III
PENYELIDIKAN TANAH
3.1 Pendahuluan.
Penyelidikan tanah diperlukan untuk menentukan stratifikasi (pelapisan) tanah
dan karakteristik teknis tanah, sehingga perancangan dan konstruksi pondasi dapat
dilaksanakan dengan ekonomis. Biasanya informasi dari hasil penyelidikan tanah
tidak hanya digunakan untuk perancangan pondasi saja, melainkan untuk evaluasi
dan rekomendasi pekerjaan yang lain, seperti kestabilan galian dan cara
dewatering. Dengan demikian pihak kontraktor juga dapat menyiapkan peralatan
yang sesuai dengan kondisi tanah dan dapat memperkirakan biaya secara lebih
terinci. Informasi mengenai pondasi dari bangunan sekitar lokasi proyek, jalan,
bangunan eksisting disekitarnya, fasilitas tertanam (underground facilities), dan
lain-lain perlu diperoleh sebelum proses perancangan.
Karakteristik tanah pada suatu lokasi umumnya amat variabel dan dapat berbeda
drastis dalam jarak beberapa meter. Oleh sebab itu penyelidikan tanah harus dapat
mencakup informasi kondisi tanah sedekat mungkin dengan kenyataan untuk
mengurangi resiko akibat variasi tersebut, dan jumlahnya cukup untuk dapat
merancang pondasi yang mendekati kenyataan. Perencanaan pengujian tanah
menjadi bagian dari explorasi tanah dan perancangan pondasi.
25
3.2 Tujuan Penyelidikan Tanah.
A. Untuk mendapatkan informasi mengenai pelapisan tanah dan batuan.
Dari stratifikasi tanah yang diperoleh, dapat diketahui kedalaman lapisan tanah
keras yang dapat dijadikan lapisan pendukung untuk pondasi, ketebalan tanah
yang kompresibel dan variasi kondisi tanah.
B. Untuk mendapatkan informasi mengenai kedalaman muka air tanah.
Pada bangunan yang mempunyai lantai besmen diperlukan informasi mengenai
tinggi muka air tanah, agar dapat ditentukan besarnya tekanan pada besmen baik
tekanan pada dinding besmen maupun besarnya gaya angkat (uplift). Selain itu
juga perlu di pertimbangkan metoda konstruksi dan sistem dewatering.
C. Untuk mendapatkan informasi sifat-sifat fisis dan sifat-sifat mekanis
tanah/batuan.
Sifat-sifat fisis tanah adalah karakteristik dari suatu material yang diperoleh
secara alami. Sifat-sifat mekanis tanah adalah respon material terhadap
pembebanan. Sifat-sifat fisis digunakan untuk klasifikasi tanah sedangkan sifat-
sifat mekanis digunakan untuk memperkirakan kemampuan tanah mendukung
beban yang direncanakan dan deformasi pada tanah.
D. Menentukan parameter tanah untuk analisis.
Dari informasi diatas, dapat diturunkan parameter tanah untuk analisis pondasi
atau untuk simulasi proses konstruksi. Dalam hal tertentu, perancangan pondasi
dapat dilakukan dengan menggunakan korelasi langsung berdasarkan hasil uji
lapangan, khususnya SPT dan CPT.
26
penyelidikan tanah. Tahapan penyelidikan tanah dan studi pondasi dapat mengikuti
prosedur berikut ini :
1. Evaluasi dan Studi Kondisi Lapangan.
Sebelum diadakan suatu penyelidikan tanah diperlukan informasi mengenai
keadaan di lapangan. Pengamatan mengenal topografi, vegetasi, bangunan
yang telah ada, jalan akses, dan lain-lain. Peninjauan seperti ini perlu dilakukan
oleh seorang ahli geoteknik. Informasi lain yang dapat dikumpulkan adalah
kondisi geologi, kegempaan regional, peraturan setempat, dan besarnya beban
dari struktur. Informasi ini akan membantu ahli geoteknik dalam memutuskan
tahap penyelidikan selanjutnya.
2. Penyelidikan Tanah Awal.
Pada tahap ini dilakukan pemboran dan uji lapangan dalam jumlah yang
terbatas. Gunanya adalah untuk merencanakan penyelidikan tanah selanjutnya.
Tetapi pada proyek dengan skala kecil, tahap ini ditiadakan. Penyelidikan
tanah awal juga sering digunakan untuk studi kelayakan.
3. Penyelidikan Tanah Terinci.
Pada tahap ini, informasi mengenai keadaan tanah yang dibutuhkan untuk
perancangan dan konstruksi pondasi dalam dikumpulkan. Informasi ini harus
mencukupi perencana dan kontraktor untuk menentukan jenis, kedalaman,
daya dukung pondasi dan untuk mengantisipasi penurunan yang akan terjadi
dan masalah yang mungkin timbul selama konstruksi dan lain-lain.
Untuk itu pada tahap ini diperlukan sejumlah pemboran yang dilengkapi dengan
SPT, pengambilan sampel, sondir, pengamatan muka air tanah dan penyelidikan
lapangan yang lain. Faktor yang menentukan disini adalah skala proyek,
kepentingan penyelidikan tanah untuk perancangan dan konstruksi bangunan,
ketersediaan dana, ketersediaan waktu dan ketersediaan informasi dari sumber
sumber yang lain. Pada beberapa proyek besar, beberapa kontraktor melakukan
penyelidikan tanah tambahan untuk memastikan bahwa konstruksi dapat
dilaksanakan sesuai spesifikasi yang tertulis dalam dokumen perencanaan. Analisis
pondasi sebaiknya diikuti dengan pengujian pondasi di lapangan.
27
3.4 Jumlah dan Kedalaman Bor.
Jumlah dan kedalaman pemboran amat bergantung kepada kondisi di lapangan.
Pada kategori ‘confirmatory’, maka kedalaman pengujian pada umumnya, dapat
ditetapkan secara lebih pasti, tetapi pada kategori ‘exploratory’ maka kedalaman
pemboran ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam penyelidikan tanah.
Beberapa pedoman yang dikemukakan Rahardjo (1997) dapat digunakan.
Perencanaan penyelidikan tanah meliputi penentuan jumlah banyaknya titik bor,
kedalaman pemboran, jumlah sampel yang hendak diambil dan diuji di
laboratorium, jumlah test pit, pengamatan muka air tanah dan lain-lain.
Biasanya, jika kondisi tanah setempat diketahui dari laporan geologi atau
pengujian terdahulu, jumlah pekerjaan penyelidikan tanah dapat mengalami
perubahan selama pelaksanaan di lapangan.
1. Jarak dan Jumlah Titik Bor.
Bila kondisi tanah cukup homogen, maka jumlah titik bor dapat dikurangi.
Tetapi bila pelapisan tanah amat acak, maka sejumlah titik bor dibutuhkan
untuk dapat menggambarkan potongan melintang melalui titik-titik bor
tersebut. Jumlah dan jarak pemboran tergantung dari jenis struktur dan
beberapa faktor lain.
Jarak antara titik bor untuk pekerjaan pondasi tiang pada abutment jembatan
umumnya dikonsentrasikan pada lokasi abutment. Untuk bangunan gedung
bertingkat, pada umumnya sebuah titik bor mewakili hingga radius 20.0 - 30.0
m. Tiga buah titik bor untuk sebuah tower disepakati sebagai jumlah minimum
di DKI Jakarta. Untuk pekerjaan jalan, jarak pemboran berkisar 50 m - 200 m.
Sowers (1979) memberikan anjuran untuk penentuan jarak antara titik bor
(Tabel 3.1) yang dapat dipakai sebagai acuan.
Tabel 3.1 Pedoman Penentuan Jarak Titik Bor.
2. Kedalaman Pemboran.
Pemboran harus dilakukan hingga kedalaman dimana lapisan tanah keras
(umumnya diasumsikan nilai NSPT > 50) dicapai beberapa meter (sekurangnya
28
3 kali pembacaan nilai NSPT). Bila dibawah lapisan keras masih terdapat tanah
kompresibel, maka pemboran diteruskan kecuali jika lapisan tersebut tidak
akan mengakibatkan penurunan yang berlebihan.
Bila terdapat rencana penggalian, maka kedalaman pemboran di lokasi tersebut
sekurangnya 1.5 - 2.0 kali kedalaman galian. Batas atas dilakukan bila kondisi
tanah lembek. Hal ini adalah untuk memungkinkan analisis kestabilan lereng
galian dan mengevaluasi kemungkinan penyembulan (heaving). Bila didapati
lapisan aquifer, maka pemboran mungkin dapat lebih dalam lagi. Bila kaki
pondasi tiang diharapkan masuk kedalam batuan, maka pemboran dilakukan
sekurangnya 3.0 m kedalam lapis batuan tersebut. Untuk struktur yang berat
seperti bangunan tinggi, satu titik bor perlu dilakukan hingga mencapai batuan
dasar bila kondisi memungkinkan. Tabel 3.2. adalah kedalaman minimum
pemboran yang perlu dilakukan menurut Sowers (1979).
29
2. Bor Mesin.
a. Bor Basah (Wash Boring).
Pemboran basah dilakukan dengan cara kombinasi pemotongan dan jetting
air kedalam tanah. Hasil pemotongan tanah diangkat keatas dengan aliran
air bertekanan melalui casing. Cara ini tidak dapat digunakan untuk
mengambil sampel dan fungsi utamanya adalah hanya untuk pemboran.
Untuk pengambilan sampel, alat pemotong (chopping bit) dinaikkan keatas
dan diganti dengan tabung contoh tanah. Jenis tanah diidentifikasi secara
visual dari material yang terbawa oleh air pencuci.
Pemboran basah dapat dilakukan dengan atau tanpa casing. Casing
digunakan bila dijumpai tanah pasiran karena umumnya runtuh ke dalam
lubang bor tanpa adanya casing.
Gambar 3.1 Bor Tangan. Gambar 3.2 Bor Basah (Wash Boring).
30
mengalami gangguan yang besar sehingga sampel yang diambil memiliki
kualitas rendah.
c. Bor Kering (Rotary Drilling/Dry Coring).
Metoda pemboran dengan cara kering (rotary drilling atau dry coring)
dilakukan tanpa air, dengan menggunakan rotasi pada mata bor (drill-bit)
bersamaan dengan penekanan untuk membuat lubang bor. Pelaksanaan
pemboran dengan cara ini memerlukan waktu yang lebih lama daripada
menggunakan metode bor basah. Bor kering memiliki keuntungan karena
dengan metoda ini contoh tanah dapat disimpan pada core-box dan
diidentifikasi secara visual. Disamping itu cara ini umumnya dapat
digunakan pada jenis tanah apapun dan dapat untuk membor batuan.
31
Gambar 3.5 Pemboran Kering (Dry Boring).
Do2 − Di2
Ar = 100 % …………………………………………… (3.1)
Di2
32
dimana:
Do = diameter luar tabung
Di = diameter dalam tabung.
Gambar 3.6 Tabung Contoh Tanah (U100). Gambar 3.7 Fixed Piston Sample.
33
Klasifikasi, Berat Isi dan Pengujian Indeks Properties Tanah. Pengujian rutin
untuk tanah adalah uji klasifikasi, berat isi, dan pengujian indeks properties tanah.
Yang termasuk dalam jenis pengujian ini adalah :
• Kadar Air (w).
• Berat Isi Tanah (γ).
• Berat Jenis Tanah (Gs).
• Batas Batas Atterberg (wP , wL).
• Uji Gradasi dan Hidrometer.
Pengujian batas-batas Atterberg dan indeks properties perlapisan tanah dapat
digunakan untuk menentukan parameter hasil korelasi yang mungkin dibutuhkan
dalam desain.
1. Uji Kuat Geser (Direct Shear Test).
Kuat geser tanah mempunyai pengaruh yang besar dalam perancangan pondasi
sehingga salah satu tujuan penyelidikan tanah yang penting adalah untuk
menentukan parameter tersebut. Beberapa uji laboratorium yang umum
digunakan adalah uji geser langsung (Direct Shear), uji Triaxial, dan uji kuat
tekan tidak terkekang (Unconfined Compression Test). Ukuran contoh tanah
dalam uji geser langsung umumnya berdiameter 60 mm, dan penggeseran
dilakukan hingga 6 mm. Contoh tanah diberi tegangan normal kemudian digeser
untuk menentukan hubungan antara tegangan normal tersebut dengan tegangan
geser saat runtuh. Pengujian dilakukan tiga kali dengan tegangan normal yang
berbeda dan hasilnya di plotkan (Gambar 3.8.b) untuk mendapatkan nilai
kohesi (c) dan sudut geser dalam .
Gambar 3.9a Alat Uji Unconfined Gambar 3.9b Hasil Uji Unconfined
Compression Test. Compression Test.
35
• Uji UU (Unconsolidated Undrained)
Tegangan sel diberikan dalam kondisi air dalam contoh tanah tidak teralir.
Demikian pula saat penggeseran, air tidak diberi kesempatan mengalir
sehingga pembebanan dalam kondisi undrained. Hasil uji tipikal
ditunjukkan pada Gambar 3.10.b.
• Uji CU (Consolidated Undrained)
Konsolidasi tanah dilakukan dengan memberikan tegangan sel, kemudian
saat penggeseran, aliran air ditutup (undrained).
• Uji CD (Consolidated Drained)
Pada uji CD tanah diberi kesempatan berkonsolidasi dibawah tegangan sel
dan pengujian diberikan amat lambat dalam keadaan air dari contoh tanah
teralir sehingga terjadi perubahan volume pada contoh tanah tetapi tekanan
air pori nol.
Perancang harus dapat memutuskan jenis uji sesuai kebutuhan untuk analisis.
Gambar 3.10 Uji Triaxial UU, CU & CD. (a) konfigurasi alat, (b) Hasi uji UU & CU.
36
4. Uji Konsolidasi (Consolidation Test).
Uji konsolidasi terutama dilakukan untuk menentukan sifat kemampatan tanah
dan karakteristik konsolidasi yang dipengaruhi oleh sifat permeabilitas.
Gambar 3.11 Uji Konsolidasi (Oedometer), (a) Alat Uji, (b) Hasil Uji dan Interpretasi.
37
Penggunaan Uji sondir yang makin luas terutama disebabkan oleh beberapa
faktor :
1. Cukup ekonomis dan dapat dilakukan berulang kali dengan hasil yang
konsisten.
2. Korelasi empirik yang telah berkembang semakin andal.
3. Perkembangan yang semakin meningkat khususnya dengan ada penambahan
sensor pada sondir listrik seperti batu pori dan stress cell untuk mengukur
respon tekanan lateral tanah.
4. Kebutuhan untuk pengujian di lapangan (insitu test) dimana sampel tanah
tidak dapat diambil (tanah lembek dan pasir).
5. Dapat digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dengan baik.
Gambar 3.12 Bentuk Ujung Konus Sondir Mekanis dan Sondir Listrik.
Pengujian awal dengan sondir dapat merupakan arahan untuk pemilihan jenis uji
tanah berikutnya dan dapat membantu menentukan posisi (kedalaman) untuk uji
lapangan yang lain (misalnya Pressuremeter dan uji geser baling Vane shear
test) maupun lokasi pengambilan contoh tanah untuk uji laboratorium. Untuk uji
lapangan, sebaiknya uji sondir dilaksanakan lebih dahulu.
38
Gambar 3.13 Cara Pelaporan Hasil
Uji Sondir.
39
Gambar 3.15 Klasifikasi Tanah Berdasarkan
Data Sondir Listrik
(Robertson & Campanelle, 1983).
Gambar 3.14 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Data
Sondir
Kuat Geser Tanah NonMekanis
Kohesif(Schmertmann, 1978).
Untuk tanah tak berkohesi atau tanah pasir parameter yang umum menggambarkan
perilaku mekanisnya adalah kepadatan relatif. Penelitian para pakar menunjukkan
bahwa perilaku tegangan-regangan (stress-strain behavior) dan kuat geser tanah
pasir terlalu kompleks untuk digambarkan hanya oleh besaran kepadatan relatif. Di
samping itu pengukuran kepadatan maksimum dan minimum di lapangan amat
sulit. Namun demikian, karena para praktisi masih merasakan arti yang besar dari
parameter ini, maka kepadatan relatif dengan hasil uji sondir tetap dipergunakan.
40
Kuat geser tanah pasir dinyatakan dalam sudut geser dalam, . Banyak teori
mengemukakan hubungan analitis antara kuat geser tanah pasiran dengan tahanan
ujung sondir, qc. Gambar 3.16 dan 3.17. memberikan korelasi empirik antara hasil
uji sondir dengan kepadatan relatif dan sudut geser dalam tanah pasir.
Kuat Geser Tak Terdrainase Tanah Kohesif
Kuat geser tanah kohesif dapat ditentukan dengan uji sondir berdasarkan formula
berikut
(qc − v )
cu = ………………………………………….. (3.3)
Nk
dimana : qc adalah tahanan ujung sondir konus (cone factor), V tegangan total,
sedangkan Nk adalah faktor yang nilainya bervariasi antara 9 - 21 serta merupakan
fungsi dari indeks plastis tanah.
41
Alat uji ini terdiri dari beberapa komponen yang sederhana, mudah
ditransportasikan, dipasang, dan mudah pemeliharaannya. Pandangan para ahli
masih sama yaitu bahwa alat ini akan terus dipakai untuk penyelidikan tanah
rutin karena relatif masih ekonomis dan dapat diandalkan.
42
Gambar 3.19 Sampel SPT menurut ASTM D-1586.
43
• Tegangan vertikal efektif.
• Variasi tinggi jatuh.
• Bila digunakan cat-head, jumlah lilitan dapat mempengaruhi energi.
• Cara pemboran dan metoda stabilisasi dinding lubang bor berpengaruh
terhadap nilai NSPT.
• Lubang yang tidak sempurna pembersihannya dapat mengakibatkan
terperangkapnya lumpur ke dalam sampel dan dapat menyebabkan
kenaikan NSPT.
• Dipakai atau tidaknya liner pada sampel.
• Ukuran lubang bor.
Di Indonesia hal lain yang perlu diperhatikan adalah spesifikasi alat SPT yang
berbeda, khususnya yang mengacu kepada ASTM (standard USA) dan kepada
JIS (standard Jepang) (Makarim, 1992).
1,7
CN = …………………………………………………….. (3.4)
0,7 + v'
dimana : v’ adalah tegangan vertikal efektif dalam satuan kg/cm 2. Seed (1979)
juga memberikan angka koreksi tersebut seperti ditunjukkan dalam
Gambar 3.22.
Koreksi Energi
Mengingat jenis pemukul (hammer) memberikan energi yang berbeda, maka
koreksi terhadap jenis hammer ini juga harus dilakukan. Besarnya koreksi
diberikan :
44
Ea
η= …………………………………………………………… (3.5)
E in
dimana : Ea adalah energi aktual yang ditransfer ke batang dan Ein adalah energi
teoritis sesuai dengan tinggi jatuh atau kecepatan impak dari palu.
Masalahnya sekarang adalah bahwa Ein yang harus dijadikan standar harus
ditentukan. Mengenai hal ini terdapat 3 buah pandangan (lihat Tabel 3.3.).
45
Tabel 3. 4. Korelasi Derajat Kepadatan (Dr) pada Tanah Pasir dengan NSPT
Kepadatan Dr NSPT
Pada awalnya Terzaghi dan Peck (1967) memberikan korelasi langsung nilai
NSPT terhadap kepadatan relatif tanah pasir. Tetapi penelitian lebih lanjut
menunjukan bahwa tegangan overburden, OCR, ukuran partikel, dan faktor-
faktor lain juga memberikan pengaruh yang cukup penting. Persamaan berikut
memberikan hubungan yang lebih komplek dan komprehensif dengan
memasukan OCR dan gradasi tanah (Kulhawi dan Mayne, 1990).
N1(60)
Dr =
C p C A C OCR
C P = 60 + 25logD 50 ………………………………………… (3.6)
C OCR = OCR 0.18
dimana :
Dr = Kepadatan relatif (dalam desimal).
46
N1(60) = NSPT yang telah dikoreksi terhadap energi dan tegangan vertikal efektif 1
kg/cm2.
CP = Faktor Koreksi ukuran butir.
CA = Faktor koreksi aging.
COCR = Faktor koreksi OCR.
D50 = Ukuran rata-rata butir.
t = Umur tanah (terhitung saat deposisi).
OCR = Rasio over-konsolidasi
Gambar 3.24 Korelasi Kepadatan Relatif (Dr) Gambar 3.25 Korelasi Empirik nilai NSPT
dengan NSPT (USBR, 1974, Bazaraa, 1967). yang telah dikoreksi vs (De Mello, 1971).
Korelasi dengan Kuat Geser
De Mello mengusulkan korelasi NSPT dengan kuat geser tanah pasir seperti
ditunjukan oleh Gambar 3.25 yang berlaku untuk tanah pasir yang tidak
menyemen dan pada kedalaman lebih dari 2 m.
Untuk tanah lempung telah diteliti korelasi nilai N SPT dengan kuat geser tak
terdrainase, Su, dari tanah lernpung. Data dari hasil penelitian Terzaghi dan Peck
(1967) dan Sowers (1979) diberikan pada Gambar 3.26. pada rentang Jenis
tanah CH (lempung dengan plastisitas tinggi), CL (lempung dengan plastisitas
rendah), dan ML (lanau dengan plastisitas rendah). Korelasi dengan sifat
kemampatan tanah diberikan oleh beberapa peneliti dimana sifat kemampatan
tanah yang dinyatakan oleh Es dari mv dapat diperoleh secara langsung.
47
Gambar 3.26 Perkiraan Hubungan NSPT vs Su (t/m2)
(Terzaghi & Peck, 1967, Sowers, 1979).
6 T
Su = …………………………………………………… (3.7)
7 D3
dimana :
D = diameter dari baling (cm)
T = torsi (kg.cm)
49
3. Indeks Material, ID
p 2 − p1
ID =
p2 − u
Berdasarkan parameter tersebut maka jenis tanah, modulus, dan kekuatan
gesernya dapat diperkirakan.
6. Pengamatan Muka Air Tanah.
Pengamatan muka air tanah dan fluktuasinya untuk beberapa proyek amat
dibutuhkan khususnya dimana pengaruh dari posisi muka air tanah memberikan
beban hidrostatik dan beban uplift. Disamping itu pengetahuan mengenai muka
air tanah juga amat dibutuhkan untuk tahapan konstruksi. Cara umum untuk
memperoleh informasi muka air tanah adalah dengan menggunakan piezometer
yang dapat dipasang pada bekas lubang bor.
50
Gambar 3. 29 Korelasi Antara Jenis Tanah dengan Indeks
Material dan Modulus Dilatometer (Lacasse & Lunne. 1986).
51
Gambar 3.30 Piezometer Jenis Standpipe dan Hidrolik
52