Anda di halaman 1dari 21

I.

Percobaan dan Penyertaan


A. Kedudukan Delik Percobaan
1. Percobaan sebagai delik (Hazewinkel Suringa)
a. Percobaan sebagai dasar untuk memperluas dapar dipidananya orang
b. Percobaan tidak memperluas adanya delik
c. Percobaan dipandang sebagai delik yang tidak sempurna
2. Percobaan bukan sebagai delik yang berdiri sendiri (Prof. Moeljatno)
a. Tidak mungkin ada pemisahan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana
b. Ada beberapa percobaan yg dirumuskan KUHP sebagai delik yang selesai berdiri
sendiri (Pasal 104, 106, 107)
c. Dalam delik adat tidak dikenal adanya percobaan
3. Pandangan Prof. Eddy
a. Percobaan adalah delik yang tidak selesai. Percobaan bukanlah delik yang berdiri
sendiri
b. Karena bab tentang percobaan diatur dalam buku I KUHP
c. Dalam dakwaan, percobaan di juncto-kan dengan tindak pidana pokoknya
d. Ancaman pidana maksimumnya dikurangi 1/3 (Pasal 54 ayat 2 KUHP) sebagai
konsekuensi yang logis terhadap pidana yang tidak selesai

B. Dasar/Teori Pemidanaan Tindak Pidana Percobaan


1. Teori Subjektif (perbuatan pelaku) Van Hamel
a. Pemidanaan didasarkan pada sifat bahayanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
b. Pidana bermaksud untuk menghukum perilaku jahatnya
c. Pengaruh ajaran kesengajaan, yang memandang niat atau maksud jahat yg ada dalam
pikiran pelaku

2. Teori Objektif (akibat perbuatannya) Simons, Duynstee, Zevenbergen


a. Pemidanaan didasarkan pada sifat bahayanya perbuatan bagi masyarakat
b. Obyektif formil : dasar pemidanaan percobaan karena sifat bahayanya perbuatan
terhadap tata hukum
c. Obyektif materiil : dasar pemidanaan percobaan karena sifat bahayanya perbuatan
terhadap kepentingan hukum
3. Teori Campuran (Sifat bahayanya perbuatan oleh pelaku dan bagi masyarakat)
Moeljatno
a. Sifat bahayanya perbuatan oleh pelaku dan sifat bahayanya perbuatan bagi masyarakat
b. Sifat bahayanya pelaku ditandai dengan adanya niat untuk melakukan kejahatan dan
sifat bahayanya perbuatan ditandai dengan adanya permulaan pelaksanaan
c. Teori subjektifnya terletak pada subjek yang berupa kesengajaan pelaku,
Teori objektifnya terletak pada perbuatan pelaku

C. Unsur Percobaan
1. Niat (voornemen)
a. Menurut Suringa sama dengan kesengajaan, yang mengandung :
- Rencana untuk melakukan perbuatan tertentu yang ada dalam pikiran
- Mengandung bagaimana perbuatan akan dilakukan
- Memperkirakan akibat-akibat lain yang akan terjadi
b. Menurut Simons, Van Hamel, Zevenbergen, dan Pompe :
Niat sama dengan sengaja. Niat dimaksudkan suatu tertentu oleh seorang pelaku
c. Menurut Vos :
Niat sama dengan sengaja, pelaku harus bertindak dengan sengaja. Ada unsur
kesengajaan
d. Menurut Moeljatno :
Niat tidak sama dengan sengaja. Niat merupakan subjective onrechtelement (sikap
batin). Sengaja merupakan objective onrechtelement (sudah dilakukan dalam bentuk
perbuatan)
Sengaja merupakan niat yang sudah diwujudkan dalam perbuatan nyata. Ada
permulaan.

2. Ada permulaan pelaksanaan


a. Van Hamel, Pompe, Van Bammelen, dan Van Hattum, permulaan pelaksanaan harus
diartikan sebagai permulaan pelaksanaan kejahatan.
b. MvT : perbuatan persiapan & pelaksanaan
c. Simons :
- Pada delik formil, permulaan pelaksanaan diwujudkan dengan pelaksanaan
perbuatan sebagaimana dalam rumusan delik
- Pada delik materiil, diwujudkan dengan perbuatan tertentu yang sifatnya
menimbulkan perbuatan yang dilarang
d. Teori subjektif dan objektif
- Teori subjektif : mendasarkan pada sifat bahayanya pelaku.
- Teori objektif : mendasarkan pada sifat bahayanya perbuatan.

3. Tidak selesainya perbuatan bukan atas kemauan sendiri


1. Memorie van Toelichting:
Negara (Hukum Pidana) menjamin terhadap orang yang mempunyai kehendak
sendiri untuk tidak melakukan perbuatan pidana.
2. Vos:
Merupakan unsur tambahan yang menyebabkan pelaku dapat dipidana.
3. Pompe:
Merupakan alasan penghapus pidana
4. Moeljatno:
Merupakan alasan penghapus penuntutan.

4. Penentuan Kehendak
1. J. Remmelink:
Dasar penentuan secara sukarela tidak jadi melakukan perbuatan pidana dapat
disimpulkan dari pertimbangan akal-budi dan dari pertentangan antara motif dan
kontra motif. Contoh dalam kasus kesaksian palsu (putusan Hoge Raad 9
Agustus1889 W 5742) terdakwa menarik kesaksian yang telah diberikan karena
takut dengan ancaman pidana yang disampaikan hakim.
2. Vos
Sependapat dengan putusan tersebut (terdakwa tidak dapat dipidana karena
menarik keterangan yang telah diberikan)
3. van Bemmelen dan van Hattum
Tidak sependapat dengan putusan Hoge Raad di atas, karena perbuatan saksi
mencabut keterangan didasari rasa takut dipenjara (bukan alasan suka rela)
D. Bentuk Percobaan
1. Percobaan Terhenti dan Percobaan Berlanjut
Percobaan terhenti (gechorte poging atau delik tentative), yaitu suatu
percobaan namun calon korban selamat, karena kemampuan korban. Misalnya
pelaku mau bunuh korban, dengan cara menusukkan pisau, namun karena
korban mampu mengalahkan/melumpuhkan pelaku maka kejahatan yang
dilakukan tidak terwujud.
Percobaan berlanjut (voltoode poging atau delict mqncue), yaitu suatu
percobaan pembunuhan, yang hendak menggunakan senapan, namun ketika
senapan sudah ditembakkan ke korban, ternyata meleset kena perut korban.
2. Percobaan Mampu dan Tidak Mampu
Mampu atan tidak mampunya dilihat dari:
1) Ketidakmampuan pelaku, dilihat dari sisi pelaku. Terkait dengan
kemampuan untuk mewujudkan niatnya.
2) Keidakmampuan sarana atau alat, dibagi menjadi dua yaitu relative dan
absolut.
3) Ketidakmampuan tentang obyek, adalah terkait dengan sasaran atau
tujuan perbuatan pidana dilakukan.
Mengenai teori kemampuan atau ketidakmampuan pelaku, alat, dan obyek pada
umunya para ahli bersepakat, bahwa ada percobaan kalau terdapat keadaan yang
membahayakan bagi korban (akibat yang dituju).
E. Sanksi Pidana
1) Ancaman pidana berdasarkan perbuatan pidana yang dilakukan dikurangi 1/3.
2) Perbuatan pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup diancam
pidana paling lama 15 tahun.
3) Pidana tambahan sama dengan perbuatan pidana selesai.
4) Percobaan melakukan pelanggaran tidak dijatuhi pidana
F. Penyertaan (Deelneming, Complicity)
Tempat pengaturan Buku I, Bab VII, Pasal 55 s/d 60 KUHP.
Kedudukan palaku dalam penyertaan:
1) Orang yang melakukan (pleger).
2) Orang yang menyuruh lakukan (doenpleger).
3) Orang yang turut serta melakukan (medepleger).
4) Orang yang menganjurkan (uitlokker).
5) Orang yang membantu (sebelum/sesudah) terjadi kejahatan
(medeplechtige)

G. Kedudukan Penyertaan dalam Delik


1) Penyertaan bukan sebagai delik, melainkan berupa perluasan tentang pelaku yang
dapat dipertanggungjawabkan (staufdenungsgrund). Van Hamel, Simons
2) Penyertaan sebagai delik yang berdiri sendiri dan bersifat khusus (sui generis).
Pompe, Moeljatno.

H. Subyek yang dapat Dipertanggungjawabkan


1. Penyertaan yang berdiri sendiri dan penyertan yang tidak berdiri sendiri (Simons)
a) Penyertaan yang berdiri sendiri, adalah perbuatan masing-masing peserta dalam
suatu perbuatan pidana di nilai/kualifikasikan sendiri dan masing-masing di adili
sendiri (yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan)
b) Penyertaan yang tidak berdiri sendiri, adalah dapat tidaknya seorang dipidana
tergantung pada peranannya dalam perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh
seorang pelaku atau perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan pidana atau
bukan (penganjur dan membantu melakukan perbuatan pidana).
2. Postulat dalam Hukum Romawi yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana Dalam
Penyertaan (van Hamel dan Simons)
a) Pelaku pembantu mengikuti pelaku utamanya.
b) Peserta pembantu tidak memimpin, namun mengikuti pelakunya.
c) Pelaku pembantu termasuk dalam yurisdiksi yang sama dengan pelakunya.
d) Pelaku pembantu diadili pada pengadilan yang sama.
e) Pelaku pembantu tidak boleh diadili sebalum pelaku utamanya diadili.
3. Pertanggungjawaban Penyertaan Tidak Perlu Dipisahkan (van Bemmelen, van Hattum,
Pompe, Moeljatno)
a) Dipidananya seseorang tergantung dari perbuatan pidana yang dilakukan sendiri
dan tidak dapat digantungkan pada pemidanaan orang lain.
b) Penyertaan tidak berdiri sendiri, meskipun perbuatan masing-masing peserta
harus ditinjau sendiri-sendiri.
c) Dalam pembantuan diperlukan adanya pelaksanaan yang dapat dipidana.
d) Antara satu peserta dengan peserta lain adalah satu kesatuan.
4. Prof Eddy H: Tidak ada pembedaan dalam penyertaan
a) Pembedaan terkait dengan kelahiran KUHP, namun postulat tersebut dipengaruhi
oleh perkembangan hukum pidana modern.
b) Dalam tataran praktis sulit dibedakan antara perbuatan yang berdiri sendiri dan
tidak.
c) Dalam penuntutan pidana akan menimbulkan saksi mahkota yang berakibat akan
mengurangi obyektifitas kesaksian.
d) Seseorang dapat disebut melakukan kejahatan ketika dia melakukan kejahatan
atau membantu atau ikut melakukan kejahatan.

I. Plegen (yang melakukan), Pleger (pelaku)


1) Pelaku dapat ditentukan berdasarkan rumusan delik (van Bemmelen, van Hattum).
2) Orang yang secara mandiri telah memenuhi unsur delik, tanpa penyertaan pihak lain
(H. Suringa).
3) Semua orang yang disebut dalam pasal 55 adalah pelaku (Pompe).
4) Orang melakukan perbuatan (baik atas kehendak sendiri atau atau digerakan oleh
pihak ketiga) yang dilarang oleh Undang-Undang (Simons).
5) Seorang diri yang telah melakukan perbuatan pidana dan harus dibutikan (van
Hamel).
6) Jika ada penyertaan, maka pelaku lebih dari satu orang, kedukan mereka dapat sebagai
materiil dader, pelaku yang menyuruh lakukan, pelaku yang turut serta melakukan,
atau pelaku yang mengerakan suatu perbuatan pidana atau kombinasi (Prof Eddy).

J. Doenplegen (menyuruh lakukan/manus domina/middelijk dader) Doenpleger (orang yang


menyuruh lakukan/manus ministra/onmiddelijk dader).
1) Pada awalnya dipandang sebagai pelaku, orang yang menyuruh lakukan dimasukan
sebagai pelaku dalam arti luas, sedang orang disuruh hanyalah sebagai instrumen
(code penal).
2) Pelaku bukan saja orang yang melakukan perbuatan pidana, namun termasuk orang
yang melakukan secara tidak in pesona, tetapi melalui orang lain yang merupakan alat
untuk mewujudkan kehendaknya (MvT).
K. Pandangan Restrictief Daderscap dan Extensief Daderscap tentang Penyertaan
1) Pandangan restrictief (pandangan sempit), mengatakan bahwa pelaku hanyalah orang
yang secara materiil dan personlijk melakukan suatu perbuatan pidana. Kalau orang
yang menyuruh lakukan diapandang sebagai pelaku maka keduanya harus mempunyai
syarat personlijk sebagaimana rumusan delijk. Menurut pandangan ini tidaklah
mungkin seorang militer atau seorang yang bukan pejabat menyuruh lakukan kepada
pejabat (van Bemmelen dan van Hattum).
2) Pandangan extensif (luas), bentuk menyuruhkan lakukan tidaklah mempunyai kualitas
personlijk, misalnya kasus Gemeente Zaandam yang menyuruh Opsir polisi untuk
membuat surat jalan, dengan memalsukan umur dan kasus Mentri Kehakiman Djodi
Gondokusumo yang membuat ijin tinggal Warga Negara Cina (ketiga dinyatakan
bersalah meskipun tidak mempunyai sifat personlijk yang sama (Remmelink,
Langmejer, Pompe dan Moeljatno).

L. Medeplegen (Turut Serta Melakukan)


1) Tindakan yang dilakukan oleh peserta harus terlibat melakukan seluruh perbuatan
(van Hamel).
2) Orang yang turut serta melakukan harus memiliki semua sifat yang menurut rumusan
Undang-Undang telah disyaratkan harus disyaratkan oleh seorang pelaku (Simons).
3) Syarat dipandang turut serta melakukan harus lengkap adalah tidak mungkin, kecuali
terdapat kesengajakan turut serta melakukan dilakukan dengan niat dan kerjasama
untuk mewujudkan suatu delik tertentu (van Bemmelen dan van Hattum)
4) Seseorang dengan orang lain melakukan perbuatan pidana, masing-masing atau
mereka semua melaksanakan unsur-unsur perbuatan pidana, namun tidak
mensyaratkan semua harus harus melaksanakan seluruh unsur-unsur delik (Pompe).
5) Syarat terpenting adalah adanya perbuatan pidana, dapat saja salah salah peserta
melakukan perbuatan yang termasuk elemen delik, sedangkan peserta lain tidak
termasuk rumusan (langmejer, Moeljatno).
6) Dalam turut serta melakukan tidak perlu adanya kesepakatan terlebih dahulu untuk
mewujudkan delik, yang penting adalah adanya saling pengertian sesama pelaku
untuk mencapai tujuan yang sama (Remmelink).
7) Terdapat kesadaran kerjasama untuk mewujudkan delik, jika tidak ada kesadaran
untuk kerjasama, maka tidak ada perbuatan turut serta melakukan.
8) Tidak harus terdapat kesadaran untuk bekerjasama, namun adanya perbedaan
kesengajaan adalah terkait dengan kualifikasi perbuatan yang berbeda.
9) Harus ada dua kesengajaan yang bersifat mutlak, ada kesepahaman untuk
mewujudkan delik, jika tidak ada kesepahaman tidak ada perbuatan turut serta
melakukan meskipun delik benar2 terjadi, dalam hal terjadi delik maka kualifikasi
pelaku dan perbuatan harus dibedakan.

M. Uitlokking (Menganjurkan/Menggerakkan), Uitlokker (Orang yang Menganjurkan atau


Menggerakkan)
1) Kesengajaan menggerakan orang lain yang dapat dipertanggung jawabkan pada
dirinya sendiri untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang ditentukan oleh
Undang-Undang, kemudian orang yang bersangkutan melakukan perbuatan
pidana.
2) Pasal 55 ayat 1 ke-2, terdapat lima tindakan menganjurankan,
3) Memberi atau menjajikan sesuatu.
4) Menyalahkan martabat atau kekuasaan.
5) Dengan kekerasan,
6) Dengan ancaman atau penyesaatan,
7) Memberikan sarana atau keterangan

N. Syarat Penyertaan
1) Kesengajaan untuk menggerakan atau menganjurkan orang lain melakukan perbuatan
pidana.
2) Ada orang lain yang yang melakukan perbuatan yang dianjurkan/digerakan.
3) Orang yang dianjurkan melakukan pebuatan atau percobaan melakukan perbuatan
yang dianjurkan.
4) Cara melakukan penganjuran seseuai dengan rumusan Undang-Undang.
5) Orang yang dianjurkan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

O. Pembantuan
1) Bentuk pembantuan : (a). Membantu pada waktu perbuatan dilakukan dan (b).
membantu untuk melakukan kejatahan.
2) Pembantu harus tahu tentang apa yang harus diperbuat dan cara membantunya.
3) Kesengajaan membantu harus ditujukan kepada semua unsur perbuatan pidana dan
terhadap unsur-unsur yang oleh Undang-Undang tidak disyaratkan, bahwa
kesengajaan pelaku harus ditujukan pada unsur-unsur delik (Simons).
4) Jika suatu delik dirumuskan dengan sengaja maka membantu harus diperlukan adanya
kesengajaan, namun jika dirumuskan sebagai kealpaan, maka adanya kealpaan dalam
pembantuan sudah cukup memenuhi unsur delik.

P. Hal-Hal lain yang Berkaitan dengan Delik Penyertaan


1) Delik Penyertaan dalam Penyertaan : Pada prinsipnya tidak ada, karena menyuruhkan
terhadap menyuruhkan pada prinsipnya sama dengan menyuruh lakukan.
2) Penyertaan dalam perbuatan pasif : Penyertaan sebagai pelaku pasif memungkinkan.
Kontruksi UU dapat memidana orang yang melakun atas hal-hal yang dilarang oleh
UU atau tidak melakukan kewajiban. Tidak berbuat atas kewajiban yang diemban
dianggap sebagai telah memberi kesempatan.
3) Turut serta melakukan dalam delik culpa :
a. Turut serta harus ada kesengajaan, karena diperlukan adanya kerjasama, suatu
kerjasama tidak mungkin tanpa tujuan (Pompe, van Bemmelen, van Hattum
dan Moejatno.
b. Kesengajaan dalam culpa memungkinkan (Jan Rumelink)
4) Menganjurkan dalam delik culpa :
a. Menganjurkan /menggerakan dalam delik culpa memungkinkan (simons,
Pompe).
b. Menganjurkan /menggerakan dalam delik culpa tidak memungkinkan
(simons).

Q. Pemidaan dalam Penyertaan


1) Dipidana yang sama bagi orang yang melakukan, menyuruhkan lakukan, turut serta
melakukan maupun penganjur.
2) Melakukan pembantuan diancam dengan pidana pokok dikurangi 1/3.
3) Pembantuan dalam kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup di
ancam dengan pidana paling lama 15 tahun.
4) Pidana tambahan sama dengan pidana pokoknya.

Memberikan bantuan dalam pelanggaran tidak dipidana


II. Alasan Penghapus Penuntutan
1. Delik Aduan (Klach Delict)
Ciri dari delik aduan adalah dalam pasal KUHP, ditentukan bahwa bisa dilakukan penuntutan
jika ada aduan dari korban.
A. Alasan perlunya pengaduan (Simons)
1. Untuk kejahatan tertentu, akan lebih menguntungkan jika pelaku tidak dituntut
2. Jika hak-hak korban dilanggar, baru dilakukan pengaduan
B. Macam-macam Delik Aduan
1) Absolut : mutlak harus ada aduan, tidak harus ada hub. antara pelaku-korban.
Pasal 284 KUHP (Perzinahan)
2) Relatif : harus ada aduan dari orang yg dirugikan, ada hub. antara pelaku-korban
Pasal 367 KUHP (Pencurian Dalam Keluarga), UU No. 23 tahun 2004 (KDRT)
Yang dapat mengadukan : suami/istri yg pisah ranjang, saudara sedarah garis
lurus/menyimpang sampai derajad ketiga.
C. Delik Aduan Delik Biasa
1) Delik aduan : penuntutan pada pelaku dilakukan jika ada pengaduan oleh korban
2) Delik biasa : penuntutan pada pelaku dapat berdasarkan adanya laporan atau tidak
D. Yang Dapat Mengadukan :
1. Jika usia korban kurang dari 18 tahun, dapat diadukan oleh wali/keluarga sedarah
garis lurus/garis menyimpang sampai derajad ketiga
2. Jika korban meninggal, dapat diadukan oleh istri/suami/anak/orangtuanya
3. Dalam perzinahan, dapat diadukan oleh suami/istrinya
4. Dalam kasus melarikan perempuan, dapat diadukan oleh korban/orang tuanya
E. Jangka Waktu Pengaduan :
1. Di Indonesia, jangka waktunya 6 bulan sejak korban mengetahui ada tindak pidana
2. Di luar Indo, jangka waktunya 9 bulan sejak korban mengetahui ada tindak pidana
F. Pencabutan (Pasal 75 KUHP) 3 bulan setelah pengaduan
Proses penuntutan hilang, jika sudah dibuat dakwaan maka dicabut, jika sudah diperiksa
dalam sidang, maka dihentikan.

2. Nebis in Idem (Pasal 76 KUHP)


Perkara yang sudah pernah dijatuhi putusan inkracht, tidak dapat dolakukan penuntutan lagi.
Nebis in idem ditujukan pada pelaku dan perbuatan yang sama. \
Syarat : 1. Inkracht
2. Terhadap orang yang sama (tidak untuk penyertaan)
3. Terhadap perkara/perbuatan yang sama
Nebis in idem tidak berlaku untuk putusan hakim yg belum menyentuh pokok perkara. Dan
tidak berlaku pada pelaku yg belum dituntut.

3. Meninggalnya Pelaku (Pasal 77, dan 145 KUHP)


Jika pelaku meninggal dunia pada saat proses penuntutan, maka otomatis akan dikeluarkan
surat keputusan penghentian keputusan. Jika perkaranya telah masuk pada persidangan, maka
dikeluarkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara.
Dalam tindak pidana khusus, contohnya pada UU No. 31 tahun 1999 tentang Tipikor, maka
akan dilakukan gugatan perdata, atau gugatan in absentia untuk mengembalikan kerugian
negara atau merampas barang-barang yang telah disita.

4. Daluwarsa (Pasal 78 KUHP)


Tujuan : membatalkan perkara yang sudah lama dan perkara yang bukti2.nya sudah hilang.
Daluwarsa tidak berlaku pada delik-delik yang berbahaya (kejahatan perang, kemanusiaan,
maupun pelanggaran HAM berat) ataupun delik recidive.
a. Pada pelanggaran/kejahatan dengan percetakan, daluwarsanya 1 tahun
b. Pada kejahatan yg diancam pidana denda, kurungan atau penjara kurang dari 3th, 6th
c. Pada kejahatan dengan ancaman pidana penjara lebih dari 3th, daluwarsanya 12th
d. Pada kejahatan dengan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup, 18th
e. Jika pelaku belum berumur 18th, maka penghitungan daluwarsanya dikurangi 1/3

Dimulainya perhitungan daluwarsa (Pasal 79 KUHP) :


a. Pada delik formal (tidak menyertakan akibat), sehari setelah semua unsur delik terpenuhi
b. Pada delik materiil (ada akibat) adalah sehari setelah akibat perbuatan itu terjadi.
c. Pada pemalsuan uang/barang, adalah setelah uang/barang yang dipalsukan digunakan
d. Pada penculikan, adalah setelah korban dibebaskan/mati.
Dengan adanya penuntutan, maka daluwarsa terhenti. Apabila penuntutan dihentikan, maka
dihitung tenggang daluwarsa baru.
5. Penyelesaian Diluar Pengadilan (Pasal 82 KUHP)
Hanya untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda, jika denda dan biaya
penuntutan dibayar oleh pelaku. Tetapi pada recidive, tetap perberatan tetap berlaku
meskipun pada kasus sebelumnya telah ada penyelesaian di luar pengadilan. Ketentuan ini
tidak berlaku pada pelaku yang belum dewasa (<16 tahun).

6. Amnesti & Abolisi


(UU Darurat No.11 th 1954 tentang Amnesti dan Abolisi j.o. Ps. 14 ayat 2 UUD NRI 1945)
Amnesti adalah penghentian proses peradilan pidana di semua tahap, yg diberikan Presiden
dengan pertimbangan DPR. Dengan ini, semua akibat hukum pidananya dihapuskan.
Abolisi adalah penghapusan penuntutan pidana yang diberikan oleh Presiden dengan
pertimbangan Mahkamah Agung. Dengan ini, maka penuntutan terhadap pelaku ditiadakan.

III. Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana


1. Meninggal Dunia (Pasal 83 KUHP)
2. Daluwarsa (Pasal 84 KUHP)
Tidak boleh lebih pendek dari pidana yang dijatuhkan hakim.
a. Pada pelanggaran, daluwarsanya 2 tahun
b. Pada pelanggaran/kejahatan dengan percetakan, daluwarsanya 5 tahun
c. Pada kejahatan yg diancam pidana denda, kurungan/penjara < 3th, daluwarsanya 4th
d. Pada kejahatan dengan ancaman pidana penjara lebih dari 3th, daluwarsanya 16th
e. Pada pidana mati atau penjara seumur hidup, tidak ada daluwarsa
f. Pada pelaku yang belum dewasa, maka penghitungan daluwarsanya dikurangi 1/3
Mulai berlakunya daluwarsa (Pasal 85 KUHP)
Daluwarsa berlaku esok hari setelah ada putusan hakim yang inkracht. Pada narapidana
yang melarikan diri, maka pada esok hari setelah melarikan diri dihitung daluwarsa baru.

3. Grasi (UU No. 2 tahun 2002 j.o UU No. 5 tahun 2005)


Grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden dengan pertimbangan Mahkamah
Agung, kepada narapidana atas hukuman yang telah dijatuhkan.
Grasi dapat berupa perubahan jenis pidana (mati seumur hidup), pengurangan masa
pidana (10th 4th), maupun penghapusan pelaksanaan pidana.
IV. Perbarengan Perbuatan Pidana
A. Perbarengan/Concorsus/Samenloop
1. Perbarengan Peraturan/Concorsus Idealis/Eendadse Samenloop
Seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa perbuatan hukum
pidana. Menggunakan teori pemidanaan absorbsi (Pasal 63).
Jika aturan yang dilanggar adalah aturan umum dan aturan khusus, maka pidana yang
paling banyak dapat dijatuhkan adalah yg diatur dalam aturan khusus (Pasal 63 ayat 2).
Perbuatan dapat ditinjau dari 2 sudut pandang :
a) Dilihat secara materiil : gerakan fisik tanpa dikaitkan dengan akibatnya
b) Dilihat secara formil : dikaitkan dengan akibatnya

Menurut ahli :
a. Hazewinkel suringa
Bila ada perbuatan yang sudah memenuhi satu rumusan delik, mau tidak mau masuk pula
dalam peraturan hukum pidana yang lain.
Satu perbuatan melanggar lebih dari satu peraturan hukum pidana.
Contoh : Perkosaan di tempat umum; melanggar Pasal 285 (Perkosaan, 12 th) dan Pasal
281 (Kesusilaan, 2 th 8 bulan)
b. Taverne
Bila ada satu perbuatan yang dipandang dari sudut hukum, ada dua atau lebih perbuatan
pidana. Antar perbuatan-perbuatan itu tak dapat dipikirkan secara terlepas satu sama lain.
Contoh :
a) Orang mabuk mengendarai mobil tanpa lampu
Orang mabuk + Orang mengendarai mobil tanpa lampu concorsus realis
b) Seseorang menembak orang yang ada di luar jendela kaca
Kaca pecah + Orang meninggal concorsus realis
c. Simons :
A ingin membunuh B, B ditembak, tapi di belakang B ada C. yng menyebabkan B dan
C mati. Maka merupakan eendadse samenloop homogentes melanggar satu peraturan
tapi korbannya 2, maka dianggap melakukan 2 kejahatan.
2. Perbarengan Perbuatan/Concorsus Realis/Merdadse Samenloop
Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan yang
berdiri sendiri sebagai perbuatan pidana yang belum pernah dijatuhi pidana oleh hakim
dan diadili sekaligus. Menggunakan teori pemidanaan absorbsi dipertajam/kumulasi,
tergantung dari yang paling menguntungkan pelaku. (Pasal 65)
Perbuatannya : 1) Sejenis : mencuri di beberapa tempat dalam waktu hampir bersamaan
2) Tidak sejenis : mencuri, membunuh, memperkosa di waktu bersamaan

Pada dasarnya, concorsus memperberat pidana. Tapi dimungkinkan juga concorsus


memperingan pidana, jika A diancam pidana pencurian (9th), perampasan (5th), dan
penipuan/penggelapan (4th), maka dengan adanya concorsus realis (absorbs dipertajam), A
diancam hanya 12 th max, dari total hukuman pidananya 18 th (kumulasi).

Concorsus realis pada kejahatan ringan kumulasi (penjara maks. 8 bulan)


Ancaman pidana pada pelanggaran-pelanggaran kumulasi murni (maks. 1 th 4 bulan)
Ancaman pidana pada kejahatan-pelanggaran kumulasi terbatas

3. Perbuatan Berlanjut
Melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan perbuatan yang berdiri
sendiri sebagai perbuatan pidana yang perbuatan yang satu dengan yang lain ada hubungan
sedemikian rupa, sehingga dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

B. Asas Pemidanaan :
1. Asas minimum umum : pidana penjara/kurungan, min 1 hari
2. Asas maksimum umum : Penjara maks 15 th + pemberatan (1/3 pidana pokok) 20 th
Kurungan maks 1 th + pemberatan (1/3 pidana pokok) 1th 4 bl
3. Asas minimum khusus : ancaman pidana minimal diatur/ada di dalam pasal tersebut.
4. Asas maksimum khusus : ancaman pidana maksimal diatur/ada di dalam pasal tersebut.
KUHP mengikuti asas 1, 2, 4. Kecuali minimum khusus UU Psikotropika

C. Sistem Pemidanaan :
1. Absorbsi : pidana yang paling banyak dapat dijatuhkan pada pelaku adalah 1 perbuatan
pidana saja, dengan ancaman yang paling tinggi/berat.
2. Kumulatif : semua ancaman pidana ada yang dijumlahkan tanpa ada pegurangan. Biasanya
pada pidana pelanggaran.
3. Absorbsi dipertajam : pidana yg paling banyak dijatuhkan adalah pidana dengan ancaman
pidana paling berat, ditambah 1/3 dari msa pidana tersebut.
4. Kumulasi diperlunak/terbatas/sedang : semua ancaman pidana dijumlahkan, tapi tidak
boleh lebih dari ancaman pidana yang paling berat ditambah 1/3.

-KUHP pasal 63 (mengatur Concorsus Idealis) --- menggunakan teori pemidanaan absorbsi (1
pidan yang paling berat)
-KUHP ps. 62 (2), bila 1 perbuatan yang memenuhi lebih dari 1 peraturan hukum pidana, tapi
peraturan yang dilanggar adalah aturan umum dan aturan khusus, maka bagi pelaku, pidana yang
paling banyak dijatuhkan adalah yang diatur dalam aturan khusus. Cth : Ibu membunuh anak
yang baru dilahirkan, maka ia diancam dengan pasal 338 dan 341 --- pembunuhan berencana
(15th) dan pembunuhan anak kandung (7th), maka ia dijatuhi pidana 7tahun atas dasar lex
specialis.
-KUHP pasal 65-70 a.. (mengatur concorsus realis)\
Beberapa perbuatan pidana, dnegan ancaman perbuatan pidana yang sejenis, mka perbuatan
pidana dengan ancaman yang paling berat ditambah 1/3 ---- absorbsi dipertajam
Namun tidak menutup kemungkinan diguunakan sistem kumulasi, apbila sistem kumulasi ini
lebih ringan bagi pelaku daripada sistem absorbs diertajam.
Semua ancaman yang ada dijumlahkan tetapi tidak boleh melebihi dari perbutan dengan
ancaman pidana yang palig berta ditambah 1/3.
-pasal 10 KUHP, penentuan beratnya ancaman pidana, bukan lamanya waktu.
-pasal 70 KUHP, jika ada perbarengan, pelanggaran-prlanggaran dijumlahkan tanpa ada
pengurangan.
-Concorsus Realis untuk kejahatan ringan(penganiayaan hewan ringan, penganiayaan
ringan(1352), pencurian ringan(364), penggelapan ringan(373), penipuan ringan(379),
penadahan ringan(482)---3bln penjara.
-Concorsus realis terhadap kejahatan ringan dipergunakan sistem pemidanaan kumulasi, tapi
apabila dijatuhi hukuman pidana penjara, maka pidana penjara yang paling banyak dijatuhkan
adalah 8 bulan.
---perbuatan pidana tertinggal
-jika seseorang telah dijatuhi pidana, dipersalahkan pula melakukan kejahatan, sebelum dia
dipidana, maka pidana yang lebih dahulu diperhitungkan pula pada pidana yang akan dijathkan
dengan menggunakan aturan-aturan mengenai perkara-perkara di saat yang sama.
-walaupun terdakwa terbukti bersalah, tapi hakim tidak dapat lagi menjatuhkan pidana, karena
pidan yang dijatuhkan lebih dahulu merupakan pidana maksimal (pengecualian con.realis) (pasal
71(2)).

---Perbuatan Berlanjut (64)


-Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang mana masing-masing merupaka
kejahatan atau pelanggaran yang berdiri sendiri, tapi diantara perbuatan-perbuatan itu terdapat
hubungan yang sedemikian rupa sehingga rangkaian perbuatan itu harus diartikan sebagai
perbuatan berlanjut. Menggunakan sistem pemidanaan Absorbsi (pidana terberat), dikenakan
concorsus idealis
1. Perbuatan pidana dengan ancaman paling berat, perbedaannya ada beberapa perbuatan dengan
concorsus realis :
a. sama-sama ada perbuatan
b. dalam perbuatan berlanjut dikenakan 1 ancaman terberat, sedangkan dalam concorsus realis
digunakan absorbs dipertajam.

Penafsiran historis :
1. Beberapa perbuatan itu harus timbul dari satu kesatuan kehendak
2. Antara perbuatan satu dengan yang lain, waktunya tidak terlampau lama
3. Perbuatannya sejenis

-Kejahatan berlanjut untuk kejahatan berlanjut, sistem pemidanaan yang digunakan kumulasi
murni, tapi jika kejahatan ringan dalam perbuatan berlanjutn dilakukan 3X atau lebih, maka
pidana yang paling banyak dapat dijatuhkan oleh hakim sama dengan ancaman perbuatan itu
sendiri.
-Recidive (pengulangan)
Seseorang melakukan perbuatan pidana sudah dijatuhkan pidana oleh hakim, mempunyai
kekuatan hukum tetap / inkracht, kemudian dia melakukan perbuatan pidana lagi, terkait dengan
pemberatan pidana. Ada 2 macam :
1. Generale recidive (umum), seseorang melakukan perbuatan pidana telah dijatuhi pidana
oleh hakim, mempunyai kekuatan hukum tetap / inkracht, kemudian dia melakukan
perbuatan pidana lagi. Jenis perbuatan yang dilakukan dalam waktu kapanpun,
merupakan alasan pemberatan pidana.
2. Special recidive (khusus), seseorang melakukan perbuatan pidana telah dijatuhi pidana
oleh hakim, mempunyai kekuatan hukum tetap / inkracht, kemudian dia melakukan
perbuatan pidana lagi yang sama dalam waktu yang ditentukan.
*KUHP juga menyaratkan adanya tenggang waktu tertentu.
3. Tussen Stelsel (recidive tengah), bahwa ditentukan tenggang waktunya tapi
pengulangannya tidak harus perbuatan pidana yang sama namun harus sejenis.
*KUHP mengikuti Recidive Tengah
V. Delik Kejahatan Dalam Buku II KUHP
Buku II KUHP berisi 31 bab. 30 bab tentang kejahatan, dan 1 bab tentang recidive.

Elemen perbuatan pidana :


- Melawan hukum
- Memenuhi rumusan delik
- Dapat dicela

Perbuatan pidana dan delik


Suatu perbuatan pidana harus tatbestandmassigkeit (memenuhi rumusan delik) dan juga
wesenchau (sesuai dengan maksud pembuat UU)
Bestandeel : rumusan yang tertulis spesifik di dalam rumusan delik
tujuan : asas legalitas dan juga pembuktian (setiap rumusan delik harus dibuktikan)

Delik :
a. Delik Materiil : delik yang menitikberatkan pada akibat
b. Delik Formil : delik yang menitikberatkan pada perbuatannya

A. Kejahatan Terhadap Orang


1. Kejahatan Terhadap Nyawa
a. Pembunuhan Biasa (Doodslag) Pasal 338 KUHP (15 th)
Subjektif : Barang siapa + sengaja | Obyektif : merampas + nyawa orang lain
Syarat : Ada perbuatan, Menyebabkan kematian, Kausalitas perbuatan - kematian
b. Pembunuhan yg diikuti, disertai, atau didahului tindak pidana lain Ps.339 KUHP
Semua unsur pembunuhan yang diikuti (gevold), disertai (voorafgegaan), atau
didahului (vergezeld) oleh tindak pidana lain.
Dengan maksud mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaan tindak pidana.
Atau dalam hal tertangkap tangan, untuk menghindari pelaku/peserta lain dari jeratan
pidana atau memastikan penguasaan suatu benda.
c. Pembunuhan Berencana (Moord) Pasal 340 KUHP (20 th / seumur hidup)
Barang siapa + dengan sengaja + rencana lebih dulu + merampas nyawa orang lain
Rencana mencakup memastikan kehendak dalam suasana tenang, dengan waktu yg
cukup, dan melaksanakan kehendak berdasarkan rencana.
d. Kejahatan Terhadap Nyawa Bayi Pasal 341 KUHP (7 th)
Obyektif : seorang ibu + merampas + nyawa bayinya + saat dilahirkan/tidak lama
setelah lahir
Subyektif : sengaja. Dengan motif takut ketahuan.
e. Kejahatan Terhadap Nyawa Bayi yang Didahului Dengan Niat Pasal 342 (9 th)
Unsur niat yg ditentukan dapat dipersamakan dengan rencana terlebih dahulu
niat/rencana itu ada sebelum ada kondisi alamiah akan melahirkan.
Jika yang melakukan 342 merupakan orang lain, maka dikenai Ps. 341/342 KUHP.
f. Menghilangkan Nyawa Orang Lain atas Permintaannya Sendiri Ps. 344 (12 th)
Seseorang disuruh membunuh orang lain (nyata dan bersungguh2) Euthanasia
g. Dengan sengaja mendorong/menolong/memberi sarana orang lain untuk bunuh diri
Pasal 345 KUHP (-4th)
h. Aborsi yang Dilakukan Sendiri Pasal 346 KUHP (4 th)
Wanita + dengan sengaja + menggugurkan/mematikan/menyuruh orang lain untuk
itu + kandungannya sendiri
i. Aborsi yang Dilakukan Orang Lain Tanpa Persetujuan Wanita Pasal 347 KUHP
Barang siapa + dengan sengaja + menggugurkan + tanpa persetujuan wanita (12 th)
Jika mengakibatkan wanita mati (15 th)
j. Aborsi yg Dilakukan Orang Lain Dengan Persetujuan Wanita Pasal 348 (5th 6b)
Barang siapa + sengaja + menggugurkan + dengan persetujuan wanita ( 5th, 6 bln)
Jika mengakibatkan wanita mati (7th)
k. Dokter, Bidan, Apoteker Membantu Aborsi/Ps. 346, 347, 348 Pasal 349 KUHP
Dihukum pidana sesuai pada pasal 347 atau 348 ditambah dengan 1/3 hukuman

2. Kejahatan Terhadap Badan


Penganiayaan (mishandeling). Percobaan penganiayaan tidak dipidana
menimbulkan rasa sakit, luka, merusak kesehatan, perasaan tidak enak.
Rasa sakit (cubit, pukul), Luka (timbul irisan, tusukan) Merusak kesehatan (membuka
jendela menyebabkan masuk angin, Luka berat (pasal 90).
a. Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP
1. Penganiayaan di hukum 2 th 3 bln
2. Mengakibatkan luka berat (5 th)
3. Mengakibatkan mati (7 th)
b. Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP (3 bulan)
- Bukan penganiayaan berencana (353)
- Bukan penganiayaan yang dilakukan :
1. Terhadap Ibu/Bapak/anak/istri
2. Terhadap PNS dalam tugasnya
3. Memasukkan barang berbahaya
- Tidak menimbulkan penyakit / halangan pekerjaan
c. Penganiayaan Berat Pasal 354 KUHP
1) Barang siapa + sengaja + melukai berat (8 th)
2) Mengakibatkan mati (10th)
Pasal 355 ayat (1) dengan rencana lebih dahulu (12th)

3. Kejahatan Terhadap Harta


a. Pencurian Pasal 362 KUHP (5 th)
Barang siapa + mengambil (memindahkan kekuasaan/tempat) + barang +
seluruh/sebagian milik orang lain + maksud memiliki + secara melawan hukum
b. Pencurian Dengan Pemberatan Pasal 363 KUHP
1) Dihukum 7 tahun :
a. Pencurian hewan (memamah biak, berkuku satu, babi)
b. Pencurian pada waktu kebakaran, bencana, kapal terdampar, kecelakaan
c. Pencurian di malam hari pada rumah/pekarangan
d. Dilakukan dua orang atau lebih (dengan penyertaan)
e. Pencurian dilakukan dengan cara membongkar, memecah, memanjat, kunci
palsu, perintah palsu dan jabatan palsu
2) Jika nomor (a) dilakukan dengan (b) dan/atau (c), maka dihukum 9 tahun.
c. Pencurian Ringan Pasal 364 KUHP
Pencurian dibawah Rp. 2.500.000. (Perma No. 2 tahun 2012)
Dengan proses pidana cepat, tidak diperlukan penahanan.
d. Pencurian Dengan Kekerasan Pasal 365 KUHP (9 th)
Didahului/diikuti/disertai dengan kekerasan/ancaman kekerasan + maksud
menyiapkan atau mempermudah pencurian.
Jika dilakukan di malam hari (rumah, jalan, kendaraan), oleh 2 orang/lebih 12 th
e. Penggelapan Pasal 372 KUHP (4 th)
Barang siapa+sengaja+memiliki secara melawan hukum
(menguasai/menjual,membuang, dll) + barang +sebagian/seluruhnya milik orang lain
+ ditangan pelaku bukan karena kejahatan.
f. Penipuan pasal 378
Maksud menguntungkan diri / orang lain + secara melawan hukum +memakai nama
palsu, keadaan palsu, akal dan tipu, rangkaian perkataan bohong, membujuk +
supaya memberikan barang, membuat utang/menghapus piutang.

3) Kejahatan terhadap Kesusilaan


a. Perzinahan (pasal 284 KUHP)
1. Laki-laki beristri berbuat zina terikat pasal 27 KUHP
2. Perempuan berbuat zina (UU Perkawinan)
3. Laki-laki belum beristri yang turut melakukan perbuatan zina, sedang dia
mengetahui teman perempuannya telah bersuami.
4. Perempuan belum bersuami yang turut melakukan perbuatan zina, sedang dia
mengetahui teman laki-lakinya beristri.
5. Delik aduan absolut harus ada aduan.
b. Pemerkosaan (Pasal 285 KUHP)
1. Dengan kekerasan / ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
istrinya bersetubuh dengannya
2. Pemerkosaan adalah ekspresi seksual dari kekerasan
3. Alat bukti yang kuat Visum et Repertum

Anda mungkin juga menyukai