Anda di halaman 1dari 20

ARTIKEL ILMIAH

KUALITAS DAGING AYAM PETELUR AFKIR PADA


PASAR TRADISIONAL DI KABUPATEN
WONOGIRI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada
Program Studi Peternakan

Diajukan Oleh :
DONY YOGA PRATAMA
NIM 1750500032

Kepada :
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA
SUKOHARJO
2021
KUALITAS DAGING AYAM PETELUR AFKIR PADA
PASAR TRADISIONAL DI KABUPATEN
WONOGIRI

Dony Yoga Pratama1 Ludfia Windyasmara1 Catur Suci Purwati1

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian


Uniersitas Veteran Bangun Nusantara
Sukoharjo

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas daging ayam petelur
afkir pada pasar tradisional di kabupaten wonogiri Penelitian ini akan berlangsung
selama 1 bulan sedangkan tempat penelitian akan dilaksanakan di laboratorium
pertanian Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, sedangkan lokasi sampel
yang digunakan berupa pasar tradisional yang berada di 3 kecamatan di kabupaten
Wonogiri meliputi kecamatan Ngadirojo, kecamatan Tirtomoyo dan kecamatan
Baturetno. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
searah dengan 3 perlakuan berupa asal pasar ditiap kecamatan dan masing masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan analisis yang ulang setiap kelompok perlakuanya
sebanyak 2 kali, yaitu sampel daging dari pedagang yang berbeda dalam satu pasar,
adapun rancangan percobaan meliputi P1 = Daging ayam petelur afkir dari pasar
Ngadirojo, P2 = Daging ayam petelur afkir dari pasar Tirtomoyo dan P3 = Daging ayam
petelur afkir dari pasar Baturetno. Data yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah sidik ragam ANOVA
(Analysis Of Varians) untuk menegetahui tingkat signifikansi pengaruh dan dilanjutkan
dengan uji Duncan New’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukan
bahwa daging ayam petelur afkir yang diniagakan dipasar tradisional di kabupaten
Wonogiri memiliki tingkat daya ikat air yang berbeda antar perlakuan, sedangkan pada
kadar protein terlarut, susut masak dan keempukan daging tidak berbeda antar
perlakuan.

Kata Kunci : Daging ayam petelur afkir, Pasar tradisional, Wonogiri.


Pendahuluan

Daging ayam petelur afkir merupakan sumber protein hewani yang sampai saat ini
banyak dijumpai dipasaran terlebih dipasar tradisional yang merupakan lokasi
berlangsungnya proses jual beli dengan populasi pengguna baik penjual maupun
pembeli yang besar. Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (Sp2kp) Provinsi Jawa
Tengah mengutarakan bahwasanya sampai padabulan Juli 2019 kebutuhan daging ayam
di kabupaten Wonogiri melonjak yang diakibatkan banyaknya kegiatan yang melibatkan
produk pangan berupa daging. Sektor peternakan ayam petelur yang ditunjang dari segi
fase afkir produktivitas ayam petelur akan menghasilkan ayam afkir sebagai sumber
protein hewani dengan ciri khas cita rasa daging yang enak dan harga jual yang relatif
stabil menjadi keunggulan tersendiri sehingga banyak pihak peternak yang
mengembangkanya.
Era modern yang terjadi diberbagai negara terutama di Indonesia kini semakin
banyak kemunculan peternakan yang menjadi Suplier daging ayam petelur afkir
dipedagang pasar tradisional, hal tersebut mengakibatkan semakin banyak juga variasi
daging yang ditawarkan kepada pembeli, namun sebagai konsumen hendaklah memiliki
wawasan untuk memilih daging ayam yang berkualitas untuk dikonsumsi sehingga
selain harga yang relatif murah daging ayam juga harus diyakinkan aman untuk
dikonsumsi.
Perlu dilakukan beberapa pengujian terhadap indikator kelayakan kualitas daging
ayam petelur afkir yang diual dipasaran terutama pasar tradisional dikabupaten
Wonogiri yang memiliki ruang lingkup penjualan daging ayam yang cukup besar
dengan populasi pedagang yang cukup banyak sehingga daging yang dijual juga sangat
bervariasi, pengujian yang perlu dilakukan diantaranya kadar air, keempukan, protein
terlarut dan susut masak daging untuk menekan potensi pembelian daging yang tidak
layak konsumsi.
Metode Penelitian

Materi Penelitian
Bahan penelitian ini meliputi Daging ayam petelur afkir bagian dada yang
diperoleh dari sampel pasar tradisional di kabupaten Wonogiri.
Alat penelitian ini meliputi oven yang digunakan untuk mengeringkan sampel
pada saat uji kadar air, termometer berfungsi untuk mengukur susut masak daging saat
direbus, timbangan untuk mengukur berat sampel, desikator mengeringkan uap atau
embun air yang masih tertinggal pada alat yang susah dikeringkan secara manual
menggunakan kain salah satunya tabung reaksi yang berukuran kecil, vortex berfungsi
untuk honogenisasi sebuah sampel atau larutan yang diwadahkan pada tabung reaksi
atau peralatan yang memiliki dimensi kecil, spektrofotometer untuk mengukur energi
cahaya secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan
sebagai fungsi dari panjang gelombang, pisau untuk memotong sampel berupa daging,
waterbath untuk merebus daging pada saat pengujian susut masak, tabung reaksi
digunakan hampir seluruh parameter penelitian yang berfungsi menampung daging
maupun bahan lain seperti reagen, peralatan tulis mencatat data yang diperoleh selama
analisis dilakukan.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan berupa pengamatan terhadap kualitas daging
ayam petelur afkir secara langsung dipasar tradisional yang dilakukan di laboratorium
untuk mengetahui hasil variabel pengamatan.

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
searah dengan 3 perlakuan berupa asal pasar ditiap kecamatan dan masing masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan analisis yang ulang setiap kelompok perlakuanya
sebanyak 2 kali, yaitu sampel daging dari pedagang yang berbeda dalam satu pasar,
adapun rancangan percobaan meliputi P1 : Daging ayam petelur afkir dari pasar
Ngadirojo, P2 : Daging ayam petelur afkir dari pasar Tirtomoyo, P3 : Daging ayam
petelur afkir dari pasar Baturetno
Variabel Penelitian
Variabel pengamatan penelitian berupa uji kadar air, keempukan, kadar protein
terlarut dan susut masak, adapun rumus masing masing variabel yang diuraikan sebagai
berikut uji kadar air, uji kadar protein terlarut, uji susut masak dan uji keempukan.
Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola searah sidik ragam ANOVA (Analysis Of Varians) untuk menegetahui
tingkat signifikansi pengaruh dan dilanjutkan dengan uji Duncan New’s Multiple Range
Test (DMRT).
Hasil Pembahasan

Kadar Air
Hasil uji Anova menunjukan bahwa daging ayam yang dijual di 3 pasar tradisioal
yang berbeda menghasilkan pengaruh nyata terhadap kadar air daging (P<0,05). Rerata
persentase daging ayam P1 menghasilkan kadar air sebesar 76,91%, sedangkan kadar
air daging ayam P2 memperoleh rata-rata sebesar 73,57% dan P3 memperoleh rerata
kadar air sebesar 74,69%.
Nilai rata – rata kadar air daging ayam penelitian masih berkisar pada angka
normal, standar kadar air dalam daging ayam berkisar antara 65%-80% (Aberle et al.,
2001). Hasil rerata P1 memperoleh kadar air tertinggi yang mengindikasikan bahwa
terjadi aktivitas mikroba dalam daging sehingga menghasilkan aktivitas dan senyawa
molekul berupa air dalam daging, kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan dari
Kasmadiharja (2008) yang menyatakan bahwa kadar air yang meningkat dipengaruhi
oleh jumlah air bebas yang terbentuk sebagai hasil samping dari aktivitas mikroba,
Puspitasari et al. (2013) menambahkan bahwa pada saat mikroba mencapai fase
pertumbuhan konstan, maka akan dihasilkan senyawa bermolekul kecil yang
mengandung air.
Tingginya kadar air dalam daging juga dapat mengindikasikan bahwa daging
ayam sudah terlalu lama disimpan dan dibiarkan dalam ruangan terbuka sehingga
mengakibatkan mikroba beraktivitas dengan bebas, kondisi tersebut sesuai dengan
pernyataan dari Ressang (1982) yang menyatakan bahwa daging yang terlalu lama
disimpan akan menyebabkan terlepasnya air terikat menjadi air bebas. sehingga,
semakin lama daging ayam disimpan akan menyebabkan peningkatan nilai kadar air
(Kasmadiharja, 2008).
Rerata kadar air P2 yang memperoleh hasil terendah mengindikasikan penurunan
kadar air yang diakibatkan dari bentuk adaptasi penguapan air dengan suhu lingkungan
sekitar, sehingga faktor lingkungan tempat daging ditempatkan menjadi pengaruh
rendahnya kadar air dalam daging, kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan dari Wala
et al (2016) bahwa proses penguapan kadar air pada daging yang berlangsung selama
penyimpanan daging akan mengakibatkan penurunan kadar air sampai pada titik
kesetimbangan air yaitu suhu yang sama antara daging dengan lingkungan sekitarnya.
Hasil rerata kadar air yang diperoleh P3 menunjukan hasil yang sedang, yaitu diantara
P1 dan P2, yang menujukan bahwa kadar air daging ayam dalam kondisi konstan. Hasil
dapat dinyatakan bahwa kadar air daging ayam petelur afkir P1 memperoleh hasil
tertinggi dan hasil kadar air P2 memperoleh hasil terendah.
Protein Terlarut
Hasil uji Anova menunjukan bahwa daging ayam yang dijual di 3 pasar tradisioal
yang berbeda memperoleh hasil yang tidak berpengaruh terhadap protein terlarut daging
(P>0,05). Rerata persentase daging ayam P1 menghasilkan protein terlarut sebesar
17,78%, sedangkan protein terlarut daging ayam P2 memperoleh rata-rata sebesar
16,92% dan P3 memperoleh rerata protein terlarut sebesar 17,99%.
Kadar protein terlarut P1, P2 dan P3 tidak mengalami perbedaan disebabkan
karena lokasi penjualan di pasar yang masih pada kondisi lingkungan yang sama, yang
berarti suhu penempatan daging juga tidak terlalu berbeda antara 3 pasar tradisional,
kondisi tersebut disebabkan karena faktor lingkungan bebas dan suhu yang
mengakibatkan mikroorganisme tumbuh pada media daging yang mengandung nutrisi
komplek terutama protein yang dibutuhkan mikroorganisme tumbuh dan berkembang
biak, hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Takasari (2008) yang menyatakan
bahwa daging mengandung zat gizi yang tinggi terutama proteinnya dengan komposisi
asam amino yang seimbang dan bermanfaat bagi tubuh manusia, Sangadji et al, (2019)
menyatakan bahwa kandungan gizi yang tinggi menyebabkan daging mempunyai sifat
mudah rusak (perishable) karena mikrooganisme dapat tumbuh dan berkembangbiak di
dalamnya. Salah satu mikroorganisme perusak yang terkandung di dalam daging ayam
broiler adalah bakteri.
Hasil rerata protein terlarut daging yang tidak mengalami perbedaan juga dapat
diindikasikan bahwa faktor lain seperti usia ayam serta manajemen pemeliharaan ayam
yang dijual di 3 pasar tradisional di kabupaten wonogiri juga tidak mengalami
perbedaan, konsisi tersebut disebabkan kandungan protein terlarut dapat disebabkan
oleh usia pemotongan dan manajemen pemeliharaan seperti suhu kandang
pemeliharaan, kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan dari sangadji et al (2019) yang
menyatakan bahwa semakin muda usia pemotongan usia ayam yang dipotong akan
menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi daripada ayam yang dipotong pada usia
tua, sedangkan pada penelitian ini menggunakan ayam petelur afkir yang dipotong pada
usia tua dengan rentang waktu yang hampir bersamaan sehingga menghasilkan kadar
protein terlarut yang tidak berbeda.
Susut Masak
Hasil uji Anova menunjukan bahwa daging ayam yang dijual di 3 pasar tradisioal
yang berbeda memperoleh hasil yang tidak berpengaruh terhadap susut masak daging
(P>0,05). Rerata persentase daging ayam P1 menghasilkan susut masak sebesar 21,28
%, sedangkan susut masak daging ayam P2 memperoleh rata-rata sebesar 19,45% dan
P3 memperoleh rerata susut masak sebesar 21,15%.
Hasil rerata susut masak daging P1, P2 dan P3 tidak mengalami perbedaan yang
mengindikasikan bahwa kondisi fisik daging ayam petelur afkir yang dijual di 3 pasar
tradisional yang berbeda di kabupaten Wonogiri tidak mengalami perbedaan terutama
pada bagian penyebaran lemak di jaringan daging dari ke 3 perlakuan, penyebaran
lemak pada jaringan daging merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya susut masak daging ayam, kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan dari
Lawrie (1979) dalam Bahri (2001) yang menyatakan bahwa kombinasi letak otot dan
lemak intramuskuler yang lebih banyak dapat mengakibatkan peningkatan kapasitas
daging dalam menahan air, karena lemak intramuskuler akan menutup jaringan
mikrostruktural daging sehingga susut masak menjadi lebih sedikit waktu dimasak.
Soeparno (2009) menambahkan bahwa lemak intramuskuler menghambat atau
mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan, sehingga dapat dinyatakn
bahwa kondisi susut masak yang tidak berbeda pada ayam penelitian diakibatkan dari
kondisi perlemakan daging ayam petelur afkir yang tidak berbeda.
Keempukan
Hasil uji Anova menunjukan bahwa daging ayam yang dijual di 3 pasar tradisioal
yang berbeda memperoleh hasil yang tidak berpengaruh terhadap keempukan daging
(P>0,05). Rerata persentase daging ayam P1 menghasilkan keempukan sebesar 1,98,
sedangkan keempukan daging ayam P2 memperoleh rata-rata sebesar 1,98 dan P3
memperoleh rerata keempukan sebesar 2,33. Menurut Khairuddin (2008), daging ayam
petelur afkir mempunyai kualitas yang rendah karena pemotongan dilakukan pada umur
yang relatif tua sehingga keempukan dagingnya lebih rendah.
Hasil rerata keempukan daging ayam petelur afkir P1, P2 dan P3 yang tidak
berbeda mengindikasikan bahwa usia ayam petelur yang cenderung dipotong pada
konsisi tua pada 3 pasar tradisional yang berbeda di kabupaten Wonogiri tidak
mengalami perbedaan. Faktor yang berpengaruh terhadap keempukan daging yang lain
digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu faktor anmortem dan postmortem, seperti yang
dinyatakan oleh Sopearno (2005) bahwa faktor anmortem seperti genetik termasuk
bangsa, spesies, dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin serta stress
termasuk waktu atau lama transportasi ternak ke abatoir, dan faktor postmortm
diantaranya meliputi metode chilling, refigerasi, pelayuan dan pembekuan dan termasuk
faktor lama dan temperatur penyimpanan, dan metode pengolahan, termasuk metode
pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Sehingga dapat dinyatakan bahwa
metode pengolahan ayam petelur afkir hingga sampai pada penjual di pasar tradisional
yang berbeda di kabupaten Wonogiri menggunakan metode pemotongan dan
pengolahan yang tidak berbeda.
Hasil penelitian dengan parameter berupa keempukan daging ayam petelur afkir
oleh Dewanto et al, (2017) mendapatkan angka keempukan daging sebesar 3.83,
sedangkan pada hasil penelitian menunjukan tingkat keempukan daging yang lebih
rendah dengan angka tertinggi yang diperoleh P3 sebesar 2,35, kondisi tersebut
mengindikasikan bahwa daging ayam petelur afkir yang dijual di pasar tradisional
berbeda di kabupaten Wonogiri diperoleh dari ayam petelur dengan usia yang lebih tua.
Indikator keempukan daging yang tidak berbeda tiap perlakuan pada penelitian ini
juga didukung dari tingkat protein daging yang tidak berbeda antar perlakuan, kondisi
tersebut disebabkan dari kondisi daging ayam petelur afkir yang dijual di pasar
tradisional yang berbeda di kabupaten Wonogiri pada kondisi terurai akibat kondisi
lingkungan yang cenderung memiliki suhu lebih tinggi daripada suhu daging, hal
tersebut sesuai dengan pernyataan dari Fenita et al, (2009) bahwa keempukan daging
akan meningkat ketika semakin banyak protein yang terurai.
Penutup

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa daging ayam petelur afkir yang diniagakan
dipasar tradisional di kabupaten Wonogiri memiliki tingkat daya ikat air yang berbeda
antar perlakuan, sedangkan pada kadar protein terlarut, susut masak dan keempukan
daging tidak berbeda antar perlakuan.
Saran
Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengevaluasi pasar tradisional dikabupaten
Wonogiri yang terletak dikecamatan lain agar diperoleh data yang lebih relevan dan
lengkap.

Daftar Pustaka
Aberle, D.E., J.C. Forrest, DE Gerrard and E.W. Mills. 2001. Principles of Meat
Science. Fourth Edition. W. H. Freeman and Company. San Fransisco, United
States of America.

Bahri, S. 2001. Pengaruh Penggunaan Tepung Koro Benguk (Mucuna Pruriens) Dalam
Ransum Terhadap Kualitas Fisik Daging Itik Tegal Jantan. Skripsi. Fak.
Pertanian. Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.

Dewanto, A., Rotinsulu, M, D., Ransaleleh, T, A., Tinangon, R, M. 2017. Sifat


Organoleptik Daging Ayam Petelur Tua Yang Direndam Dalam Ekstrak Kulit
Nanas (Ananas comosus L. Merr). Jurnal Zootek. Vol. 37 No. 2 : 303 - 313

Fenita, Y., O. Mega dan E. Dianti. 2009. Pengaruh pemberian air nanas (Ananas
cosumus) terhadap kualitas daging ayam petelur afkir. Jurnal Sains Peternakan
Indonesia. 4(1): 1978 – 3000

Khairuddin. 2008. Kandungan Protein dan Organoleptik Abon Daging Ayam Petelur
Afkir dengan Suhu dan Waktu Perebusan yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
(Tidak dipublikasikan). Pekanbaru.

Kasmadiharja, H. 2008. Kajian Penyimpanan Sosis, Nuget Ayam dan Daging Ayam
Berbumbu dalam Kemasa Polipropilen Rigid. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puspitasari, I., Nuhriawangsa, A. M. P. Dan Swastike W. 2013. Pengaruh Pemanfaatan


Kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap kualitas mikrobia dan fisiko-kimia
daging Sapi. Tropical Animal Husbandry J. 2(1) : 58-64.
Ressang, A. A., dan S. Karmas. 1989. Ilmu Kesehatan Daging. Edisi kedua. Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sangadji, I., Jurianto, Rijal, M. 2019. Lama Penyimpanan Daging Ayam Broiler
Terhadap Kualitasnya Ditinjau Dari Kadar Protein Dan Angka Lempeng Total
Bakteri. Jurnal Biology Science & Education.

Soeparno. (2005). Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Soeparno. 2009. Ilmu Dan Teknologi Daging. Cetakan 5. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Takasari, Cicilia. (2008). Kualitas Mikrobiologis Daging Sapi Segar Dengan


Penambahan Bakteriosin Dari Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 Yang Diisolasi
Dari Susu Sapi. Skripsi, Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas
Pertanian, IPB.

Wala, J., Ransaleleh, T., Wahyuni, I., Rotinsulu M. 2016. Kadar Air, pH Dan Total
Mikroba Daging Ayam Yang Ditambahkan Kunyit Putih (Curcuma mangga Val.).
Jurnal Zootek. Vol. 36 No. 2 : 405 – 416

Lampiran Data Variabel Penelitian


Tabel 1. Rerata Data Parameter Penelitian
Parameter Rerata Perlakuan

P1 P2 P3

Kadar Air (%) 76,91b 73,57a 74,69ab


Protein terlarut (%)ns 17,78 16,92 17,99
Susut Masakns 21,28 19,45 21,15
Keempukanns 1,98 1,98 2,33
Keterangan abc : superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan terjadi
perbedaan sangat nyata (P<0,05).
ns
: Tidak Signifikan (P>0,05).
QUALITY OF LAYER MEAT AFKIR PADA
TRADITIONAL MARKET IN THE DISTRICT
WONOGIRI

Dony Yoga Pratama1 Ludfia Windyasmara1 Catur Suci Purwati1

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian


Uniersitas Veteran Bangun Nusantara
Sukoharjo

Abstract

The purpose of this study was to determine the quality of discarded laying hens at
traditional markets in Wonogiri Regency. This research will last for 1 month while the
research will be conducted in the agricultural laboratory of the Veteran Bangun
Nusantara University, Sukoharjo, while the sample locations used are traditional
markets located in The 3 sub-districts in Wonogiri district include Ngadirojo sub-
district, Tirtomoyo sub-district and Baturetno sub-district. The experimental design used
a completely randomized design (CRD) with a unidirectional pattern with 3 treatments
in the form of market origin in each sub-district and each treatment was repeated 3
times and the analysis was repeated for each treatment group 2 times, namely meat
samples from different traders in one market. The experimental design includes P1 =
discarded layer chicken meat from the Ngadirojo market, P2 = rejected layer chicken
meat from the Tirtomoyo market and P3 = rejected layer chicken meat from the
Baturetno market. The data obtained were then analyzed using a Completely
Randomized Design (CRD) unidirectional pattern of variance ANOVA (Analysis Of
Variance) to determine the level of significance of the effect and continued with Duncan
New's Multiple Range Test (DMRT). The results showed that rejected laying hens
traded in traditional markets in Wonogiri district had different levels of water holding
capacity between treatments, while the levels of dissolved protein, cooking loss and
meat tenderness did not differ between treatments.

Keywords: Rejected laying hens, Traditional market, Wonogiri.


Inroduction
Dismissed layer chicken meat is a source of animal protein which until now is
often found in the market, especially in traditional markets where the buying and selling
process takes place with a large population of users, both sellers and buyers. The
Central Java Province Basic Needs Market Monitoring System (Sp2kp) stated that until
July 2019 the demand for chicken meat in Wonogiri district soared due to the many
activities involving food products in the form of meat. The laying hens farming sector
which is supported in terms of the reject phase of laying hens productivity will produce
rejected chickens as a source of animal protein with the characteristic taste of good meat
and a relatively stable selling price which is a distinct advantage so that many breeders
develop it.
In the modern era that is happening in various countries, especially in Indonesia,
there are now more and more farms that become suppliers of rejected laying hens in
traditional markets, this has resulted in more and more variations of meat being offered
to buyers, but as consumers, they should have the insight to choose quality chicken
meat. for consumption so that in addition to the relatively cheap price, chicken meat
must also be ensured that it is safe for consumption.
It is necessary to carry out several tests on the feasibility indicators of the quality
of rejected laying hens sold in the market, especially the traditional market in Wonogiri
Regency which has a fairly large scope of chicken meat sales with a large population of
traders so that the meat sold is also very varied. water, tenderness, soluble protein and
cooking loss of meat to reduce the potential for buying meat that is not fit for
consumption.
Research methods
Research Material
The material of this research includes the breast of discarded laying hens obtained
from traditional market samples in Wonogiri district.
This research tool includes an oven that is used to dry the sample at the time of
the water content test, a thermometer that functions to measure the cooking loss of meat
when it is boiled, a scale to measure the weight of the sample, a desiccator to dry the
steam or moisture that is still left on a tool that is difficult to dry manually using a cloth.
one of them is a small test tube, a vortex serves to homogenize a sample or solution that
is contained in a test tube or equipment that has small dimensions, a spectrophotometer
to measure light energy relatively if the energy is transmitted, reflected or emitted as a
function of wavelength, blade to cut samples in the form of meat, water baths to boil
meat during cooking shrinkage testing, test tubes are used for almost all research
parameters that function to accommodate meat and other materials such as reagents,
writing utensils record the data obtained during the analysis. .
Research methods
The research method used is direct observation of the quality of rejected laying
hens in the traditional market which is carried out in the laboratory to determine the
results of the observation variables.
Experimental design
The experimental design used a completely randomized design (CRD) with a
unidirectional pattern with 3 treatments in the form of market origin in each sub-district
and each treatment was repeated 3 times and the analysis was repeated for each
treatment group 2 times, namely meat samples from different traders in one market. The
experimental design includes P1 : Rejected laying hens from the Ngadirojo market, P2 :
Rejected laying hens from the Tirtomoyo market, P3 : Rejected laying hens from the
Baturetno market
Research variable
The research observation variables were water content test, tenderness, dissolved
protein content and cooking loss, while the formula for each variable was described as
follows: water content test, dissolved protein content test, cooking loss test and
tenderness test.
Data analysis
The data obtained were then analyzed using a Completely Randomized Design
(CRD) unidirectional pattern of variance ANOVA (Analysis Of Variance) to determine
the level of significance of the effect and continued with Duncan New's Multiple Range
Test (DMRT).
Discussion result
Water content
The results of the Anova test showed that chicken meat sold in 3 different
traditional markets had a significant effect on the water content of the meat (P<0.05).
The average percentage of chicken meat P1 produces a water content of 76.91%, while
the water content of chicken meat P2 obtains an average of 73.57% and P3 obtains an
average water content of 74.69%.
The average value of the water content of research chicken meat is still in the
normal range, the standard water content in chicken meat is between 65% -80% (Aberle
et al., 2001). The average result of P1 obtains the highest water content which indicates
that microbial activity occurs in the meat resulting in activity and molecular compounds
in the form of water in the meat, this condition is in accordance with the statement from
Kasmadiharja (2008) which states that the increased water content is influenced by the
amount of free water formed. as a by-product of microbial activity, Puspitasari et al.
(2013) added that when microbes reach a constant growth phase, small molecular
compounds containing water will be produced.
The high water content in the meat can also indicate that chicken meat has been
stored for too long and is left in the open, causing microbes to move freely, this
condition is in accordance with the statement of Ressang (1982) which states that meat
that is stored for too long will cause the release of bound water. be free water. Thus, the
longer the chicken meat is stored, the higher the water content value (Kasmadiharja,
2008).
The average water content of P2 which obtained the lowest results indicated a
decrease in water content resulting from the adaptation of water evaporation to the
ambient temperature, so that environmental factors where the meat was placed were the
influence of the low water content in the meat, this condition is in accordance with the
statement of Wala et al (2016) that the process of evaporation of water content in meat
that takes place during meat storage will result in a decrease in water content to the
water equilibrium point, which is the same temperature between the meat and the
surrounding environment. The results of the average water content obtained by P3 show
moderate results, which are between P1 and P2, which indicates that the water content
of chicken meat is in a constant condition. The results can be stated that the water
content of rejected laying hens P1 obtained the highest yield and the water content of P2
obtained the lowest yield.

Dissolved Protein
The results of the Anova test showed that chicken meat sold in 3 different
traditional markets obtained results that had no effect on the dissolved protein of the
meat (P>0.05). The average percentage of chicken meat P1 produced soluble protein of
17.78%, while the soluble protein of chicken meat P2 obtained an average of 16.92%
and P3 obtained an average dissolved protein of 17.99%.
Dissolved protein levels P1, P2 and P3 did not experience differences due to the
location of sales in the market which is still in the same environmental conditions,
which means that the meat placement temperature is also not too different between the 3
traditional markets, this condition is caused by free environmental factors and
temperatures that cause Microorganisms grow on meat media that contain complex
nutrients, especially proteins needed by microorganisms to grow and reproduce, this is
in accordance with the statement from Takasari (2008) which states that meat contains
high nutrients, especially protein with a balanced amino acid composition and is
beneficial for the body. Humans, Sangadji et al, (2019) stated that high nutritional
content causes meat to have perishable properties because microorganisms can grow
and multiply in it. One of the destructive microorganisms contained in broiler chicken
meat is bacteria.
The results of the average soluble protein of meat that did not experience
differences could also be indicated that other factors such as age of chickens and
management of chicken rearing sold in 3 traditional markets in Wonogiri Regency also
did not experience differences, this condition was due to dissolved protein content
which could be caused by age of slaughter and rearing management. such as the
temperature of the rearing cage, this condition is in accordance with the statement from
Sangadji et al (2019) which states that the younger the age of slaughter, the age of
slaughtered chickens will produce higher protein levels than chickens slaughtered at an
old age, whereas in this study, laying hens were used. rejects were cut in old age with
almost the same time span so as to produce soluble protein levels that did not differ.
Cooking Loss
The results of the Anova test showed that chicken meat sold in 3 different
traditional markets obtained results that had no effect on the cooking loss of meat
(P>0.05). The average percentage of chicken meat P1 resulted in a cooking loss of
21.28%, while the cooking loss of chicken meat P2 obtained an average of 19.45% and
P3 obtained an average cooking loss of 21.15%.
The results of the average cooking loss of meat P1, P2 and P3 did not experience
any difference, indicating that the physical condition of rejected laying hens sold in 3
different traditional markets in Wonogiri district did not experience any difference,
especially in the distribution of fat in the meat tissue from the 3 treatments, distribution
of Fat in meat tissue is a factor that affects the high and low cooking loss of chicken
meat, this condition is in accordance with the statement of Lawrie (1979) in Bahri
(2001) which states that the combination of muscle location and more intramuscular fat
can result in an increase in the capacity of the meat to withstand water, because the
intramuscular fat will cover the microstructural network of the meat so that the cooking
loss becomes less during cooking. Soeparno (2009) added that intramuscular fat inhibits
or reduces the liquid meat that comes out during cooking, so it can be stated that the
cooking loss conditions that did not differ in the study chickens were caused by the fat
condition of the rejected layer chicken meat.
Tenderness
The results of the Anova test showed that chicken meat sold in 3 different
traditional markets obtained results that had no effect on meat tenderness (P> 0.05). The
average percentage of chicken meat in P1 produced tenderness of 1.98, while the
tenderness of chicken meat in P2 obtained an average of 1.98 and P3 obtained an
average tenderness of 2.33. According to Khairuddin (2008), rejected layer chicken
meat has low quality because the slaughter is done at a relatively old age so that the
tenderness of the meat is lower.
The results of the average tenderness of rejected layer chickens P1, P2 and P3
which did not differ indicated that the age of laying hens which tended to be slaughtered
in old condition at 3 different traditional markets in Wonogiri district did not experience
any difference. Other factors that influence meat tenderness are classified into 2 groups,
namely anmortem and postmortem factors, as stated by Sopearno (2005) that anmortem
factors such as genetics include race, species, and physiology, age, management, gender
and stress factors including time. or duration of livestock transportation to abattoir, and
postmortem factors including chilling, refrigeration, withering and freezing methods
and including storage time and temperature factors, and processing methods, including
cooking methods and the addition of tenderizers. So it can be stated that the processing
method of laying hens rejected until it reaches the sellers in different traditional markets
in Wonogiri district uses the same cutting and processing methods.
The results of research with parameters in the form of rejected layer chicken meat
tenderness by Dewanto et al, (2017) got a meat tenderness number of 3.83, while the
results showed a lower level of meat tenderness with the highest number obtained by P3
of 2.35, this condition indicates that the meat of rejected laying hens sold in traditional
markets is different in Wonogiri district obtained from laying hens with an older age.
The indicator of meat tenderness that did not differ for each treatment in this study
was also supported by the protein level of the meat which did not differ between
treatments, this condition was caused by the condition of rejected laying hens sold in
different traditional markets in Wonogiri district in decomposed conditions due to
environmental conditions that tend to has a higher temperature than the temperature of
the meat, this is in accordance with the statement of Fenita et al, (2009) that the
tenderness of the meat will increase when more and more proteins are broken down.
Closing
Conclusion
The results showed that rejected laying hens traded in traditional markets in
Wonogiri district had different levels of water holding capacity between treatments,
while the levels of dissolved protein, cooking loss and meat tenderness did not differ
between treatments.
Suggestion
Further research is needed to evaluate traditional markets in Wonogiri Regency
which are located in other districts in order to obtain more relevant and complete data.

Reference
Aberle, D.E., J.C. Forrest, DE Gerrard and E.W. Mills. 2001. Principles of Meat
Science. Fourth Edition. W. H. Freeman and Company. San Fransisco, United
States of America.
Bahri, S. 2001. Pengaruh Penggunaan Tepung Koro Benguk (Mucuna Pruriens) Dalam
Ransum Terhadap Kualitas Fisik Daging Itik Tegal Jantan. Skripsi. Fak.
Pertanian. Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.

Dewanto, A., Rotinsulu, M, D., Ransaleleh, T, A., Tinangon, R, M. 2017. Sifat


Organoleptik Daging Ayam Petelur Tua Yang Direndam Dalam Ekstrak Kulit
Nanas (Ananas comosus L. Merr). Jurnal Zootek. Vol. 37 No. 2 : 303 - 313

Fenita, Y., O. Mega dan E. Dianti. 2009. Pengaruh pemberian air nanas (Ananas
cosumus) terhadap kualitas daging ayam petelur afkir. Jurnal Sains Peternakan
Indonesia. 4(1): 1978 – 3000

Khairuddin. 2008. Kandungan Protein dan Organoleptik Abon Daging Ayam Petelur
Afkir dengan Suhu dan Waktu Perebusan yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
(Tidak dipublikasikan). Pekanbaru.

Kasmadiharja, H. 2008. Kajian Penyimpanan Sosis, Nuget Ayam dan Daging Ayam
Berbumbu dalam Kemasa Polipropilen Rigid. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puspitasari, I., Nuhriawangsa, A. M. P. Dan Swastike W. 2013. Pengaruh Pemanfaatan


Kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap kualitas mikrobia dan fisiko-kimia
daging Sapi. Tropical Animal Husbandry J. 2(1) : 58-64.

Ressang, A. A., dan S. Karmas. 1989. Ilmu Kesehatan Daging. Edisi kedua. Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sangadji, I., Jurianto, Rijal, M. 2019. Lama Penyimpanan Daging Ayam Broiler
Terhadap Kualitasnya Ditinjau Dari Kadar Protein Dan Angka Lempeng Total
Bakteri. Jurnal Biology Science & Education.

Soeparno. (2005). Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Soeparno. 2009. Ilmu Dan Teknologi Daging. Cetakan 5. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Takasari, Cicilia. (2008). Kualitas Mikrobiologis Daging Sapi Segar Dengan


Penambahan Bakteriosin Dari Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 Yang Diisolasi
Dari Susu Sapi. Skripsi, Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas
Pertanian, IPB.

Wala, J., Ransaleleh, T., Wahyuni, I., Rotinsulu M. 2016. Kadar Air, pH Dan Total
Mikroba Daging Ayam Yang Ditambahkan Kunyit Putih (Curcuma mangga Val.).
Jurnal Zootek. Vol. 36 No. 2 : 405 – 416
attachment Variable Research
Table 1. Average Data Parameter Research
Parameter Treatment Mean

P1 P2 P3

Water content (%) 76,91b 73,57a 74,69ab


Soluble protein (%)ns 17,78 16,92 17,99
Lose Cooksns 21,28 19,45 21,15
Tendernessns 1,98 1,98 2,33
abc
Information : Different superscripts on the same line show that there is a very
significant difference (P<0,05).
ns
: Not significant (P>0,05).

Anda mungkin juga menyukai