Anda di halaman 1dari 13

Pemeriksaan Kekerasan Pada Anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT)
A. Pendahuluan

Interaksi antara bidang medis dan hukum pada saat ini tidak dapat diragukan lagi, yang mana
semakin meluas dan berkembang dari waktu ke waktu. Di sinilah peranan forensik klinis yang
merupakan suatu ruang lingkup keilmuan yang berintegrasi antara bidang medis dan bidang hukum
diperlukan. Berbeda dengan forensik patologi, seorang dokter di forensik klinik lebih banyak
menghabiskan waktunya menangani korban hidup.1, 2.

Kasus- kasus yang akan dibahas pada makalah ini adalah mengenai kekerasan dalam rumah
tangga (domestic violence), dan kekerasan pada anak (child abuse).

—-Kekerasan pada anak (child abuse) merupakan perlakuan dari orang dewasa atau anak yang
usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya
yang seharusnya berada di bawah tanggung-jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan
penderitaan, kesengsaraan, bahkan cacat. Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun emosional. 4 Pada
tahun 1998, di Amerika Serikat lebih kurang 1100 anak meninggal dengan rata-rata 3 anak meninggal
per hari dari 2,8 juta kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan di agensi perlindungan (child
protective agencies) anak pada tahun tersebut 5. Berdasarkan bentuk kekerasannya, terjadi 53,5% kasus
penelantaran, 22,7% kasus kekerasan fisik, 11,5% kasus kekerasan seksual, 6% kasus kekerasan
emosi, dan 6 % kasus penelantaran medis6.

—Kekerasan pada wanita adalah segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau
mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap wanita,
termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik
yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi.4 Seringkali kekerasan pada
perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan jender. Ketimpangan jender adalah
perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan
dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah
menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-
mena, termasuk dengan cara kekerasan7.

—-Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini belum cukup mendapat
perhatian dari institusi terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Meski perempuan rentan
dan rawan terhadap tindak kekerasan, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan untuk
melindungi perempuan sering terbentur pada keterbatasan data kuantitatif dan kualitatif pendukung 8.

B. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Forensik Klinik

Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup pemeriksaan
forensik terhadap korban hidup dan investigasinya, kemudian aspek medikolegal, juga
psikopatologinya, dengan kata lain forensik klinik merupakan area praktek medis yang
mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum 3.
Secara internasional, organisasi forensik klinik dapat dibagi menjadi 3 resimen inti. Regimen
pertama di UK dan Australia, kedokteran forensik klinik dijalankan oleh kelompok dokter yang bukan
merupakan patologis forensik. Kebanyakan dari mereka adalah praktisi umum. Dahulu mereka
dikenal sebagai police surgeon, namun sekarang mereka juga dikenal dengan nama Forensic Medical
Examiners (FME’s). Regimen kedua ada di bagian Eropa, dimana dokter di institute of legal medicine
menggambil peranan tersebut, biasanya mereka juga merupakan ahli forensik patologi. Regimen
ketiga adalah Amerika serikat, dimana tidak mudah untuk menentukan mana kelompok dokter yang
memberikan pelayanan forensik klinik. Yang paling dekat yang dapat ditemukan adalah dokter-dokter
yang bekerja di ruangan emergensi. Pada akhir tahun 80-an, peranan ini secara berangsur-angsur
diambil alih oleh perawat forensik2.

Secara teori forensik klinik berkaitan dengan berbagai begitu banyak aspek, namun umumnya
forensik klinik terlibat dalam hal-hal sebagai berikut 9 :

1. Pengobatan/perawatan terhadap seseorang yang memiliki keterbatasan


2. Pemeriksaan medis dan penilaian korban dan pelaku tindakan kejahatan
3. Pemeriksaan medis dan terhadap penilaian pengendara yang mengendarai kendaraan bawah
pengaruh alkohol dan atau obat-obatan.
4. Pemeriksaan medis dan penilaian terhadap pengendara mengenai deklarasi dari pelaku untuk
mengakui kelayakaan untuk mengemudi
5. Pemeriksaan medis dan penilaian korban penganiayaan.
6. Pemeriksaan medis dan penilaian kompensasi terhadap pekerja oleh pekerjaannya.
7. Pemeriksaan medis dan penilaian kesehatan mental untuk kepentingan hukum dan peradilan.

1. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)

Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu
terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Anak ialah individu yang
belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan seperti tertera dalam
pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kekerasan pada anak adalah tindakan yang
di lakukan seseorang atau individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang
menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.

Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang
dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang
anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai
caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung,
ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang
kebun, dan seterusnya

Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak terpenuhinya
hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan pada anak
juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab
pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir ini
di kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang merupakan bagian dari
kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). 10, 11

Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran pada anak merupakan
semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera atau kerugian
nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak,
atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau
kekuasaan.

Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di antaranya
teori yang behubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut
bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan
kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa),
orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada
anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Stres berasal dari situasi tertentu
misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan
keluarga sering bertengkar.

Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan ketidaksetaraan
dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik
anak, maka para pelaku makin merasa sah untuk menyiksa anak. Dengan sedikit faktor pemicu,
biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah
penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya

Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, geger otak, atau
perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin, mulai dari luka lecet, luka
robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak
dapat dideteksi dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi.
Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas menyerupai benda yang
digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena
perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang ditemukan seringkali berganda dengan
umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang hampir menyembuh atau sudah
meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak
umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh atau kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas
sebelah dalam, punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya. 2, 12

Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahkan mungkin
tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana senjata atau denda yang tidak sedikit,
bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada
pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai
berikut :

1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10
tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004. Pidana dapat ditambah sepertiga
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila yang
melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya).

Bentuk Kekerasan pada Anak

Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child abuse
prevention) yaitu :13

1. Kekerasan fisik (physical abuse)


Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap
anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam
kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau
kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan yang membuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar, menampar.
2. Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena perkembangannya belum
siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau pantangan
masyarakat, atau merupakan segala tingkah laku seksual yang dilakukan antara anak dan
orang dewasa. Contoh: pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex,
dan lain-lain.
3. Mengabaikan (neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh
kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat
bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks sumber daya yang layaknya
dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin
mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, moral dan
sosial, termasuk didalamnya kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari
bahaya gangguan.
4. Kekerasan Emosi (emotional abuse)
Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai bagi
perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figur primer sehingga
anak dapat berkembang secara stabil dengan pencapaian kemampuan sosial dan emosional
yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadina dalam konteks lingkungannya. Segala
tingkah laku atau sikap yang mengganggu kesehatan mental anak atau perkembangan
sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif, membandingkannya
dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan atau mengucapkan” aku sayang
kamu”
5. Eksploitasi anak (Child Exploitation)
Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang
lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman
traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan-
permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.

Stigma yang melekat pada korban :13

1. Stigma Interna
• Kecenderungan korban menyalahkan diri.
• Menutup diri.
• Menghukum diri.
• Menganggap dirinya aib
2. Stigma Eksternal

Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban. Media informasi tanpa empati


memberitakan kasus yang dialami korban secar terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.

Faktor-faktor kausalitas yang signifikan :14

 Masalah kemiskinan
 Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
 Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
 Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
 Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
 Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus.

B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan rumah
tangga. Pada umumnya, pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah suami, dan korbannya adalah
istri dan/atau anak-anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik,
kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. 7

Secara fisik, kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar, memukul, menjambak
rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya. Secara
psikologis, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar
yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan
dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan lain-lain. Secara seksual, kekerasan dapat terjadi dalam
bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. Secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak
memberi nafkah istri, melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.

Korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan/ tidak melaporkan kejadian karena
menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga atau tidak tahu kemana harus melapor. 7

2.4 Peranan Forensik Klinik dalam Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan.

Para dokter yang diberikan dihadapkan untuk memberikan penilaian terhadap kasus-kasus
yang dicurigai merupakan kasus child abuse haruslah mempunyai keterampilan dasar. Keterampilan
dasar yang harus dimiliki tersebut adalah :

1. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik kepada anak-anak dan pengasuh mereka
mengenai hal ini yang mungkin sangat sensitif bagi mereka.
2. Mau mengerti dan sensitif dengan mempertimbangkan perkembangan anak, keburuhan sosial
dan emosional dan tingkat kemampuan intelektual anak.
3. Mengerti mengenai persetujuan dan kerahasiaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
anak tersebut.
4. Kompetensi untuk melakukan pemeriksaan fisik umum dan genitalia secara keseluruhan pada
anak dan berbagai keahlian untuk dapat memfasilitasi pemeriksaan genitalia.
5. Pemahaman mengenai genitalia normal dan anatomi anus, dan variannya berbadasarkan usia
dan jenis kelamin anak yang diperiksa
6. Pemahaman mengenai diagnosis dan diferensial diagnosis dari tanda-tanda fisik.
7. Mampu menggunakan kolposkopi dan memperoleh dokumentasi gambar untuk meyakinkan
mengenai temuan dari pemeriksaan klinis sebelumnya dan mendokumentasikannya kalau pun
hasilnya tidak seusai.
8. Mengetahui sampel apa yang harus diperoleh untuk kepentingan investigasi, bagaimana cara
memperolehnya, dan bagai mana cara menyimpan serta pemindahannya.
9. Mempunyai kemampuan mendokumentasikan temuan klinis secara menyeluruh dan tepat
pada sebuah buku catatan mereka.
10. Mempunyai kemampuan untuk memberikan pernyataan secara detail/ melaporkan temuan dan
menginterpretasikan temuan klinis.
11. Kemauan untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan agensi dan profesional lain yang
terlibat dalam perawatan anak (korban).
12. Ketepatan untuk menghadirkan bukti dan melakukan uji silang, berkaitan dengan proses sipil
dan kriminal
13. Kemampuan untuk mendiskusikan keadaan dan temuan dalam konteks tingkat perkembangan
anak dan literatur medis yang relevan.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Pemeriksaan.13

1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik

Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter harus
melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus diantar
oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang sendiri dengan
membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi diminta untuk kembali
kepada polisi dan datang bersama polisi.

Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan pada tubuh
korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter telah memeriksa
korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa
permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan
Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh dicantumkan dalam Visum et
Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada pemintaan
untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP
pasal 322)10. Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et
Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil
pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk surat
keterangan.

2. Informed Consent

Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari pihak korban,
karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban menyetujui dilakukannya
pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat pribadi.
Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak memberi persetujuan,
saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberikan persetujuan. Sedangkan jika korban anak
kecil dan jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau saudara terdekatnya,
atau walinya.

Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan dapat
memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang yang berada
dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau teman korban apabila
korban menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau
bidan.

3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin


Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di kamar
periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan yang akan dilakukan pada
korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.Visum et Repertum diselesaikan
secepat mungkin agar perkara dapat cepat diselesaikan.

2.4.1 Kekerasan Fisik

Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan oada korban yang di duga mendapatkan kan
kekerasan fisik antara lain :4

1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.

2. Anamnesis :

 Umur.
 Urutan kejadiaan.
 Jenis penderaan.
 Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa, berapa kali.
 Akibat pada anak.
 Orang yang ada disekitar.
 Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS.
 Kesehatan sebelumnya.
 Trauma serupa waktu lampau.
 Riwayat penakit lampau.
 Pertumbuhan fisik dan psikis.
 Siapa yang mengawasi sehari-hari.

3. Pemeriksaan fisik :

Gizi, higiene, tumbuh kembang anak.

Keadaan umum, fungsi vital.

Keadaan fisik umum.

Daftar dan plot pada diagram topografi jenis luka yang ada.

Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga,mulut dan kelamin.

Kasus berat bisa dipotret.

Raba dan periksa semua tulang.

2.4.2 Kekerasan Seksual

Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anak-anak maupun dewasa pada
dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang4 :

1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.


2. Anamnesis :

 Umur.
 Status perkawinan.
 Haid : siklus, terakhir.
 Penyakit kelamin dan kandungan.
 Penyakit lain seperti ayan dll.
 Pernah bersetubuh? Waktu persetubuhan terakhir? Menggunakan kondom ?
 Waktu kejadian.
 Tempat kejadian.
 Apakah korban melawan ?
 Apakah korban pingsan ?
 Apakah terjadi penetrasi
 Apakah terjadi ejakulasi ?

3. Periksa pakaian :

Robekan lama / baru / memanjang / melintang ?

Kancing putus.

Bercak darah, sperma, lumpur dll.

Pakaian dalam rapih atau tidak ?

Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence.

4. Pemeriksaan badan :

Umum :

Rambut / wajah rapi atau kusut.

Emosi tenang atau gelisah.

Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah.

Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha

Trace evidence yang menempel pada tubuh.

Perkembangan seks sekunder.

Tinggi dan berat badan.

Pemeriksaan rutin lainnya.


Genitalia :

Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang mungkin sebagai
akibat dari seksual abuse, tergantung pada jarak saat pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin juga
akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal

 Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau
iritan)
 Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
 Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena traksi labia
mayor pada pemeriksaan)
 Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena
infeksi ataun trauma)
 Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin condyloma
acuminata yang didapat bukan dari seksual)
 Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
 Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)
 Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
 Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada konstipasi)
 Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau mungkin
akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental

Dugaan kekerasan seksual (suggestive of sexual abuse) 1 :

Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse, tetapi tidak cukup
data yang menunujukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab.

Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya :

 Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar
(sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten pada
beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya)
 Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum (mungkin
akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus atau hemangioma)
 Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam
 Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai selaput
dara( dapat akibat trauma aksidental)
 Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chron’s disease
atau akibat tindakan medis sebelumnya).

Pemeriksaan ekstra genital

Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh

Deskripsikan luka

Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex


Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma

Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku

Pemeriksaan anal

5. Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi hubungan
seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus.

6. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti :

Pemeriksaan darah

Pemeriksaan cairan mani (semen)

Pemeriksaan kehamilan

Pemeriksaan VDRL

Pemerikaan serologis Hepatitis

Pemeriksaan Gonorrhea

Pemeriksaan HIV

Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.

2.4.3 Penelantaran/ mengabaikan (Neglected)

Seorang anak yang ditelantarkan bisa mengalami kekurangan gizi (malnutrisi), lemas atau
kotor atau pakaiannya tidak layak. Pada kasus yang berat, anak mungkin tinggal seorang diri atau
dengan saudara kandungnya tanpa pengawasan dari orang dewasa. Anak yang ditelantarkan bisa
meninggal akibat kelaparan. Seorang anak yang ditelantarkan atau dianiaya mungkin perlu dirawat di
rumah sakit. Dilakukan penanganan tertentu sesuai dengan keadaan anak.16

2.4.4 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violent)

Pemeriksaannya serupa dengan kekerasan anak dan seksual. Visum et repertum Harus tertulis
dan diantarkan oleh polisi.Visum et repertum dibuat bila korban setelah diperiksa diperbolehkan
pulang dan dapat bekerja seperti biasa serta tidak ada halangan untuk melakukan pekerjaan.

Visum sementara dibuat setelah pemeriksaan ternyata korban membutuhkan perawatan dan
mendapat gangguan untuk melakukan pekerjaan. Tidak dibuat kualifikasi luka. Kegunaan bagi
penyidik untuk menahan tersangka.Visum et repertum lanjutan dibuat setelah korban selesai
menjalani pengobatan, pindah rumah-sakit / dokter, pulang paksa atau meninggal.

Luka Berat :

Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat
mendatangkan bahaya maut.

Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan.


Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera secara lengkap.

Kudung (rompong, buntung), cacat sehingga jelek rupanya karena ada suatu anggota badan yang
putus, misalnya hidung, telinga, jari tangan.

Lumpuh, artinya tidak bisa menggerakkan anggota badan.

Berubah pikiran lebih dari 4 minggu.

Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.7

DAFTAR PUSTAKA

Stark MM. Medical Forensic Medicine A Physician’s Guide. 2nd Edition. New Jersey : Humana
Press Inc. 2005.

Philip SL. Clinical Forensic Medicine : Much Scope for Development in Hong Kong. Hongkong :
Department of Pathology Faculty of Medicine University of Hong Kong. 2007.

Webmaster. Forensik Klinik. Disitasi tanggal : 2 November 2008 dari :


http://www.Forensikklinikku.webs.com. [Update : Oktober 2008]

Saanin S. Aspek-Aspek Fisik/ Medis Serta Peran Pusat Krisis dan Trauma dalam Penanganan
Korban Tindak Kekerasan. Disitasi Tanggal : 5 November dari :
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kekerasan.htm. [Update : Januari 2007]

Webmaster. Preventing Child Abuse Trough Education and Awereness. Di Sitasi tanggal 8
November 2008 dari : Http://www.childabuse.com. [Update : January 2008]

U.S. Department of Health and Human Services, Children’s Bureau. Child Maltreatment 1998:
Reports from the States to the National Child Abuse and Neglect Data System (NCANDS).
Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office. 2000.

Fauzi A, Lucyanawati M, Hanifa L, et al. Kekerasan Terhadap Perempuan. Disitasi Tanggal 8


November 2008 dari : http://www.situs.kesrepro.info/ gendervaw/referensi2.htm . [Update : July
2008]

Webmaster. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Disitasi Tanggal 8 November 2008 dari :
http://www.solusihukum.com. [Update : Januari 2004]

The Royal College of Paediatrics and Child Health and The Association of Forensic Physicians.
Guidance on Paediatric Forensic Examinations in Relation to Possible Child Sexual Abuse. Disitasi
tanngal 2 November 2008 dari : http://www.afpweb.org.uk. [Update : September 2004]
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Unicef,
Indonesia.

Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality. Dalam: Child Abuse and Neglect A
Clinician’s Handbook. 2nd Edition. Churchill Livingstone, London. 1999.

Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and neglect. Pediatric Rev 2:198,
1981.

Meadow R: ABC of child abuse. Edition. BMJ, 1993.

Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya. Disitasi tanggal 2 November
2008 dari : http://www.lcki.org/images/seminar /anak/tatalaksana.pdf. [Update : Juli 2007]

Aziz AR. Perempuan Korban di Ranah Domestik. Disitasi tanggal 6 November 2007 dari
http://www.nusantara.co.id [Update 21 Agustus 2007]

Nurcahyo. Penganiayaan & Penelantaran anak. Disitasi tanggal 8 November 2008 dari :
http://www.indosnesiindonesia.com. [Update Juli 2008].

Anda mungkin juga menyukai