang terjadi terutama


pada anak-anak. Infeksi moluskum kontagiosum dapat menyerang seluruh tubuh
atau hanya bagian tubuh tertentu seperti anggota badan, wajah, dan ekstremitas.
Sedangkan pada orang dewasa menular melalui hubungan seksual, sebaran lesi
biasanya hanya pada area genital. Ciri yang membedakan penyakit ini adalah
adanya papul berbentuk kubah yang sering disertai eritema. Penyakit ini bisa
sembuh sendiri jika tubuh penderitanya sehat, namun membutuhkan waktu yang
lama yaitu bulan, bahkan bertahun-tahun. Moluskum kontagiosum dapat
bertambah jumlahnya dan kambuh kembali jika tidak dihilangkan seluruhnya.

Penyakit ini paling banyak menyerang anak-anak usia di bawah 14


tahun dengan rerata usia 5 tahun serta tidak ada perbedaan gender. Transmisi
dapat terjadi melalui kontak kulit langsung karena pada riwayat keluarga, kakak
pasien juga pernah mengalami kondisi yang sama dengan pasien.

Penyebab penyakit ini adalah virus Molluscum Contagiosum (MCV),


bagian dari virus cacar. MCV meliputi 4 jenis: MCV 1, MCV 2, MCV 3 dan
MCV 4. Yang paling umum adalah MCV 1. Pada anak-anak, penyakit ini sering
disebabkan oleh MCV 1, sedangkan pada penderita HIV disebabkan oleh MCV 2.
Virus ini menyerang Memasuki kulit melalui kelenjar rambut dan mudah menular
melalui kontak langsung. Jika papula tergores, virus bisa menyebar ke kulit
sekitarnya. Faktor yang mendukung penyebarannya adalah berbagi kamar mandi,
kolam renang, dan handuk.

Pada kebanyakan kasus, diagnosis moluskum kontagiosum dapat


ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan gejala klinis yang terlihat.
Pemeriksaan histopatologi dengan biopsi mungkin berguna pada beberapa kasus
dengan gejala atipikal. Pasien ini mempunyai gejala yang khas sehingga tidak
dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan tambahan seperti histopatologi
hanya digunakan bila memang diduga penyebabnya dan bukan merupakan
pemeriksaan rutin. Pemeriksaannya dilakukan dengan preparat dari lesi yang
diambil dengan cara biopsi, kemudian dilakukan pewarnaan Gram dan diperiksa
di bawah mikroskop. Hal ini dilakukan untuk memastikan penyebab diagnosis
penyakit ini.

Diagnosis banding pada kasus ini adalah Varisella, Impetigo bullosa,


Millium. Pada varisella biasanya akan ditemukan gejala prodromal yang
menyertai timbulnya lesi. Pada impetigo bullosa lesi yang timbul akan berbentuk
bula hipopion dan adanya lesi collarette. Millium biasanya ditemukan di wajah
dapat dibedakan dengan metode ekskoriasi.

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah edukasi dan terapi
farmakologis. Edukasi dapat dilakukan dengan menjelaskan tentang penyakit
bahwa penyakitnya bisa menular melalui kontak fisik maupun pemakaian sabun
mandi bersama sehingga diedukasi untuk pemakaian sabun mandi dipisahkan
dengan keluarga atau menggunakan sabun cair, seluruh badan harus dikeringkan
setelah mandi, dan selama sakit dilarang untuk berenang, minum obat dan pakai
krim teratur sesuai dengan aturan pakai obat.

Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan menghilangkan lesi


tersebut. Beritahu pasien bahwa semua lesi pada moluskum kontagiosum perlu
diangkat untuk memutus rantai penyebaran dan tindakan ini membuat pasien tidak
nyaman. Sebelum prosedur, krim anestesi lokal EMLA (Lidokain Prilokain 5%)
digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang terjadi selama prosedur. Cantaridine
0,7% dioleskan selama 4 jam lalu dibilas (pada luka sehabis mandi) dua kali
sehari

Prognosis pada moluskum kontagiosum adalah baik, dikarenakan dengan


menghilangkan semua lesi yang ada, maka jarang atau tidak akan residif. Secara
klinis, kondisi pasien tidak terdapat resiko yang dapat mengancam jiwa sehingga
prognosis quo ad vitam adalah bonam. Lalu secara keadaan fisik pasien tidak ada
yang menyebabkan kecacatan sehingga prognosis quo ad functionam adalah
bonam. Penyakit ini adalah penyakit infeksi menular, pasien dapat menularkannya
dengan orang sekitarnya melalui kontak langsung, namun apabila sudah
dihilangkan seluruh lesi yang ada maka penyakit ini tidak akan berulang.
Sehingga prognosis quo ad sanationam adalah dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Singgih NA. Diagnosis dan Tata Laksana Moluskum Kontagiosum. Cermin
Dunia Kedokt. 2022;49(2):78.
2. Meza-Romero R, Navarrete-Dechent C, Downey C. Molluscum
contagiosum: An update and review of new perspectives in etiology,
diagnosis, and treatment. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2019;12:373–81.
3. Achdiat PA, Andiani S, Hindritiani R, Gondokaryono SP. Molluscum
Contagiosum in HIV Patient Treated with 20 % Topical Glycolic Acid
After Resistance with Topical Tretinoin. 2023;(September):2749–55.
4. Haddock E FS. Poxvirus infections. In: Fitzpatrick’s dermatology 9th ed.
9th ed. New York; 2019. p. 3086–90.
5. Izazi Hari P SAN. Infeksi Menular Seksual 5th ed. Jakarta : Universitas
Indonesia; 2020.
6. Berger EM, Orlow SJ, Patel RR SJ. Experience with molluscum
contagiosum and associated inflammatory reactions in a pediatric
dermatology practice: the bump that rashes. Arch Dermatol.
2012;148(11):1257–64.
7. Manti S, Amorini M, Cuppari C et al. Filaggrin mutations and Molluscum
contagiosum skin infection in patients with atopic dermatitis. Ann Allergy
Asthma Immunol. 2017;119(5):446–51.
8. Berbegal-DeGracia L, Betlloch-Mas I D-MF, Martinez-Miravete MT M-
BJ. Neonatal Molluscum contagiosum: five new cases and a literature
review. Australas J Dermatol. 2015;56(2):e35–8.
9. Leung AKC, Barankin B HK. Molluscum contagiosum: An update. Recent
Pat Inflamm Allergy Drug Discov. 2017;11(1):22–31.
10. Hanna D, Hatami A, Powell J, Marcoux D, Maari C, Savard P et al. A
prospective randomized trial comparing the efficacy and adverse effects of
four recognized treatments of molluscum contagiosum in children. Pediatr
Dermatol. 2006;23(6):574–9.
11. Lam ML. Molluscum Contagiosum. Evidence-Based Dermatology Third
Ed. 2014;329–36.
12 Gerlero P, Hernández-Martín Á. Update on the Treatment of
Molluscum Contagiosum in Children. Actas Dermo-Sifiliográficas
(English Edition). 2018 Jun;109(5):408–15.
13. Chen X, Anstey AV, Bugert JJ. Molluscum contagiosum virus
infection. The Lancet Infectious Diseases. 2013 Oct;13(10):877–88.

Anda mungkin juga menyukai