Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KELOMPOK 7

ANALISA PENYEBAB INSIDEN KEJADIAN SALAH PEMBERIAN


DOSIS OBAT PADA NY. Y DI RUANG ICU RS EMC SENTUL

DISUSUN OLEH
M. Safei
N. Gledys
N. Nadila

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN PERTAMEDIKA JAKARTA 2021
MATA AJAR MANAJEMEN MUTU
BAB 1
PENDAHULUA
N

1.1 Latar Belakang


Keselamatan pasien merupakan isu global yang paling penting saat ini
dimana sekarang banyak dilaporkan tuntutan pasien atas medical error
yang terjadi pada pasien. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Kemenkes, 2011).
Di dalam keselamatan pasien terdapat istilah insiden keselamatan
pasien yang selanjutnya disebut insiden yaitu setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak
Cedera (KTC) dan Kejadian Potensial Cedera (KPC).
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien yang lebih aman. Sistem tersebut
memiliki beberapa bagian penting, yaitu assesment resiko, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
melakukan implementasi dari solusi yang didapatkan untuk meminimalkan
terjadinya resiko dan mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat salah dalam melaksanakan suatu tindakan atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. (Kemenkes RI, 2011).
Menurut Sunaryo (2009), patient safety adalah tidak adanya kesalahan atau
bebas dari cidera karena kecelakaan. Keselamatan pasien perlu
dikembangkan menjadi suatu budaya kerjadi dalam rumah sakit, tidak
sebatas sebagai suatu ketentuan maupun aturan
Rumah sakit perlu meningkatkan mutu pelayanan untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat diantaranya melalui Program
Keselamatan Pasien dimana World Health Organization (WHO) telah
memulainya pada tahun 2004. Di Indonesia Gerakan Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (GKPRS) dicanangkan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia pada 21 Agustus 2005. Setiap rumah sakit membentuk tim
keselamatan pasien rumah sakit. Gerakan Keselamatan Pasien Rumah
Sakit adalah suatu sistem yang mencegah terjadinya cidera yang
disebabkan kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission)
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).
Terjadinya insiden keselamatan pasien di suatu rumah sakit, akan
memberikan dampak yang merugikan bagi pihak rumah sakit, staf, dan
pasien pada khususnya karena sebagai penerima pelayanan. Adapun
dampak yang ditimbulkan lainnya adalah menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Rendahnya
kualitas atau mutu asuhan yang diberikan, karena keselamatan pasien
merupakan bagian dari mutu (Flynn, 2002 dalam Cahyono, 2008).

1.2 Rumusan Masalah

Pengelolaan keselamatan pasien dalam pelayanan di rumah sakit


berguna untuk mengurangi tingkat kecacatan atau kesalahan dalam
memberikan pelayanan kepada pasien, oleh karena itu keselamatan
pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit.
Terdapat faktor-faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya
insiden keselamatan pasien seperti yang dikemukakan oleh Leape
(1994); Dineen (2002); AHRQ (2003); Depkes (2008), Henrikson, et al
(2008) meliputi faktor karakteristik individu, sifat dasar pekerjaan,
lingkungan fisik, interaksi antara system & manusia, lingkungan
organisasi dan sosial, manajemen, dan lingkungan eksternal.
Didalam pelayanan di rumah sakit seperti yang tertuang dalam
undang- undang nomor 44 tahun 2009 bahwa rumah sakit berkewajiban
memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit, oleh karena itu rumah sakit wajib
menerapkan standar keselamatan pasien.
Sementara itu telah terjadi insiden pemberian obat yang perlu
diwaspadai ( high alert) kepada salah satu pasien di layanan unit gawat
darurat sebelum pasien tersebut dipindahkan ke ruang perawatan
intensive yang menyebabkan adanya luka bakar di area pemasangan infus
perifer sebagai akses untuk pemberian obat high alert tersebut melalui
jalur inta vena.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Melakukan penelitian penyebab Insiden Keselamatan Pasien oleh
perawat di unit ICU Rumah Sakit EMC Sentul
1.3.2 Tujuan Khusus

1.1.1.1 Analisa hubungan pendidikan perawat sebagai penyebab Insiden


Keselamatan Pasien di unit rawat inap Rumah Sakit EMC Sentul
1.1.1.2 Analisa hubungan pengalaman kerja perawat dengan Insiden
Keselamatan Pasien di unit rawat inap Rumah Sakit Rumah
Sakit EMC Sentul
1.1.1.3 Analisa hubungan kompetensi perawat dengan
InsidenKeselamatan Pasien di unit rawat inap Rumah Sakit
Rumah Sakit EMC Sentul
1.1.1.4 Analisa hubungan kerja sama dalam unit dengan Insiden
Keselamatan Pasien di unit rawat inap Rumah Sakit Rumah
Sakit EMC Sentul
1.1.1.5 Analisa hubungan gangguan atau interupsi pada perawat saat
bekerja dengan Insiden Keselamatan Pasien di unit rawat inap
Rumah Sakit Rumah Sakit EMC Sentul
1.1.1.6 Analisa hubungan komunikasi perawat dengan Insiden
Keselamatan Pasien di unit rawat inap Rumah Sakit Rumah
Sakit EMC Sentul
1.1.1.7 Analisa hubungan pelaksanaan Standar Prosedur Operasional
yang dipakai perawat dengan Insiden Keselamatan Pasien di
unit ICU Rumah Sakit Rumah Sakit EMC Sentul

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Peneliti
Keselamatan pasien merupakan bidang baru di dalam pelayanan
rumah sakit, sehingga melalui penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dalam bidang
pelaksanaan keselamatan pasien di rumah sakit
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
Insiden keselamatan pasien merupakan salah indikator mutu
layanan di rumah sakit. Hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan bagi manajemen di Rumah Sakit Rumah Sakit EMC
Sentul dalam rangka memberikan pelayanan yang aman,
nyaman, dan bermutu tinggi. Dengan meningkatnya keselamatan
pasien diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit
akan meningkat pula. Disamping itu hasil penelitian ini dapat
juga menjadi masukan untuk bagian keperawatan dalam
mengelola perawat di lapangan sehingga dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien lebih aman dan tidak terjadi
insiden keselamatan pasien, dan keselamatan pasien menjadi
lebih terjamin.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tatakelola Rumah Sakit dan Tatakelola Klinis

Rumah sakit merupakan sebuah organisasi pelayanan kesehatan yang


memiliki banyak komponen yang saling berinteraksi, dengan
demikian diperlukan tata kelola atau governance.
Rumah sakit memiliki elemen-elemen yang membuat rumah sakit
menjadi organisasi yang penuh dengan risiko, antara lain :
1. Pasien, yang memiliki banyak variabel antara lain jenis
penyakit, umur, ras, sex, pendidikan, ekonomi, budaya, dan
sosial.

2. Staf, antara lain memiliki variabel kompetensi, keterampilan,


pendidikan,motivasi, dan kesesuaian
3. Proses, yang meliputi perbedaan, pedoman, guideline, dan
prosedur

4. Sumber daya,

5. Informasi, yang harus memperhatikan kualitas dan sesuai bila


diperlukan, siap untuk dimanfaatkan
6. Organisasi; yang meliputi elemen filosofi, visi, misi,
dukungan untuk perbaikan pelayanan.
Keenam elemen di atas akan berdampak pada profesionalitas
pelayanan yang berujung pada risiko, terutama bagi pasien. Oleh
karena itu, rumah sakit memerlukan tatakelola dalam menjalankan
organisasinya. Tata kelola atau governance adalah tindakan atau
sikap dalam membentuk kebijakan dan keseteraan (sebuah
organisasi, atau kumpulan orang).
“Governance is the action or manner of conducting the policy and
affairs of (a state, organisation, or people) – Concise Oxford
Dictionary (10th Edition)”
Dalam tata kelola / governance di rumah sakit terdapat dua komponen
risiko yaitu: Corporate governance dan Clinical governance seperti
yang dikutip dari Jacobalis S (2003).
1. Corporate governance yang menyebabkan risiko layanan usaha
(corporate risk) seperti :
a. Risiko kerugian asset

b. Risiko kerugian pendapatan bisnis

c. Risiko kerugian tuntutan hukuman

d. Risiko kesalahan SDM

e. Risiko kerugian akibat kelemahan sistem prosedur


operasional bakuatau petunjuk pelaksanaan
f. Risiko korupsi, tindak criminal, ketidakjujuran karyawan

g. Risiko kerugian akibat bahaya kesejahteraan tenaga kerja yang tinggi.

2. Clinical governance

a. Risiko complain pasien

b. Risiko klaim pasien

c. Risiko kejadian-kejadian kritis (Critical incidents)

d. Risiko malpraktek

e. Risiko infeksi nosokomial

f. Risiko kesalahan medis

g. Risiko K3 (insiden keselamatan kerja)

Bentuk risiko governance yang saat ini tengah menjadi salah satu
fokus para praktisi rumah sakit seluruh dunia adalah clinical
governance yakni yang terkait dengan keselamatan pasien.
2.2 Keselamatan Pasien Rumah Sakit
2.2.1 Latar Belakang
Sejak awal tahun 1990, institusi rumah sakit selalu
meningkatkanmutu pada 3 (tiga) elemen yaitu struktur, proses dan
outcome dengan bermacam-macam konsep dasar. Program regulasi
yang diterapkan terutama pada rumah sakit pemerintah seperti
Penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, Quality Improvement,
Perizinan, Akreditasi Rumah Sakit, Crendentialing, Audit Medis,
Indikator Klinis, Clinical Governance, dan ISO. Meskipun program-
program tersebut telah dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit
baik pada aspek struktur, proses maupun outcome, namun masih saja
terjadi adverse event yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan
hukum. Oleh sebab itu, perlu penerapan program lain yang lebih
mengena langsung pada hubungan dokter-pasien untuk lebih
memperbaiki proses pelayanan (Kertadikara, 2008).
Keberhasilan patient safety juga sangat tergantung pada individu
staf medis yang terkait dengan pelayanan pasien. Akibatnya banyak
muncul hambatan internal dalam pelaksanaannya. Ada lima
karakteristik hambatan personal yang sering muncul dalam penerapan
patient safety ini, yaitu (1) visi institusi mengenai keselamatan pasien
tidak jelas, (2) takut dihukum, (3) sistem untuk menganalisis kesalahan
tidak memadai,(4) tugas masing-masing staf yang terlalu kompleks,
dan
(5) teamwork yang tidak adekuat (Kalisch BJ., Aebersold M. 2006
dalam Lestari, 2006).

2.2.2 Defenisi Keselamatan Pasien


Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien yang lebih aman. Sistem
tersebut memiliki beberapa bagian penting, yaitu assesment resiko,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta melakukan implementasi dari solusi yang
didapatkan untuk meminimalkan terjadinya resiko dan mencegah
terjadinya cidera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat salah dalam melaksanakan suatu
tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan.
(Kemenkes RI, 2011). Menurut Sunaryo (2009), patient safety adalah
tidak adanya kesalahan atau bebas dari cidera karena kecelakaan.
Keselamatan pasien perlu dikembangkan menjadi suatu budaya kerjadi
dalam rumah sakit, tidak sebatas sebagai suatu ketentuan maupun aturan
Pelaksanaan keselamatan pasien di Indonesia secara jelas telah
diatur dalam UU No. 44 tahun 2009 pasal 29 ayat 1 yang menyebutkan
bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberi pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu anti diskriminasi dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan sesuai dengan standar pelayanan rumah
sakit. Dalam UU No. 44 tahun 2009 pasal 43 ayat 1 tentang rumah sakit
juga menyebutkan bahwa keselamatan pasien adalah suatu proses dalam
pemberian layanan rumah sakit terhadap pasien dengan lebih aman.
Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut telah diatur secara jelas dalam
ayat 2 pasal tersebut yaitu pelanggaran atas kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 akan dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis, denda dan pencabutan izin rumah sakit. Keseriusan
dalam upaya mewujudkan keselamatan pasien adalah dengan dibentuknya
komite keselamatan pasien rumah sakit ( KKP-RS) pada 1 Juni tahun
2005.

2.2.3 Tujuan Program Keselamatan Pasien


Tujuan keselamatan pasien berdasarkan Depkes RI (2008) adalah sebagai
berikut :
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2) Meningkatkan akuntibilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3) Menurunnya KTD di rumah sakit
4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD

Dalam mendukung tercapainya keselamatan pasien ini, Joint


Commission International (JCI) mengeluarkan standar yang merujuk
pada peranan penting bagi pimpinan rumah sakit dalam menjamin
integrasi, dukungan dan penerimaan usaha-usaha keselamatan pasien di
rumah sakit.

2.2.4 Tujuh Langkah Keselamatan Pasien


Penerapan keselamatan rumah sakit diatur dan dirumuskan oleh
KKP-RS sebagai pedoman pelaksanaan keselamatan pasien yang dapat
digunakan oleh rumah sakit. Pedoman tersebut dirumuskan dalam KKP-RS
No. 001-VIII-2005 yang berisi tujuh langkah menuju keselamatan pasien
rumah sakit sebagai berikut
1) Bangun kesadaran akan keselamatan pasien
2) Ciptakan kepemimpinan dan budaya terbuka dan adil.
3) Pimpin dan dukung staf anda
4) Bangunlah komitmen, fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan
pasien di rumah sakit.
5) Integrasikan aktivitas pengelolaan
6) Kembangkan sistem dan proses pengelolaan resiko serta lakukan
identifikasi dan assessement hal potensial bermasalah.
7) Kembangkan sistem pelaporan
8) Memastikan staf untuk melaporkan kejadien atau insiden dan rumah
sakit membuat laporan kepada KKP-RS.
9) Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
10) Kembangkan cara-cara berkomunikasi terbuka dengan pasien.
11) Belajar dan berbagi tentang keselamatan pasien
12) Mendorong staf untuk melakukan analisis akar masalah sebagai
bahan pelajaran bagaimana dan mengapa kejadian tersebut timbul.
13) Cegah cidera dengan implementasi program keselamatan pasien
14) Menggunakan informasi yang ada tentang kejadian atau masalah
untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
15) Standar keselamatan pasien rumah sakit (KARS-DEPKES) yang
dikemukakan oleh KKP-RS adalah sebagai berikut :
a) Hak pasien
b) Mendidik pasien dan keluarga
c) Keselamatan pasien dan asuhan yang berkesinambungan
d) Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja, untuk
melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien
e) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien
2.2.5. Lima Prinsip Keselamatan Pasien
Selain program , Kohn (2000) menyusun pula lima prinsip untuk
merancang safety system di organisasi kesehatan yakni :
1) Prinsip 1 : Provide Leadership meliputi :
a. Menjadikan keselamatan pasien sebagai tujuan utama/prioritas
b. Menjadikan keselamatan pasien sebagai tanggung jawab bersama
c. Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggung jawab untuk
program keselamatan
d. Menyediakan sumber daya manusia dan dana untuk analisis error
dan redesign sistem
e. Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi
“unsafe” dokter
2) Prinsip 2 : Memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan
proses yakni:
a. Design job for safety
b. Menyederhanakan proses
c. Membuat standar proses
3) Prinsip 3 : Mengembangkan tim yang efektif
4) Prinsip 4 : Antisipasi untuk kejadian tak terduga :
a. Pendekatan proaktif,
b. Menyediakan antidotum dan
c. Training simulasi.
5) Prinsip 5 : Menciptakan atmosfer “Learning”
2.2.7 Enam Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat yang harus dimiliki
rumah sakit yang akan melakukan akreditasi oleh Komisi Akreditasi rumah
sakit (KARS). Penyusunan sasaran ini mengacu pada Nine Life Saving
Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan
juga oleh KKP-RS dan JCI. Sasaran keselamatan pasien bertujuan untuk
mendorong perbaikan yang spesifik dalam keselamatan pasien di rumah
sakit. Sasaran keselamatan pasien menyoroti bagian-bagian yang
bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi
dari konsensus berbasis byktu dan keahlian atas permasalahan. Enam
sasaran keselamatan pasien meliputi tercapainya hal-hal berikut (Kemenkes
RI, 2011) :
Sasaran 1 : Ketepatan identifikasi pasien Kesalahan karena keliru
dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir semua aspek
diagnostik dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada
pasien dalam keadaan terbius, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar
tempat tidur/kamar/lokasi di rumah sakit, dan adanya kelainan sensori.
Sasaran ini dimaksudkan untuk melakukan dua kali pengecekan.
Pengecekan pertama dilakukan dengan identifikasi pasien sebagai individu
yang akan menerima pelayanan atau pengobatan. Pengecekan kedua
dilakukan untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu
tersebut.
Elemen penilaian sasaran 1 :
a. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
b. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk
darah.
c. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis.
d. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.
e. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi.

Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif Komunikasi


yang efektif, tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami oleh
pasien akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan dalam
keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan atau
tertulis. Kesalahan dalam komunikasi yang sering terjadi adalah
komunikasi yang dilakukan secara lisan atau melalui telepon.
Elemen penilaian sasaran II :
a. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
b. Perintah lengkap secara lisan dan telepon atau hasil pemeriksaan
dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah
atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
d. Kebijkan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi
keakuratan komunikasi secara lisan atau melalui telepon secara
konsisten.

Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-


alert) Obat-oabatan merupakan bagian dari rencana pengobatan pasien
sehingga manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai adalah obat yang
sering menyebabkan kesalahan serius (sentinel event), obat yang beresiko
tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan terdengar mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM atau Look Like Sound Like/LASA).
Elemen penilaian standar III :
a. Kebijakan dan prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimbanan elektrolit
konsentrat.
b. Implementasi kebijakan dan prosedur.
c. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah
pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
d. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus
diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat
(restricted).

Sasaran IV : Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi
Salah lokasi, salah prosedur dan salah pasien operasi adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini
adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara
anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien dalam penandaan lokasi
(site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi.
Selain itu, assesment pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan
medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka
antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan
tangan yang tidak terbaca ( illegible handwriting) dan pemakaian singkatan
adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.

Elemen penilaian sasaran IV :


a. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti
untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam
proses penandaan.
b. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
verifikasi saat pre-operasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat
pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia,
tepat dan fungsional.
c. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur
sebelum insisi/time-out tepat sebelum dimulainya suatu
prosedur/tindakan pembedahan.
d. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses
yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat
pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di laur
kamar operasi.

Sasaran V : Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan


Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan besar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi
yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan
besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi
biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk
infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections)
dan pneumonia.

Elemen penilaian sasaran V :


i. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum.
ii. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
iii. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan resiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Sasaran VI : Pengurangan risiko pasien jatuh Jumlah kasus jatuh cukup
bermakna sebagai penyebab cidera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks
populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan
fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan
mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cidera bila sampai jatuh
Elemen penilaian sasaran VI :
i.Rumah sakit menerapkan proses assesment awal atas pasien terhadap risiko
jatuh dan melakukan assesment ulang pada pasien bila diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan.
ii. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka
yang pada hasil assesment dianggap berisiko jatuh.
iii. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cidera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
iv. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cidera akibat jatuh di rumah sakit.
2.3.1.1 Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pada
pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien.
Kejadian tersebut dapat terjadi di semua tahapan dalam perawatan dari diagnosis,
pengobatan dan pencegahan ( Reason, 1990 dalam To Err Is Human : Building A
Safer Health System.)

2.3.1.2 Kejadian Tidak Cedera (KTC)


Suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak mengakibatkan cedera.

2.3.1.3 Kejadian Nyaris Cedera (KNC)


Kejadian Nyaris Cedera adalah terjadinya insiden yang belum sampai
terpapar ke pasien. Misalnya suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan,
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan kepada
pasien.

2.3.1.4 Kejadian Potensial Cedera (KPC)


Kejadian Potensial Cedera adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk
menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. Misalnya obat-obatan LASA
(Look Alike Sound Alike) disimpan berdekatan.

2.3.1.5 Kejadian Sentinel


Adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang
serius. Biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak
dapat diterima seperti: operasi pada bagian tubuh yang salah. Pemilihan kata
'sentinel' terkait dengan keseriusan cedera yang terjadi (Mis. Amputasi pada kaki
yang
salah, dst) sehingga pecarian fakta-fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan
adanya masalah yang serius pada kebijakan dan prosedur yang berlaku.
1.4.3 Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap Insiden Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien yang merupakan bagian dari mutu pelayanan
kesehatan
dapat dilihat sebagai sebuah sistem terdiri atas komponen struktur, proses dan
hasil. Struktur meliputi infrastruktur fisik, organisasi (struktur dan budaya),
manajemen, sumber daya manusia, penjadwalan dan ketersediaan peralatan.
Komponen proses meliputi kepatuhan pada protokol, proses pelayanan, prosedur
tindakan, pengendalian serta pedoman. Keselamatan pasien merupakan hasil dari
komponen struktur dan proses (Donabedian, 1980 dalam Runciman et al., 2010).
Keselamatan pasien merupakan hasil dari interaksi petugas kesehatan dengan
berbagai komponen dalam sistem pelayanan kesehatan. Interaksi tersebut bersifat
kompleks. Kompleksitas interaksi ini dapat menimbulkan resiko terjadinya
kesalahan selama proses asuhan kesehatan pasien apabila tidak dilakukan dengan
hati-hati. Kesalahan petugas sangat mungkin terjadi. Kesalahan faktor manusia
(human error) juga terjadi karena masalah komunikasi, tuntutan pekerjaan,
tuntutan kecepatan pelayanan, kesibukan dan kelelahan, lingkungan kerja yang
sering tidak menentu dan sering berubah (Cahyono,2008). Rumah sakit sebagai
organisasi yang bersifat kompleks akan membentuk sistem pertahanan yang
berfungsi untuk melindungi dari terjadinya insiden (kecelakaan) yang tidak
diharapkan. Sistem barier dalam organisasi meliputi pengaruh organisasi,
pengawasan yang aman, kondisi lingkungan yang mendukung keselamatan kerja,
dan perilaku yang mendukung keselamatan pasien (Cahyono, 2008).
Pendekatan sistem memberikan perspektif yang luas dalam mencari solusi
dalam lingkungan secara fisik dan budaya. Sebagai contoh yaitu bagaimana
pengaturan unit, prosedur pelayanan kesehatan, transfer pengetahuan oleh
organisasi (organizational knowledge transfer), kesalahan teknis, kurangnya
kebijakan dan prosedur, komunikasi antar tim dan isu dalam ketenagaan
mempengaruhi seorang individu dalam memberikan layanan yang aman dan
berkualitas. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi maka akan menghasilkan error
atau kesalahan (Carayon, 2003).
Menurut Carayon (2003), tipe error dan bahaya dapat terklarifikasi
menurut domain atau kejadian dalam spectrum pelayanan kesehatan. Akar
permasalahan dari bahaya teridentifikasi menurut definisi berikut yaitu:
a. Latent Failure yaitu melibatkan pengambilan keputusan yang
mempengaruhi kebijakan, prosedur organisasi dan alokasi sumber daya
b. Active Failure yaitu kontak langsung dengan pasien
c. Organizational failure yaitu kegagalan secara tidak langsung yang
melibatkan manajemen, budaya, organisasi, proses/protokol, transfer
pengetahuan dan faktor eksternal.
d. Technical failure yaitu kegagalan secara tidak langsung dari fasilitas atau
sumberdaya eksternal.

Bagan (gambar .1) di bawah ini menunjukkan komponen- komponen atau


faktor-faktor yang perlu dipahami tentang dasar terjadinya adverse event atau
insiden keselamatan pasien. Bagan tersebut menunjukkan bagaimana setiap
faktor berinteraksi satu sama lain. Ketika faktor-faktor tersebut berfungsi secara
bersamaan akan terbentuk barrier atau sistem pertahanan terhadap insiden
keselamatan pasien yang sebenarnya dapat dicegah. Namun, apabila terdapat
kekurangan atau ketidaksesuaian pada komponen-komponen tersebut dan satu
sama lain bergerak terpisah maka hal itulah yang menjadi kekurangan sistem
sehingga adverse event dapat terjadi (Henriksen et al, 2008). Bagan di bawah ini
juga menunjukkan akar permasalahan sampai penyebab langsung terjadinya
insiden keselamatan pasien. Meski tersusun secara bertingkat, setiap faktor
tersebut tetap memiliki hubungan atau berpengaruh terhadap insiden keselamatan
pasien, seperti terlihat pada gambarGambar .1 Faktor-faktor yang berkontribusi
pada Insiden Keselamatan Pasien (Adverse Event) di Pelayanan Kesehatan

(Henriksen Kerm et al, 2008).


Kekurangan yang terjadi akibat tidak berfungsinya komponen- komponen
sistem pertahanan tersebut menggambarkan “holes” atau “lubang-lubang” pada
tiap lapisan pertahanan sehingga kondisi yang demikian membentuk apa yang
lebih dikenal sebagai model “Swiss Cheese” .

Gambar 2 Multi-Causal Theory “Swiss Cheese” Diagram (Reason, 1991)


Pada pelayanan kesehatan, kesalahan ‘aktif’ dapat disebabkan oleh
beberapa pelaku pelayanan kesehatan, seperti dokter, perawat, teknisi, dan lain-
lain, yang berada pada pelaksanaan atau tindakan, bertanggung jawab pada
pasien hingga pada ‘ujung tajam’ (lihat Gambar 2.3) (Cook R et al, 1994).
Kondisi laten adalah faktor potensial yang tersembunyi dan tertidur dalam sistem
pelayanan kesehatan, faktor potensial ini terdapat atau terjadi pada hulu di
tingkatan yang lebih terpencil, jauh dari ujung aktif (Henriksen Kerm et al,
2008).

Kondisi laten semacam ini lebih terorganisir, kontekstual, dan berdifusi


pada dasar bagan atau sistem yang terkait- dijuluki ‘ujung tumpul’.
Penampakkan antara kondisi laten dan kesalahan aktif pada gambar di atas
menunjukkan bahwa perawat, yang merupakan pemberi layanan kesehatan yang
akhir berinteraksi dengan pasien, adalah batas terakhir dari pencegah insiden
keselamatan pasien (medical error), dan karenanya paling rentan. Dengan
demikian, perawat dapat
mewarisi kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) oleh orang/petugas lain
yang berperan dalam sistem pelayanan kesehatan (Reason J, 1990).
Dengan demikian pula, dapat disimpulkan bahwa potensi yang
menyebabkan insiden keselamatan pasien sebenarnya sudah ada atau terjadi jauh
sebelum dilakukannya pelayanan kesehatan pada pasien dan perawat merupakan
barrier terakhir dari terjadinya insiden tersebut pada pasien.

BAB 3
TEORI KEJU SWISS (SWISS CHEESE THEORY)

1. Pengertian Swiss Cheese model (Swiss Cheese Theory)


Swiss Cheese model (Swiss Cheese Theory) adalah model penyebab
kecelakaan yang dikembangkan oleh psikologis Inggris James T. Reason pada
tahun 1990 dan dipakai di bidang kedokteran, keamanan penerbangan dan
pelayanan emergency. Disebut Swiss Cheese, karena model ini
menggambarkan sebuah sistem dengan gambar keju Swiss yang berlubang-
lubang dan di taruh berjejer setelah dipotong-potong. Setiap lubang dari keju
menggambarkan kelemahan manusia atau sistem dan terus-menerus berubah
bervariasi besar dan posisinya. Berbagai kelemahan yang terkumpul akhirnya
suatu saat bisa membuat beberapa lubang yang berada di garis lurus sehingga
transparan yang menggambarkan sebuah kecelakaan.

Teori keju Swiss diusulkan dan dikembangkan oleh James Reason


(seorang ahli dari Universitas Manchester) dan Dante Orlandella pada tahun
1990, yang digunakan untuk menganalisa penyebab kegagalan sistematis atau
kecelakaan, biasanya digunakan di bidang penerbangan, teknik, kesehatan,
serta pelayanan emergency. James T. Reason menggambarkan proses
terjadinya kecelakaan melalui ilustrasi potongan-potongan keju Swiss seperti
pada gambar di atas.
Lapisan-lapisan (layers) keju tersebut menggambarkan hal-hal yang
terlibat dalam suatu sistem keselamatan, sedangkan lubang-lubang yang
terdapat pada tiap lapisan tersebut menunjukkan adanya kelemahan yang
berpotensi menimbulkan terjadinya kecelakaan.
2. Mekanisme Terjadinya Kecelakaan Menurut Teori Keju Swiss (Swiss Cheese
Theory).
Pada dasarnya, kecelakaan terjadi akibat pengulangan kegagalan pada
empat layer. Empat
layer yang menyusun terjadinya suatu accident (kecelakaan), yaitu:
a. Organizational Influences (pengaruh pengorganisasian dan kebijakan
manajemen dalam terjadinya accident)
b. Unsafe Supervision (pengawasan yang tidak baik)
c. Precondition for Unsafe Act (kondisi yang mendukung munculnya unsafe act)
d. Unsafe Act (perilaku atau tindakan tidak aman yang dilakukan dan
berhubungan langsung dengan terjadinya accident).
a. Organizational Influences (pengaruh pengorganisasian dan kebijakan
manajemen dalam terjadinya accident)
1. Sumber Daya / Manajemen
a. Sumber Daya Manusia: Seleksi, Penempatan, Pelatihan
b. Keuangan: berlebihan pemotongan biaya, Kurangnya dana
c. Peralatan/fasilitas sumber daya: desain tidak memadai, Pembelian
peralatan yang tidak cocok.
2. Iklim organisasi
a. Struktur Organisasi: Rantai komando, Kewenangan
Pendelegasian, Komunikasi, kejelasan tanggung jawab.
b. Kebijakan: Punishment and Reward, Promosi, Penggunaan Obat-
obatan dan alkohol.
c. Budaya: Norma dan aturan, Nilai dan keyakinan, Keadilan dalam
menjalankan organisasi.
3. Proses organisasi
a. Operasi: Jadwal Pekerjaan, Tekanan hasil atau waktu dalam
menyelesaikan pekerjaan, Insentif, Pengukuran/penilaian,
Kekurangan perencanaan.
b. Prosedur: Ketersediaan Prosedur Standar, Kejelasan Definisi
Tujuan, Dokumentasi, Instruksi.
c. Pengawasan: Manajemen Resiko dan Program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
2. Unsafe Supervision (pengawasan yang tidak baik)
a. Pengawasan yang tidak memadai Gagal untuk memberikan
bimbingan, Gagal untuk memberikan doktrin operasional, Gagal
untuk memberikan pengawasan, Gagal untuk memberikan
pelatihan, Gagal untuk melacak kualifikasi, Gagal untuk melacak
kinerja Perencanaan tidak sesuai dengan pekerjaan : Gagal untuk
memberikan data yang benar, Gagal untuk menyediakan waktu
untuk memberikan instruksi, Pekerjaan tidak sesuai dengan aturan /
peraturan, Tidak memberikan waktu istirahat yang memadai.
b. Gagal Memperbaiki masalah yang telah diketahui Gagal untuk
memperbaiki kesalahan dokumen, Gagal untuk mengidentifikasi
karyawan yang beresiko, Gagal untuk memulai tindakan korektif.
Gagal untuk melaporkan kecenderungan yang tidak aman
Pelanggaran Pengawasan : Gagal untuk menegakkan aturan dan
peraturan, memberikan kewenangan kepada karyawan yang tidak
sesuai.
3. Precondition for Unsafe Act (kondisi yang mendukung munculnya
unsafe act)
1. Kondisi Karyawan
a. Kondisi Mental: Perhatian terganggu, Cepat puas, Melakukan
selingan, Kelelahan Mental, Kangen Rumah, Salah
menempatkan Motivasi.
b. Kondisi Fisik: Gangguan fisik, Penyakit Medis, Secara fisik
menderita cacat, Fisik mengalami kecapaian.
c. Keterbatasan Fisik/Mental: Kurang Rekreasi, Keterbatasan
Kemampuan intelektual, Keterbatasan kemampuan Fisik.
2. Keterampilan Karyawan
a. Organisasi tidak menyediakan pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhannya.
b. Karyawan tidak “menyerap” seluruh materi pelatihan atau
karyawan enggan 1. Kesalahan
c. Kesalahan yang disebabkan oleh lemahnya keterampilan: Tidak
mampu memprioritaskan pekerjaan, Mengabaikan sebagian
atau seluruh tahapan prosedur, Menghilangkan tahapan
pekerjaan, kurang pengetahuan teknis, Melakukan pekerjaan
yang berlebihan.
d. Mengikuti pelatihan.
4. Unsafe Act (perilaku atau tindakan tidak aman yang dilakukan dan
berhubungan langsung dengan terjadinya accident)
a. Keselahan Pengambilan Keputusan: Prosedur yang tidak benar,
Kesalahan mendiagnosa kondisi darurat, salah merespon kondisi
darurat,Pengambilan keputusan melebihi kemampuan. Miskin
keputusan.
b. Kesalahan persepsi.
2. Pelanggaran
a. Tidak mematuhi instruksi.
b. Tidak menggunakan alat yang seharusnya
c. Melakukan pekerjaan diluar kewenangannya.
d. Melanggar peraturan pelatihan.
e. Melakukan pekerjaan berlebihan.
f. Tidak melakukan persiapan pekerjaan.
g. Mendapatkan instruksi dari orang yang tidak berwenang.
h. Bekerja diluar lokasi yang seharusnya.
Kecelakaan yang terjadi bukan hanya karena kesalahan pada sistem,
melainkan juga faktor kelalaian manusia sebagai penyebab yang paling dekat
dengan kecelakaan. Lubang-lubang ini bervariasi besar dan posisinya. Jika
kelemahan-kelemahan itu dapat melewati lubang pada tiap layer, kecelakaan
akan terjadi. Namun, apabila lubang pada tiap layer tidak dapat dilalui, berarti
kecelakaan masih dapat dicegah.
Pada model ini, kegagalan (failure) dibedakan menjadi dua, yaitu Active
Failure dan Latent Failure (terselubung).
 Active Failure merupakan kesalahan yang efeknya langsung
dirasakan yang tercakup di dalam unsafe act (perilaku tidak aman)
dan
 Latent Failure adalah kegagalan terselubung yang efeknya tidak
dirasakan secara langsung sehingga harus diwaspadai.
Organizational Influences, Unsafe Supervision, dan Precondition for Unsafe
Act merupakan Latent Failure, sedangkan Unsafe Act adalah Active Failure.
oleh komunikasi, kerusakan fisik, faktor psikologis,

organisasi, sistem manajemen, hukum dan peraturan, prosedur, tujuan, dan


sasaran.
1. Pengendalian dan Pencegahan Kecelakaan Menurut Teori Keju Swiss
Berdasarkan Teori Keju Swiss (Swiss Cheese Theory), kecelakaan bisa
dicegah dan angka kejadian kecelakaan dapat dikendalikan dengan cara
menambahkan satu atau lebih lapisan keju untuk menghindari lubang. Training
CRM (Crew Resource Management) dan Safety merupakan salah satu upaya
yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan untuk mengurangi kelemahan
setiap potongan keju. Selain itu, para pekerja juga hendaknya menambah irisan
keju pada
diri pribadi mereka sendiri. Penambahan perlu dilakukan karena setiap lapisan
merupakan “lapisan defensif" dalam proses kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Kesalahan memungkinkan masalah untuk melewati lubang di satu lapisan, tetapi
dalam lapisan berikutnya lubang beradadi tempat yang berbeda. Setiap irisan
keju adalah kesempatan untuk menghentikan kesalahan. Semakin banyak
pertahanan yang dipasang, semakin baik. Juga sedikit lubang dan semakin kecil
lubang, semakin besar kemungkinan Anda untuk menangkap/menghentikan
kesalahan yang mungkin terjadi. Penambahan irisan keju pada diri pribadi
pekerja dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi kelemahan-kelemahan
yang ada, mulai dari organisasi perusahaan sampai jadwal kerja masing-masing
individu. Aktif mencari dan berbagi wawasan dan ilmu mengenai
mekanisme/prosedur pekerjaan yang benar (contohnya ilmu penerbangan), baik
dengan cara sosialisasi maupun cara lainnya (semisal pelatihan ataupun melalui
situs online), hal itu juga dapat menghalangi lubang-lubang kelemahan yang ada
sehingga kecelakaan tidak sampai terjadi atau minimal angka kejadiannya dapat
diperkecil.
2. Contoh Kasus yang ingin di hindari
Pada 2 tahun lalu kejadian di ruang ICU pada pasien NY Y yaitu salah
memberiakn dosis obat furosemide , perawat dinas pagi mendampingi dokter
visit dan dokter memberikan advice furosemide 2x 10mg, ketika perawat dinas
pagi memberiakn therapy obat furosemide ke pasien tidak melakukan 5 benar
dalam pemberian obat dan perawat tersebut lupa bahwa 1 amp furosemid
dosisnya 20mg, perawat tersebut memberikan furosemid 1 amp yang berarti
dosis yang di berikan adalah 1x20mg , kemudian ketika handover dengan dinas
siang , perawat dinas siang mengkonfirmasi ulang kepada perawat dinas pagi
apakah obat yang di berikan ke NY Y 1 amp atau setengah ½ amp, Kemudian
perawat dinas pagi mengatakan bahwa obat yang di berikan adalah 1 amp ,
Kemudian KaTim dinas pagi dan dinas Siang melaporkan kejadian tersebut ke
Kepala ruangan ICU dan di teruskan ke bagian Mutu rumah sakit
Dari kasus kecelakaan diatas , kelompok menyimpulkan kasus tersebut
termasuk ke dalam kasus KTD ( Kejadian Tidak diharapkan ). Alasan kelompok
mengambil kasus tersebut adalah kejadian tersebut beresiko terhadap
keselamatan pasien Obat-oabatan merupakan bagian dari rencana pengobatan
pasien sehingga manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan
keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai adalah obat yang
sering menyebabkan kesalahan serius (sentinel event), obat yang beresiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) . kejadian ini
bisa terjadi di unit mana saja pada pasienbdengan terapi obat obat yang perlu
diwaspadai.

5. Analisis Kasus Menggunakan Swiss Cheese Theory


1. Organizational Influences (pengaruh pengorganisasian dan kebijakan
manajemen dalam terjadinya accident) Organizational Inflluences atau pengeruh
pengorganisasian dan kebijakan manajemen dalam terjadinya accident, yang
dimana kecelakan berasal dari kelalaian organisasi tersebut bisa ditimbulkan
akibat sumber daya/ manajemen, iklim organisasi ataupun proses organisasi.
Sehingga dengan kata lain proses pengorganisasian atau sistem yang berlaku di
suatu organisasi berpengaruh dalam salah satu penyebab kecelakaan. Jika dilihat
dari kejadian bahwa untuk tindakan pemberian obat di haruskan selalu
melakukan 5 benar terlebih dahulu dan di lakukan perifikasi ke teman 1 tim
untuk nama obat dan dosis obat dan seharusnya ketua Tim harus lebih ekstra
dalam mengawasi perawat pelaksana dan mengetahui sudah sampai mana tingkat
kemampuan anggotanya dalam melakukan tindakan . Jika dilihat dari
organizational inflluences maka dapat dikatakan bahwa pengaruh organisasi atau
dalam hal ini adalah Tim perawat dinas pagi
a. Kurangnya pengawasan dari pihak Kepala Tim bahwa seharusnya Ka tim
melakukan pengawasan saat anak buahnya melakukan tindakan
2. Unsafe Supervision (pengawasan yang tidak baik) Unsafe Supervision
(kurangnya pengawasan), tingkatan ini membahas bagaimana masalah pada
tingkat II (Preconditions for Unsafe Act) dapat terjadi. Komunikasi dan
koordinasi yang buruk atau mental yang tidak siap dari personil dapat dihindari
apabila pengawasan yang dilakukan berjalan dengan baik. Pada tingkatan ini
hanya personil yang memiliki wewenang tertentu yang dapat melakukan
intervasi, mencakup pemberian tugas dan tanggung jawab, pelatihan dan evaluasi
kinerja
masing-masing personil. Unsafe Supervision berkaitan dengan pelaksanaan
pelatihan untuk menunjang CRM (Crew Resources Management) yang bagus.
Unsafe Supervision yang mungkin terjadi dan dapat menyebabkan kasus
Salah dosis obat , yaitu sebagai berikut :
a. Lemahnya atau tidak adanya pengawasan selama menjalankan pekerjaan,
pada saat pemberian obat
b. Terdapat orang-orang yang kurang disiplin dalam pekerjaan tersebut
sehingga mereka akan merasa tidak aman karena tidak adanya pengawasan
dari pihak- pihakyang bertanggung jawab. Oleh karena itu, pekerjaan yang
dilakukan tidak semaksimal mungkin.
c. Tidak melakukan 5 bernar dan ferivikasi ke teman 1 tim saat pemberian obat
3. Precondition for Unsafe Act (kondisi yang mendukung munculnya unsafe act)
Preconditions for Unsafe Act (Kondisi penyebab tindakan tidak aman),
tingkatan Swiss Cheese Model ini membahas aspek – aspek atau hal – hal yang
ada pada manusia yang merupakan penyebab terjadinya tindakan tidak aman
(Unsafe Act). Dengan kata lain, kondisi manusia sebelum terjadi tindakan yang
tidak aman dan yang berpotensi untuk memulai, memperburuk dan
memfasilitasi suatu peristiwa yang tidak diinginkan. Adapun Preconditions for
Unsafe Act yang ada dan dapat timbul perawat IGD yang bertugas pada tiap
shift yakni :
a. Kurangnya pengetahuan yang baik dalam Hal farmakologi
b. Kecenderungan perilaku yang tidak bisa mematuhi dan mengikuti aturan,
sehingga manusia seringkali bertindak sembrono dalam melakukan tindakan
pemberian obat
c. Kurang memiliki kesadaran pribadi, sehingga kurangnya melaukan
pengecekan rutin dan berkala pada saat pasien dalam masa pemberian
therapy obat-obat yang perlu diwaspadai.
4. Unsafe Act (perilaku atau tindakan tidak aman yang dilakukan dan
berhubungan langsung dengan terjadinya accident)
a. Kesalahan
Kurangnya ketelitian dan kelalaian dalam menerapkan SOP pemberian
obat
b. Pelanggaran yang dilakukan para perawat Tim Pagi antara lain :
Perawat tidak teliti dalam menjalankan instruksi, baik itu dimulai dari
mengecek ulang advice yang di berikan oleh dokter, tidak melakukan 5
benar dalam pemberian obat, dan tidak melakukan verifikasi ulang ke
teman 1 Tim

BAB IV
KESIMPULA
N

Kecelakaan atau accident merupakan suatu kejadian yang tidak


dikehendaki dan tidak dapat diduga sebelumnya yang menimbulkan kesalahan
dosis dalam pemberian obat , yang menyebabkan pasien mengalami kelebihan
dosis dan tidak sesuai dengan advice dokter, Dengan menggunakan Swiss Cheese
Model, dapat di identifikasi penyebab yang mendukung sehingga kecelakaan ini
dapat terjadi, mulai dari faktor managemen protokol pemberian obat-obat yang
harus diwaspadai, kelemahan dalam pengawasan, kondisi kondisi yang
mendorong terjadinya kesalahan, hingga faktor perilaku pengguna / pelaku /
perawat. Faktor faktor inilah yang di umpamakan sebagai lubang-lubang pada
keju Swiss yang berupa jajaran potongan keju dan secara berurutan dihubungkan
hingga akhirnya terjadinya kesalahan dosis dalam pemberian obat Berdasarkan
Teori Keju Swiss (Swiss Cheese Theory), kesalahan dosis dalam pemberian obat
bisa dicegah dengan cara menambahkan satu atau lebih lapisan keju untuk
menghindari lubang.
Contohnya: Double checking dalam pemberian obat yaitu sebagai verifikasi
kebenaran dan kesesuaian komponen dari proses pemberian obat dengan
menggunakan dua tenaga perawat dalam pengecekan sebelum obat diberikan.

Anda mungkin juga menyukai