Tehnik dasar yang harus dimiliki adalah kemampuan untuk membaca (mengerti saat
pertama membaca). Kejadian yang sering timbul dalam membaca soal adalah
ketidakmampuan untuk mengambil atau memahami isi esensial dari badan soal yang sedang
dibaca. Akibatnya badan soal dibaca secara berulang dan menghabiskan waktu. Badan soal
yang dibuat dalam uji kompetensi telah diperkirakan mampu dibaca dan dipahami oleh
kebanyakan peserta dalam 40-45 detik. Soal secara utuh dapat diselesaikan rata-rata dalam
satu menit atau 60 detik. Jika peserta membaca satu soal melebihi batas waktu tersebut maka
dapat dipastikan tidak akan mampu menyelesaikan semua soal dengan penalaran yang baik
dan tentu mengurangi kemungkinan menjawab soal dengan benar. Oleh karena itu perlu ada
latihan dan koreksi diri dari setiap individu terkait hal ini. Istilah yang sering digunakan
adalah belajar membaca efektif.
Setiap badan soal atau kasus maksimal dibaca dua kali sudah dapat dipastikan
arahnya. Ada dua tahap urutan membaca yaitu scamming dan scanning . Scamming adalah
cara membaca keseluruhan kasus dengan hati-hati dengan menyimak ide utama dari soal
tersebut. Setelah dibaca tarik kesimpulan secara utuh. Apa ide utamanya dan ke mana arah
soal dibawa. Kemampuan ini biasanya didukung oleh kemampuan komprehensif dari peserta.
Jika sudah ditemukan ide pokoknya ( main idea) tentu tahap berikutnya lebih mudah yakni
menemukan jawaban yang paling sesuai dengan main idea tersebut. Soal dianggap baik bila
dalam kasus memang ditemukan ide utamanya, sebaliknya jika ide utama ini tidak ditemukan
maka soal itupun dikatakan bias dan ambigu dan sudah pasti juga tidak akan memenuhi
unsur close the option role.
Selanjutnya, jika pembaca merasakan adanya keragu-raguan dalam menemukan ide
utamanya dalam pembacaan pertama, maka dapat dilanjutkan dengan membaca tehnik kedua
yaitu scanning yakni membaca sekali lagi dua ide yang terkandung dalam soal tersebut yang
masih dirasa membingungkan dengan membacanya lebih detail dan hati-hati. Hal ini muncul
biasanya disebabkan oleh dekatnya ide pokok dan ide pengecoh atau data yang dihadirkan
dalam badan soal tersebut terlalu dekat, sehingga sulit untuk membedakan ide yang satu
dengan ide lainnya. Jadi scanning ini tujuannya untuk memperjelas ide yang mana lebih kuat
antara ide yang ada dalam soal tersebut. Keseluruhan waktu untuk membaca ini maksimal 45
detik mengingat waktu untuk menjawab satu soal secara keseluruhan adalah satu menit.
Limabelas detik selanjutnya dapat digunakan untuk membaca pertanyaan dan menentukan
pilihan jawaban. Karena main idea sudah ditemukan pada scamming dan scanning maka
akan jauh lebih mudah untuk menemukan jawabannya. Perlu dicatat bahwa jika saat proses
scamming telah ditemukan idenya dengan jelas tidak perlu lagi melanjutkan ke scanning
langsung saja ke pertanyaan soal dan jawaban soal tersebut. Sebagai tambahan cara yang
umum orang pakai adalah membuang paling tidak 3 jawaban yang pasti salah menurut
saudara. Hati-hati dalam tehnik ini jangan sampai membuang jawaban yang benar.
Selanjutnya adalah mempertimbangkan secara matang mana di antara dua yang tersisa
tersebut lebih kuat itulah anda yakini sebagai jawaban yang benar. Segera berlatih pada
contoh-contoh soal yang disiapkan pada theory & practice test.
1.2.2 Tehnik khusus
Sebenarnya tehnik khusus ini tidak diperlukan lagi, jika tehnik umum tersebut di atas
telah dipahami dan digunakan dengan baik oleh pembaca. Tehnik khusus ini adalah tehnik
atau strategi semata-mata untuk mengurangi kemungkinan salah. Atau strategi untuk
mencoba mengurangi kesalahan dengan melihat langkah demi langkah. Karena bentuk soal
tersebut terutama untuk pengambilan keputusan klinik sementara keputusan klinik
keperawatan menggunakan proses keperawatan maka di bawah ini akan diuraikan tipe-tipe
soal dan strategi menjawabnya sesuai dengan tahapan tersebut. Lagi pula soal-soal yang ada
biasanya berdasarkan ke lima proses tersebut walaupun ada bentuk yang lain seperti
menanyakan tujuan, jastifikasi atau rasional dan mekanisme penyakit, tapi tidak terlalu
banyak.
Ide yang masuk akal untuk dipelajari adalah kenali bagaimana soal itu dibuat.
Bagaimana penulis soal menitipkan ide-ide yang mewakili kompetensi mata ajar yang ada
pada setiap mata ajar. Uji kompetensi ini adalah tool untuk meyakinkan seseorang kompeten
atau tidak maka sudah barang tentu yang dihadirkan adalah materi-materi pokok. Hal ini juga
harus dipahami oleh peserta dalam upaya untuk menyatukan energi yang “kurang “ tersebut
ke hal-hal pokok.
1.2.2.1 Tehnik menjawab soal pengkajian
Hal ini dapat dimulai dengan pertanyaan bagaimana soal jenis ini dibuat dan
bagaimana cara menitipkan ide soalnya. Soal pengkajian ini dibuat biasanya dengan
menghilangkan salah satu data mayor atau data utama dalam stem (kasus) yang mengarah
pada kesimpulan untuk menentukan masalah keperawatan. Misal dalam kasus tergambar
bahwa diagnose keperawatan yang digambarkan dalam kasus tersebut deficit volume cairan,
namun data yang pokok belum terlihat seperti urin output atau tekanan darah, maka diagnose
keperawatan akan menjadi ragu perlu ada data yang digunakan untuk memastikannya. Misal
urin output atau tekanan darahnya. Karena deficit cairan paling akurat misalnya dapat
dibuktikan dengan turunnya urin output secara signifikan atau turunnya tekanan darah secara
signifikan. Di sinilah pentingnya memahami baku mutu atau nilai normal dari setiap
komponen tubuh. Tipe lain adalah dengan mencantumkan fungsi-fungsi tertentu dalam kasus
yang selanjutnya diklarifikasi dengan pertanyaan apakah yang mengalami gangguan. Jadi
kemampuan anatomi dan fisiologi sangat penting dalam kaitan ini. Misal dalam kasus
digambarkan adanya gangguan menelan dan mulut mencong. Lanjut pertanyaan adalah
manakah saraf yang mengalami gangguan. Tentu jawabannya adalah saraf yang mengatur
menelan (saraf 10) dan mengatur mulut (saraf 7). Kata kunci mampu menjawab soal ini
adalah mengenali dan memahami dengan baik data-data utama yang diperlukan dalam
menentukan masalah, mengenali nilai baku mutu (nilai normal) dan fungsi-fungsi
(fisiologi) normal tubuh. Segera berlatih pada contoh-contoh soal yang disediakan pada
theory & practice test.
Masalah keperawatan merupakan hasil analisis data dari sebuah kasus yang tampil
sebagai stem. Stem ditata sedemikian rupa sehingga menggambarkan masalah yang
sesungguhnya. Data-data yang mengacu pada satu masalah adalah gabungan beberapa data
yang saling sinergis atau secara fisiologis perubahannnya saling berhubungan. Berarti untuk
menentukan masalah harus didapatkan data pada kasus yang saling berhubungan. Data
tersebut pastilah data dominan atau data mayor. Tidak ada masalah keperawatan yang hanya
didukung oleh satu data saja. Untuk menentukan masalah minimal didukung oleh dua data,
itupun harus yang utama. Inilah pentingnya scamming dan scanning untuk memastikan
apa main stream datanya. Banyak data perancu yang juga dituliskan dalam stem . Hati-hati
dengan data perancu ini, karena data ini sengaja ditambahkan untuk memancing peserta
menjawab sesuai dengan data perancu tersebut. Data tersebut seolah-olah menggambarkan
masalah (namun semu atau bukan masalah utama) yang ditonjolkan pada kasus. Misal pasien
mual lalu di- option disebutkan gangguan nutrisi. Pertanyaannya adalah apakah benar orang
hanya mual saja sudah gangguan nutrisi Kunci sukses menjawab soal ini adalah mampu
mengenali main stream data (paling dominan) yaitu dengan ciri fokus data jelas, sehingga
akan ditemukan ciri yang harus didapat dalam soal adalah memenuhi unsur close the
option role, yang mana tanpa melihat option sekalipun kita sudah tahu arah
jawabannya. Segera berlatih pada contoh-contoh soal yang disediakan pada theory &
practice test.
1.2.2.3 Tehnik menjawab soal Intervensi/implementasi
Paling utama dalam jenis soal ini adalah menentukan apa sebenarnya yang paling
dipermasalahkan (masalah keperawatan) dalam kasus ini atau dengan kata lain adalah apa
masalah utamanya. Intervensi/implementasi adalah tindakan untuk menyelesaikan masalah.
Tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut tentunya tidak satu namun ada beberapa.
Kesulitan utama adalah bagaimana memilih satu di antara semua yang dihadirkan dalam
option. Tindakan yang dipilih juga yang paling menolong atau membantu tidak membedakan
apakah tindakan itu mandiri atau tindakan kolaborasi (tidak sedang mengutamakan tindakan
mandiri atau kolaborasi). Prioritas tindakan yang penting adalah yang lebih mengancam
hidup jika tidak ditolong. Dapat berupa tindakan aktual ataupun tindakan pencegahan.
Contoh: Ada kecelakaan termyata datanya ada memar daerah bahu, wajah dan daerah leher,
maka apapun alasannya yang harus dicegah sebelum tindakan lainnya adalah tindakan yang
mencegah manipulasi leher, karena dengan kondisi seperti itu pasti dapat diduga adanya
fraktur servikal. Ini sangat berbahaya terhadap nyawa penderita walaupun juga
ada gurling misalnya.
Bagian tindakan penting dalam implementasi keperawatan adalah tindakan prosedur
(SOP). Tindakan ini ada urutannya dan urutan ini tidak dapat dipertukarkan harus demikian.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam soal ini adalah tahapan tindakan yang
mengandung unsur keselamatan pasien. Jika tidak dikerjakan atau dikerjakan dengan cara
yang salah, maka akan berisiko terhadap keselamatan pasien bahkan mungkin dapat
mengancam nyawa. Setiap tindakan pasti ada langkah yang sangat penting dan krusial yang
tidak boleh salah melakukannya apalagi lupa dilakukan. Contoh dalam hal ini adalah
prosedur pasang kateter yang harus menjadi perhatian khusus adalah tehnik steril dan
menjamin kateter itu masuk dan fiksasi kateternya tidak di daerah uretra. Contoh lain
pemasangan NGT maka yang paling penting adalah menjamin bahwa NGT tersebut masuk
lambung. Tindakannya adalah test masuknya NGT di lambung.
Kunci kesuksesan dalam menjawab soal intervensi/implementasi ini adalah
mengenali dengan jelas diagnose keperawatan yang tepat, memilih tindakan yang paling
menolong untuk kasus tersebut (yang mengancam hidup) berdasarkan data dominan yang
diungkapkan dan memahami dan mempraktekan prosedur (SOP) dengan baik . Cara
membuang 3 option yang tidak mungkin juga boleh digunakan jika sangat membingungkan.
Lalu pastikan di antara dua jawaban yang dianggap benar tadi dipastikan mana yang lebih
kuat. Segera latihan dengan soal yang telah disediakan pada theory & practice test.
4) umumnya soal itu rangkai dnegan stimulasi proses keperawatan mulai dari pengkajian
sampai evaluasi. Setiap jenis soal tersebut memiliki cara dan kata kunci untuk
mendapatkan kebenaran dan di perlukan pengetahuan yang cukup selain kata kunci
tersebut termasuk merangkai proses adanya hubungan data satu dengan data lain yang
saling sinergi.
Apakah kunci keberhasilan untuk menjawab soal pengkajian
a. mengenali dan memahami dengan baik data-data utama termasuk nilai baku
mutu yang diperlukan dalam menentukan masalah dan fisiologis tubuh
b. menghubungkan data satu dengan lainnya untuk dapat menjadi sebuah kesimpulan
c. mengenali aspek yang harus di nilai setelah melakukan tindakan dan menentukan
nilai baku mutu fisiologis tubuh
d. mengenali dengan jelas rangkaian analisis untuk menetapkan satu masalah atau
diagnosis keperawatan yang tepat
e. menyatukan berbagai data yang saling berhubungan untuk memastikan data yang
sedang di kaji benar atau salah
5) kemampuan membaca yang benar adalah kunci keberhasilan dalam memahami dan
menjawab soal uji kompetensi. Cara yang baik adalah membaca keseluruhan kasus degan
hati-hati dengan menyimak ide utama dari soal tersebut.
Apakah istilah yang tepat digunakan untuk kemampuan membaca seperti kasus tersebut ?
a. scamming
b. reading
c. scanning
d. focusing
e. feeling
MANAJEMEN KEPERAWATAN
Materi kisi-kisi pembelajaran, soal dan pembahasan terkait manajemen keperawatan meliputi
bahan kajian fungsi dan peran manajemen keperawatan dalam mendukung pemberian asuhan
keperawatan pasien yang dilakukan oleh seorang Ners sebagai perawat pelaksana. Konteks
materi pembekalan dan pengembangan soal dalam siNERSI ini bukan berkaitan
dengan setting Ners sebagai tupoksi kepala ruang dan bukan juga berkaitan
dengan setting Ners sebagai tupoksi kepala bidang keperawatan.
Fungsi manajemen keperawatan yang dilaksanakan seorang Ners adalah POSAC dalam
mengelola pasien meliputi perencanaan/ planning ( P ),
pengorganisasian/ organizing ( O ), pengelolaan staf/ ketenagaan/ staffing ( S ),
pengarahan/ directing / actuiting ( A ), dan pengendalian/ controlling ( C ) dalam konteks
mendukung proses pemberian asuhan keperawatan langsung pada pasien baik di ruang rawat
maupun di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Peran Ners sebagai manajer asuhan
keperawatan termasuk peran interpersonal , informasional , dan decisional .
Seorang Ners dalam memberikan asuhan keperawatan perlu menjalankan peran sebagai
manajer pasien atau sebagai pengelola asuhan keperawatan pasien kelolaannya. Minztberg
(1990) dalam Robbins & Judge (2017) menyebutkan tiga peran pengelola, yaitu peran
interpersonal, informasional, dan pengambilan keputusan ( decisional ).
Peran interpersonal meliputi tiga sub peran, yaitu figure head , leader , dan liaison .
Peran figure head ditunjukkan untuk menginspirasi pasien dan rekan tim kerjanya dengan
menampilkan figur yang dihormati serta menunjukkan sikap dan perilaku sesuai norma dan
nilai yang berlaku. Peran sebagai leader atau pemimpin ditunjukkan melalui kemampuan
mempengaruhi dan memotivasi pasien untuk mencapai tujuan asuhan.
Peran liaison ditunjukkan dengan memelihara jaringan informasi/ komunikasi yang baik
dengan pasien dan anggota tim keperawatan maupun kesehatan lain.
Peran informasional meliputi peran monitor , disseminator , dan spokesperson .
Peran monitor dilakukan Ners dengan mengobservasi perkembangan asuhan pasien.
Peran disseminator dilakukan Ners dengan berbagi informasi dan memberikan informasi
terkait perubahan status pasien yang perlu perhatian. Seorang Ners dapat menunjukkan
peran spokesperson atau juru bicara pasien agar berbagai pihak memahami tujuan asuhan
dengan baik.
Peran pengambilan keputusan atau decisional meliputi enterpreneur , penanganan masalah,
pengalokasi sumber daya, dan negosiator. Peran enterpreneur dilakukan dengan
menciptakan serta mengendalikan perubahan tata kelola pasien dalam tim. Peran penanganan
masalah, dilakukan dengan memberikan solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan pasien.
Peran pengalokasi sumber daya dilakukan dengan mengalokasikan sumber daya yang
dibutuhkan pasien. Peran negosiator dilakukan agar pasien dapat dan bersedia mendukung
tujuan asuhan.
Materi kisi-kisi pembelajaran manajemen keperawatan ini juga secara khusus
menguraikan gaya kepemimpinan yang menjadi bagian dari peran interpersonal,
materi metode asuhan keperawatan sebagai bagian dari fungsi pengorganisasian,
materi tingkat ketergantungan pasien sebagai bagian dari fungsi ketenagaan,
materi manajemen konflik sebagai bagian dari fungsi pengarahan, dan
materi keselamatan pasien yang menjadi bagian dari fungsi pengendalian. Materi fungsi
dan peran manajemen keperawatan seorang Ners juga dikaitkan dengan modalitas dalam
manajemen keperawatan dan penerapan aspek etik dan legal dalam manajemen
keperawatan.
3. Demokratik:
1. Mengikusertakan staf perawat dan pasien dalam pengambilan keputusan
2. Menekankan adanya hubungan yang serasi, yaitu keseimbangan hubungan
formal dan informal
3. Memperlakukan staf perawat sebagai orang yang sudah dewasa
4. Memuaskan segenap kebutuhan staf perawat dan pasien
5. Menjaga keseimbangan antara orientasi tugas dan hubungan
3. Metode asuhan keperawatan
Adalah suatu metode yang digunakan oleh manager keperawatan untuk memutuskan metode
penugasan perawat di dalam masing-masing unit keperawatan.
1. Model Sistem Penugasan
Dasar pertimbangan pemilihan model asuhan keperawatan atau sistem penugasan sesuai
dengan visi dan misi institusi, yaitu: The choice of an organization model involves staff
skills, availability of resources, patient acuity, and the nature of the work to be
performed (Marquis & Huston, 2015).
2. Jenis model sistem penugasan
1. Keperawatan Tim
Kelompok perawat yang bekerja sebagai suatu tim dengan dipimpin oleh ketua tim yang
dipilih berdasarkan pengalaman kerja, kepemimpinan dan senioritas.
2. Model Primer
Perawat bertanggung jawab terhadap semua aspek asuhan keperawatan selama 24 jam, dari
hasil pengkajian kondisi pasien dan mengkoordinir asuhan keperawatan hingga evaluasi
kondisi pasien dan pengendalian mutu asuhan keperawatan, menunjukkan kemandirian
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
3. Model Tim Primer (modular)
Pada model manajemen asuhan keperawatan professional tersebut, metode tim digunakan
secara kombinasi dengan metode primer.
Pembahasan:
Penjadwalan dinas sudah disusun sejak awal dan diharapkan sudah memfasilitasi kepentingan
seluruh staf. Kondisi yang dipaparkan dalam vignette memberikan gambaran beban kerja
tinggi sehingga bila jumlah dan mutu perawat berkurang dapat berpeluang menurunkan mutu
layanan pada pasien dan masalah patient safety . Kesimpulan keputusan yang perlu
dilakukan oleh seorang perawat professional dalam konteks kepemimpinan untuk tetap
mengedepankan kepentingan pasien dan tim kerja sebagai bagian dari upaya
mempertahankan patient safety serta mampu memprioritaskan masalah untuk diselesaikan.
Strategi: Peserta ujian perlu memahami bahwa berargumentasi tentang ijin tidak masuk
kerja dengan kepala ruang kurang tepat karena kepala ruang merujuk pada capaian tujuan
asuhan pada pasien. Masuk kerja terlambat juga bukan alasan pembenaran kepentingan
keluarga dan meminta tukar jadwal dengan perawat lain untuk alasan keluarga yang tidak
urgen juga memberikan budaya kerja yang kurang professional.
Kunci Jawaban: E
2. Ruang perawatan anak memiliki perawat sebanyak 20 orang dengan kapasitas tempat
tidur 30 unit. Kepala ruang berencana meningkatkan asuhan keperawatan sesuai
standar yang ditetapkan rumah sakit dan telah diterapkan oleh ruang rawat lainnya.
Kepala ruang mengidentifikasi kebutuhan perawat vokasional dan profesional.
Berapakah kebutuhan tenaga perawat profesional di ruang tersebut?
1. 5
2. 8
3. 11
4. 16
5. 20
Pembahasan:
Kebutuhan tenaga perawat pada kasus tersebut di atas mengacu kepada rumusan
perbandingan antara tenaga perawat professional dan vokasional dengan perbandingan
55%:45% (Abdullah dan Levine dalam Gillies 1999).
Strategi: peserta ujian perlu memahami prosentase perbandingan perawat profesional dan
vokasional.
Kunci jawaban: C
Referensi
Dep Kes RI, Modul SP2KP-PMK menuju WCH
WHO Patient Safety: Nine Life-Saving Patient Safety Solutions, JCI Accreditation Standards
for Hospitals 4 rd Edition, 2010).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 / MENKES / PER / VIII /
2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Soal
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
Materi, Soal dan Pembahasan Keperawatan Medikal Bedah
1. Sistem Pernapasan
1. Materi
1. Menentukan suara dan frekuensi napas pasien Asma, COPD, dan
Pleuritis. Menguraikan patofisiologi asma, TB Paru.
Menginterpretasikan hasil AGD (asidosis, alkalosis, respiratorik
dan metabolik).
2. Mendiagnosis bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas,
gangguan pola napas (mekanisme proses pertukaran).
3. Melakukan kolaborasi pemberian nebulizer, suction, postural
drainase, pemberian oksigen (nasal kanul, masker
sederhana, rebreathing mask, non-rebreathing mask) , fisioterapi
dada, Purse Lip Breathing . Memberikan pendidikan kesehatan
yang tepat pada pasien asma. Manajemen nutrisi dan pendidikan
kesehatan pemberian OAT pada pasien TB.
4. Mengevaluasi masalah pernapasan sudah teratasi. Evaluasi
kepatuhan minum OAT.
5. Prosedur pengambilan darah arteri untuk pemeriksaan AGD,
pencegahan penularan (etika batuk), batuk efektif, kepatenan
drainase WSD, perawatan WSD.
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. Saat pengkajian pasien gangguan pernapasan kita harus
mengkaji frekuensi napas. Takipnea adalah frekuensi
napas > 25x/menit. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
rangsang ventilasi saat demam, asma akut, eksaserbasi
PPOK, atau penurunan kapasitas ventilasi pada
pneumonia, dan edema paru. Bradipnea jika frekuensi
napas < 10 x/menit terjadi pada keadaan toksisitas opioid,
hiperkapnea, hipotirodisme, peningkatan intracranial, dan
lesi di hipotalamus.
2. Dada normalnya simetris dan berbentuk bulat lonjong,
diameter anteroposterior lebih kecil dari diameter
lateral. Barrel chest apabila diameter anteroposterior
lebih besar dari diameter lateral, hal ini berhubungan
dengan hiperinflasi paru pada pasien PPOK berat.
3. Asma berat dan penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK/COPD) menyebabkan batuk disertai
wheezing/mengi yang
berkepanjangan. Wheezing merupakan bunyi siulan
bernada tinggi akibat aliran udara yang melalui saluran
nafas yang sempit, yang terjadi saat
ekspirasi. Wheezing saat latihan sering ditemukan pada
pasien asma dan PPOK. Terbangun malam hari dengan
wheezing merupakan pertanda asma, dan jika timbul
setelah terbangun di pagi hari merupakan pertanda PPOK.
4. Perkusi normal paru adalah sonor. Hasil perkusi paru
abnormal; hipersonor ditemukan pada pasien
pneumotoraks, pekak pada pasien konsolidasi paru, kolaps
paru, fibrosis paru berat, dullness pada efusi pleura dan
hematotorak.
5. Pengkajian pasien dengan Pleuritis : suara paru friction
rub
6. Pemeriksaan analisis gas darah arteri dapat dilihat adanya
gangguan gas darah arteri (PaCO 2 , PaO 2 ), dan status
asam basa (pH dan HCO 3 ).
7. Asidosis respiratorik terjadi peningkatan PaCO 2 , dan
penurunan pH. Hal ini sering ditemukan pada pasien asma
akut yang berat, pneumonia berat, eksaserbasi PPOK.
Tubuh akan melakukan upaya kompensasi yaitu terjadi
retensi HCO 3 di ginjal dalam upaya menormalkan pH hal
ini disebut asidosis respiratorik terkompensasi.
8. Uji mantoux untuk melihat adanya paparan
mycobacterium tuberculosis. Hasilnya <5mm (negatif), 5-
9 mm (meragukan), >10 positif TB.
2. Fokus Diagnosis
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Kerusakan pertukaran gas
3. Pola nafas tidak efektif
3. Fokus Intervensi
1. Kolaborasi nebulizer diberikan pada kondisi bronkospasm
(asma), produksi mucus yang berlebihan. Obat-obatan
seperti ventolin, pulmicort, bisolvon banyak digunakan
pada prosedur nebulizer.
2. Tindakan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas
bisa dilakukan dengan teknik suction, postural drainase,
fisioterapi dada, Purse Lip Breathing , dan posisi high
fowler sangat direkomendasikan terutama pada pasien
COPD.
3. Untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi, maka pemberian
oksigen (nasal kanul, masker sederhana, rebreathing
mask, non-rebreathing mask ) bisa dilakukan pada pasien.
4. Pada kondisi di mana perubahan saluran pernafasan dipicu
oleh perubahan lingkungan (debu, kondisi cuaca) contoh
pada penyakit asma, maka pendidikan kesehatan seperti
bagaimana memodifikasi lingkungan perlu diberikan pada
pasien.
5. Kondisi seperti pasien dengan infeksi seperti tuberculosis,
maka terjadi peningkatan kebutuhan asupan nutrisi. Oleh
karena itu diperlukan manajemen nutrisi Tinggi Kalori dan
Tinggi Protein (TKTP) dan juga kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi OAT.
6. Prosedur WSD pada pasien efusi pleura menekankan pada
perbedaan tekanan pada rongga dada dan botol WSD,
sehingga cairan di dalam rongga dada bisa ditarik keluar
4. Fokus Evaluasi
1. Kepatenan jalan nafas dapat dilihat dari kondisi fisik
seperti tidak adanya sekret pada saluran pernafasan,
frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan.
2. Pada pasien yang mengkonsumsi obat secara terus
menerus seperti kondisi tuberculosis, kepatuhan OAT
dapat dievaluasi melalui dengan tidak adanya putus obat,
minum obat sesuai jumlah, jenis obat, dosis, dan waktu
meminumnya.
2. Sistem Kardiovaskular
1. Materi
1. Melakukan pengkajian karakteristik nyeri dada.
2. Menginterpretasikan hasil EKG sederhana dan menghitung
denyut jantung. Mengidentifikasi enzim- enzim jantung pada
serangan, menentukan derajat edema, pengkajian gagal jantung
kiri dan kanan, pengkajian aktivitas menurut NYHA, pengkajian
riwayat keluarga dan gaya hidup.
3. Mengidentifikasi masalah penurunan cardiac output, nyeri,
intolerasi aktivitas, gangguan perfusi jaringan perifer, kelebihan
cairan.
4. Manajemen nyeri dada, pengaturan aktifitas, mengevaluasi
pemberian antidiuretik, evaluasi intensitas dan karakteristik nyeri
setelah diberikan intervensi manajemen nyeri, kepatuhan
pengobatan dan diet.
5. Mengevaluasi pemberian obat digoksin, anti hipertensi dan obat
adrenergic. Menguraikan fase-fase rehabilitasi pasien dengan
gagal jantung. Memberikan pendidikan kesehatan manajemen
hipertensi.
6. Prosedur pengukuran tekanan darah, transfusi darah.
2. Proses
1. Fokus pengkajian
1. Karakteristik nyeri dada menyebar ke tangan, dagu,
punggung, dan perut
2. Pengkajian enzim-enzim jantung fase akut dan fase
kronik. Enzim yang pertama meningkat pada miokard
infark : troponin meningkat dalam 1- 2 jam, selanjutnya
CPKMB 12 – 24 jam, dan LDH 24 – 36 jam
3. Pengkajian aktifitas menurut NYHA
4. Mengidentifikasi derajat edema
5. Nilai EKG abnormal, sandapan lead, identifikasi area
infark
2. Fokus Diagnosis
1. Penurunan curah jantung
2. Kelebihan cairan
3. Intoleransi aktivitas
3. Fokus Intervensi/Implementasi
1. Manajemen nyeri dada pada kasus iskemik miokard dan
infark miokard (Pemberian Nitrat dan Trombolitik dan anti
koagulan).
2. Melakukan perekaman EKG dan melakukan prosedur
Tindakan DC Shock.
3. Pengaturan aktifitas pada kasus gagal jantung kongestive.
4. Mengevaluasi pemberian antidiuretic.
5. Evaluasi intensitas dan karakteristik nyeri setelah
diberikan intervensi manajemen nyeri.
6. Kolaborasi pemberian obat-obatan termasuk 5 golongan
obat-obatan kardiovaskuler serta kepatuhan pengobatan
dan diet
7. Prosedural knowledge : teknik pemasangan Precordial
lead pada EKG dan teknik melakukan Defibrilasi pada
pasien ventrikuler fibrilasi.
4. Fokus Evaluasi
1. Evaluasi nyeri dada
2. Kemandirian dan rehabilitasi pasien gagal jantung.
3. Sistem Pencernaan
1. Materi
1. Typhoid; tanda dan gejala, mengatasi gejala-gejala pasien
typhoid, pemeriksaan penunjang. Typhoid terjadi karena kuman
salmonella typhi masuk melalui oral, menembus dinding usus
ilium dan yeyenum dan berkembang biak. Salmonella typhi akan
mengeluarkan endotoksin sehingga menginduksi leukosit untuk
memproduksi pirogen endogen sepeti IL-1 dan TNFα. Pirogen
endogen akan merangsang sistem saraf pusat dan terjadi sintesis
prostaglandi E-2 yang menyebabkan peningkatan suhu tubuh
(Hipertermia).
2. Appendik: keluhan utama adalah nyeri perut kanan bawah.
Secara anatomi, lokasi apendik berada pada kuadran kanan
bawah. Nyeri terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi
obstruksi pada apendik. Nyeri viseral akan mengaktifasi nervus
vagus sehingga mengakibatkan muntah. Pada palpasi didapatkan
titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney.
3. Serosis Hepatis: infeksi hepatitis B/C mengakibatkan peradangan
sel hati yang mengakibatkan nekrosis hati dan terbentuk jaringan
parut, sehingga mengganggu aliran darah porta dan menimbulkan
hipertensi porta. Hipertensi porta menyebabkan gangguan sekresi
ADH, sehingga Na dan air tertahan dan menyebabkan kelebihan
volume cairan (Hipervolemia).
4. Kuadran yang tepat untuk pemeriksaan kelainan pencernaan:
mengkaji lokasi dan karakteristik nyeri appendik. Tanda – tanda
dehidrasi pada pasien diare.
5. Menentukan diagnosis pada kasus sistem pencernaan.
6. Intervensi pasien pasca operasi sistem pencernaan, pengaturan
diet, pengaturan aktivitas dan istirahat, pemasangan dan
pemberian nutrisi melalui NGT, persiapan pasien endoskopi,
pengkajian peristaltik usus.
7. Perawatan kolostomi, menghitung tetesan infus pada pasien
dehidrasi, melakukan pemasangan infus, penghitungan balance
cairan
8. Tanda dan gejala pasien hepatitis, serosis hepatis: ascites
dan shifting dullness .
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. Pengkajian fokus pada sistem gastrointestinal (GI) dan
pencernaan adalah abdomen. Saat pengkajian membagi
abdomen ke dalam 4 kuadran, dan mengetahui organ-
organ pada setiap kuadrannya.
Kasus sistem persyarafan yang banyak dijumpai adalah kasus stroke, cedera
kepala, dan meningitis dan tumor otak.
1. Materi
1. Pengkajian neurologi difokuskan pada kemampuan untuk
menentukan beberapa poin gangguan neurologis yaitu: fungsi
mental (fungsi luhur) dan tingkat kesadaran (GCS) dapat dilihat
di bahasan gawat darurat, 12 saraf kranial (ganguan otot wajah,
saraf trigeminal, gangguan menelan, dll), mengukur kekuatan
otot, refleks fisiologis dan patologis pada pasien neurologi.
2. Munculnya gangguan neurologis umumnya terjadi sebagai akibat
dari rusaknya jaringan otak karena kurangnya aliran darah otak,
tertekannya jaringan otak, proses edema jaringan otak dan
munculnya peningkatan tekanan intracranial. Tanda-tanda yang
perlu diperhatikan untuk mengenali dan memastikan peningkatan
TIK adalah TRIAS TIK: muntah proyektil, nyeri kepala hebat
dan papil edema. Tanda lainnya dapat dilihat dari hasil CT scan
dengan melihat gambaran hiperden dan hipoden.
3. Gambaran di atas dapat menunjukan adanya diagnosis
keperawatan kasus neurologi adalah risiko perubahan perfusi
jaringan serebral, kerusakan mobilitas fisik, gangguan pola nutrisi
atau risiko aspirasi, gangguan komunikasi verbal, dan lainnya.
4. Masalah tersebut memerlukan identifikasi intervensi yang tepat
untuk membantu seperti melakukan manajemen TIK,
pemasangan NGT, melatih komunikasi, melatih ROM, melatih
menelan. Handicap atau disabilitas jangka panjang memerlukan
tindakan rehabilisasi di antaranya, rehabilitasi fungsional,
rehabilitasi berjalan, menelan,
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. Perubahan status mental dan kognitif dan tingkat
kesadaran yaitu orientasi, penurunan kesadaran, tingkat
kesadaran GCS, dan tanda-tanda vital yang tidak stabil
ditambah dengan gambaran CT scan dapat menjadi
penguat pernyataan data tentang munculnya diagnosa
gangguan perfusi cerebral. Tanda-tanda fraktur basis
kranial: rhinorea, otorea, racoon eyes, dll.
2. Gejala ini dapat terjadi pada kasus cedera kepala, stroke,
meningitis dan tumor otak
3. Hasil pengkajian lain adalah gangguan saraf kranial seperti
gangguan saraf 10, saraf 9 dan saraf 12 akan memberikan
dukungan kuat terhadap gangguan menelan. Wajah tidak
simetris, pelo, gangguan bahasa seperti tidak mampu
mengungkap dan mengerti kata, gangguan saraf kranial 7,
10, dan 12 sebagai tanda munculnya gangguan komunikasi
verbal.
4. NI (olfaktorius, penghidung), NII (optikus, lapang
pandang dan ketajaman penglihatan), NIII (okulomotorius,
reaksi pupil), NIV (trochlear, pergerakan mata), NV
(trigeminal, sensasi fasial, otot mengunyah), NVI
(abdusen, abduksi mata), NVII (facial, ekspresi muka),
NVIII (akustikus, pendengar dan keseimbangan),NIX
(glosso-pharyngeal, mengunyah, berbicara), NX (vagus,
reflek menelan), XI (spinal accessory, pergerakan leher),
dan XII (Hypoglossal, pergerakan dan kekuatan lidah)
5. Perubahan motorik: gaya berjalan, keseimbangan, dan
koordinasi, hemiparese, gangguan reflex menjadi penciri
dari terjadinya gangguan mobilisasi. Masalah ini paling
sering terjadi pada stroke dan cedera medula spinalis.
6. Gangguan 12 saraf kranial: sering terganggu pada kasus
stroke, meningitis
7. Gangguan refleks patologis menunjukan adanya
gangguan pada upper motor neuron, sering ditemukan
pada kasus infeksi serebral (meningitis, encephalitis) dan
cedera kepala dengan subarakhnoid hematom (SAH).
2. Fokus Diagnosis
1. Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Gangguan komunikasi verbal
4. Risiko Aspirasi atau gangguan menelan
3. Fokus Intervensi/ Implementasi
1. Pemantauan status neurologi, status oksigenasi jaringan
serebral dan juga perifer
2. Pemasangan NGT, latihan menelan pada pasien dengan
disfagia dan mencegah aspirasi
3. Pemasangan collar neck pada pasien dengan curiga cedera
servikal
4. Manajemen dan pencegahan peningkatan tekanan intra
kranial (TIK )
5. Menurunkan demand oksigen, mengatur atau menurunkan
aktifitas
6. Perubahan posisi tirah baring: miring kanan/miring kiri
dan terlentang pada pasien dengan parese (stroke)
7. Latihan Range of Motion (ROM) untuk mencegah
komplikasi pada pasien dengan gangguan fungsi motorik
seperti gangguan mobilisasi pasien stroke.
8. Pengaturan posisi tirah baring untuk mencegah terjadinya
luka tekan dan pada pasien dengan gangguan mobilitas
fisik seperti stroke
9. Terapi bicara dan modifikasi pola komunukasi
10. Latihan berdiri, keseimbangan dan koordinasi dan berjalan
(khusus pasien stroke)
11. Toilet training pada pasien dengan inkontinensia urin.
4. Fokus Evaluasi
1. Perbaikan tingkat kesadaran evaluasi GCS, stabilnya tanda
tanda vital
2. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari terpenuhi, tidak terjadi
aspirasi, atrofi dan sejenisnya
5. Sistem Endokrin
Kasus sistem endokrin yang banyak dijumpai pada tatanan klinik adalah kasus
DM tipe-2 dan Hipo/Hipertiroid
1. Materi
1. Kerusakan sel beta pankreas menyebabkan penurunan produksi
insulin dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah
(ketidakstabilan glukosa darah). Keadaan ini menyebabkan
glukosa dalam darah masuk ke dalam urine (Glokusuria)
sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan
pengeluaran urine berlebih (Poliuria). Banyaknya cairan yang
keluar menimbulkan sensasi rasa haus (Polidipsia). Glukosa yang
hilang melalui urine menyebabkan kurangnya glukosa yang akan
diubah menjadi energi sehingga menyebabkan peningkatan rasa
lapar (poliphagia) 🡪 Trias DM (poliuri, polifagi, dan polidipsi).
2. Tanda dan gejala hipotiroid dan hipertiroid, intrepretasikan hasil
lab T3 dan T4.
3. Mengidentifikasi masalah pada kasus sistem endokrin
4. Penanganan yang tepat pasien hipoglikemia dan hiperglikemia.
5. Mengevaluasi kestabilan kadar glukosa darah.
6. Pemberian insulin.
7. Perawatan ulkus DM.
8. Keseimbangan asam basa.
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. Adanya keluhan berupa polyuria, polifagia dan polidipsi
yang menjadi gejala klasik dari DM tipe 2.
2. Pengkajian riwayat keluarga dan gaya hidup.
3. Perubahan kondisi yang biasa ditemui pada pasien kasus
hipertiroid adalah anorexia, kehilangan berat badan secara
drastis, takikardi, tremor dan intolerans terhadap panas.
4. Perubahan terhadap proses pikir dan bingung juga
mungkin ditemui pada kasus sistem endokrin.
5. Perubahan hasil laboratorium seperti kadar hormon T3,
T4; kadar glukosa darah (250-800 MG/DL), hasil tes urin
24 jam, nilai abnormal dari AGD terkait dengan asidosis
metabolic (pH 7.3 dan bicarbonate 15 meq/L)
2. Fokus Diagnosis
1. Hipovolemia
2. Ketidakstabilan kadar glukosa darah
3. Defisit nutrisi
4. Kerusakan integritas kulit/jaringan
3. Fokus Intervensi/Implementasi
1. Memonitor tanda-tanda vital dan status kesadaran pasien
dan kepatenan jalan nafas.
2. Memastikan kepatenan IV akses untuk kepentingan
asupan cairan dan pengobatan.
3. Menentukan penanganan yang tepat pasien hipoglikemia
dan hiperglikemia, Memonitor kadar gula darah dan
komplikasinya seperti infeksi kulit, neuropati perifer,
sirkulasi buruk pada ekstremitas bawah.
4. Memonitor dengan ketat intake dan output cairan.
5. Prinsip pemberian injeksi insulin baik untuk insulin yang
bekerja jangka panjang dan jangka pendek harus
memperhatikan prinsip 6 benar (obat, pasien, dosis, rute,
waktu dan dokumentasi). Pemberian insulin dilakukan di
subkutan di daerah sekitar bahu, gluteus maximus
(bokong), abdomen, dan paha atas dengan memperhatikan
sudut 45-90°.
6. Pemeriksaan penunjang seperti CT scan terkadang
dilakukan pada pasien dengan gangguan kelenjar
endokrin. CT scan bisa menggunakan media kontras, agar
dapat berfungsi dengan baik, maka kondisi pasien harus
dipastikan adekuat.
7. Penatalaksanaan pasien DM: Edukasi, Olahraga, Diet,
Obat dan Monitoring Glukosa Darah.
4. Fokus Evaluasi
1. Mengevaluasi kestabilan kadar glukosa darah normal
(GDP = 60-110 mg/dl, GDP 2 jam PP = 65-140 mg/dl,
HbA1c = 5,7%)
2. Monitoring terus menerus status kardiovaskuler dan
respirasi.
3. Memastikan kepatenan pemberian IV dan hormone
replacement therapy (HRT)
6. Sistem Muskuloskeletal
1. Materi
1. Status neurovascular, tanda-tanda OA, gout , osteoporosis.
2. Tanda-tanda dislokasi, pengukuran panjang ekstremitas bawah.
3. Masalah nyeri, kerusakan mobilitas fisik, risiko gangguan
neurovaskular dan koping tidak efektif.
4. Ciri-ciri kompartemen sindrom, manajemen strain, sprain,
manajemen nyeri, kolaborasi pemasangan traksi, gips, fitting kaki
palsu, pasca amputasi dan kruk.
5. Kasus etik pada sistem muskulo seperti amputasi, dll
6. Perawatan luka post op, traksi, gips, dll
7. Komplikasi fraktur.
8. Kekuatan otot
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. Mengkaji status neurovascular pada pasien fraktur status
neurovascular: 5 P (Pain/Nyeri, Paralisis, Parestesi,
Pulse/denyut nadi, Pale/pucat) dilakukan pada bagian
distal area yang sakit.
2. Melakukan pengukuran panjang ekstremitas bawah.
3. Menelaah komplikasi fraktur
4. Pengukuran ekstremitas bawah yang mengalami trauma,
pengukuran mulai dari krista iliaka sampai malleolus.
Pendek area yang sakit menunjukkan ada fraktur
displaced. Panjang area yang sakit menunjukan dislokasi
5. Menjelaskan tanda – tanda OA, gout, osteoporosis.
Menjelaskan tanda – tanda dislokasi.
6. Mengkaji kekuatan otot
2. Fokus Diagnosis
1. Nyeri Akut
2. Kerusakan mobilitas fisik
3. Risiko kerusakan neurovascular
3. Fokus Intervensi/Implementasi
1. Manajemen pasien fraktur difokuskan kepada
meningkatkan kenyamanan, mencegah komplikasi dan
rehabilitasi. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan
analgetik dan perawat harus mengevaluasi efektifitas
analgesik, jika nyeri tidak hilang indikasi dari kerusakan
neurovascular. Untuk menurunkan bengkak dan nyeri
dapat dilakukan elevasi dari daerah yang terkena.
2. Tindakan untuk strain meliputi RICE (rest, ice,
compression dan elevation)
3. Perawatan gips; gips dipasang bertujuan untuk melindungi
dan mengimobilisasi fraktur untuk mempercepat
penyembuhan, setelah pemasangan gips harus dilakukan
pemeriksaan status neurovaskuler, jika setelah
pemasangan gips terjadi nyeri hebat, tidak ada nadi,
parestesi, paralisis maka tindakannya gips harus dibuka.
4. Perawatan traksi adalah teknik untuk stabilisasi, alignmen
dan memberikan tarikan pada fraktur. Traksi pada
umumnya terdiri dari skeletal traksi dan skin traksi. Yang
harus diperhatikan posisi pasien, posisi kaki pasien
anatomis, pins risiko infeksi (skeletal traksi), simpul tali
jangan sampai tersangkut katrol, nyeri pada tumit (risiko
decubitus) dan beban harus menggantung.
5. Perawatan Kruk pengukuran pada posisi supine ujung kruk
berada 15 cm di samping tumit klien. Tempatkan ujung
pita pengukur dengan lebar tiga sampai empat jari (4 – 5
cm) dari aksila dan ukur sampai tumit klien. Pada posisi
berdiri: Posisi kruk dengan ujung kruk berada 14 – 15 cm
di depan kaki klien. Dengan metode lain, siku harus di
fleksikan 15 sampai 30 derajat. Lebar bantalan kruk harus
3 – 4 jari (4 – 5 cm) di bawah aksila.
4. Fokus Evaluasi
Kasus ginjal dan sistem perkemihan yang banyak ditemukan di klinik adalah
chronic kidney desease (CKD), hemodialisis, infeksi saluran kemih dan
benigna prostat hipertropi (BPH), infeksi saluran kemih/ISK (Sistitis), batu
ginjal
1. Materi
1. Melakukan pengkajian nyeri ketuk pada lokasi ginjal.
Menghitung berat badan kering, Mengevaluasi perdarahan pasca
TURP. Menginterpretasi hasil laboratorium urinalisis, GFR,
ureum, kreatinin dan elektrolit.
2. Mengidentifikasi masalah kelebihan cairan dan elektrolit,
gangguan eliminasi
3. Kolaborasi pemasangan kateterisasi. Pengaturan diet dan
pembatasan cairan. Pemberian pendidikan kesehatan yang tepat
pasien hemodialysis.
4. Merumuskan prinsip etik pasien menolak hemodialysis.
5. Melakukan irigasi post TURP
6. Edukasi pencegahan ISK berulang dan intervensi mengatasi ISK
7. Melakukan pengkajian gangguan batu ginjal, melakukan tindakan
keperawatan post operasi batu ginjal
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. CKD: penurunan progresif dari fungsi jaringan ginjal
secara permanen (irreversibel), di mana ginjal tidak
mampu lagi mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Klasifikasi CKD
terbagi menjadi 5 berdasarkan nilai GFR. Seringnya
pasien CKD datang ke rumah sakit sudah derajat 4 yaitu
GFR 15-29 mL/min/1.73 m , atau derajat 5 (terminal)
2
membutuhkan hemodialisis.
2. Pasien yang menjalani hemodialisa: kaji kepatenan tempat
vena penusukan. Adanya arteriovenous fistula atau graft,
palpasi adanya getaran atau sensasi vibrasi dan adanya
suara bruit saat auskultasi, kaji adanya sumbatan atau
infeksi pada area tusukan.
3. Pada pasien CKD terjadi penurunan GFR cairan tertahan
dalam tubuh, jumlah cairan tubuh ↑ 🡪 Ht ↓. Sisa
metabolisme tertumpuk dalam plasma : asam urat dan
ureum, kreatinin, phenol, guanidine 🡪 azotemia
4. Pemeriksaan laboratorium pada pasien gangguan ginjal
adalah
Urinalisis
Warna : kuning jernih
Kandungan: glukosa (-), keton (-), Bilirubin (-), sel
darah merah 0-4/lpm, leukosit 0-5/lpm, bakteri (-)
BJ & osmolaritas: 1.003-1.030 & 300 – 1300
mOsm/kg
pH normal: 4,0 – 8,0 (rata-rata 6,0)
glukosuria adalah adanya glukosa dalam urin dan
sering terjadi pada pasien DM
Hiperurikosuria: batu, keganasan
5. Analisis darah
Plasma kreatinin : produk akhir metabolisme
protein dan otot, nilai normal 0,6-1.3 mg/dl,
meningkat pada pasien Gagal ginjal
BUN: Normal 6 – 20 mg/dl, meningkat: gagal
ginjal. Kondisi non renal yang dapat meningkatkan
BUN adalah infeksi, demam, trauma perdarahan
saluran cerna
Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (penyebab
tersering) yang menyebabkan gangguan ekskresi
urea.
6. Infeksi saluran kemih: Sistitis. Prevalensi ISK delapan kali
lebih tinggi pada perempuan. ISK diakibatkan oleh bakteri
gram negatif. Manifestasi klinis berupa nyeri seperti
terbakar saat BAK (dysuria), sering buang air kecil-tidak
bisa menahan, tidak tuntas, urine keruh dan hematuria.
7. Keluhan subjective pada pasien BPH adalah: kesulitan
berkemih, bertahap, sampai menetes dan tidak bisa
kencing. Urine bercampur darah, Rectal tussae
8. Tindakan yang paling sering dilakukan pada pasien BPH
adalah operasi TURP ( trans urethral resection of the
prostate ).
9. Fokus pengkajian batu ginjal : nyeri hebat skala 7-10, urin
keruh,
10. Melakukan tindakan keperawatan untuk pasien post op
pengangkatan batu ginjal, ESWL
2. Fokus Diagnosis
1. Kelebihan volume cairan
2. Nyeri
3. Gangguan eliminasi urin adalah disfungsi eliminasi urin.
4. Risiko infeksi
3. Fokus Intervensi/Implementasi
1. Intervensi dan Implementasi pasien CKD
Monitor balance cairan
Timbang BB tiap hari dengan menggunakan
timbangan yang sama
Batasi intake cairan
Untuk memperlambat progresifitas kerusakan ginjal
maka dapat dilakukan: pengendalian tekanan darah,
diet rendah protein dan rendah fosfat,
mengendalikan proteinuria dan hiperlipidemia
Mengatasi anemia pasien CKD: terapi ESA
(Erythropoiesis Stimulating Agents) yaitu epoetin
alfa atau darbepoetin alfa
2. Intervensi dan Implementasi pasien BPH
Irigasi kandung kemih paska TURP bertujuan
untuk membuang jaringan debris dan bekuan darah
dalam kandung kemih agar tidak terjadi obstruksi
aliran urine. Menggunakan aliran infus dengan gaya
gravitasi untuk membilas kandung kemih.
Pertahankan kelancaran aliran urine: Pastikan
selang kateter tidak terlalu panjang, melengkung,
tidak tertekuk/tertindih pasien, kantong 30 cm lebih
rendah dari pasien, cek isi kantong urine, buang
bila penuh (cepat sekali), catat jumlah, warna,
kloting urine, jaga kebersihan.
3. Prosedur
Pada saat pemasangan kateter terdapat prinsip-prinsip
yang tidak boleh dilupakan patient safety , sehingga harus
memperhatikan anatomi kateter, panjang uretra, fiksasi.
Berdasarkan anatomi kateter letak balon berada ± 2 cm
dari ujung kateter, sehingga saat pemasangan kateter
setelah urin keluar kita masukkan kembali kateter sekitar 5
cm memastikan balon kateter benar berada di dalam
vesika urinary.
4. Intervensi dan Implementasi pasien ISK : Fokus intervensi
menghambat pertumbuhan bakteri (terapi antibiotic dan
restriksi aktivitas selama pemberian antibiotic),
memodifikasi diet (perubahan diet untuk menjaga
keasaman urin, menghindari kafein dan beralkohol),
meningkatkan asupan cairan, mencegah komplikasi,
Mengajarkan stategi promosi kesehatan (minum minimal
2-3L/hari, mencegah ISK berulang dengan menghindari
faktor resiko)
5. Intervensi dan implementasi Batu ginjal : meningkatkan
asupan cairan, mengurangi nyeri, mencegah pembentukan
batu berulang, perubahan pola diet. Intervensi post op:
monitor urin output dan perdarahan post op.
4. Fokus Evaluasi
8. Sistem Integumen
Kasus sistem integumen yang banyak ditemukan di klinik adalah luka bakar,
psoriasis vulgaris dan dermatitis.
1. Materi
1. Luka bakar, ciri-ciri luka bakar berdasarkan klasifikasi.
2. Mengidentifikasi masalah kekurangan cairan, nyeri akut
3. Manajemen cairan pada pasien luka bakar
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. Pada pengkajian prosentase luka bakar kita harus
mengingat prinsip rule of nine : kepala dan leher: 9%,
ekstremitas atas 9% x 2 ekstremitas, trunkus anterior (dada
depan dan abdomen): 18%, trunkus posterior (punggung):
18%, ekstremitas bawah: 18% x 2 ekstremitas, dan
perineum : 1%.
2. Pengkajian derajat luka bakar berdasarkan kerusakan
lapisan kulit sebagai berikut :
Derajat I: terjadi kerusakan lapisan epidermis, kulit
memerah, sedikit edema, nyeri terjadi sampai
dengan 48 jam
Derajat II: terjadi kerusakan meliputi epidermis dan
dermis, adanya bulae, nyeri, warna merah atau
merah muda.
Derajat III: kerusakan seluruh lapisan dermis dan
organ kulit, warna pucat – putih, tidak nyeri,
dijumpai eskar (koagulasi protein)
3. Pasien luka bakar luas dapat mengalami syok, sehingga
kita penting mengkaji tanda-tanda syok seperti: akral
dingin, tachikardi, penurunan CRT, bradicardi.
2. Fokus Diagnosis
1. Kekurangan volume cairan
2. Kerusakan integritas kulit
3. Fokus Intervensi/ Implementasi
1. Penghitungan kebutuhan cairan berdasarkan luas luka
bakar berdasarkan rumus Parkland/Baxter : 4 ml x luas
luka bakar x Berat badan. Pemberian 50% pada 8 jam
pertama, 50% pada 16 jam berikutnya (25% pada 8 jam
kedua dan 25% pada 8 jam ketiga). Jenis cairan yang
diberikan adalah cairan kritaloid (contohnya : cairan ringer
lactate).
2. Monitor & hitung jumlah pemasukan & pengeluaran
cairan setiap 30 menit
3. Waspada terhadap tanda-tanda kelebihan cairan dan gagal
jantung, terutama saat pemberian resusitasi cairan.
4. Pada saat pemasangan kateter terdapat prinsip-prinsip
yang tidak boleh dilupakan patient safety , sehingga harus
memperhatikan anatomi kateter, panjang uretra, fiksasi.
4. Fokus Evaluasi
Pasien luka bakar yang mengalami kekurangan cairan harus
dilakukan evaluasi keberhasilan resusitasi cairan yang telah
dilakukan dengan mengukur urin output. Normal urin output
adalah 0.5 – 1 ml/kg bb/jam.
Kasus sistem darah dan kekebalan imun yang banyak ditemukan di tatanan
klinik yaitu: HIV/AIDS, Anemia, SLE, dan DHF.
1. Materi
1. Mengidentifikasi hasil pemeriksaan ELISA. Membedakan pola
temperatur pasien DHF dan penyakit lainnya.
Menginterpretasikan hasil laboratorium pasien DHF,
memvalidasi hasil pemeriksaan rumple-leed pada pasien DHF.
2. Mengidentifikasi masalah kekurangan cairan, risiko perdarahan
3. Memberikan intervensi pasien HIV dengan manifestasi diare,
Pneumocystis Pneumonia (PCP) dan tuberkulosis
4. Mengatasi stigma pada pasien HIV.
5. Menjelaskan tahapan VCT
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. SLE merupakan penyakit sistemik autoimmune yang
berdampak pada sistem tubuh meliputi sistem
muskuloskeletal, arthralgia dan arthritis
(synovitis) yang paling tampak pembengkakan pada sendi
dan nyeri saat bergerak, bengkak pada pagi hari.
2. Anemia: ada kelemahan, fatique, malaise, pucat pada
konjungtiva dan mukosa oral. Jaundice dapat terjadi
pada anemia megaloblastik dan anemia hemolitik.
3. HIV : identifikasi risiko faktor (risiko seksual atau
penggunaan obat-obat injeksi), status nutrisi, status
neurologi, keseimbangan cairan dan elektrolit, tingkat
pendidik)
2. Fokus Diagnosis
1. Fatique
2. Risiko cidera
3. Risiko hipovolemia
4. Risiko tinggi infeksi
5. Hambatan interaksi sosial
3. Fokus Intervensi
1. SLE: cegah untuk terpapar sinar ultraviolet, monitor
komplikasi pada sistem kardiovaskular dan renal.
2. Anemia: intervensi fokus kepada membantu pasien untuk
memprioritaskan aktivitas dan menyeimbangkan antara
aktivitas dan istirahat, mempertahankan nutrisi yang
adekuat, mempertahankan adekuat perfusi dengan
transfuse dan pemberian oksigen.
3. HIV/AIDS: kultur feces, pemberian antikolinergik, dan
mempertahankan cairan 3 L/hari, monitor tanda-tanda
infeksi, monitor jumlah sel darah putih, teknik aseptik,
berikan pulmonary care (batuk, napas dalam, pengaturan
posisi)
4. Transfusi darah: prinsip benar pemberian transfusi,
persiapan, prosedur pelaksanaan dan evaluasi transfuse.
Jika terjadi reaksi alergi pada 15 menit pertama, stop
transfusi, laporkan ke dokter berikan NaCl 0.9%.
4. Fokus Evaluasi
1. Anemia: tampak fatique berkurang (rencana aktivitas,
istirahat dan latihan), prioritaskan aktivitas,
mempertahankan nutrisi yang adekuat, mempertahankan
adekuat perfusi, tidak adanya komplikasi.
2. HIV/AIDS: mempertahankan integritas kulit, tidak terjadi
infeksi, paham tentang HIV AIDS, tidak terjadi defisien
volume cairan.
10. Sistem Pengindraan
Kasus sistem darah dan kekebalan imun yang banyak ditemukan di tatanan
klinik yaitu: katarak, glaucoma, Mastoiditis, otitis media
1. Materi
1. Interpretasi pemeriksaan visus, rinne, weber
2. Mengidentifkasi gangguan sensori- persepsi
3. Melakukan perawatan pasien katarak pasca operasi.
4. Melakukan pemberian tetes telinga pasien dengan OMSK
2. Proses
1. Fokus Pengkajian
1. Nilai visus misalnya 6/10 menunjukan angka pertama 6
adalah pemeriksa sedangkan angka kedua 10 merupakan
hasil yang diperiksa. Nilai normal 6/6
2. Tes rinne merupakan uji pendengaran dengan
menggunakan garpu tala untuk mengetahui gangguan
pendengaran antara tuli konduktif dan tuli sensorik.
Normal hantaran udara lebih panjang hantaran tulang. Tuli
konduktif : hantaran udara = atau < hantaran tulang; tuli
sensorik hantaran udara > hantaran tulang.
3. Tes weber untuk mengetahui lateralisasi hantaran tulang.
Hasil normal jika lateralisasi suara sama. Tuli konduktif :
lebih keras terdengar pada telinga yang sakit; tuli sensorik:
suara lebih terdengar pada telinga yang normal.
4. Tonometri: alat untuk mengukur tekanan bola mata,
normal 10-21 mmHg.
2. Fokus Diagnosis
1. Gangguan Persepsi sensori
2. Nyeri akut
3. Risiko cedera
3. Fokus Intervensi
1. Menilai kehilangan fungsi penglihatan (ketajaman
penglihatan, lapang pandang)
2. Menilai kehilangan fungsi pendengaran (jenis tuli
konduktif, tuli sensorineural)
3. Pendidikan kesehatan terkait dengan kehilangan fungsi
penglihatan dan fungsi pendengaran.
4. Melakukan perawatan post operasi katarak dan galukoma
dan perawatan pasien post operasi tympano plasty
5. Teknik pemberian obat melalui irigasi dan tetes mata, tetes
telinga, tetes hidung dan irigasi.
6. Teknik Pembebatan pada mata
7. Pemberian Tetes & Salep mata
8. Irigasi Mata
4. Fokus Evaluasi
1. Ketajaman penglihatan pasca tindakan operasi
2. Memantau tanda-tanda perdarahan pasca operasi
3. Risiko infeksi yang terjadi pasca operasi
CONTOH SOAL TEST PENGKAJIAN
Seorang perempuan berusia 38 tahun dirawat di ruang penyakit dalam karena PPOK.
Hasil pengkajian pasien tampak sesak, TD 110/70 mmHg, frekuensi napas 28x/ menit,
frekuensi nadi 100x/menit, tampak retraksi dada, dan tampak penggunaan otot- otot
pernapasan. Hasil pemeriksaan AGD didapatkan nilai pH 7,30, PaCO 49 mmHg,2
nilai normal: 35-45 mmHg, dalam soal nilai PaCO 2 49 mmHg (meningkat)
menandakan adanya asidosis respiratorik. Langkah 3 Nilai HCO dengan nilai
3
-
normal: 22-26 mEq/dL, dalam soal di atas nilainya normal, apabila menurun
menandakan adanya asidosis metabolik, dan apabila meningkat menandakan adanya
alkalosis metabolik. Langkah 4 Tentukan adanya kompensasi dengan melihat dua
komponen yaitu PaCO 2 dan HCO 3 , apabila keduanya abnormal (atau hampir
-
Pembahasan:
Pasien dengan TB paru secara patofisiologi gangguan berupa infeksi Mycobacterium
Tuberculosis yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada area paru.
Kerusakan tersebut menyebabkan terhambatnya perpindahan gas (O dan CO 2 ) di
2
Pembahasan:
Pneumonia merupakan proses inflamasi pada parenkim paru yang ditandai dengan
demam, sesak, batuk dan produksi sputum yang berlebihan menyebabkan sulit untuk
menjaga kepatenan jalan napas. Fisioterapi dada merupakan salah satu rangkaian
tindakan keperawatan yang terdiri atas postural drainage, clapping , dan vibration ,
tindakan tersebut untuk meningkatkan turbulensi dan kecepatan ekshalasi udara
sehingga sekret dapat bergerak dan mencegah terkumpulnya serta mempercepat
pengeluaran sekret.
Strategi:
Kata kunci pada kasus adalah sudah dilakukan tindakan nebulisasi, namun sekretnya
masih sulit dikeluarkan, sehingga tindakan selanjutnya yang tepat adalah melakukan
fisioterapi dada.
Jawaban: B
Pembahasan:
Terapi nebulizer merupakan salah satu tindakan pemberian pengobatan pada masalah
sistem pernafasan. Nebulizer akan menyebarkan obat menjadi partikel yang lebih
kecil ke dalam saluran nafas bagian bawah sehingga dapat diabsorpsi. Tujuan dari
nebulizer tergantung dari terapi obat yang diberikan, diantaranya adalah Ventolin
yang memberikan efek dilatasi pada bronkus (bronkodilator). Pengkajian subjektif dan
objektif pada saat sebelum dan setelah tindakan dilakukan sangat penting dalam
menilai keefektifan terapi. Adapun pengkajian sebelum dan sesudah yang penting
dalam evaluasi tindakan ini adalah auskultasi suara nafas paru, keluhan sesak,
frekuensi pernafasan, dan jika memungkinkan juga mengkaji saturasi oksigen.
Strategi :
Pada kasus di atas masalah utama pada pasien ditemukan adanya suara ronkhi dan
wheezing. Kondisi tersebut menandakan adanya penumpukan sekret di saluran dan
parenkim paru, dan juga adanya penyempitan jalan nafas akibat kondisi patologis
Asma. Pilihan B nilai saturasi oksigen kemungkinan dapat berubah apabila tindakan
ini dilanjutkan dengan melakukan fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak. Pilihan
C Jumlah dan karakteristik sputum dapat dievaluasi setelah tindakan lanjutan
mengajarkan batuk efektif dan mengeluarkan dahak. Pilihan D Kemampuan batuk
bukan merupakan standar evaluasi tindakan nebulizer. Pilihan E Kenyamanan pasien,
tidak spesifik mengevaluasi keefektifan nebulizer, kecuali menyebutkan spesifik
misal: keluhan sesak pada pasien. Sehingga pilihan A Auskultasi suara nafas adalah
evaluasi paling tepat yang dilakukan sebagai evaluasi utama tindakan nebulizer.
Jawaban: A
Referensi :
1. Black and Hawk (2009) Medical Surgical Nursing, clinical management for
positive outcome , 8 th edition, Singapore :Elsevier
2. Holloway (2004) Medical Surgical Care Planning , fourth Edition
3. Ignatavicius, Workman (2010) Medical Surgical Nursing; Patient center
collaborative care , Elsevier USA
4. Ignatavicius, Workman (2010) Clinical Decision Making Study : Medical
Surgical Nursing Patient center collaborative care , Elsevier USA
5. Lemone and Burke (2004) Medical Surgical Nursing; Critical thinking client
care , Pearson Education
6. Lewis, Heitkemper, Obrien, Bucher (2007) Medical Surgical Nursing;
Assesment and management of clinical problem volume 1 dan 2, Mosby
Elsevier
7. Monahan, Neighbors, Green (2007) PHIPPS’ Medical Surgical
Nursing ; Health and illness prespective , Mosby
8. Osborn, Wraa, Watson (2010) Medical Surgical Nursing; Preparation for
practice , Pearson Education volume 1 dan volume 2
9. Smeltzer, Bare, Hinkel and Cheever (2010), Brunner and Suddarth's Textbook
of Medical-Surgical Nursing 12th, USA :Lippincott Williams & Wilkins.
Soal :
KEPERAWATAN KOMUNITAS
1. Materi
1. Komunitas adalah sekumpulan orang yang berinteraksi satu
sama lain, memiliki kepentingan yang sama, membentuk dasar
bagi sebuah rasa kesatuan dan kepemilikian (Alender, Rector &
Warrner, 2013 dalam Nies & McEwen, 2019). Komunitas
diidentifikasi melalui 3 atribut yaitu orang, tempat, dan interaksi
sosial (Maurer & Smith, 2013dalam Nies & McEwen, 2019).
Perawat memberikan asuhan keperawatan kesehatan komunitas
melalui pendekatan proses keperawatan. Salah satu model yang
digunakan adalah community as partner yang disusun oleh
Anderson dan McFarlane. Model komunitas sebagai mitra
( Community as Partner ) diturunkan dari teori sistem yang
dikembangkan dan dipublikasikan oleh Betty Neuman pada tahun
1970. Model ini memberikan panduan bagi perawat dalam
mengkaji, mendiagnosis, merencanakan, mengimplementasikan
dan mengevaluasi asuhan keperawatan komunitas.
2. Pengkajian komunitas terdiri dari data inti komunitas yaitu
demografi, statistisk vital, sejarah, etnis/budaya dan persepsi
kesehatan. Sedangkan subsistem terdiri dari lingkungan fisik,
pendidikan, ekonomi, keamanan dan transportasi, politik dan
pemerintahan, pelayanan kesehatan dan sosial, komunikasi dan
rekreasi.
Langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah
mensistesis data pengkajian, untuk menegakkan masalah
keperawatan kesehatan komunitas. Kategori diagnosis
keperawatan komunitas adalah aktual, risiko dan potensial.
3. Intervensi keperawatan dibedakan ke dalam tiga tingkatan
pencegahan. Pencegahan primer berujuan untk meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan komunitas melalui kegiatan promosi
dan proteksi kesehatan. Pencegahan sekunder bertujuan untuk
mencegah dan menangani faktor risiko melalui kegiatan deteksi
dini dan pengendalian faktor risiko. Pencegahan tertier bertujuan
untuk mencegah akibat lanjut atau kecacatan melalui kegiatan
perawatan dan rehabilitasi.
4. Fokus pada tahap implementasi adalah mencapai sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal yang sangat
penting dalam implementasi keperawatan kesehatan komunitas
adalah melakukan tindakan yang berupa promosi kesehatan,
memelihara kesehatan/mengatasi kondisi yang tidak sehat,
mencegah penyakit dan dampak pemulihan. Tahapan
implementasi keperawatan komunitas memiliki beberapa strategi
implementasi di antaranya pendidikan kesehatan, proses
kelompok, pemberdayan masyarakat, kemitraan dan intervensi
professional.
Evaluasi adalah komponen penting untuk menentukan
keberhasilan atau kegagalan sebuah proyek dan memahami
faktor-faktor yang berkonstribusi terhadap keberhasilan atau
kegagalannya. Evaluasi harus mencakup umpan balik lisan,
tertulis dan analisis terperinci. Evaluasi proses disebut sebagai
evaluasi formatif yang bertujuan untuk mengevaluasi aspek
positif dan negatif dari setiap pengalaman secara komprehensif
dan hasilnya tercapai. Evaluasi hasil bersifat sumatif terdiri dari
survey akhir dan alat lainnya yang mengukur apakah tujuan telah
dipenuhi.
Proses yang dimaksud dapat dibaca lebih detil di bawah ini.
2. Proses
Referensi:
Anderson, E., & Mc Farlane, J. (2015). Community as partner : theory and practicein
nursing. (6 ed).Philadelphia: Lippincott Willims & Wilkins.
th
Soal :
KEPERAWATAN KELUARGA
Pembahasan:
Batuk merupakan respon alami tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari sistem
pernafasan. Pada kasus, frekuensi batuk meningkat setelah pindah ke lingkungan yang
baru. Hal ini merupakan petunjuk untuk melakukan pengkajian lebih mendalam pada
lingkungan sekitar anak (rumah baru) yang dapat memicu terjadinya batuk, sehingga
jawaban yang paling tepat adalah E. Jawaban yang lain tidak tepat.
Strategi:
Data batuk semenjak pindah ke rumah baru merupakan data yang perlu diperhatikan.
Batuk merupakan reaksi tubuh jika ada allergen terhadap sistem pernafasan dan
lingkungan baru dapat menjadi pencetus baik secara fisik maupun psikologis. Oleh
karena itu pada kasus, pengkajian terhadap lingkungan rumah merupakan opsi pilihan
yang paling tepat.
Jawaban: E
CONTOH SOAL DIAGNOSIS DAN PEMBAHASAN
Saat kunjungan rumah didapatkan data: Anak laki-laki, berusia 12 tahun mengalami
diare sudah 2 hari dan tampak lemas. Keluarga mengatakan BAB warna kuning, BAB
cair, frekuensi lebih dari 5 kali. Keluarga mengatakan anak tidak nafsu makan dan
kalau minum sering dimuntahkan, Hasil pengkajian: Turgor kulit kembali sangat
lambat, suhu 38 C. Frekuensi nadi 88 x/menit. Klien belum dibawa ke pelayanan
kesehatan
Apakah diagnosis keperawatan pada kasus tersebut?
A. Risiko defisit nutrisi
B. Defisiensi kesehatan keluarga
C. Risiko ketidakseimbangan cairan
D. Risiko ketidakseimbangan elektrolit
E. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan
Pembahasan:
Pada kasus sudah dijelaskan kondisi penyakit diare pada klien usia sekolah antara lain:
frekuensi, lama diare dan kondisi klinis yang diperberat dengan klien muntah setiap
minum, masalah keperawatan yang dapat dirumuskan pada kasus adalah kekuatan
data yang ada pada kasus antara lain dampak klinis akibat dehidrasi.
Strategi:
Rumusan masalah yang spesifik pada kasus Diare sesuai dengan data mayor menjadi
acuan dalam penanganan masalah utama cairan tubuh yang kurang dan tidak
tergantikan melalui makanan dan minum akibat muntah.
Jawaban: E
CONTOH SOAL INTERVENSI/ IMPLEMENTASI DAN PEMBAHASAN
Dalam kunjungan rumah ditemui seorang pria berusia 35 tahun, mengeluh batuk
dalam sebulan terakhir, nafsu makan berkurang, berat badan turun 5 kg dalam 1 bulan
dan merasa demam. Hasil observasi didapatkan data: klien membuang ludah
sembarangan, tidak ada jendela di kamar tidur, pertukaran udara hanya dari sumber
pintu masuk. Keluarga mengatakan klien batuk darah sudah 3 kali dalam seminggu ini
dan tidak tahu harus melakukan apa.
Apakah intervensi yang perlu segera dilakukan pada kasus tersebut?
A. Menganjurkan membuat jendela di kamar.
B. Melakukan pemeriksaan fisik.
C. Mengajarkan batuk efektif.
D. Menganjurkan memeriksa dahak BTA
E. Mengajarkan cara membuang ludah yang benar.
Pembahasan:
Gejala batuk lebih dari 3 minggu, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan
dan merasa demam merupakan tanda dan gejala TBC yang perlu diwaspadai.
Penegakan diagnosis medis untuk TBC perlu segera dilakukan agar pengobatan dapat
segera dimulai. Hasil pemeriksaan penunjang penting pada diagnosis TBC adalah
pemeriksaan BTA. Oleh karena itu intervensi yang perlu segera dilakukan perawat
adalah menganjurkan klien untuk melakukan pemeriksaan dahak BTA.
Strategi:
Prinsip penegakan diagnosis TBC adalah hasil BTA positif dari pemeriksaan sputum.
Pada kasus terinformasi jika keluarga tidak tahu harus melakukan apa padahal klien
sudah 3 kali batuk darah dalam seminggu ini. Hal ini menjadi dasar untuk
menganjurkan keluarga melakukan pemeriksaan dahak BTA
Jawaban: D
CONTOH SOAL EVALUASI DAN PEMBAHASAN
Saat kunjungan rumah didapatkan klien perempuan berusia 10 tahun, klien
mengatakan sudah 2 hari diare, BAB cair, frekuensi lebih dari 3 kali/ hari mengeluh
mual dan muntah saat makan atau minum. Hasil pemeriksan fisik: turgor kulit kembali
lambat, suhu 37.5 C, Nadi 100 x/menit, RR: 18x/menit. Klien belum dibawa ke
pelayanan kesehatan. Keluarga mengatakan cukup diberi minuman herbal. Perawat
memberi penyuluhan dampak diare pada kesehatan.
Apakah evaluasi pada tindakan perawat tersebut?
A. Keluarga dapat menyebutkan makanan yang sehat bagi pertumbuhan
B. Keluarga membawa klien ke pelayanan kesehatan
C. Keluarga dapat menyediakan makanan yang sehat
D. Anggota keluarga pertumbuhan baik
E. Anggota keluarga tidak jajan di luar
Pembahasan:
Pada kasus sudah dijelaskan kondisi klinis klien yang mengalami diare dan intervensi
yang sudah dilakukan Perawat yang perlu ditindaklanjuti oleh Keluarga yang dapat
dievaluasi baik pengetahuan, sikap dan Tindakan yang dipengaruhi. Pemberian
tindakan dalam kasus ini yang diharapkan adalah tindakan keluarga dalam membawa
klien ke pelayanan kesehatan dengan kondisi klinik, seperti kasus yang hanya
diberikan therapi alternatif.
Strategi:
Evaluasi secara prinsip adalah evaluasi sumatif dan evaluasi formatif terhadap
tindakan keperawatan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas intervensi dan
tindaklanjut proses keperawatan yang akan diberikan pada klien terkait pengetahuan,
sikap dan tindakan
Jawaban: B
Referensi:
Friedman, M. R., Bowden, V.R., Jones, E. (2003). Family Nursing, Research Theory
and Practice. 5th Edition, Appleton & Large. USA.
Harmon H, Shirley May & Sherly Thalman B (1996),Family Health Care Nursing –
Theory Practice and Research. F.A. Davis Company Philadelphia
Riasmini, et.al (2017). Panduan Asuhan Keperawatan Individu, Keluarga, Kelompok
dan Komunitas dengan Modifikasi NANDA, ICNP, NOC, dan NIC di Puskesmas dan
masyarakat.UI-Press.
DPP PPNI. 2016. Standar diagnosis keperawatan Indonesia, definisi dan indikator
diagnostik, DPP PPNI.
Soal :
KEPERAWATAN JIWA
Materi utama pada asuhan keperawatan pada masalah psikososial meliputi: ansietas,
kehilangan, ketidakberdayaan, berduka, gangguan citra tubuh, keputusasaan, dan
harga diri rendah situasional
1. Ansietas
1. Materi
Ansietas atau kecemasan adalah perasaan was-was, khawatir, takut
yang tidak jelas atau ketidaknyamanan seakan-akan terjadi sesuatu
yang mengancam. Salah satu penyebab kecemasan adalah tindakan
pembedahan karena merupakan ancaman terhadap integritas tubuh dan
jiwa seseorang. Perubahan yang terjadi akibat kecemasan : Respon
fisiologis terhadap sistem saraf otonom: peningkatan frekuensi nadi,
respirasi, peningkatan tekanan darah dan suhu, relaksasi otot polos:
kandung kemih dan usus (sering BAB dan BAK), kulit dingin dan
lembab, dan perubahan pola tidur. Respon psikologis menimbulkan
ada rasa ketakutan, khawatir dan was-was. Respon kognitif
menyempit.
2. Proses Perawatan
1. Pengkajian
Adanya perubahan fisiologis, psikologis dan kognitif.
2. Diagnosis
Ansietas
3. Perencanaan/ Tindakan
Identifikasi tanda – tanda ansietas. Ajarkan tehnik tarik nafas
dalam. Lakukan distraksi. Lakukan spiritual. Hipnotis lima jari
4. Evaluasi
Peningkatan kemampuan pasien mengatasi ansietas ditandai
dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, mampu
mengontrol perilaku, dan lapang persepsi meluas.
2. Ketidakberdayaan
1. Materi
Ketidakberdayaan adalah suatu kondisi di mana individu
mempersepsikan bahwa tindakan yang dilakukan individu tidak akan
memberikan hasil yang bermakna sehingga menyebabkan hilang
kontrol atas situasi saat ini maupun yang akan terjadi (Wilkinson,
2012). Pasien merasa bahwa tidak ada upaya yang akan mengubah
pada masalahnya, sehingga akan menyebabkan emosi rasa takut,
perasaan kehilangan dan kesedihan. Proses ketidakberdayaan bisa
disebabkan karena penilaian negatif terhadap diri sendiri yang salah
satunya disebabkan perubahan fisik/penampilan yang dapat
menyebabkan gangguan citra tubuh.
2. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Klien ketidakberdayaan memperlihatkan keragu-raguan
terhadap penampilan peran, ketidakmampuan perawatan diri,
tidak dapat menghasilkan sesuatu, ketidakpuasan dan frustasi,
menghindari orang lain, menunjukan perilaku ketidakmampuan
mencari informasi tentang perawatan, tidak bisa pengambilan
keputusan, ketergantungan terhadap orang lain, dan gagal
mempertahankan ide/pendapat.
Klien juga terlihat apatis dan pasif, ekspresi muka murung,
bicara dan gerakan lambat, tidur berlebihan, serta nafsu makan
tidak ada lagi atau berlebihan.
2. Diagnosis
Ketidakberdayaan
3. Perencanaan dan Tindakan
Bantu pasien untuk mengekspresikan perasaannya. Diskusikan
tentang masalah yang dihadapi pasien tanpa memintanya untuk
menyimpulkan. Identifikasi pemikiran yang negative.
Membantu pasien untuk meningkatkan pemikiran yang positif.
4. Evaluasi
Klien mampu mengendalikan perasaan ketidakberdayaan
ditandai dengan mengungkapkan pikiran positif akan
kemampuannya mengendalikan situasi
3. Berduka
1. Materi
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi aktual maupun risiko yang dapat
dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup
sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan dapat berupa
kehilangan: objek, pekerjaan, fungsi, status, bagian tubuh, hubungan
sosial, termasuk orang yang berarti. Berduka (grieving) merupakan
reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan dalam
berbagai cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan
pada pengalaman pribadi, espektasi budaya, dan keyakinan spiritual
yang dianutnya.
Tindakan amputasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk
menyelamatkan seluruh tubuh. Amputasi adalah bisa menyebabkan
kehilangan. Respon kehilangan menurut Kubler Ross terbagi menjadi
beberapa tahapan.
1. Denial (mengingkari peristiwa yang terjadi, tidak percaya itu
terjadi, letih, lesu, mual, gelisah, tidak tahu apa yang akan
dilakukan)
2. Anger (melampiaskan kekesalan, nada suara tinggi, berteriak,
bicara kasar, menyalahkan orang lain, menolak pengobatan,
agresif, nadi cepat, gelisah, tangan mengepal, susah tidur)
3. Bargaining (berusaha kembali ke masa lalu, sering mengatakan
“andai saja)
4. Depression (menolak makan dan bicara, menyatakan putus asa
dan tidak berharga, susah tidur, letih)
5. Acceptance (menerima kenyataan kehilangan)
2. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Kaji tingkat kehilangan
Respon emosional: berduka yang ditandai dengan
perasaan sedih, merasa bersalah, menyalahkan, tidak
menerima kehilangan dan merasa tidak ada harapan dan
menangis, pola tidur berubah, tidak mampu dan tidak
berkonsentrasi.
2. Diagnosis
Berduka
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Identifikasi proses terjadinya berduka, memahami perubahan
fisik dan peran atau kondisi kesehatan dan kehidupannya.
Motivasi harapan dan keyakinan melanjutkan kehidupan.
Tingkatan kegiatan spiritual dan beradaptasi dengan keadaan
dan merasa lebih optimis.
4. Evaluasi
Klien mampu melalui fase berduka sampai pada tahap
acceptance ditandai dengan pemenuhan kebutuhan dasar
(nutrisi, istirahat dan tidur, serta kebersihan diri), kestabilan
tanda-tanda vital, dan perasaan optimis.
5. Keputusasaan
1. Materi
Keputusasaan merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya maupun
orang lain tidak dapat melakukan sesuatu untuk mengatasi masalahnya,
memandang adanya keterbatasan atau tidak tersedianya pemecahan
masalah, dan tidak mampu memobilisasi energi demi kepentingan
sendiri.
Proses terjadinya keputusasaan bisa disebabkan karena mengalami
penyakit kronis seperti gagal ginjal kronik. Sebagian pasien gagal
ginjal kronik menjalani hemodialisis, pasien seringkali dibayangi
dekatnya kematian, merasa tidak dapat lagi mengatur diri sendiri dan
harus bergantung pada orang lain. Kondisi demikian tentu akan
menimbulkan perubahan di dalam aspek kehidupan pasien, dan
persepsi menyempit menilai tindakan hemodialisis tidak
menyelesaikan masalah.
2. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Tanda dan gejala : mengalami stres jangka panjang, penurunan
kondisi fisiologis, penyakit kronis, kehilangan kepercayaan
pada kekuatan spiritual, kehilangan kepercayaan pada nilai-
nilai penting, pembatasan aktivitas jangka panjang dan isolasi
sosial. Klien mengungkapkan keputusasaan, isi pembicaraan
yang pesimis. isi pembicaraan yang pesimis “Saya tidak bisa”,
kurang dapat berkonsentrasi, bingung, berperilaku pasif, sedih
dan fokus perhatian menyempit
2. Diagnosis
Keputusasaan
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Identifikasi kemampuan membuat keputusan dan identifikasi
area harapan dalam kehidupan. Identifikasi hubungan dan
dukungan sosial yang dimiliki pasien. Latih cara merawat
dirinya. Latih cara melakukan aktivitas positif. Latih cara
partisipasi aktif dalam aktivitas kelompok. Latih cara tindakan
koping alternatif dengan memperluas spiritual diri
4. Evaluasi
Klien mampu mengatasi keputusasaan ditandai dengan
memiliki harapan dan kegiatan positif, merasa diri bermakna,
serta memutuskan melanjutkan pengobatan.
Asuhan keperawatan jiwa dengan masalah gangguan jiwa meliputi: harga diri rendah
kronik, risiko perilaku kekerasan, halusinasi, isolasi sosial, defisit perawatan diri,
risiko perilaku kerasan, dan waham.
3. Halusinasi
1. Materi
Halusinasi adalah gejala gangguan jiwa berupa respon panca indera,
yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan
terhadap sumber yang tidak nyata. Proses terjadinya halusinasi
disebabkan faktor predisposisi: faktor perkembangan, sosialkultural,
biokimia, psikologis dan faktor genetic serta pola asuh. Faktor
presipitasi: dimensi fisik, dimensi emosional, dimensi intelektual,
dimensi sosial dan dimensi spiritual
2. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Faktor predisposisi dan presipitasi
Tanda dan gejala halusinasi: jenis halusinasi, tahapan
halusinasi, komat-kamit, mondar-mandir, mengarahkan
telinga ke satu arah, sering meludah, menolak interaksi
dengan orang lain, merasa sendirian, merasa tidak
diterima dan menunjukkan permusuhan
2. Diagnosis
Halusinasi : (sesuaikan dengan jenis halusinasi)
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Mengidentifikasi jenis, frekuensi isi, waktu, frekuensi situasi
dan respon terhadap halusinasi. Mengajarkan pasien cara
menghardik halusinasi. Melatih pasien mengendalikan
halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.
Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan
kegiatan (biasa dilakukan pasien). Melatih pasein mampu
minum obat dengan prinsip 8 benar
4. Evaluasi
Peningkatan kemampuan pasien mengendalikan halusinasi
ditandai dengan berorientasi sesuai realita.
4. Isolasi sosial
1. Materi
Isolasi sosial adalah kondisi di mana seseorang mengalami gangguan
hubungan interpersonal yang mengganggu fungsi individu tersebut
dalam meningkatkan keterlibatan atau hubungan (sosialisasi) dengan
orang lain. Proses terjadinya halusinasi disebabkan faktor predisposisi :
faktor perkembangan, faktor biologis (genetic), dan faktor sosial
kultural (komunikasi dalam keluarga). Faktor presipitasi: sosial
kultural, perpisahan dengan orang yang berarti, tidak sempurnanya
anggota keluarga dan faktor psikologis.
2. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Faktor predisposisi dan presipitasi
Tanda dan gejala: menolak interaksi dengan orang lain, merasa
sendirian, merasa tidak diterima, mengungkapkan tujuan hidup
yang tidak adekuat dan tidak ada dukungan orang yang
dianggap penting, serta tidak mampu memenuhi harapan orang
lain.
2. Diagnosis
Isolasi sosial
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial. Mendiskusikan
keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan kerugian tidak
berinteraksi dengan orang lain. Berkenalan secara bertahap
antara pasien-perawat, pasien-perawat-pasien, pasien dalam
kelompok.
4. Evaluasi
Klien mampu berinteraksi dengan lingkungan ditandai: ada
kontak mata, mampu memulai percakapan, memperkenalkan
diri pada orang lain, dan terlibat dalam kegiatan kelompok.
7. Waham
1. Materi
Waham adalah keyakinan pribadi berdasarkan kesimpulan yang salah
dari realitas eksternal). Waham juga diartikan sebagai keyakinan yang
salah yang dipertahankan secara kuat/terus menerus namun tidak
sesuai dengan kenyataan.
Jenis waham meliputi : kebesaran, curiga, agama, nihilistic, dan lain-
lain.
Proses terjadinya waham faktor predisposisi: Biologi (Lesi pada daerah
frontal, temporal dan limbik, neurotransmitter dopamin berlebihan,
tidak seimbang dengan kadar serotonin), Psikologi (mudah kecewa,
kecemasan tinggi, mudah putus asa dan menutup diri konsep diri yang
negatif), dan sosial budaya (riwayat tinggal di lingkungan yang dapat
mempengaruhi moral individu). Faktor presipitasi waham meliput
faktor biologi, psikologis dan lingkungan.
2. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Faktor predisposisi dan presipitasi
Tanda dan gejala : mudah lupa atau sulit konsentrasi,
mengatakan bahwa ia adalah artis, nabi, presiden, wali, dan
lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan, mengatakan hal
yang diyakini sacara berulang-ulang, dan sering merasa curiga
dan waspada berlebihan. Inkoheren, flight of idea,
sirkumtansial, sangat waspada, khawatir, sedih berlebihan atau
gembira berlebihan, wajah tegang, perilaku sesuai isi waham,
banyak bicara, menentang atau permusuhan, hiperaktif,
menarik diri, tidak bisa merawat diri dan defensive.
2. Diagnosis
Waham
3. Perencanaan dan Pelaksanaan
Membantu orientasi realita. Mendikusikan kebutuhan yang
tidak terpenuhi. Membantu memenuhi kebutuhannya dan
berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki. Melatih
kemampuan yang dimiliki.
4. Evaluasi
Peningkatan kemampuan berorientasi pada realita ditandai
dengan bicara dalam konteks realita, mengenal kebutuhan yang
tidak terpenuhi, mengembangkan aspek positif untuk mangatasi
wahamnya.
Referensi:
1. Potter & Perry (2013). Fundamental of Nursing . Mosby Elsevier.
2. Stuart G. W (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St. Louis:
Mosby
3. Stuart, Keliat & Pasaribu (2016). Keperawata Kesehatan Jiwa Stuart . Jakarta:
Elsevier
Soal :
KEPERAWATAN GERONTIK
1. Sistem Pernapasan
1. Perubahan Fisiologis Sistem Pernapasan dan Kasus yang Sering
Terjadi
Pada Lansia terjadi perubahan fisiologis pada sistem pernapasan yang menyebabkan
frekuensi pernapasannya menjadi meningkat. Menurunnya kapasitas vital paru, recoil
paru dan kekuatan otot dinding dada yang menjadi penyebab meningkatnya frekuensi
napas normal menjadi 16-24 kali permenit (Miller, 2012). Kasus gangguan pernapasan
yang paling banyak ditemui pada lansia adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK) dengan penyebab utama rokok dan polutan lainnya.
2. Sistem Kardiovaskular
1. Perubahan Fisiologis Lansia dan Kasus Yang Sering Dijumpai
Kekakuan dan munculnya plak di sepanjang pembuluh darah membuat resistensi pada
aliran darah meningkat, hal ini mengakibatkan tekanan darah pada lansia cenderung
meningkat (Meiner, 2015). Perubahan normal yang terjadi pada otot dan katup jantung
juga menyebabkan pompa darah ke seluruh tubuh tidak optimal, hal ini membuat
lansia beresiko mengalami gagal jantung. Hipertensi (HT) dan Chronic Heart
Failure (CHF) adalah kondisi patologis yang sering pada lansia.
2. Pendekatan Proses Keperawatan
A. Pengkajian
Pengukuran tekanan darah dan mengetahui tanda gejala HT dan CHF penting untuk
mengetahui sedari dini adanya masalah/kondisi patologis pada lansia. Di rumah
sakit Cardio Thorax Ratio (CTR) perlu diketahui untuk mengetahui adanya
pembesaran pada otot jantung. Hasil elektrokardigrafi (EKG) juga diperlukan untuk
mengetahui adanya gangguan pada konduksi listrik otot jantung.
B. Diagnosis Keperawatan
Pada lansia diagnosis yang mungkin mucul pada sistem ini di antaranya adalah
ketidakstabilan tekanan darah, sindrom lansia lemah dan intoleransi aktivitas
(Herdman & Kamitsuru, 2018). Diagnosis di atas ditandai dengan adanya
ketidakstabilan hemodinamik, mengalami lebih dari satu gangguan tubuh dan adanya
ketidakcukupan energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas yang ditandai
dengan kelelahan.
C. Intervensi dan Evaluasi
Perawat perlu melakukan monitoring tanda-tanda vital, manajemen energi dan
aktivitas, bantuan perawatan diri, relaksasi ataupun edukasi. Lansia tidak dapat
memiliki kondisi normal seperti pada dewasa, stabilnya tekanan darah tanpa adanya
keluhan dan tanda gejala dapat menjadi evaluasi keberhasilan intervensi.
5. Sistem Pencernaan
1. Perubahan fisiologis dan kasus yang banyak dijumpai
Perubahan fisiologis pada sistem pencernaan yang sering terjadi seiring dengan proses
penuaan adalah penurunan sensori kecap (terutama asin dan manis), penurunan
motilitas esofagus (efek pada disfagia, heartburn, muntah makanan yang tidak
tercerna efek selanjutnya pada nutrisi kurang, dehidrasi) penurunan sekresi asam
lambung, enzime dan motilitas, atropi usus halus, permukaan mukosam penipisan villi
dan penurunan sel epitel (efek pada absorpsi lemak dan B12), penurunan sekresi
mukosa dan elastisitas, penurunan tekanan spincter internal dan eksternal (efek pada
inkontinensia), dan penurunan impulsi saraf (efek pada penurunan rangsang defekasi
dan konstipasi). Kasus sistem pencernaan yang banyak dijumpai adalah malnutrisi,
inkontinensia bowel/inkontinensia fekal dan konstipasi.
2. Proses Keperawatan
A. Pengkajian
Mengidentifikasi adanya gangguan menelan dan pola BAB.
B. Diagnosis Keperawatan
Menegakkan diagnosis gangguan menelan, risiko aspirasi, ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh, inkontinensia bowel, konstipasi dan diare.
C. Intervensi/Implementasi
Melakukan edukasi perubahan gaya hidup dengan melakukan pola BAB rutin,
perubahan lingkungan dan penggunaan diapers, melakukan pencegahan cidera aspirasi
akibat gangguan menelan, melakukan edukasi perubahan gaya hidup (menganjurkan
pola BAB yang rutin dan manajemen diet), perubahan lingkungan dan penggunaan
diapers, melakukan edukasi perubahan gaya hidup dengan meningkatkan asupan serat,
cairan dan aktivitas fisik, menjaga kebersihan mulut, melakukan manajemen nutrisi,
yang aktivitasnya meliputi melakukan modifikasi lingkungan untuk mendukung
makan, memilih makan kesukaan, menghitung jumlah kebutuhan dan melibatkan
keluarga dalam memberikan motivasi untuk makan.
D. Evaluasi
Peningkatan pola BAB, tidak terjadi aspirasi, status nutrisi meningkat dan perbaikan
konsistensi feses setelah pemberian terapi diare.
6. Sistem Penginderaan
1. Fisiologis dan Kasus yang Banyak Ditemukan
Sistem penginderaan terdiri dari 5 bagian. Namun, perubahan penginderaan yang akan
sangat mempengaruhi lansia adalah perubahan yang terjadi pada fungsi penglihatan
dan pendengaran. Kondisi yang terjadi fungsi penglihatan lansia adalah kemampuan
akomodasi melambat, produksi air mata menurun, sel retina menurun serta cairan bola
mata terganggu. Pada lansia akan sering ditemukan kondisi mata kering. Hal ini
merupakan akibat dari menurunnya produksi air mata, dan perubahan pada kelopak
mata lansia (Ectropion & entropion). Akibat sel retina yang menurun, kemampuan
lansia untuk membedakan beberapa warna seperti hijau, biru dan ungu (Meiner,
2015). Selain itu, lansia juga mengalami kesulitan untuk beradaptasi terhadap cahaya.
Misalnya untuk cepat beradaptasi dari kondisi terang ke gelap. Cairan bola mata lansia
akan meningkat, hal ini terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran anterior mata.
Terkait dengan gangguan lensa mata, banyak lansia akan mengalami katarak.
Fungsi pendengaran lansia pun akan mengalami penurunan. Membran timpanik akan
menebal dan serumen telinga cenderung menumpuk dan keras. Lansia akan
mengalami masalah pendengaran: tuli saraf (presbiakusis) dan tuli konduktif (karena
penumpukan serumen). Kesulitan mendengar ini akan membuat lansia mengalami
kesulitan berkomunikasi dan akan terisolasi dengan lingkungan.
8. Sistem Integumen
1. Perubahan Fisiologis dan Kasus yang banyak ditemukan
Sistem integumen terdiri dari bagian epidermis, dermis dan subkutan. Pada lansia, tiap
bagian ini secara fisiologis akan mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi di
bagian kulit adalah berkurangnya serat kolagen, sehingga mengalami kehilangan
elastisitas kulit dan kulit mudah sekali robek. Arteriola di bagian epidermis kulit
mengalami atropi yang akan menyebabkan aliran darah menurun sehingga lansia
mudah mengalami hipotermia. Selain itu, hipotermi juga bisa disebabkan karena
adanya penurunan lemak pada bagian subkutaneus lansia. Perubahan pada pembuluh
darah di lapisan kulit juga akan berdampak pada perlambatan penyembuhan luka di
kulit lansia. Sehingga, ketika mengalami tirah baring yang lama, lansia akan sangat
rentan mengalami luka tekan. Kelenjar minyak lansia mengalami atropi sehingga kulit
lansia akan mudah mengalami kekeringan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
karena kekeringan kulit akan menimbulkan rasa gatal. Kasus-kasus integumen yang
banyak ditemukan pada lansia misalnya adalah: kekeringan kulit (xerosis),
pigmentasi, dermatitis dan mudah mengalami luka tekan.
2. Proses Keperawatan
A. Pengkajian
Mengidentifikasi adanya kesulitan memulai tidur, adanya kesulitan mempertahankan
tidur, adanya ketidakpuasan tidur, terjaga dari tidur tanpa sebab yang jelas, adanya
kesulitan berfungsi secara optimal sehari-hari.
B. Diagnosis Keperawatan
Menegakkan diagnosis gangguan pola tidur.
C. Intervensi/Implementasi
Melakukan intervensi perubahan gaya hidup seperti menurunkan konsumsi makanan/
minuman yang mengandung kafein, meningkatkan kenyamanan tempat/ kamar tidur,
menghindari tidur siang, dan minum air hangat sebelum tidur.
D. Evaluasi
Adanya perbaikan pola tidur
Soal :
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
1. istem Pernapasan
1. Materi
Kasus kegawatan di sistem pernapasan yang banyak ditemukan adalah obstruksi jalan
napas dengan penyebabnya akumulasi sekret/perdarahan, lidah jatuh ke belakang
karena penurunan kesadaran, dan adanya benda asing pada jalan napas. Tension
pneumothoraks terjadi karena masuknya udara ke dalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi (air trap), terjadi peningkatan tekanan intra pleura sehingga paru-paru
menjadi kolaps, menyebabkan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat
(kontralateral) yang ditandai dengan sesak napas hebat, trakheal deviasi dan
pengembangan paru yang tidak simetris. Open pneumothoraks terjadi karena benda
tajam atau adanya luka tembus pada paru dengan karakteristiknya adalah sesak napas
hebat. Apneu: penyebab, karakteristik dan tanda gejala, penilaian hasil keseimbangan
asam basa (asidosis dan alkalosis).
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Menentukan suara napas pasien wheezing, stridor, gurgling, dan suara snoring. Bunyi
ronkhi, dyspnea, napas cepat dan pendek (atelectasis paru), adanya jejas di area dada,
pergerakan dada (retraksi intercostal), sianosis perifer, VBS, pengkajian pada kasus
henti napas. Menginterpretasikan hasil AGD terkait keseimbangan asam basa.
B. Fokus Diagnosis
Mendiagnosis bersihan jalan napas (akumulasi secret/darah, benda asing), kerusakan
pertukaran gas (pada kasus atelectasis paru(kebocoran paru)/TB paru kronik), dan
gangguan pola napas (masalah tidak langsung pada organ paru dan jalan napas, terjadi
gangguan pada otot bantu napas/ekspansi dada, pasca bedah thorak).
C. Fokus Intervensi/implementasi
Mengimplementasikan airway management, cara
mengatasi sesak napas; bebaskan jalan napas tanpa dan dengan alat bantu yaitu
o Membebaskan jalan napas tanpa alat: head tilt, chin
lift, jaw thrust, abdominal thrust, chest trust dan back blow
o Membebaskan jalan napas dengan alat :
oropharingeal airway, naso tracheal airway, laringeal mask airway, intubasi
endotrakeal.
Pemberian oksigen dengan berbagai alat : nasal
kanul, simple mask, rebreathing mask, non-rebreathing mask, jackson rheese dan
BVM
Tindakan suction, melakukan tindakan untuk
penyelamatan nyawa pasien (life saving): needle tracheostomi dan needle
thorakosintesis dan CTT. Cervical spine fixation, posisi fiksasi benda tertancap dan
pemasangan kassa dengan fiksasi 3 sisi, pengambilan AGD, dan pengaturan posisi
pasien.
D. Fokus Evaluasi
Fungsi pernapasan, kepatenan jalan napas, tanda tanda vital dan AGD
2. Sistem Kardiovaskuler
1. Materi
Sindrom koroner akut (Acute Coronary Syndrome (ACS)) adalah suatu keadaan di
mana terjadi pengurangan aliran darah ke jantung yang disebabkan oleh penumpukan
plaque sehingga terjadi penyempitan dan/atau sumbatan pada arteri coroner ditandai
nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri yang terasa semakin berat seperti tertimpa
benda berat disertai sesak napas, diaphoresis, mual dan muntah. Faktor resiko ACS
adalah hipertensi, hyperlipidemia, merokok dan diabetes mellitus. Gambaran EKG
pada infark miokard adalah adanya elevasi segmen ST akut (STEMI), dan enzim
jantung yang diperiksa adalah troponin I/T atau CK-MB. Gagal jantung (Heart
failure) yang mencakup tanda gejala di mana gagal jantung merupakan kumpulan
gejala klinis berupa sesak napas saat istirahat, kelelahan, edema tungkai, takikardia,
takipneu, ronkhi paru, peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer,
kardiomegali, suara jantung ketiga dan murmur jantung. Shock hipovolemik terutama
tanda dan gejala perdarahan. Pemeriksaan diagnostik: interpretasi hasil EKG dan
enzim jantung, tindakan dan tata laksana pemberian terapi oksigen, CPR dan
pemberian DC Shock.
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Karakteristik nyeri dada, pemeriksaan fisik (IAPP), menginterpretasikan hasil EKG
(normal dan abnormal seperti asistole, fibrilasi ventrikel dan ventrikel takikardi),
kelainan irama jantung, mengidentifikasi enzim-enzim jantung pada serangan. Tanda-
tanda henti napas dan henti jantung. Monitor intake output, cardiac output dan balance
cairan, serta interpretasi cardio thoracic ratio (CTR)
B. Fokus Diagnosis
Nyeri, keseimbangan cairan elektrolit, kelebihan/kekurangan cairan (perdarahan),
penurunan cardiac output, dan intoleransi aktifitas.
C. Fokus Intervensi/implementasi
Manajemen nyeri dada, Penatalaksanaan: pemberian th/ oksigen, pemberian diuretik,
monitoring/perekaman EKG, dan penatalaksanaan shock (pemilihan jenis cairan dan
transfusi). Prosedur kegawatan : CPR, penanganan henti napas dan henti jantung,
kolaborasi pemberian obat obatan, dan rehabilitasi pasien dengan ACS.
D. Fokus Evaluasi
Nyeri dada, EKG, dan pemeriksaan fungsi jantung.
3. Sistem Pencernaan
1. Materi
Trauma tumpul dan tajam pada abdomen : ruptur organ (hati, limfa) dan organ
visceral lain (usus, omentum), keracunan disebabkan oleh makanan, obat-obatan atau
cairan (baygon) yang ditandai oleh mual, muntah dan pusing. Internal bleeding adalah
perdarahan yang terjadi pada rongga abdomen dan/atau disertai rupture organ dalam
seperti spleen dan gaster, ditandai oleh penurunan TD, perdarahan, akral dingin dan
CRT > 2 detik.
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Karakteristik nyeri abdomen, lingkar perut, tanda-tanda shock, pemahaman 4 kwadran
abdomen, perdarahan dan keracunan: muntah darah, melena, nyeri, TTV (TD turun,
nadi meningkat), turgor kulit, tanda-tanda dehidrasi dan monitoring hemodinamik.
B. Fokus Diagnosis
Nyeri, syok, keseimbangan cairan elektrolit, kelebihan/kekurangan cairan, kerusakan
dan integritas kulit.
C. Fokus Intervensi/implementasi
Manajemen nyeri, pemberian terapi oksigen, penatalaksaaan shock, IV terapi,
replacement cairan, pemasangan NGT, bilas lambung, posisi pasien, prosedur
pemasangan kateter, dan kebutuhan nutrisi.
D. Fokus Evaluasi
Nyeri, evaluasi NGT, syok, perdarahan, adekuat nutrisi, tanda gangguan integritas
kulit dan dehidrasi.
4. Sistem Saraf dan Perilaku
1. Materi
Trauma/cedera kepala adalah kondisi di mana kepala mengalami benturan yang dapat
menimbulkan gangguan fungsi otak (cedera kepala terbuka atau tertutup), dapat
terjadi peningkatan TIK dan tanda lainnya seperti nyeri kepala, mual muntah
berkelanjutan dan dapat menimbulkan pelebaran pupil. Penilaian GCS, saraf kranial
(12 nervous). Karakteristik atau tanda khas trauma kepala (berat ringannya) seperti
jejas, battle sign dan racoon eyes. Stroke (hemorrhagic (pecahnya pembuluh darah di
otak dan non hemorrhagic (sumbatan pembuluh darah otak) dengan tanda gejala
seperti penurunan kesadaran, mual muntah, nyeri kepala, hemiparese, kelemahan dan
gangguan bicara/menelan.
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Penurunan kesadaran, kekuatan otot, paralisis, tanda-tanda peningkatan TIK (muntah
proyektil), penilaian GCS, adanya jejas di kepala, battle sign, rinorhea, otorhea,
racon eyes, vital sign, hemodinamik dan perdarahan.
B. Fokus Diagnosis
Perfusi jaringan cerebral, gangguan mobilitas fisik, dan resiko aspirasi.
C. Fokus Intervensi/implementasi
Menentukan nilai GCS pada pasien gangguan neurologis, penilaian ROM,
pemasangan ETT, intervensi pada pasien cedera kepala, Penatalaksanaan TTIK: Posisi
head up 15 –300, therapy antihipertensi, dan monitoring TTV. Manajemen nyeri,
pemberian terapi oksigen, penggantian cairan, pemasangan NGT, posisi pasien, dan
prosedur pemasangan kateter.
D. Fokus Evaluasi
Nyeri, evaluasi NGT, perdarahan, tanda TTIK, skala kekuatan otot dan penilaian GCS
5. Sistem Endokrin
1. Materi
Diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 dengan kondisi hipoglikemia yang ditandai oleh
kadar glukosa darah kurang dari normal (bisa di bawah 70 mg/dL), bisa disertai
penurunan kesadaran, berkeringat dingin dan gelisah. Diabetic ketoasidosis yang
ditandai dengan hiperglikemia (kadar glukosa > 250 mg/dL, asidosis metabolik (pH <
7, 35, ketosis terbentuk karena pemakaian jaringan lemak untuk energy (lipolysis)),
bila tidak tertolong akan menyebabkan diuresis osmotic di mana akan kehilangan
cairan dan elektrolit seperti sodium, kalsium dan klorida, pernapasan kusmaul,
dehidrasi, dan napas bau aseton. Tanda-tanda syok, penurunan kesadaran (nilai GCS)
dan interpretasi hasil pemeriksaan gula darah sewaktu.
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Pengkajian adanya, tanda-tanda syok, tanda dehidrasi, penurunan kesadaran,
ketoasidosis, gangguan hemodinamik (nadi meningkat, TD menurun), nilai GDS
dan vital sign.
B. Fokus Diagnosis
Perfusi jaringan cerebral, defisit volume cairan, kebutuhan nutrisi, gangguan mobilitas
fisik, dan ketidakseimbangan kadar glukosa darah.
C. Fokus Intervensi/ implementasi
terapi insulin dan prinsip pemberiannya, pemberian glukosa, menentukan nilai GCS
pada pasien gangguan neurologis, monitoring TTV, prosedur pemasangan NGT,
pemasangan IV line, monitor intake output, penggantian cairan, dan posisi pasien.
Kolaborasi pemberian glukosa dan penatalaksanaan syok (pemilihan jenis cairan dan
transfusi).
D. Fokus Evaluasi
GCS, tanda-tanda syok dan kestabilan kadar glukosa
6. Sistem Muskuloskeletal
1. Materi
Fraktur tertutup dan terbuka terutama pada tulang-tulang panjang, perdarahan (luka
tusuk/trauma tajam), tanda-tanda syok hipovolemik karena perdarahan (pucat, lemas,
diaphoresis, nadi lemah, takikardi dan volume darah berkurang min 15 %) dan tanda-
tanda gangguan neurovascular (CRT > 2 detik, akral dingin, perabaan pulse pada
distal, neurosensori dan pergerakan).
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Pengkajian tanda-tanda fraktur, deformitas, nyeri, status neurovascular, syndroma
kompartemen, tanda-tanda syok, capillary refill time (CRT), penurunan kesadaran,
gangguan hemodinamik, nilai GCS dan vital sign
B. Fokus Diagnosis
Defisit volume cairan, syok, gangguan perfusi jaringan, nyeri, gangguan mobilitas
fisik, dan risiko gangguan neurovascular
C. Fokus Intervensi/Implementasi
Pemasangan IV-line, pelvic wrapping, pemasangan bidai, dan penatalaksanaan
perdarahan; balut tekan dan posisi, teknik mengurangi nyeri.
D. Fokus Evaluasi
Tanda-tanda kompartemen sindrom (5 P), tanda-tanda nyeri, tanda-tanda syok dan
neurovaskuler.
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Pengkajian tanda-tanda nyeri, suara napas; ronchi, gangguan hemodinamik, vital sign,
prinsip etik dan balance cairan, eliminasi, prosedur diagnostik : faal ginjal, edema
paru dan edema extremitas.
B. Fokus Diagnosis
Kelebihan volume cairan, pertukaran gas, nyeri, dan gangguan eliminasi urin
C. Fokus Intervensi/implementasi
Prosedur dan pemasangan IV-line, prosedur dan pemasangan kateter, teknik
mengurangi nyeri, monitor balance cairan, kolaborasi pemberian diuretik, dan
hemodialisa.
D. Fokus Evaluasi
Tanda tanda nyeri, tanda tanda vital dan balance cairan.
8. Sistem Integumen
1. Materi
Karakteristik luka bakar dengan kriteria luas luka bakar, area dan derajat luka bakar,
dan rule of nine. Kasus steven johnson di mana terjadi gatal-gatal, kelainan pada kulit
(eritema, bula dan purpura) dan mukosa/ selaput lendir yang kemungkinan disebabkan
oleh reaksi obat (misal penisilin/ tetrasiklin) atau infeksi (reaksi hipersensitivitas (Ig
M dan Ig G).
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Pengkajian tanda-tanda nyeri, gangguan hemodinamik, vital sign, balance cairan, syok
hipovolemik, dan prosedur diagnostik. Pengkajian luas luka bakar, area, derajat, suara
napas, dan kebutuhan cairan. Keadaan kulit (kekeringan, tekstur)
B. Fokus Diagnosis
Gangguan integritas kulit, gangguan : kekurangan volume cairan, nyeri, dan syok
C. Fokus Intervensi/implementasi
Penatalaksanaan dengan Pemasangan IV line, penggantian cairan 8 jam pertama dan
16 jam kemudian, perhitungan kebutuhan cairan (Baxter), tata laksana nyeri dan
pemasangan ETT
D. Fokus Evaluasi
Tanda-tanda nyeri, tanda-tanda vital dan balance cairan.
9. Triage
1. Materi
Pengkajian Primary survey, Secondary survey, triage bencana dengan konsep START,
triage Rumah Sakit. Menentukan prioritas pasien. Menentukan labeling, warna, dan
level.
2. Proses
A. Fokus Pengkajian
Menentukan level Triage (warna dan label), penilaian GCS, dan hemodinamik
B. Fokus Diagnosis
Penentuan prioritas masalah pasien (labeling)
C. Fokus Intervensi/implementasi
Melakukan tindakan dengan pendekatan kegawatan pada Airway, breathing,
circulation, disability and exposure (primary survey)
D. Fokus Evaluasi
Ketepatan prioritas masalah : Airway, breathing, circulation, disability and exposure
Referensi
AHA. 2015. Cardiopulmonary resucitation Guidelines.
Curtis, K., Ramsden, C., & Friendship, J., (Eds). (2007). Emergency and trauma
nursing. Philadelphia: Mosby.
NANDA International. 2018. Nursing Diagnosis : Definitions and Classification. New
York: Thieme Publisher
Soal :
KEPERAWATAN ANAK
1. Sistem Pernapasan
1. Materi
A. Bronkhopneumonia/Pneumonia
1. Pengertian: bronkhopneumonia adalah inflamasi akut pada
bronkiolus respiratorius. Pneumonia adalah inflamasi akut pada parenkim paru bagian
bawah dan alveoli. Penyebab: virus, bakteri atau jamur.
2. Mekanisme: kuman menyebabkan peradangan pada
bronkus (bronkhopneumonia) atau paru (pneumonia) menimbulkan konsolidasi
jaringan paru, sehingga dapat mengganggu pola napas, bersihan jalan napas, dan
pertukaran gas.
3. Manifestasi klinis: demam, menggigil, berkeringat, batuk
produktif/ non produktif, adanya sputum, edema mucosa, napas cuping hidung,
retraksi dinding dada, takipnea, kenaikan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak,
ronkhi, suara pernapasan bronkial.
4. Penanganan: pemberian oksigen, pemberian cairan untuk
mengatasi demam, istirahat, kompres hangat, pemberian posisi, anjurkan untuk
minum hangat, peningkatan asupan nutrisi, fisioterapi dada, inhalasi/ nebulizer,
pengencer dahak, bronkhodilator, antibiotic
B. Tuberculosis (TBC)
1. Pengertian: TBC adalah infeksi Mycobacterium
Tuberculosis pada paru.
2. Mekanisme: kuman TB menginfeksi paru melalui droplet
dari penderita TB yang lain. Kuman menyerang parenkim paru.
3. Manifestasi klinis: batuk >3 minggu, demam tidak terlalu
tinggi berlangsung lama, berkeringat pada malam hari, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan, malaise, nyeri dada.
4. Penanganan: kepatuhan minum obat, pencegahan
penularan dengan cara batuk yang benar, tempat ludah ditutup dan diberi desinfektan,
serta nutrisi yang adekuat.
C. Asfiksia
1. Pengertian: kegagalan proses bernapas secara spontan
pada bayi baru lahir.
2. Mekanisme: saat setelah lahir, paru harus segera terisi
oksigen untuk memberikan perfusi pada alveoli dan menyerap oksigen untuk
diedarkan ke seluruh tubuh.
3. Manifestasi klinis dengan menilai APGAR skor: Asfiksia
berat 0-3, Asfiksia sedang 4-6 dan Asfiksia ringan 7-9
4. Penanganan: resusitasi bayi baru lahir: hangatkan badan,
posisi kepala sedikit ekstensi, bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir dari
mulut kemudian hidung, rangsang taktil, nilai kembali bayi (usaha napas, warna kulit,
dan denyut jantung). Apabila bayi belum bernapas: berikan ventilasi tekanan positif
(VTP) dengan memakai balon dan sungkup selama 30 detik, kemudian nilai bayi
kembali. Apabila belum bernapas juga, lanjutkan VTP dengan kompresi dada secara
terkoordinasi selama 30 detik. Apabila denyut jantung mencapai 60x/menit, hentikan
kompresi dada lanjutkan VTP. Jika denyut jantung lebih dari 100x/menit lakukan
perawatan pasca resusitasi.
D. Asthma
1. Pengertian: peradangan dan penyempitan pada saluran
napas yang menyebabkan sesak atau sulit bernapas. Penyebab atau pemicu terjadinya
asma adalah agen alergen seperti debu, tungau, perubahan cuaca dan lainnya.
2. Mekanisme: proses inflamasi kronik saluran napas atas
menyebabkan obstruksi jalan napas yang menghambat aliran udara. Obstruksi dapat
berupa bronkospasme, edema dan hipersekresi.
3. Manifestasi klinis: bunyi napas wheezing, batuk, sesak
napas, napas tersengal-sengal.
4. Penanganan: inhalasi, menghindari faktor pemicu,
pemberian oksigen, pemberian bronchodilator melalui inhalasi.
2. Proses Keperawatan
A. Fokus Pengkajian
1. Peningkatan frekuensi napas (frekuensi napas normal,
bayi: 0-2 bulan: 30-60x/menit, 2-12 bulan: 30-50x/menit, 12-59 bulan: 20-40x/menit),
kedalaman inspirasi napas yang memanjang menunjukan obstruksi jalan napas atas,
batuk, sputum, dispneu, takipneu, suara napas abnormal, bentuk dada abnormal,
penggunaan otot bantu pernapasan. Hipertermi menunjukan adanya proses infeksi.
2. Pada kasus asfiksia diperlukan pengkajian: riwayat
perinatal: mekonium, prematuritas, APGAR skor.
3. Pada kasus TBC diperlukan pengkajian riwayat imunisasi
BCG, kondisi lingkungan, sumber terpapar penyakit, adanya bunyi redup, penurunan
suara paru pada saat perkusi, hasil tes mantoux positif.
4. Pada kasus asthma: riwayat keluarga dengan asthma,
ekspirasi yang memanjang dapat menunjukan gangguan obstruksi yang ditandai
dengan terdengar bunyi wheezing, sumber alergen.
5. Pada kasus pneumonia: batuk produktif, sputum kental,
terdengar bunyi ronkhi, adanya retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung.
6. Hasil laboratorium: perubahan nilai AGD, peningkatan
leukosit, peningkatan LED.
7. Hasil pemeriksaan diagnostik: X-ray adanya infiltrat pada
lapang paru.
B. Fokus Masalah
Masalah keperawatan yang sering muncul pada kasus sistem pernapasan:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan kondisi jalan
nafas yang tidak normal akibat adanya penumpukan sputum yang kental atau
berlebihan yang sulit untuk dikeluarkan. Data mayor: batuk tidak efektif/ tidak mampu
batuk, sputum berlebih atau obstruksi jalan napas, mekonium di jalan napas (pada
neonatus), wheezing dan atau ronkhi.
2. Pola napas tidak efektif adalah kondisi inspirasi dan atau
ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Data mayor: penggunaan otot
bantu napas, fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal.
3. Gangguan pertukaran gas adalah kondisi kelebihan atau
kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolus
kapiler. Data mayor: PCO2 meningkat atau menurun, PO2 menurun, PH arteri
meningkat atau menurun, terdapat bunyi napas tambahan, disapneu.
4. Hipertermia adalah suhu tubuh meningkat di atas rentang
normal tubuh. Data mayor: suhu tubuh di atas normal (>37,5°C)
C. Fokus intervensi dan implementasi
Pada gangguan sistem pernapasan, intervensi berfokus pada SOP prosedur nebulizer/
inhalasi, suction, resusitasi neonatus, fisioterapi dada, pemberian oksigen, kompres
hangat, pemberian posisi. Kolaborasi pemberian obat pengencer dahak,
bronkhodilator, antibiotik. Pendidikan kesehatan: menganjurkan untuk minum hangat,
meningkatan asupan nutrisi dan pencegahan penularan TBC, menghindari allergen.
D. Fokus evaluasi
1. Bersihan jalan nafas efektif ditandai dengan tidak ada
batuk, tidak ada sputum, tidak ada mekonium di jalan napas (neonatus), suara napas
vesikuler, tidak ada wheezing dan/ronkhi.
2. Pola napas efektif ditandai dengan ventilasi adekuat, tidak
ada penggunaan otot bantu napas, pola napas normal, frekuensi napas dalam batas
normal.
3. Tidak terjadi gangguan pertukaran gas ditandai dengan
nilai AGD dalam batas normal, tidak terdapat bunyi napas tambahan.
4. Hipertermia tidak terjadi ditandai dengan suhu tubuh
normal (36,5°C-37,5°C).
2. Sistem Kardiovaskular
1. Materi
A. Penyakit Jantung Bawaan(PJB)
1. Pengertian: PJB merupakan kelainan pada struktur jantung
dan fungsi sirkulasi jantung yang didapat sejak lahir. PJB memiliki dua klasifikasi
yaitu PJB non sianotik dan sianotik.
2. Mekanisme: PJB sianotik ditandai dengan ada sianosis
akibat adanya pirau kanan ke kiri sehingga darah dari vena sistemik yang mengandung
rendah oksigen akan kembali ke sirkulasi. Paling banyak PJB sianotik adalah
Tetralogi of Fallot.
3. PJB asianotik adalah PJB tanpa gejala sianosis. Kasus
terbanyak adalah Paten Ductus Arteriosus (PDA). Pada PJB asianotik, terjadi
percampuran darah dari aorta yang banyak mengandung O2 dengan darah dari arteri
pulmonal yang mengandung CO2.
4. Manifestasi klinis: PJB memiliki gejala terdapat
peningkatan atau penurunan tekanan darah, cardiomegali, hepatomegali, jari tabuh
terdengar bunyi murmur jantung, Capillary Refill Time >3 detik, nadi perifer teraba
lemah, tampak pucat, gelisah. PJB sianosis memiliki gejala: kebiruan pada mucosa,
sesak napas terutama setelah beraktifiktas, napas cepat dan dalam, lemah, dapat
mengalami kejang/sinkop. Sianosis tidak berkurang dengan pemberian oksigen,
mengalami gangguan pertumbuhan yang kronis (pengurangan lemak sub cutan, otot
mengecil, BB dan TB tidak optimal), mengalami gangguan perkembangan.
PJB asianotik memiliki gejala sesak napas, napas tersengal-sengal, takikardi, mudah
lelah, tidak napsu makan, gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
5. Penanganan: pemberian oksigen, pemberian posisi knee
chest pada bayi usia kurang dari 1 tahun, pemberian posisi squating pada usia lebih
dari 1 tahun, pembatasan aktivitas, pemantauan tumbuh kembang.
3. Sistem Pencernaan
1. Materi
A. Diare
1. Pengertian: invasi bakteri pada mucosa usus menyebabkan
peradangan.
2. Mekanisme: bakteri masuk usus mengalami peradangan
dan mengganggu motilitas usus, menyebabkan berak cair >3x sehari dengan
konsistensi encer. Pengeluaran cairan berlebihan akan menyebabkan dehidrasi.
Apabila peradangan disebabkan oleh kuman disentri akan menyebabkan ulserasi yang
ditandai dengan berak darah.
3. Manifestasi klinis: berak cair >3x/hari dengan konsistensi
encer, turgor kulit kembali lambat/sangat lambat, mata cekung, membran mukosa
kering, kemerahan pada perianal.
4. Penanganan: perbaikan ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit melalui rehidrasi secara oral dan atau parenteral. Perhitungan kebutuhan
cairan pada anak :
BB ≤10 Kg :100 cc/Kg/BB/Hari
BB 10-20: 1000 cc + 50 cc x (BB-10)/Kg/BB/hari
BB >20: 1500 cc + 20 cc x (BB-20)/Kg/BB/hari
Contoh : Seorang anak dengan BB 23 kg maka kebutuhan cairannya adalah
1500 + 20 x (23-20) = 1500 + 60 = 1560 cc/hari
B. Hirschprung
1. Pengertian: anomali kongenital dengan karekteristik tidak
adanya saraf-saraf pada satu bagian usus yang mengakibatkan adanya obstruksi.
2. Mekanisme: tidak adanya sel ganglion parasimpatik
otonom pada satu segmen kolon menyebabkan kurangnya persarafan di segmen
tersebut berdampak tidak adanya gerakan mendorong yang menyebabkan akumulasi
isi usus dan distensi usus proksimal
3. Manifestasi Klinis: konstipasi, pembesaran abdomen,
muntah, BAB seperti pita
4. Penanganan: pembedahan dengan tujuan membuang sel
aganglion serta pembuatan kolostomi untuk membantu defekasi
C. Hyperbilirubin atau Icterus neonatus
1. Pengertian hiperbilirubinemia adalah peningkatan
bilirubin dalam darah. Ikterik pada bayi diklasifikasikan sebagai berikut: Icterus
fisiologis mulai timbul hari ke 1-2 dan menghilang mulai hari 5-10 dengan kadar
bilirubin pada bayi cukup bulan < 12 mg/dl dan BBLR < 10mg/dl. Icterus patologis:
mulai timbul < 24 jam dan bilirubin total >15 mg/dl.
2. Mekanisme: bayi setelah lahir akan mengkonjungasi
bilirubin yang larut dalam lemak menjadi yang larut dalam air. Proses ini terjadi di
dalam hati. Bilirubin merupakan produk pemecahan Hb yang berasal dari sel darah
merah. Peningkatan kadar bilirubin indirek pada bayi baru lahir karena adanya
gangguan pemecahan bilirubin.
3. Manifestasi Klinis: Kuning pada kulit, sklera, dan
membran mukosa mulut, bilirubin serum >2 mg/dL.
4. Penanganan: fototerapi, transfusi tukar, pemberian ASI
eksklusif, terapi sinar matahari, pemberian cairan/nutrisi
Cara menghitung derajat icterus dengan Kramer
Derajat I = kepala leher = kadar bilirubin 5.0 mg%. Derajat II = kepala leher sampai
badan (atas umbilicus) = 9.0mg%. Derajat III = kepala leher sampai badan (bawah
umbilicus hingga atas lutut) = 11.4mg %. Derajat IV = kepala leher sampai badan,
serta tungkai atas dan bawah = 12.4mg%. Derajat V = kepala leher sampai badan,
serta tungkai atas dan bawah sampai telapak, tangan dan kaki = 16.0mg%.
D. Gizi Buruk
1. Pengertian: gizi buruk adalah kekurangan asupan yang
mengandung energi dan protein.
2. Mekanisme: kurangnya asupan energi dan protein akan
menyebabkan sel tubuh kekurangan nutrisi. Pada anak kekurangan nutrisi akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan.
3. Manifestasi Klinis: pucat, kurus, perut buncit, edema,
muka tampak tua, kehilangan massa otot, BB dan TB tidak sesuai, rambut mudah
patah, kusam, kering berwarna merah. Kulit bersisik, anemia, konjunctiva pucat.
4. Penanganan: pemberian nutrisi makro dan mikro,
pendidikan kesehatan pada orang tua tentang pemenuhan kebutuhan nutrisi pada anak.
4. Sistem integument
1. Materi
A. Campak
A. Pengertian
Campak/morbili adalah infeksi yang disebabkan oleh paramyxovirus.
B. Mekanisme: virus campak masuk ke dalam tubuh melalui udara,
kontak langsung dengan sekresi hidung atau tenggorokan.
C. Manifestasi klinis: demam, mata merah/konjunctivitis, bercak
keabu-abuan pada mulut dan tenggorokan, timbul bercak kolpik’s
pada mucosa pipi / daerah mulut, timbul ruam pada kulit dimulai
dari belakang telinga menyebar ke seluruh tubuh.
D. Penanganan: pemberian nutrisi yang adekuat, imunisasi, isolasi
untuk mencegah penularan, mempertahankan kebersihan diri.
B. Sistem Persarafan
1. Materi
A. Kejang Demam
1. Pengertian: kejang yang disebabkan karena kenaikan suhu
tubuh > 38,4°C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit.
2. Mekanisme: peningkatan suhu tubuh menyebabkan neuron
sel otak menjadi hipersensitif dan aktif secara berlebihan yang memicu aliran listrik
berlebihan sehingga kejang.
3. Manifestasi klinis: demam lebih dari 38,4°C, kejang
menyentak dan atau kaku otot, gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau
ke atas), penurunan kesadaran, kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan
usus, dan muntah.
4. Penanganan: terapi farmakologi: antipiretik dan terapi
kejang (diazepam secara rektal/IV), di rumah diazepam rektal. Terapi non
farmakologi: Baringkan pasien di tempat rata, singkirkan benda yang ada di sekitar
pasien, melonggarkan pakaian, tidak memasukkan sesuatu ke mulut anak, jangan
memaksa membuka mulut anak, kompres, posisi kepala miring untuk mencegah
aspirasi. Pendidikan kesehatan penanganan kejang di rumah.
B. Meningitis
1. Pengertian: infeksi pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan karena bakteri dan virus atau jamur.
2. Mekanisme: organisme masuk ke dalam otak melalui
aliran darah yang berasal dari sekret hidung dan sekret telinga. Invasi kuman
menyebabkan TIK meningkat, sehingga mengakibatkan gangguan perfusi jaringan
serebral. Invasi kuman juga dapat menyebabkan gangguan fungsi sistem regulasi
berupa hipertemia yang menyebabkan gangguan metabolisme otak dan gangguan
keseimbangan ion kalium dan natrium sehingga terjadi kejang.
3. Manifestasi klinis: peningkatan TIK (kejang, sakit kepala,
perubahan tingkat kesadaran), kaku kuduk, tanda Kernig positif, tanda Bruzinzki
positif, dan fotopobia.
4. Penanganan: perawatan waktu kejang: hisap lendir, cegah
cidera, dan longgarkan baju.
5. Pengobatan simptomatik: untuk kejang dan panas.
6. Pengobatan suportif: pemberian cairan intravena, isolasi,
mempertahankan hidrasi maksimal, mencegah dan mengatasi komplikasi,
mempertahankan ventilasi, mengurangi tekanan intrakranial yang meningkat,
penanganan syok.
C. Hidrosepalus
1. Pengertian: suatu keadaan patologi otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis yang disebabkan baik oleh
produksi yang berlebih maupun gangguan absorbs dengan atau tidak disertai TIK
yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruang tempat aliran CSS.
2. Mekanisme: kondisi CSS yang abnormal dapat disebabkan
karena produksi likuor yang berlebih, peningkatan resistensi aliran likuor, dan
peningkatan tekanan sinus venosa, yang berdampak pada peningkatan TIK.
3. Manifestasi klinis: pembesaran kepala abnormal (LK > 40
cm), sunken eyes, fontanel terbuka dan tegang, tulang kepala sangat tipis dan vena-
vena menonjol, dan perkembangan mengalami keterlambatan.
4. Penanganan: tata laksana dengan mengurangi produksi
cairan melalui pembedahan (pembuatan VP shunt).
C. Sistem Perkemihan
1. Materi
A. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
1. Pengertian: infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh
adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih.
2. Mekanisme: adanya mikroorganisme yang masuk ke
dalam saluran kemih mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan
residu kemih, sehingga menjadi media pertumbuhan mikroorganisme yang
selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Mikroorganisme yang naik
dari kandung kemih ke ginjal, karena seringnya air kemih tertahan di kandung kemih
akan menyebabkan distensi berlebihan sehingga menimbulkan nyeri.
3. Manifestasi klinis: sakit saat berkemih, berkemih tidak
sampai tuntas, ada riwayat kurang bersih saat berkemih, hematuria, demam, dan nyeri
punggung dan pinggang.
4. Penanganan: pemberian antibiotik dan antipiretik,
meningkatkan asupan cairan 2-3 lt/hari, penggunaan pakaian dalam terbuat dari bahan
katun, membersihkan perineum dari arah depan ke belakang.
B. Sindrom Nefrotik
1. Pengertian: kondisi yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membrane glomerulus terhadap protein yang mengakibatkan kehilangan
protein plasma yang menyebabkan hypoalbuminemia.
2. Mekanisme: menurunnya albumin menyebabkan tekanan
osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskular berpindah ke dalam
interstisial. Perpindahan cairan menjadikan volume cairan intravaskular berkurang
sehingga akan menurunkan jumlah aliran darah ke renal. Akibat hipovolemia akan
berdampak pada ginjal yang akan melakukan kompensasi dengan merangsang renin
angiotensin, peningkatan sekresi antidiuretik (ADH) dan sekresi aldosteron sehingga
terjadi retensi natrium dan air menyebabkan edema.
3. Manifestasi klinis: edema di sekitar mata (periorbital),
edema di ekstrimitas, edema anasarka, asites, malaise, sakit kepala.
4. Penanganan: penatalaksanaan farmakologi: terapi
kortikosteroid, terapi immunosupresan, dan terapi diuretik. Penatalaksanaan non
farmakologi: pencegahan infeksi, mencegah kerusakan kulit, nutrisi (diet sindrom
nefrotik) dan kebutuhan cairan (pembatasan asupan cairan), istirahat, dan dukungan
bagi anak.
2. Pendekatan Proses Keperawatan
A. Fokus Pengkajian
1. Anamnesis: menentukan faktor resiko infeksi saluran
kemih, menentukan tanda kongesti, iritasi/ketidaknyamanan genital, darah dalam urin,
sering merasakan dorongan untuk berkemih namun urin yang keluar sedikit, urin
berwarna pekat (kadang berdarah), ketidaknyamanan pada daerah pervis, rasa sakit
pada daerah pubis, perasaan tertekan pada daerah perut bagian bawah, demam rasa
terbakar dan perih saat berkemih, nyeri di daerah punggung dan pinggang, mual,
muntah, berat badan meningkat, mudah lelah, dan demam.
2. Inspeksi: edema periorbital, ekstrimitas, anasarka, asites,
hematuria, adanya pruritus, keletihan, perubahan warna kulit pada sindrom nefrotik,
pernapasan cepat, keterlambatan perkembangan, wajah tampak sembab, kenaikan
berat badan.
3. Palpasi: distensi kandung kemih, edema labia/srotum.
4. Pemeriksaan laboratorium: leukosuria, hematuria, kultur
urin, hitung koloni, bakteriologi, urinalisis, dan protein urin.
B. Fokus Masalah
1. Kelebihan volume cairan diakibatkan kerusakan pada
glomerulus yang menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus dan hilangnya
protein plasma, penurunan albumin dalam darah, penurunan tekanan osmotik,
perpindahan cairan intravaskuler ke instersisial yang menyebabkan edema.
2. Nyeri dikarenakan adanya proses inflamasi pada kandung
kemih menyebabkan obstruksi saluran kemih yang bermuara pada vesika urinaria
yang mengakibatkan kontraksi di dinding vesika urinaria.
3. Perubahan pola eliminasi disebabkan karena adanya
obstruksi mekanik pada kandung kemih atau struktur traktus urinarius lain yang
menyebabkan iritasi uretra sehingga mengalami oliguria.
D. Fokus Evaluasi
1. Anak mengalami haluaran urin yang adekuat sesuai usia
2. Edema berkurang
3. Pola eliminasi normal
4. Warna urin: jernih
5. Orang tua melakukan perineal hygiene dengan tepat
6. Sistem Hematologi dan Imunologi
2. Proses Keperawatan
A. Fokus Pengkajian
1. Pada thalasemia: mudah lelah, letargis, anoreksia, sesak
napas, penebalan tulang kranial, pembesaran limpa dan hepar, serta menipisnya tulang
kartilago, konjungtiva pucat, kulit pucat dan berwarna keabuan (hemosiderosis),
anemia (Hb rendah), gangguan tumbuh kembang dan riwayat transfusi darah rutin.
2. Pada DHF: demam terus menerus 2-7 hari, hepatomegali,
tanda presyok (nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun, tekanan darah menurun,
dan kulit teraba dingin), terdapat petekhie, uji tourniquet positif, perdarahan gusi,
hematemesis, melena, nyeri sendi dan nyeri kepala terjadi karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang berdampak adanya kebocoran plasma.
3. Pemeriksaan laboratorium: darah tepi (HB minimal 8 g/dl-
9,5 g/dl, hematrokit 33-38%, trombosit 200.000/m-400.000/m, lekosit 9.000-
12.000/mm3), dan foto rontgen
4. Klasifikasi DHF: Derajat I : demam disertai gejala tidak
khas, uji touniqut +, Derajat II : derajat I ditambah perdarahan spontan (perdarahan di
hidung/epistaksis, hematemesis, melena), Derajat III : jika ditemukan kegagalan
sirkulasi darah dengan nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun, hipotensi disertai
kulit dingin dan lembab serta gelisah, Derajat IV : terdapat renjatan berat, nadi tidak
teraba, tekanan darah tidak teratur.
B. Fokus Masalah
1. Pada Thalasemia
1. Perfusi perifer tidak efektif disebabkan karena
penurunan komponen sel darah (eritrosit) yang diperlukan untuk pengangkutan
oksigen
2. Intoleransi aktivitas disebabkan karena tidak
seimbang antara suplai O2 dan kebutuhan
2. Pada kasus DHF
1. Hipertemia karena proses inflamasi, peningkatan
laju metabolisme, dan dehidrasi
2. Risiko perdarahan disebabkan karena
trombositopenia.
3. Defisit volume cairan disebabkan kehilangan
volume cairan aktif, dan kegagalan mekanisme regulasi.
D. Fokus Evaluasi
1. Tidak ada tanda dehidrasi dan perdarahan, hasil
laboratorium dalam rentang normal.
2. Perfusi perifer efektif: suhu normal, akral hangat, CRT < 3
detik, Hb optimal 10 mg/dl.
E. Sistem Penginderaan
1. Materi
A. Konjungtivitis
1. Pengertian: infeksi atau inflamasi pada konjungtiva mata
(akut maupun kronis).
2. Mekanisme: mikroorganisme atau allergen menyebabkan
iritasi pada kelopak mata sehingga kelopak mata sukar membuka dan menutup secara
sempurna. Kelopak mata menjadi kering sehingga menyebabkan konjungtivitis.
3. Manifestasi klinis: pelebaran pembuluh darah
menyebabkan peradangan yang ditandai dengan sklera dan konjungtiva yang merah,
edema, rasa nyeri, dan adanya sekret mukopurulen.
4. Penanganan: dapat hilang/sembuh sendiri tergantung
penyebab. Antibiotik salep dan pembersihan kelopak mata dapat dilakukan.
D. Fokus Evaluasi
1. Persepsi sensorik tidak terganggu.
2. Nyeri berkurang dan hilang.
3. Suhu dalam batas normal.
4. Tidak ada sekret pada mata atau telinga.
5. Pelayanan Kesehatan
F. Pelayanan Kesehatan
1. Materi
A. Imunisasi Dasar
1. BCG diberikan pada usia 0-1 bulan (masih dapat diberikan
sampai usia 2 bulan). Vaksin ini ditujukan untuk mencegah TBC, dengan dosis
pemberian 0,05 ml dan route pemberian di intrakutan.
2. DPT diberikan pada usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
Vaksin ini ditujukan untuk mencegah Difteri, Pertusis, dan Tetanus dengan dosis
pemberian 0,5 ml dan route pemberian intramuskuler.
3. Polio diberikan pada usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4
bulan. Vaksin ini ditujukan untuk mencegah polio yang diberikan secara oral
sebanyak 2 tetes sekali pemberian.
4. Hepatitis diberikan mulai dari bayi baru lahir dengan dosis
0,5 ml secara intramuskuler. Vaksin ini diberikan sebanyak 4 kali pada usia saat lahir,
2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Diberikan sebagai upaya untuk mencegah penyakit
hepatitis.
5. Campak diberikan pada usia 9 bulan dengan dosis 0,5 ml
dan diberikan secara intramuskuler. Diberikan sebagai upaya untuk mencegah
penyakit campak, dan kejadian pneumonia akibat infeksi Rubeola.
6. Beberapa vaksin diberikan bersamaan dengan istilah yang
biasa digunakan yaitu pemberian vaksin Combo (DPT dan Hepatitis). Berikut jadwal
pemberian imunisasi dasar:
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
1. Menentukan usia kronologis
Cara menentukan usia kronologis anak yaitu tanggal pemeriksaan dikurangi dengan
tanggal lahir. Contoh: tanggal pemeriksaan 21 Januari 2018 dan tanggal lahir 30
Oktober 2016,
21 – 01 – 2018
30 – 10 – 2016
21 – 02 – 1
Jadi usia anak 21 hari 2 bulan 1 tahun atau 1 tahun 2 bulan 21 hari, dan dijadikan
bulan maka usia anak 15 bulan. Pada anak yang lahir prematur maka penentuan usia
kronologisnya dikurangi selisih usia matur (40 minggu) dengan usia minggu
prematurnya. Misalnya pada hitungan di atas jika anak lahir prematur usia 36 minggu
maka usia kronologis anak akan dikurangi 4 minggu sehingga anak berusia 14 bulan.
Referensi:
1. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan pediatri
volume 1. Jakarta: EGC
2. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan pediatri
volume 2. Jakarta: EGC
3. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan pediatri
volume 3. Jakarta: EGC
4. Keyle, T.E. & Carman, S. (2010/2015). Buku ajar keperawatan pediatri
volume 4. Jakarta: EGC
5. Pillitteri, A. (1999). Maternal & child health nursing: Care of the childbearing
& childrearing family (3rd edition). Philadelpia: JB Lippincot.
6. PPNI (2016). Standar diagnosis keperawatan Indonesia: Definisi dan
indicator diagnostik (Ed 1). Jakarta: DPP PPNI.
7. WHO (2013). Pocket book of hospital care for children: Guidelines for the
management of common childhood ilnesses (2nd edition). Geneva: WHO
Soal :
KEPERAWATAN MATERNITAS
1. Materi
A. Status obstetri
Gravida (G): adalah jumlah kehamilan, tanpa melihat lamanya termasuk kehamilan
saat ini. Para/Persalinan/Partus (P): adalah kelahiran setelah gestasi 20 mg, tanpa
melihat kondisi bayi hidup / mati. Abortus (P): adalah keluarnya hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup diluar kandungan dengan batasan gestasi kurang dari 20
minggu.
E. Palpasi Leopold
Leopold I: menentukan TFU dan bagian janin yang terdapat difundus.
Leopold III: menetukan presentasi janin, apakah presentasi janin sudah masuk PAP.
1. Aspek Pengkajian:
Risiko defisit nutrisi, nausea, risiko cedera ibu, risiko cedera janin, risiko gangguan
hubungan ibu dan janin, resiko kehamilan tidak dikehendaki, kesiapan peningkatan
proses keluarga dan konstipasi.
Aspek Evaluasi
Materi
Asuhan keperawatan pada perempuan pada masa persalinan dan bayi segera setelah
lahir:
A. Partograf
B. Kemajuan persalinan
D. APGAR score
F. Observasi kala IV
A. Aspek Pengkajian:
Kemajuan persalinan (pemeriksaan dalam), bugar dan APGAR score, observasi tanda
tanda kala III, observasi kala IV, KPD dan Partograf (DJJ, pembukaan dan penurunan
presentasi, kontraksi uterus, ketuban, moulage, TD, nadi dan observasi kandung
kemih).
Nyeri persalinan, ansietas, risiko cedera ibu, risiko cedera janin, risiko perdarahan,
defisit volume cairan, penurunan curah jantung, pola napas tidak efektif, gangguan
pola tidur, keletihan, dan gangguan rasa nyaman.
C. Aspek Intervensi/Implementasi:
a. Manajemen nyeri persalinan (non farmakologis dan
farmakologis). Pendekatan secara non farmakologis tanpa
penggunaan obat-obatan seperti relaksasi, masase,
akupresur, akupunktur, kompres panas atau dingin dan
aromaterapi, sedangkan secara farmakologis melalui
penggunaan obat-obatan.
e. Penggunaan partograf
f. Manajemen cairan
g. Dukungan spiritual
2. Aspek Evaluasi:
Keberhasilan pemenuhan kebutuhan pada ibu masa intranatal dan bayi baru lahir
(BBL)
A. Pokok Materi
1. Involusi uteri
2. Manajemen laktasi
4. Menilai REEDA
5. Keluarga berencana
3. Aspek Intervensi/Implementasi:
4. Aspek Evaluasi
A. Pokok-pokok materi
1. Aspek Pengkajian:
Nyeri, risiko infeksi, harga diri rendah, risiko gangguan peran ibu,
berduka/kehilangan, disfungsi seksual, dan ketidakefektifan pola seksual.
3. Aspek Intervensi/Implementasi:
4. Aspek Evaluasi
Seorang perempuan berusia 28 tahun hamil 20 minggu datang ke poliklinik KIA untuk
memeriksakan kehamilan. Hasil pengkajian: riwayat persalinan tahun 2000
melahirkan bayi laki-laki usia kehamilan 38 minggu. Pada tahun 2005 melahirkan
bayi perempuan usia kehamilan 37 minggu dan pada tahun 2010 mengalami
keguguran saat usia kehamilan 12 minggu.
A. G3 P1 A2
B. G3 P2 A1
C. G4 P2 A1
D. G4 P3 A0
E. G4 P1 A2
Pembahasan:
Gravida 4 (saat ini hamil 20 minggu, persalinan tahun 2000 dan 2005, riwayat
Keguguran tahun 2010)
STRATEGI :
Kata kunci dari kasus tersebut bahwa pasien datang dalam kondisi hamil, sudah 2 kali
melahirkan dan 1 kali abortus.
Jawaban : C
A. Nyeri akut
Pembahasan:
Preeklampsia adalah tekanan darah tinggi ≥ 140/90 disertai protein uria yang terjadi
pada kehamilan setelah 20 minggu sampai akhir minggu persalinan. Pada preeklamsia,
volume plasma menurun, sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan
hematokrit maternal. Perubahan ini membuat perfusi organ maternal menurun
(menyebabkan sakit kepala dan penurunan penglihatan), penurunan perfusi ini juga ke
janin (ini bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan janin bahkan kematian janin).
Sehingga masalah keperawatan pada pasien di atas adalah resiko tinggi cedera pada
ibu dan janin.
STRATEGI:
Jawaban: D
Pembahasan:
STRATEGI
Pada pasien plasenta previa maka intervensi utama adalah tirah baring.
Jawaban : A
Seorang perempuan berusia 28 tahun G1P0A0 hamil 32 minggu, datang ke poli KIA
untuk periksa kehamilan. Hasil pengkajian tampak odema di wajah dan ektremitas.
TFU 30 cm, punggung kiri, presentasi kepala, DJJ 145x/menit. Perawat menjelaskan
pada pasien cara menghitung gerakan janin.
Pembahasan
Cara menilai gerakan janin: Minta ibu hamil untuk berbaring miring dan menghitung
10 gerakan janin dalam 2 jam. Janin dinilai sejahtera bila gerakan janin dirasakan ibu
10 kali dalam 2 jam. Pada kasus di atas pasien diharapkan dapat menghitung gerakan
janin dan mampu menyampaikan jumlah gerakan janin yang dirasakan.
STRATEGI
Pada kasus pendidikan kesehatan yang diberikan oleh perawat adalah cara menghitung
gerakan janin maka hasil yang diharapkan pasien mampu menghitung dan
menyampaikan jumlah gerakan janin yang dirasakan
Jawaban: B
Referensi
Foley, TS, Davies MA (1983). Rape. Nursing care of victims. St. Louis : The CV
Mosby company
Soal :
Full Length Test 180 soal
1. Seorang laki-laki berusia 46 tahun di rawat di ruang penyakit dalam dengan diagnosis
peritonitis dan mengeluh nyeri perut. Hasil pengkajian skala nyeri 6, tampak wajah
menyeringai TD 140/90 mmHg. Frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu
380C.
Apakah pengkajian lanjutan pada kasus tersebut ?
a. Mual
b. Muntah
c. Bising usus
d. Distensi Perut
e. Intake output cairan
Pembahasan :
Peritonitis menghasilkan efek sistemik yang berat, perubahan sirkulasi, perpindahan cairan
dan masalah pernapasan serta ketidak seimbangan cairan dan elektrolit. Respon inflamasi
menghasilkan aliran darah ekstra ke bagian usus yang mengalami inflamasi untuk melawan
infeksi, cauran dan udara tertahan dalam lumen, tekanan dan sekresi cairan dalam usus
meningkat sehingga aktifitas usus mengalami penurunan dan cenderung berhenti. Proses
inflamasi sendiri meningkatkan kebutuhan terhadap oksigen sehingga paru berespon dengan
meningkatkan pernapasan.
Startegi :
Aktivitas usus pada peritonitis cenderung mengalami penurunan bahkan berhenti sehingga hal
utama yang di perhatikan adalah bising usus
2. Seorang perempuan berusia 30 tahun di rawat di ruang penyakit dalam dengan diagnosis
suspect apendisitis. hasil pengkajian, pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, skala nyeri 7,
mual, muntah, serta tidak nafsu makan, TD 130/80 mmHg, frekuensi napas 26 x/menit dan
frekuensi nadi 8x/menit.
Apakah pengkajian lanjut pada kasus tersebut ?
a. Auskultasi bising usus
b. Observasi status nutrisi
c. Pemeriksaan laboratorium
d. Observasi tanda=tanda infeksi
e. Palpasi pada titik mc. Burney
Pembahasan :
Nyeri dan sakit perut pada apendiksistis terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi
obstruksi pada apendik. Nyeri visceral akan mengaktifasi nervus vagus sehingga
mengakibatkan muntah. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau
titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunsi diagnosis
Strategi:
Nyeri tekan pada titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis apendik
3. Seorang laki-laki berusia 60 tahun di rawat di euang neurologi dengan keluhan penurunan
kesadaran. Hasil pengkajian saat di beri rangsangan nyeri kedua lengan tampak fleksi
abnormal, membuka mata dan suara mengerang, pupil anisokor kanan, reflek cahaya lambat,
TD 160/90 mmHg, frekuensi nadi 92 x/mwnit, frekuensi napas 20 x/menit dan suhu 36,8 C
Berapakah nilai GCS pada kasus tersebut ?
a. 5
b. 6
c. 7
d. 8
e. 9
Pembahasan :
Gangguan neutologi pada kasus stroke, cedera kepala dan meningitis terjadi karena adanya
kerusakan jaringan otak, kerusakan jaringan otak atau edema jaringan otak atau munculnya
tekanan intra kranial. Salah satu tanda yang paling mudah di lihat pada mekanisme ini adalah
penurunan kesadran. Semakin rendah nilai GCS menunjukan semakin berat kerusakan atau
edema atau tekanan intra kranial
Strategi :
Pertanyaan diatas menunjukan penentuan nilai GCS di dapat dari pemeriksaan fisik dengan
memberikan rangsangan. Rangsangan yang diberikan pada kasus ini adalah rangsangan nyeri.
kasus ini menunjukan respon motoric fleksi abnormal, membuka mata dan suara mengerang
saat di beri rangsangan nyeri (3-2-2). Jadi nilai GCS 7. Perlu di pelajari lebih baik setiap nilai
dan komponen verbal, motoric dan membuka mata.
4. Seorang perempuan berusia 35 tahun di rawat di ruang bedah saraf dengan pasca craniotomy.
Hasil pengkajian, pasien tampak hemiparese kanan, lemah dan tidak mampu menggerakan
tubuhnya, reflex fisiologi melambat. Saat di lakukan pemeriksaan otot ekstremitas kanan di
dapat hasil sebagai berikut tidak mampu mengangkat lengan dan kaki namun bisa
menggerakkannya.
Berrapakah nilai kekuatan otot pada pasien tersebut ?
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4
e. 5
Pembahasan :
Penurunan kekuatan otot merupaka gejala neurologis yang umum terjadi pada kasus neurologi
seperti stroke, meningitis dan cedera kepala. Ada mekanisme gangguan sentral pada pusat
motoric otak sehingga kurang mampu mengkordinasikan gerakan ekstremitas. Kelemahan
otot di tentukan dengan skala kekuatan otot yakni :
0 : tidak ada tonus
1 : terdapat tonus tapi tidak ada gerakan.
2 : terdapat pergerakan sendi tetapi tidak bisa melawan gravitasi
3 : dapat melawan gravitasi tetapi tidak dapat menahan tahanan.
4 : pergerakan dapat menahan tahanan
5: kekuatan otot normal.
Strategi :
5. Seorang perempuan berusia 56 tahun di rawat di ruang neurologi dengan keluhan sakit
kepala. Hasil pengkajian didapat penglihatan kabur, kelemahan kaki dan tangan pada sisi
kanan serta bicara tidak jelas. Untuk memastikan perawat akan melakukan pengkajian pada
nervus kranial XII.
Apakah yang harus diperintahkan dalam pengkajian tersebut ?
a. Minta pasien mengucapkan suara “A”
b. Meletakkan garam pada lidah bagian depan
c. Meletakkan gula pada lidah bagian belakang
d. Minta pasien untuk memoncongkan mulutnya
e. Minta pasien menggerakkan lidah ke satu sisi dan sisi lainnya.
Pembahasan :
Strategi :
6. Seorang laji-laki berusia 18 tahun, di rawat diruang bedah dengan fraktur tibia 1/3 proksimal
tertutup 12 jam yang lalu. Perawat melakukan pengkajian neurovaskulwr untuk
mengidentifikasi adanya sindrom kompartemen.
Apakah data focus pada kasus tersebut ?
a. Eritema pada area fraktur
b. Edema pada sekitar area fraktur
c. Perubahan warna kulit dari pucat ke sianosis
d. Nyeri progresif tidak hilang dengan analgetik
e. Daerah di sekitar lokasi fraktur terasa lebih hangat
Pembahasan :
Strategi :
7. Seorang perempuan berusia 45 tahun di rawat di ruang penyakit dalam dengan CKD.. hasil
pengkajian : edema di ekstremitas bawah, intake cairan 1000cc/24 jam, urin output 100cc/24
jam, TD 160/90 mmHg. Frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi napas 28 x/menit dan suhu 37
C. pasien direncanakan hemodialysis.
Apakah pengkajian selanjutnya pada pasien tersebut ?
a. Kaji adanya bunyi napas tambahan
b. Kaji adanya kenaikan berat badan
c. Kaji nilai ureum dan kreatinin
d. Kaji kadar hemoglobin
e. Kaji kecemasan
Pembahasan :
Strategi :
8. Seorang perempuan berusia 34 tahun di rawat di ruang bedah dengan luka bakar derajat II.
Pasien mengeluh nyeri, lemas dan haus. Hasil pengkajian luka bakar daerah dada. Tangan dan
paha kanan,
Berapakah presentase luka bakar pada kasus tersebut ?
a. 44 %
b. 42 %
c. 34 %
d. 32 %
e. 27 %
Pembahasan :
Hasil pengkajian di temukan luka bakar daerah dada, tangan kanan dan paha kanan. Untuk
menentukan persentase luas luka bakar di gunakan rumus : “Rule of Nine” sehingga di
dapatkan hasil daerah dada nilai nya = 9 %, tangan kanan = 9 %, paha kanan = 9 %, total area
yang mengalami luka bakar adalah 27 %
Strategi :
Pelajari rumus “rule of Nine”
9. Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang ke poliklinik saraf dengan keluhan gangguan
pendengaran. Perawat melakukan pemeriksaan pendengaran pada pasien dengan cara
menempelkan garputala pada planum mastoid pasien. Hasil pemeriksaan menunjukkan
setelah perawat tidak mendengar sedangkan pasien masih dapat mendengarkan getaran
garputala.
Apakah interprestasi pemeriksaan pada kasus tersebut ?
a. Tuli kombinasi
b. Tuli kondusif
c. Tuli sensorik
d. Tuli saraf
e. normal
Pembahasan :
Strategi :
10. Seorang perempuan berusia 22 tahun di rawat di ruang bedah dengan pasca operasi
apendiktomi hari ke 2. Pasien mengeluh nyeri pada luka bekas operasi, skala nyeri 6, wajah
menyeringai, pasien susah tidur dan mengeluh mual serta nafsu makan berkurang. TD 130/80
mmHg, frekuensi nadi 98 x/menit, frekuensi napas 24 x/menit, suhu 37, 5 C, tampak lemah
dan gelisah.
Apakah masalah keperawatan pada kasus tersebut ?
a. Nyeri akut
b. Risiko infeksi
c. Deficit nutrisi
d. Intoleransi aktivitas
e. Gangguan pola tidur
Pembahasan :
Strategi :
11. Seorang perempuan berusia 58 tahun di rawat di ruang neurologi dengan stroke haemorhagik.
Hasil pengkajian kesadaran stupor dengan GCS 9, reflex pupil lambat, kesan hemiparase
dextra. TD 190/100 mmHg, frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi napas 28 x/menit dan suhu
38 C. CT-scan menunjukkan adanya gambaran hiperdens pada daerah frontotemporal kanan
Apakah masalah keperawatan yang tepat pada kasus tersebut ?
a. Gangguan perfusi jaringan serebral
b. Ketidakefektifan pola napas
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Resiko cedera
e. Hipertermia
Strategi :
Pembahasan :
12. Seorang laki-laki berusia 65 tahun, di rawat di ruang neurologi dengan keluhan mengalami
kelemahan pada sisi kiri tubuh sejak semalam. Hasil pengkajian di dapatkan wajah asimetris,
bicara pelo, di beri minum tersedak, lidah terlihat mencong ke kanan. CT –scan menunjukkan
infark lobus parietal dextra.
Apakah masalah keperawatan yang tepat pada kasus tersebut ?
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
c. Hambatan komunikasi verbal
d. Hambatan mobilitas fisik
e. Risiko aspirasi
Pembahasan
Strategi
13. Seorang laki-laki berusia 52 tahun di rawat di ruang penyakit dalam dengan diagnosis DM.
hasil pengkajian, mudah lelah, aktivitas di bantu orang lain, sering merasa haus, BB turun,
kulit kering, TD 12080 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, frekuensi napas 20 x /menit dan
hasil laboratorium gula darah sewaktu 578 mg/dl.
Apakah masalah keperawatan utama pada kasus tersebut ?
a. Deficit nutrisi
b. Intoleransi aktivitas
c. Kekurangan volume cairan
d. Kerusakan integritas kulit
e. Ketidakstabilan kadar glukosa darah
Pembahasan
Strategi
14. Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke polo bedah dengan keluhan nyeri dan kaku pada
persendian kaki. Hasil pengkajian skala nyeri 3 bertambah saat pagi lemas, kesulitan saat
bergerak dan rentang gerak menurun, pasien juga mengeluh penyakitnya tidak sembuh-
sembuh.
Apakah masalah utama pada kasus tersebut ?
a. Kerusakan mobilitas fisik
b. Risiko cedera
c. Kelemahan
d. Nyeri akut
e. Ansietas
Pembahasan :
Terdapat 2 manifestasi utama klinis pada osteoarthritis yaitu nyeri bertambah berat pada pagi
hari dan keterbatasan pergerakan, sering di ikuti oleh krepitus, kekakuan sendi dan juga
pembesaran sendi.
Strategi :
Focus utama manajemen OA adalah manajemen nyeri dan perbaikan mobilitas bila nyeri
sudah dapat di toleransi maka focus manajemen keperawatan adalah mengembalikan fungsi
mobilitas pasien.
15. Seorang perempuan berusia 46 tahun di rawat di ruang penyakit dalam dengan DHF. Hasil
pengkajian pasien mengeluh lemah, terdapat petekie pada kedua lengan dan kedua
ekstremitas terasa dingin dan subu 35 C.. hasil pemeriksaan laboratorium HB 18 mg/dl,
hematocrit 50 %, trombosit 45.0000/mm3
Apa masalah keperawatan yang utama pada kasus tersebut ?
a. Risiko syok
b. Hipertermia
c. Risiko perdarahan
d. Intoleransi aktifitas
e. Gangguan integritas kulit
Pembahasan :
Infeksi virus dengue akan menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskuler. Petekie dan trombospenia
(150.000/mm3-450.000/mm3) merupakan tanda adanya perdarahan pada pasien DHF. Pada
kasus diatas perlu di waspadai adanya kebocoran plasma dengan meningkatnya HB yaitu 18
mg/dl (13-15 mg/dl ) dan peningkatan hematocrit yaitu 50 % (37 %-47 %) yang dapat
menyebabkan kondisi hipolemia dan syok.
Strategi :
Hipertemi terjadi 2-7 hari biasanya bifasik, pada kasus suhu tidak begitu tinggi segingga tidak
menjadi prioritas. Pada pasien sudah terjadi perdarahan dengan adanya petekie dan thrombus
45.00/mm3, petekie tidak mendukung masalah gangguan integritas kulit
16. Seorang laki-laki berusia 45 tahun di rawat di ruang penyakit dalam dengan keluhan diare
kronis sejak sebulan yang lalu. Pasien mempunyai riwayat HIV mengalami penurunan BB 18
Kg dalam 4 bulan terakhir. Hasil pengkajian turgot kulit tidak elastis, membrane mukosa
kering, urin output menurun, konsentrasi menurun.
Apakah masalah keperawatan prioritas pada pasien tersebut ?
a. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b. Kerusakan integritas kulit
c. Deficit volume cairan
d. Hambatan memori
e. Diare
Pembahasan
Strategi
17. Seorang laki-laki berusia 60 tahun, datang ke poliklinik mata ddengan keluhan pandangan
mata sebelah kanan kabur. Hasil pengkajian visus 4/6, TIO 27 mmHg, lensa tampak keruh,
tampak gelisah, pasien tampak berhati-hati jika berjalan, TD 150/100 mmHg, frekuensi nadi
80 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit suhu 37 , RR 20 x/menit
Apakah masalah keperawatan utama pada kasus tersebut ?
a. Cemas
b. Nyeri akut
c. Risiko cedera hambatan mobilitas fisik
d. Hambatan mobilitas fisik
e. Gangguan persepsi sensori
Pembahasan
Strategi
18. Seorang laki-laki berusia 50 tahun di rawat di ruang penyakit dalam mengeluh nyeri dada kiri
seperti di tekan benda berat. Nyeri berkurang dengan istirahat dan bertambah dengan aktifitas,
skala nyeri 6. Perawat akan melakukan tindakan perekaman EKG pada pasien. Perawat telah
memasang sadapan di V2
Dimanakah lokasi pemasangan electrode berikutnya ?
a. Sela iga ke 2 garis sternal kanan
b. Sela iga ke 2 garis sternal kiri
c. sela iga ke 4 garis sternal kanan
d. sela iga ke 4 garis sternal kiri
e. sela iga ke 5 garis sternal kiri
Pembahasan
EKG merupakan rangkaian kegiatan merekam aktivitas listrik jantung dalam waktu tertentu,
sadapan electrode standar yang di pasang di perikordial adalah :
V1 = sela iga ke 4 garis sternal kiri
V2 = sela iga ke 4 garus sternal kanan
V3 = antara v2 dan v4
V4 sela iga ke 5 garis mid klafikula
V5 = sejajar v4 garis anterior axila
V6= sejajar v5 garis mid axilla
Strategi
Pilihan jawaban selain D merupakan bukan sadapan elektroda v2
19. pasien laki=laki berusia 80 tahun di rawat di penyakit dalam dengan gagal jantung grade IV.
Pasien menyatakan telah siap meninggal dan lebih berbahagia bisa bertemu Tuhan nya dan
menolak untuk di lakukan tindakan apapun. Kondisi pasien menurun kesadaran spoor koma
dan mengalami henti jantung. Perawat tetap melakukan tindakan RJP
manakah prinsip etik yang di langgar perawat pada kasus tersebut ?
a. justice
b. fidelity
c. otonomi
d. benificience
e. non-maleficience
pembahasan
strategi
Fidelity = menepati janji dan komitment terhadap orang lain
Veracity = prinsip penuh dengan kejujuran akan kebenaran
Benificience adalah hal-hal yang baik untuk orang lain
Final test
1. seorang laki-laki berusia 47 tahun, di rawat di Rs dengan Benigna Prostat hipertrofi, hasil
pengkajian : terdapat distensi kandung kemih, saat di lakukan pemasangan folley kateter
terjadi tahanan pada uretra
apakah tindakan perawat selanjutnya ?
a. mengganti dengan ukuran kateter yang lebih kecil
b. tetap melanjutkan pemasangan folley kateter
c. menghentikan pemasangan folley kateter
d. menganjurkan pasien untuk nafas dalam
e. melaporkan pada perawat senior
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14. Jb
15.
16.
17. Seorang perempuan berusia 67 tahun di rawat di ruang penyakit dalam sejak 1 minggu yang
lalu. Hasil pengkajian : ekstremitas atas dan bawah sebelah kiri tidak dapat di gerakkan secara
aktif, kulit disekitar area pantat tampak kemerahan dan pasien merasa bokong nya terasa
panas.
Apakah tindakan yang tepat di lakukan pada pasien tersebut ?
a. melakukan massage daerah pantat
b. melatih rentang gerak ekstremitas
c. memberikan kompres air hangat
d. memonitor area kulit pasien
e. mobilisasi tiap 2 jam
18. seorang perawat melakukan kunjungan keluarga ke sorang laki-laki (50 tahun ) yang
mengalami stroke dan lumpuh pada ekstremitas kanan, keluarga mengatakan tidak pernah
melakukan latihan pada klien karena tidak ada waktu. Perawat mengajarkan keluarga
melakukan latihan rom pasif pada klien
manakah pernyataan keluarga yang menunjukkan perubahan sikap keluarga ?
a. “saya akan melatih bapak sesekali “
b. “saya membantu bapak jika di damping perawat “
c. “saya akan membiarkan bapak untuk berlatih sendiri”
d. “saya akan melatih bapak dua kali dalam satu hari”
e. Saya akan melatih bapak semampu saja”
19. Seorang laki-laki berusia 46 tahun di rawat di ruang perawatan jantung dengan keluhan nyeri
dada kiri yang menjalar ke rahang dan sisi dalam lengan kiri sampai ujung jari. Hasil
perekaman EKG, tampak perubahan segmen ST yang menggambarkan akut inferior miokard
infark.
Manakah lead EKG yang menunjukkan indark pada kasus tersebut ?
a. Lead II, III, aVF
b. Lead I, aVL
c. Lead V5-V6
d. Lead V1=V2
e.
20. Saat kunjungan rumah, ditemukan laki-laki usia 11 tahun sedang menonton film di internet.
Hasil anamnesis : klien menyatakan malas bermain di luar rumah dan lebih senang menonton
film. Keluarga mengatakan tidak membatasi jam menonton anak sepanjang PR sekolah di
selesaikan. Hasil pemeriksaan fisik : BB 70 Kg dan TB 155 cm
Apakah diagnosis keperawatan yang tepat ?
a. Koping keluarga efektif
b. Kesiapan meningkatkan koping
c. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan
d. Pemeliharaan kesehatan tidak efektif
e. Risiko isolasi sosial
21. Seorang perempuan berusia 56 tahun di rawat du ruang penyakit dalam dengan ulkus
diabetikum. Hasil pengkajian pasien, mengeluh badan terasa lemas, baru mengetahui
menderita DM, banyak minum, banyak kencing serta pada balutan luka nya terdapat
rembesan, pemeriksaan GDS 250 mg/dl, HbA1c 7%
Apakah tindakan keperawatan utama pada kasus tersebut ?
a. Berikan edukasi tentang DM
b. Lakukan perawatan luka
c. Monitor intake output
d. Bantu dalam ambulasi
e. kontrol gula darah
22. saat melakukan kunjungan ulang, perawat melakukan evaluasi pada klien batita usia 3 tahun
dengan hasil hasil pemeriksaan fisik : BB naik 1 Kg, anak masih terlihat kurus, rambut tipis
kemerahan, KMS di garis kuning. Ibu klien telah mendapatkan intervensi keperawatan terkait
cara memperbaiki status gizi pada anak
apakah indikator keberhasilan tindakan perawat pada kasus tersebut ?
a. keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan gejala gizi kurang
b. keluarga dapat menyebutkan cara perawatan anak dengan gizi kurang
c. keluarga menyatakan keinginannya untuk memberikan gizi seimbang
d. keluarga menyusun menu makanan anak dalam sehari
e. keluarga membawa anak nya untuk di periksa ke puskesmas
23. seorang perempuan berusia 42 tahun P3A0 datang ke poliklinik KIA dengan keluhan
keputihan yang banyak, berbau busuk dan gatal sejak 1 bulan yang lalu. Hasil pengkajian :
riwayat perdarahan setelah senggama, TD 100/70 mmHg, frekuensi napas 20 x/menit, suhu
37 C. terdapat pengeluaran cairan pervaginam yang berbau busuk dengan warna kuning
kehijauan.
Apakah pemeriksaan penunjang yang tepat pada kasus tersebut ?
a. biopsy
b. sistiskopi
c. pap smear
d. vaginal swab
e. kultur jaringan
24. seorang perempuan berusia 20 tahun datang kepuskesmas bersama suaminya karena
mengeluh mual muntah terutama pada pagi hari, sering buang air kecil dan sudah 2 bulan
tidak menstruasi. Hasil pemeriksaan fisik : payudara membesar, TD 100/70 mmHg, frekuensi
nadi 76 x/menit, frekuensi napas 24 x/menit dan suhu 37 C
apakah focus pengkajian pada kasus tersebut ?
a. waktu terakhir berhubungan seksual
b. haid pertama haid terakhir
c. riwayat menstruasi
d. riwayat kesehatan
e. keluhan lain
25. perawat di RW binaan membantu masyarakat yang belum mempunyai jaminan kesehatan
nasional (JKN) dengan melakukan negosiasi pada RT dan RW, kemudian melaporkan kepada
kelurahan serta dinas social agar warga yang tidak mampu dapat di berikan kartu Indonesia
sehat.
Apakah peran perawat dalam kasus tersebut ?
a. manajer kasus
b. fasilitator
c. educator
d. advokat
e. peneliti
26. seorang perempuan berusia 25 tahun di rawat di rawat di ruang bedah dengan cedera kepala
karena kecelakaan lalu lintas. Perawat mengkaji tingkat kesadaran. Saat di beri rangsangan
nyeri pasien membuka mata, tangan menarik kea rah fleksi dan mengerang.
Berapakah nilai GCS pasien pada kasus tersebut ?
a. E3V1M5
b. E3V2M4
c. E3V1M5
d. E2V2M4
e. E2V1M3
27. Bayi perempuan berusia 18 bulan di rawat di ruang rawat anak dengan morbili. Hasil
pengkajian demam : demam dan batuk sejak 4 hari yang lalu, timbul bintik merah di belakang
telinga, muka, leher, dada, batuk berlendir dan kadang muntah, mata merah, bibir kering,
terdapat sariawan suhu 40 C, frekuensi napas 30 x/menit dan frekuensi nadi 100 x/menit
Apakah fase morbili yang dialami oleh pasien tersebut ?
a. Awal erupsi
b. Akhir erupsi
c. Konvalensi
d. Awal kataralis
e. Awal prodormal
28. Seorang laki-laki berusia 44 tahun di rawat di ruang saraf dengan keluhan kaki kanan lemah,
dan sulit di gerakan. Pasien riwayat jatuh di kamar mandi 2 hari yang lalu. Hasil pengkajian
kekuatan otot ekstremitas bawah 3, pasien tampak kotor, TD 130/80 mmHg , frekuensi napas
18 x/menit. Frekuensi nadi 80 x/menit dan suhu 37 C
Apakah intervensi keperawatan pada kasus tersebut ?
a. Ajarkan perubahan posisi
b. Ajarkan personal hygiene
c. Lakukan masase otot
d. Ajarkan pasien ROM
e. Bantu ADL
29. Seorang perempuan berusia 25 tahun di rawat di ruang penyakit dalam dengan asma. Hasil
pengkajian, pasien mengeluh sesak, wheezing kedua paru, frekuensi napas : 28 x/menit, TD
130/90 mmHg. Frekuensi nadi 98 x.menit, suhu 37,8 C. pasien di berikan terapi nebulasi
ventolin 2,5 mg dan 3 ml NaCl 0,9 %
Apakah evaluasi tindakan pada kasus tersebut ?
a. SpO2
b. Tanda-tanda vital
c. Hasil analisa gas darah
d. Auskultasi bunyi napas
e. Penggunaan otot bantu napas
30. Tercatat tingkat kematian yang tinggi terhadap kasus sindroma coroner akut pada sebuah RS.
Data menunjukkan 60 % perawat tidak mampu mendeteksi secara dini kondisi yang
mengancam nyawa pasien. Jumlah perawat di ruang rawat tersebut mencukupi. Beberapa
perawat menyatakan ronde keperawatan dan diskusi kasus tidak di lakukan secara rutin.
Apakah langkah yang tepat di lakukan pada situasi tersebut ?
a. Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
b. Melakukan konsultasi kepada rumah sakit jantung dan pembuluh darah
c. Melakukan studi literature terkait penanganan kasus jantung dan pembuluh darah
d. Mengikuti pelatihan penanganan kasus di rumah sakit jantung dan pembuluh darah
e. Melakukan pengkajian kasus secara detail terkait kasus jantung dan pembuluh darah
31. Seorang laki-laki berusia 43 tahun di rawat di unit penyakit dalam dengan DM. pasien di
rencanakan pemeriksaan GDS dengan menggunakan glucometer. Perawat telah menyiapkan
alat dan menjelaskan prosedur tindakan serta menusuk pada area yang telah di desinfeksi
Apakah tindakan yang tepat dilakukan selanjutnya ?
a. Menekan secara berulang sekitar area penusukan.
b. Mendesinfeksi stick dengan menggunakan alcohol swab
c. Mengkontakkan sampel darah yang keluar dengan sensor stick
d. Menggerak-gerakkan stick saat kontak dengan sampel darah
e. Membuat darah apus yang pertama kali keluar dari area penusukan
32. Seorang laki-laki berusia 25 tahun diantar ke UGD karena kecelakaan. Hasil pengkajian :
fraktur femur sinistra terbuka ¼ distal, meringis, skala nyeri 6, ekstremitas tidak dapat di
gerakan, perdarahan mengalir, akral dingin. TD 95/60 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit,
frekuensi napas x8 x/menit.
Apakah tindakan yang harus di lakukan pada kasus tersebut ?
a. Pemberian O2
b. Resusitasi cairan
c. Pasang tourniquet
d. Pasang balut bidai
e. Pertahankan tirah baring
33. Perawat menjelaskan secara singkat, jelas dan lengkap tentang tindakan mandiri dan hasilnya,
rencana intervensi selanjutnya serta tindakan kolaboratif yang sudah di lakukan. Perawat juga
menyampaikan perkembangan pasien setelah asuhan selama 24 jam kepada pasien CCM
(clinical care manager) dengan cara tertulis dan lisan pada saat timbang terima.
Apakah peran perawat dalam metode asuhan kperawatan tersebut ?
a. perawat primer
b. perawat pelaksana
c. supervisor
d. kepala ruang
e. perawat pengganti
34.
35.
36.
Apakah pengkajian lanjut yang harus di lakukan perawat ?
a. Pemeriksaan fisik anak
b. Lingkungan rumah dan sekitarnya
37.