Anda di halaman 1dari 36

Case Report Session

DERMATITIS ATOPIK

Oleh
Hifzhillah Fajriati 1710311043
Andre Kurniawan 1810311011

Preseptor
dr. Tutty Ariani, Sp.DV
dr. Yosse Rizal, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
Case Report Session

DERMATITIS ATOPIK

Oleh
Hifzhillah Fajriati 1710311043
Andre Kurniawan 1810311011

Preseptor
dr. Tutty Ariani, Sp.DV
dr. Yosse Rizal, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur atas rahmat dan karunia


Allah Yang Maha Kuasa, karena atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah Case Report Session dengan judul “Dermatitis Atopik” yang merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini telah banyak dibantu oleh
berbagai pihak. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada dr. Tutty Ariani, Sp.DV dan dr. Yose Rizal, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
selaku preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
memberikan bimbingan, saran, dan arahan dalam penyusunan makalah ini. Tidak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang turut membantu
dalam upaya penyelesaian makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi akademisi,
dunia pendidikan, instansi terkait, dan masyarakat luas. Akhir kata, saran dan
masukan akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.......................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
Daftar Tabel............................................................................................................iv
Daftar Gambar..........................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Batasan Penulisan...............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan...............................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1. Definisi................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.......................................................................................3
2.3 Etiologi dan Patogenesis.....................................................................4
2.4 Klasifikasi...........................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis...............................................................................6
2.6 Kriteria Diagnosis...............................................................................9
2.7 Pemeriksaan Penunjang....................................................................13
2.8 Diagnosis Banding............................................................................14
2.9 Tatalaksana.......................................................................................15
2.10 Prognosis...........................................................................................16
BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................18
BAB 4 DISKUSI…................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

i
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria diagnostik dermatitis atopik menurut AAD………….… 9


Tabel 2.2 Kriteria Hanifin Rajka………………………………………….. 9
Tabel 2.3 Diagnosis banding dermatitis atopik…………………………… 14

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Dermatitis atopik infantile (A) wajah (terutama pipi) dan kulit
kepala, dan (B) badan dan ekstremitas………………………. 7
Gambar 2.2 Dermatitis atopik pada anak yang lebih besar biasanya
muncul dengan bercak pada permukaan fleksural…………… 8
Gambar 2.3 Dermatitis atopik pada orang dewasa dapat muncul dengan
bercak kering dan bersisik pada ekstremitas………………... 8
Gambar 2.4 Indeks SCORAD……………………………………………. 12

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis adalah respons inflamasi kulit (epidermis dan dermis) terhadap
berbagai faktor baik eksogen maupun endogen, bersifat akut, subakut, atau kronis
yang menyebabkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan
gatal1. Dermatitis ini dapat muncul dalam berbagai bentuk: dermatitis atopik,
dermatitis kontak, eksim numularis, seborrhea, dan dermatitis numularis.
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal yang mengenai bagian tubuh tertentu dan umumnya
dikaitkan dengan manifestasi atopik lain seperti alergi makanan, rhinitis alergi,
dan asma1,2. Pada anak usia dini, lesi memiliki predileksi pada wajah dan daerah
ekstensor, sedangkan anak-anak yang lebih tua cenderung pada fleksural, dan
dermatitis dengan onset dewasa umumnya pada kepala/leher dan tangan.
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang paling umum pada anak-
anak, mempengaruhi sekitar 15% - 20% anak-anak dan 1% - 3% orang dewasa,
dengan onset tersering pada usia 5 tahun2. Sekitar 60% pasien mengalami
dermatitis atopik sebelum usia satu tahun dan 90% pada usia lima tahun3. Di
Amerika Serikat, prevalensi dermatitis atopik 11,3% - 12,7% pada anak-anak dan
6,9% - 7,6% pada orang dewasa4. Di Jepang dan Singapura, prevalensi dermatitis
atopik dilaporkan masing-masing 19% dan 20,8%. Di Indonesia, angka kejadian
dermatitis atopik menurut Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) yaitu
sebesar 23,67%, dan menempati peringkat pertama dari 10 penyakit kulit anak.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar oleh Departemen Kesehatan, prevalensi
dermatitis atopik di Indonesia adalah 6,8% dan cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya5.
Diagnosis dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan klinis dan berpedoman
pada beberapa kirteria, yaitu kriteria William dan kriteria Hanifin Rajka, serta
indeks SCORAD1. Penatalaksaan dermatitis atopik terdiri dari terapi
medikamentosa (sistemik, topikal, maupun kombinasi) dan non-medikamentosa 1.
Dermatitis atopik dilaporkan menyebabkan efek negatif terhadap kualitas hidup
anak dan orang tuanya.

1
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa angka kejadian dermatitis atopik
mengalami peningkatan dan merupakan salah satu penyakit kulit terbanyak pada
anak yang menurunkan kualitas hidup anak. Sehingga, dibutuhkan penegakan
diagnosis dini agar dapat dilakukan pencegahan dan pengobatan yang sesegera
mungkin.

1.2 Batasan Penulisan


Makalah ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis
dermatitis atopik.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman mengenai dermatitis atopik.

1.4 Manfaat Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu kepada beberapa literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu peradangan kulit berupa dermatitis
yang kronis dan residif yang disebabkan oleh reaksi alergi dan bersifat menurun.
DA merupakan kondisi inflamasi kronik pada kulit yang dihubungkan dengan
gatal, nyeri, dan gangguan tidur. DA merupakan faktor risiko utama dalam
perkembangan penyakit atopi lainnya seperti asma dan rhinitis alergi. Seorang
anak dengan DA akan lebih rentan terkena penyakit asma dan rhinitis alergi
dibandingkan anak tanpa DA. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup
pasien maupun keluarga dan orang-orang terdekat pasien1.

2.2 Epidemiologi
DA mempengaruhi sekitar 230 juta orang di seluruh dunia, dan menjadi
penyakit utama non-fatal kulit. DA mempengaruhi pria dan wanita dari semua ras,
anak-anak dan orang dewasa, sering terjadi pada keluarga dengan penyakit atopik
lain (asma bronkial dan/atau rhinitis alergi). Awalnya DA dianggap sebagai
penyakit anak usia dini, dengan perkiraan prevalensi 15% - 25% pada anak-anak,
namun bukti terbaru menunjukkan bahwa DA juga sangat umum pada orang
dewasa, berkisar 1% - 10%. 45% kasus DA dimulai dalam enam bulan pertama
kehidupan, 60% selama tahun pertama, dan 80% - 90% sebelum tahun kelima
kehidupan. Perjalanan DA dapat berlanjut selama bertahun-tahun tetapi dapat juga
menunjukkan pola relaps-remitting6.
Menurut penelitian di beberapa negara, terjadi peningkatan prevalensi DA
dalam 5 hingga 10 tahun terakhir. Pada tahun 2012, di Indonesia terdapat 1,1%
pasien DA usia 13-14 tahun. Pada tahun 2013 dari laporan 5 rumah sakit yang
melayani dermatologi anak yaitu RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Dr. Kandou Manado, RSU
Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%), sedangkan di RSUP M. Djamil Padang, kasus DA
merupakan 5 besar penyakit terbanyak di Poliklinik kulit dan kelamin pada tahun
2014.

3
Prevalensi DA pada usia dewasa dalam populasi keseluruhan di Amerika
Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang masing-masing 4,9%, 4,4%, 3,5% dan
2,1%6. Prevalensi DA di daerah pedesaan yang jauh lebih rendah menekankan
bahwa pentingnya faktor gaya hidup dan lingkungan dalam mekanisme penyakit
atopik. Banyak kemajuan yang telah dibuat untuk menjelaskan patofisiologi dari
DA, namun hygiene hyphotesis masih menjadi salah satu fitur yang penting dan
masih diperdebatkan hingga saat ini.

2.3 Etiologi dan Patogenesis


Sampai saat ini penyebab pasti DA masih sulit untuk dipahami. Pada
beberapa kasus, DA merupakan masalah kulit yang berlangsung lama dan
memerlukan lebih dari satu pengobatan. Timbulnya inflamasi dan rasa gatal pada
DA merupakan hasil interaksi berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah faktor predisposisi genetik disfungsi sawar kulit serta perubahan
pada sistem imun, khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai allergen dan
antigen mikroba. Faktor psikologis dapat merupakan penyebab atau sebagai
dampak DA1.
Faktor risiko terkuat yang diketahui untuk DA adalah riwayat keluarga
penyakit atopik, terutama DA. Adanya penyakit atopik di satu orang tua
diperkirakan meningkatkan 1,5 kali lipat risiko anak mengalami DA, sedangkan
risiko meningkat 3 – 5 kali lipat, jika salah satu atau kedua orang tua memiliki
DA. Faktor risiko lain yang terkait dengan peningkatan prevalensi termasuk
tinggal di lingkungan perkotaan dan di daerah dengan paparan sinar ultraviolet
rendah atau kondisi iklim kering, diet kaya gula dan asam lemak tak jenuh ganda
(khas negara- negara Barat), paparan berulang antibiotik sebelumnya. usia lima
tahun, ukuran keluarga yang lebih kecil, status sosial ekonomi yang lebih tinggi
dan tingkat pendidikan keluarga yang lebih tinggi6.
Patogenesis DA bersifat multifaktorial, melibatkan faktor genetik,
imunologi, dan lingkungan, dua faktor risiko utama yang secara konsisten terlibat
dalam perkembangan dermatitis atopik adalah riwayat keluarga dengan atopi dan
mutase gen filaggrin (FLG). Beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan DA
berhubungan dengan adanya interaksi antara penurunan fungsi sawar kulit, sistem

4
imun, genetik, serta faktor pemicu lainnya seperti faktor lingkungan maupun agen
infeksi1.
1. Disfungsi sawar kulit
Abnormalitas sawar kulit terkait dengan menurunnya fungsi gen yang
meregulasi amplop keratin (filaggrin dan loricrin). Gen FLG memungkinkan
pembentukan profilaggrin yang selanjutnya dipecah menjadi monomer
filaggrin. Kurangnya monomer ini membahayakan sawar kulit, sehingga
memungkinkan allergen, iritasi dan bakteri untuk memicu respons hiperimun.
Abnormalitas sawar kulit juga dapat disebabkan karena disregulasi
metabolisme lipid dengan reduksi seramid, meningkatnya enzim proteolitik dan
trans-epidermal water loss (TEWL), pajanan protease eksogen yang berasal
dari tungau debu rumah serta kelembaban udara1,3,6.
Perubahan sawar kulit ini mengakibatkan terjadinya peningkatan absorbs
dan hipersensitivitas terhadap allergen. Peningkatan TEWL dan penurunan
kapasitas kemampuan menyimpan air, menyebabkan kulit DA lebih kering dan
sensitivitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah, serta terjadi
gangguan pada pertahanan terhadap mikroorganisme1,6.

2. Perubahan sistem imun


Pada penderita DA juga terjadi defek respon imun bawaan yang
mengakibatkan lebih rentan terhadap infeksi virus dan bakteri. Pada fase awal,
respon sel T akan didominasi oleh T helper 2 (Th2), tetapi pada fase
selanjutnya akan terjadi pergeseran dominasi menjadi respon Th1 yang
berakibat pada pelepasan kemokin dan juga sitokin proinflamasi, yaitu
interleukin 4 dan 5 (IL- 4 dan 5) serta tumor necrosis factor (TNF) yang akan
merangsang produksi IgE dan respon inflamasi sistemik sehingga pada
penderita DA akan muncul pruritus. Namun, meskipun IgE telah dianggap
sebagai ciri khas penyakit atopik, termasuk DA, IgE itu sendiri bukan
merupakan mediator kunci dari patogenesis DA. Akhirnya, kulit pasien DA
memiliki kelainan mikrobiotal yang substansial; apakah perubahan ini primer
atau sekunder akibat gangguan sawar epidermis dan imunitas sel Th2 masih
belum pasti1,6.

5
Keragaman mikrobiota menurun pada kulit DA yang meradang karena
anggota genus Staphylococcus. S. aureus khususnya, mengkolonisasi sekitar 90%
pasien DA dan mengekspresikan berbagai faktor virulensi yang telah terbukti
berperan dalam patogenesis infeksi superfisial dan invasif, berkontribusi pada
patogenesis DA atau eksaserbasi penyakit melalui mekanisme yang bekerja pada
keratinosit dan sel imun6.
Peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus menyebabkan eksaserbasi
DA karena peningkatan produksi IgE. Terganggunya sawar kulit fisik dapat
menyebabkan peningkatan angka infeksi yang selanjutnya dapat mengganggu
kedua antimikroba tersebut. Pencegahan infeksi tambahan juga terganggu karena
peningkatan pH SC bersama dengan hilangnya lemak bebas asam, metabolit
ceramide, dan molekul lain yang berfungsi normal yang semuanya memiliki efek
antimikroba7.

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi DA umumnya didasarkan atas keterlibatan organ tubuh, DA
murni hanya terdapat di kulit, sedangkan DA dengan kelainan di organ lain,
misalnya asma bronkial, rhinitis alergi, serta hipersensitivitas terhadap berbagai
allergen polivalen. Bentuk DA murni terdiri atas 2 tipe, yaitu tipe intrinsik dan
ekstrinsik. DA intrinsik adalah DA tanpa bukti hipersensitivitas terhadap allergen
polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE total serum. Sementara itu, DA
ekstrinsik bila terbukti pada uji kulit terdapat hipersensitivitas terhadap allergen
hirup dan makanan1.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala dominan DA adalah adanya pruritus yang intens, biasanya tanpa
demam ataupun gejala konstitusional lainnya. Pruritus dapat terasa begitu parah
sehingga menyebabkan gangguan tidur, iritabilitas dan stres, baik pada penderita
maupun keluarga. Gejala dan distribusi dermatitis atopik tergantung pada usia
pasien saat datang. Dermatitis atopik biasanya muncul selama tahun pertama
kehidupan dengan papul eritematosa, bercak, atau plak di wajah (terutama pipi),
kulit kepala, batang tubuh, dan ekstremitas. Anak-anak yang lebih besar biasanya

6
hadir dengan tambalan pada permukaan lentur. Orang dewasa mungkin datang
dengan bercak kering dan bersisik pada ekstremitas1,3.
Temuan pada kulit tergantung dengan tahap penyakit3:
 Pada fase akut, akan terjadi erosi dengan eksudat serosa atau rum dan vesikel
papular yang sangat gatal pada dasar eritematosa.
 Pada fase subakut, terdapat lesi yag ditandai dengan skuama atau plak di atas
lesi eritematosa.
 Pada fase kronis, terdapat lesi yang berbentuk likenifikasi dan adanya
perubahan pigmen dengan papul dan nodul yang tereksoriasi. Lesi tersebut
dapat mengalami infeksi sekunder apabila digaruk. Lesi yang terinfeksi
tersebut hadir muncul dengan krusta kuning atau impetigo.
Manifestasi secara klinis pada DA juga dapat dibedakan berdasarkan usia
yang dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase infantil, fase anak-anak, dan fase dewasa1.
1. Fase infantile (2 bulan – 2 tahun)
Pada bayi, tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar
simetris. Lesi dapat meluas hingga ke dahi, kulit kepala, telinga, leher,
pergelangan tangan, dan pada tungkai. Seiring bertambahnya usia, fungsi
motorik akan menjadi lebih sempurna dan anak akan mulai belajar merangkak
sehingga lesi kulit meluas hingga di bagian ekstensor, misalnya lutut, siku, dan
tempat-tempat yang mudah mengalami trauma. Fase infantile dapat mereda dan
menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak atau
fase remaja. Pada bayi dengan usia kurang dari 1 tahun, alergen seperti susu
sapi, telur, dan kacang-kacangan masih menjadi alergen yang berengaruh,
sedangkan pada usia dewasa, alergen hirup menjadi lebih berpengaruh dalam
menimbulkan manifestasi DA.

Gambar 2.1 Dermatitis atopik infantile (A) wajah (terutama pipi) dan kulit
kepala, dan (B) badan dan ekstremitas

7
2. Fase anak (2 – 10 tahun)
DA pada anak-anak terjadi karena tidak ada intervensi terhadap DA yang
terjadi pada masa infantile, atau muncul tanpa didahului dase infantile. Pada
anak-anak (biasanya pada usia 2 tahun), tanda-tanda DA lebih banyak terdapat
pada lipatan kulit, termasuk kelopak mata, leher, lipatan siku, poplitea, dan
lipatan kulit lainnya. Plak eritematosa akan terasa sangat gatal tanpa lesi yang
terlihat sampai terjadi garukan dan membentuk papil, eritem, atau likenifikasi.
Lesi tersebut akan bertahan lama dan menyebabkan terjadinya gangguan tidur.
Pada fase ini pasien DA lebih sensitive terhadap allergen hirup, wol, dan bulu
binatang.

Gambar 2.2 Dermatitis atopik pada anak yang lebih besar biasanya muncul
dengan bercak pada permukaan fleksural

3. Fase remaja dan dewasa (>13 tahun)


Predileksi utama dari DA pada remaja dan dewasa adalah daerah-daerah
yang mirip dengan DA pada anak, namun dapat meluas hingga mengenai
kedua telapak tangan, bibir, leher bagian anterior, dan puting susu. Manifestasi
klinis berupa plak hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi, dan
skuamasi yang bersifat kronis. Rasa gatal pada DA dewasa akan terasa lebih
hebat saat istirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini berlangsung kronik-
residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih.

Gambar 2.3 Dermatitis atopik pada orang dewasa dapat muncul dengan bercak
kering dan bersisik pada ekstremitas

8
2.6 Kriteria Diagnosis
Dermatitis atopik merupakan diagnosis klinis tanpa pemeriksaan
laboratorium yang definitif. Sekitar 80% pasien dengan dermatitis atopik
didiagnosis dan dirawat di fasilitas perawatan primer. American Academy of
Dermatology (AAD) telah menyederhanakan diagnosis menggunakan kriteria
diagnostik yang telah divalidasi sebelumnya. Kriteria AAD membedakan fitur
penting yang harus ada untuk diagnosis, seperti pruritus; fitur penting yang
mendukung diagnosis, seperti usia dini saat onset; dan fitur terkait yang
menunjukkan diagnosis tetapi tidak spesifik, seperti likenifikasi3.
Tabel 2.1 Kriteria diagnostik dermatitis atopik menurut AAD
Fitur penting yang harus ada untuk diagnosis
Riwayat kronis atau kekambuhan
Eksim (akut, subakut, kronis)
Pruritus
Morfologi khas dan pola sesuai usia*
Fitur penting yang mendukung diagnosis
Atopi (riwayat individu atau keluarga)
Onset usia dini
Reaktivitas imunoglonulin E
Xerosis
Fitur terkait yang menunjukkan diagnosis tetapi tidak spesifik
Respon vaskular atipikal (facial pallor, white dermographism)
Keratosis piliaris, pityriasis alba, hyperlinear palm, atau ichtyosis)
Perubahan okular atau periorbital
Aksentuasi perifolikular, likenifikasi, atau lesi prurigo
* pola meliputi: keterlibatan wajah, leher, ekstensor pada bayi dan anak-anak; lesi
fleksural pada semua kelompok usia;

Di Indonesia, kriteria yang paling sering digunakan yaitu kriteria Hanifin-


Rajka yang terdiri dari kriteria mayor dan minor1.
Tabel 2.2 Kriteria Hanifin Rajka
Kriteria mayor (harus terdapat 3)
Pruritus (gatal)
Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas
Bersifat kronik eksaserbasi
Ada riwayat atopi
Kriteria minor (harus terdapat 3 atau lebih)
Xerosis/kulit kering
Iktiosis
Hiperlinearis palmaris
Keratosis pilaris
Alergi tipe I / peningkatanserum IgE

9
Dermatitis tangan / kaki
Cheilitis
Dermatitis papilla mamae
Terdapat peningkatan S. aureus dan virus herpes simpleks
Keratosis perifolikuler
Pitiriasis alba
Awitan usia dini
Konjungtivitis berulang
Lipatan Dennie-Morgan
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intoleran terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan atau emosi
White dermographism dan delayed blanch response

Selain kriteria Hanifin-Rajka, terdapat pula kriteria William yang lebih


sederhana untuk menentukan diagnosis penyakit DA sebagai berikut.
 Harus ada: Kulit gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
 Ditambah dengan adanya tiga ataupun lebih tanda-tanda berikut:
 Riwayat perubahan kulit di fosa kubiti, poplitea, bagian anterior dorsum
pedis, atau di sekitar leher (termasuk kedua pipi pada anak dengan usia
kurang dari 10 tahun)
 Riwayat asma atau hay fever pada anak-anak (riwayat atopi kurang dari 4
tahun pada generasi 1 di dalam keluarga)
 Riwayat kulit kering sepanjang ahir tahun.
 Dermatitis pada bagian fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada
anak usia kurang dari 4 tahun)
 Awitan terjadi di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak kurang
dari 4 tahun)

1
Diagnosis DA sering dikaitkan dengan penentuan derajat keparahan DA
dan akan berhubungan dengan terapi yang akan diberikan. Untuk derajat
keparahan DA, digunakan skala yang diajukan oleh seorang ahli dermatologi
Eropa, yaitu dengan menggunakan indeks Scoring for Atopic Dermatitis
(SCORAD). Penilaian SCORAD:
A. Penilaian luas penyakit
Pada penilaian ini, luas lesi kulit yang dihitung adalah lesi inflamasi dan
tidak termasuk kulit kering dengan menggunakan metode “rule of nine” dan
selanjutnya lesi digambarkan pada selembar kertas kosong untuk kemudian
dievaluasi. Luas telapak tangan pasien menggambarkan 1% dari luas
permukaan tubuh. Namun pada anak yang berusia kurang dari 2 tahun, terdapat
sedikit perbedaan dalam penilaian “rule of nine”, yaitu pada area kepala dan
tungkai bawah.
B. Penilaian intensitas
Eritema, papul/edema, eksudasi/krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit
kering merupakan hal yang dinilai pada morfologi lesi. Setiap morfologi lesi
dinilai intensitasnya berdasarkan panduan yang terdapat pada gambar atau foto
dengan indeks 0 = tidak ada lesi, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat.
C. Penilaian subjektif
Penilaian terhadap keluhan subjektif dilakukan dengan menanyakan
adanya rasa gatal dan gangguan terhadap tidur pada 3 hari terakhir. Penilaian
ini juga dilakukan dengan menggunakan visual analog scale (VAS) yang
dinyatakan dalam skor 0 – 10 terhadap masing-masing kriteria.

Total nilai indeks SCORAD: A/5 + 7B/2 + C

1
Gambar 2.4 Indeks SCORAD

Berdasarkan dari penilaian SCORAD, dermatitis atopik digolongkan


menjadi beberapa derajat keparahan:
 Dermatitis atopik ringan (SCORAD < 15)  perubahan warna kulit menjadi
kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder.
 Dermatitis atopik sedang (SCORAD 15 – 40)  kulit kemerahan, infeksi kulit
ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi.
 Dermatitis atopik berat (SCORAD > 40)  kemerahan kulit, gatal,
likenifikasi, gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat.

1
2.7 Pemeriksaan Penunjang8
1. Immunoglobulin
Kadar Ig E biasanya meningkat pada 80 sampai 90% penderita DA.
Peningkatan kadar Ig E erat hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit, dan
tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, ataupun sedang
mendapat pengobatan. Kadar Ig E ini biasanya akan kembali normal 6 sampai 12
bulan setelah remisi. Beberapa tehnik pemeriksaan terhadap kadar Ig Eini dapat
dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), ataupun
RAST (Radio allergosorbent test).
2. Bakteriologi
Pada kulit penderita DA yang aktif biasanya sering dijumpai bakteri
patogen seperti Staphylococcus aureus walaupun tanpa gejala klinis infeksi
3. Uju tusuk (Skin Prick Test)
Merupakan uji kulit yang sering dilakukan pada anak yang dicurigai
menderita DA. Tempat uji adalah pada volar lengan bawah dengan jarak 2 cm dari
pergelangaan tangan dan lipat siku. Setelah meletakkan alergen pada permukaan
kulit kemudian kulit ditusuk dengan kedalaman 1 mm dengan menggunakan
lanset. Sebagai kontrol positif digunakan histamin dan untuk kontrol negatif
digunakan larutan gliserin. Reaksi terhadap alergen dibaca 15 menit kemudian dan
dikatakan positif bila dijumpai rasa gatal, eritema dan urtikaria.
4. Uji tempel (Atopy Patch Test)
Uji ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap
aeroalergen pada DA. Uji dilakukan selama masa remisi penyakit. Sekitar 25
sampai 150 alergen pada plastik uji ditempelkan pada punggung bagian atas
penderita dengan menggunakan bahan perekat yang hipoalergenik. Sebagai
kontrol positif di gunakan histamin sedangkan sebagai kontrol negatif digunakan
larutan salin. Hasil pembacaan dilakukan pada 48 jam, 72 jam dan 96 jam
kemudian. reaksi dikatakan positif apabila dijumpai eritema, papul, kulit terasa
gatal, dan pada yang ekstrim dapat dijumpai vesikel, reaksi seperti terbakar dan
kulit melepuh.
5. Uji eliminasi dan provokasi
Uji ini biasanya dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap
makanan sebagai salah satu pencetus terjadinya DA. Eliminasi makanan

1
dilakukan

1
selama tiga minggu sebelum dilakukan uji provokasi. Uji provokasi makanan
(food challenge) dimulai dengan makanan yang paling tidak dicurigai akan
menimbulkan reaksi alergi. Bila setelah 1 minggu dijumpai gejala alergi maka
makanan tersebut dicurigai sebagai penyebab alergi dan apabila dalam tiga kali
provokasi di waktu yang berbeda dijumpai reaksi yang sama maka makanan
tersebut dinyatakan definitif penyebab alergi.

2.8 Diagnosis Banding


Dermatitis atopik memiliki presentasi yang beragam, sehingga diagnosis
bandingnya pun sangat luas. Dermatitis atopik didiagnosis banding dengan
dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis,
psoriasis, dematitis herpetiformis, sindrom Sezary danpenyakit Letterer-Siwe.
Pada bayi, dapat pula didiagnosis banding dengan sindrom Wiskott-Aldrich dan
sindrom hiper IgE.
Tabel 2.3 Diagnosis banding dermatitis atopik3
Diagnosis Morfologi Usia Etiologi Klinis
Dermatitis Mempengaruhi Reaksi Ruam terjadi di tempat
Vesikel eritematosa
kontak segala usia hipersensitivitas exposure
Limpoma Eritematosa, dry Jarang pada Ruam berkembang
Unknown
kutaneus sel T patches anak perlahan
Dermatitis Vesikel dan papul Jarang pada Terkait dengan
Autoimun
herpetiformis simetris anak sensitivitas gluten
Kerak Honey- Umum pada
Impetigo Bakteri Sangat menular
colored anak
Lichen Berbatas tegas, sisik Jarang pada Berhubungan dnegan
Garukan kronis
simpleks kronik tebal anak stress dan kecemasan
Moluskum Flesh-colored papul Umum pada Biasanya sembuh dalam
Virus
kontangiosum dalam kelompok anak sebulan
Patch bisa bertahan
Bercak eritematosa Jarang pada
Eksim numular Unknown berminggu-minggu
nummular anak hingga berbulan-bulan
Bercak eritematosa Jarang pada Immune-
Psoriasis Dapat melibatkan kuku
dengan sisik silver anak mediated
Papul eritematosa Mempengaruhi Gatal-gatal hebat di
Scabies linier segala usia Parasite malam hari
Dermatitis Kuning, sisik Mempengaruhi Distribusi pada kulit
Unknown
seboroik berminyak segala usia kepala dan wajah
Eritematosa, bercak
annular dengan tepi Umum pada Umumnya di lipatan
Tinea korpori Jamur
bersisik yang anak tubuh
menonjol
Papul atau plak Jarang pada Immune- Biasanya sembuh dalam
Urtikaria
eritematosa anak mediated 24 jam
Eksantema Macula dan papul Umum pada
Virus Sembuh setelah sakit
virus eritematosa difus anak

1
2.9 Tatalaksana
Pengobatan dermatitis atopik bertujuan untuk mengurangi rasa gatal,
memperbaiki kulit, dan mengurangi peradangan. Sehingga, pengobatan DA
memerlukan tindakan yang kompleks yaitu pendidikan pasien dan caregiver,
melakukan perawatan kulit yang optimal, pengobatan anti-inflamasi dengan
kortikosteroid topikal (lini pertama) dan / atau topical calcineurin inhibitors (TCI),
penggunaan anti-histamin generasi pertama untuk menangani gangguan tidur, dan
perawatan kulit infeksi. Selain itu, pada kasus berat yang tidak dapat diatasi
dengan perawatan kulit yang tepat dan obat topikal dapat dipertimbangkan
pemberian kortikosteroid sistemik.
1. Edukasi9
 Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal dengan:
mandi menggunakan air hangat kuku, tidak lebih dari 10 menit,
menggunakan sabun netral, pH rendah, hipoalergenik, berpelembab, segera
setelah mandi 3 menit mengoleskan pelembab 2-3 kali sehari atau bila
masih teraba kering. Pelembab efektif dan aman digunakan untuk terapi DA
pada anak dan dewasa dengan gejala ringan – sedang. Jenis pelembab:
mengandung humektan, emolien dan oklusif atau generasi baru yang
mengandung antiinflamasi dan antipruritus (glycerrhectinic acid, telmestein
dan vitis vinifera) atau yang mengandung bahan fisiologis (lipid, seramid,
Natural Moisturizing Factor.
 Menghindari faktor pencetus: berdasarkan riwayat (bahan iritan, bahan
alergen, suhu ekstrim, makanan, stres), manifestasi klinis dan hasil tes
alergi.
 Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk
2. Pengobatan topikal1,9
Kortikosteroid topikal merupakan pengobatan lini pertama untuk
dermatitis atopikkarena mempunyai daya anti-inflamasi, anti-proliferatif, dan
tindakan imunosupresif. Preparat kortikosteroid topikal ada tiga macam yaitu
kortikosteroid potensi kuat, sedang, dan lemah. Preparat potensi lemah
misalnya hidrokortison asetat 1% atau setara yang biasanya digunakan pada
wajah. Hal yang perlu diperhatikan adalah penggunaan kortikostreoid topikal
dapat menimbulkan efek samping baik lokal maupun sistemik. Efek samping

1
lokal yang dapat terjadi misalnya striae (stretch mark), petekie (bintik merah /
ungu

1
kecil), telangiektasia (pembuluh darah kecil yang melebar di permukaan kulit),
kulit yang menipis, atrofi dan jerawat. Namun, efek ini jarang terjadi pada
preparat potensi rendah atau sedang. Efek sistemik yang dapat terjadi yaitu
hambatan pertumbuhan pada anak-anak, mengurangi kepadatan tulang dan
penekanan hipotalamus-pituitary adrenal axis, tapi hal ini jarang terjadi.
 Kortikosteroid topikal (KST) potensi lemah digunakan untuk pasien DA
bayi, potensi lemah sampai sedang untuk DA anak, potensi sedang sampai
kuat untuk DA dewasa.
 Gunakan KST mulai potensi rendah yg paling efektif untuk anak.
 Usia 0-2 tahun maksimum KST potensi rendah.
 Usia >2 tahun maksimum KST potensi sedang.
 Usia pubertas sampai dewasa poten tinggi atau superpoten 2 kali sehari.
 Pada wajah dan fleksura dapat dikontrol dengan pemberian KST potensi
sedang selama 5-7 hari, kemudian diganti menjadi KST potensi lebih
ringan atau inhibitor kalsineurin inhibitor (IKT).
 Gunakan KST 2 kali sehari sampai lesi terkontrol atau selama 14 hari
3. Pengobatan sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada DA anak. Antihistamin sistemik
digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam
hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai
ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin.
Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang
mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1 dan H2,
dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa.

2.10 Prognosis
Secara keseluruhan, banyak pasien dengan dermatitis atopik membaik
seiring waktu. Namun, pada saat yang sama pasien dengan dermatitis atopik juga
dapat mengalami rinitis alergi dan asma, yang mungkin tidak membaik. Dalam
kebanyakan kasus dermatitis atopik yang timbul pada masa kanak-kanak, kelainan
ini berlangsung selama beberapa dekade. Kondisinya kambuh dan remisi; kambuh
sering membutuhkan penggunaan obat-obatan. Orang yang terus menerus terpapar

1
asap, tembakau, bulu hewan peliharaan, asap, serbuk sari, sabun, deterjen, dan
wol akan terus mengalami gejala dan kualitas hidup secara keseluruhan akan
buruk.
Rasa gatal yang terus-menerus dan berulang tidak hanya menyebabkan
iritasi tetapi juga mahal untuk ditangani. Komplikasi dermatitis atopik yang
terkenal adalah erupsi Kaposi varicelliform, yang terkait dengan infeksi herpes
primer. Lesi vesikuler muncul di daerah eksim dan dapat dengan cepat menyebar
ke kulit yang sehat. Pengobatan dengan asiklovir dapat membantu menurunkan
morbiditas.

1
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : An. MAU
Usia : 8 tahun
Tanggal lahir : 1 Januari 2014
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar SD
Agama : Islam
Suku : Minangkabau
Status Perkawinan : Belum kawin
Alamat : Tabing, Padang
Nama Ibu Kandung : Ny. Devi
No. HP 082259976480
Tanggal Pemeriksaan : 25 Oktober 2022

3.2 Anamnesis
Keluhan
Utama
Seorang pasien laki-laki berusia 8 tahun datang dibawa ibunya ke Poli Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil dengan keluhan utama bitnik-bintik
kemerahan, bercak kemerahan, luka lecet, adanya keropeng yang terasa gatal di
sekitar lipatan lutut, lipatan lengan, dan tungkai yang semakin bertambah sejak 1
minggu ini.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Awalnya bintik-bintik kemerahan, bercak kemerahan, luka lecet, adanya
keropeng yang terasa gatal di sekitar lipatan lutut, lipatan lengan, dan tungkai
yang semakin bertambah sejak 1 minggu ini.
 Pasien sering menggaruk bintik merah sehingga menimbulkan luka lecet dan
keropeng.
 Pasien merasakan gatal di area lesi dan meningkat apabila berkeringat,
terutama setelah kegiatan olahraga di sekolah. Gatal juga dirasakan meningkat
2
pada malam hari.

2
 Bintik merah muncul pertama kali saat usia 4 tahun yang awalnya terlihat pada
lipatan lutut.
 Keluhan bintik merah ini dirasakan hilang timbul sejak 4 tahun ini.
 Lesi di sela-sela jari tidak ada
 Riwayat kulit kering ada
 Riwayat bersin-bersin di pagi hari ada
 Riwayat alergi makanan, debu, dan bulu binatang tidak ada
 Demam tidak ada
 Riwayat batuk pilek, nyeri tenggorokan, dan penurunan berat badan tidak ada
 Riwayat memakai pakaian tebal tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien pernah mengalami gejala yang sama saat usia 4 tahun dan hilang timbul
hingga sekarang
 Riwayat penyakit asma, rhinitis alergi disangkal
 Riwayat bercak merah kecil di pipi tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


 Ayah dan paman pasien yang tinggal serumah mengalami keluhan yang sama,
lesi berada pada sela jari tangan dan kaki. Kemudian membeli obat sendiri di
apotek, yaitu kalpanak krim, tetapi sampai sekarang masih belum sembuh.
 Terdapat riwayat bersin-bersin saat pagi hari pada ayah pasien

Riwayat Pengobatan
 Ibu pasien pernah mengobati keluhan dengan kalpanak krim 1 bulan yang lalu,
namun lesi menjadi tambah kering

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
 Kesadaran Umum : Sakit ringan
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan Darah : diharapkan dalam batas normal

2
 Nadi : diharapkan dalam batas normal
 Nafas : diharapkan dalam batas normal
 Suhu : 36,8oC

Status Generalis:
 Rambut : hitam, tidak mudah rontok, alopesia tidak ada
 Kepala : normochepal, dalam batas normal
 Mata : konjungitva hiperemis -/-, hiperlakrimasi -/-, sekret -/-,
area hitam di palpebra inferior (+/+)
 Hidung : tidak ditemukan kelainan
 Telinga : tidak ditemukan kelainan
 KGB : Tidak ada pembesaran KGB
 Paru :
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
- Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Tidak ada pembesaran jantung
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : Irama jantung reguler, bising jantung (-), mumur (-)
 Regio Abdomen :
- Inspeksi : Tidak tampak membuncit
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, edem tidak ada

Status Dermatologikus
 Lokasi : lipatan lengan, lipatan lutut, dan tungkai
 Distribusi : simetris

2
 Bentuk : bulat - tidak khas
 Susunan : diskret - konfluens
 Batas : tegas – tidak tegas
 Ukuran : miliar – plakat
 Efloresensi : plak eritema, likenifikasi disertai ekskoriasi dan macula serta
papul pada daerah lipatan lutut, lipatan lengan dan tungkai

Status Venereologikus
Tidak dilakukan pemeriksaan

Foto Pasien (25 Oktober 2022)

2
3.4 Resume
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dibawa ibunya datang ke Poli
Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 25 Oktober 2022,
dengan keluhan utama bintik-bintik kemerahan, bercak kemerahan, luka lecet,
adanya keropeng yang terasa gatal di sekitar lipatan lutut dan lipatan siku yang
semakin bertambah sejak 1 minggu ini.
Bintik-bintik pertama kali muncul saat pasien berumur 4 tahun dan hilang
timbul sampai saat ini. Bintik awalnya terlihat pada lipatan lutut pasien. Lesi
dirasakan gatal dan meningkat pada saat berkeringat. Pasien sering menggaruk
bintik-bintik merah sehingga menimbulkan luka lecet dan keropeng. Ibu pasien
juga mengatakan kulit pasien terlihat kering. Pasien memiliki riwayat sering
bersin di pagi hari. Ayah dan paman pasien diketahui juga memiliki keluhan
yang sama dengan pasien. Ibu pasien pernah mengobati lesi pada pasien dengan
kalpanak krim.
Dari pemeriksaan dermatologikus ditemukan adanya lesi di lokasi :
lipatan lutut, lipatan lengan, dan tungkai bawah, distribusi simetris, berbentuk
bulat - tidak khas, susunan diskret - konfluens, batas tegas-tidak tegas, ukuran
miliar-plakat, efloresensi didapatkan plak eritema, likenifikasi disertai ekskoriasi
dan makula serta papul pada daerah lipatan lutut, lipatan lengan dan tungkai
pasien.

3.5 Diagnosis Kerja


Dermatitis atopik fase anak derajat sedang

2
3.6 Diagnosis Banding
 Dermatitis numularis
 Dermatitis intertriginosa
 Dermatitis kontak
 Dermatitis traumatika
 Scabies

3.7 Pemeriksaan Laboratorium dan Anjuran


Pemeriksaan IgE

3.8 Tatalaksana
Umum
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa penyakit yang
dialami pasien disebabkan oleh gangguan sawar kulit dan sistem imun
pada pasien atau keluarganya yang memiliki riwayat atopi terhadap
pajanan allergen.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga cara merawat kulit pasien
dengan mandi menggunakan air hangat, tidak lebih dari 10 menit,
menggunakan sabun netral, pH rendah, hipoalergenik, berpelembab,
segera setelah mandi 3 menit mengolesan pelembab 2-3 kali sehari atau
bila masih teraba kering.
 Menghindari faktor pencetus.
 Membersihkan alas kasur, selimut dan karpet agar tidak berdebu.
 Mencegah garukan agar luka lecet tidak bertambah.
 Menghindari memakai baju berlapis atau kegiatan yang berkeringat.
 Menjelaskan kepada pasien untuk selalu menggunakan pelembab untuk
membuat kulit menjadi lembab dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Khusus
 Topikal: Krim hidrokortison burtirat 2,5% 2 kali sehari.
Krim Urea 10% dioleskan sesering mungkin setelah mandi.
 Sistemik: Cetirizin 1 x 10 mg.

2
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

2
BAB 4
DISKUSI

Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat


kronik, residif (sering kambuh) dan sangat gatal. Penyakit ini merupakan
penyakit kulit yang umum terjadi pada anak-anak dan dan sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau
penderita. Pada kasus ini seorang pasien laki-laki usia 8 tahun dengan keluhan
bintik kemerahan dan bercak kemerahan yang terasa gatal yang semakin
bertambah banyak sejak 1 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat sering
bersin di pagi hari. Ayah dan paman pasien juga memiliki keluhan yang sama
dengan pasien.
Manifestasi klinis pada dermatitis atopik adalah munculnya lesi pada
kulit berupa papul eritema multipel dengan sebaran sesuai umur pasien saat
munculnya lesi. Berdasarkan umurnya, lokasi lesi dermatitis atopik dapat dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu: bayi (0-2 tahun), anak-anak (2 tahun-pubertas), dan
remaja/dewasa. Pada bayi sebaran lesi kulit biasanya terdapat di daerah wajah,
leher, badan dan permukaan ekstensor dari ekstremitas, sedangkan untuk anak-
anak sebaran lesi biasanya terdapat di leher, pergelangan tangan dan kaki, dan di
bagian lipatan dari ekstremitas. Pada remaja dan dewasa lesi di tangan, kaki, dan
bagian lipatan dari ekstremitas. Pada kasus dimana pasien berusia 8 tahun, lesi
kulit yang muncul adalah papul eritema dan sewarna kulit mutipel berbentuk
bulat dengan sebaran lesi sesuai kelompok umurnya, yaitu di daerah lipatan
ekstremitas dan tungkai. Dari gambaran klinis dan lokasi sebaran lesi kulit pada
pasien sangat mendukung diagnosis ke arah dermatitis atopi.
Pada kasus di atas, pasien mengeluh gatal dan suka menggaruk, pasien
juga memiliki lesi kulit dan riwayat terkena dermatitis di daerah lipatan dan
pasien memiliki kulit kering. Dari keluhan pasien tersebut, pasien sudah
memenuhi kriteria diagnostik dari Hanifin dan Rajka yang kemudian
disederhanakan oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh
William. Derajat keparahan inflamasi dermatitis dengan menggunakan SCORAD
(Score of Dermatitis Atopic) dengan menilai (A) luas lesi, (B) tanda-tanda
inflamasi, dan (C) keluhan gatal dan gangguan tidur, didapatkan pada pasien ini
yaitu derajat ringan.
2
Pengobatan dermatitis atopik dapat menggunakan sediaan topikal
maupun sistemik. Pengobatan topikal dapat menggunakan sediaan untuk
menghidrasi kulit, kortikosteroid topikal, imunomodulator topikal, preparat ter.
Sedangkan pengobatan yang digunakan adalah kortikosteroid, antiinfeksi,
antihistamin, dan innterferon.
Sediaan topikal untuk menghidrasi kulit digunakan karena keadaan kuit
pasien dermatitis atopik yang cenderung kering menyebabkan fungsi sawarnya
berkurang dan mudah retak, hal ini memudahkan masuknya mikroorganisme,
alergen, dan bahan iritan, sehingga perlu diberikan pelembab seperti krim
hidrofilik urea 10% atau asam laktat yang konsentrasinya tidak lebih dari 5%.
Penggunaan kortikosteroid topikal untuk pasien dermatitis atopik merupakan
pengobatan yang paling sering digunakan sebagai antiinflamasi lesi kulit. Namun
penggunaannya harus dilakukan hati-hati agar tidak menimbulkan efek samping.
Pemilihan kortikosteroid topikal juga harus disesuaikan dengan potensi dari
kortikosteroid tersebut, umur pasien, lokasi pemakaian. Penggunaan sistemik
untuk pasien dermatitis atopik yang biasa digunakan adalah kortikosteroid,
namun penggunaannya terbatas. Selain itu penggunaan antihistamin sistemik
juga dapat digunakan untuk mengendalikan rasa gatal yang terutama dirasakan
pasien di malam hari yang dapat mengganggu tidurnya.
Pada pasien ini, pemberian obat cetirizin tablet berfungsi untuk
mengurangi rasa gatal yang dialami pasien terutama saat tidur, krim urea 10%
untuk mengurangi keluhan kulit kering dan hidrokortison 2,5% untuk mengatasi
inflamasi pada kulit.

2
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2019. 167–183 p.
2. C A. Overview of Atopic Dermatitis. AJMC. 2017;23(8).
3. Frazier W BN. Atopic Dermatitis: Diagnosis and Treatment. Am Fam
Physician. 2020;101(10):590–8.
4. Kim J, Kim BE LD. Pathophysiology of atopic dermatitis: clinical
implication. Allergy Asthma Proc. 2019;40(2):84–92.
5. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta; 2013.
6. Torres T, Ferreira EO, Goncalo M, Bastos PD, Selores M FP. Update on
Atopic Dermatitis. Acta Med Port. 2019;32(9):606–13.
7. Boothe WD, Tarbox JA TM. Atopic Dermatitis: Pathophysiology. Manag
Atopic Dermat. 2017;21–37.
8. M N. Atopy patch testing with airborne allergens. Acta Dermatoverologica.
2013;22:39–42.
9. Indonesia PDSK dan K. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin di Indonesia. 2017. 191–194 p.

Anda mungkin juga menyukai