Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

Hipertensi stage 2 ec Diabetes Mellitus Tipe 2

Oleh:
Faridatul Lutfi 1810312111

Preseptor:
dr. Wahyudi, Sp.PD-KKV

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Pada
DM tipe 2 terjadi resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan dari sel beta pankreas.
Penyakit DM ini telah banyak menimbulkan permasalahan di masyarakat dan berpengaruh
terhadap kualitas sumber daya manusia serta berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang
cukup besar.1 Diantara penyakit degeneratif, diabetes melitus merupakan salah satu penyakit
tidak menular yang diperkirakan jumlahnya akan meningkat di masa mendatang. Hal ini
dikarenakan adanya peningkatan kemakmuran di negara berkembang, peningkatan pendapatan
perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar. WHO memperkirakan bahwa
pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan
pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.2
WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita
diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di
Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan
pemeriksaan secara teratur.3 Menurut data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional DM di
Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasarkan data IDF 2014, tahun 2015
diperkirakan 9,1 juta orang penduduk didiagnosis DM. Dengan angka tersebut, Indonesia
menempati peringkat ke-5 di dunia.
Untuk dapat mengurangi angka penderita diabetes melitus, maka diperlukan adanya
tatalaksana yang komprehensif yang mencakup preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Bagi
dokter pelayanan primer, diabetes melitus tipe 2 merupakan kompetensi 4A artinya dokter dapat
mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu penting
untuk mengetahui dan membahas prinsip tentang penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 pada
makalah ini.2

1.1. Rumusan Masalah


Makalah ini membahas prinsip tentang penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 secara
komprehensif.

1.2. Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai prinsip
tatalaksana diabetes melitus tipe 2 secara komprehensif.

1.3. Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari
berbagai literatur.

1.4. Manfaat Penulisan


Melalui penulisan makalah ini diharapkan bermanfaat untuk informasi dan pengetahuan tentang
tatalaksana diabetes melitus tipe 2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemi kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh
kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes
melitus akan disertai dengan kerusakan, ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.4

Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik. Meskipun kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Walaupun insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel
beta pankreas, diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus
yang berarti glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan sekitar 75%
dari penderita DM tipe 2 ini dengan kondisi obesitas atau kegemukan serta biasanya diketahui
DM setelah usia 30 tahun.4

2.2 Epidemiologi
Secara global, pada tahun 2011, diperkirakan 366 juta orang menderita DM, dengan jumlah tipe
2 sekitar 90% kasus.5,6 WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes
di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan pada tahun 2025 jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang.2 Menurut data RISKESDAS 2018, prevalensi nasional
DM di Indonesia adalah sebesar 8,5% atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM.

Diabetes melitus tipe 2 secara luas didiagnosis pada orang dewasa. Meskipun demikian,
frekuensinya meningkat tajam pada kelompok usia anak- anak selama dua dekade terakhir.
Diabetes melitus tipe 2 sekarang mewakili 8- 45% dari semua kasus diabetes baru yang
dilaporkan di antara anak-anak.7 Prevalensi DM tipe 2 pada populasi anak-anak lebih tinggi pada
anak perempuan daripada anak laki-laki.8

Usia rata-rata onset DM tipe 2 adalah 12-16 tahun. Periode ini bertepatan dengan masa pubertas,
ketika keadaan fisiologis resistensi insulin berkembang. Dalam keadaan fisiologis ini, DM tipe 2
berkembang hanya jika fungsi sel beta yang tidak adekuat dikaitkan dengan faktor risiko lainnya
(misalnya obesitas).7 Setelah usia pubertas, tingkat kejadian secara signifikan turun pada wanita
muda, namun tetap relatif tinggi pada pria dewasa muda hingga usia 29-35 tahun. 9 Saat ini
sebanyak 50% penderita diabetes tidak terdiagnosis. Risiko terkena diabetes tipe 2 meningkat
seiring bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Kejadiannya meningkat
dengan cepat, dan pada tahun 2030 jumlah ini diperkirakan hampir sekitar 552 juta . Diabetes
melitus terjadi di seluruh dunia, namun lebih umum (terutama tipe 2) di negara-negara yang
lebih maju, di mana mayoritas pasien berusia antara 45 dan 64 tahun. Namun, peningkatan
prevalensi terbesar diperkirakan terjadi di Asia dan Afrika.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus

Faktor risiko diabetes melitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
diantaranya ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat
melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) yaitu kurang dari 2500 gram. Sedangkan factor risiko yang dapat dimodifikasi
diantaranya berat badan lebih, obesitas sentral, kurangnya aktivitas fisik, dislipidemia, hipertensi,
diet yang tidak sehat/ tidak seimbang, riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau gula darah
puasa terganggu, dan merokok.5,6

Tabel 2.2 Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2

DM tipe 2 terdiri dari 80% sampai 90% dari semua kasus DM. Kebanyakan individu dengan
diabetes tipe 2 menunjukkan obesitas intra-abdominal (visceral), yang berkaitan erat dengan
adanya resistensi insulin. Selain itu, hipertensi dan dislipidemia (kadar trigliserida tinggi dan
kadar kolesterol HDL rendah; hiperlipidemia postprandial) sering ditemukan pada individu-
individu ini. Ini adalah bentuk diabetes mellitus yang paling umum dan sangat terkait dengan
riwayat keluarga diabetes, usia lanjut, obesitas dan kurang olahraga. Hal ini lebih sering terjadi
pada wanita, terutama wanita dengan riwayat diabetes gestasional, dan pada kulit hitam,
Hispanik dan penduduk asli Amerika.10

2.4 Patofisiologi
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai
patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ
lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.11

Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel beta pankreas
saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe 2 tetapi terdapat organ lain yang
berperan yang disebutnya sebagai the egregious eleven (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Patogenesis Hiperglikemi


Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh hal berikut :11

Kegagalan sel beta pankreas

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Disfungsi sel alfa pankreas

Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui
sejak 1970. Sel alfa berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di
dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hasi
(HGP/hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal.

Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses
lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA/Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA
akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot,
sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity.

Otot

Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular,
akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

Hepar

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalamkeadaan basal oleh hepar (HGP/hepatic glucose production)
meningkat.

Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM
maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak.
Kolon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan hiperglikemia.


Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga
menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang menjadi
DM. Prebiotik dan probiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan
hiperglikemia.

Usus Halus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara
intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide) atau
disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan.

Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita
DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urin.
Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensu kerusakan sel beta pankreas.
Penurunan kada amilin menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan
absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.

Sistem Imun

Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai inflamasi derajat
rendah, merupakan bagian dari aktivitas sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan erat
dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah erperan dalam induksi stres pada endoplasma
akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus yaitu:
poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing
di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), mudah lelah.12

Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk
jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi
mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi
impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.12

Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama adalah hiperglikemia
dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak adekuat.8 Hiperglikemia pada
diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan glukosa darah ke dalam sel target, dengan
akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini
juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai respon
tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini juga akan
menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa lapar meningkat
(polifagi).13
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas. Pengeluaran cairan tubuh
berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan
penarikan air dari intrasel ke ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul
rasa haus terus- menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi dapat
berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya tekanan filtrasi
glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah kecenderungan dehidrasi
ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai dengan kolapsnya sirkulasi. Perubahan
volume sel akibat keadaan hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat
mengganggu fungsi sel-sel dalam tubuh.13

2.6 Diagnosis

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk
diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah
beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang
abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.8
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia >
45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.8
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) standar.8

Gambar 2.1 Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi


2.7 Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe II
Tujuan Tatalaksana Diabetes Melitus, yaitu :
- Menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai
target pengendalian glukosa darah.
- Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan
neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus, yaitu
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.15
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.15
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.15
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari15:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8 g/KgBB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup
serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,
karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah± 25 g/hari.
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes.
Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 2530
kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan
rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
 BB Normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : < BBI 10 %
 Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh
dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT
 BB Kurang < 18,5
 BB Normal 18,522,9
 BB Lebih ≥ 23,0
Faktorfaktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain15:
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar
25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara
40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%,
di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20%
pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila
kurus ditambah sekitar 2030% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.Untuk
tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 10001200 kkal
perhari untuk wanita dan 12001600 kkal perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani.15

Tabel 2.3Aktivitas Sehari-hari


4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.15

Obat Hipoglikemik Oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan15:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang.Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular,
tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.15

2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.15
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin:
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena
dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan
ini adalah Pioglitazone.15
2) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)
serta memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin merupakan pilihan pertama
pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh
diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya
gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC III-IV]).
Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya
gejala dispepsia.15
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan: penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan
faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-
1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Tabel 2.4. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

Obat Antihiperglikemia Suntik


a. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan
pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon,
dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk
indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah:
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April
2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2
mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa
dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa
kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan.
c. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam penatalaksanaan
DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat
antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat antihiperglikemia oral
maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik
secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia
oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus
diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak
sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila
kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.

Prinsip pemberian terapi:


 Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C<7,5% maka pengobatan non farmakologis
dengan modifikasi gaya hidup sehat dengan evaluasi HbA1C 3 bulan, bila tidak mencapai
target <7% maka dilanjutkan dengan monoterapi oral
 Untuk penderita DM tipe-2 dengan HbA1C 7,5%- 9% diberikan modifikasi gaya hidup
sehat ditambah monoterapi oral. Pemilihan obat perlu pertimbangan keawaman
(hipoglikemi, pengaruh terhadap jantung), efektivitas, ketersediaan, toleransi pasien, dan
harga. Obat monoterapi dapat dikelompokkan menjadi
 Bila obat monoterapi tidak bias mencapai target HbA1C<7% dalam waktu 3 bulan maka
terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang terdiri dari obat yang
diberikan pada lini pertama ditambah dengan obat lain yang mempunyai mekanisme
kerja yang berbeda
 Bila HbA1C sejak awal >9% maka bias langsung diberikan kombinasi 2 macam obat,
jika tidak mencapai target kendali maka diberikan kombinasi 3 macam obat.
 Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka langkah
berikutnya adalah pengobatan insulin basal plus/bolus atau premix
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
 Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
 Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.Guna
mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
glukosa2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yanglain secara berkala
sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan
untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan
setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
Gambar 2.2. Algoritma Pengelolaan DM tipe II tanpa Dekompensasi
2.8 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe II
Komplikasi diabetes melitus biasanya melibatkan mikrovaskular, makrocaskular dan
neuropati.

1. Risiko Kardiovaskular10
Pada pasien diabetes melitus tipe 2 terdapat beberapa keabnormalan lipid yaitu:
 Peningkatan LDL
 Penurunan HDL
 Peningkatan level trigliserida
Abnormalitas dari nilai lipid tersebut akan meningkatkan risiko aterosklerosis
2. Penurunan Fungsi Kognitif
Pada penelitian cross sectional yang dilakukan pada 350 pasien usia 55 tahun atau lebih
dengan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan 363 kontrol pasien usia 60 tahun atau lebih
tanpa diabetes melitus, didapatkan hasil bahwa pada pasien diabetes lebih tinggi risiko
atrofi otak daripda lesi serebrovaskular yang gambarannya seperti fase preklinis penyakit
Alzheimer. Diabetes tipe 2 sering dihubungkan dengan atrofi hipokampus temporal, frontal
dan atrofi limbik.

Selain pembagian diatas, komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 10
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
Adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia
lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu,
Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia ditandai
dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Pada keadaan ini biasanya ditemukan whipple’s triad:
- terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- kadar glukosa darah yang rendah
- gejala berkurang dengan pengobatan
Tabel 2.4 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa:
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia,
gelisah, paresthesia, widened pulde-pressure
palpitasi, Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, Cortical-blindness,
pusing, confusion, hipotermia, kejang, koma
perubahan sikap,
gangguan kognitif,
pandangan kabur,
diplopia

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia:


a. Hipoglikemia Ringan
- Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)
- Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi
glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah
- Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan glukosa
darah.
- Glukosa 15-20 gr (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air dapat diberikan
pada pasien hipoglikemia yang masih sadar.
- Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan 15 menit pemberian
upaya terapi.
- Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien
diminta untuk makan atau mengonsumsi snack untuk mencegah berulangnya
hipoglikemia.

b. Hipoglikemia Berat
- Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian
dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextrose 40% sebanyak
25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
- Periksa gluksa darah 15 menit setelah pemberian iv tersebut. Bila kadar glukosa
darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%
- Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah settiap 1-2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang, pemberian dekstrose 20% dapat diulang.

2. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba,
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis
diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis
1. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum berkembang pada
penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke
2. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM
tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi
2.9 Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu: 10
1. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang
memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor
risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan premodial
pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa
bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola
hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk
menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
d. Riwayat keluarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya
DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat penting
dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan.
Selain itu perlu diketahui dua faktor risiko diabetes melitus berupa yang tidak dapat
dimodifikasi dan dapat dimodifikasi:
Tidak bisa dimodifikasi Dapat dimodifikasi
- Ras dan etnik - Berat badan lebiH (IMT ≥ 23
- Riwayat keluarga dengan DM kg/m2
- Umur: risiko untuk menderita - Kurangnya aktivitas fisik
intolerasni glukosa meningkat - Hipertensi (>140/90)
seiring dengan meningkatnya usia. - Dislipidemia (HDL <35 mg/dl
Usia >45 tahun harus dilakukan dan/atau trigliserida >250 mg/dl
pemeriksaan DM - Diet tidak sehat dengan tinggi
- Riwayat melahirkan bayi dengan glukosa dan rendah serat
berat >4000 gram atau riwayat
mendeirta diabetes gestasional
- Riwayat lahir dengan BBLR, kurng
dari 2,5 kg

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan
pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi: a. penyuluhan b.
perencanaan makanan c. latihan jasmani d. obat berkhasiat hipoglikemik.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi
pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik
dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya
para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan
lain-lain.
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Ny. N
Umur/ tanggal lahir : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM RS : 01200568
Alamat : Mekar Jaya Tambusai Utara
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Negeri Asal : Indonesia
Telpon : 08122848xxxx
Tanggal Pemeriksaan : 27 Desember 2023

ANAMNESIS

(Alloanamnesis : Suami)

Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien tidak sadarkan diri sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Penurunan kesadaran terjadi secara perlahan
Penurunan kesadaran disertai demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Demam naik turun dan tidak tinggi dan tidak menggigil.
Pasien sesak napas 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak menciut dan dipengaruhi
oleh aktivitas
Batuk sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, batuk sesekali dan tidak berdahak
Pasien sering merasakan nyeri di luka kaki kiri. Luka muncul akibat tertusuk paku 3 tahun lalu
dan tidak sembuh-sembuh
Psien merasakan mual dan muntah sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Muntah sehari
hingga 3 kali dan berisi makanan
Pasien sebelumnya sering BAK malam hari, sering merasa haus, dan sering lapar
Pasien telah terdiagnosis diabetes mellitus tipe 2 sejak 5 tahun lalu dan tidak rutin minum obat
Pasien sebelumnya memiliki berat badan obesitas dan telah mengalami penurunan berat badan
sejak terdiagnosis diabetes mellitus tipe 2
BAB hitam tidak ada, nyeri ketika BAK tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien ada riwayat penyakit diabetes mellitus tipe 2 sejak 5 tahun lalu
Tidak ada riwayat sakit kuning
Tidak ada riwayat hipertensi

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit diabetes mellitus pada keluarga pasien

Riwayat Penggunaan Obat

Tidak ada obat yang dimakan pasien sebelum masuk rumah sakit

Pekerjaan, faktor ekonomi, kejiwaan, dan kebiasaan


Pasien seorang ibu rumah tangga dengan 5 orang anak. Pasien suka makan dengan porsi besar
dan memiliki riwayat obesitas

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum

Keadaan umum : Berat

Kesadaran : Somnolen

Tekanan darah : 158/86 mmHg

Nadi : 98 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit

Suhu : 37,9 ° C

SpO2 : 98%

Pemeriksaan Fisik

Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-), sianosis (-), spider
nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (+), pertumbuhan rambut normal.

Kelenjar Getah Bening


Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula, supraklavikula,
infraklavikula, aksila, inguinalis

Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformasi (-), rambut hitam, lurus, tidak mudah dicabut

Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan
penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (-).

Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), nyeri tekan processus mastoideus (-),
pendengaran baik.

Mulut
Gigi berlubang dan karies (+), pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi
berdarah (-), stomatitis (-), bau pernafasan khas (-).

Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada, JVP (5-2) cmH2O,
kaku kuduk (-).

Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi (-).
Paru-paru
I : Statis,dinamis simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar
P : fremitus tidak dapat dinilai karena pasien penurunan kesadaran
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A: bronkovesikuler (+) di kedua lapangan paru, ronkhi basah kasar (+) di kedua basal
paru, wheezing (-).
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus codis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
P : batas atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas jantung kiri LMCS
RIC V
A: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : tidak membuncit, venektasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae kanan, dan 1 jari
dibawah processus xipoideus, lien tidak membesar.
P : timpani
A: BU (+) normal
Alat kelamin
Tidak diperiksa

Ekstremitas atas :
Nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (+), eritema palmaris (-), sianosis (-).

Ekstremitas bawah :
Kelemahan otot (-), nyeri sendi (-), edema pretibia (-) pada kedua tungkai, jaringan parut (-),
pigmentasi normal, jari tabuh (-), turgor kembali lambat (+), akral pucat (-), sianosis (-).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin:
Desember 2023
Hb : 11 gr/dl
Leukosit : 13.650/mm3
Trombosit : 158.000/mm3
Hematokrit : 31 %
MCV/MCH/MCHC : 76/27/35
Ureum darah : 197 mg/dl
RDW-CV : 14.6%
Kreatinin darah : 10,9 mg/dl
GDS : 128 mg/dl
Natrium : 129 mmol/L
Klorida : 100 mmol/L
Kalium : 4,8
PH : 7,359
PCO2 : 18,4
PO2 : 71,1
SO2% : 94,7
HCT : 34
HCO3- : 10,5
TCO2 : 11
BEect : -15,2
BE (B) : -12,3
Kesan : Leukositosis, ureum dan kreatinin meningkat, natrium manurun

Desember 2023
SGOT : 22 U/L
SGPT : 8 U/L
Asam urat : 11,2 mg/dL
Kolesterol total : 227 mg/dL
Kolesterol HDL : 27 mg/dL
Kolesterol LDL : 156 mg/dL
Trigliserida : 221 mg/dL
Gula darah puasa : 69 mg/dL
HBA1C : 5,8%
Kalsium : 8.8 mg/dL
Anti HIV : non reaktif
HBsAg : non reaktif
Anti HCV Rapid : non reaktif
Total protein : 6,1 g/dL
Albumin : 2,5 g/dL
Globulin : 3,6 g/dL
Bilirubin total : 0,3 mg/dL
Bilirubin direk : 0,1 mg/dL
Bilirubin indirek : 0,2 mg/dL
Kesan : total protein dan albumin menurun, asam urat meningkat, dyslipidemia

Hb : 9,9 gr/dl
Leukosit : 15.820/mm3
Trombosit : 177.000/mm3
Hematokrit : 29 %
Eritrosit : 3.750.000
MCV/MCH/MCHC : 77/26/35
Ureum darah : 152 mg/dl
RDW-CV : 14.6%
Kreatinin darah : 8,6 mg/dl
Eosinophil : 3%
Neutrophil segmen : 80%
Limfosit : 10%
Monosit : 7%
Total protein : 5,2 g/dL
Albumin : 2,5 g/dL
Globulin : 27 g/dL
SGOT : 10 U/L
SGPT : 7 U/L
Natrium : 132 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Klorida : 104 mmol/L
Kesan : total protein dan albumin menurun,ureum dan kreatinin meningkat, natrium menurun,
anemia, leukositosis dengan neutrofilia shift to the right

Urinalisis
Warna : kuning muda
Kekeruhan : positif
Leukosit : 300-350/LPB
Eritrosit : 250-350/LPB
Epitel : positif/LPB
Bakteri : positif
BJ : 1,008
PH :6
Protein : +1
Kesan : leukosituria, hematuria, proteinuria (+1), ditemukan bakteri, nitrit (-)

Hb : 8 gr/dl
Leukosit : 7.180/mm3
Trombosit : 61.000/mm3
Hematokrit : 24 %
MCV/MCH/MCHC : 80/26/33
RDW-CV : 15%
PH : 7,49
PCO2 : 29,4
PO2 : 66,1
SO2% : 95,3
HCT : 28
HCO3- : 22,8
TCO2 : 23,8
BEect : -1
BE (B) : 0,2
Kesan : Anemia, trombositopenia

Pemeriksaan rongsen thorax

Kesan : bronkopneumonia
Diagnosis Utama
Penurunan kesadaran
KAD
DM tipe 2
hipertensi
Diagnosis Banding
KHONK
Diagnosis Kerja
CKD grade 5
Penurunan kesadaran ec CKD
DM tipe 2
Hipertensi grade 2
Penatalaksanaan
Nonfarmakologis
Istirahat
O2 8 liter nasal kanul
Farmakologis
Renxamin 200 cc/24 jam (untuk hipoalbumin)
Drip nicardipin, asam folat 1x5 mg
Natrium bicarbonat 3x500 mg
Amlodipine 1x10 mg (hipertensi)
Candesartan 1x16 mg (hipertensi)
Asetilsistein 3x200 mg (bronkopneumonia)
Cefepime 3x500 mg drip 4 jam dengan syringe pump (antibitik)
Levofloxacin 1x500 mg/48 jam (antibiotik)
Rencana Lanjutan
Konsul bagian neurologi
Prognosis
Quo Ad functionam : dubia ad bonam
Quo Ad vitam : dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien perempuan usia 49 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUP M
Djamil Padang dengan diagnosis DMT2, Hipertensi stage 2, CKD, dan ulkus diabetikum telapak
kaki kiri. Penegakan diagnosis pada pasien ini, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien mengalami penurunan kesadaran dengan kesadaran
somnolen, tekanan darah 185/92 mmHg, nadi 89 x/menit, pernapasan 28 x/menit, suhu 37,9 ° C,
SpO2 97%. Pada pasien terjadi penurunan kesadaran. Tekanan darah 185/92 mmHg yaitu
hipertensi grade 2, suhu 37,9 ° C yaitu terjadi demam pada pasein, nadi 89 x/menit yaitu normal,
pernapasan 28 x/menit yaitu sesak napas.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan turgor kulit menurun dan gigi geraham
kanan atas karies disertai adanya karies di gigi seri bawah. Turgor kulit menurun menandakan
terjadi dehidrasi. Dehidrasi terjadi karena pengikatan air oleh glukosa dalam urin, sehingga pada
pasien juga terjadi poliuria. Ini merupakan gejala klasik dari diabetes mellitus. Gigi berlubang
dan karies pada pasien merupakan sumber infeksi yang dapat memicu terjadinya ketoasidosis
metabolik. Berdasarkan hasil rongsen thorax, tampak bronkopneumonia. Bronkopneumonia
merupakan sumber infeksi terjadinya ketoasidosis.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang, didapatkan GDS 128 mg/dl, natrium 129 mmol/L,
klorida 100 mmol/L, kalium 4,8, PH 7,359 mmHg, HCO3 10,5 mmol/L. Pada pasien dengan
GDS 128 mg/dl, kreatinin 10,9 mg/dl. GDS 128 mg/dl menandakan hiperglikemia, natrium 129
mmol/L menandakan hiponatremia, dan kreatinin 10,9 mg/dl menandakan peningkatan kreatinin
dalam darah. Peningkatan kreatinin dalam darah menandakan adanya gangguan di ginjal. Pada
pasien, nilai kreatinin clearance 5,52 ml/menit. Pada pasien ini, telah memenuhi syarat untuk
dilakukan hemodialisis.

Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dengan Renxamin 200 cc/24 jam untuk mengatasi
hipoalbumin, drip nicardipin untuk menurunkan tekanan darah pasien, natrium bicarbonat 3x500
mg untuk mengatasi hiponatremia pada pasien. Amlodipine 1x10 mg dan candesartan 1x16 mg
untuk mengatasi hipertensi. Asetilsistein 3x200 mg untu mengatasi infeksi bronkopneumonia,
cefepime 3x500 mg drip 4 jam dengan syringe pump dan levofloxacin 1x500 mg/48 jam sebagai
antibiotik untuk ulkus diabetic pada telapak kaki kiri pasien.

Anda mungkin juga menyukai