Anda di halaman 1dari 27

Disusun Oleh :

Agung Prabowo

201720057
PENYERTAAN

Beberapa istilah penyertaan:

1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna)

2. Turut berbuat delik (Karni)

3. Turut serta (Utrecht)

4. Deelneming (Belanda), Complicity


(Inggris),Teilnahme/Tatermehreit (Jerman),Participation
(Perancis)
SIFAT PENYERTAAN

Strafausdehnungsgrund (dasar Tatbestandausdehnungsgrund


memperluas dapat dipidananya (dasar memperluas dapat
seseorang) : dipidananya perbuatan) :

•Dipandang sebagai persoalan •Dipandang bentuk khusus dari


pertanggungjawaban pidana tindak pidana
•Bukan suatu delik, bentuk tidak •Suatu delik, bentuk istimewa
sempurna •Pompe, Mulyatno, Roeslan Saleh
•Simons, Van Hattum, Hzewinkel-Suringa

Catatan:
Moelyatno : Pandangan Pertama sesuai dengan alam/pandangan individual karena
merupakan “strafbaarheid van de persoon” (hal dapat dipidananya seseorang),
pandangan kedua sesuai dengan alam Indonesia karena perbuatan yang tidak boleh
dilakukan “strafbaarheid van het feit” (hal dapat dipidananya perbuatan)
Penyertaan menurut KUHP Indonesia
1. Pembuat/Dader (pasal 55), terdiri dari :
a. pelaku (pleger)
b. yang menyuruh lakukan (doenpleger)
c. yang turut serta (medepleger)
d. penganjur (ultlokker)
2. Pembantu/Mendeplichtige (pasal 56), terdiri dari :
a. pembantu pada saat kejahatan dilakukan
b. pembantu sbelum kejahatan dilakukan
PENGERTIAN PEMBUAT

Pandangan yang luas (extensief) Pandangan yang sempit (restrictief)

Pembuat : tiap orang yang


Pembuat : hanya orang yang melakukan
menimbulkan akibat yang
sendiri perbuatan yang sesuai dengan
memenuhi rumusan delik.
rumusan delik. Psl. 55 ayat 1
• MvT
•HR
• Pompe
•Simons
• Hazewinkel-Suringa
•Van Hamel
• Van Hattum
•Jonkers
• Mulyatno
1. Pleger (Pelaku)
Pelaku (Pleger) adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang
memnuhi rumusan delik.
2. Doenpleger (Orang yang menyuruh melakukan)
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan
perantaraan orang lain, sedangkan perantara ini hanya diumpamakan
sebagai alat.
Ada 2 pihak dalam Doenpleger :
a. Pembuat langsung ( onmiddelijke dader, auctor physicus, manus ministral )
b. Pembuat tidak langsung ( onmiddelijke dader, doenpleger, auctor
intellectualis/moralis, manus dominal )
Unsur-Unsur Doenpleger :

a. Alat yang dipakai adalah manusia

b. Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati)

c. Alat yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggung


jawabkan” = merupakan ciri Doenpleger
Hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak
dipertanggung jawabkan :

a. Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya/rusak


jiwanya (psl. 44)

b. Bila ia berbuat karena daya paksa (psl. 48)

c. Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak


sah (psl. 51 ayat 2)

d. Bila ia keliru (sesat) mengenai salah satu unsur delik

e. Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang


disyaratkan untuk kejahatan yang bersangkutan.
Dalam hal pembuat materiil (alat), seorang
yang belum cukup umur maka tidak akan menyuruh
lakukan, karena pada dasarnya KUHP menganggap
orang yang belum cukup umur itu tetap mampu
bertanggung jawab (psl. 45 jo 47). Namun, apabila
yang disuruh masih sangat muda yang belum begitu
sadar akan perbuatannya, maka dalam hal ini
dimungkinkan ada menyuruh-lakukan
Orang yang menyuruh-lakukan (doenpleger) harus/tidak
harus mempunyai kualitas sebagai pelaku :
1. Pendapat pertama “harus”
Karena tidak mungkin seseorang menyuruh orang lain
melakukan yang seseorang itu tidak dapat melakukannya.
2. Pendapat kedua “tidak harus”
Ada beberapa pendapat, antara lain :
a. Pompe
Menyuruh melakukan delik jabatan tidak hanya terdapat
apabila pembuat materiilnya adalah seorang pejabat dan yang
menyuruh-lakukan bukan pejabat, sebaliknya apabila
pelaksanaannya bukan yang sedang meyuruh-lakukan itu
adalah pejabat.
b. Hazewinkel-Suringa

Seorang peserta itu bukannya dipidana karena ia melakukan


perbuatan (pidana), akan tetapi ia justru dipidana walaupun ia tidak
melakukan perbuatan.

c. Arrest HR (21 April 1913 : kasus walikota Zaandam)

Bahwa pasal 55 tidak menyatakan bahwa mereka yang


menyuruh-lakukan dipidana sebagai dader, sehingga untuk
menjadikan onmodellijke dader (doenpleger) tidak perlu ada
pembuat materiil (alat)
3. Medepleger (Orang yang turut serta)
Ada beberapa pengertian :
a. MvT
Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah
orang yang dengan sengaja turut serta berbuat atau turut
mengerjakan terjadinya sesuatu.
b. Pompe
Turut mengerjakan terjadinya suatu tindak pidana,
ada 3 kemungkinan :
 Mereka masing-masing memnuhi semua unsur dalam
rumusan delik
 Salah seorang memenuhi semua unsur delik sedang yang
lain tidak
 Tidak seorang pun memnuhi unsur-unsur delik
Syarat adanya medepleger :

1. Ada kerja sama secara sadar (bewuste samenwerking)

Untuk bekerja sama yang sempurna dan erat serta

ditujukan kepada hal-hal yang dilarang oleh undang-undang.

1. Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke

uitvoering/physieke samenwerking)

Perbuatan pelaksanaan harus ada kerja sama yang erat dan

langsung.
Pada turut serta, kesengajaannya ditujukan kepada :
1. Kerja sama dengan orang lain (ditujukan pada perbuatan)
2. Tercapainya hasil yang merupakan delik (ditujukan pada akibat)
Dalam delik culpa, orang tidak menghendaki terjadinya
akibat. Kalau kesengajaan orang yang turut serta juga harus
ditujukan untuk timbulnya delik culpa tersebut, maka jelas tidak
mungkin ada turut serta melakukan secara culpa.
Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya cukup ditujukan
kepada adanya kerjasama, ialah kepada perbuatan yang dilakukan
bersam, maka mungkin ada turut serta melakukan secara culpa.
4. Uitlokker (Penganjur)

Penganjur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk


melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
ditentukan oleh Undang-Undang.

Jadi, hampir sama dengan menyuruh-lakukan (doenpleger), pada

penganjuran (uitlokking) . Berikut perbedaannya


PENGANJURAN MENYURUH-LAKUKAN

1. Menggerakkannya dengan sarana- 1. Sarana menggerakkannya tidak


sarana tertentu ditentukan (tidak limitatif)
2. Pembuat materiil dapat 2. Pembuat materiil tidak dapat
dipertanggung jawabkan (tidak dipertanggung jawabkan
merupakan manus ministral) (merupakan manus ministral)
Syarat penganjuran yang dapat dipidana :
1. Ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan
perbuatan yang dilarang
2. Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-
sarana) seperti tersebut dalam Undang-Undang (bersifat limitatif)
3. Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-
hal tersebut pada 1 dan 2 (jadi ada psychische causaliteit)
4. Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang
dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.
5. Pembuat materiil tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan
dalam hukum pidana.
Kemungkinan penganjuramn untuk melakukan delik culpa :
1. Tidak Mungkin : Sifat khas dari uitlokking ialah membujuk
terjadinya perbuatan dengan sengaja. ( van Hamel)
2. Mungkin
Menurut Simons , bukan mustahil dalam bentuk demikian
seseorang dapat membujuk terjadinya suatu perbuatan dengan
pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan perbuatan itu
dapat mengira-ngirakan kemungkinan terjadinya akibat yang tidak
dikehendaki atau dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat
tersebut.
Sedangkan menurut Pompe, orang nyata-nyata dapat sengaja
menyuruh orang lain untuk melakukan delik culpa, dalam arti
orang itu sebagai pembujuk mempunyai kesengajaan untuk
menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang ternyata
suatu delik culpa dan inklusif dalam perbuatan sengaja itu
termasuk kealpaan, dan yang dibujuk dan pembujuk mempunyai
kealpaan yang disyaratkan oleh Undang-Undang
PENGANJURAN YANG GAGAL
Penganjuran yang gagal terjadi apabila seseorang telah
sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu
tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam
psl. 55 ayat 1 ke-2, tetapi orang lain itu tidak mau melakukan
atau mau melakukan tetapi gagal.
Pandangan tentang penganjuran yang gagal dapat
dipidana atau tidak :
1. Pandangan pertama
Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang
bersifat accessoire (tidak berdiri sendiri). Penganjur dipidana
apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat
dipidana, (Hazewinkwl-Suringa, Simons, van Hamel, Vos)
2. Pendapat Kedua
Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak
accessoire (berdiri sendiri/tidak bergantung pada yang lain)
Dalam hal ini, penganjur tetap dapat dipidana walaupun
tindak pidana yang dianjurkan kepada pelaku terjadi. Jadi,
“percobaan penganjuran dapat dipidana”. (Blok, Jonkers,
Pompe, van Hattum)

Pandangan accessoiriteit sesuai dengan pandangan dualistis


(Prof. Ruslan Saleh) , ada 2 sudut :
a. Perbuatan : Sifat melawan hukum perbuatan dari pembuat atau
pembantu timbul jika perbuatannya dihubungkan dengan pelaku
atau peseta lainnya.
b. Pertanggung jawaban : Tiap peserta dipertanggungjawabkan
sendiri-sendiri menurut sikap batin masing-masing dengan apa
yang diperbuatnya.
PEMBANTUAN (MEDEPLICHTIGE)

SIFAT JENIS (ps. 56 KUHP)

Tanggung
Perbuatan Jenis I Jenis II
jawab

Bersifat •Waktu :
accessoir •Waktu : pada sebelum
Bersifat tidak kejahatan
artinya adanya saat kejahatan
accessoir dilakukan
pembantuan dilakukan
artinya
harus ada orang
dipidananya •Cara :
yang •Cara : tidak
pembantu tidak ditentukan
melakukan dientukan
tergantung pada secara limitatif
kejahatan secara limitatif
bisa tidaknya dalam Undang-
(harus ada dalam Undang-
pelaku dipidana Undang
orang yang Undang
dibantu) (memberi
kesempatan,
sarana atau
keterangan)
Perbedaan pembantuan jenis I dengan turut
serta (medeplegen)
PEMBANTUAN JENIS I TURUT-SERTA
a. Menurut ajaran penyertaan a. Menurut ajaran obyektif :
objektif : • Perbuatannya merupakan
• Perbuatannya hanya merupakan perbuatan pelaksanaan
perbuatan membantu/menunjang (uitvoeringshandelling)
(ondersteuningshanling) b. Menurut ajaran subjektif :
b. Menurut ajaran subyektif : • Kesengajaannya merupakan
• Kesengajaannya merupakan animus coauctores (diarahkan
animus socili (hanya untuk untuk terwujudnya delik)
memberi bantuan saja pada orang • Harus ada kerja sama yang
lain) disadari (bewuste samenwerking)
• Tidak harus ada kerja sama yang • Mempunyai kepentingan/tujuan
disadari (beweste samenwerking) sendiri
• Tidak mempunyai c. Terhadap kejahatan maupun
kepentingan/tujuan sendiri pelanggaran dapat dipidana
c. Terhadap pelanggaran tindak d. Maksimum pidananya sama
pidana (ps. 60 KUHP) dengan si pembuat (ps. 55 KUHP)
d. Maksimum pidana dikurang 1/3
(ps. 57 ayat 1 KUHP )
perbedaan pembantuan jenis II dengan
penganjuran (uitlokking)

PEMBANTUAN JENIS II PENGANJURAN (UITLOKKING)

Kehendak untuk melakukan Kehendak jahat pada pembuat


kejahatan pada pembuat materiil materiil sudah ada sejak semula
ditimbulkan oleh penganjur (ada (tidak ditimbulkan oleh pembantu)
kausalitas psikis)
TEORI PENYERTAAN

OBJEKTIF SUBJEKTIF

Berasal dari para jurist


Berasal dari hukum (hakim) Italia dalam abad pertengahan.
Romawi, yang mana tiap-tiap Yang mana tiap-tiap peserta tidak
peserta sma nilainya (sama jahatnya) dipandang sama nilainya (sama
dengan orang yang melakukan jahatnya), tergantung perbuatn yang
tindak pidana, sehinggatanggung dilakukan. Oleh karena itu,
jawab mereka sama dengan pelaku. pertanggungjawabannya berbeda, ada
Terdapat dalam Code kalanya sama berat atau lebih ringan
Penal Perancis dan Inggris dari pelaku.
Dianut dalam KUHP Jerman dan Swiss
PERTANGGUNG JAWABAN PEMBANTU
Pada prinsip KUHP menganut sistem bahwa pidana pokok
untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip tersebut
tercantum dalam Pasal 57 ayat 1 dan 2, yaitu :
1. Maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi 1/3 (ayat 1)
2. Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup,
maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara
(ayat 2)
Namun ada pengecualian dalam prinsip ini, yaitu :
1. Pasal 333(4) : “Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat”.
2. Pasal 231 (3) : “Pembantu dipidana lebih buat dari si pembuat”.
Penyertaan yang tidak dapat dihindarkan
Misal :
1. Pasal 149 : menyuap atau membujuk seseorang untuk tidak
menjalankan hanya untuk memilih.
2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas militer
negara asing.
3. Pasal 279 : bigami
4. Pasal 284 : perzinahan
5. Pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan anak
perempuan di bawah umur 15 tahun
6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
Dalam contoh di atas, delik baru terjadi apabila orang lain
yang berbuat ada , apabila tidak ada maka delik tersebut tidak
terjadi. Inilah yang dimaksud dengan penyertaan yang tidak
dapat dihindarkan.
Tindakan-tindakan sesudah terjadinya tindak
pidana
Misal :
1. Pasal 221 : menyembunyikan penjahat
2. Pasal 223 : menolong orang melepaskan diri dari tahanan
3. Pasal 480, 481, 482 : delik-delik penadahan
4. Pasal 483 : menerbitkan tulisan/gambar yang dapat dipidana karena
sifatnya
Dalam contoh di atas, juga merupakan bentuk penyetaan tetapi
yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam ilmu
hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah “Nachtaterschaft”
atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk pemudahan)
Perbuatan penyertaan pada penyertaan
(deelneming aan deelnemingshandelingen)
Misal :
1. Membujuk untuk membujuk ( pasal 55 jo. 55 )
 Putusan Landraad Batavia 18/02/1936
 Putusan Rv J Batavia 20/03/1936
 Putusan Rv J Semarang 20/12/1937
2. Membujuk untuk membantu ( pasal 55 jo. 56)
 Putusan Rv J Batavia 08/05/1930
3. Membantu untuk menganjurkan ( pasal 56 jo. 55)
 Putusan Hoge Raad 25/01/1950

Anda mungkin juga menyukai