Anda di halaman 1dari 1

Potensi Arkeologi Prasejarah dan Budaya Kabupaten Deiyai

Danau Tigi/ Tigi Peku merupakan danau yang terdapat di Kabupaten Deiyai, meliputi dua distrik yaitu
Distrik Tigi dan Distrik Tigi Barat. Dengan luas 4.272,75 ha, memiliki kedalaman 150 m dan berada di atas
permukaan laut sekitar 1700 m (Pekei, 2008). Masyarakat di Kabupaten Deiyai khususnya di kawasan
Danau Tigi, lebih senang menyebut dirinya sebagai masyarakat Mee atau Manusia Sejati (Makado Mee).
Budaya masa lalu yang masih terlihat hingga kini antara lain pada saat mereka hendak membuka ladang
(bugi) terlihat adanya hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan
mitos. Ritual Emo Meni adalah persembahan korban darah untuk tanah (makitiya) yang dilaksanakan
pada saat buka ladang pertama dan dilakukan oleh orang yang dianggap memiliki hubungan dengan
alam/tua adat. Sebelum menanam mereka memotong babi sebagai tanda penghormatan terhadap
tanah (Makitiya). Tetapi bagi keluarga yang tidak memiliki babi, darah hewan pengganti seperti kus–kus,
tikus atau ayam tetap berarti. Ketika saat panen tiba mereka wujudkan dengan makan bersama melalui
acara bakar batu (arapen), sebagai ungkapan syukur.

Mege merupakan uang tradisional Suku Mee berupa kerang laut, besaran nilainya disesuaikan dengan
bentuk dan ukuran kerang pembayaran dengan mege hanya dilakukan dalam komunitasnya sendiri).
Selain sebagai alat bayar mege dibuat juga sebagai perhiasan berupa kalung. Setiap pribadi laki–laki
dewasa Suku Mee menginginkan memiliki mege, sehingga mereka berusaha untuk bisa ikut dalam ritual
yuwo ini, karena ritual ini merupakan awal untuk mendapatkan sebutan orang kaya (tonowi). Tampilan
seorang tonowi dan keluarganya dapat terlihat dari atribut pakaian yang dikenakan misalnya
menggunakan kalung taring (gope), gelang anggrek (kaganegelan), topi kasuari (waiyo) dan noken mege
(amaapa utepoto).

Kawasan Danau Tigi, merupakan wilayah yang potensial dengan tinggalan budayanya yang masih berciri
prasejarah. Di kawasan ini ditemukan gua dan ceruk yang pada masa lalu pernah dimanfaatkan oleh
masyarakat Mee, baik sebagai tempat hunian, tempat pengguburan maupun tempat ritual. Dari hasil ini
dapat digambarkan bahwa masyarakat dahulu sudah bisa menentukan lokasi sebagai tempat untuk
berlindung dan menetap, menyimpan jasad simati dan membentuk suatu keyakinan terhadap benda
yang dianggap sakral. Selain itu kehidupan masyarakat dapat digambarkan sebagai masyarakat yang
masih mempertahankan Batas-batas wilayah antar klan, batasan dalam status social dan batasan dalam
bertindak. Ditinjau dari teknologi peralatan hidup yang masih sederhana, dengan bahan yang mudah
didapat dari alam serta dibuat hanya untuk hal yang penting. Menunjukan bahwa masyarakat masih
mempertahankan hubungannya dengan alam atau lingkungan sekitarnya, begitu juga dengan ritual
Emomeni dan Yuwo yang masih berlanjut hingga kini menunjukan bahwa tradisi masa lalu yang sudah
membentuk sebagai suatu budaya, merupakan gambaran dari suatu manifestasi adanya hubungan
manusia, alam dan leluhur yang tidak mungkin dipisahkan walaupun banyaknya penetrasi budaya yang
masuk.

Anda mungkin juga menyukai