Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

MANAJEMEN KEPERAWATAN

“TEORI KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DALAM KEPERAWATAN”

Di Susun Oleh :
Kelompok 5

1. Hasni Nurhasanah 20200305017


2. Istiqomah Sejati 20200305018
3. Eka Septiani 20200305019

JURUSAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA BARAT
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kelompok panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan teori kepemimpinan situasional
dalam keperawatan. Tujuan dibuat tulisan ini ialah untuk menambah ilmu pengetahuan serta
untuk memenuhi tugas mata kuliah stase manajemen keperawatan.
Kelompok mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga kelompok dapat menyelesaikan tulisan ini. Tulisan ini diharapkan
dapat bermanfaat. Kelompok menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna.
Kelompok mengaharapkan masukan dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 3 Desember 2020

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................................................1
B. Tujuan ............................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kepemimpinan Situasional................................................................................2
1. Pengertian kepemimpinan.........................................................................................2
2. Pengertian gaya kepemimpinan situasional..............................................................2
3. Kemampuan khusus pada kepemimpinan situasional...............................................2
4. Model gaya kepemimpinan situasional ...................................................................2
B. Penerapan Teori Situasional dalam kepemimpinan keperawatan.................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................13
B. Saran..............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepemimpinan merupakan penggunaan keterampilan mempengaruhi orang lain untuk
melaksanakan sesuatu dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya (Mugianti,
2016). Kepemimpinan selalu menarik dibicarakan. Daya tarik ini didasarkan pada latar
historis yang menunjukkan arti penting keberadaan seorang pemimpin dalam setiap
kegiatan kelompok dan kenyataan bahwa kepemimpinan merupakan sentrum dalam pola
interaksi antar komponen organisasi.
Tenaga keperawatan merupakan salah satu sumber daya manusia dalam suatu unit
pelayanan keperawatan, dimana kualitas pelayanan keperawatan sangat berkaitan erat
dengan kualitas sumber daya manusianya (Budiono, 2016). Pelayanan keperawatan di
rumah sakit merupakan bagian integral dari pelayanan rumah sakit secara menyeluruh,
yang sekaligus merupakan tolak ukur keberhasilan pencapaian tujuan rumah sakit, bahkan
sering menjadi faktor penentu citra rumah sakit di mata masyarakat. Hal ini bekaitan
dengan kepemimpinan perawat dalam pelayanan keperawatan dan tuntutan profesi sebagai
tuntutan global, bahwa setiap perkembangan dan perubahan memerlukan pengelolaan
secara profesional, dengan memperhatikan setiap perubahan yang terjadi di Indonesia.
Peran dan fungsi perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat dipengaruhi
oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun luar profesi keperawatan yang
bersifat konstan (Fhirawati dkk, 2020). Dari uraian diatas kelompok ingin membahas teori
kepemimpinan situasional dalam bidang keperawatan.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui teori kepemimpinan situasional dalam keperawatan.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui konsep teori kepemimpinan situasional dalam keperawatan.
b. Untuk mengetahui penerapan teori situasional dalam kepemimpinan keperawatan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Kepemimpinan Situasional


1. Pengertian kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan
setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukakan secara
efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai
tujuan bersama (Sagala, 2018).

2. Pengertian gaya kepemimpinan situasional


Gaya kepemimpinan situasional adalah gaya kepemimpinan yang berfokus pada
kesesuaian tingkat kematangan atau perkembangan yang relevan dari para pengikut.
Kematangan dalam kepemimpinan situasional dirumuskan sebagai kemampuan dan
kemauan dari orang-orang untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya
yang berkaitan dengan tugas tertentu (Aisyafarda & Sarino, 2019).
Teori kepemimpinan situasional adalah suatu pendekatan terhadap kepemimpinan
yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya, sifat-sifat bawahannya,
dan situasi sebelum menggunakan gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini
menyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku
manusia (Triwahyuni, Abdullah, & Sunaryo, 2014).
Maka dari pemaparan diatas gaya kepemimpinan situasional adalah
mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari
orang –orang yang dipimpinnya.

3. Kemampuan khusus pada pemimpin situasional


Untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu
memiliki tiga kemampuan khusu yaitu (Ismainar, 2018) :
a. Kemampuan analisis, yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan
motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
b. Kemampuan untuk fleksibel, yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya
kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.
c. Kemampuan berkomunikasi, yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada
bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.

4. Model gaya kepemimpinan situasional


a. Gaya kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard
Indikator gaya kepemimpinan situasional antara lain menurut Hersey dan
Blanchard dalam (Thoha, 2012) :
1) Instruksi (memberitahukan) Ini ditujukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi
pengarahan dan rendah dukungan, gaya ini dicirikan dengan komunikasi satu
arah. Pemimpin memberikan batasan peranan pengikutnya dan memberitahu

2
mereka tentang apa, bagaiman, bilamana dan dimana melaksanakan berbagai
tugas. Inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata
dilakukan oleh pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan diumumkan dan
pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh pemimpin.
2) Konsultasi (menjajakan) Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi
pengarahan dan tinggi dukungan, dalam menggunakan gaya ini pempimpin
masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama
dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan komunikasi dua
arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut
tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka.
Meskipun dukungan ditingkatkan, pengendalian (control) atas pengambilan
keputusan tetap pada pemimpin.
3) Parstisipasi (mengikutsertakan) Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang
tinggi dukungan dan rendah pengarahan. Posisi kontrol atas pemecahan
masalah dan pembuatan keputusan dipegang secara bergantian. Dengan
penggunaan gaya 3 ini, pemimpin dan pengikut saling tukar-menukar ide
dalam pemecahan masalah dan pembuat keputusan. Komunikasi dua arah
ditingkatkan, dan peranan pemimpin adalah secara aktif mendengar. Tanggung
jawab pemecahan masalah dan pembuatan keputusan sebagian besar berada
pada pihak pengikut. Hal ini sudah sewajarnya karena pengikut memiliki
kemampuan untuk melaksanakan tugas.
4) Delegasi (mendelegasikan) Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang
rendah dukungan dan rendah pengarahan. Pemimpin mendiskusikan masalah
bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan mengenai
definisi masalah yang kemudian proses pembuatan keputusan didelegasikan
secara keseluruhan kepada bawahan. Sekarang bawahanlah yang memiliki
kontrol untuk memutuskan tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas.
Pemimpin memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk
melaksanakan pertunjukkan mereka sendiri karena mereka memiliki
kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggungjawab dalam pengarahan
perilaku mereka sendiri.

3
Dalam gaya 1 (Intruksi), seorang pemimpin menunjukkan perilaku yang banyak
menunjukkan pengarahan dan sedikit dukungan. Pemimpin ini memberikan instruksi
yang spesifik tentang peranan dan tujuan bagi pengikutnya, dan secara ketat
mengawasi tugas mereka.
Dalam gaya 2 (Konsultasi) pemimpin menunjukkan perilaku yang banyak
mengarahkan dan banyak memberikan dukungan. Pemimpin dalam gaya seperti ini
mau menjelaskan keputusan dan kebijaksanaan yang diambil dan mau menerima
pendapat dari pengikutnya.
Pada gaya 3 (Partisipasi) pemimpin menekankan pada banyak memberikan
dukungan dan sedikit dalam pengarahan. Dalam gaya seperti ini pemimpin
menyusun keputusan bersama-sama dengan para pengikutnya, dan mendukung
usaha-usaha mereka dalam menyelesaikan tugas.
Adapun gaya 4 (Delegasi), pemimpin memberikan sedikit dukungan dan sedikit
pengarahan. Pemimpin dengan gaya seperti ini mendelegasikan keputusan-
keputusan dan tanggungjawab pelaksanaan tugas dan tanggungjawab pada
pengikutnya (Arifin, 2014).
Kepemimpinan situasional berfokus pada kesesuaian atau efektifitas gaya
kepemimpinan sejalan dengan tingkat kematangan atau perkembangan yang
relevan dari para pengikut. Hubungan tersebut dilukiskan dalam gambar berikut.

Dari gambar diatas dapat dijelaskan dengan membagi kontinum tingkat


kematangan bawahan dibawah model kepemimpinan kedalam empat tingkat, yaitu:
rendah (M1), rendah ke sedang (M2), sedang ke tinggi (M3), dan tinggi (M4).
Supaya lebih mudah dalam memahami tingkat kematangan bawahan, berikut
dijelaskan kontinum tingkat kematangan bawahan dengan kriteria penjelasnya.

4
Instruksi adalah untuk pengikut yang rendah kematangannya. Orang yang
tidak mampu dan tidak mau (M1) memikul tanggung jawab untuk melaksanakan
sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki keyakinan. Gaya instruksi
dicirikan dengan peranan pemimpin yang membatasi peranan dan
menginstruksikan orang/bawahan dimana harus melakukan sesuatu tugas tertentu.
Konsultasi adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang. Orang yang
tidak mampu tetapi berkeinginan (M2) untuk memikul tanggungjawab memiliki
keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. Gaya yang sesuai dengan kondisi
ini adalah konsultasi (G2) yang memberikan perilaku mengarahakan. Akan tetapi
mengarahkan dalam hal ini lebih ditekankan pada komunikasi dua arah. Hal ini
dilakukan untuk membantu dalam mempertahankan tingkat motivasi pengikut yang
tinggi.
Partisipasi adalah bagi tingkat kematangan dari sedang ke tinggi. Orang-orang
pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak berkeinginan
(M3) untuk melakukan suatu tugas yang diberikan. Gaya partisipasi (G3)
merupakan hal yang tepat dilakukan pada tingkat kematangan seperti ini.
Pemimpin dan pengikut perlu saling bertukar pikiran/ide dalam pembuat
keputusan. Gaya ini lebih menekankan pada hubungan kerja yang tinggi dan
perilaku berorientasi tugas yang rendah.
Delegasi adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi. Orang-orang dengan
tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau, atau mempunyai keyakinan
untuk memikul tanggungjawab (M4). Dengan demikian gaya delegasi yang
berprofil rendah (G4) yang memberikan sedikit pengarahan atau dukungan
memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu-individu
dalam tingkat kematangan seperti ini (Susanti dkk, 2020).

b. Gaya kepemimpinan situasional Fiedler


Model situasional pertama oleh Fred Edward Fiedler (1964) dosen di
University of Illinois dan sebagai professor di Universitas of Washington. Fiedler
dan teman-temannya mengajukan teori kontingensi (Contingency Theory) dalam
kepemimpinan menegahi hubungan antara efektivitas kepemimpinan dengan
suasana kerja yang produktif. Teori kontingensi juga bisa deskriptif dan preskriptif.
Teori kontingensi yang deskriptif membahas tentang mengapa pemimpin
berperilaku berbeda antara satu situasi dengan situasi lainnya. Sementara teori
kontingensi yang preskriptif membahas perilaku yang paling efektif dalam setiap
jenis situasi. Untuk menguji hipotesi yang diformulasikan dari penemuan

5
penelitian sebelumnya, maka fiedler mengembangkan apa yang disebutnya model
kontingensi dari kepemimpinan yang efektif (A Contingency Model of Leadership
Effectiveness), menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan dan situasi yang
mengutungkan atau menyenangkan (Kamala, 2020).
Fiedler mengemukakan 3 dimensi empirik kepemimpinan situasional
kontingensi untuk menentukan apakah suatu situasi tertentu menguntungkan bagi
pemimpin atau tidak, yaitu (Sagala, 2018) :
1) Leader member relationship
Leader member relationship, yaitu hubungan pribadi pemimpin dengan
anggota kelompok merupakan variabel paling kritis dalam menentukan situasi
menyenangkan yang memengaruhi gaya kepemimpinan paling efektif dan
menggambarkan kualitas hubungan pemimpin dengan anggota kelompok (lebih
hangat dan bersahabat, maka situasi lebih menguntungkan). Dimensi hubungan
pemimpin dengan anggota dipandang sebagai hal yang paling penting ditinjau
dari sudut pandang pemimpin, karena kuasa posisi dan struktur tugas boleh jadi
sebagai besar dikendalikan oleh perusahaan atau organisasi. Seberapa besar
anggota mendukung dan loyal kepeda pemimpin yaitu dukungan pengikut pada
pemimpin dan hubungan diantara pengikut, perbedaan pendapat dan konflik.
Dimensi ini berkaitan dengan situasi sejauh mana anggota kelompok menyukai
dan mempercayai pemimpin serta mau mengikutinya.
2) Degree of task structure
Degree of task structure, yaitu struktur tugas merupakan input penting
kedua terhadap situasi yang menyenangkan menggambarkan kadar struktur
tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan yaitu susunan
tugas yang dilaksanakan oleh bawahan lebih tersusun, lebih menguntungkan.
Seberapa rinci tugas menyatakan tujuan, prosedur, dan pedoman melaksanakan
tugas. Dimensi struktur tugas (task structure) yaitu sejauh mana kejelasan tugas
dan orang yang bertanggung jawab melaksanakannya, sebagai kebalikan dari
situasi di mana tugas-tugas tidak jelas dan tidak terstruktur. Apabila tugas jelas,
kualitas prestasi dapat dikendalikan dengan mudah, dan anggota kelompok
dapat lebih pasti memikul tanggung jawab untuk berprestasi dibandingkan
apabila tugas tidak jelas
3) Leader position power
Leader position power, yaitu kekuasaan posisi dicapai melalui otoritas
formal merupakan dimensi situasi keritis ketiga. Kekuasaan pemimpin (lebih
berkuasa, maka situasi bagi pemimpin itu lebih menguntungkan. sedangkan bagi
bawahan belum tentu menguntungkan). Kekuasaan posisi (position power)
merupakan tingkat seberapa jauh kekuasaan posisi, yang dibedakan dari sumber
kuasa lainnya seperti kuasa karismatis atau keahlian, kemungkinan pemimpin
menimbulkan kepatuhan dari anggota kelompok terhadap pengarahan, dalam
hubungannya dengan manajer, kekuasan ini berasal dari wewenang organisasi.
Seberapa besar posisi atau jabatan memberikan otoritas kepada pemimpin untuk
memberi imbalan, menghukum, memutasikan, mempromosikan, dan sebagainya
kepada pengikut atau bawahan. Fiedler mengemukakan, seorang pemimpin

6
yang memiliki kekuasaan posisi yang jelas dan cukup dapat lebih mudah
memperoleh kepengikutan dibandingkan dengan pemimpin yang tidak memiliki
kekuasaan. Dengan tugas dan wewenang yang jelas maka kualitas prestasi dapat
dikendalikan dengan mudah.
Dengan demikian, anggota atau pengikut menyukai dan mempercayai
pemimpin, sehingga pemimpin menjadi efektif. Kekuasaan yang dimiliki
pemimpin akan menguntungkan bagi bawahan jika visinya mensejahterakan
publik, bukan untuk memenuhi ambisi pribadi, kelompok atau golongan, dan
jauh dari sikap egoisme dan arogansi. Luthans mengungkapkan penelitian Fred
E. Fiedler ini menegaskan situasi akan memberikan dukunga pada pemimpin
jika ketiga dimensi ini tinggi, yaitu: (1) jika pemimpinnya secara umum
diterima dan dihormati pengikutnya (dimensi tinggi pertama); (2) jika tugas
sangat terstruktur dan semuanya dijelaskan secara gamblang (dimensi kedua
tetinggi): dan (3) jika otoritas dan wewenang secara formal dihubungkan dengan
posisi pemimpin (dimensi ketiga tinggi), maka situasinya akan menyenangkan.
Jika yang terjadi adalah sebaliknya (ketiga dimensi dalam keadaan rendah),
maka situasi akan sangat tidak menyenangkan bagi pemimpin. Berdasarkan
ketiga variabel utama tersebut, Fiedler menyimpulkan melalui risetnya bahwa:
situasi menyenangkan yang digabungkan dengan gaya kepemimpinan akan
menentukan efektivitas. Jadi, para pemimpin yang berorientasi pada tugas
cenderung berprestasi terbaik dalam situasi kelompok yang sangat
menguntungkan maupun tidak menguntungkan sekalipun. Pemimpin
berorientasi hubungan cenderung berprestasi terbaik dalam situasi-situasi yang
cukup menguntungkan, menunjukkan hubungan baik antara pemimpin dengan
pengikut.
Model kepemimpinan tersebut oleh Fiedler cenderung kembali pada konsep
kontinum perilaku pemimpin. Perbedaannya, situasi yang cenderung
menguntungkan dan cenderung tidak menguntungkan dipisahkan dalam dua
kontinum yang berbeda. Fiedler mendefinisikan situasi yang menguntungkan
sebagai kadar di mana situasi menguntungkan pemimpin melakukan pengaruh
terhadap kelompok. Karena situasi kepemimpinan bervariasi dari tinggi ke
rendah dalam ketiga variabel itu (hubungan pribadi, struktur tugas, dan kuasa
posisi), maka itu akan termasuk dalam salah satu dari kedelapan kombinasi
(situasi) tersebut. Situasi paling menguntungkan bagi para pemimpin untuk me-
mengaruhi kelompok mereka adalah situasi di mana mereka disukai para
anggotanya (hubungan yang baik antara pemimpin dengan pengikut), memiliki
posisi yang kuat (kuasa posisi yang tinggi), dan mengarahkan pekerjaan yang
ditetapkan dengan baik (struktur tugas yang tinggi).
Sebaliknva situasi paling tidak menguntungkan adalah situasi di mana
pemimpin tidak disukal, memiliki sedikit kuasa posisi, dan menghadapi tugas
yang tidak terstruktur seperti tugas-tugas pada kepanitiaan. Pada waktu
pengkajian kembali studi kepemimpinan sebelumnya dan analisis studi
kepemimpinan yang baru, maka Fiedler menyimpulkan (1) para pemimpin yang
berorientasi tugas cenderung berprestasi terbaik dalam situasi kelompok yang

7
apakah sangat menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan bagi
pemimpin; dan (2) para pemimpin yang berorientasi hubungan cenderung
berprestasi terbaik dalam situasi situasi yang cukup menguntungkan.
Apabila kuasa posisi pemimpin lemah, struktur tugas tidak jelas, dan
hubungan pemimpin dengan anggota cukup jelek. maka situasinya tidak
menguntungkan bagi pemimpin dan pemimpin yang efektif dalam situasi seperti
ini adalah pemimpin yang berorientasi pada tugas. Apabila kuasa posisi kuat,
struktur tugas jelas, dan hubungan pemimpin dengan anggota sangat baik,
situasi ini menguntungkan bagi pemimpin, maka situasi seperti ini pemimpin
yang berorientasi pada tugas merupakan pemimpin yang efektif. Tetapi apabila
situasi itu sekadar cukup menguntungkan atau kurang menguntungkan, maka
pemimpin yang berorientasi pada hubungan manusia merupakan pemimpin
yang paling efektif. Di antara kedua ekstrem, yaitu antara kuasa posisi kuat dan
kuasa posisi lemah Fiedler menekankan dan menyarankan adanya kerja sama
dan hubungan baik dengan anggota maupun orang-orang. Tujuan atau keluaran
dan struktur tugas yang jelas berarti mempermu- dah pemimpin melaksanakan
tugasnya.
Hasil studi Fiedler mendalilkan dua gaya utama kepemimpinan yaitu
berorientasi tugas (task oriented) dan pencapaian hubungan antar pribadi
(interpersonal relations) yang baik dan upaya pencapaian kedudukan pribadi
yang menonjol. Fiedler menemukan di bawah situasi yang sangat
menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan, tipe pemimpin yang suka
memerintah atau keras kepala dan otoriter terbukti paling efektif. Akan tetapi,
ketika situasi agak menyenangkan atau tidak menyenangkan, maka hubungan
manusia dan demokratis menjadi efektif. Situasi menguntungkan adalah sejauh
mana situasi tertentu memungkinkan pemimpin dapat memengaruhi suatu
kelompok. Gambar dibawah menunjukkan pemimpin yang berorientasi pada
manusia dan demokratis efektif di tingkat kesenangan sedang. Pada situasi ini,
seorang pemimpin mungkin tidak sepenuhnya diterima oleh anggota lainnya,
tugas mungkin tidak terstruktur secara lengkap, beberapa otoritas dan
wewenang diserahkan kepada pemimpin

8
Pada situasi yang relatif sangat tidak menyenangkan, model memprediksi
bahwa pemimpin yang berorientasi pada manusia dan demokratis menjadi
pemimpin yang efektif. Hal yang sama juga terjadi pada situasi yang agak
menyenangkan. Situasi yang agak tidak menyenangkan dan agak
menyenangkan menjadi biasa saja bagi penyelia dan manajer.
Implikasinya adalah dalam sikap berorientasi pada manusia secara umum,
gaya gaya kepemimpinan demokratis menjadi paling efektif untuk mengelola
sumber daya manusia pada mayoritas situasi organisasi. Pemimpin membuat
keputusan yang salah pada situasi yang sangat tidak menyenangkan mungkin
lebih baik daripada pemimpin yang tidak membuat keputusan sama sekali.
Intinya apa yang ditampilkan model Fiedler adalah jika keadaan menjadi sangat
tidak menyenangkan, pemimpin yang efektif mengambil alih dan mengambil
keputusan untuk memenuhi tugas tanpa menyenangkan semua orang. Fiedler
menyatakan pemimpin terutama dimotivasi oleh kepuasan dari hubungan antar-
pribadi, penyelesaian tugas sasaran. Pemimpin yang termotivasikan oleh
hubungan memperagakan perilaku berorientasi tugas dalam situasi
menguntungkan, memperkenankan mereka menjalankan pengaruh atas
kelompok kerja mereka, dan memeragakan perilaku berorieptasikan hubungan
dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Pemimpin yang termotivasi oleh hubungan akan lebih efektif dalam situasi
yang sebagian menguntungkan bagi pemimpin men- jalankan pengaruhnya, dan
mereka kurang efektif dalam situasi yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan. Hal berlawanan dengan yang berlaku dalam pemimpin yang
termotivasi oleh tugas, tidak efektif dalam situasi yang kurang menguntungkan.
Gaya kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah organisasi menurut Fiedler
bergantung pada situasi di mana pemimpin itu bckerja. Setelah mengumpulkan
model untuk mengklasifikasikan situasi-situasi kelompok, Fiedler berusaha
menentukan gaya kepemimpinan paling efektif yang berorientasi tugas atau
berorientasi hubungan bagi masing-masing delapan situasi itu (yaitu: sangat
efektif. lebih efektif, cukup efektif, efektif, sedikit efektif, kurang efektif, tidak
efektif, dan sangat tidak efektif).
Delapan situasi ini merupakan skala pengukuran Least Prefered Co- worker
(LPC) yang digunakan untuk riset berkenaan dengan hubungan antara
keefektifan pemimpin dan sifat pemimpin. Penilaian yang diberikan oleh
seorang pemimpin atas setiap skala sifat dua kutub (bipolar adjective scale)
yang diberi kode angka mulai hingga 8 (mulai tidak efektif sampai sangat
efektif). Scorang pemimpin yang kritis menilai teman kerja yang paling kurang
disukainya akan memperoleh skor LPC yang rendah. Adapun para pemimpin
yang pada umumnya tidak kritis menilai teman kerja yang paling kurang
disukainya akan memperoleh skor LPC yang tinggi. Motif utama seorang
pemimpin yang tinggi LPCnya adalah hubungan pribadi yang erat dengan orang
lain, termasuk dengan bawahan.
Pemimpin akan berorientasi pada tugas hanya jJika hubungan dengan
bawahannya sudah baik. Motif utama seorang pemimpin yang LPC-nya rendah

9
meliputi mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, dan ia akan cenderung
berorientasi pada tugas. Motif berikutnya dalami menciptakan hubungan yang
baik dengan para bawahan akan diusahakan banyak jika terdapat masalah kerja
yang serius. Fiedler berpandangan terlalu dini menentukan apakah interpretasi
LPC saat ini akan memberikan penjelasan memuaskan tentang hubungan yang
rumit dalam model kontingensi. Situasi yang baik menurut model kontingensi,
hubungan antara LPC pemimpin dengan pelaksanaan kerja bawahan banyak
ditentukan oleh dukungan (favorability) situasi kepemimpinan yang ditentukan
oleh (1) tingkat struktur pekerjaan; (2) posisi power pemimpin; dan (3)
hubungan pemimpin dengan bawahan. Sejauh mana pemimpin dapat
memengaruhi bawahan, tergantung pada masing-masing tiga aspek situasi
tersebut.
Bila pekerjaan sangat terstruktur, maka mungkinlah memerinci secara tepat
perilaku bawahan apa yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan itu secara
efektif. Kemudian mudah memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kerja
bawahan. Jika pemimpin memiliki jumlah position power yang besar, maka ia
dapat mengendalikan ganjaran, hukuman yang penting yang dapat digunakan
untuk menjamin kepatuhan bawahan terhadap perintah perintahnya. Bila
hubungan antara pemimpin dan bawahannya baik, maka ia akan memiliki
referent power untuk melengkapi position powernya. Hampir semua riset
kepemimpinan selanjutnya bersifat situasional, yaitu mempelajari keterkaitan
antara perilaku atau ciri pemimpin dan bawahan serta situasi dalam mana kedua
pihak itu berada.
Bila situasi sangat mendukung (misalnya pekerjaan yang terstruktur,
position power yang tinggi, hubungan pemimpin dengan bawahan baik) maupun
sangat tidak mendukung (misalnya pekerjaan tidak terstruktur, position power
yang rendah, hubungan pemimpin dengan bawahan Jemahl maka nemimnin
vang memiliki skar LPC rendah akan lebih efektif daripada pemimpin yang
memiliki skor LPC yang tinggi. Jika dukungan situasi sedang-sedang saja, maka
pemimpin dengan skor LPC tinggi akan lebih efektif daripada pemimpin yang
skor LPCnya rendah. Orang yang menyenangkan adalah yang memperoleh
kepuasan dari hubungan antarpribadi yang berhasil. Orang yang memandang
rendah rekan-rekananya dalam arti tidak menyenangkan dipandang memperoleh
kepuasan dari pelaksanaan tugas.
Fiedler menemukan orang-orang yang menghargai tinggi rekan kerjanya,
juga menghargai diri mereka cukup tinggi. Kesimpulannya, prestasi
kepemimpinan bergantung pada organisasi dan ciri-ciri pemimpin itu sendiri,
Pemimpin efektif mampu menciptakan lingkungan organisasi di mana
pemimpin itu dapat berprestasi dengan baik. Meskipun model Fledler berguna
bagi pemimpin, namun Fiedler cenderung kembali pada satu perilaku
pemimpin, dengan mengemukakan bahwa hanya ada dua gaya perilaku
pemimpin yang utama, yaitu yang berorientasi tugas dan yang berorientasi
hubungan. Fledler menyimpulkan bahwa gaya yang berorientasi pada tugas ada
gaya yang berorientasi pada kepuasan orang-orang tidak otomatis selalu baik.

10
Efektivitas kepemimpinan bergantung pada berbagai unsur dalam lingkungan
kelompok. Meskipun adanya kritik terhadap teori Fledler, penting diakui bahwa
gaya kepemimpinan efektif tergantung situasi.
Sekalipun ide ini bukan sesuatu yang baru, Fiedler dan koleganya
memusatkan perhatian pada fakta dan mendorong timbulnya berbagai
penelitian. Hampir semua bukti menunjukkan perilaku pemimpin dipolakan
pada dua poros terpisah dan bukan hanya satu kondisi saja. Pemimpin yang
tinggi perilaku tugasnya tidak berarti selalu tinggi atau rendah perilaku
hubungannya, salah satu bentuk kombinasi kedua dimensi itu dapat terjadi
(kontingensi). Kepemimpinan merupakan suatu proses memengaruhi tergantung
situasi tugas kelompok, kadar kesesuaian gaya, kepribadian, dan pendekatan
pemimpin terhadap kelompok. Orang-orang yang menjadi penmimpin menurut
Fiedler tidak hanya karena ciri-ciri kepribadiannya, tetapi juga karena adanya
berbagai faktor situasi serta interaksi antara pemimpin dengan situasi tersebut.
Di sinilah persoalannya, membahas dan mengkaji kepemimpinan bukan pada
gaya kepemimpinan yang paling baik, tetapi gaya kepemimpinan yang paling
efektif dalam situasi tertentu.

B. Penerapan Teori Situasional dalam kepemimpinan Keperawatan


Hasil penelitian (Napitupulu, 2020) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
situasional kepala ruangan berpengaruh terhadap penerapan prinsip etik keperawatan di
ruang rawat inap Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Mengacu pada hasil uji
statistik dapat dijelaskan bahwa menunjukkan terdapat nilai rata-rata paling tinggi adalah
gaya kepemimpinan situasional: partisipasi dengan nilai mean =66.79. Didukung dari hasil
bahwa gaya kepemimpinan situasional partisipasi memberikan peluang pada perawat
pelaksana dalam memberikan ide untuk membuat keputusan mengenai tugas yang akan
diambil. Kepala ruangan juga memberi kelonggaran kepada perawat pelaksana untuk
menetukan tindakan yang akan diambil akan tetapi kepala ruang turut mendampingi dalam
menyelesaikan tugas perawat pelaksana.
Hasil penelitian ini didukung oleh Isneini (2017) yang penyatakan bahwa gaya
kepemimpinan situasional: partisipasi kepala ruangan berhubungan dengan usaha-usaha
kepala ruangan untuk mendorong dan memudahkan partisipasi oleh perawat pelaksana
dalam membuat keputusan-keputusan yang tidak dibuat oleh kepala ruangan. Akan tetapi
kepala ruangan mengikutsertakan perawat dalam mengambil keputusan dan adanya gaya
kepemimpinan situasional: partisipasi terletak pada perilaku perawat yang didasarkan pada
persepsi perawat terhadap gaya kepemimpinan situasional yang digunakan. Seorang
perawat merasa nyaman dengan adanya peran serta kepala ruangan dalam menyelesaikan
tugasnya. Hal ini tampak diruangan kepala ruangan membantu perawat pelaksana
memberikan tindakan keperawatan seperti dalam situasi yang kurang kondusif, seperti
pada pasien yang mengalami pendarahan hebat sehingga terlihat adanya peran kepala
ruangan membantu melakukan pertolongan pertama agar pasien tidak mengalami
hipovolemik (kekurangan cairan). Gaya kepemimpinan situasional partisipasi yang
digunakan membantu perawat pelaksana dalam menyelesaikan tindakan keperawatan
untuk mengurangi terjadinya kesalahan dalam melakukan tindakan keperawatan.

11
Hasil penelitian ini didukung oleh Andrigue et al., (2016) yang menyatakan dalam
hasil penelitiannya gaya kepemimpinan situasional instruksi yang digunakan kepala
ruangan akan lebih mendukung kelancaran aktifitas pemberian asuhan keperawatan
dilakukan jika perawat belum mempunyai pengalaman kerja. Gaya kepemimpinan
situasional instruksi menggambarkan pola perilaku yang dimiliki kepala ruangan
dilakukan saat situasi yang tidak kondusif dan ditujukan pada perawat pelaksana yang
tidak memiliki pengalaman dalam pemberian asuhan keperawatan kegawat daruratan, hal
ini memberikan keleluasaan kepada perawat pemula dalam memberikan pelayanan
keperawatan terkhusus untuk pemberian asuhan keperawatan.
Menurut penelitian Syah & Tjahjono (2014) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta ada tiga kriteria gaya kepemimpinan yang dinilai oleh perawat pelaksana
ruang marwah yaitu consulting, participating dan delegating. Gaya kepemimpinan
situasional akan lebih flexible diterapkan ketika compleksitas karyawan semakin banyak.
Di ruangan keperawatan marwah ada beberapa disiplin praktisi yang ikut serta dalam
kegiatan rutinatas pemberian asuhan keperawatan seperti mahasiswa koners ataupun
mahasiswa D3 keperawatan yang sedang magang, bahkan mahasiswa coasisten
kedokteran yang mencari data untuk anamnesa ke pasien yang semuanya terkoordinir oleh
kepala ruangan. Gaya kepemimpinan situasional ini diterapkan dengan menyesuaikan
kondisi karyawan yang dihadapi.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa
kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin
diri sendiri.. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa
memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu
kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin
kuat pula yang dipimpin

13
DAFTAR PUSTAKA
Aisyafarda, J., & Sarino, A. (2019). Gaya Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah dan
Budaya Organisasi Sebagai Determinan Kinerja Guru. Jurnal Pendidikan Manajemen
Perkantoran (JPManper), 4(2), 228-237.
Andrigue, K. C. K., Trindade, L. L., Amestoy, S. C., & Beck, C. L. C. (2016). Situational
leadership style adopted by nurses in the hospital field. Rev Eletr Enferm., 18, e1191.
Arifin, F. (2014). Organizational Culture, Transformational Leadership, Work Engagement
and Teacher’s Performance : Test of a Model. International Journal of Education and
Research, 2(1), 1-14
Budiono. 2016. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Fhirawati dkk. 2020. Konsep Dasar Keperawatan. Makassar : Yayasan Kita Menulis
Ismainar, Hetty. 2018. Manajemen Unit Kerja. Yogjakarta : Deepublish.
Isnaeni, I. (2017). Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Dengan Kualitas
Dokumentasi Asuhan Keperawatan Di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Kota
Banda Aceh. Idea Nursing Journal, 8(1), 19-28.
Kamalia, Laode dkk. 2020. Manajemen Keperawatan. Bandung : CV. Media Sains Indonesia
Mugianti, Sri. 2016. Manajemen dan Kepemimpinan dalam Praktek Keperawatan. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Sagala, Syaiful. 2018. Pendekatan dan Model Kepemimpinan. Jakarta: Pranamedia Group.
Susanti, S Saodah, Dkk. (2020). Manajemen dan Kepemimpinan. Yayasan Kita Menulis
Syah, D. Z. R., & Tjahjono, H. K. (2014). Analisis Deskriptif Gaya Kepemimpinan
Situasional Kepala Ruangan Perawatan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. JMMR (Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit), 3(2).
Thoha., M. (2012). Prilaku Organisasi Konsep Dasar dan Implikasinya. Jakarta: PT. Grafindo
Persada.
Triwahyuni, L., Abdullah, T., & Sunaryo, W. (2014). The Effect of Organizational Culture,
Transformational Leadership and Self-Confidence to Teachers' Performance.
International Journal of Managerial Studies and Research (IJMSR), 2(10), 156-165.

14

Anda mungkin juga menyukai