Anda di halaman 1dari 13

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN II

“ KOMUNIKASI TERAPEUTIK ”

Oleh
Kadek Dwi Melanie Rahayu
NIM 183212874

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2019
1. Hambatan Dalam Komunikasi Terapeutik

Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-klien terdiri


dari tiga jenis utama: Resisten, Transferens, dan Kontransferens. Hal ini timbul dari berbagai
macam alasan dan mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, tetapi semuanya menghambat
komunikasi terapeutik. Perawat harus segera mengatasinya.

1). Resisten
Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab anseitas
yang dialaminya. Klien merupakan keengganan alamiah atau penghindaran verbaliasi yang
dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri seseorang.
Perilaku resisten biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat
banyak berisi proses penyelesaian masalah.

2). Transferens
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien, mengalami perasaan dan sikap
terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya dimasa lalu.
Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan
penggunaan mekanisme pertahanan.

3). Kontransferens
Kebutuhan terapeutik yang dibuat perawat bukan oleh klien, merujuk pada respon
emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun hubungan
terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah
satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat membenci, reaksi sangat
bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas (Ridhyalla, 2015:43).
Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk
mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat-
klien. Awalnya, perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan komunikasi
terapeutik dan mengenali perilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Latar
belakang perilaku digali baik klien atau perawat bertanggung jawab terhadap hambatan
terapeutik dan dampak negatif pada proses terapeutik.

2. Komunikasi Terapeutik Pada Anak


Komunikasi pada anak merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menjaga hubungan
dengan anak.melalui komunikasi ini pula perawat dapat memudahkan mengambil berbagai
data,yang terdapat pada diri anak yang selanjutnya digunakan dalam  penentuan masalah
keperawatan atau tindakan keperawatan.
Perkembangan komunikasi pada anak usia ini dapat dimulai dengan kemampuan
mencetak, menggambar, membuat huruf atau tulisan yang besar. Apa yang dilakukan oleh
anak mencerminkan pikiran anak. Pada usia kedelapan biasanya anak sudah mampu
membaca dan sudah mulai berpikir terhadap kehidupan.
Berikut cara berkomunikasi dengan anak usia sekolah (7-12 tahun):

1). Berfikir fungsional arah pertanyaan: mengapa, bagaimana, untuk apa sesuatu dilakukan.

2) Diperlukan:
1. Penjelasan yang sederhana disertai alasan.
2.Berikan kesempatan untuk bertanya
3.Bila perlu beri kesempatan untuk mencoba melakukannya.
3) Gunakan beberapa kosa katan anak dlm penjelasan.
4) Buatlah gambar untuk mendemonstrasikan prosedur/anatomi
5) Hargai privasi anak. Mungkin ada topik pembicaraan yg tidak ingin didiskusikan.
6) Sangat memperhatikan keutuhan tubuh takut terluka perlu pendekatan sehingga anak dapat
mengungkapkan perasaannya kecemasannya turun.
7) Anak dengan kecemasan tinggi dapat dialihkan dengan:
1. Berbicara
2. Menghadirkan orang dekat kecemasan turun dapat menerima  pendapat orang lain.

8) Anak usia sekolah yang lebih besar mampu berpikir kongkrit dapat  berkomunikasi lebih
baik

Tujuan komunikasi terapeutik pada anak :


1. Mengetahui tentang komunikasi pada anak dan tumbuh kembang anak.
2. Mengetahui proses tumbuh kembang anak berdasarkan usia.
3. Mengetahui tata cara berkomunikasi.
4. Membantu anak untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan  pikiran
serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien percaya
pada hal- hal yang diperlukan.
5. Mengurangi keraguan , membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya
6. Mempengaruhi orang lain , lingkungan fisik dan dirinya sendiri

Uisa Pra Sekolah (2,5  –  5 tahun).


Pada anak usia ini khususnya 3 tahun anak sudah mampu menguasai 900 kata dan
banyak kata-kata yang digunakan ,seperti mengapa,apa, bagaimana, dan
sebagainya.komunikasi pada usia ini sipatnya sangat egosentris ,rasa ingin tahu yang sangat
tinggi,inisiatip tinggi, dan kemampuan bahasanya mulai meningkat.mudah merasa kecewa,
dan rasa bersalah.setiap komunikasi harus berpusat tentang dirinya dan perlu kita ketahui
bahwa pada usia ini anak belum faseh berbicara.
Pada usia ini cara berkomunikasi dapat dilakukan adalah dengan memberi tahu apa
yang terjadi pada dirinya.memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksaan
yang akan digunakan.menggunakan nada suara,bicara lambat,jika tidak menjawab harus
diulang lebih jelas lagi.dengan penggunaan bahasa yang sederhana. Saat berkomunikasi
memberikan mainan pada saat bermain, dengan maksud anak dengan mudah dapat diajak
berkomunikasi.menghindari konfrontasi langsung .bersalaman dengan anak dapat
menghilangkan perasaan cemas.

Usia Sekolah (5- 11 tahun).


Perkembangan komunikasi pada anak usia ini dapat dimulai dengan kemampuan anak
dengan mencetak,menggambar, membuat huruf atau tulisan.dan apa yang dilakukan oleh
anak mencerminkan pikiran anak, dan kemampuan anak membaca disini sudah muncul.pada
usia kedelapan anak sudah mampu membaca dan sudah mulai berpikir tentang kehidupan.
Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia sekolah ini adalah tetap masih memperhatikan
tingkat kemampuan bahasa anak yaitu menggunakan  bahasa yang sederhana namun
spesipik .menurut Jean Peugeut pada usia 7  – 11 tahun mer dan mampu berpikir upakan
tahap konkrit opersional,pada tahap ini sudah mulai  berpikir logis, dan terarah dapat
memilih,menggolongkan,dan mampu berpikir dari sudut  pandang orang lain.sedangkan
menurut Erikson usia 6  – 12 tahun adalah tahap inferiority dimana anak siap menjadi
pekerja.dan ingin dilibatkan dalam aktifitas.

Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi


1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Sikap
4. Usia tumbuh kembang
5. Status kesehatan anak
6. Sistem sosial
7. Saluran
8. Lingkungan

3. Komunikasi Terapeutik Pada Lansia


1. Pengertian
Lanjut usia merupakan umur pada manusia yang telah memasuki tahap akhir dari fase
kehidupan. Komunikasi dengan lansia harus memperhatikan faktor fisik, psikologi,
lingkungan dalam situasi individu harus mengaplikasikan ketrampilan komunikasi yang tepat.
disamping itu juga memerlukan pemikiran penuh serta memperhatikan waktu yang tepat.
(Stuart dan Sundeen, 2013).
Menurut Wahjudi Nugroho (2008) Komunikasi dengan lansia adalah  proses penyampaian
pesan atau gagasan dari petugas atau perawat kepada lanjut usia dan diperoleh tanggapan dari
lanjut usia sehingga diperoleh kesepakatan tentang isi pesan komunikasi.
2. Keterampilan Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
Menurut Lilik Ma’arifatul Azizah (2011) keterampilan komunikasi terapeutik  pada lanjut
usia dapat meliputi :
1. Perawat membuka wawancara dengan memerkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan
lama wawancara.
2. Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menjawab berkaitan dengan  pemunduran
kemampuan untuk merespon verbal.
3. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang
sosikulturalnya.
4. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir
abstrak.
5. Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan memberikan respon
nonverbal seperti kontak mata secara langsung, duduk dan menyentuh  pasien.
6. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian pasien dan distres
yang ada.
7. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan dari komunikasi dan
tindakan.
8. Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan dengan cermat dan
tetap mengobservasi.
9. Tempat mewawancarai diharuskan tidak pada tempat yang baru dan asing  bagi pasien.
10. Lingkungan harus dibuat nyaman, kursi harus dibuat senyaman mungkin.
11. Lingkungan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang sensitive, suara
berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan.
12. Perawat harus mengkonsultasi hasil wawancara kepada keluarga pasien.
13.Memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara.
Respon perilaku juga harus diperhatikan, karena perilaku merupakan dasar yang
paling penting dalam perencanaan keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku merupakan
gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan mental. Jika mungkin, pengkajian harus
dilengkapi dengan kondisi lingkungan rumah, ini menjadi modal pada faktor lingkungan yang
dapat mengurangi kecemasan pada lansia. Pengkajian tingkah laku termasuk mendefinisikan
tingkah laku, frekuensinya, durasi dan factor presipitasi. Ketika terjadi perubahan perilaku ini
sangat penting untuk dianalisis.

3. Prinsip Gerontologis Untuk Komunikasi


Menurut Wahjudi Nugroho (2008) Lanjut usia yang mengalami penurunan daya ingat
mengalami kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain. Hal ini sangat
mengecewakan dan membingungkan lansia dan perawat oleh karen itu, perlu diciptakan
komunikasi yang mudah antara lain :
1. Buat percakapan yang akrab.
1). Sebutkan nama orang tersebut untuk menarik perhatiannya  
2). Bicara langsung pada orang tersebut dan bertatap muka langsung.
3). Sentuh lengannya agar ia terfokus pepada pembicaraan
2. Pakailah kalimat yang pendek dan sederhana
1). Gunakan kalimat yang singkat dan mudah dimengerti  
2). Bicara dengan singkat dan jelas
3. Ulangi kalimat secara tepat.
1). Apabila orang tersebut tidak mengerti suatu kata, ganti dengan kata lain yang
mempunyai arti sama.  
2).Ulangi apa yang telah dikatakan dan gunakan kata-kata yang sama, gerak, nada yang
sama pula.
4. Berkata yang tepat
1. Katakan, “ini buburmu”, bukan “sekarang waktu untuk sarapan”
2. Katakan, “kakek, ini kacamatamu?”, bukan “kakek butuh ini?”
3. Hilangkan kata-kata “kamu masih ingat?”
5. Beri pilihan yang sederhana.
1. Ajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban “iya” atau “tidak”.
2. Batasi pilihan dalam pertanyaan seperti “ apakah kakek mau minum teh?”, bukan
“apakah kakek mau minum sesuatu?”
6. Pakailah etiket, Tempelkan etiket pada barang-barang yang sering dipakai

4. Karakteristik komunikasi terapeutik pada lansia


Ada 3 hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaiu sebagi  berikut
(Arwani, 2003 : 54) :
 
1. Ikhlas (genuiness) Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien harus bisa
diterima dan  pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan memberikan
bantuan kepada pasien untuk mengkonsumsikan kondisi secara tepat
2. Empati (Emphaty) Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi klien. Objektif
dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan
3. Hangat (warmth) Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien
dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga pasien  bisa
mengekspresikan persaannya lebih mendalam.

4. Komunikasi Terapeutik Pada Klien di IGD


Komunikasi terapeutik pada ruang Instalasi Gawat Darurat berbeda dengan
komunikasi yang terjadi dibangsal karena di Instalasi Gawat Darurat lebih memfokuskan
pada tindakan yang akan dilakukan sehingga dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik
sangat kurang. Kegiatan kasus gawat darurat memerlukan sebuah sub sistem yang terdiri
dari informasi, jaring koordinasi dan jaring pelayanan gawat darurat sehingga seluruh
kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem terpadu (PUSBANKES 118, 2012).
Untuk pelayanan di Instalasi Gawat Darurat sering menimbulkan kekecewaan pasien,
sebagai contoh yaitu pelayanan di Instalasi Gawat Darurat yang tidak sesuai dengan
urutan pasien yang datang. Banyak komplain dari pasien yang merasa tidak mendapatkan
pelayanan padahal telah datang duluan. Masalah - masalah seperti ini terjadi salah
satunya karena kurangnya komunikasi terapeutik oleh perawat yang merupakan tenaga
medis yang pertama kali ditemui oleh pasien. Harapan pasien ketika bertemu petugas
medis pertama kali adalah mendapatkan informasi, arahan, dan penjelasan tentang
pelayanan medis secara baik dan rinci. Namun terkadang harapan pasien tidak sesuai
dengan kenyataan. Tidak menutup kemungkinan peran tenaga medis lainnya juga dapat
ikut andil membantu terbentuknya komunikasi yang efektif agar tidak terjadi kesalah
pahaman.

1) Teknik Komunikasi pada Gawat Darurat


(1) Mendengarkan
Perawat harus berusaha untuk mendengarkan informasi yang disampaikan oleh
klien dengan penuh empati dan perhatian
(2) Menunjukkan penerimaan
Menerima bukan berarti menyetujui, melainkan bersedia untuk mendengarkan
orang lain tanpa menunjukkan sikap ragu atau penolakan.
(3) Mengulang Pernyataan Klien
Dengan mengulang pernyataan klien, perawat memberikan umpan balik sehingga
klien mengetahui bahwa pesannya mendapat respon dan berharap komunikasi
dapat berlanjut.
(4) Menyampaikan Hasil Pengamatan
Perawat perlu menyampaikan hasil pengamatan terhadap klien untuk mengetahui
bahwa pesan dapat tersampaikan dengan baik. 
2) Prinsip Komunikasi Gawat Darurat
(1) Caring ( sikap pengasuhan yang ditnjukan peduli dan selalu ingin memberikan
bantuan)
(2) Acceptance  (menerima pasien apa adanya)
(3) Respect (hormatati keyakinan pasien apa adanya)
(4) Empaty (merasakan perasaan pasien)
(5) Trust (memberi kepercayaan)
(6) Integrity (berpegang pd prinsip profesional yang kokoh)
(7) Identifikasikan bantuan yang diperlukan
(8) Terapkan teknik komunikasi: terfokus, bertanya,  dan validasi
(9) Bahasa yang mudah dimengerti
(10) Pastikan hubungan profesional dimengerti oleh pasien/keluarga
(11) Motivasi dan hargai pendapat & respon klien
(12) Hindari: menyalahkan, memojokkan, dan memberikan sebutan yang negatif.

5. Komunikasi Terapeutik Pada Klien di ICU


Pasien yang tidak sadar atau pasien koma di ruangan-ruangan tertentu seperti Intensif Care
Unit (ICU), Intensif Cardio Care Unit (ICCU) dan lain sebagainya, sering mengabaikan
komunikasi terapeutik dengan pasien ketika ingin melakukan sesuatu tindakan atau
bahkan suatu intervensi. Menurut Pastakyu (2010), Cara berkomunikasi dengan klien
dalam proses keperawatan adalah berkomunikasi terapeutik. Pada klien tidak sadar
perawat juga menggunakan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan klien. Dalam berkomunikasi kita dapat menggunakan teknik-teknik
terapeutik, walaupun pada pasien tidak sadar ini kita tidak menggunakan keseluruhan
teknik. Teknik terapeutik, perawat tetap dapat terapkan. Adapun teknik yang dapat
terapkan, meliputi:
1) Menjelaskan
Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang akan perawat lakukan
terhadap klien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan kepada
klien. Dengan menjelaskan pesan secara spesifik, kemungkinan untuk dipahami
menjadi lebih besar oleh klien.
2) Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau konsep kunci dari
pesan yang dikirimkan. Perawat memfokuskan informasi yang akan diberikan pada
klien untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam komunikasi.
3) Memberikan Informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah memberikan informasi.
Dalam interaksi berkomunikasi dengan klien, perawat dapat memberi informasi
kepada klien. Informasi itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan maupun
kemajuan dari status kesehatannya, karena dengan keterbukaan yang dilakukan oleh
perawat dapat menumbuhkan kepercayaan klien dan pendorongnya untuk menjadi
lebih baik.
4) Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketengan pada pasien tidak sadar, perawat dapat menujukkan dengan
kesabaran dalam merawat klien. Ketenagan yang perawat berikan dapat membantu
atau mendorong klien menjadi lebih baik. Ketenagan perawat dapat ditunjukan kepada
klien yang tidak sadar dengan komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal dapat
berupa sentuhan yang hangat. Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa kata-kata,
merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan pasan
kepada orang lain. Sentuhan adalah bagian yang penting dari hubungan antara perawat
dan klien.
Menurut Pastakyu (2010), Pada saat berkomunikasi dengan klien yang tidak sadar, hal-
hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:
1) Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada keyakinan
bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang mengalami penurunan
penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak sadar. Klien yang tidak sadar
seringkali dapat mendengar suara dari lingkungan walaupun klien tidak mampu
meresponnya sama sekali.
2) Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan
mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi ucapan
yang perawat sampaikan dekat klien.
3) Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien. Sentuhan diyakini dapat menjadi salah
satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada klien dengan penurunan kesadaran.
4) Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu klien
fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.

6. Komunikasi Terapeutik Mengatasi Klien Yang Marah-Marah


Ruang konsultasi bisa jadi selalu penuh dengan emosi, khususnya dari  pasien. Ketika
pasien tidak bisa mengontrol emosi, dokter dan perawat terkadang perlu mengatasinya
dengan komunikasi terapeutik. Berikut  beberapa tips bagaimana Anda bisa menangani
pasien atau anggota keluarga  pasien yang marah:
1. Siaplah untuk menghadapi emosi yang beragam
Ketika menghadapi orang sakit, Anda mungkin akan menemukan  berbagai reaksi emosi.
Sesaat setelah mulai bekerja, Anda perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi
ketidaknyamanan yang mungkin muncul. Anda juga perlu mengidentifikasi kapan sesuatu
akan berubah menjadi buruk, berdasarkan bahasa tubuh pasien.
2. Tunjukkan empati
Ketika ada pasien marah, cara terbaik menghadapinya adalah mendengarkan dan
menunjukkan empati daripada ikut berdebat dan  berargumen. Sulit mengetahui akar
penyebab kemarahan, bisa jadi karena mereka sedang kesakitan, ketakutan, atau hal lain.
Dokter perlu tetap sabar dan mendengarkan keluhan pasien mereka, meskipun kadang tidak
masuk akal. Agar bisa melakukannya, cobalah posisikan diri Anda di posisi mereka dan
rasakan sakit yang mereka rasakan. Anda mungkin tidak perlu menghiraukan ketika mereka
mengeluarkan kata-kata kasar ke diri Anda.
3. Hati-hati dalam berbicara
Kata-kata dokter bisa dijadikan alat oleh pasien. Dalam situasi marah, dokter perlu
berhati-hati saat berbicara, sehingga tidak memperparah situasi. Kata-kata memiliki kekuatan,
jadi daripada memperpanas kemarahan, Anda mungkin bisa membiarkan pasien Anda
mencurahkan dan menyampaikan perasaan mereka. Dengan cara bicara yang benar, Anda
mungkin bisa menemukan alasan frustasi dan kemarahan mereka, darimana itu berasal dan
menyelesaikan akar  permasalahannya.
4. Jangan menghiraukan perasaan mereka
Tidak ada pasien marah yang suka dihiraukan oleh dokter atau  perawat. Tenaga
kesehatan justru perlu memberi perhatian khusus ke  pasien ini. Cara Anda menunjukkan
respek akan menunjukkan kepedulian Anda terhadap situasi yang sedang mereka hadapi. Ini
juga  bisa dianggap sebagai perlindungan diri, untuk mencegah keluhan atau komentar
negatif di media sosial.
5. Hiburlah mereka
Jika Anda telah berusaha meredakan amarah pasien dan tidak  berhasil, biarkan saja
pasien marah. Tidak ada orang yang sempurna, dan  jika pasien ingin marah, biarkan mereka
sedikit marah, karena Anda tahu Anda telah memberi yang terbaik dan Anda tahu tidak Ada
lagi yang bisa Anda lakukan. Ingatlah untuk tetap tenang dan berusaha menghibur mereka,
dan sampaikan bahwa Anda memahami perasaan mereka. Biarkan keberuntungan,
pelampiasan, dan waktu - akan menyelesaikannya.

7. Komunikasi Terapeutik Untuk Mengatasi Klien Komplain


Manajemen penanganan komplain yang efektif membutuhkan prosedur yang jelas dan
terstruktur dengan baik agar dapat menyelesaikan masalah serta didukung oleh sumber daya
dan infrastruktur yang memadai agar dapat kinerja kerja yang memuaskan.
Manajemen komplain dapat diartikan sebagai suatu strategi yang digunakan oleh rumah
sakit dalam menangani komplain pasien yaitu dengan memandang bahwa komplain
merupakan suatu kesempatan bagi rumah sakit untuk memperbaiki kinerja pelayanannya
melalui informasi-informasi yang berasal dari keluhan-keluhan masyarakat/ pasien. Dalam
melakukan penanganan komplain terbagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Menerima dan Identifikasi Keluhan
Langkah pertama yang dilakukan oleh petugas dalam menangani keluhan tersebut
adalah menerima dan mengidentiikasi keluhan. Dalam mengidentifikasi suatu
keluhan, petugas menggali data dan informasi yang lengkap dengan koordinasi ke unit
terkait sehingga dapat diketahui penyebab dari keluhan tersebut dan dapat dicarikan
solusi yang tepat untuk penyelesaiannya. Dalam menerima komplain pihak rumah
sakit telah sesuai dengan penanganan komplain yang efektif. Yaitu dimulai dengan
menerima dan mengidentifikasi masalah. Sebab dalam proses penanganan komplain
secara efektif dimulai dari pengidentifikasian dan penentuan sumber masalah yang
menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh. Langkah ini merupakan langkah
yang sangat vital, karena menentukan efektifitas langkah-langkah selanjutnya.
2) Dokumentasi keluhan
Komplain yang masuk akan dicatat dan direkap setiap bulannya oleh petugas. Untuk
komplain yang secara langsung, petugas meminta pasien untuk mengisi formulir
keluhan yang telah disediakan. Data yang dibutuhkan adalah: nama, alamat, nomor
telp, dan jenis komplain. Sedangkan untuk keluhan yang berasal dari kotak saran akan
direkap setiap bulan dan hasil dokumentasi itu akan dijadikan bahan evaluasi bagi
unit-unit terkait.
3) Solusi
Setelah keluhan masuk dan diidentifikasi, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh
rumah sakit adalah pecarian solusi terhadap keluhan pasien. Pencarian solusi
dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan unit terkait. Waktu yang dibutuhkan
dalam pencarian solusi tergantung kepada tingkat keluhan yang terjadi serta fasilitas
yang digunakan (keluhan secara langsung atau melalui kotak saran).

Anda mungkin juga menyukai