Anda di halaman 1dari 5

Delneming adalah tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada orang

lain dalam jumlah tertentu yang turut serta, turut campur, turut berbuat membantu melakukan
agar suatu tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang yang lebih dari satu orang secara
bersama-sama melakukan tindak pidana, sehingga harus cari pertanggungjawaban dan peranan
masing-masing peserta dalam persitiwa pidana tersebut.
Tujuan deelneming adalah untuk minta pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang ikut
ambil bagian sehingga terjadinya suatu tindak pidana.

Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah :


1. Bersama-sama melakukan kejahatan.
2. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia
mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu
melaksanakan tindak pidana tersebut.

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya :


1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan
tindak pidana. Pertanggung jawaban masing2 peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala
perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk
melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada
perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.

Di dalam KUHP terdapat 2 bentuk penyertaan:


1. Para Pembuat (mededader) pasal 55 KUHP, yaitu:
a. yang melakukan (plegen)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen)
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)
2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) 56 KUHP

Pasal 56 KUHP menyebutkan pembantu kejahatan:


a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu/saat kejahatan dilakukan.
b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan
(sebelum kejahatan dilakukan)

Dengan demikian dapat diketahui siapa saja orang yang dapat membuat tindak pidana dan siapa
pula yang terlibat dalam terwujudnya tindak pidana :
1. Pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a) dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada
keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah
memenuhi seluruh unsur tindak pidana dalam undang-undang.
2. Para pembuat, ada 4 bentuk
3. Pembuat Pembantu.
Perbedaan antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah: para pembuat (mededader)
secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu
hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam melaksanakan tindak
pidana.
Pembuat yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah ia tidak melakukan tindap pidana secara
pribadi, melainkan secara bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana.
Apabila dilihat dari perbuatan masing2 peserta berdiri sendiri, tetapi hanya memenuhi sebagian
unsur tindak pidana. Dengan demikian semua unsur tindak pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan
satu peserta, tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.
Apabila dalam suatu tindak pidana tersangkut beberapa orang, maka pertanggungjawaban
masing-masing orang yang melakukannya adalah tidak sama, tergantung pada hubungan peserta
tsb terhadap perbuatan yang dilakukannya dalam suatu tindak pidana tsb.

Berdasarkan pendapat dari para ahli, deelneming terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Zelfstandige deelneming (Deelneming yang berdiri sendiri)
Artinya orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb diminta pertanggungjawabannya
secara sendiri.
2. On Zelfstanddige deelneming (Deelneming yang tidak berdiri sendiri)
Artinya pertangungjawaban orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb digantungkan
kepada orang lain yang turut melakukannya juga.

Orang-orang yang melakukannya dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :


1. Pleger (Orang yang melakukan).
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya
sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah
mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik
pidana dalam setiap pasal.
2. Doen Pleger (Orang yang menyuruh untuk melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen pleger sedikitnya harus ada dua orang, yaitu ada yang
menyuruh (Doen Pleger) dan yang disuruh (Pleger).
Sebab Doen Pleger adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak
melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang
dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh
melakukan. Dalam posisi yang demikian, Orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya
sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang
yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung
adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu
orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara
hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh
mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 44,
48, 49, 50 dan 51 KUH Pidana.
Contoh kasus :
Seorang Perwira Polisi bernama A ingin membalas dendam kepada seorang musuhnya bernama
B, untuk melakukan keinginannya tsb ia memerintahkan bawahannya, seorang Bintara Polisi
bernama C untuk menangkap B atas tuduhan telah melakukan suatu tindak pidana pencurian.
Dalam hal ini C tidak dapat dihukum atas perampasan kemerdekaan seseorang karena ia berada
dibawah perintah dan ia menyangka perintah itu ialah perintah syah. Sedangkan yang dapat
dihukum atas tuduhan perampasan kemerdekaan ialah sang Perwira Polisi bernama A.
3. Medepleger (Orang yang turut melakukan).
Turut melakukan berarti bersama-sama melakukan suatu tindak pidana. Sedikitnya harus ada 2
orang, ialah yang melakukan (Pleger) dan orang yang turut melakukan (Medepleger) tindak
pidana tsb. Kedua orang ini kesemuanya melakukan perbuatan pelaksanaan suatu tindak pidana
tsb.
Ada 2 syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana :
1. Kerjasama yang disadari antara para pelaku atau dalam kata lain suatu kehendak bersama
antara mereka.
2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu (kerjasama secara fisik).
Contoh kasus :
A dan B berniat mencuri dirumah C. A masuk dari atap rumah lalu membuka pintu untuk B
dapat masuk, Kedua-duanya masuk kedalam rumah dan mengambil barang milik C.
Disini C dihukum sebagai “Medepleger” karena melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian
tsb.

4. Uitlokker (orang yang membujuk untuk melakukan)


Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk
orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang
lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan
cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda
dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia
masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya.
Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-
akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana,
sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur
mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana
(medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak
pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut
dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang
membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk
apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil
bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus
benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri.
Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi
"turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika
inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan
"membujuk melakukan" (uitlokker).
RECIDIVE (PENGULANGAN TINDAK PIDANA)

   1.      Pengertian Recidive


Recidive atau pengulanagan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan
telah dijatuhi tindak pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
atau “inkracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. 
Perbedaannya dengan Concursus Realis adalah pada Recidive sudah ada putusan pengadilan
berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde”
sedangkan Concursus Realis terdakwa melakukan perbuatan pidana dan antara perbuatan satu
denagan yang lain belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
atau “inkracht van gewijsde”, . Recidive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang
akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal adad dua sistem Recidive antara lain:
 
1.             Sistem Recidive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam
waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak
ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivnya.

2.             Sistem Recidive Khusus


Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulanagan merupakan alasan pemberatan pidana.
Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana
tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

MENURUT KUHP

Dalam KUHP ketentuan mengenai Recidive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus
untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tegnggang waktu pengulangan yang
tertentu. Jadi denagan demikian KUHP termasuk kedalam Recidive khusus.

a.       Recidive Kejahatan


Recidive terhadap kejahatan dalam pasal : 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161 (2), 163(2), 208 (2),
216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemeberat, perlu
diingat bahewa mengenai tenggang waktu dalam Recidive tersebut tidak sama mislanya :
i.          Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun;
ii.         Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
iii.      Sedangkan untuk Recidive yang diatur dalam pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa
tindak pidana yang di ulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.

b.      Recidive Pelanggaran


Recidive dalam pelangaran ada 14 jenis tindak pidana yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan.
     3.  Recidive Di LUAR KUHP
   Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-undang :
i.                   Tidak pidana narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85 dan Pasal 87; tenggang waktu lima
tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga.
ii.                  Tindak pidana Pisikotropika (UU No 5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah sepertiga

Anda mungkin juga menyukai