Anda di halaman 1dari 21

Hegemoni ‘One Belt One Road’:

Membaca Arah Pembangunan Nasional dan Arus Politik Global di Indonesia1

Oleh
Deni Iskandar

Abstack
Dalam negara Demokrasi kata Pembangunan menjadi isyarat dan
harus menjadi syarat penting sebagai penopang dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara.Biasanya, pembangunan dalam sebuah negara-negara
berkembang, mempunyai sinkroniasi dengan agenda pembangunan Global.
Itu semua tergantung kemana kiblat politik global suatu negara. hal itu juga
berlaku untuk Indonesia. dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia
mempunyai agenda pembangunan yang itu terkoneksi dengan kepentingan
global. Sebut saja pembangunan infrastruktur yang saat ini kian massif
dilakukan. Sebagai sebuah langkah untuk percepatan pembangunan. Dimana
kerjasama membangun infrastruktur diprakarsai oleh project global bernama
‘One Belt One Road’. Disatu sisi ini merupakan peluang dan disisi yang lain
ini juga tantangan. Kehadiran ‘One belt One Road’ dalam kancah
internasional dan global telah menghegemoni negara-negara yang
berkembang di dalamnya.
Disisi lain, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi
tertua di Indonesia, mempunyai andil besar atas Indonesia. maka untuk dapat
mesukseskan agenda pembangunan nasional yang itu terkoneksi dengan
kepentingan Global. Peran HMI diperlukan untuk mengantisipasi agar
pemerintah tidak melakukan kerjasama yang sifatnya adalah kolaborasi
miring. Pada penulisan jurnal ini, akan membahas tentang bagaimana
kerjasama Indonesia dengan Tiongkok dalam project global bernama ‘One
Belt One Road’, arus politik global Indonesia, serta peran HMI dalam
mengawal agenda pembangunan nasional.

Kata Kunci: Hegemoni One Belt One Road, Pembangunan Nasional dan Peran HMI

1
Penulisan Jurnal ini sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Advance Training atau
Latihan Kader III di Badan Koordinasi (BADKO) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sulawesi
Selatan Bagian barat (Sulselbar).
I. Pendahuluan
Dalam negara demokrasi, istilah Pembangunan pada dasarnya selalu menjadi
kata kunci utama. Secara umum, diksi Pembangunan dalam prakteknya selalu
bersifat establish, yang itu mempunyai ukuran-ukuran dari mulai perencanaan,
target dari perencanaan, serta sasaran dari perencanaan, yang itu akan melahirkan
input dan output dari pembangunan itu sendiri. Pada setiap periode
kepemimpinan, Pemerintah selalu mencanangkan satu program Pembangunan,
dan itu semua semata-mata untuk mengatur dinamika kehidupan bangsa. Seperti
pada umumnya,
Memaknai istilah Pembangunan dalam suatu negara, sejatinya tidak bisa serta
merta menyamakannya dengan Pembangunan sebuah rumah atau jembatan yang
itu sifatnya pembangunan fisik. Dimana sebuah pasir dan semen diaduk, sebagai
sebuah bahan inti untuk menempelkan batu dan bata hingga menjadi tiang.
Sebaliknya, istilah Pembangunan dalam sebuah negara, selalu bersifat melampaui
hal itu. Negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pada dasarnya selalu
menjadikan Pembangunan sebagai sebuah kebijakan utama. Biasanya, dalam
mengejawantahkan visi pembangunan, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan
dengan rapih, terukur dan sistematis.
Sehingga, kebijakan Pembangunan dalam sebuah negara tersebut memiliki
„Road Map‟ dan „Grand Design‟ yang jelas dan terarah. Sehingga, kebijakan-
kebijakan yang dibuat selalu mempunyai corak dan karakteristik, yang itu tidak
akan keluar dari pada „Road Map‟ maupun „Grand Design‟ Pembangunan itu
sendiri. Pembangunan dalam suatu negara sendiri, pada umumnya terdiri dari pada
banyak hal yang itu meliputi, Pembangunan Politik, Pembangunan Ekonomi dan
Pembangunan Budaya. Adapun ketiga corak pembangunan tersebut, selalu
bersifat nasional dan Global.
Termasuk juga dengan konsep Pembangunan di Indonesia, dari masa ke masa.
Hampir bisa dipastikan bahwa, agenda Pembangunan di republik ini, dari setiap
periode kepemimpinan, sejatinya selalu berjalan dinamis. Namun perlu ditegaskan
bahwa. Secara holistik, selalu memiliki corak yang berbeda. Seperti misalnya
konsep Pembangunan di masa orde lama (Orla) tentu berbeda dengan konsep
Pembangunan pada mas orde baru (Orba). Sebaliknya, konsep pembangunan
Orba, tentu berbeda dengan konsep Pembangunan era Reformasi, maupun setelah
Reformasi (Sekarang).
Untuk dapat menguraikan secara ringkas agenda Pembangunan di Indonesia
yang terus berjalan dinamis tersebut. Maka ada baikya, kita melihat dan
membandingkan konsep dan agenda Pembangunan Indonesia pada masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Kepemimpinan Joko
Widodo (Jokowi). Secara umum, tidak bisa kita pungkiri bahwa, SBY dan Jokowi
dalam memimpin negara ini, memiliki konsep dan „Grand Design‟ Pembangunan.
Seperti misalnya pada masa kepemimpinan SBY, kita mengenal dengan istilah
Master Plan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi (MP3EI) yang
dijadikan sebagai sebuah jawaban untuk mengatasi ketimpangan sosial ekonomi.2
Pemerintahan pada masa kepemimpinan Presiden SBY, merancang konsep
pembangunan MP3EI ini sebagai upaya untuk melakukan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Besarnya potensi ekonomi Indonesia dan belum di optimalkannya potensi
tersebut menjadi alasan utama perlunya MP3EI. Dimana di dalamnya terdiri dari
tiga hal, Pertama, Pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi,
Kedua, Penguatan konektivitas nasional dan Ketiga, penguatan kemampuan
Sumber daya Manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan serta teknologi nasional.
Terdapat tiga macam strategi yang ditawarkan dalam konsep Pembangunan ini.
Diantaranya yakni, Pertama, mendorong realisasi investasi skala besar pada 22
kegiatan ekonomi utama, Kedua, sinkronisasi rencana aksi nasional untuk
merevitalisasi kinerja sektor riil dan Ketiga, pengembangan center of excellence di
setiap koridor ekonomi. Dari sinilah visi Indonesia 2025 yakni “mewujudkan
masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur” dapat terwujud.
Hal yang sama juga terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi ,
dimana konsep pembangunan diarahkan pada konsep pemerataan pembangunan,
terkhusus pemerataan pembangunan dibidang ekonomi. Dengan konsep
menggalakan pembangunan Infrastruktur. Presiden Jokowi mencoba
menghadirkan satu logika baru tentang pentingnya memprioritaskan
pembangunan infrastruktur yang nantinya akan menjadi penopang perekonomian.
Sehingga dalam prakteknya, tidak sedikit capaian pembangunan infrastruktur
di sektor darat dan laut yang sudah dilakukan Presiden Jokowi, dari mulai

2
Wiko Saputra, Pembangunan Ekonomi dan Terancamnya Hak Masyarakat, Kritik dan Kajian
Terhadap Kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025, Penerbit: (Perkumpulan Prakarsa: 2014) hal. 18
Pembangunan Jalan Tol, Pembangunan Bandara, bahkan juga pembangunan
Kereta Cepat. Dengan banyaknya capaian yang dilakukan oleh Presiden Jokowi
terkait dengan pembangunan Infrastruktur di Indonesia, pada dasarya tidak bisa
dilepaskan dari pada peran dan kebijakan global. Artinya, terdapat dorongan atau
kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dengan negara-negara luar, yang itu
memiliki kekuatan atau adidaya dan adikuasa.
Hal yang sama juga terjadi pada masa kepemimpinan Presiden SBY, yang
merancang agenda percepatan pembangunan yang kita kenal MP3EI, yang juga
menggunakan kekuatan atau kerjasama dengan negara adikuasa dan adidaya juga.
Namun demikian, yang terpenting untuk dicatat bahwa, ada corak dan perbedaan
yang mendasar dari pada kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh Presiden
SBY dengan Presiden Jokowi. Secara kasat mata, konsep dan agenda
pembangunan yang dicanangkan oleh Presiden SBY, mengarah atau berkiblat
pada World Bank dimana itu adalah dominasi Amerika Serikat. Sementara agenda
pembangunan Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur, lebih mengarah
dan berkiblat pada kekuatan negara Tiongkok yang itu disalurkan melalui projek
global bernama „One Belt One Road‟ atau OBOR.3

Sebagai negara yang berkedaulatan, Indonesia tentu selalu mengedepankan


skema politik bebas aktif dalam menentukan arah politik global sebagai sarana
untuk mensuksekan agenda-agenda pembangunan. Artinya, tidak ada batasan
yang melarang dan mengharuskan Indonesia untuk bekerjasama dengan negara-
negara lain, semua negara bebas dan bisa melakukan kerjasama. Selanjutnya, hal
tersebut dikembalikan kepada kebijakan Pemerintah. Selain itu, Indonesia juga
tidak alergi dengan kerjasama-kerjasama dari berbagai negara, bahkan yang paling
umum yakni kerjasama dengan Amerika Serikat dan Tiongkok. Sebab kedua

3
OBOR merupakan singkatan dari „One Belt One Road‟ Project Global ini di kampanyekan
oleh Presiden Tiongkok, Xi Jinping pada tahun 2013. Istilah Belt mengacu pada serangkaian jalan
darat, jalur pipa, kereta api dan infrastruktur lainnya melalui Asia Tengah, Asia Selatan dan Timur
Tengah hingga ke Eropa. Sementara isltilah Road mengacu pada serangkaian pelabuhan dan jalur
perdagangan maritim yang melalui Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia ke Timur
Tengah, pantai timur Afrika, hingga Eropa. Indonesia merupakan salah satu negara yang dilewati
jalur laut “Road.” Pembahasan mengenai OBOR akan diulas pada bab khusus yang menjadi topik
Jurnal ini. Lihat: Kris Naning Soviyaningsih Kepentingan Indonesia Terhadap One Belt One Road
(OBOR) Dalam Upaya Mewujudkan Poros Maritim Dunia, Jurnal Transborders, Vol. 2 No. 2.
Diterbitkan Pada Tahun 2019. hal. 91.
negara ini di Indonesia, memiliki hubungan yang baik dan mempunyai akar
historis yang kuat.
Hal itu terbukti, dari zaman Presiden Soekarno (Orla), dimana dua negara kuat
Amerika Serikat dengan Rusia berperang atas nama legitimasi, posisi Indonesia
tidak berpihak pada keduanya. Bahkan melampaui itu, Indonesia sebagai negara
yang berkedaulatan, malah memilih untuk membuat gerakan Non Blok. Kemudian
pada posisi yang sama, ketika tampuk kekuasaan berganti, dimana Presiden
Soeharto (Orba) memimpin, arah kebijakan global Indonesia cenderung lebih pro
ke barat (Amerika Serikat) dan menolak Tiongkok sebagai mitra. Hal yang sama
juga terjadi ketika masa Presiden SBY memimpin, dimana arah kebijakan global
cenderung Eropa Centris yang kita kenal dengan bapak Neoliberalisme.
Hingga saat ini, era kepemimpinan Jokowi, yang lebih cenderung Tiongkok
Centris, dengan menguatnya Projek OBOR sebagai sebuah jalan baru peradaban
dunia, yang menghegemoni banyak negara-negara berkembang. Salah satunya
adalah Indonesia. sementara disatu sisi, di Indonesia juga terdapat sebuah
organisasi yang itu diakui oleh negara. Sebut saja namanya Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI). Sebagai organisasi tertua di Indonesia, yang saat ini masih eksis
mewarnai Indonesia. Peran HMI sebagai organisasi perjuangan tentu mempunyai
sejarah panjang dalam menentukan laju kehidupan bangsa. Diakui atau tidak, dari
sejak didirikan pada 5 Februari 1947, HMI bisa dikatakan ikut serta dan terlibat
aktif dalam perputaran pembangunan dan perpolitikan nasional maupun global di
Indonesia. Termasuk dengan arus perputaran pembangunan dan perpolitikan saat
ini diera kepemimpinan Presiden Jokowi. Penulisan Jurnal berjudul: Hegemoni
One Belt One Road: HMI, Pembangunan Nasional dan Arus Politik Global di
Indonesia ini.
Sejatinya akan mengulas tentang bagaimana gambaran umum terkait Global
Project „One Belt One Road‟ yang saat ini tengah eksis menjadi jalan baru
peradaban dunia, yang itu diinisiasi oleh negara tirai bambu atau Tiongkok. Pada
jurnal ini juga, penulis akan membahas mengenai banyak topic, diantara topic
yang paling penting untuk dibahas yakni, Arus Politik Global serta Hegemoni
„One Belt One Road‟ (OBOR) di Indonesia, Pembangunan Nasional serta Peran
HMI dalam mengawal agenda-agenda pembangunan nasional.
II. Sekilas Tentang ‘One Belt One Road’ (OBOR)
Nama „One Belt One Road‟ atau OBOR merupakan istilah lain dari pada jalur
Sutra. Istilah Jalur Sutra ini, pertama kali dikenalkan oleh Ferdinand von
Richthofen seorang ahli geografi asal Jerman pada tahun 1877 Masehi. 4 Jalur ini
merupakan jaringan atau rute kuno yang didirikan secara resmi pada zaman
Dinasti Han, dimana pada Jalur tersebut, adalah kawasan penghubung dunia kuno
dari Asia ke Eropa, dalam dunia perdagani pada tahun 130 SM-1453 M.5 Pada
abad 16 samapi 17, tidak sedikit orang-orang Portugis, Belanda, dan Inggris mulai
bersaing memperebutkan kekuasaan di wilayah perdagangan laut yang itu disebut
sebagai Jalur Sutra.
Sebab, para penjelajah tersebut mempunyai keyakinan bahwa, dengan
berhasilnya merebut Jalur tersebut, bisa memonopoli jalur perdagangan,
mengklaim monopoli atas barang-barang eksotik yang dicari dan mengumpulkan
pajak dari kapal dagang, yang kemudian dapat membawa kekayaan dan kekuasaan
bagi mereka. Namun demikian, kehadiran Jalur Sutra sendiri belakangan, masih
belum membangkitkan Tiongkok sebagai negara adidaya dan adikuasa. Termasuk
juga ketika Tiongkok di pimpin Mao Zedong pada tahun 1966, yang itu
mengedepankan semboyan tentang Revolusi Kebudayaan yang berlangsung pada
tahun 1976.
Pada masa itu tidak membuat Tiongkok bangkit sebagai negara adidaya dan
adikuasa. Hingga semuanya berujung pada lahirnya sebuah pertikaian dikalangan
masyarakat yang kemudian menyebabkan kesengsaraan pada kehidupan
masyarakat di Tiongkok kala itu. Pasca kematian Mao Zedong dan bergantinya
kekuasaan di Tiongkok. Tahun 1978 Deng Xiaoping hadir membawa perubahan
yang signifikan untuk Tiongkok. Bahkan tidak berlebihan ketika hadirnya
Xiapoing memimpin Tiongkok, disebut sebagai tokoh reformasi ekonomi.

4
Rhinanda Avifa Fahmi, Pengaruh Inisiatif OBOR (One Belt One Road) Tiongkok Terhadap
Perkembangan Infrastruktur Indonesia Tahun 2017, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal.
28-30
5
Ada banyak jenis barang-barang yang dijual oleh pedagang Barat ke Asia antara diantaranya
terdiri dari, kuda, anggur, anjing, bulu dan kulit binatang, madu, buah-buahan, barang pecah belah,
selimut wol, karpet, tekstil, emas, perak, unta, budak, senjata dan besi. Sedangkan, barang yang
dibeli oleh pedagang Barat dari Asia antara lain, sutra, teh, pewarna, batu berharga, barang pecah
belah, porselen, rempah-rempah, artefak perunggu dan emas, obat, parfum, gading, beras, kertas
dan bubuk mesiu. Lihat: Rhinanda Avifa Fahmi, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Bahkan pada masa kepemimpinannya, ada satu ungkapan yang populer dan
menjadi inspirasi masyarakat Tiongkok waktu itu, yakni „tidak penting kucing itu
berwarna putih atau hitam, kalau ia pandai menangkap tikus, itulah kucing yang
baik.‟6 Ungkapan itu disampaikan Xiapoing sebagai respon atas kegagalan Mao
Zedong. Sehingga, Xiapoing memilih jalan Kapitalisme sebagai sistem
perekonomian dan Komunisme sebagai jalan politik. Salah satu kebijakan populer
Xiapoing secara Kapital adalah, menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat,
Jepang dan negara-negara yang selama ini dimusuhi Mao.7
Kebijakan Xiapoing pada prakteknya, dengan menerapkan sistem ekonomi
berhaluan Kapitalisme mulai membuahkan hasil. Pada tahun 1980, perekonomian
Tiongkok mulai bangkit atas dukungan dari peningkatan jumlah wirausaha yang
tidak hanya terdiri dari para pemilik pabrik, tetapi juga para pejabat pemerintah.
Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya jumlah Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) atau Gross Domestic Product Tiongkok meningkat sebesar 10,1 persen,
dimana sebelumnya pada tahun 1965 ketika dibawah kepemimpinan Mao Zedong
hanya sebesar 6,4 persen. Dari tahun ke tahun,ketika Xiapoing memimpin
Tiongkok, PDB negara terus mengalami kenaikan secara signifikan, dan pada
puncaknya, produk Tiongkok mulai diminati dunia.8
Tiongkok yang semula berstatus sebagai negara miskin, berubah menjadi
negara yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Pada tahun 2013, ketika
Xi Jinping diangkat menjadi Presiden Tiongkok, dia pada dua pidato yang berbeda
mengumumkan tentang ‘One Belt One Road’ atau lebih populer disebut OBOR.
Istilah Belt mengacu pada serangkaian jalan darat, jalur pipa, kereta api dan
infrastruktur lainnya melalui Asia Tengah, Asia Selatan dan Timur Tengah hingga
ke Eropa.

6
Ungkapan itu adalah anti tesis dari ungkapan Mao Zedong ketika memimpin Tiongkok
dimana menjadikan ideology komunis sebagai kebijakan politik dan ekonominya. Mao pada saat
memimpin menutup kerjasama dengan negara-negara eopa seperti Amerika Serikat, Jepang. Lihat:
Rhinanda Avifa Fahmi, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
7
Pada tahun 1977, Tiongkok telah menjadi anggota 21 Organisasi Pemerintah Internasional
(Intergovernmental Organization-IGO) dan 71 Organisasi Non-Pemerintah Internasional
(International Non-governmental Organization-INGO). Organisasi-organisasi tersebut, antara lain
Asian Development Bank, International Monetary Fund (IMF), selanjutnya disebut IMF, dan
World Bank dan lain sebagainya. Dua dekade setelahnya, angka tersebut meningkat menjadi 50
IGO dan 955 INGO. Lihat: Rhinanda Avifa Fahmi, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
8
Muhammad Fahrizal, Artha Yudilla, Rio Sundari, Implementasi Konsep Kebijakan One Belt
One Road (OBOR) China Dalam Kerangka Kerjasama Pembangunan Infrastruktur Indonesia,
(Jurnal: Journal of Diplomacy and International Studies), diterbitkan Tahun 2015.
Sementara istilah, Road mengacu pada serangkaian pelabuhan dan jalur
perdagangan maritim yang melalui Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia
ke Timur Tengah, pantai timur Afrika, hingga Eropa. Kehadiran Global Project
One Belt One Road pada dasarnya tidak bisa dilepaskan pada pemaknaan atau
interpretasi ulang orang-orang Tiongkok terhadap sejarah di negaranya. Sebab,
secara umum, prinsip-prinsip OBOR dibangun atas dasar pemanfaatan Jalur Sutra
sebagai sumber perdagangan yang pernah hidup, dan kemudian saat ini dijadikan
atau di hidupkan kembali sebagai jalur perdagangan antar negara-negara di dunia.
Secara empiris, konsep OBOR juga menghadirkan nilai "perdamaian dan
kerjasama dengan prinsip saling terbuka dan saling menguntungkan. Hal itu
terjadi dan telah tertanam dalam diri masyarakat yang terlibat, sepanjang jalur
sutra dari generasi ke generasi dan mendorong kemakmuran serta pembangunan
negara-negara di sepanjang jalur ini. Secara praktis, semua negara yang terlibat di
dalamnya, bersaing secara ekonomi. Oleh karena adanya persaingan yang begitu
ketat, maka kondisi negara-negara di dunia internasional sepanjang jalur ini,
mengalami kompleksitas. Terutama dibidang perekonomian. Tidak sedikit negara
yang Colaps dan itu memiliki ketergantungan.
Oleh karena itu, Tiongkok berinisiatif membangun kembali jalur sutra dengan
tujuan agar negara-negara sepanjang jalur dapat bekerjasama dengan prinsip
saling menguntungkan, dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial dan politik
internasional. Terdapat empat konsep yang ditawarkan dalam skema kerjasama
One Belt One Road (OBOR) untuk negara-negara. diantaranya yakni, Pertama,
konsep perdamaian, Kedua, kerjasama, Ketiga, pengembangan, dan Keempat,
konsep saling menguntungkan atau dalam bahasa politik disebut dengan konsep
Simbiosis Mutualisme. Pada kontek kerjasama ini, terdapat banyak negara yang
sudah terlibat, salah satunya adalah Negara Persatuan Republik Indonesia.
Dimana keterlibatan Indonesia dalam Global Project ini, pada bidang Jalur
„Belt‟ maupun Jalur „Road. Dengan bangkitnya Jalur Sutra tersebut, maka pelan-
pelan Tiongkok sebagai inisiator atas terbentuknya OBOR tersebut mendapat
sorotan dari Uni Eropa sebagai negara yang sudah mempunyai basis kuat dibidang
perdagangan Global. Selain itu, kehadiran OBOR pada percaturan perdagangan
global juga, secara tidak langsung ikut serta mempengaruhi arah dan arus
perpolitikan Global. Artinya terdapat hegemoni yang kuat, atas adanya Project
Global bagi negara-negara di dunia.
III. Hegemoni One Belt One Road di Indonesia
Sebelum lebih jauh kita membahas mengenai hegemoni “One Belt One Road”
ada baiknya kita mengulas sedikit tentang kata hegemoni itu sendiri. Secara
umum, kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yang berakar kata Eugemonia.
Orang-orang Yunani, mendefinisikan kata ini untuk ditunjukan pada posisi
dominasi yang dikalim oleh negara-negara kota (Polis atau Cityestates) seperti
misalnya dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta terhadap negara-negara
lain yang sejajar. Pada konteks politik Internasional, kata ini juga ditujukan pada
peristiwa perang dingin abad 19 yang itu melibatkan negara Amerika Serikat dan
Uni Soviet, yang di dalamnya berebut pengaruh.9
Secara umum, Antonio Gramsci membagi pola hegemoni ke dalam empat
model diantaranya yakni, Pertama, Konsensus hegemoni pada zaman Romawi
Kuno, Kedua, Hegemoni pada masyarakat pra-modern, Ketiga, hadirnya
kelompok kapitalisme, dan Keempat, munculnya pemikiran politik modern atas
peran masyarakat sipil dalam negara.10 Selain itu, dalam pandangan Gramsci,
istilah hegemoni juga bukanlah sebuah diksi yang negatif. Sebaliknya, Hegemoni
merupakan diksi yang positif. Dimana hal ini mengarahkan pada penekanan atas
daerah ekonomi dan analisis kelas yang itu berupaya untuk memisahkan antara
negara (Political Society) dan masayarakat sipil (Civil Society) dalam tiga
batasan. Pada kontek Politik Global saat ini, kehadiran „One Belt One Road‟diakui
atau tidak, telah menghegemoni dan mendominasi negara-negara berkembang.
Pasalnya, tidak sedikit negara-negara berkembang yang ikut terlibat kerjasama
dengan Tiongkok.

9
Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Penerbit: Pustaka Pelajar (Yogyakarta:
2015) Hal. 115-116
10
Ada empat model konsensus dalam hegemoni yang itu ada dalam perjalanan sejarah
diantaranya: Pertama, dalam sejarah romawi kuno, dimana pusat kekuasaan berada dalam tangan
kekuasaan kaisar. Sehingga hakim agung menjadi sumber otoritas politik „Konsensus‟ terletak di
tangan kaisar. Kedua, Kondisi dalam masyarakat Pra Modern, tampil sebagai jalan dengan konsepsi
masyarakat organik yang tampil dengan paham bahwa setiap orang mempunyai status dan fungsi yang
ditentukan dalam hirarki alamiah, dimana „Konsensus‟ dimengerti sebagai subjek-subjek yang
memegang otoritas memahami dan mengikutinya. Ketiga, hadirnya masyarakat kapitalis dan tampilnya
teori-teri hukum alam dan kontrak sosial. Dalam konteks ini, „Konsensus‟ memasuki hidup bersama
dengan perjanjian positif, dengan kata lain, kebebasan Individu dalam hal ini mendapat tempat utama
dalam masyarakat. Keempat, berkembangnya pemikiran politik yang itu merubah pengertian
„Konsensus‟ yang itu menampilkan tuntutan baru. Dimana warga negara secara individual menuntut
keterlibatan secara langsung atau pun tidak langsung dalam masyarakat politik yang di organisasikan
dan ditentukan. Sehingga, „Konsensus‟ ini dipandang sebagai kekhususan sifat dari sistem lembaga-
lembaga demokratis yang familier. Lihat: Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan
Hegemoni, Hal. 120-125.
Secara praktis, kondisi internasional dan domestik negara di sepanjang jalur
saat ini semakin rumit dan pertumbuhan ekonomi dunia sedang lemah. Oleh
karena itu, Tiongkok berinisiatif membangun kembali jalur sutra dengan tujuan
agar negara-negara sepanjang jalur dapat bekerja sama dengan saling
menguntungkan untuk menghadapi tantangan ekonomi, sosial dan politik
internasional. Inisiasi OBOR adalah upaya yang dilakukan Tiongkok untuk
mendapatkan keuntungan. Melalui pembangunan OBOR, transaksi miliaran dolar.
Negara-negara di seluruh dunia, terutama 64 negara yang saat ini sudah
mempunyai akses langsung dengan Project Global bernama OBOR itu, secara
antusias merespons inisiasi tersebut secara positif.
Tentu dengan hadirnya OBOR ini, Tiongkok mengkampanyekan sebuah
strategi pembangunan yang diluncurkan dengan tujuan untuk mempromosikan
kerjasama ekonomi antar negara sepanjang jalur OBOR. Untuk dapat
meningkatkan arus bebas ekonomi, mengalokasikan sumber daya secara efisien,
memajukan integrasi pasar, serta menciptakan kerangka kerjasama ekonomi
regional yang dapat bermanfaat bagi perekonomian dunia. Selain itu, Inisiatif
OBOR yang dilakukan oleh Tiongkok juga diyakini, mampuh menghidupkan
kembali arus modal serta barang dan jasa dari Asia ke seluruh dunia, dengan tidak
hanya melibatkan perusahaan multi-nasional. Ini juga menjadi Big Goal Tiongko
untuk menghadirkan konektivitas global sebagai tujuan utama dari inisiasi OBOR
tersebut. Melihat peluang tersebut, tetu ini menjadi hal menarik bagi Indonesia.
sebab, disadari atau tidak, telah bersinggungan dengan kepentingan nasional.
Oleh karena itu, dalam merespon hal tersebut, Indonesia sudah membuat nota
kesepakat dengan Project OBOR tersebut. Terdapat 23 nota kesepahaman antara
pebisnis Indonesia dan Tiongkok, hal itu dikemukakan dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) One Belt, One Road (OBOR) Forum kedua di Beijing, Tiongkok.
Inisiasi OBOR ini dikelola oleh sebuah kelompok kecil yang terdiri dari the
National Development and Reform Commission (NDRC), Kementerian Luar
Negeri dan Kementerian Perdagangan Tiongkok yang dipimpin oleh Wakil
Perdana Menteri Zhang Gaoli. Namun, di sisi lain, OBOR juga menjadi tantangan
bagi Indonesia antara lain di bidang ekonomi yakni persaingan produk lokal
dengan produk asal Tiongkok dan tenaga kerja domestik dengan tenaga kerja asal
Tiongkok, di bidang pertahanan maritim yaitu di Selat Malaka, Kepulauan
Natuna, Laut Tiongkok Selatan, ancaman transnasional crime bagi keamanan
maritim. Indonesia melihat pentingnya OBOR sebagai sarana peningkatan
ekonomi negara melalui pembangunan infrastruktur dengan menggunakan
investasi dari Tiongkok.
Selain itu, OBOR juga dapat mendukung tujuan Indonesia untuk menjadi
poros maritime dunia. Dalam hal ini, kedua negara menggunakan OBOR sebagai
sarana untuk meningkatkan perekonomian dan pembangunan infrastruktur.
Namun, dalam pelaksanaan pembangunan proyek-proyek OBOR di Indonesia,
kedua negara tampaknya dipersulit dengan kondisi infrastruktur dasar yang
kurang memadai, birokrasi dan peraturan yang berbelit-belit, tidak adanya
kepastian hukum serta minimnya sumber daya manusia yang bersertifikat. Hal ini
merupakan tantangan bagi Indonesia untuk terus memperbaiki kekurangan-
kekurangan tersebut guna menarik minat investor Tiongkok di Indonesia.
Kerjasama internasional dapat mencakup berbagai bidang, seperti kerjasama
politik, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Kerjasama ekonomi tentunya
merupakan kerjasama dengan keuntungan paling nyata.
Inisiasi OBOR sendiri merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan oleh
Tiongkok dengan berbagai negara di dunia untuk membangun sebuah jalur
perdagangan yang pada zaman dahulu merupakan jalur yang dilewati oleh
pedagang dari Eropa ke Tiongkok. Sebelum lebih jauh menglas tentang adanya
kerjasama Indonesia dengan OBOR, ada baiknya kita sedikit mengulas tentang
apa yang membuat Indonesia ikut serta dalam melakukan kerjasama tersebut.
Meminjam istilah Immanuel Kant, kerja sama merupakan pilihan paling rasional
yang dapat diambil oleh sebuah negara. Pada sistem yang anarki, negara akan
memilih pilihan yang paling rasional guna mencapai kepentingan nasionalnya.
Negara memilih bekerjasama sebab hal tersebut dapat memenuhi kepentingannya.
Dibandingkan dengan konflik yang diungkapkan oleh Realis, kerja sama
tampaknya lebih rasional.
Pada kontek ini, Indonesia melihat pentingnya OBOR sebagai sarana
peningkatan ekonomi negara melalui pembangunan infrastruktur dengan
menggunakan investasi dari Tiongkok. Selain itu, OBOR juga dapat mendukung
tujuan Indonesia untuk menjadi poros maritime dunia. Dalam hal ini, kedua
negara menggunakan OBOR sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian
dan pembangunan infrastruktur.
Kerjasama internasional adalah upaya yang perlu dilakukan untuk
memperoleh Power, terutama menurut aliran Neo Liberalisme. Kerjasama
internasional adalah hubungan timbal-balik yang terjadi antara negara-negara
guna meningkatkan hubungan baik dan mendapat keuntungan.

IV. Indonesia dan Arus Politik Global


Secara umum, Percaturan politik global selalu melahirkan istilah dominasi dan
hegemoni. Negara-negara yang mapan secara ekonomi akan tampil sebagai
pemimpin poros. Sebaliknya, negara berkembang, akan tampil sebagai bagian atau
masuk dalam bagian poros itu sendiri. Pada konteks ini, Indonesia telah
mengalami pasang surut dalam arus politik global. Ini sudah menjadi bagian dari
fakta sejarah. Dimana dalam setiap periode kepemimpinan, bisa dipastikan
Indonesia ikut serta dalam percaturan politik Global. Namun yang perlu dicatat
bahwa, hanya ada dua negara adikuasa yang diikuti oleh Indonesia, setelah Uni
Soviet tumbang oleh kekuatan barat. Sama pada umumnya, kedua negara tersebut
secara pandangan ideologi menganut paham Liberalisme. Pada konteks ini,
liberalisme juga terdiri dari banyak turunan. Salah satu diantara turunannya
tersebut yakni, adanya kebebasan, perdamaian, serta persamaan. Secara prinsipil,
persamaan merupakan fakta kodrati manusia. Sementara pembeda-pembeda
hirarkis adalah fakta bentukan sosial manusia.
Pada hakikatnya, persamanaan membuat manusa merasa bebas, dan kebebasan
sendiri adalah sumber dari kreatifitas dan produktifitas manusia untuk meraih
kesejahteraan. Kemajuan ekonomi menuntut persamaan agar tidak ada tenaga
kerja yang terpaksa dalam proses produksi.11 Hal itu terlihat dari masifnya arus
globalisasi di Indonesia, dengan hadirnya demokratisasi di Indonesia. Dari sejak
Indonesia meredeka, kita semua sepakat bahwa, Indonesia memegang teguh
sistem pemerintahan demokrasi. Misalnya, ketika era Orla memimpin, corak
demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Terpimpin, corak yang berbeda juga
terjadi ketika Orba memimpin, dimana sistem Demokrasi Pancasila menjadi garda
terdepan, termasuk dengan corak demokrasi era Reformasi sampai sekarang.

11
R. Kristiawan, Penumpang Gelap Demokrasi, Kajian Liberalisasi Media di Indonesia,
Penerbit: AJI Indonesia (Jakarta: 2016) hal. 57-61.
Corak atau sistem demokrasi liberal. Demokrasi sebagai anak kandung
Liberalisme dalam hal ini berhasil menjadi arus global dengan ditandai dipakainya
paham tersebut. Dalam hal ini, yang perlu dicatat bahwa, sistem demokratisasi
merupakan sistem yang ideal. Sebab di dalamnya melahirkan prinsip-prinsip
keterbukaan, dan memberikan ruang bagi semua orang, untuk melakukan
kompetensi, termasuk dalam hal ekonomi. Kompetisi dianggap sebagai hal yang
lumrah, karena melalui kompetisi itulah, manusia akan menemukan kemajuannya,
dan proses saling mendukung dalam masyarakat akan tercipta lewat kompetisi
bebas ini.12 Dalam skala yang lebih besar, liberalisme juga terus berkembang
secara global. Sehingga, untuk memahami cara kerja tersebut, lahirlah satu istilah
populer yakni, neoliberalisme. Secara sederhana, Neoliberalisme adalah cara kerja
kapitalis global.
Para ilmuan, banyak menyebut bahwa, Neoliberalisme sebagai monster baru
terutama dalam negara dunia ketiga. Ini berkaitan dengan proses privatisasi besar-
besaran pada berbagai sector termasuk layanan dasar yang berdasarkan banyak
konstitusi negara seharusnta dipenuhi oleh negara, seperti kesehatan, pendidikan
dan air minum. Ada enam pandangan terkait neoliberalisme yakni, Pertama,
keutamaan pembangunan ekonomi, Kedua, pentingnya perdagangan bebas untuk
merangsang pertumbuhan ekonomi, Ketiga, pentingnya pasar bebas tanpa
restriksi, Keempat, pilihan-pilihan individu lebih diutamakan dibangdingkan
dengan pilihan kolektif, Kelima, Regulasi pemerintah harus dipangkas seminimal
mungkin, Keenam, model pembangunan yang bersifat sosial-evolutif dan
berdasarkan pada pengalaman negara-negara barat dianggap sebagai model
universal.
Pada konteks ini, Neoliberalisme tidak hanya menganggap ekonomi sebagai
dimensi kehidupan manusia, tetapi menetapkan diri sebagai satu-satunya dimensi
yang menentukan seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak boleh ada
hubungan-hubungan sosial yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar
ekonomi. Kemudian, ekonomi juga menjadi determine utama kehidupan manusia
dan manusia didorong menjadi mahluk berdimensi tunggal, yakni Homo
Economicus.

12
Kristiawan, Penumpang Gelap Demokrasi, Kajian Liberalisasi Media di Indonesia, hal. 69
Doktrin utama neoliberalisme yakni, keuntungan harus mengatur sebanyak
mungkin kehidupan sosial dan kekuatan apa pun yang menentang, harus
dimusuhi. Sakralitas kehidupan sosial tidak ada, selain orientasi meraih
kemakmuran melalui perdagangan bebas. Posisi Liberalisme yang paling tak kenal
kompromi menganut pandangan bahwa, peran negara berawal dan berakhir
dengan penerapan prinsip-prinsip dasar otonomi, properti, pertukaran, dan
perlindungan secara bersungguh-sungguh.13
Paham Neoliberalisme memiliki pandangan bahwa, kemakmuran sebuah
negara atau standar kehidupan ditentukan oleh produktivitas yang dengannya
negara menggunakan sumber daya manusia, modal dan alamnya. Produktivitas
membentuk tingkat upah dan pengembalian modal yang terjaga, faktor-faktornya
adalah penentu utama dari pendapatan per-kapita nasional. Dengan demikian
produktivitas adalah basis dari daya saing. Masalah pokok dalam pembangunan
ekonomi adalah bagaimana menciptakan kondisi untuk pertumbuhan produktifitas
yang cepat dan terjaga. Dalam konteks ekonomi modern, produktivitas kurang
bergantung pada jenis industry yang menjadi ajang bersaing perusahaan-
perusahaan sebuah negara.
Produktivitas lebih bergantung pada jenis industri yang menjadi ajang
bersaing perusahaan-perusahaan negara. Produktivitas juga lebih bergantung pada
bagaimana mereka bersaing-dengan kata lain, sifat dari operasi dan strategi
mereka. Dalam ekonomi global sekarang ini, praktis perusahaan-perusahaan
dalam setiap industry dapat menjadi lebih produktif melalui strategi dan investasi
yang lebih canggih dalam teknologi modern. Sebab, teknologi modern
menawarkan kesempatan besar untuk peningkatan dalam berbagai bidang seperti
pertanian, pengiriman paket kecil, atau produksi semisal konduktor.14 Paradigma
produktivitas sebagai dasar bagi kemakmuran mewakili perubahan yang radikal
dari konsep-konsep sebelumnya mengenai sumber kemakmuran.
Dalam hal ini, kemakmuran sebuah negara secara luas dilihat dari hasil
kepemilikan sumber daya alam seperti lahan, hasil tambang atau pekerjaan dalam
jumlah banyak, yang memberi negara itu sebuah keunggulan komparatif yang
relative atas negara-negara lain yang sumber dayanya kurang menguntungkan.

13
Richard A. Epstein, Skeptisisme dan Kebebasan, Pembelaan Modern Untuk Liberalisme
Klasik, Penerbit: Buku Obor dan Yayasan Freedom Institute (Jakarta:2006) hal. 73
14
Michael E. Porter, Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk
Kemajuan Manusia, Penerbit: LP3ES (Jakarta: 2011) hal 45
Namun demikian, dalam ekonomi global modern, perusahaan-perusahaan bida
mendapatkan sumber-sumber dari lokasi manapun dengan murah dan efisien.
Sehingga membuat sumber-sumber itu sendiri menjadi kurang bernilai. Nilai yang
sebenarnya dari sumber-sumber itu telah jatuh. Sebagai dasar kemakmuran,
keunggulan komparatif telah tergusur oleh keunggulan kompetetif yang bersandar
pada produktivitas yang hebat dan memadukan sumber-sumber daya untuk
menciptakan produk dan jasa yang bernilai.
Pada konteks „One Belt One Road‟ juga mengahdirkan konsep
Neoliberalisme. Dimana Tiongkok sebagai inisiator dari pada OBOR itu sendiri
ikut serta menyediakan lapangan dan pasar bebas. Artinya, melalui Project Global
bernama OBOR itulah, Tiongkok menghadirkan monopoli pasar untuk negara-
negara yang sudah terikat dan terlibat di dalamnya. Dalam hal ini menjadi suatu
kewajaran, apabila Tiongkok dengan kekuatan OBOR-nya berhasil melakukan
hegemoni. Sebab, seperti dijelaskan diawal bahwa, pada percaturan politik global,
negara yang memiliki konsep dan sumber daya yang kuatlah yang menjadi
kekuatan.
Indonesia sebagai negara berkembang, dari masa ke masa telah ikut serta
dalam percaturan politik Global. Melalui kerjasama dibidang banyak hal, yang itu
berkesinambungan dengan agenda-agenda pembanguan nasional di Indonesia
sendiri. Dengan Amerika Serikat melalui World Bank, juga dengan Tiongkok
melalui „One Belt one Road‟. Bila kita runut, hubungan Indonesia dengan
Tiongkok ternyata tidak sampai menjadikan keduanya berada pada titik yang
stagnan. Dua negara ini mempunyai hubungan diplomatik yang sangat lama. Hal
itu dimulai sejak kedatangan etnis Tiongkok di Indonesia jauh sebelum adanya
kolonialisme dari Bangsa Eropa.
Sekitar tahun 1600, Tiongkok melakukan sebuah migrasi besar-besaran
menuju ke Indonesia sebagai akibat dari kebijakan Belanda yang menjajah
Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar etnis Tiongkok sebagai etnis dari luar
Indonesia dapat mengisi sektor jasa yang minim akan penduduk. Kemudian pada
awal tahun kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang menganut politik luar
negeri bebas dan aktif, Indonesia melakukan kerjasama dengan pemerintah
Tiongkok melalui kebijakan Presiden Soekarno yang resmi dijalin tanggal 9 Juni
1950. Selanjutnya di tahun 1953, Indonesia dengan Tiongkok melakukan
hubungan kerjasama perdagangan untuk pertama kali.
Pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, Tiongkok ikut serta
dalam konferensi tersebut. Dengan demikian membuktikan bahwa Indonesia
dengan Tiongkok mengalami hubungan yang erat setelah kemerdekaan.15

V. Peluang dan Tantangan Pembangunan Nasional


Dalam melihat upaya kerjasama Indonesia denga Tiongkok melalu One Belt
One Road, maka pasti ada peluang dan tantangan. Sebagai bangsa yang yang
berdaulat, kita tidak bisa menghujat atau pesimis dengan pola Kerjasama ini.
Sebaliknya, bangsa ini harus mengambil peluang, untuk bagaimana bisa
mengawal laju Pembangunan Nasional tersebut. Pada agenda kerjasama tersebut
pemerintah secara umum ingin bagaimana terjadi kemakmuran yang lebih
signifikan. Kemakmuran merupakan sebuah kemampuan dari seseorang,
kelompok, atau bangsa untuk memberi tempat berlindung, nutrisi dan barang
materi lainnya yang memungkinkan orang untuk menjalani hidup yang baik
menurut definisi mereka sendiri.
Pada abad 21 ini, arus politik maupun ekonomi global, menawarkan
kesempatan yang sebelumnya tidak pernah ada bagi penciptaan kemakmuran di
seluruh dunia maupun ancaman potensial bagi tradisi budaya berabad-abad di
seluruh wilayah dunia, ketegangan yang ditangkap dalam anekdot berikut ini.
Dalam pertumbuhan ekonomi, tetap juga ada Virtuos Cyle dan keadilan sosial
pada basis yang berkelanjutan. Dalam Virtuos Cyle ini, perusahaan-perusahaan
mengambil inisiatif untuk mengembangkan produksi bisnis yang kompleks dan
strategi bisnis yang lebih canggih.
Ini akan membantu menciptakan bisnis yang keuntungannya lebih tinggi, yang
memberikan bahan bakar untuk membuat investasi lebih dalam tenaga kerja.
Sebab dengan demikian, tenaga kerja yang lebih terdidik merangsang tingkat
inovasi yang lebih tinggi menghasilakn kemampuan untuk menjual barang dan
jasa yang kian kompleks. Melihat dunia dengan cara ini memungkinkan untuk
berpikir tentang mengembangkan keunggulan kompetetif yang berkelanjutan dan
mengatasi berabad-abad keunggulan komparatif yang statis.16

15
Kris Naning Soviyaningsih Kepentingan Indonesia Terhadap One Belt One Road (OBOR)
Dalam Upaya Mewujudkan Poros Maritim Dunia, Jurnal Transborders, Vol. 2 No. 2. Diterbitkan Pada
Tahun 2019. hal. 91
16
Stace Lindsay, Kebangkitan Peran Budaya, bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia,
Penerbit: LP3ES (Jakarta: 2011) hal. 420
Dalam konsep politik Global, Gramsci menjelaskan bahwa, terdapat tiga
batasan yakni, kekuatan ekonomi, legitimasi negara, dan masyarakat sipil, sebagai
formasi yang membentuk garis dasar konseptualisasi terhegemoni atau tidaknya
sebuah negara. Lebih jauh, Gramsci mengatakan bahwa, ekonomi sebagai batas
konseptualisasi yang pertama digunakan sebagai batasan „mode of production‟
yang paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari
teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas munculnya
perbedaan kelas-kelas sosial dalam arti kepemilikan produksi.
Sebagai komponen utama, masyarakat sipil dapat di identifikasikan sebagai
sebuah institusi religius. Liberalisme adalah sebuah doktrin yang ditunjukan
sepenuhnya bagi perilaku manusia di bumi ini. Liberalism sendiri tidak memiliki
tujuan lain selain dari pada memajukan kesejahteraan lahiriah dan material
manusia, dan liberalism sendiri bersifat sekuler. Untuk bergerak meninggalkan
kemiskinan, sebuah bangsa harus menaikan masukan, lembaga dan keahliannya
untuk mengahdirkan bentuk-bentuk kompetisi yang lebih canggih yang berujung
pada produktivitas yang meningkat. Ini memerlukan banyak hal seperti misalnya
meningkatkan modal manusia, memperbaiki infrastruktur, membuka perdagangan
dan investasi luar negeri, melindungi kekayaan inteletual, menaikan standar tata
niaga untuk mendesakan perbaikan-perbaikan dalam hal kualitas produk dalam
lingkungan, serta memperluas integrasi kawasan.17

VI. Dinamika HMI Dalam Politik Kekuasaan


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa tertua di
Indonesia, dalam hal ini tentu mempunyai andil besar atas terjadinya dinamika
politik global yang terus berjalan dinamis itu. Hal itu harus kita akui, sebab
bagaimana pun tidak sedikit para alumni HMI yang dari masa ke masa masuk
dalam jejaring pemerintahan. Dari mulai pemerintah ditingkat Eksekutif,
Legislatif, hingga Yudikatif, itu semua berhasil terisi, baik di pusat maupun di
daerah. Pada kontek politik kekuasaan, ini juga sangat berkaitan dengan peran
HMI sebagai organisasi perjuangan. Hal ini terlihat, dari mulai era orde lama, orde
lama, reformasi hingga orde sekarang.

17
Michael E. Porter, Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk
Kemajuan Manusia, hal. 52-53.
Kehadiran HMI ikut mewarnai, perpolitikan Indonesia. seperti misalnya pada
saat orde lama, era dimana Soekarno mempin, HMI yang usianya bisa dikatakan
baru seumur jagung, faktanya berhasil menjadi kekuatan penentu, yang dalam hal
ini masuk ke dalam kekuatan Islam. Pada masa kepemimpinan Soekarno dimana
sistem pemerintahan demokrasi terpimpin diterapkan, menjadikan konsep
Nasakom (Nasionalis, Komunis dan Agamis) dijadikan Soekarno sebagai benteng.
Rupanya telah melahirkan konfrontasi yang begitu hebat. Bahkan HMI sebagai
bagian dari poros Islam, turut andil dalam konfrontasi tersebut.18
Hal yang sama juga terjadi pada masa kepemimpinan orde baru, dimana
Soeharto memimpin. Dimana demokrasi Pancasila diterapkan. Kehadiran HMI
terbelah dua, karena diterapkannya asas tunggal. Pada fase-fase orde baru ini,
corak maupun eksistensi politik Islam terlihat lemah. Seperti dikatakan Sudirman
Tebba, kehadiran Islam pada masa orde baru, hanyalah dijadikan sebagai gerakan
etik dimana itu hanyalah meliputi sikap untuk tetap mendukung agenda
pembangunan, yang sudah dicanangkan oleh pemerintah pada masa orde baru.19
Selain itu, akibat dari adanya gerakan etik, kekuatan Islam hanya berkembang
pada tahap gerakan kebudayaan, sementara pada gerakan politik, tidak
berkembang. Seiring dengan berkembangnya Islam bercorak gerkan kebudayaan,
maka reorientasi atas pemikiran Islam, terus memiliki perkembangan. Sistem
demokrasi Pancasila, sejatinya telah melahirkan tatanan pemerintahan yang jauh
berbeda dari pada orde lama. Ciri yang paling jelas adalah adanya asas tunggal,
bukan hanya organisasi mahasiswa, partai politik juga diharus untuk mengamini
pancasila sebagai asas partai, dan di luar asas Pancasila, mau organisasi apa pun,
dilarang.20 Pada konteks orde baru juga, kekuatan Islam secara institusional politik
memang terkungkung. Namun demikian, pada masa ini juga kita mengenal adanya
Istilah „Politik Garam dan Politik Gincu‟.
Secara singkat, istilah „Politik Garam‟ mengacu pada upaya kalangan umat
Islam untuk ikut serta memberikan rasa dalam adonan politik Indonesia, tanpa
harus mengibar-ngibarkan bendera. Sementara itu, pada konteks „Politik Gincu‟

18
Deliar Noer, dalam kata pengantar, Syafinuddin Almandari, Demi Cita-Cita HMI, Catatan
Ringkas Perlawanan Kader dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orde Baru, Penerbit: (PT Karya
Multi Sarana: Jakarta) hal. xvii
19
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru, Perubahan Politik dan Keagamaan, Penerbit: (PT Tiara
Wacana Yogya: Yogyakarta) hal. 7-8.
20
Bahtiar Effendy, (Re)politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Penerbit:
(Mizan Media Utama: Bandung) hal 223
politik Islam dihadirkan sebagai sebuah subtansi atau nilai-nilai. Baik istilah
„Gincu maupun Garam‟. Seperti disampaikan Bahtiar Effendy, keduanya
merupakan sebuah jalan keluar bagi perkembangan politik Islam yang memang
dinilai terlihat terlalu sumpek. Pada konteks ini, Islam dihadirkan tidak sebagai
simbol, akan tetapi sebaliknya, Islam dihadirkan sebagai sebuah subatnsi atu nilai.
Selanjutnya, setelah orde baru runtuh, kemudian kekuasaan beralih, istilah
yang familiar adalah orde reformasi, kekuatan Islam kembali tumbuh subur.
Bahkan kehadiran partai Islam yang semula terbungkam karena adanya kebijakan
asas tunggal, kini telah bangkit. Sejak awal reformasi elite politik di negara ini
melihat bahwa, Indonesia diambang batas krisis. Hal itu disebabkan karena,
sebuah kebijakan orde baru yang sifatnya neoliberalisme.
Dalam melihat hal ini, Frangki Budi Hardiman mengatakan bahwa, contoh
paling ril dari adanya kebijakan neoliberalisme adalah, adanya dorongan investasi
dan dorongan konsumsi massa demi pertumbuhan ekonomi makro, Indonesia
sebagai negara berdaulat, dinilai dapat dan bisa menjadi sebuah pasar untuk para
investor.21 Awal-awal terjadinya Reformasi, kekuatan politik termasuk salah
satunya adalah tampilnya gerakan mahasiswa, sejatinya belum memiliki baying
terang tentang masa depan Indonesia. Persoalan masa depan bangsa kondisinya
masih terkatung-katung. HMI yang saat itu bisa dikatakan sebagai anak emas orde
baru, juga ikut serta dalam mengawal gerakan reformasi yang impilikasinya
berujung pada adanya perubahan sosial dan politik. Selanjutnya, saat-saat
reformasi itu terjadi HMI berhasil merangsek dalam pusaran kekuasaan.
Salah satu langkah kongretnya adalah, HMI menjadi salah satu bagian dari tim
revisi atas perubahan Undang-Undang Politik. Hingga sampai saat ini. Namun
dalam hal ini, penulis ingin mengatakan bahwa, karakteristik HMI dalam
mengejawantahkan praktek politik, tidak pernah menjadi oposisi abadi.
Sebaliknya, HMI tampil dan selalu ikut memperkarasi politik dari dalam
pemerintahan. Ini terjadi dari sejak zaman orde lama, reformasi hingga saat ini era
kepemimpinan Presiden Jokowi. Artinya, dengan pola demikian, pusaran HMI
dalam berpolitik menjadi penentu arah, bagi keberlangsungan sikap politik
Indonesia di kancah Global. Termasuk dengan adanya kerjasama dengan

21
F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di Indonesia, Penerbit:
(Kanisius: Yogyakarta) hal 15.
Tiongkok melalui „One Belt One Road‟ yang merupakan bagian dari pada
mensukseskan pembangunan nasional.

VII. Penutup
Dari uraian diatas, maka dapat disimpukan bahwa, Indonesia sebagai negara
yang berkedaulatan, dalam merencanakan agenda pembangunan nasional, tidak
bisa dilepaskan dari pada pengaruh global. Hal itu terjadi dari setiap periode
kepemimpinan, termasuk kepemimpinan Presiden Jokowi. Selanjutnya, dalam
setiap perpolitikan Global, Indonesia juga selalu terlibat aktif. Termasuk dengan
arus politik global yang terjadi saat ini. Seperti diketahui bahwa, saat ini, arus
politik global, hampir berpindah haluan. Kekuatan global yang semula kendalinya
dipegang penuh oleh negara-negara barat seperti Amerika Serikat, saat ini
kondisinya berpututar. Tiongkok sebagai negara yang letaknya ada di Asia, mulai
memegang kendali.
Melalui Project Global bernama „One Belt One Road‟ atau OBOR Tiongkok
berhasil menghimpun banyak negara-negara berkembang untuk sama-sama bahau
membahu membangun peradaban baru. Bisa dikatakan bahwa, kehadiran OBOR
menjadi kekuatan dan poros baru politik Global dikancah internasional. Indonesia,
dalam hal ini ikut menjadi bagian dari pada Project Global tersebut. Hal it dapat
dilihat dari banyaknya capaian pembangunan fisik yang dilakukan pada masa
kepemimpinan Presiden Jokowi. Seperti misalnya, masifnya pembangunan
infrastruktur laut maupun darat.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa yang
memiliki peran sebagai organisasi perjuangan, dalam hal ini harus ikut andil
mengambil bagian dan menjadi mitra strategis pemerintah dalam mengawal
lajunya pembangunan nasional. Ada banyak pola yang bisa dilakukan oleh HMI
dalam mengawal agenda pembangunan, namun yang terpenting, dengan ikut
andilnya HMI dalam mengawal agenda pembangunan nasional, tentu saja itu
semua untuk mengantisipasi agar, pemerintah di republik ini tidak serta merta
melakukan kerjasama global, dengan gaya kolaborasi miring. Dimana itu akan
berujung pada merugikan Indonesia.
Pada konteks kerjasama pembangunan melalui jalur OBOR, tentu menjadi
peluang sekaligus tantangan bagi Idonesia. Dalam hal ini, Indonesia juga harus
menyuiapkan serangkaian skema terutama skema pengembangan sumber daya
manusia agar mampuh bersaing. Dengan dengan terbentuknya sumber daya
manusia yang berkualitas, tentu visi Indonesia Maju akan dapat terwujud.

Daftar Pustaka
Buku
1.Wiko Saputra, Pembangunan Ekonomi dan Terancamnya Hak Masyarakat, Kritik
dan Kajian Terhadap Kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, Penerbit: (Perkumpulan
Prakarsa: 2014)
2.Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Penerbit: Pustaka Pelajar
(Yogyakarta: 2015)
3.R. Kristiawan, Penumpang Gelap Demokrasi, Kajian Liberalisasi Media di
Indonesia, Penerbit: AJI Indonesia (Jakarta: 2016).
4.Michael E. Porter, Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk
Kemajuan Manusia, Penerbit: LP3ES (Jakarta: 2011)
5.Syafinuddin Almandari, Demi Cita-Cita HMI, Catatan Ringkas Perlawanan Kader
dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orde Baru, Penerbit: (PT Karya Multi Sarana:
Jakarta)
6.Stace Lindsay, Kebangkitan Peran Budaya, bagaimana Nilai-Nilai Membentuk
Kemajuan Manusia, Penerbit: LP3ES (Jakarta: 2011)
7.Richard A. Epstein, Skeptisisme dan Kebebasan, Pembelaan Modern Untuk
Liberalisme Klasik, Penerbit: Buku Obor dan Yayasan Freedom Institute
(Jakarta:2006)
8.Sudirman Tebba, Islam Orde Baru, Perubahan Politik dan Keagamaan, Penerbit: (PT
Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta)
9.Bahtiar Effendy, (Re)politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?,
Penerbit: (Mizan Media Utama: Bandung)
10. F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di
Indonesia, Penerbit: (Kanisius: Yogyakarta)

Jurnal
1. Muhammad Fahrizal, Artha Yudilla, Rio Sundari, Implementasi Konsep Kebijakan
One Belt One Road (OBOR) China Dalam Kerangka Kerjasama Pembangunan
Infrastruktur Indonesia, (Jurnal: Journal of Diplomacy and International Studies),
diterbitkan Tahun 2015.
2. Kris Naning Soviyaningsih Kepentingan Indonesia Terhadap One Belt One Road
(OBOR) Dalam Upaya Mewujudkan Poros Maritim Dunia, Jurnal Transborders, Vol.
2 No. 2. Diterbitkan Pada Tahun 2019.
3. Rhinanda Avifa Fahmi, Pengaruh Inisiatif OBOR (One Belt One Road) Tiongkok
Terhadap Perkembangan Infrastruktur Indonesia Tahun 2017, Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai