Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ETIKA PROFESI HUKUM

DISUSUN OLEH :

HENRICUS MARWANTO

08010335

UNIVERSITAS PROF.DR.HAZAIRIN,SH BENGKULU


FAKULTAS HUKUM
KAM CURUP
2011
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..


DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………….
B. RumusanMasalah …………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN
A. Kasus ……………………………………………………………………..
B. Analisis Kasus …………………………………………………………….

BAB III PENUTUP


Kesimpulan …………………………………………………………………..
Daftar Pustaka …………………………………………………………………
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah Etika Profesi
Hukum ini.
Semoga dengan makalah ini pembaca dapat bertambah pengetahuan dan
wawasannya khususnya dalam hal Etika Profesi Hukum dan terapannya di lapangan
sehingga kita lebih berpikir kritis dan positif.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang telah ikut andil dan
membantu sehingga terselesainya makalah Etika Profesi Hukum ini sebagai pemenuhan
tugas mata kuliah Etika Profesi Hukum dan sekaligus sebagai penambah wawasan bagi
kita semua.
Akhirnya kami berharap semoga tulisan ini bermanfaat, dan karena segala
keterbatasan penulis, kami masih menerima kritik dan saran yang membangun demi lebih
sempurnanya makalah ini dan atas segala kekurangan serta kesalahan disana sini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Curup, Juni 2011


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan secara tegas


bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut adanya
jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu, Undang-undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas,
mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting disamping lembaga
peradilan dan instansi penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim.

Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat harus diikuti oleh
adanya tanggung jawab dari masing-masing advokat dan organisasi profesi yang
menaunginya. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat, bahwa organisasi advokat wajib menyusun kode etik advokat
untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat sebagai profesi yang terhormat
dan mulia (officium mobile), sehingga setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode
etik tersebut.

Dalam pembukaannya, Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa kode


etik tersebut sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi advokat, yang
menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap advokat
untuk jujur dan bertanggun jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien,
pengadilan, negara, atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri. Dan untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik tersebut, maka organisasi
advokat membentuk suatu dewan kehormatan yang juga berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh advokat.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah penegakan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) terkait pada


pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN

A. KASUS

Sebuah kasus pelanggaran KEAI diajukan oleh Komite Aksi Solidaritas Untuk
Munir (KASUM) kepada Dewan Kehormatan Daerah Perhimpunan Advokat Indonesia
(DKD PERADI) Jakarta. KASUM mengadukan M. Assegaf dan Wirawan Adnan yang
tergabung dalam tim kuasa hukum Pollycarpus Budiharto atas dugaan pelanggaran
KEAI.
Keduanya dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (e) KEAI.
Ketentuan dalam Pasal 7 huruf (e) KEAI mengatur bahwa advokat tidak dibenarkan
mengajari dan/atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam
perkara perdata atau oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana. Dalam kasus ini,
keduanya dianggap telah mempengaruhi saksi dengan mengirimkan surat klarifikasi
kepada Badan Intelijen Negara (BIN). Selain itu, mundurnya kedua pengacara senior
tersebut dari tim penasihat hukum Indra Setiawan juga dianggap melanggar kode etik.
Kemudian setelah melakukan pemeriksaan atas aduan tersebut, berjalan selama kurang
lebih 6 bulan, pada hari Jumat 14 Maret 2007 DKD PERADI menjatuhkan putusan.

Dalam putusan tersebut, Majelis Kehormatan yang dipimpin oleh Alex R.


Wangge ini menghukum M. Assegaf dan Wirawan Adnan dengan pemberian peringatan
keras karena sifat pelanggarannya berat. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 16
angka 2 huruf (b) tentang saksi-saksi atas pelanggaran KEAI. Majelis Kehormatan juga
menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa tuduhan tentang adanya upaya untuk
mempengaruhi saksi telah terpenuhi meskipun pihak teradu yakni M. Assegaf dan
Wirawan Adnan mendalilkan bahwa mereka tidak pernah berhubungan dengan saksi baik
di luar maupun pada saat persidangan. Namun, secara tidak langsung, surat yang
disampaikan kepada Kepala BIN itu telah mempengaruhi saksi yang mengaku berasal
dari BIN.
Sedangkan mengenai tuduhan yang kedua tentang pengunduran diri para teradu
dari tim kuasa hukum Indra Setiawan, Majelis Kehormatan tidak sependapat dengan
KASUM yang menyatakan bahwa hal tersebut telah melanggar Pasal 4 huruf (i) KEAI,
yakni advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat
yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan
kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan. Menurut Majelis
Kehormatan, tuduhan tersebut tidak terbukti dan bahkan dibenarkan karena pengunduran
diri tersebut dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap kode etik mengenai
pertentangan kepentingan yang diatur dalam Pasal 4 huruf (i) KEAI, yakni advokat yang
mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri
sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari
timbul pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam perkara ini, Majelis Kehormatan membenarkan alasan yang dikemukakan


oleh teradu, karena konflik kepentingan dapat saja terjadi jika M. Assegaf dan Wirawan
Adnan tetap menjadi kuasa hukum Indra Setiawan, dimana pada satu posisi keterangan
Indra Setiawan yang mengaku menerima surat dari wakil kepala BIN untuk menugaskan
Pollycarpus dianggap dapat merugikan kepentingan Pollycarpus, sementara itu disisi lain
M. Assegaf dan Wirawan Adnan juga sedang memperjuangkan nasib Pollycarpus di
tingkat peninjauan kembali.

B. ANALISIS KASUS

Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang profesi Advokat adalah salah satu
peraturan perundang-undangan yang lahir setelah amandemen UUD 1945. Dengan
berlakunya undang-undang ini adalah peristiwa terpenting di dalam sistem penegakan
hukum di Indonesia, dimana telah terjadi suatu lompatan besar yang jauh kedepan dalam
sejarah profesi Advokat. Berdasarkan Undang-Undang ini, profesi advokat semakin
diakui eksistensinya sebagai penegak hukum sejajar dengan profesi penegak hukum
lainnya seperti polisi, jaksa dan hakim.
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 secara umum mengatur mengenai advokat.
Secara khusus ada ketentuan yang mengatur untuk dibentuk suatu kode etik profesi yang
terkait dengan keluhuran dan kehormatan martabat profesi advokat. Kode Etik Advokat
Indonesia (KEAI) mengatur bagaimana seorang advokat bertindak dalam menjalankan
profesinya selain berdasar pada undang-undang advokat. KEAI mempunyai sifat yang
kuat karena berdasar dari dan merupakan amanat Undang-undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat.

Terkait dengan aduan KASUM kepada DKD PERADI tentang tindakan M.


Assegaf dan Wirawan Adnan, putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan yaitu
peringatan keras karena sifat pelanggarannya berat cukup tepat. Tindakan kedua advokat
tersebut yang mengirimkan surat klarifikasi kepada kepala BIN telah melanggar
ketentuan Pasal 7 huruf (e) KEAI karena telah mempengaruhi saksi dari pihak lawan atau
JPU. Meskipun mereka berdalih bahwa mereka tidak pernah berhubungan secara
langsung dengan saksi. Namun, adanya surat klarifikasi tersebut telah mempengaruhi
saksi walaupun pengaruh tersebut tidak secara langsung. Sanksi atas pelanggaran tersebut
diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 angka 2 huruf (b) yakni peringatan keras
karena sifat pelanggarannya berat.

Untuk tuduhan kedua yang diajukan KASUM, tindakan pengunduran diri M.


Assegaf dan Wirawan Adnan tidak melanggar pasal 4 huruf (i) KEAI. Pihak KASUM
menganggap kedua advokat itu berusaha melepaskan diri dari tanggung jawabnya pada
saat klien berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan mungkin dapat mengalami
kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi. Alasan Majelis Kehormatan cukup berdasar
yaitu advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari hubungan dengan kliennya (ketentuan Pasal 4 huruf
(i) KEAI). Kepentingan bersama pihak tersebut adalah kepentingan antara Indra Setiawan
dan Pollycarpus. Jika kedua advokat tersebut masih menjadi kuasa hukum Indra, segala
urusan mengenai kesaksian dapat merugikan Pollycarpus yang juga merupakan klien
mereka. Sementara itu di lain pihak mereka juga sedang memperjuangkan Pollycarpus
dalam upaya peninjauan kembali.
Putusan Majelis Kehormatan mengikat advokat yang merupakan anggota dari
ikatan profesi advokat tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-undang No. 18
Tahun 2003 yang menentukan adanya suatu kode etik untuk dipatuhi dan ditaati yaitu
Kode Etik Advokat Indonesia. KEAI ini dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang
menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
BAB II
PENUTUP

SIMPULAN

Kode Etik Advokat Indonesia merupakan suatu kode etika yang dibuat oleh organisi
advokat yang ada di Indonesia atas prakarsa Komite Kerja Advokat Indonesia. KEAI ini
dibentuk berdasar amanat dari Undang-undang No. 18 Tahun 2003 yang menentukan
dibentuknya suatu kode etik bagi advokat dalam menjalankan profesi dan tugas sebagai
advokat. KEAI ini berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di
Indonesia tanpa terkecuali.

Pelaksanaan berjalannya KEAI dilakukan oleh suatu dewan kehormatan yang mempunyai
tugas melakukan pengawasan pelaksanaan KEAI serta berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat. Atas pelanggaran
terhadap KEAI, dapat dikenakan sanksi-sanksi yang diberikan oleh Majelis Dewan
Kehormatan sesuai dengan jenis dan sifat pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :


Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Jakarta : Sinar
Grafika

K. Lubis, Suhrawandi. 2002. Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika

Muhammad, Abdulkadir. 2001. Etika Profesi Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Sungguh, As’ad. 2004. Etika Profesi. Jakarta : Sinar Grafika

Komite Kerja Advokat Indonesia. 2002. Kode Etik Advokat Indonesia. Jakarta : Komite
Kerja Advokat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai