Anda di halaman 1dari 2

(In)konsistensi MK dalam Putusan Zina dan LGBT

(Tanggapan atas Tulisan Hijriani)


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Alumni PPs Hukum UMI Makassar

Opini tertanggal 30 Desember 2017 “Benar Salah MK dalam Putusan zina dan LGBT”
yang ditulis oleh Hijriani kiranya menjadi penting untuk direspon balik, agar tudingannya
terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganggap tidak konsisten dalam beberapa
putusannya tidak menimbulkan kekeliruan dan penyesatan di kalangan awam hukum.
Poin utama dalam tulisan Hijriani adalah menganggap bahwa putusan MK yang tidak
mengabulkan judicial review delik perzinaan, delik pemerkosaan dan delik pencabulan
menunjukan institusi tersebut tidak konsisten. Hal itu terlihat dari petikan tulisannya yang
menyatakan: “Lalu kemudian ada inkonsistensi tentang Mahkamah Konstitusi tidak boleh
membuat norma yang berujung penolakan uji materiil delik kesusilaan tersebut,akan tetapi fakta
hukumnya MK dalam putusannya dapat membuat norma baru.”
Benarkah MK tidak konsisten sebagaimana tudingan Hijriani? Pada hakikatnya dalam
memahami putusan MK a quo pada sesungguhnya tidak cukup hanya dengan membaca secara
keseluruhan isinya. Akan tetapi perlu pula pemahaman yang utuh mengenai kewenangan judicial
MK dalam hal menguji suatu Undang-undang (UU); bertentangan atau tidak bertentangan
dengan Undang-undang Dasar (UUD).
Konstitusional Bersyarat
MK pada dasarnya tetap hanya berfungsi sebagai negatif legislator. Persoalan kemudian
ada yang menyatakan bahwa MK terkadang pula memperluas makna UU, sehingga muncul
tudingan kalau telah keluar dari kewenangannya. MK telah menjadi pembentuk UU pula dalam
fungsi sebagai positif legislator.
Tudingan demikian tidak benar. Kalau terdapat putusan MK yang menyatakan suatu UU
konstitusional bersyarat, sama sekali bukanlah dalam konteks telah terjadi pembentukan norma
baru. Perdefenisi dalam keadaan itu, MK sama sekali tidak melakukan pembentukan norma,
melainkan hanya menyatakan bahwa ketentuan a quo harus dibaca sebagaimana yang
disebutkannya agar tidak bertentangan dengan UUD. Putusan yang seperti itu bukanlah
mencabut pasal dan mengganti isi pasal dengan norma hukum baru, melainkan lebih pada soal
putusan MK yang dikenal dengan putusan konstitusional bersyarat.
Hal yang perlu dipahami pula bahwa kalau MK kemudian menyatakan suatu ketentuan
UU inkonstitusional atau konstitusional bersyarat, bertujuan untuk mereduksi adanya kerugian
hak konstitusional yang akan terjadi dikemudian hari pasca terjadinya kerugian hak-hak dasar
warga negara. Dan hingga saat ini, satupun tidak ada putusan MK mengenai “hukum pidana
materil” baik yang menyatakan ketentuan UU inkonstitusional atau konstitusional bersyarat
kemudian berakibat hukum pada pencabutan atau pembatasan hak-hak dasar warga negara.
Semua putusan MK yang dikutip oleh Hijriani untuk memperkuat argumennya kalau MK
pada kenyatannya tidak konsisten, putusan-putusan tersebut bukanlah dalam kategori
pembentukan norma baru, bukan pula dalam arti memperluas suatu norma. Akan tetapi lebih
pada putusan yang menyatakan konstitusional bersyarat atas suatu ketentuan UU, jika tidak
dibaca demikian adanya, dianggap inkonstitusional. Pun dalam setiap putusan-putusan itu
tujuannya adalah melindungi hak-hak warga negara, karena UU tersebut telah merampas hak
warga negara, padahal harus dijamin berdasarkan UUD.
Ada doktrin ketatanegaraan yang berulang-ulang diungkapkan oleh Andi Irmanputra
Sidin: “kalau negara hendak merampas hak-hak warga negara maka negara harus mempersulit
dirinya, sedangkan kalau negara hendak menunaikan hak-hak warga negara maka negara harus
mempermuda dirinya.”
Doktrin ini menisbatkan bahwa kalau hak-hak anda dirampas oleh negara, anda
dimudahkan dengan jalan; datanglah ke MK memperjuangkan hak-hak itu. Akan tetapi kalau
anda berkeinginan hendak merampas sebagian/seluruh hak-hak warga negara, anda harus
dipersulit, sebab harus dengan pembentukan UU terlebih dahulu melalui DPR.
Mala in Prohibita dan Mala In Se
Separuh tulisan Hijriani adalah kutipan yang menyandingkan antara pendapat hakim yang
mayoritas dengan pendapat hakim minoritas (hakim yang dissenting opinion). Sayangnya, beliau
gagal dalam mencari perbedaan diametral dua pandapat kelompok hakim yang berbeda tersebut.
Baik pendapat hakim mayoritas maupun hakim minoritas semuanya sepakat bahwa MK
tidak dapat membentuk norma baru. Mereka hanya berbeda pendapat dalam soal “mala in
prohibita” dan “mala in se.” Mala in se adalah “acts wrong in themselves/acts morally
wrong/offenses against conscience.” Sedangkan mala in prohibita merupakan “acts wrong
because they are prohibited/prohibited wrongs or offenses/acts which are made offenses by
positive laws.” Mala in se adalah suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat
bukan karena diatur demikian atau dilarang hukum positif atau Undang-Undang (UU),
melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip
umum masyarakat yang beradab. Dan mala in prohibita adalah mengacu kepada perbuatan yang
tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh hukum positif atau oleh Undang-Undang. (Lihat
Huda: 2010).
Dalam konteks demikianlah, hakim MK yang dissenting pada intinya menyatakan “ini
sama sekali tidak membentuk UU, memang UU-nya sudah demikian, sebab delik perzinaan,
pemerkosaan, dan pencabulan sebagaimana yang dimohonkan oleh permohon begitu UU-nya,
dalam perspektif mala in se.” Hakim MK yang mayoritas menyatakan “tetap yang demikian itu
sama saja dengan membentuk UU.”*

Anda mungkin juga menyukai