C. Unsur Percobaan
1. Niat (voornemen)
a. Menurut Suringa sama dengan kesengajaan, yang mengandung :
- Rencana untuk melakukan perbuatan tertentu yang ada dalam pikiran
- Mengandung bagaimana perbuatan akan dilakukan
- Memperkirakan akibat-akibat lain yang akan terjadi
b. Menurut Simons, Van Hamel, Zevenbergen, dan Pompe :
Niat sama dengan sengaja. Niat dimaksudkan suatu tertentu oleh seorang pelaku
c. Menurut Vos :
Niat sama dengan sengaja, pelaku harus bertindak dengan sengaja. Ada unsur
kesengajaan
d. Menurut Moeljatno :
Niat tidak sama dengan sengaja. Niat merupakan subjective onrechtelement (sikap
batin). Sengaja merupakan objective onrechtelement (sudah dilakukan dalam bentuk
perbuatan)
Sengaja merupakan niat yang sudah diwujudkan dalam perbuatan nyata. Ada
permulaan.
4. Penentuan Kehendak
1. J. Remmelink:
Dasar penentuan secara sukarela tidak jadi melakukan perbuatan pidana dapat
disimpulkan dari pertimbangan akal-budi dan dari pertentangan antara motif dan
kontra motif. Contoh dalam kasus kesaksian palsu (putusan Hoge Raad 9
Agustus1889 W 5742) terdakwa menarik kesaksian yang telah diberikan karena
takut dengan ancaman pidana yang disampaikan hakim.
2. Vos
Sependapat dengan putusan tersebut (terdakwa tidak dapat dipidana karena
menarik keterangan yang telah diberikan)
3. van Bemmelen dan van Hattum
Tidak sependapat dengan putusan Hoge Raad di atas, karena perbuatan saksi
mencabut keterangan didasari rasa takut dipenjara (bukan alasan suka rela)
D. Bentuk Percobaan
1. Percobaan Terhenti dan Percobaan Berlanjut
Percobaan terhenti (gechorte poging atau delik tentative), yaitu suatu
percobaan namun calon korban selamat, karena kemampuan korban. Misalnya
pelaku mau bunuh korban, dengan cara menusukkan pisau, namun karena
korban mampu mengalahkan/melumpuhkan pelaku maka kejahatan yang
dilakukan tidak terwujud.
Percobaan berlanjut (voltoode poging atau delict mqncue), yaitu suatu
percobaan pembunuhan, yang hendak menggunakan senapan, namun ketika
senapan sudah ditembakkan ke korban, ternyata meleset kena perut korban.
2. Percobaan Mampu dan Tidak Mampu
Mampu atan tidak mampunya dilihat dari:
1) Ketidakmampuan pelaku, dilihat dari sisi pelaku. Terkait dengan
kemampuan untuk mewujudkan niatnya.
2) Keidakmampuan sarana atau alat, dibagi menjadi dua yaitu relative dan
absolut.
3) Ketidakmampuan tentang obyek, adalah terkait dengan sasaran atau
tujuan perbuatan pidana dilakukan.
Mengenai teori kemampuan atau ketidakmampuan pelaku, alat, dan obyek pada
umunya para ahli bersepakat, bahwa ada percobaan kalau terdapat keadaan yang
membahayakan bagi korban (akibat yang dituju).
E. Sanksi Pidana
1) Ancaman pidana berdasarkan perbuatan pidana yang dilakukan dikurangi 1/3.
2) Perbuatan pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup diancam
pidana paling lama 15 tahun.
3) Pidana tambahan sama dengan perbuatan pidana selesai.
4) Percobaan melakukan pelanggaran tidak dijatuhi pidana
F. Penyertaan (Deelneming, Complicity)
Tempat pengaturan Buku I, Bab VII, Pasal 55 s/d 60 KUHP.
Kedudukan palaku dalam penyertaan:
1) Orang yang melakukan (pleger).
2) Orang yang menyuruh lakukan (doenpleger).
3) Orang yang turut serta melakukan (medepleger).
4) Orang yang menganjurkan (uitlokker).
5) Orang yang membantu (sebelum/sesudah) terjadi kejahatan
(medeplechtige)
N. Syarat Penyertaan
1) Kesengajaan untuk menggerakan atau menganjurkan orang lain melakukan perbuatan
pidana.
2) Ada orang lain yang yang melakukan perbuatan yang dianjurkan/digerakan.
3) Orang yang dianjurkan melakukan pebuatan atau percobaan melakukan perbuatan
yang dianjurkan.
4) Cara melakukan penganjuran seseuai dengan rumusan Undang-Undang.
5) Orang yang dianjurkan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
O. Pembantuan
1) Bentuk pembantuan : (a). Membantu pada waktu perbuatan dilakukan dan (b).
membantu untuk melakukan kejatahan.
2) Pembantu harus tahu tentang apa yang harus diperbuat dan cara membantunya.
3) Kesengajaan membantu harus ditujukan kepada semua unsur perbuatan pidana dan
terhadap unsur-unsur yang oleh Undang-Undang tidak disyaratkan, bahwa
kesengajaan pelaku harus ditujukan pada unsur-unsur delik (Simons).
4) Jika suatu delik dirumuskan dengan sengaja maka membantu harus diperlukan adanya
kesengajaan, namun jika dirumuskan sebagai kealpaan, maka adanya kealpaan dalam
pembantuan sudah cukup memenuhi unsur delik.
Menurut ahli :
a. Hazewinkel suringa
Bila ada perbuatan yang sudah memenuhi satu rumusan delik, mau tidak mau masuk pula
dalam peraturan hukum pidana yang lain.
Satu perbuatan melanggar lebih dari satu peraturan hukum pidana.
Contoh : Perkosaan di tempat umum; melanggar Pasal 285 (Perkosaan, 12 th) dan Pasal
281 (Kesusilaan, 2 th 8 bulan)
b. Taverne
Bila ada satu perbuatan yang dipandang dari sudut hukum, ada dua atau lebih perbuatan
pidana. Antar perbuatan-perbuatan itu tak dapat dipikirkan secara terlepas satu sama lain.
Contoh :
a) Orang mabuk mengendarai mobil tanpa lampu
Orang mabuk + Orang mengendarai mobil tanpa lampu concorsus realis
b) Seseorang menembak orang yang ada di luar jendela kaca
Kaca pecah + Orang meninggal concorsus realis
c. Simons :
A ingin membunuh B, B ditembak, tapi di belakang B ada C. yng menyebabkan B dan
C mati. Maka merupakan eendadse samenloop homogentes melanggar satu peraturan
tapi korbannya 2, maka dianggap melakukan 2 kejahatan.
2. Perbarengan Perbuatan/Concorsus Realis/Merdadse Samenloop
Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan yang
berdiri sendiri sebagai perbuatan pidana yang belum pernah dijatuhi pidana oleh hakim
dan diadili sekaligus. Menggunakan teori pemidanaan absorbsi dipertajam/kumulasi,
tergantung dari yang paling menguntungkan pelaku. (Pasal 65)
Perbuatannya : 1) Sejenis : mencuri di beberapa tempat dalam waktu hampir bersamaan
2) Tidak sejenis : mencuri, membunuh, memperkosa di waktu bersamaan
3. Perbuatan Berlanjut
Melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan yang berdiri
sendiri sebagai perbuatan pidana yang perbuatan yang satu dengan yang lain ada hubungan
sedemikian rupa, sehingga dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
B. Asas Pemidanaan :
1. Asas minimum umum : pidana penjara/kurungan, min 1 hari
2. Asas maksimum umum : Penjara maks 15 th + pemberatan (1/3 pidana pokok) 20 th
Kurungan maks 1 th + pemberatan (1/3 pidana pokok) 1th 4 bl
3. Asas minimum khusus : ancaman pidana minimal diatur/ada di dalam pasal tersebut.
4. Asas maksimum khusus : ancaman pidana maksimal diatur/ada di dalam pasal tersebut.
KUHP mengikuti asas 1, 2, 4. Kecuali minimum khusus UU Psikotropika
C. Sistem Pemidanaan :
1. Absorbsi : pidana yang paling banyak dapat dijatuhkan pada pelaku adalah 1 perbuatan
pidana saja, dengan ancaman yang paling tinggi/berat.
2. Kumulatif : semua ancaman pidana ada yang dijumlahkan tanpa ada pegurangan. Biasanya
pada pidana pelanggaran.
3. Absorbsi dipertajam : pidana yg paling banyak dijatuhkan adalah pidana dengan ancaman
pidana paling berat, ditambah 1/3 dari msa pidana tersebut.
4. Kumulasi diperlunak/terbatas/sedang : semua ancaman pidana dijumlahkan, tapi tidak
boleh lebih dari ancaman pidana yang paling berat ditambah 1/3.
-KUHP pasal 63 (mengatur Concorsus Idealis) --- menggunakan teori pemidanaan absorbsi (1
pidan yang paling berat)
-KUHP ps. 62 (2), bila 1 perbuatan yang memenuhi lebih dari 1 peraturan hukum pidana, tapi
peraturan yang dilanggar adalah aturan umum dan aturan khusus, maka bagi pelaku, pidana yang
paling banyak dijatuhkan adalah yang diatur dalam aturan khusus. Cth : Ibu membunuh anak
yang baru dilahirkan, maka ia diancam dengan pasal 338 dan 341 --- pembunuhan berencana
(15th) dan pembunuhan anak kandung (7th), maka ia dijatuhi pidana 7tahun atas dasar lex
specialis.
-KUHP pasal 65-70 a.. (mengatur concorsus realis)\
Beberapa perbuatan pidana, dnegan ancaman perbuatan pidana yang sejenis, mka perbuatan
pidana dengan ancaman yang paling berat ditambah 1/3 ---- absorbsi dipertajam
Namun tidak menutup kemungkinan diguunakan sistem kumulasi, apbila sistem kumulasi ini
lebih ringan bagi pelaku daripada sistem absorbs diertajam.
Semua ancaman yang ada dijumlahkan tetapi tidak boleh melebihi dari perbutan dengan
ancaman pidana yang palig berta ditambah 1/3.
-pasal 10 KUHP, penentuan beratnya ancaman pidana, bukan lamanya waktu.
-pasal 70 KUHP, jika ada perbarengan, pelanggaran-prlanggaran dijumlahkan tanpa ada
pengurangan.
-Concorsus Realis untuk kejahatan ringan(penganiayaan hewan ringan, penganiayaan
ringan(1352), pencurian ringan(364), penggelapan ringan(373), penipuan ringan(379),
penadahan ringan(482)---3bln penjara.
-Concorsus realis terhadap kejahatan ringan dipergunakan sistem pemidanaan kumulasi, tapi
apabila dijatuhi hukuman pidana penjara, maka pidana penjara yang paling banyak dijatuhkan
adalah 8 bulan.
---perbuatan pidana tertinggal
-jika seseorang telah dijatuhi pidana, dipersalahkan pula melakukan kejahatan, sebelum dia
dipidana, maka pidana yang lebih dahulu diperhitungkan pula pada pidana yang akan dijathkan
dengan menggunakan aturan-aturan mengenai perkara-perkara di saat yang sama.
-walaupun terdakwa terbukti bersalah, tapi hakim tidak dapat lagi menjatuhkan pidana, karena
pidan yang dijatuhkan lebih dahulu merupakan pidana maksimal (pengecualian con.realis) (pasal
71(2)).
Penafsiran historis :
1. Beberapa perbuatan itu harus timbul dari satu kesatuan kehendak
2. Antara perbuatan satu dengan yang lain, waktunya tidak terlampau lama
3. Perbuatannya sejenis
-Kejahatan berlanjut untuk kejahatan berlanjut, sistem pemidanaan yang digunakan kumulasi
murni, tapi jika kejahatan ringan dalam perbuatan berlanjutn dilakukan 3X atau lebih, maka
pidana yang paling banyak dapat dijatuhkan oleh hakim sama dengan ancaman perbuatan itu
sendiri.
-Recidive (pengulangan)
Seseorang melakukan perbuatan pidana sudah dijatuhkan pidana oleh hakim, mempunyai
kekuatan hukum tetap / inkracht, kemudian dia melakukan perbuatan pidana lagi, terkait dengan
pemberatan pidana. Ada 2 macam :
1. Generale recidive (umum), seseorang melakukan perbuatan pidana telah dijatuhi pidana
oleh hakim, mempunyai kekuatan hukum tetap / inkracht, kemudian dia melakukan
perbuatan pidana lagi. Jenis perbuatan yang dilakukan dalam waktu kapanpun,
merupakan alasan pemberatan pidana.
2. Special recidive (khusus), seseorang melakukan perbuatan pidana telah dijatuhi pidana
oleh hakim, mempunyai kekuatan hukum tetap / inkracht, kemudian dia melakukan
perbuatan pidana lagi yang sama dalam waktu yang ditentukan.
*KUHP juga menyaratkan adanya tenggang waktu tertentu.
3. Tussen Stelsel (recidive tengah), bahwa ditentukan tenggang waktunya tapi
pengulangannya tidak harus perbuatan pidana yang sama namun harus sejenis.
*KUHP mengikuti Recidive Tengah
V. Delik Kejahatan Dalam Buku II KUHP
Buku II KUHP berisi 31 bab. 30 bab tentang kejahatan, dan 1 bab tentang recidive.
Delik :
a. Delik Materiil : delik yang menitikberatkan pada akibat
b. Delik Formil : delik yang menitikberatkan pada perbuatannya