Resume Aswaja
Resume Aswaja
“Segala yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, maupun perjalanan hidupnya, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul
Saw maupun sesudahnya.”
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. selain al-Qur’an baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan
hukum syara’ (hukum agama).”
Macam-macam Sunnah
1. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw., yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syarak, peristiwa-peristiwa atau
kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Dengan kata lain Sunnah Qauliyah yaitu sunnah Nabi Saw. yang hanya berupa ucapannya saja
baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan. Yang dimaksud
dengan pernyatan Nabi Saw. di sini adalah sabda Nabi Saw. dalam merespon keadaan yang
berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa depannya, kadang-kadang dalam bentuk dialog
dengan para sahabat atau jawaban yang diajukan oleh sahabat atau bentuk-bentuk ain seperti
khutbah.
Dilihat dari tingkatannya sunnah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya
lebih tinggi dari kualitas sunnah fi’liyah maupun taqririyah. Contoh sunnah qauliyah:
a. Hadis tentang doa Nabi Muhammad saw. kepada orang yang mendengar, menghafal
dan menyampaikan ilmu.
Dari Usman ra, dari Nabi saw., beliau bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah
seorang yang belajar al-Qur`an dan mengajarkannya.”. (HR. al-Bukhari)
c. Hadis tentang persatuan orang-orang beriman.
Dari Abu Musa dia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Orang mukmin yang satu dengan
mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling
mengokohkan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
2. Sunnah Fi’liyah.
Sunnah fi’liyah adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Kualitas sunnah fi’liyah menduduki tingkat kedua setelah sunnah qauliyah. Sunnah fi’liyah juga
dapat maknakan sunnah Nabi Saw. yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh para
sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan shalat manasik haji dan
lain-lain.
Untuk mengetahui hadis yang termasuk kategori ini, diantaranya terdapat kata-kata kana/yakunu
atau ra’aitu/ra’aina. Contohnya:
Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah saw. shalat di atas tunggangannya menghadap ke
mana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardhu,
maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
3. Sunnah Taqririyah.
Sunnah Taqririyah adalah sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad Saw. terhadap apa
yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain sunnah taqririyah, yaitu sunnah
Nabi Saw. yang berupa penetapan Nabi Saw. terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui
Nabi saw. tidak menegornya atau melarangnya bahkan Nabi Saw. cenderung mendiamkannya.
Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa
memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau menyalahkannya. Contohnya:
Pada suatu hari Nabi Muhammad Saw. disuguhi makanan, di antaranya daging dzab. Beliau
tidak memakannya, sehingga Khalid ibn Walid bertanya, “Apakah daging itu haram ya
Rasulullah?”. Beliau menjawab:
“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku, karena itu aku tidak
memakannya.” Khalid berkata, “Lalu aku pun menarik dan memakannya. Sementara Rasulullah
Saw. melihat ke arahku.”. (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. ia berkata: “Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah
perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka
berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, kemudian keduanya
mendapati air (dan waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya mengulangi
shalatnya dengan air wudhu dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah
Saw. dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi
shalatnya: ‘Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup’. Dan beliau juga berkata
kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya: ‘Bagimu pahala dua kali’” (HR. ad-Darimi).
4. Sunnah Hammiyah.
Sunnah Hammiyah ialah: suatu yang dikehendaki Nabi Saw. tetapi belum dikerjakan. Sebagian
ulama hadis ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan sunnah hammiyah.
Karena dalam diri Nabi saw. terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan (ahwal) serta himmah (hasrat
untuk melakukan sesuatu). Dalam riwayat disebutkan beberapa sifat yang dimiliki beliau seperti,
“bahwa Nabi saw. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak
pula kasar, tidak suka berteriak, tidak suka berbicara kotor, tidak suka mencela,..” Juga
mengenai sifat jasmaniah beliau yang dilukiskan oleh sahabat Anas ra. sebagai berikut:
Dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra. sedang
menceritakan sifat-sifat Nabi saw., katanya; “Beliau adalah seorang lakilaki dari suatu kaum
yang tidak tinggi dan juga tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih dan tidak pula terlalu
kecoklatan. Rambut beliau tidak terlalu keriting dan tidak lurus.” (HR. Bukhari).
Termasuk juga dalam hal ini adalah silsilah dan nama-nama serta tahun kelahiran beliau.
Adapun himmah (hasrat) beliau misalnya ketika beliau hendak menjalankan puasa pada tanggal
9 ‘Asyura, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra:
“Saya mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata saat Rasulullah saw. berpuasa pada hari
‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.”
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari
ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah saw.
wafat..” (HR Muslim)
Menurut Imam Syafi’i dan rekan-rekannya hal ini termasuk sunnah hammiyah. Sementara
menurut Asy Syaukani tidak demikian, karena hamm ini hanya kehendak hati yang tidak
termasuk perintah syari’at untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Dari sifat-sifat, keadaan-keadaan serta himmah tersebut yang paling bisa dijadikan sandaran
hukum sebagai sunnah adalah hamm. Sehingga kemudian sebagian ulama fiqh mengambilnya
menjadi sunnah hammiyah.
PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa
ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
ِ ت َواأْل َ ْر
ض ِ س َما َوا
َّ بَ ِدي ُع ال
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan
risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak
sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan,
seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta
semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-
keyakinan mereka.
2. Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah
dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini
ada beberapa bagian yaitu :
a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan
suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti
mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan,
atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang
tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer
dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan
dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan, tapi bukan
berarti tidak boleh dilakukan. Sementara bid’ah tercela adalah setiap perbuatan baru
yang bertentangan dengan syariat Islam.
Sebagian orang menolak pembagian bid’ah ini karena mereka memahami bahwa setiap
bid’ah adalah sesat. Dengan logika demikian, setiap hal yang tidak dilakukan Rasulullah
terutama yang berkaitan dengan urusan ibadah, dianggap salah dan bid’ah.
Namun, kalau melihat sejarah Rasulullah dan sahabatnya, ada beberapa fakta yang
menunjukkan bahwa Rasulullah pun dalam beberapa hal mengamini “bid’ah” yang
dilakukan oleh sahabat, termasuk dalam ibadah sekali pun. Misalnya, Shahih Al-Bukhari
menyebutkan:
كنا يو ًم ا نصلي وراء النبي صلى هللا عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه:عن رفاعة بن رافع رضي هللا عنه قال
َفلَمَّا،ِار ًكا فِيه َ الحمْ ُد َحمْ ًدا َك ِثيرً ا َط ِّيبًا ُم َب َ َر َّب َنا َولَ َك:ُ َقا َل َر ُج ٌل َو َرا َءه،»ُ«سم َِع هللاُ لِ َمنْ َحمِدَ ه َ :من الركعة قال
َ َ َ ْت ِبضْ َع ًة َو َثالَث
ِين َملَ ًكا َي ْب َت ِدرُو َن َها أ ُّي ُه ْم َي ْك ُت ُب َها أ َّو ُل َ
ُ «رأي َ
َ : َقا َل، أ َنا: « َم ِن ال ُم َت َكلِّ ُم» َقا َل: َقا َل،ف َ ا ْن
َ ص َر
Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah, saat bangun
dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat
yang membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban mubarakan
fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak,
yang baik dan penuh dengan berkah). Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa
yang mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian
Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk
siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).
Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat dalam shalat tersebut
tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi Muhammad SAW. Ketika ada sahabat yang
membaca doa tersebut Rasulullah tidak marah dan malah memuji sehingga kita pun
boleh mengamalkannya. Sebab itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:
واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصالة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور
Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil sebagai kebolehan membuat dzikir baru dalam
shalat yang tidak ma’tsur selama tidak bertentangan dengan ma’tsur.”
Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah juga dibolehkan selama tidak
bertentangan dengan syariat. Tentu maksud bid’ah di sini adalah bid’ah hasanah,
bukan bid’ah sayyi’ah atau dhalalah. Hal ini sudah dilakukan pula oleh sahabat
Rasulullah di hadapan beliau SAW.
Dari sini kita dapat menarik pelajaran agar tidak terlalu cepat menyalahkan amalan yang
dilakukan sekelompok orang atas dasar Rasul tidak pernah melakukan. Karena bisa jadi
apa yang dilakukan itu merujuk pada dalil-dalil umum dalam syariat yang sebetulnya
kalau dikaji tidak bertentangan dengan syariat. Wallahu a’lam.
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada
yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-
benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang
diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu
adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i
no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ƒً يƒ ِثƒا َكƒ ًفƒَالƒ ِتƒرى ا ْخƒ
راƒ ƒَ س َيƒَ فƒَ ƒىƒْع ِدƒ ƒ َبƒن ُك ْمƒْمƒِ شƒ ƒْ ي ِعƒَ ƒنƒْ ƒ َمƒ ُهƒ َّنƒِإƒًيًّا َفƒ‘ ِشƒ ƒ َح َبƒب ًداƒْعƒَ نƒ
ƒْ ِوإƒَ ةƒِ ƒا َعƒط َّ لƒاƒ َوƒْم ِعƒ ل َّسƒاƒ هَّللا ِ َوƒىƒ َوƒ ْقƒ َتƒم ِبƒْ كƒُ ƒصي ِƒ وƒُأ
ت ƒِ ƒاƒَد َثƒ ْحƒو ُمƒَ مƒْ كƒُ ƒ َّي اƒِوإƒَ ذƒِ ƒَّوا ِجƒَ ƒلنƒاƒا ِبƒي َهƒْƒَعلƒَ ƒاƒضوُّ عƒَ وƒَ ƒهاƒَ ƒ ِبƒاƒوƒ َّس ُكƒ َمƒ َتƒي َنƒِش ِدƒ َّر اƒ ن الƒ ƒَ د ِّي يƒِ هƒْ مƒَ لƒƒْ اƒا ِءƒ َفƒَخلƒُ ƒة ا ْلƒِ س َّنƒُ وƒَ ƒىƒِتƒ َّنƒم ِب ُسƒْ كƒُ يƒْƒَعلƒَ فƒَ
ƒٌ َلƒَالƒض
ةƒ َ ƒد َع ٍةƒْ ƒكلَّ ِبƒُ وƒَ ةƒٌ ƒ َعƒة ِب ْدƒٍ ثƒَ دƒَ ْحƒ كلَّ ُمƒُ َّنƒ ƒِإƒ َفƒرƒِ وƒ ُمƒُاأل