Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Sunnah.

Menurut bahasa kata sunnah merupakan derivasi dari kata sanna – yasunnu – sunnatan. Kata


itu berarti cara, jalan yang ditempuh, tradisi (adat kebiasaan), atau ketetapan, apakah hal itu baik
atau tidak, terpuji atau tercela.

Menurut ahli hadis, sunnah adalah:

“Segala yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, maupun perjalanan hidupnya, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul
Saw maupun sesudahnya.”

Menurut ahli usul fikih, sunnah adalah:

“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. selain al-Qur’an baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan
hukum syara’ (hukum agama).”

Macam-macam Sunnah
1. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw., yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syarak, peristiwa-peristiwa atau
kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.

Dengan kata lain Sunnah Qauliyah yaitu sunnah Nabi Saw. yang hanya berupa ucapannya saja
baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan. Yang dimaksud
dengan pernyatan Nabi Saw. di sini adalah sabda Nabi Saw. dalam merespon keadaan yang
berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa depannya, kadang-kadang dalam bentuk dialog
dengan para sahabat atau jawaban yang diajukan oleh sahabat atau bentuk-bentuk ain seperti
khutbah.

Dilihat dari tingkatannya sunnah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya
lebih tinggi dari kualitas sunnah fi’liyah maupun taqririyah. Contoh sunnah qauliyah:

a. Hadis tentang doa Nabi Muhammad saw. kepada orang yang mendengar, menghafal
dan menyampaikan ilmu.

Anda belum mahir membaca Qur'an?Ingin Segera Bisa? Klik disini Sekarang!

Dari Zaid bin dabit ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Semoga Allah


memperindah orang yang mendengar hadis dariku lalu menghafal dan menyampaikannya
kepada orang lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih berilmu,
dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak berilmu.” (HR. Abu Dawud)

b. Hadis tentang belajar dan mengajarkan al-Qur’an.

Dari Usman ra, dari Nabi saw., beliau bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah
seorang yang belajar al-Qur`an dan mengajarkannya.”. (HR. al-Bukhari)
c. Hadis tentang persatuan orang-orang beriman.

Dari Abu Musa dia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Orang mukmin yang satu dengan
mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling
mengokohkan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Sunnah Fi’liyah.
Sunnah fi’liyah adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Kualitas sunnah fi’liyah menduduki tingkat kedua setelah sunnah qauliyah. Sunnah fi’liyah juga
dapat maknakan sunnah Nabi Saw. yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh para
sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan shalat manasik haji dan
lain-lain.

Untuk mengetahui hadis yang termasuk kategori ini, diantaranya terdapat kata-kata kana/yakunu
atau ra’aitu/ra’aina. Contohnya:

a. Hadis tentang tata cara shalat di atas kendaraan.

Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah saw. shalat di atas tunggangannya menghadap ke
mana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardhu,
maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

b. Hadis tentang tata cara shalat.

“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari)

c. Hadis tentang tata cara manasik haji.

“Ambillah manasik (tata cara melaksanakan haji) kamu dariku.” (HR. Muslim)

3. Sunnah Taqririyah.
Sunnah Taqririyah adalah sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad Saw. terhadap apa
yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain sunnah taqririyah, yaitu sunnah
Nabi Saw. yang berupa penetapan Nabi Saw. terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui
Nabi saw. tidak menegornya atau melarangnya bahkan Nabi Saw. cenderung mendiamkannya.
Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa
memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau menyalahkannya. Contohnya:

a. Hadis tentang daging dab (sejenis biawak).

Pada suatu hari Nabi Muhammad Saw. disuguhi makanan, di antaranya daging dzab. Beliau
tidak memakannya, sehingga Khalid ibn Walid bertanya, “Apakah daging itu haram ya
Rasulullah?”. Beliau menjawab:

“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku, karena itu aku tidak
memakannya.” Khalid berkata, “Lalu aku pun menarik dan memakannya. Sementara Rasulullah
Saw. melihat ke arahku.”. (Muttafaqun ‘alaih)

b. Hadis tentang Tayamum.

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. ia berkata: “Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah
perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka
berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, kemudian keduanya
mendapati air (dan waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya mengulangi
shalatnya dengan air wudhu dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah
Saw. dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi
shalatnya: ‘Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup’. Dan beliau juga berkata
kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya: ‘Bagimu pahala dua kali’” (HR. ad-Darimi).

4. Sunnah Hammiyah.
Sunnah Hammiyah ialah: suatu yang dikehendaki Nabi Saw. tetapi belum dikerjakan. Sebagian
ulama hadis ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan sunnah hammiyah.
Karena dalam diri Nabi saw. terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan (ahwal) serta himmah (hasrat
untuk melakukan sesuatu). Dalam riwayat disebutkan beberapa sifat yang dimiliki beliau seperti,
“bahwa Nabi saw. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak
pula kasar, tidak suka berteriak, tidak suka berbicara kotor, tidak suka mencela,..” Juga
mengenai sifat jasmaniah beliau yang dilukiskan oleh sahabat Anas ra. sebagai berikut:

Dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra. sedang
menceritakan sifat-sifat Nabi saw., katanya; “Beliau adalah seorang lakilaki dari suatu kaum
yang tidak tinggi dan juga tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih dan tidak pula terlalu
kecoklatan. Rambut beliau tidak terlalu keriting dan tidak lurus.” (HR. Bukhari).

Termasuk juga dalam hal ini adalah silsilah dan nama-nama serta tahun kelahiran beliau.
Adapun himmah (hasrat) beliau misalnya ketika beliau hendak menjalankan puasa pada tanggal
9 ‘Asyura, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra:

“Saya mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata saat Rasulullah saw. berpuasa pada hari
‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.”
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari
ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah saw.
wafat..” (HR Muslim)

Menurut Imam Syafi’i dan rekan-rekannya hal ini termasuk sunnah hammiyah. Sementara
menurut Asy Syaukani tidak demikian, karena hamm ini hanya kehendak hati yang tidak
termasuk perintah syari’at untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.

Dari sifat-sifat, keadaan-keadaan serta himmah tersebut yang paling bisa dijadikan sandaran
hukum sebagai sunnah adalah hamm. Sehingga kemudian sebagian ulama fiqh mengambilnya
menjadi sunnah hammiyah.

PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa
ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.

ِ ‫ت َواأْل َ ْر‬
‫ض‬ ِ ‫س َما َوا‬
َّ ‫بَ ِدي ُع ال‬

“Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah/2 : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.


Juga firman Allah.

‫س ِل‬ ُّ َ‫قُ ْل َما ُك ْنتُ بِ ْدعًا ِمن‬


ُ ‫الر‬

“Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul“. [Al-


Ahqaf/46 : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan
risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak
sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah“, maksudnya : memulai


satu cara yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya


penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya
penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini
adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat
(kebiasaan) adalah mubah.

2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena


yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mengadakan hal
yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari
urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)“. Dan di dalam
riwayat lain disebutkan : “Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang
bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak“.

MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan,
seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta
semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-
keyakinan mereka.

2. Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah
dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini
ada beberapa bagian yaitu :
a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan
suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti
mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan,
atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang
tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

b. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang


disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat
Ashar.

c. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan


ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang
disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti
membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-
batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

d. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi


tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan
malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan
qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan,
akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu
dalil.

Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer
dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan
dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan, tapi bukan
berarti tidak boleh dilakukan. Sementara bid’ah tercela adalah setiap perbuatan baru
yang bertentangan dengan syariat Islam.

Sebagian orang menolak pembagian bid’ah ini karena mereka memahami bahwa setiap
bid’ah adalah sesat. Dengan logika demikian, setiap hal yang tidak dilakukan Rasulullah
terutama yang berkaitan dengan urusan ibadah, dianggap salah dan bid’ah.

Namun, kalau melihat sejarah Rasulullah dan sahabatnya, ada beberapa fakta yang
menunjukkan bahwa Rasulullah pun dalam beberapa hal mengamini “bid’ah” yang
dilakukan oleh sahabat, termasuk dalam ibadah sekali pun. Misalnya, Shahih Al-Bukhari
menyebutkan:

‫ كنا يو ًم ا نصلي وراء النبي صلى هللا عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه‬:‫عن رفاعة بن رافع رضي هللا عنه قال‬
‫ َفلَمَّا‬،ِ‫ار ًكا فِيه‬ َ ‫الحمْ ُد َحمْ ًدا َك ِثيرً ا َط ِّيبًا ُم َب‬ َ ‫ َر َّب َنا َولَ َك‬:ُ‫ َقا َل َر ُج ٌل َو َرا َءه‬،»ُ‫«سم َِع هللاُ لِ َمنْ َحمِدَ ه‬ َ :‫من الركعة قال‬
َ َ َ ‫ْت ِبضْ َع ًة َو َثالَث‬
‫ِين َملَ ًكا َي ْب َت ِدرُو َن َها أ ُّي ُه ْم َي ْك ُت ُب َها أ َّو ُل‬ َ
ُ ‫«رأي‬ َ
َ :‫ َقا َل‬،‫ أ َنا‬:‫ « َم ِن ال ُم َت َكلِّ ُم» َقا َل‬:‫ َقا َل‬،‫ف‬ َ ‫ا ْن‬
َ ‫ص َر‬
Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah, saat bangun
dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat
yang membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban mubarakan
fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak,
yang baik dan penuh dengan berkah). Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa
yang mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian
Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk
siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).

Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat dalam shalat tersebut
tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi Muhammad SAW. Ketika ada sahabat yang
membaca doa tersebut Rasulullah tidak marah dan malah memuji sehingga kita pun
boleh mengamalkannya. Sebab itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:

‫واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصالة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور‬

Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil sebagai kebolehan membuat dzikir baru dalam
shalat yang tidak ma’tsur selama tidak bertentangan dengan ma’tsur.”

Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah juga dibolehkan selama tidak
bertentangan dengan syariat. Tentu maksud bid’ah di sini adalah bid’ah hasanah,
bukan bid’ah sayyi’ah atau dhalalah. Hal ini sudah dilakukan pula oleh sahabat
Rasulullah di hadapan beliau SAW.

Dari sini kita dapat menarik pelajaran agar tidak terlalu cepat menyalahkan amalan yang
dilakukan sekelompok orang atas dasar Rasul tidak pernah melakukan. Karena bisa jadi
apa yang dilakukan itu merujuk pada dalil-dalil umum dalam syariat yang sebetulnya
kalau dikaji tidak bertentangan dengan syariat. Wallahu a’lam.

Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah.


Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang
dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa
banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang
membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari
betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam  sangat sering
membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak
terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan
mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah
lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َ ƒ‫ ْي‬ƒَ‫ا ل‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ا‬ƒ‫ َه َذ‬ƒ‫ا‬ƒ‫ َن‬ƒ‫ْم ِر‬ƒ ƒَ‫ أ‬ƒ‫ى‬ƒ‫ث ِف‬
ƒ‫ ٌّد‬ƒ‫و َر‬ƒƒَ ‫ف ُه‬ƒَ ‫ه‬ƒُ ƒ‫ ْن‬ƒ‫ ِم‬ƒ‫س‬ ƒَ ‫د‬ƒَ ‫ْح‬ƒ َ‫ن أ‬ƒ
ƒْ ‫َم‬

“Barangsiapa membuat suatu  perkara baru dalam urusan kami


ini  (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara
tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ƒ‫ َر ٌّد‬ƒ‫و‬ƒَ ƒ‫ ُه‬ƒ‫ َف‬ƒ‫ا‬ƒ‫ُر َن‬ƒ ‫ْم‬ƒ َ‫ه أ‬ƒِ ‫ي‬ƒْƒَ‫عل‬ƒَ ‫ْس‬
ƒَ ƒ‫ي‬ƒ‫ َل‬ƒً‫ال‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ل َع‬ƒَ ‫م‬ƒِ ‫ع‬ƒَ ‫ن‬ƒ
ƒْ ‫َم‬

“Barangsiapa melakukan suatu  amalan yang bukan berasal dari


kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah
biasanya beliau mengucapkan,
ƒَ ƒ‫ ٍة‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ِب ْد‬ƒ‫ ُّل‬ƒ‫ ُك‬ƒ‫ا َو‬ƒ‫ت َه‬ƒُ ƒ‫ا‬ƒ‫َد َث‬ƒ ْ‫ح‬ƒ‫ ُم‬ƒ‫ر‬ƒِ ‫و‬ƒ‫ ُم‬ƒُ‫ُّر األ‬ƒ ƒ‫ َش‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ُح َّم ٍد‬ƒَ ƒ‫ م‬ƒ‫َدى‬ƒ ‫ ُه‬ƒ‫َدى‬ƒ ‫ل ُه‬ƒƒْ‫ُر ا‬ƒ ƒ‫ ْي‬ƒ‫ َو َخ‬ƒِ ‫ هَّللا‬ƒ‫ب‬
ƒ‫ ٌة‬ƒَ‫ل‬ƒَ‫ضال‬ ƒِ ƒ‫ي‬ƒ‫ َح ِد‬ƒ‫ر ا ْل‬ƒ
ƒُ ‫ا‬ƒ‫ك َت‬ƒِ ‫ث‬ ƒْ ‫ َب‬ƒ‫ َّم ا‬ƒَ‫أ‬
ƒَ ‫خ ْي‬ƒَ َّ‫ن‬ƒِ‫إ‬ƒ‫د َف‬ƒُ ‫ع‬ƒ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah


kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Sejelek-jelek perkara adalah
(perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama)
yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah
kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
ُ ƒ‫ َه ْد‬ƒِ‫دي‬ƒْ ƒ‫ َه‬ƒ‫ن ا ْل‬ƒَ ‫س‬ƒَ ‫ْح‬ƒ ƒَ‫أ‬ƒ‫ َو‬، ƒِ ‫ب هَّللا‬ƒ
ƒ‫ي‬ ƒُ ‫ا‬ƒ‫ َت‬ƒ‫ث ِك‬ َ ƒَ‫َّن أ‬ƒ ƒِ‫ إ‬، ‫ه‬ƒُ ƒَ‫ي ل‬ƒ
ƒِ ƒ‫ي‬ƒ‫ َح ِد‬ƒ‫ق ا ْل‬ƒَ ‫َد‬ƒ ‫ص‬ ƒَ ‫ا ِد‬ƒ‫ َه‬ƒ‫فال‬ƒَ ƒ‫ ْل‬ƒِ‫ضل‬ ƒْ ‫و َم‬ƒَ ƒ، ƒ‫ لَ ُه‬ƒ‫ض َّل‬
ْƒ ƒ‫ن ُي‬ƒ ِƒ ƒ‫ ُم‬ƒ‫ال‬ƒ‫د هَّللا ُ َف‬ƒِ ‫ه‬ƒْ ‫ي‬ƒَ ‫ن‬ƒƒْ ‫َم‬
ƒ‫ل‬ ُ ٌ
َّ ƒ‫ك‬ƒ‫ َو‬ƒ، ƒ‫لة‬ƒ‫ضال‬َ ُ ٌ َ ُ ُ َ ُ َ َّ َ ‫هَّللا‬
ƒَ ‫ة‬ƒٍ ‫ع‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒ‫كلَّ ِب‬ƒ ‫و‬ƒَ ƒ، ƒ‫د َعة‬ƒْ ƒ‫ ِب‬ƒ‫ ٍة‬ƒ‫َدث‬ƒ ْ‫ُح‬ƒ‫كلَّ م‬ƒ ‫و‬ƒَ ƒ، ‫ا‬ƒ‫ت َه‬ƒ ƒ‫ا‬ƒ‫َدث‬ƒ ْ‫ح‬ƒ‫ ُم‬ƒ‫ر‬ƒِ ‫و‬ƒ‫ ُم‬ƒ‫َّر األ‬ƒ ƒ‫ش‬ƒ‫ َو‬ƒ، ƒ‫ َم‬ƒ‫ل‬ƒ‫ َس‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ ْي ِه‬ƒ‫عل‬ƒَ ƒُ ƒ‫صلَّى‬ ƒَ ‫د‬ƒٍ ƒ‫ َّم‬ƒ‫ُم َح‬
ƒِ ‫ َّن ا‬ƒ‫ ال‬ƒ‫ي‬ƒِ‫ة ف‬ƒٍ ƒَ‫ل‬ƒ‫ضال‬
‫ر‬ƒ ƒَ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada
yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-
benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.  Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang
diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu
adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i
no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ƒً ‫ي‬ƒ‫ ِث‬ƒ‫ا َك‬ƒ‫ ًف‬ƒَ‫ال‬ƒ‫ ِت‬ƒ‫رى ا ْخ‬ƒ
‫را‬ƒ ƒَ ‫س َي‬ƒَ ‫ف‬ƒَ ƒ‫ى‬ƒ‫ْع ِد‬ƒ ƒ‫ َب‬ƒ‫ن ُك ْم‬ƒْ‫م‬ƒِ ‫ش‬ƒ ƒْ ‫ي ِع‬ƒَ ƒ‫ن‬ƒْ ƒ‫ َم‬ƒ‫ ُه‬ƒ‫ َّن‬ƒِ‫إ‬ƒ‫ًيًّا َف‬ƒ‘ ‫ِش‬ƒ ƒ‫ َح َب‬ƒ‫ب ًدا‬ƒْ‫ع‬ƒَ ‫ن‬ƒ
ƒْ ِ‫وإ‬ƒَ ‫ة‬ƒِ ƒ‫ا َع‬ƒ‫ط‬ َّ ‫ل‬ƒ‫ا‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ْم ِع‬ƒ ‫ل َّس‬ƒ‫ا‬ƒ‫ هَّللا ِ َو‬ƒ‫ى‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ ْق‬ƒ‫ َت‬ƒ‫م ِب‬ƒْ ‫ك‬ƒُ ƒ‫صي‬ ِƒ ‫و‬ƒُ‫أ‬
‫ت‬ ƒِ ƒ‫ا‬ƒ‫َد َث‬ƒ ْ‫ح‬ƒ‫و ُم‬ƒَ ‫م‬ƒْ ‫ك‬ƒُ ƒ‫ َّي ا‬ƒِ‫وإ‬ƒَ ‫ذ‬ƒِ ƒ‫َّوا ِج‬ƒَ ƒ‫لن‬ƒ‫ا‬ƒ‫ا ِب‬ƒ‫ي َه‬ƒْƒَ‫عل‬ƒَ ƒ‫ا‬ƒ‫ضو‬ُّ ‫ع‬ƒَ ‫و‬ƒَ ƒ‫ها‬ƒَ ƒ‫ ِب‬ƒ‫ا‬ƒ‫و‬ƒ‫ َّس ُك‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ َت‬ƒ‫ي َن‬ƒ‫ِش ِد‬ƒ ‫َّر ا‬ƒ ‫ن ال‬ƒ ƒَ ‫د ِّي ي‬ƒِ ‫ه‬ƒْ ‫م‬ƒَ ‫ل‬ƒƒْ‫ ا‬ƒ‫ا ِء‬ƒ‫ َف‬ƒَ‫خل‬ƒُ ƒ‫ة ا ْل‬ƒِ ‫س َّن‬ƒُ ‫و‬ƒَ ƒ‫ى‬ƒِ‫ت‬ƒ‫ َّن‬ƒ‫م ِب ُس‬ƒْ ‫ك‬ƒُ ‫ي‬ƒْƒَ‫عل‬ƒَ ‫ف‬ƒَ
ƒٌ َ‫ل‬ƒَ‫ال‬ƒ‫ض‬
‫ة‬ƒ َ ƒ‫د َع ٍة‬ƒْ ƒ‫كلَّ ِب‬ƒُ ‫و‬ƒَ ‫ة‬ƒٌ ƒ‫ َع‬ƒ‫ة ِب ْد‬ƒٍ ‫ث‬ƒَ ‫د‬ƒَ ‫ْح‬ƒ ‫كلَّ ُم‬ƒُ ‫َّن‬ƒ ƒِ‫إ‬ƒ‫ َف‬ƒ‫ر‬ƒِ ‫و‬ƒ‫ ُم‬ƒُ‫األ‬

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap


mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin
kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa
di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk
berpegang pada sunnah-ku dan  sunnah  Khulafa’ur Rasyidin yang
mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya
dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.  Jauhilah dengan
perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara
(agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits
ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ه‬ƒُ ƒ‫ َت‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ِب ْد‬ƒ‫ع‬ƒْ ‫َد‬ƒ ‫ َي‬ƒ‫ى‬ƒ‫ َح َّت‬ƒ‫ ٍة‬ƒ‫ َع‬ƒ‫ ِب ْد‬ƒ‫ب‬ ƒَ ِّ‫كل‬ƒُ ‫ن‬ƒْ ‫ع‬ƒَ ‫ة‬ƒَ ‫ب‬ƒَ ‫َّو‬ƒْ ƒ‫ الت‬ƒ‫ب‬
ِ ƒ‫صا ِح‬ ƒَ ƒ‫ َح َج‬ƒ‫هللا‬
َ ‫ن‬ƒ ƒَ ِ‫إ‬

“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap  pelaku


bid’ah  sampai ia meninggalkan bid’ahnya”   (HR. Ath Thabrani
dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani
dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‫ى‬ƒ ƒْ ƒ‫ ُم‬ƒ‫ ُه‬ƒ‫ َل‬ƒ‫ا ِو‬ƒ‫ َن‬ƒُ‫ت أل‬ƒ
ƒْ َ‫ أ‬ƒ‫و ُل‬ƒُ‫ق‬ƒَ‫أ‬ƒ‫ َف‬ƒ‫ى‬ƒ‫و ِن‬ƒ‫ ُد‬ƒ‫وا‬ƒ‫ ُج‬ƒِ‫اخ ُتل‬ ƒْ َ‫ أ‬ƒ‫ا‬ƒ‫ إِ َذ‬ƒ‫ح َّتى‬ƒَ ƒ‫ ْم‬ƒ‫ ُك‬ƒ‫ ْن‬ƒ‫ل ِم‬
ƒُ ‫و ْي‬ƒَ ‫ه‬ƒ ƒٌ ƒ‫ا‬ƒ‫ى ِر َج‬ ƒُ ƒ‫ َر‬ƒ‫ا َف‬ƒ‫ َن‬ƒَ‫أ‬
ƒِ ƒ‫ ْو‬ƒ‫ل َح‬ƒْ ‫ ا‬ƒ‫ى‬ƒ‫م َع َل‬ƒْ ‫ك‬ƒُ ‫ط‬
َّ ƒَ‫ل‬ƒِ‫َّن إ‬ƒ ƒ‫ َع‬ƒ‫ْر َف‬ƒ ƒ‫ ُي‬ƒ‫ َل‬، ƒ‫ض‬
َ ‫َد‬ƒ ‫ْع‬ƒ ƒ‫ا َب‬ƒ‫و‬ƒ‫َد ُث‬ƒ ْ‫ح‬ƒَ‫ا أ‬ƒ‫ َم‬ƒ‫رى‬ƒِ ‫د‬ƒْ ƒ‫ َت‬ƒَ‫ ال‬ƒ‫و ُل‬ƒُ‫يق‬ƒَ . ƒ‫ى‬ƒ‫ب‬ƒِ ‫ا‬ƒ‫صْ َح‬ƒَ‫ربِّ أ‬ƒَ
ƒ‫ك‬
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu
ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian.
Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al
haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai
Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu
(bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR.
Bukhari no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
ƒ‫ى‬ƒ‫عْ ِد‬ƒ‫ َب‬ƒ‫ َّد َل‬ƒ‫ْن َب‬ƒ ƒ‫ َم‬ƒِ‫ ل‬ƒ‫ا‬ƒ‫ْح ًق‬ƒ ‫ ُس‬ƒ‫ا‬ƒ‫ْح ًق‬ƒ ‫ ُس‬ƒ‫و ُل‬ƒُ‫ق‬ƒَ‫أ‬ƒ‫ َف‬ƒ‫ك‬
ƒَ ‫َد‬ƒ ْ‫ع‬ƒ‫ َب‬ƒ‫ا‬ƒ‫ُو‬ƒ‫ َّد ل‬ƒ‫ا َب‬ƒ‫ َم‬ƒ‫ى‬ƒ‫ ِر‬ƒ‫ ْد‬ƒ‫ َت‬ƒَ‫ ال‬ƒ‫ك‬
ƒَ ‫ َّن‬ƒِ‫ إ‬ƒ‫ا ُل‬ƒ‫ي َق‬ƒُ ‫ف‬ƒَ . ƒ‫م ِّنى‬ƒِ ‫م‬ƒْ ƒ‫ َّن ُه‬ƒِ‫إ‬

“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu


Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa
sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka,
celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku
sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits
yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal
oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara
mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah
Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu
perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk
jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-
orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada,
juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan
dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu
mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada
ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini”
(Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
، ƒ” ƒ‫ا‬ƒ‫ َه‬ƒ‫ي ِت‬ƒِ‫ق‬ƒ‫ا‬ƒ‫ َو‬ƒ‫ْن َم‬ƒ ƒ‫ة َع‬ƒَ ‫صاَل‬ ُ ‫ْح ِد‬ƒ ƒ‫ ُي‬ƒ‫ َو‬، ‫ة‬ƒَ ƒ‫ل ُّس َّن‬ƒ‫ن ا‬ƒ
َّ ƒ‫ ال‬ƒ‫ن‬ƒَ ‫و‬ƒ‫ِّخ ُر‬ƒ ƒ‫ َؤ‬ƒ‫ ُي‬ƒ‫ َو‬، ‫ة‬ƒً ƒ‫ َع‬ƒ‫ ْد‬ƒ‫ ِب‬ƒ‫و َن‬ƒ‫ث‬ƒ ƒَ ‫و‬ƒ‫ ُئ‬ƒ‫ ِف‬ƒ‫ ُي ْط‬ƒ‫جا ٌل‬ƒَ ƒ‫ي ِر‬ƒ‫ع ِد‬ƒ ƒْ ‫ن َب‬ƒƒْ ‫م ِم‬ƒْ ‫ك‬ƒُ ‫ر‬ƒَ ‫م‬ƒْ ƒَ‫ أ‬ƒ‫ي‬ƒِ‫ل‬ƒ‫ َي‬ƒ‫ َس‬ƒ‫ ُه‬ƒ‫ا َّن‬
ƒ‫صى‬ƒَ ‫ع‬ƒَ ‫ن‬ƒ ƒْ ‫ َم‬ƒِ‫ة ل‬ƒٌ ƒ‫طا َع‬ƒَ ƒ‫ ٍد‬ƒ‫ ْب‬ƒ‫ُ ِّم َع‬ƒ‫ أ‬ƒ‫ َن‬ƒ‫ا ا ْب‬ƒ‫س َي‬ƒ
ƒَ ‫ ْي‬ƒَ‫ ل‬ƒ” : ‫ل‬ƒَ ƒ‫ا‬ƒ‫م ؟ َق‬ƒْ ƒ‫ت ُه‬ƒُ ‫ك‬ƒْ ‫ر‬ƒَ ‫د‬ƒْ ƒَ‫ا أ‬ƒ‫ إِ َذ‬ƒ‫ي‬ƒِ‫ ب‬ƒ‫ف‬ ƒَ ƒ‫ ْي‬ƒ‫ َك‬ƒ، ِ ‫ هَّللا‬ƒ‫و َل‬ƒ‫ ُس‬ƒ‫ا َر‬ƒ‫ َي‬: ƒ‫و ٍد‬ƒ‫س ُع‬ƒْ ƒ‫ُن َم‬ƒ ƒ‫ ا ْب‬ƒ‫ا َل‬ƒ‫َق‬
ٍ ‫َّر ا‬ƒ ƒ‫ َم‬ƒ‫ث‬
ƒ‫ت‬ َ ‫ثاَل‬ƒَ ƒ‫ها‬ƒَ ƒَ‫ل‬ƒ‫ا‬ƒ‫ َق‬، ƒ” َ ‫هَّللا‬

“Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian


sepeninggalku nanti, yaitu  akan ada orang (pemimpin) yang
mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga
mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu
bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui
mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan
pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya
3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al
Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)

Anda mungkin juga menyukai