Case Report Session DM Farida
Case Report Session DM Farida
Oleh:
Faridatul Lutfi 1810312111
Preseptor:
dr. Wahyudi, Sp.PD-KKV
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemi kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh
kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes
melitus akan disertai dengan kerusakan, ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.4
Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik. Meskipun kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Walaupun insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel
beta pankreas, diabetes mellitus tipe 2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus
yang berarti glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan sekitar 75%
dari penderita DM tipe 2 ini dengan kondisi obesitas atau kegemukan serta biasanya diketahui
DM setelah usia 30 tahun.4
2.2 Epidemiologi
Secara global, pada tahun 2011, diperkirakan 366 juta orang menderita DM, dengan jumlah tipe
2 sekitar 90% kasus.5,6 WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes
di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan pada tahun 2025 jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang.2 Menurut data RISKESDAS 2018, prevalensi nasional
DM di Indonesia adalah sebesar 8,5% atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM.
Diabetes melitus tipe 2 secara luas didiagnosis pada orang dewasa. Meskipun demikian,
frekuensinya meningkat tajam pada kelompok usia anak- anak selama dua dekade terakhir.
Diabetes melitus tipe 2 sekarang mewakili 8- 45% dari semua kasus diabetes baru yang
dilaporkan di antara anak-anak.7 Prevalensi DM tipe 2 pada populasi anak-anak lebih tinggi pada
anak perempuan daripada anak laki-laki.8
Usia rata-rata onset DM tipe 2 adalah 12-16 tahun. Periode ini bertepatan dengan masa pubertas,
ketika keadaan fisiologis resistensi insulin berkembang. Dalam keadaan fisiologis ini, DM tipe 2
berkembang hanya jika fungsi sel beta yang tidak adekuat dikaitkan dengan faktor risiko lainnya
(misalnya obesitas).7 Setelah usia pubertas, tingkat kejadian secara signifikan turun pada wanita
muda, namun tetap relatif tinggi pada pria dewasa muda hingga usia 29-35 tahun. 9 Saat ini
sebanyak 50% penderita diabetes tidak terdiagnosis. Risiko terkena diabetes tipe 2 meningkat
seiring bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Kejadiannya meningkat
dengan cepat, dan pada tahun 2030 jumlah ini diperkirakan hampir sekitar 552 juta . Diabetes
melitus terjadi di seluruh dunia, namun lebih umum (terutama tipe 2) di negara-negara yang
lebih maju, di mana mayoritas pasien berusia antara 45 dan 64 tahun. Namun, peningkatan
prevalensi terbesar diperkirakan terjadi di Asia dan Afrika.
Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus
Faktor risiko diabetes melitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
diantaranya ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat
melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) yaitu kurang dari 2500 gram. Sedangkan factor risiko yang dapat dimodifikasi
diantaranya berat badan lebih, obesitas sentral, kurangnya aktivitas fisik, dislipidemia, hipertensi,
diet yang tidak sehat/ tidak seimbang, riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau gula darah
puasa terganggu, dan merokok.5,6
DM tipe 2 terdiri dari 80% sampai 90% dari semua kasus DM. Kebanyakan individu dengan
diabetes tipe 2 menunjukkan obesitas intra-abdominal (visceral), yang berkaitan erat dengan
adanya resistensi insulin. Selain itu, hipertensi dan dislipidemia (kadar trigliserida tinggi dan
kadar kolesterol HDL rendah; hiperlipidemia postprandial) sering ditemukan pada individu-
individu ini. Ini adalah bentuk diabetes mellitus yang paling umum dan sangat terkait dengan
riwayat keluarga diabetes, usia lanjut, obesitas dan kurang olahraga. Hal ini lebih sering terjadi
pada wanita, terutama wanita dengan riwayat diabetes gestasional, dan pada kulit hitam,
Hispanik dan penduduk asli Amerika.10
2.4 Patofisiologi
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai
patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ
lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.11
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel beta pankreas
saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe 2 tetapi terdapat organ lain yang
berperan yang disebutnya sebagai the egregious eleven (Gambar 2.1).
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui
sejak 1970. Sel alfa berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di
dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hasi
(HGP/hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal.
Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses
lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA/Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA
akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot,
sehingga mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity.
Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular,
akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Hepar
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalamkeadaan basal oleh hepar (HGP/hepatic glucose production)
meningkat.
Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM
maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak.
Kolon/Mikrobiota
Usus Halus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara
intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide) atau
disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan.
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita
DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urin.
Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensu kerusakan sel beta pankreas.
Penurunan kada amilin menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan
absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.
Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai inflamasi derajat
rendah, merupakan bagian dari aktivitas sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan erat
dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah erperan dalam induksi stres pada endoplasma
akibat peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin.
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus yaitu:
poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing
di malam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), mudah lelah.12
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk
jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi
mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi
impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.12
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama adalah hiperglikemia
dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang tidak adekuat.8 Hiperglikemia pada
diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan glukosa darah ke dalam sel target, dengan
akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini
juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai respon
tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini juga akan
menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa lapar meningkat
(polifagi).13
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas. Pengeluaran cairan tubuh
berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan
penarikan air dari intrasel ke ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul
rasa haus terus- menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi dapat
berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya tekanan filtrasi
glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah kecenderungan dehidrasi
ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai dengan kolapsnya sirkulasi. Perubahan
volume sel akibat keadaan hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat
mengganggu fungsi sel-sel dalam tubuh.13
2.6 Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk
diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah
beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang
abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.8
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia >
45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.8
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) standar.8
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.15
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin:
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena
dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan
ini adalah Pioglitazone.15
2) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)
serta memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin merupakan pilihan pertama
pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh
diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya
gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung [NYHA FC III-IV]).
Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya
gejala dispepsia.15
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan: penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan
faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-
1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Tabel 2.4. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
1. Risiko Kardiovaskular10
Pada pasien diabetes melitus tipe 2 terdapat beberapa keabnormalan lipid yaitu:
Peningkatan LDL
Penurunan HDL
Peningkatan level trigliserida
Abnormalitas dari nilai lipid tersebut akan meningkatkan risiko aterosklerosis
2. Penurunan Fungsi Kognitif
Pada penelitian cross sectional yang dilakukan pada 350 pasien usia 55 tahun atau lebih
dengan diabetes tipe 2 dibandingkan dengan 363 kontrol pasien usia 60 tahun atau lebih
tanpa diabetes melitus, didapatkan hasil bahwa pada pasien diabetes lebih tinggi risiko
atrofi otak daripda lesi serebrovaskular yang gambarannya seperti fase preklinis penyakit
Alzheimer. Diabetes tipe 2 sering dihubungkan dengan atrofi hipokampus temporal, frontal
dan atrofi limbik.
Selain pembagian diatas, komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 10
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
Adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia
lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu,
Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia ditandai
dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Pada keadaan ini biasanya ditemukan whipple’s triad:
- terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- kadar glukosa darah yang rendah
- gejala berkurang dengan pengobatan
Tabel 2.4 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa:
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia,
gelisah, paresthesia, widened pulde-pressure
palpitasi, Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, Cortical-blindness,
pusing, confusion, hipotermia, kejang, koma
perubahan sikap,
gangguan kognitif,
pandangan kabur,
diplopia
b. Hipoglikemia Berat
- Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian
dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextrose 40% sebanyak
25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
- Periksa gluksa darah 15 menit setelah pemberian iv tersebut. Bila kadar glukosa
darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%
- Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah settiap 1-2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang, pemberian dekstrose 20% dapat diulang.
2. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba,
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis
diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
1. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum berkembang pada
penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami
penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke
2. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM
tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi
2.9 Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu: 10
1. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang
memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor
risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan premodial
pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa
bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola
hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk
menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
d. Riwayat keluarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya
DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat penting
dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan.
Selain itu perlu diketahui dua faktor risiko diabetes melitus berupa yang tidak dapat
dimodifikasi dan dapat dimodifikasi:
Tidak bisa dimodifikasi Dapat dimodifikasi
- Ras dan etnik - Berat badan lebiH (IMT ≥ 23
- Riwayat keluarga dengan DM kg/m2
- Umur: risiko untuk menderita - Kurangnya aktivitas fisik
intolerasni glukosa meningkat - Hipertensi (>140/90)
seiring dengan meningkatnya usia. - Dislipidemia (HDL <35 mg/dl
Usia >45 tahun harus dilakukan dan/atau trigliserida >250 mg/dl
pemeriksaan DM - Diet tidak sehat dengan tinggi
- Riwayat melahirkan bayi dengan glukosa dan rendah serat
berat >4000 gram atau riwayat
mendeirta diabetes gestasional
- Riwayat lahir dengan BBLR, kurng
dari 2,5 kg
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan
pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi: a. penyuluhan b.
perencanaan makanan c. latihan jasmani d. obat berkhasiat hipoglikemik.
4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi
pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik
dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya
para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan
lain-lain.
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Ny. N
Umur/ tanggal lahir : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM RS : 01200568
Alamat : Mekar Jaya Tambusai Utara
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Negeri Asal : Indonesia
Telpon : 08122848xxxx
Tanggal Pemeriksaan : 27 Desember 2023
ANAMNESIS
(Alloanamnesis : Suami)
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Tidak ada obat yang dimakan pasien sebelum masuk rumah sakit
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran : Somnolen
Nadi : 98 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu : 37,9 ° C
SpO2 : 98%
Pemeriksaan Fisik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-), sianosis (-), spider
nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (+), pertumbuhan rambut normal.
Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformasi (-), rambut hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan
penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (-).
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), nyeri tekan processus mastoideus (-),
pendengaran baik.
Mulut
Gigi berlubang dan karies (+), pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi
berdarah (-), stomatitis (-), bau pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada, JVP (5-2) cmH2O,
kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi (-).
Paru-paru
I : Statis,dinamis simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar
P : fremitus tidak dapat dinilai karena pasien penurunan kesadaran
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A: bronkovesikuler (+) di kedua lapangan paru, ronkhi basah kasar (+) di kedua basal
paru, wheezing (-).
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus codis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
P : batas atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas jantung kiri LMCS
RIC V
A: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : tidak membuncit, venektasi (-)
P: supel, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae kanan, dan 1 jari
dibawah processus xipoideus, lien tidak membesar.
P : timpani
A: BU (+) normal
Alat kelamin
Tidak diperiksa
Ekstremitas atas :
Nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (+), eritema palmaris (-), sianosis (-).
Ekstremitas bawah :
Kelemahan otot (-), nyeri sendi (-), edema pretibia (-) pada kedua tungkai, jaringan parut (-),
pigmentasi normal, jari tabuh (-), turgor kembali lambat (+), akral pucat (-), sianosis (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin:
Desember 2023
Hb : 11 gr/dl
Leukosit : 13.650/mm3
Trombosit : 158.000/mm3
Hematokrit : 31 %
MCV/MCH/MCHC : 76/27/35
Ureum darah : 197 mg/dl
RDW-CV : 14.6%
Kreatinin darah : 10,9 mg/dl
GDS : 128 mg/dl
Natrium : 129 mmol/L
Klorida : 100 mmol/L
Kalium : 4,8
PH : 7,359
PCO2 : 18,4
PO2 : 71,1
SO2% : 94,7
HCT : 34
HCO3- : 10,5
TCO2 : 11
BEect : -15,2
BE (B) : -12,3
Kesan : Leukositosis, ureum dan kreatinin meningkat, natrium manurun
Desember 2023
SGOT : 22 U/L
SGPT : 8 U/L
Asam urat : 11,2 mg/dL
Kolesterol total : 227 mg/dL
Kolesterol HDL : 27 mg/dL
Kolesterol LDL : 156 mg/dL
Trigliserida : 221 mg/dL
Gula darah puasa : 69 mg/dL
HBA1C : 5,8%
Kalsium : 8.8 mg/dL
Anti HIV : non reaktif
HBsAg : non reaktif
Anti HCV Rapid : non reaktif
Total protein : 6,1 g/dL
Albumin : 2,5 g/dL
Globulin : 3,6 g/dL
Bilirubin total : 0,3 mg/dL
Bilirubin direk : 0,1 mg/dL
Bilirubin indirek : 0,2 mg/dL
Kesan : total protein dan albumin menurun, asam urat meningkat, dyslipidemia
Hb : 9,9 gr/dl
Leukosit : 15.820/mm3
Trombosit : 177.000/mm3
Hematokrit : 29 %
Eritrosit : 3.750.000
MCV/MCH/MCHC : 77/26/35
Ureum darah : 152 mg/dl
RDW-CV : 14.6%
Kreatinin darah : 8,6 mg/dl
Eosinophil : 3%
Neutrophil segmen : 80%
Limfosit : 10%
Monosit : 7%
Total protein : 5,2 g/dL
Albumin : 2,5 g/dL
Globulin : 27 g/dL
SGOT : 10 U/L
SGPT : 7 U/L
Natrium : 132 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Klorida : 104 mmol/L
Kesan : total protein dan albumin menurun,ureum dan kreatinin meningkat, natrium menurun,
anemia, leukositosis dengan neutrofilia shift to the right
Urinalisis
Warna : kuning muda
Kekeruhan : positif
Leukosit : 300-350/LPB
Eritrosit : 250-350/LPB
Epitel : positif/LPB
Bakteri : positif
BJ : 1,008
PH :6
Protein : +1
Kesan : leukosituria, hematuria, proteinuria (+1), ditemukan bakteri, nitrit (-)
Hb : 8 gr/dl
Leukosit : 7.180/mm3
Trombosit : 61.000/mm3
Hematokrit : 24 %
MCV/MCH/MCHC : 80/26/33
RDW-CV : 15%
PH : 7,49
PCO2 : 29,4
PO2 : 66,1
SO2% : 95,3
HCT : 28
HCO3- : 22,8
TCO2 : 23,8
BEect : -1
BE (B) : 0,2
Kesan : Anemia, trombositopenia
Kesan : bronkopneumonia
Diagnosis Utama
Penurunan kesadaran
KAD
DM tipe 2
hipertensi
Diagnosis Banding
KHONK
Diagnosis Kerja
CKD grade 5
Penurunan kesadaran ec CKD
DM tipe 2
Hipertensi grade 2
Penatalaksanaan
Nonfarmakologis
Istirahat
O2 8 liter nasal kanul
Farmakologis
Renxamin 200 cc/24 jam (untuk hipoalbumin)
Drip nicardipin, asam folat 1x5 mg
Natrium bicarbonat 3x500 mg
Amlodipine 1x10 mg (hipertensi)
Candesartan 1x16 mg (hipertensi)
Asetilsistein 3x200 mg (bronkopneumonia)
Cefepime 3x500 mg drip 4 jam dengan syringe pump (antibitik)
Levofloxacin 1x500 mg/48 jam (antibiotik)
Rencana Lanjutan
Konsul bagian neurologi
Prognosis
Quo Ad functionam : dubia ad bonam
Quo Ad vitam : dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien perempuan usia 49 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUP M
Djamil Padang dengan diagnosis DMT2, Hipertensi stage 2, CKD, dan ulkus diabetikum telapak
kaki kiri. Penegakan diagnosis pada pasien ini, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien mengalami penurunan kesadaran dengan kesadaran
somnolen, tekanan darah 185/92 mmHg, nadi 89 x/menit, pernapasan 28 x/menit, suhu 37,9 ° C,
SpO2 97%. Pada pasien terjadi penurunan kesadaran. Tekanan darah 185/92 mmHg yaitu
hipertensi grade 2, suhu 37,9 ° C yaitu terjadi demam pada pasein, nadi 89 x/menit yaitu normal,
pernapasan 28 x/menit yaitu sesak napas.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan turgor kulit menurun dan gigi geraham
kanan atas karies disertai adanya karies di gigi seri bawah. Turgor kulit menurun menandakan
terjadi dehidrasi. Dehidrasi terjadi karena pengikatan air oleh glukosa dalam urin, sehingga pada
pasien juga terjadi poliuria. Ini merupakan gejala klasik dari diabetes mellitus. Gigi berlubang
dan karies pada pasien merupakan sumber infeksi yang dapat memicu terjadinya ketoasidosis
metabolik. Berdasarkan hasil rongsen thorax, tampak bronkopneumonia. Bronkopneumonia
merupakan sumber infeksi terjadinya ketoasidosis.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang, didapatkan GDS 128 mg/dl, natrium 129 mmol/L,
klorida 100 mmol/L, kalium 4,8, PH 7,359 mmHg, HCO3 10,5 mmol/L. Pada pasien dengan
GDS 128 mg/dl, kreatinin 10,9 mg/dl. GDS 128 mg/dl menandakan hiperglikemia, natrium 129
mmol/L menandakan hiponatremia, dan kreatinin 10,9 mg/dl menandakan peningkatan kreatinin
dalam darah. Peningkatan kreatinin dalam darah menandakan adanya gangguan di ginjal. Pada
pasien, nilai kreatinin clearance 5,52 ml/menit. Pada pasien ini, telah memenuhi syarat untuk
dilakukan hemodialisis.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dengan Renxamin 200 cc/24 jam untuk mengatasi
hipoalbumin, drip nicardipin untuk menurunkan tekanan darah pasien, natrium bicarbonat 3x500
mg untuk mengatasi hiponatremia pada pasien. Amlodipine 1x10 mg dan candesartan 1x16 mg
untuk mengatasi hipertensi. Asetilsistein 3x200 mg untu mengatasi infeksi bronkopneumonia,
cefepime 3x500 mg drip 4 jam dengan syringe pump dan levofloxacin 1x500 mg/48 jam sebagai
antibiotik untuk ulkus diabetic pada telapak kaki kiri pasien.