Anda di halaman 1dari 20

TUGAS STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

“MANAJEMEN RISIKO”

Dosen Pengampu:
apt. Heru Dwi Purnomo, M.Sc.

Disusun Oleh:
Kelompok 2 A
1. Abednego Hertanto (2120424688)
2. Adinda Verdiany Lestari (2120424689)
3. Afdal Muhammad M (2120424690)
4. Afifah Nur Phreatia Waluyo (2120424691)
5. Afrah Baitunnisyah (2120424692)
6. Afrah Hafizah (2120424693)
7. Alfiani Nurul Azizah (2120424694)
8. Alifia Rahma Anggraeni (2120424695)
9. Almira Amadea Edytiananda (2120424696)
10. Amanda Dwi Rahmawati (2120424697)
11. Amin Dwi Astuti (2120424698)
12. Angela Merici Saputry B (2120424699)
13. Angelina Dwi Febryani (2120424700)
14. Anindhita Ayu Sanchika (2120424701)
15. Annisa Nur Safitri (2120424702)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara
sistematik untuk melakukan evaluasi, menemukan, menelaah/ me-review, dan
memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.
Menurut Sackett et al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu
pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk
kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam praktek, EBM
memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah
terkini yang paling dapat dipercaya.Dengan demikian, maka salah satu syarat utama
untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinik yang evidence-based adalah
dengan menyediakan bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang
dihadapi, serta diutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik, dan
randomized double blind controlled clinical trial (RCT).
Resiko merupakan keadaan adanya ketidakpastian dan tingkat
ketidakpastiannya terukur secara kuantitiatif. Resiko dapat dikategorikan ke dalam
resiko murni dan resiko spekulatif. Resiko murni merupakan resiko yang dapat
mengakibatkan kerugian, tetapi tidak ada kemungkinan menguntungkan, semntara
resiko spekulatif adalah resiko yang dapat mengakibatkan dua kemungkinan,
merugikan atau menguntungkan. Seluruh kegiatan yang dilakukan baik
perseorangan ataupun organisasi atau perusahaan juga mengandung resiko. Semakin
besar resiko yang dihadapi umumnya dapat diperhitungkan bahwa pengembalian
yang diterima juga akan lebih besar.
Pola pengambilan resiko menunjukkan sikap yang berbeda terhadap
pengambilan resiko. Resiko adalah ketidakpastian dan dapat menimbulkan
terjadinya peluang kerugian terhadap pengambilan keputusan. Ketidakpastian
merupakan situasi yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, mendefinisikan resiko
sebagai peluang terjadinya hasil yang tidak diinginkan sehingga resiko hanya terkait
dengan situasi yang memungkinkan munculnya hasil negatif serta berkaitan dengan
kemampuan memperkirakan terjadinya hasil negatif tadi.
Manajemen resiko adalah suatu cara untuk mengorganisir suatu resiko yang
akan dihadapi baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui atau yang
tak terpikirkan yaitu dengan cara memindahkan resiko kepada pihak lain,
menghindari resiko, mengurangi efek negatif resiko, dan menantang sebagian atau
semua konsekuensi resiko tertentu. Resiko yang melekat dari tindakan pelayanan
kesehatan adalah bahwa dalam pelayanan kesehatan yang diukur adalah upaya yang
dilakukan (inspaning verbentenis), bukanlah hasil akhirnya (resultante
verbintennis).
IFRS merupakan salah satu komponen penting dalam pelayanan kesehatan.
Setiap kegiatan pelayanan yang dilakukan di Instalasi Farmasi pasti mengandung
resiko, baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui. Oleh karena itu,
dengan manajemen resiko, diharapkan kerugian yang ditimbulkan dari
ketidakpastian dapat dikurangi bahkan dihilangkan untuk kelangsungan pelayanan
kesehatan khususnya di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana deskripsi dari manajemen resiko?
2. Bagaimana fungsi-fungsi pokok manajemen resiko?
3. Bagaimana proses identifikasi dan analisa resiko?
4. Bagaimana cara mengelola resiko?
5. Bagaimana proses manajemen resiko
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud manajemen resiko.
2. Mengetahui fungsi-fungsi pokok manajemen resiko.
3. Memahami proses identifikasi serta analisis resiko.
4. Mengetahui bagaimana pengelolaan resiko
5. Memahami proses manajemen resiko.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Permenkes No.72 Tahun 2016 menyebutkan bahwa setiap pemangku


kepentingan di Rumah Sakit harus mendukung penerapan Standar pelayanan Kefarmasian
di Rumah Sakit. Berdasarkan standar ini, apoteker dalam melaksanakan kegiatan Pelayanan
Kefarmasian harus mempertimbangkan factor risiko yang terjadi yang disebut dengan
manajemen risiko. Adapun manajemen risiko di Instalasi farmasi dilakukan pada kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik.

A. Definisi Manajemen Resiko


Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur risiko, serta
membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang tersedia. Strategi yang
dapat digunakan antara lain mentransfer risiko pada pihak lain, mengindari risiko,
mengurangi efek buruk dari risiko dan menerima sebagian maupun seluruh konsekuensi
dari risiko tertentu

Risiko adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang berdampak negative


terhadap pencapaian sasaran organisasi. Manajemen Risiko adalah proses yang proaktof
dan kontinu meliputi identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian informasi komunikasi,
pemantauan, dan pelaporan Risiko, termasuk berbagai strategi yang dijalankan untuk
mengelola Risiko dan potensinya. (Kemenkes, 2019).

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCHO)


mendefinisikan manajemen risiko sebagai pengidentifikasian, penilaian, dan penyusunan
prioritas risiko secara proaktif dengan tujuan untuk meniadakan atau meminimalkan
dampaknya.

Menurut Djojosoedarso (2003) manajemen risiko merupakan berbagai cara


penanggulangan risiko. Dan menurut Peltier (2001), manajemen risiko merupakan proses
mengidentifikasi risiko, mengukur untuk mengurangi risiko. Sedangkan, menurut Dorfman
(2004) manajemen risiko merupakan proses logik yang digunakan oleh perusahaan bisnis
dan individual. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang harus selalu berusaha
untuk mencegah terjadinya resiko, artinya bahwa adanya upaya untuk meminimumkan
resiko yang terjadi. Dan pencegahan resiko tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pengelolaan dari pencegahan resiko inilah yang kita sebut sebagai manajemen risiko.

Program manajemen risiko dengan demikian mencakup tugas-tugas, seperti

1. Mengidentifikasi risiko-risiko yang dihadapi;


2. Mengukur atau menentukan besarnya risiko tersebut;
3. Mencari jalan untuk menghadapi atau menanggulangi risiko;
4. Menyusun strategi untuk memperkecil ataupun mengendalikan risiko;
5. Mengkoordinir pelaksanaan penanggulan risiko serta mengevaluasi program
penanggulangan risiko yang telah di buat.

B. Fungsi-fungsi Pokok Manajemen Risiko


Menurut Djojosoerdarso(2005), fungsi pokok manajemen risiko terdiri dari:

1. Mencegah dan mengurangi risiko potensial


2. Melakukan antispasi bersiap-siap sebagai respons dan perbaikan jika risiko menjadi
kenyataan: mengendalikan derajat kerusakan, cidera, beban, kehilangan , atau
kejadian negative seminimal mungkin
3. Melindungi perusahan dari risiko signifikan yang dapat menghambat pencapaian
tujuan perusahan
4. Memberikan kerangka kerja manajemen risiko yang konsisten atas risiko yang ada
pada proses bisnis dan fungsi dalam perusahaan.
5. Mendorong manajemen untuk bertindak proaktif mengurangi risiko kerugian,
menjadikan pengelolaan risiko sebagai sumber keunggulan bersaing dan juga
keunggulan kinerja perusahaan
6. Mendorong setiap perusahaan untuk bertindak hati-hati dalam menghadapi risiko
perusahaan, sebagai upaya untuk memaksimalkan nilai perusahaan
7. Membangun kemam[uan mensosialisasikan pemahaman mengenai risiko dan
pentingnya pengelolaan risiko
8. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui penyediaan informasi tingkat risiko yang
digambarkan dalam peta risiko (riks map) yang berguna bagi manajemen dalam
pengembangan strategi dan perbaikan proses manajemen risiko secara terus
menerus dan berkesinambungan.

C. Identifikasi dan Analisa Resiko


Proses identifikasi risiko ini mungkin adalah proses yang terpenting, karena dari
proses inilah, semua risiko yang ada atau yang mungkin terjadi pada suatu proyek,
harus diidentifikasi. Proses identifikasi harus dilakukan secara cermat dan
komprehensif, sehingga tidak ada risiko yang terlewatkan atau tidak teridentifikasi.
Dalam pelaksanaannya, identifikasi risiko dapat dilakukan dengan beberapa
teknik, antara lain:
a) Brainstorming
b) Questionnaire
c) Industry benchmarking
d) Scenario analysis
e) Risk assessment workshop
f) Incident investigation
g) Auditing
h) Inspection
i) Checklist
j) HAZOP (Hazard and Operability Studies)
Setelah melakukan identifikasi risiko, maka tahap berikutnya adalah pengukuran
risiko dengan cara melihat potensial terjadinya seberapa besar severity (kerusakan) dan
probabilitas terjadinya risiko tersebut. Penentuan probabilitas terjadinya suatu event
sangatlah subyektif dan lebih berdasarkan nalar dan pengalaman. Beberapa risiko
memang mudah untuk diukur, namun sangatlah sulit untuk memastikan probabilitas
suatu kejadian yang sangat jarang terjadi. Sehingga, pada tahap ini sangtalah penting
untuk menentukan dugaan yang terbaik supaya nantinya kita dapat memprioritaskan
dengan baik dalam implementasi perencanaan manajemen risiko. Kesulitan dalam
pengukuran risiko adalah menentukan kemungkinan terjadi suatu risiko karena
informasi statistik tidak selalu tersedia untuk beberapa risiko tertentu. Selain itu,
mengevaluasi dampak severity (kerusakan) seringkali cukup sulit untuk asset
immateriil.

D. Pengelolaan Resiko
Jenis-jenis cara mengelola risiko:
1. Risk avoidance, yaitu memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas yang
mengandung risiko sama sekali. Dalam memutuskan untuk melakukannya,
maka harus dipertimbangkan potensial keuntungan dan potensial kerugian yang
dihasilkan oleh suatu aktivitas.
2. Risk reduction, Risk reduction atau disebut juga risk mitigation yaitu
merupakan metode yang mengurangi kemungkinan terjadinya suatu risiko
ataupun mengurangi dampak kerusakan yang dihasilkan oleh suatu risiko.
3. Risk transfer, yaitu memindahkan risiko kepada pihak lain, umumnya melalui
suatu kontrak (asuransi).
4. Risk deferral Dampak suatu risiko tidak selalu konstan. Risk deferral meliputi
menunda aspek saat dimana probabilitas terjadinya risiko tersebut kecil.
5. Risk retention Walaupun risiko tertentu dapat dihilangkan dengan cara
mengurnagi maupun mentransfernya, namun beberapa risiko harus tetap
diterima sebagai bagian penting dari aktivitas.
Penanganan risiko :
1. High probability, high impact : risiko jenis ini umumnya dihindari ataupun
ditransfer.
2. Low probability, high impact : respon paling tepat untuk tipe risiko ini adalah
dihindari. Dan jika masih terjadi, maka lakukan mitigasi risiko serta
kembangkan contingency plan.
3. High probability, low impact : mitigasi risiko dan kembangkan contingency plan
4. Low probability, low impact : efek dari risiko ini dapat dikurangi, namun
biayanya dapat saja melebihi dampak yang dihasilkan. Dalam kasus ini mungkin
lebih baik untuk menerima efek dari risiko tersebut.
5. Contingency plan: Untuk risiko yang mungkin terjadi maka perlu dipersiapkan
contingency plan seandainya benar-benar terjadi. Contingency plan haruslah
sesuai dan proporsional terhadap dampak risiko tersebut. Dalam banyak kasus
seringkali lebih efisien untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya untuk
mengurangi risiko dibandingkan mengembangkan contingency plan yang jika
diimplementasikan akan lebih mahal. Namun beberapa scenario memang
membutuhkan full contingency plan.

E. Proses Manajemen Resiko


Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk terlibat secara
efektif dalam menghadapi uncertainty dengan risiko dan peluang yang berhubungan dan
meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai tambah.
Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8 komponen
(tahap) :
1. Internal environment (Lingkungan internal) Komponen ini berkaitan dengan
lingkungan dimana instansi Pemerintah berada dan beroperasi. Cakupannya
adalah risk-management philosophy (kultur manajemen tentang risiko),
integrity (integritas), risk-perspective (perspektif terhadap risiko), risk-
appetite (selera atau penerimaan terhadap risiko), ethical values (nilai
moral), struktur organisasi, dan pendelegasian wewenang.
2. Objective setting (Penentuan tujuan) Manajemen harus menetapkan
objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi agar dapat mengidentifikasi,
mengakses, dan mengelola risiko. Objective dapat diklasifikasikan menjadi
strategic objective dan activity objective. Strategic objective di instansi
Pemerintah berhubungan dengan pencapaian dan peningkatan kinerja
instansi dalam jangka menengah dan panjang, dan merupakan implementasi
dari visi dan misi instansi tersebut. Sementara itu, activity objective dapat
dipilah menjadi kategori, yaitu (1) operations objectives; (2) reporting
objectives; dan (3) compliance objectives. Risk tolerance dapat diartikan
sebagai variasi dalam pencapaian objectif yang dapat diterima oleh
manajemen.
3. Event identification (Identifikasi risiko) Komponen ini mengidentifikasi
kejadian-kejadian potensial baik yang terjadi di lingkungan internal maupun
eksternal organisasi yang mempengaruhi strategi atau pencapaian tujuan dari
organisasi. Kejadian tersebut bisa berdampak positif (opportunities), namun
dapat pula sebaliknya atau negatif (risks).
4. Risk assessment (Penilaian risiko) Komponen ini menilai sejauhmana
dampak dari events (kejadian atau keadaan) dapat mengganggu pencapaian
dari objectives. Besarnya dampak dapat diketahui dari inherent dan residual
risk, dan dapat dianalisis dalam dua perspektif, yaitu: likelihood
(kecenderungan atau peluang) dan impact/consequence (besaran dari
terealisirnya risiko). Dengan demikian, besarnya risiko atas setiap kegiatan
organisasi merupakan perkalian antara likelihood dan consequence.
Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative
techniques; dan (2) quantitative techniques. Qualitative techniques
menggunakan beberapa tools seperti self-assessment (low, medium, high),
questionnaires, dan internal audit reviews. Sementara itu, quantitative
techniques data berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti
probability based, non-probabilistic models (optimalkan hanya asumsi
consequence), dan benchmarking. Yang perlu dicermati adalah events
relationships atau hubungan antar kejadian/keadaan. Events yang terpisah
mungkin memiliki risiko kecil. Namun, bila digabungkan bisa menjadi
signifikan. Demikian pula, risiko yang mempengaruhi banyak business units
perlu dikelompokkan dalam common event categories, dan dinilai secara
aggregate.
5. Risk response (Sikap atas risiko) Organisasi harus menentukan sikap atas
hasil penilaian risiko. Risk response dari organisasi dapat berupa: (1)
avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau pelayanan yang menyebabkan
risiko; (2) reduction, yaitu mengambil langkah-langkah mengurangi
likelihood atau impact dari risiko; (3) sharing, yaitu mengalihkan atau
menanggung bersama risiko atau sebagian dari risiko dengan pihak lain; (4)
acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko yang kecil),
dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan. Dalam memilih sikap
(response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh tiap respon
terhadap risk likelihood dan impact, respon yang optimal sehingga
bersinergi dengan pemenuhan risk appetite and tolerances, analis cost versus
benefits, dan kemungkinan peluang (opportunities) yang dapat timbul dari
setiap risk response.
6. Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian) Komponen ini
berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan (policies) dan prosedur-
prosedur untuk menjamin risk response terlaksana dengan efektif. Aktifitas
pengendalian memerlukan lingkungan pengendalian yang meliputi: (1)
integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan dan praktik-praktik
SDM; (4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya kepemimpinan
manajemen; (6) struktur organisasi; dan (7) wewenang dan tanggung jawab.
Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat ditentukan jenis dan
aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian, diantaranya
adalah preventive, detective, corrective, dan directive. Sementara aktifitas
pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur; (2)
pengamanan kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang dan pemisahan
fungsi; dan (4) supervisi atasan. Aktifitas pengendalian hendaknya
terintegrasi dengan manajemen risiko sehingga pengalokasian sumber daya
yang dimiliki organisasi dapat menjadi optimal.
7. Information and communication (Informasi dan komunikasi) Fokus dari
komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan kepada pihak
terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan komunikasi adalah kualitas
informasi, arah komunikasi, dan alat komunikasi. Informasi yang disajikan
tergantung dari kualitas informasi yang ingin disampaikan, dan kualitas
informasi dapat dipilah menjadi: (1) appropriate; (2) timely; (3) current; (4)
accurate; dan (5) accessible. Arah komunikasi dapat bersifat internal dan
eksternal. Sedangkan alat komunikasi berupa diantaranya manual, memo,
buletin, dan pesan-pesan melalui media elektronis.
8. Monitoring Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (on
going) maupun terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing
tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya.
Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu (kasuistis).
Pada monitoring ini ditentukan scope tugas, frekuensi, proses evaluasi
metodologi, dokumentasi, dan action plan. Pada proses monitoring, perlu
dicermati adanya kendala seperti reporting deficiencies, yaitu pelaporan
yang tidak lengkap atau bahkan berlebihan (tidak relevan). Kendala ini
timbul dari berbagai faktor seperti sumber informasi, materi pelaporan,
pihak yang disampaikan laporan, dan arahan bagi pelaporan.
F. Evidence Based Medicine (EBM)
Evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara sistematik
untuk melakukan evaluasi, menemukan, menelaah/ me-review, dan memanfaatkan
hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik. Menurut Sackett et
al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang
didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan
penderita. Dengan demikian, dalam praktek, EBM memadukan antara kemampuan dan
pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya.
Dengan demikian, maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasi pengambilan
keputusan klinik yang evidence-based adalah dengan menyediakan bukti-bukti ilmiah
yang relevan dengan masalah klinik yang dihadapi, serta diutamakan yang berupa hasil
meta-analisis, review sistematik, dan randomized double blind controlled clinical trial
(RCT). Secara ringkas, ada beberapa alasan utama mengapa EBM diperlukan:
1. Bahwa informasi yang selalu diperbarui (update) mengenai diagnosis, prognosis,
terapi dan pencegahan, promotif, rehabilitatif sangat dibutuhkan dalam praktek
sehari-hari. Sebagai contoh, teknologi diagnostik dan terapi selalu disempurnakan
dari waktu ke waktu.
2. Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam textbook)
tentang hal-hal di atas sudah sangat tidak adekuat pada saat ini; beberapa justru
sering keliru dan menyesatkan (misalnya informasi dari pabrik obat yang
disampaikan oleh duta-duta farmasi/detailer), tidak efektif (misalnya continuing
medical education yang bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu banyak, sehingga
justru sering membingungkan (misalnya majalah (journal-journal) biomedik/
kedokteran yang saat ini berjumlah lebih dari 25.000 jenis).
3. Dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang, maka
kemampuan/ketrampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi
(clinical judgement) juga meningkat. Namun pada saat yang bersamaan,
kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses) serta kinerja
klinik (akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah) menurun secara bermakna (signifikan).
4. Dengan meningkatnya jumlah pasien, waktu yang diperlukan untuk pelayanan
semakin banyak. Akibatnya, waktu yang dimanfaatkan untuk meng-update ilmu
(misalnya membaca journal-journal kedokteran) sangat kurang.

Secara lebih rinci, EBM merupakan keterpaduan antara:

1. Best research evidence.


Di sini mengandung arti bahwa bukti-bukti ilmiah tersebut harus berasal dari studi-
studi yang dilakukan dengan metodologi yang sangat terpercaya (khususnya
randomized double blind controlled clinical trial), yang dilakukan secara benar.
Studi yang dimaksud juga harus menggunakan variabel-variabel penelitian yang
dapat diukur dan dinilai secara obyektif (misalnya tekanan darah, kadar Hb, dan
kadar kolesterol), di samping memanfaatkan metode-metode pengukuran yang
dapat menghindari resiko “bias” dari penulis atau peneliti.
2. Clinical expertise.
Untuk menjabarkan EBM diperlukan suatu keterampilan klinik (clinical skills)
yang memadai. Di sini termasuk keterampilan untuk secara cepat mengidentifikasi
kondisi pasien dan menentukan diagnosis secara cepat dan tepat, termasuk
mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang menyertai serta memperkirakan
kemungkinan manfaat dan resiko (risk and benefit) dari bentuk intervensi yang
akan diberikan. Keterampilan klinik ini hendaknya juga disertai dengan pengenalan
secara baik terhadap nilai-nilai yang dianut oleh pasien serta harapan- harapan yang
tersirat dari pasien.
3. Patient values.
Setiap pasien, dari manapun berasal, dari suku atau agama apapun, tentu
mempunyai nilai-nilai yang unik tentang status kesehatan dan penyakitnya. Pasien
juga tentu mempunyai harapan-harapan atas upaya penanganan dan pengobatan
yang diterimanya. Hal ini harus dipahami benar oleh seorang klinisi atau praktisi
medik, agar setiap upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan, selain dapat
diterima dan didasarkan pada bukti-bukti ilmiah, juga mempertimbangkan nilai-
nilai subyektif yang dimiliki oleh pasien.

Mengingat bahwa EBM merupakan suatu cara pendekatan ilmiah yang digunakan
untuk pengambilan keputusan terapi, maka dasar-dasar ilmiah dari suatu penelitian
juga perlu diuji kebenarannya untuk mendapatkan hasil penelitian yang selain update,
juga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.

G. LANGKAH LANGKAH EVIDENCE BASED MEDICINE


Evidence based medicine dapat dipraktekkan pada berbagai situasi, khususnya jika
timbul keraguan dalam hal diagnosis, terapi, dan penatalaksanaan pasien. Adapun
langkah-langkah dalam EBM adalah:
1. Memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan masalah penyakit yang
diderita oleh pasien.
2. Penelusuran informasi ilmiah (evidence) yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi.
3. Penelaahan terhadap bukti-bukti ilmiah yang ada.
4. Menerapkan hasil penelaahan bukti-bukti ilmiah ke dalam praktek pengambilan
keputusan.
5. Melakukan evaluasi terhadap efikasi dan efektivitas intervensi.
KASUS 1

1. Tn Jk 55 tahun, tinggi 170, 80 kg, mengalami kelumpuhan lengan kanan dan bicara
cadel kemarin. Gejala-gejala ini berlangsung selama 15 sampai 20 menit.
Pemeriksaan neurologisnya sepenuhnya normal, tidak merasakan lemah. Pasien
Merokok dua bungkus rokok setiap hari. Tekanan darah 165/100 mm Hg, dan dia
memiliki riwayat hipertensi. Hemoglobinnya adalah 16,5 g/dL, hematokritnya 51%,
dan kolesterol total adalah 275 mg/dL . Dokter akan memberikan antiplatelet, mana
antiplatelet yang terpilih

5 langkah EBM
1. Merumuskan pertanyaan klinis yang dapat dijawab
*Apa antiplatelet yang cocok untuk pasien dengan gejala stroke?

Tabel SOAP
Subjektif Objektif Assesment Planning
-Kelumpuhan -Tinggi 170, 80 kg -TD pasien tinggi -Diberikan obat
lengan kanan dan - Tekanan darah tetapi belum antihipertensi
bicara cadel 165/100 mm Hg diberikan obat -Diberikan obat
kemarin (normal: 120/80 anti hipertensi antiplatelet
mm Hg) -Kolesterol
- Hemoglobinnya pasien tinggi
adalah 16,5 g/dL tetapi belum
(normal: 14-18) diberikan obat
-Hematokritnya kolesterol
51%
(normal: 40-54%)
-Kolesterol total
adalah 275 mg/dL
(<200 mg/dL)

2. Menemukan bukti terbaik


a. Formulasi PICO

Pasien Laki-laki, Umur 55, stroke sebagian


Intervasi Penggunaan obat antiplatelet
(Aspirin)
Comparator Clopidogrel
Outcome Tidak terjadi pengumpalan darah
b. Hasil penelusuran jurnal

Frasa pencarian Sumber


Perbandingan manfaat antiplatelet Sumber Primer
kombinasi aspirin dan klopidogrel
dengan aspirin tunggal pada stroke
iskemik
Evaluasi terapi obat antiplatelet pada Sumber Primer
pengobatan pasien stroke di instalasi
rawat inap RSUD AM PARIKESIT
tenggarong periode tahun 2014

3. Menilai bukti secara kritis


Kelas I : bukti sangat bermanfaat
Jurnal 1 : Kejadian stroke berulang 6 bulan setelah serangan stroke iskemik
pertama antara pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet kombinasi aspirin-
klopidogrel dan antiplatelet aspirin tunggal tidak berbeda.

Jurnal 2 : penggunaan terbanyak obat antiplatelet adalah penggunaan obat


Aspirin yaitu 35 kasus atau 48,6% dan clopidogrelb8 kasus atau 11,1%. Sebuah
penelitian yang dilakukan dengan antitrombotik, memberikan bukti adanya
manfaat obat antiplatelet terutama aspirin dalam mencegah kejadian
kardiovaskular pasien berisiko tinggi.
4. Mengevaluasi efektivitas dan efisiensi
Pada jurnal 1 mengatakan bahwa efektivitas aspirin dan kombinasi tidak
berbeda jauh, maka lebih baik dipakai aspirin sebagai terapi tunggal
Pada jurnal II, aspirin lebih banyak dipakai di RS tersebut dibanding clopidogrel
Rekomendasi: Tn. JK yang mengalami stroke sebagian sebaiknya diberikan
aspirin untuk mengurnagi gejala strokenya.
Kasus 2 :

1. Buatlah managemen risiko untuk tahap seleksi obat


Identifikasi masalah/risiko :

Pada proses seleksi obat ke pasien, resiko yang mungkin terjadi diantaranya yaitu:

a. Pemilihan obat selain yang tertera pada Formularium Rumah Sakit


b. Terlalu banyak menyiapkan alternatif obat
c. Tidak mempertimbangkan aspek administratif dan biaya yang ditimbulkan
d. Kesalahan memilih obat yang risiko efek sampingnya lebih besar daripada
keefektifannya.

Analisis risiko:

Setelah seluruh resiko diidentifikasi, maka dilakukan pengukuran tingkat


kemungkinan dan dampak resiko. Pengukuran resiko dilakukan setelah mempertimbangkan
pengendalian resiko yang ada. Pengukuran resiko dilakukan menggunakan kriteria
pengukuran resiko secara kualitatif, semi kualitatif, atau kuantitatif tergantung pada
ketersediaan data tingkat kejadian peristiwa dan dampak kerugian yang ditimbulkannya
sebagai berikut :

Kemungkinan Deskripsi Nilai


Jarang Terjadi pada keadaan khusus 1
Kadang-kadang Dapat terjadi sewaktu-waktu 2
Mungkin Mungkin terjadi sewaktu-waktu 3
Mungkin sekali Mungkin terjadi pada banyak keadaan tapi 4
tidak menetap
Hampir pasti Dapat terjadi pada tiap keadaan dan 5
menetap
Pengukuran kualitatif konsekuensi/dampa

Tingkat Deskriptor Contoh deskripsi


1 Tidak bermakna Tidak ada cedera, kerugian keuangan kecil
2 Rendah Pertolongan pertama dapat diatasi, kerugian
keuangan sedang
3 Menengah Memerlukan pengobatan medis, kerugian
keuangan besar
4 Berat Cedera luas, kehilangan kemampuan produksi,
kerugian keuangan besar
5 Katostropik Kematian, kerugian keuangan sangat besar

No Masalah Deskriptor
.
1. Pemilihan obat selain yang tertera pada Menengah
Formularium Rumah Sakit
2. Terlalu banyak menyiapkan alternatif obat Berat
3. Tidak mempertimbangkan aspek administratif dan Menengah
biaya yang ditimbulkan
4. Kesalahan memilih obat yang risiko efek Katostropik
sampingnya lebih besar daripada keefektifannya.

Evaluasi risiko:

Setelah resiko diukur, maka dilakukan penyusunan urutan prioritas risiko mulai dari
tingkat tertinggi sampai tingkat terendah. Risiko yang tidak dapat diterima/ditoleransi harus
menjadi prioritas yang segera ditangani. Risiko berdasarkan prioritas risiko yaitu :

a. Kesalahan memilih obat yang risiko efek sampingnya lebih besar daripada
keefektifannya.
b. Terlalu banyak menyiapkan alternatif obat
c. Pemilihan obat selain yang tertera pada Formularium Rumah Sakit
d. Tidak mempertimbangkan aspek administratif dan biaya yang ditimbulkan
Menangani, memantau dan mengkomunikasikan risiko :

Untuk risiko seleksi obat, cara menangani risiko tersebut adalah dengan memilih
obat yang tepat sebagai berikut :

a. Dipilih obat yang secara ilmiah, medik, dan statistik memberikan efek terapi yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko efek sampingnya.
b. Diusahakan jangan terlalu banyak jenis obat yang akan diseleksi (boros biaya),
khususnya obat-obat yang memang bermanfaat untuk jenis penyakit yang banyak
diderita masyarakat. Agar dihindari duplikasi dan kesamaan jenis obat yang
diseleksi.
c. Jika alternatif pilihan obat banyak, supaya pilih drug of choice dari penyakit yang
memang relevansinya tinggi, berdasarkan pola prevalensi penyakit (10 penyakit
terbesar).
d. Pertimbangkan administratif dan biaya yang ditimbulkan, misalnya biaya
penyimpanan.
e. Didasarkan pada nama generiknya dan disesuaikan dengan formularium

Cara memantau risiko pada kasus ini dapat dilakukan dengan memberlakukan
formularium dengan baik, sehingga obat dapat terseleksi dengan baik dan meminimalkan
risiko-risiko yang dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes, 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2019
Tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintregasi Di Lingkungan Kementrian
Kesehatan

Manajemen Resiko Dalam Pelayanan Kesehatan: Konsep Dalam Sistem Pelayanan


Kesehatan. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat–Kedokteran Komunitas (IKM/IKK)
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya-Palembang.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011


Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Satibi. 2014. Manajemen Obat di Rumah Sakit. Fakultas Farmasi. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai