Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dava Pratama Putra

Nim : 21052079

Analisis putusan MKMK terkait Pelanggaran Kode Etik MK

Menindaklanjuti masuknya tujuh laporan dugaan pelanggaran etik oleh hakim


konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) berinisiatif membentuk majelis
kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Demikian disampaikan oleh Juru
Bicara Perkara MK yang juga menjabat sebagai hakim konstitusi, Enny
Nurbaningsih dengan didampingi oleh ketua MK Anwar Usman serta Juru Bicara
MK Fajar laksono pada Senin (23/10/2023) di Lobi Ruang Sidang Pleno MK.
Putusan MK Nomor 004/PUU-I/2003, 005/PUU-IV/2006, 97/PUU-XI/2013, serta
96/PUU-XVIII/2020 terkait makna konflik kepentingan. “Yang diadili di sini adalah
norma dan undang-undang bukan mengadili sebuah fakta atau kasus.
Alasan 15 akademisi melaporkan Anwar Usman adalah karena diduga mempunyai
konflik kepentingan. Mereka menilai putusan MK beberapa waktu lalu tidak sesuai
dengan undang-undang. “Bahwa proses ini ketika ditemukan adanya dugaan
pelanggaran yang berat, terutama terkait dengan conflict of interest, bisa
memberikan sanksi yang setara atau sanksi yang berat berupa pemberhentian
secara tidak hormat,” ujar Kuasa Hukum CALS, Violla Reininda.
Violla menjelaskan terdapat potensi conflict of interest atau konflik kepentingan
ketika memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Putusan
tersebut mengubah syarat usia capres-cawapres yang akhirnya membuka
kesempatan untuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pilpres
2024. Diketahui, Gibran adalah keponakan dari Anwar,” katanya
Kemudian, Ketua MK Anwar Usman juga dinilai melanggar prinsip kecakapan dan
keseksamaan karena tidak menjalankan fungsi kepemimpinan dengan optimal dan
tidak menegakkan hukum acara sebagaimana mestinya. “Ketiadaan judicial
leadership ini berkaitan dengan kepemimpinan beliau ketika menghadapi
adanya concurring opinion dari dua hakim konstitusi yang substansinya
ternyata dissenting opinion. Sehingga menimbulkan keganjilan juga di dalam
putusan Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.
Pelapor selanjutnya, Denny Indrayana menyampaikan beberapa hal terkait
Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman. “Putusan 90
tersebut terindikasi merupakan hasil kerja yang terencana dan
terorganisir, planned and organized crime sehingga layak pelapor tasbihkan
sebagai mega-skandal Mahkamah Keluarga,” kata Denny secara daring dari
Sydney Australia.
Denny juga menilai seharusnya Ketua MK Anwar Usman mundur saat mengetahui
adanya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 lantaran berkenaan langsung dengan
keluarganya, yaitu Presiden Joko Widodo dan putra sulungnya, Gibran
Rakabuming Raka. Denny juga menjelaskan, Gibran memanfaatkan ketentuan
dalam putusan MK tersebut dengan mendaftarkan diri sebagai bakal
cawapres mendampingi Prabowo Subianto ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Dengan semua elemen tertinggi demikian, tidaklah patut jika pelanggaran etika
dan kejahatan politik yang terjadi dipandang hanya sebagai pelanggaran dan
kejahatan yang biasa-biasa saja, yang cukup dijatuhkan sanksi etika semata,”
tuturnya.
Sementara itu, Para advokad yang tergabung dalam LBH Yusuf yang juga menjadi
Pelapor dugaan konflik kepentingan dalam putusan MK tentang batas usia calon
presiden, menuntut agar Ketua MK Anwar Usman dikenakan sanksi
pemberhentian tidak dengan hormat. “Meminta MKMK menjatuhkan sanksi
pemberhentian tidak dengan hormat apabila terbukti adanya konflik kepentingan
(conflict of interest) yang dilakukan oleh Anwar Usman dan/atau hakim konstitusi
lainnya,” kata Direktur LBH Yusuf Mirza Zulkarnaen
Menurut Yusuf, tindakan Anwar Usman ini jelas bertentangan dengan UU No 48
tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 17 ayat (3). “Pasal ini intinya mengatur bahwa
seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan
suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim
anggota, jaksa, advokat, atau panitera,” lanjutnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, pihaknya meminta kepada MKMK untuk
menindaklanjuti seluruh laporan/temuan atas dugaan pelanggaran kode etik dan
perilaku hakim konstitusi secara terbuka dan transparan.
Pelapor berikutnya, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak melaporkan Ketua MK
Anwar Usman diduga melanggar kode etik hakim. Menurut Zico, Ketua MK Anwar
Usman secara sengaja membiarkan MKMK permanen belum terbentuk hingga hari
ini. MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqqie juga belum permanen alias ad hoc.
“Saya melaporkan Ketua MK Anwar Usman atas pelanggaran etik yakni dalam
proses pembentukan Dewan Etik dan pembentukan MKMK, yakni yang pertama
secara sengaja membiarkan Dewan Etik MK mati suri dari akhir 2021 hingga awal
2023 agar laporan etik yang masuk tidak bisa diproses. Jadi, 7 September 2020 UU
MK yang baru disahkan, yakni UU Nomor 7/2020. Pada UU itu sebelum disahkan
memang bentuknya adalah Dewan Etik, tetapi ketika disahkan ada amanat untuk
membuat MKMK,” tegasnya.
Zico juga meyakini Ketua MK Anwar Usman yang menunda pembentukan MKMK.
“Tapi yang saya masalahkan adalah saya yang mendapat info, Anwar Usman lah
yang secara sengaja tidak mau MK tidak ada pengawas dari 2021-2023. Dan saya
sudah menulis siapa yang memberi info tersebut. Jadi MK tidak ada pengawas
karena Anwar Usman menolak membuat PMK terkait MKMK untuk mengawasi
MK,” pungkasnya.
Saat ini, MKMK telah memulai agenda persidangan dengan meminta keterangan
seluruh pelapor, memeriksa alat bukti. Selanjutnya, MKMK mendengarkan
keterangan dari sembilan Hakim terlapor.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelanggaran Kode Etik MK bisa dilihat
dari perspektif Pancasila sebagai sistem nilai dan juga dari perspektif aliran filsafat
kenegaraan. Mari kita bahas kedua aspek tersebut.
1. Aspek Pancasila sebagai Sistem Nilai
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki nilai-nilai yang menjadi
landasan dalam bertindak, termasuk bagi institusi seperti Mahkamah Konstitusi.
Beberapa nilai dalam Pancasila yang relevan dalam konteks ini antara lain:
• Keadilan Sosial: Putusan MK yang terkait pelanggaran Kode Etik dapat
dievaluasi dari perspektif keadilan sosial. Apakah putusan tersebut
mendukung keadilan sosial bagi semua pihak yang terlibat atau tidak?
• Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Pertimbangan etis dan perlakuan
yang adil terhadap individu yang terlibat dalam kasus pelanggaran Kode
Etik MK sangat penting. Bagaimana putusan tersebut mempertimbangkan
martabat manusia dan perlakuan yang beradab terhadap pihak-pihak yang
terlibat?
• Kedaulatan Rakyat: Putusan MK seharusnya juga mencerminkan
kedaulatan rakyat, yaitu menghormati aspirasi serta kepentingan
masyarakat secara keseluruhan.
2. Perspektif Aliran Filsafat Kenegaraan
Aliran-aliran filsafat kenegaraan juga dapat memberikan pandangan yang berbeda
terkait putusan MK terkait pelanggaran Kode Etik:
• Liberalisme: Sudut pandang liberalisme dapat menekankan pentingnya
kebebasan individu, termasuk dalam menilai apakah sanksi terhadap
pelanggaran Kode Etik MK merupakan bentuk pembatasan yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai kebebasan.
• Sosialisme: Aliran sosialis mungkin memperhatikan bagaimana putusan
tersebut memengaruhi kesetaraan dalam masyarakat dan apakah sanksi
yang diberikan dapat memperbaiki ketimpangan yang ada.
• Pancasila sebagai Ideologi Terbuka: Perspektif ini menekankan pada
keseimbangan antara nilai-nilai universal dan lokal. Bagaimana putusan
MK menggabungkan nilai-nilai universal dengan kearifan lokal dalam
konteks pelanggaran Kode Etik MK?
Dalam konteks kedua aspek tersebut, putusan MK terkait pelanggaran Kode Etik
haruslah mempertimbangkan tidak hanya prinsip-prinsip hukum, tetapi juga nilai-
nilai etis, moral, dan filosofis yang mendasari sistem hukum dan tata nilai bangsa
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai