Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih Dengan


Biosand Filter Dual Media”

Disusun Oleh :

Nama :Alifia Gita Desiyani

NIM :201910070311068

Kelas :Biologi 4A

Dosen Pengampu :Dr. Sukarsono, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih Dengan
Biosand Filter Dual Media” dengan baik dan lancar.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Ekologi yang di bimbing oleh Bpk. Dr. Sukarsono, M.Si.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang teori belajar
CBL bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Makalah yang telah saya buat ini dapat terselesaikan dengan baik, namun tidak
lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
baik dari segi penyusun bahasa maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang
dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin
memberi saran dan kritik kepada kami, sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini
menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi
kepada kita semua.

Malang, 11 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................2
1.4 Manfaat.....................................................................................3
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka......................................................................
2.2 Masalah dan Gagasan (Solusi).................................................
2.3 Pengolahan Air Gambut...........................................................
2.3 Rencana Kegiatan.....................................................................
BAB III. PEMAHAMAN CBL
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan...............................................................................
4.2 Saran.........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup di bumi
termasuk manusia. Tidak ada kehidupan yang bisa berlangsung tanpa keberadaan air
sehingga setiap hari, jam, ataupun detik air selalu diambil untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperi minum, mandi, mencuci dan lain-lain. Mungkin kita
tidak menyadari kalau jumlah air di bumi ini secara umum sama meskipun manusia,
binatang, dan tumbuhan selalu menggunakannya. Jumlah air bersih seakanakan tidak
terbatas.
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperoleh dari
berbagai sumber, tergantung pada kondisi daerah setempat. Kondisi sumber air pada
setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada keadaan alam dan kegiatan manusia yang
terdapat di daerah tersebut. Penduduk yang tinggal di daerah dataran rendah dan berawa
seperti hampir pada daerah di Provinsi Kalimantan Selatan kesulitan memperoleh air
bersih untuk keperluan rumah tangga. Hal ini karena sumber air di daerah tersebut
adalah air gambut yang berdasarkan parameter baku mutu air tidak memenuhi
persyaratan kualitas air bersih, karena air gambut mempunyai pH rendah (3-5), berwarna
merah kecoklatan, dan kandungan zat organik yang tinggi (Kusnaedi, 2006). Di sejumlah
wilayah di Indonesia, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah,
air gambut merupakan satu-satunya sumber air permukaan yang tersedia bagi
masyarakat.

Air gambut di Indonesia merupakan salah satu sumber daya air yang masih
melimpah, menurut kajian pusat Sumber Daya Geologi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral melaporkan bahwa sumber daya lahan gambut di Indonesia mencakup luas
26 juta ha yang tersebar di pulau kalimantan (± 50 %), Sumatera (± 40 %) sedangkan
sisanya tersebar di papua dan pulau-pulau lainnya. Dan untuk lahan gambut Indonesia
menempati posisi ke-4 terluas setelah Canada, Rusia dan Amerika Serikat (Tjahjono,
2007).
Air gambut mengandung senyawa organik terlarut yang menyebabkan air menjadi
berwarna coklat dan bersifat asam, sehingga perlu pengolahan khusus sebelum
digunakan. Senyawa organik tersebut adalah humus yang terdiri dari asam humat, asam
fulvat dan humin. Asam humus adalah senyawa organik dengan berat molekul tinggi dan
berwarna coklat sampai kehitaman, terbentuk karena pembusukan tanaman dan hewan,
sangat tahan terhadap mikroorganisme dalam waktu yang cukup lama (Mahmud dan
Notodarmojo, 2006). Berdasarkan data di atas, air gambut di Indonesia secara kuantitatif
sangat potensial untuk dikelola sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi air
bersih atau air minum. Namun secara kualitatif penggunaan air gambut masih banyak
mengalami kendala. Beberapa kendala penggunaannya sebagai air bersih adalah warna,
tingkat kekeruhan, dan zat organik yang tinggi sehingga sangat tidak layak untuk
digunakan sebagai air bersih.
Penelitian untuk mengubah karakteristik air gambut menjadi layak konsumsi,
telah dilakukan oleh banyak penelitian sebelumnya yang berhasil mengubah air gambut
menjadi air yang memenuhi persyaratan air bersih. Dari penelitian terdahulu tersebut
telah dilakukan terhadap air gambut yang dapat disimpulkan bahwa Secara kuantitatif air
gambut merupakan sumber air baku yang sangat potensial untuk dikelola sebagai sumber
daya air yang dapat diolah menjadi air bersih maupun air bersih, terutama di sebagian
besar pulau Kalimantan dan sebagian pulau Sumatera. Perlu pengolahan terlebih dahulu
dalam pemanfaatan air gambut sebagai air bersih, karena pada umumnya kualitas air
gambut mempunyai kandungan organik, warna dan derajat keasaman yang tinggi.
Ditinjau dari persyaratan kualitas air yang ditetapkan pada dasarnya penelitian-penelitian
terdahulu sudah dapat menurunkan beberapa karakteristik penting dari air gambut, namun
ditinjau dari segi ekonomis masih kurang memuaskan.
Kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualitas air yang dikonsumsi
sehari-hari, seperti untuk memasak, mandi, mencuci dan lain-lain. Akan tetapi untuk
masyarakat yang tinggal didaerah gambut sangat sulit mendapatkan air bersih (Ashari
dan Frengki, 2012). Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
menggunakan teknologi tepat guna dan sederhana. Pada prinsipnya penelitian ini
bertujuan untuk membuat satu unit instalasi pengolahan air gambut menjadi air bersih
yang memenuhi baku mutu air bersih.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja karakteristik air gambut?
2. Bagaimana pengolahan air gambut menjadi bersih?
1.3 Tujuan
1. Mengolah air gambut menajadi air bersih
1.4 Manfaat
1. Sebagai suatu alternatif pengolahan air gambut menjadi air bersih dengan
menggunakan filter
2. Memperoleh alat filter air yang lebih ekonomis dan aplikatif bagi masyarakat sehingga
dapat memenuhi kebutuhan akan air bersih.

3. Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan membiasakan menggunakan air bersih.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Pengertian air gambut

Air gambut merupakan air


permukaan hasil akumulasi sisa
material tumbuhan, biasanya pada
daerah berawa atau dataran rendah yang terhambat untuk membusuk secara sempurna
oleh kondisi asam dan anaerob terutama di Sumatera dan Kalimantan (Edwardo,
2014). Menurut Radjaguguk (2010), air gambut mempunyai ciri-ciri yaitu intensitas
warna yang tinggi (berwarna coklat kemerahan), keasamannya tinggi (pH yang
rendah), kandungan zat organik yang tinggi, kekeruhan dan kandungan pertikel
tersuspensi yang rendah dan kandungan kation yang rendah.
Air gambut adalah air yang mencakup daerah gambut. Warna coklat
kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan zat-zat
organik dalam air gambut tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti
daun, pohon, dan kayu. Zat-zat organik ini dalam keadaan terlarut memiliki sifat
sangat tahan terhadap mikroorganisme dalam waktu yang cukup lama (Syarfi, 2007).
Struktur gambut yang lembut dan mempunyai pori-pori menyebabkannya mudah
untuk menahan air dan air pada lahan gambut tersebut dikenal dengan air gambut
(Ma’ruf dan Yulianto, 2016).
Menurut Nurhasni dkk. (2012), lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu
bog dan fen. Bog merupakan jenis lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air
hujan dan air permukaan, karena air hujan mempunyai pH yang agak asam maka
setelah bercampur dengan gambut akan bersifat asam dan warnanya coklat karena
terdapat kandungan organik. Fen merupakan lahan gambut yang sumber airnya
berasal dari air tanah yang biasanya dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air
gambut tersebut memiliki pH netral dan basa.
Air gambut secara umum tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih yang
distandarkan oleh Departemen Kesehatan RI melalui Permenkes
NO.492/MENKES/PER/IV/2010. Karakteristik air gambut bersifat spesifik,
tergantung pada lokasi ataupun dari segi vegetasi, jenis tanah dimana air gambut itu
berada, ketebalan gambut, usia gambut dan cuaca (Nurdin, 2011).
Proses pembentukan air gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang
sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi
terhambat oleh kondisi anaerob atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan
rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut
merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses
deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang
pada umumnya merupakan proses pedogenik (Ma’ruf dan Yuianto, 2016).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati
dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan
transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah
mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau
dangkal ini dan membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi
penuh (Panjaitan dan Hardjoamidjojo, 1999).
Parameter Kualitas Air Gambut
1. Nilai pH
Parameter pH dari air minum yang masih diizinkan oleh Permenkes RI
No.492/Menkes/PER/IX/2010 tentang persyaratan kualitas air bersih adalah dalam
rentang 6,5-8,5. Nilai pH digunakan untuk menyatakan tingkat kemasaman atau basa
yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. Nilai pH normal memiliki nilai 7
sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa sedangkan
nilai pH < 7 menunjukan sifat asam.
Kadar pH dinilai dengan ukuran antara 0-14. Sebagian besar persedian air
memiliki pH antara 7,0-8,2 namun ada beberapa air memiliki pH dibawah 6,5 atau
diatas 9,5 (Permenkes RI, 2010). Umumnya indikator sederhana yang digunakan
untuk mengukur kualitas pH air adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah
bila kemasamannya tinggi dan biru bila kemasamannya rendah. Selain kertas lakmus,
indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter (Rivai dkk, 2010).
2. Bau
Air yang berbau umumnya akibat adanya materi organik yang membusuk.
Materi organik yang membusuk biasanya terkumpul di bagian dasar, apabila sudah
cukup banyak akan menghasilkan kondisi yang baik bagi pertumbuhan bakteri
anaerobik yang dapat menimbulkan gas-gas bau (Indriyani, 2008). Sumber bahan
organik adalah sisa-sisa tanaman, bangkai binatang, mikroorganisme dan air buangan
(Pramuhardini, 2012). Beberapa senyawa atau zat penyebab bau yang umum
ditemukan dalam air ditunjukan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Senyawa bau yang umum ditemukan dalam air
No. Senyawa Deskripsi Kualitas
1 Amina Anyir
2 Diamine Busuk
3 Hydrogen Sulfida Telur Busuk
4 Sulfide Organik Kubis Busuk

Sumber : Ashari dan Frengki (2012)


Bau merupakan suatu parameter yang relatif sulit diukur secara langsung. Untuk
mengetahui tingkat bau dan cara mengukurnya, sampai saat ini menggunakan kepekaan
manusia terhadap tingkat bau itu sendiri (Ashari dan Frengki, 2012).
3. Warna
Warna pada air gambut disebabkan karena adanya pertikel koloid organik yang
merupakan hasil dekomposisi dari tanaman. Warna air gambut dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu warna sejati dan warna semu. Warna disebabkan oleh bahan organik yang
mudah larut dan beberapa ion logam disebut warna sejati, jika air tersebut mengandung
kekeruhan atau adanya bahan tersuspensi, maka warna tersebut dikatakan warna semu
(Fitria dan Suprihanto, 2007).
Warna adalah salah satu parameter fisik wajib yang ditetapkan oleh Permenkes RI
No.416/Menkes/PER/IX/2010, menyatakan bahwa batas maksimal warna air bersih
maksimal 50 skala Pt-Co. Dalam analisis warna, alat yang digunakan adalah
spectrophotometer. Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan warna larutan
standar dengan warna air yang akan diuji (Perwira, 2012).
4. Kekeruhan
Kekeruhan di dalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi, seperti lumpur, zat
organik, plankton dan zat-zat halus lainnya. Kekeruhan merupakan sifat optis dari suatu
larutan, yaitu hamburan dan obsorpsi cahaya yang melaluinya. Kekeruhan kadar semua
jenis zat tersuspensi tidak dapat dihubungkan secara langsung karena tergantung juga
kepada ukuran dan bentuk butiran (Amani dan Prawiroredjo, 2016). Menurut
Pramuhardini (2012) ada 3 metode pengkuran kekeruhan. Pertama metode nefelometrik
(unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU), metode ini lebih sensitif dan dapat
digunakan untuk segala tingkat kekeruhan. Kedua metode hellige turbidity (unit
kekeruhan silika), metode ini membandingkan intensitas cahaya yang melalui contoh air
dengan intensitas cahaya yang melalui larutan silica. Ketiga metode visual (unit
kekeruhan Jackson), metode ini adalah cara lama dan lebih sesuai untuk nilai kekeruhan
yang tinggi yaitu lebih dari 25 unit.
Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah metode nefelometrik. Prinsip metode
nefelometrik adalah perbandingan antara intensitas cahaya yang dihamburkan dari suatu
sampel air dengan intensitas cahaya yang dihamburkan oleh suatu larutan keruh standart
pada posisi yang sama. Semakin tinggi intensitas cahaya yang dihamburkan, makin tinggi
pula kekeruhannya. Kekeruhan dinyatakan dalam satuan turbiditas, yang setara dengan 1
mg/l SiO2. Alat yang digunakan untuk mengukur parameter kekeruhan pada penelitian ini
adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Usman, 2014).
5. Besi (Fe)
Besi adalah salah satu elemen kimiawi yang dapat ditemui pada hampir setiap tempat-
tempat yang ada dipermukaan bumi, pada semua lapisan geologis dan semua badan air.
Pada umumnya, besi yang ada di dalam air dapat bersifat terlarut sebagai Fe 2+ (fero) atau
Fe3+ (feri); tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter <1 μm) atau lebih besar, seperti
Fe2O3, FeO, Fe(OH)2, Fe(OH)3 dan sebagainya: tergabung dengan zat organik atau zat
padat yang inorganik (seperti tanah liat). Pada air permukaan jarang ditemui kadar Fe
lebih besar dari 1 mg/L, tetapi di dalam air tanah kadar Fe dapat jauh lebih tinggi.
Kosentrasi Fe yang tinggi ini dapat dirasakan dan dapat menodai kain dan perkakas dapur
(Saifudin dan Dwi, 2005).
Besi (Fe) berada dalam tanah dan batuan sebagai ferioksida (Fe 2O3) dan ferihidroksida
(Fe(OH)3). Dalam air, besi berbentuk ferobikarbonat (Fe(HCO 3)2), ferohidrosida
(Fe(OH)2), ferosulfat (FeSO4) dan besi organik kompleks. Air tanah mengandung besi
terlarut berbentuk ferro (Fe2+). Jika air tanah dipompakan maka keluar dan kontak dengan
(oksigen) maka besi (Fe2+) akan teroksidasi menjadi ferihidroksida (Fe(OH) 3)
(Hendrasarie dan Cahyarani, 2010).
Besi (Fe) dibutuhkan tubuh dalam pembentukan hemoglobin. Air minum yang banyak
mengandung besi cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Sekalipun Fe
diperlukan oleh tubuh, tetapi dalam dosis yang besar dapat merusak dinding usus. Kadar
Fe yang lebih dari 1 mg/L akan menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit,
apabila kelarutan besi dalam air melebihi 10 mg/L akan menyebabkan air berbau seperti
telur busuk (Ayutiningsi dkk, 2004). Kosentrasi besi terlarut yang masih diperbolehkan
dalam air bersih adalah sampai dengan 1,0 mg/L sedangkan untuk air minum adalah 0,3
mg/L menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010.
6. Mangan (Mn)
Mangan merupakan unsur logam yang termasuk golongan VII, dengan berat atom 54.93
titik lebur 1.2470C, dan titik didihnya 2.0320C. Mangan (Mn) adalah metal berwarna
kelabu-kemerahan, di alam Mn umumnya ditemui dalam bentuk senyawa dengan
berbagai macam valensi. Air yang mengandung Mn berlebih menimbulkan rasa, warna
(coklat/ungu/hitam) dan kekeruhan (Ashari dan Frengki, 2012).
Toksisitas mangan relatif sudah tampak pada kosentrasi rendah, kandungan mangan yang
diizinkan dalam air yang digunakan untuk keperluan domestik yaitu dibawah 0,05 mg/L.
Pada pH yang agak tinggi dan kondisi aerob terbentuk mangan yang tidak larut seperti
MnO2, Mn3O4 atau MnCo3 meskipun oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relative lambat
(Febriana dan Astrid, 2015).
Dalam jumlah yang kecil (0,5 mg/L), mangan (Mn) dalam air tidak menimbulkan
gangguan kesehatan, melainkan bermanfaat dalam menjaga kesehatan otak dan tulang,
berperan dalam pertumbuhan rambut dan kuku, serta membantu menghasilkan enzim
untuk metabolisme tubuh untuk mengubah karbonhidrat dan protein membentuk energi
yang akan digunakan (Sasongko dkk, 2014).
2.2 Masalah dan Gagasan (Solusi)
Masalah penyediaan air bersih merupakan masalah global yang mendesak untuk segera
ditangani. Masalah serupa telah lama ada bagi daerah bertanah gambut yang kandungan
air tawarnya terbatas, sehingga daerah tesebut masih menggunakan air gambut sebagai
sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Permasalahan yang timbul yaitu kualitas air
gambut yang digunakan masyarakat kurang memenuhi syarat sebagai air bersih.
Khususnya didaerah gambut yang masyarakatnya masih mengkonsumsi air gambut,
padahal air gambut tersebut memiliki kandungan pH 3-4 yang akan mengganggu
kesehatan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengolahan air gambut
menggunakan biosand filter dual media.
2.3 Pengolahan Air Gambut
Pengolahan air gambut dengan biosand filter dual media memiliki prinsip
kerja yang sama dengan biosand filter, yang membedakannya hanya jenis media
penyaringan yang digunakan. Biosand filter dual media menggunakan media filtrasi
berupa pasir kuarsa, kerikil,arang tempurung dan ijuk sedangkan biosand filter biasa
hanya menggunakan satu media filtrasi berupa pasir. Biosand filter dual media
merupakan adaptasi dari saringan slow sand tradisional yang telah digunakan untuk
proses penyaringan atau penjernihan air, dimana air yang akan diolah dilewatkan pada
suatu media porous yang dipengaruhi oleh diameter butir pasir dan batu apung dengan
kecepatan tertentu. Wadah filter dapat dibuat dari beton atau plastik dan diisi dengan
lapisan butiran pasir kuarsa, batu apung, ijuk, tempurung kelapa dan kerikil.
2.3 Rencana Kegiatan
Pengolahan air gambut menjadi air bersih di Desa gambut. Penelitian ini
bersifat eksperimen sekaligus untuk aplikasi penerapannya dilapangan.
Pengolahannya sangat sederhana karena material mudah didapat dari alam langsung.
Bahan yang digunakan adalah air gambut, kaporit, kapur tohor, tawas, kerikil, arang,
pasir dan ijuk. Alat yang digunakan tanki air berbentuk silinder tinggi media filtrasi
45 cm sebanyak 3 buah dengan kapasitas 50 liter, serta dilengkapi dengan sebuah kran
disebelah bawah.
- Proses Pengolahan
1. Netralisasi
Netralisasi adalah mengatur keasaman air baku yang bersifat asam dengan pH< 7
dinaikkan menjadi netral (pH 7 - 8), dengan cara pembubuhan alkali. Cara yang
paling mudah dan murah yaitu dengan membubuhkan larutan air kapur /gamping.
Tujuan netralisasi ini adalah untuk membantu efektiitas proses selanjutnya yaitu
oksidasi dan koagulasi-flokulasi selain itu hal yang tidak kalah penting adalah air
olahan yang dihasilkan netral sesuai dengan kualitas air minum (pH 6-8,5)
2. Aerasi
Proses aerasi yaitu mengontakkan air baku dengan udara kususnya oksigen (O2),
dengan tujuan zat besi (Fe) dan mangan (Mn) yang terdapat dalam air baku
teroksidasi dan selanjutnya membentuk senyawa besi dan mangan yang dapat
diendapkan. Disamping itu proses aerasi juga berfungsi untuk menghilangkan gas-gas
beracun yang tak diinginkan misalnya gas H2S, methan, karbon dioksida dan gas-gas
racun lainnya. Oksidasi mangan dengan oksigen dari udara tidak seefektif untuk besi,
tetapi jika kadar mangannya tidak
terlalu tinggi maka sebagian mangan dapat juga teroksidasi dan terendapkan.
3. Koagulasi-Flokulasi
Koagulasi dilakukan dengan pembubuhan bahan koagulan ke dalam air baku, dimana
kotoran yang berupa koloid maupun suspensi yang ada di dalamnya menggumpal
sehingga mudah diendapkan. Kotoran yang berupa koloid maupun suspensi halus,
antara lain zat warna organik, lumpur halus, bakteri dan algae serta lainnya tidak
dapat mengendap secara alamiah karena partikelnya sangat halus. Selain itu pada
umumnya partikel-partikel kotoran tersebut mempunyai kelebihan muatan elektron
negatip sehingga terjadi tolak-menolak antar partikel yang menyebabkan sulit
mengendap.Oleh karena itu koagulasi dapat berjalan dengan baik apabila
penyebabnya dapat dihilangkan yaitu dengan menetralisasi kelebihan muatan negatif
partikel kotoran. Netralisasi tersebut dapat dilakukan dengan cara pembubuhan zat
koagulan yaitu bahan atau alat yang mempunyai kemampuan menetralisir muatan
negatif partikel kotoran dan kemampuan mengikat partikel-partikel tersebut.
4. Pengendapan
Tujuan pengendapan atau sedimentasi adalah mengendapkan gumpalan yang terjadi
akibat proses koagulasi-flokulasi secara gravitasi, selain itu proses pengendapan ini
mengurangi beban kerja filter. Pengendapan dilakukan dengan cara membiarkannya
selama kurang lebih satu jam, tergantung pada besar kecilnya flok-flok yang
terbentuk.
5. Penyaringan
Gumpalan partikel atau flok yang terjadi tidak semuanya dapat diendapkan. Flok-flok
yang relatif kecil dan halus masih melayang-layang dalam air.Oleh karena itu, untuk
mendapatkan air yang betul-betul jernih harus dilakukan penyaringan atau
filtrasi.Filtrasi dilakukan dengan media penyaring yang terdiri dari kerikil,
arang/karbon aktif, ijuk dan pasir.
- Spesifikasi Peralatan
1. Unit Kontrol
Unit kontrol berfungsi untuk menyediakan dan mengatur laju alir air baku, larutan
kapur dan larutan tawas yang dikontrol dengan pengaturan pembukaan valve. Unit
kontrol terdiri dari pompa air baku, bak penampung air baku, bak penampung larutan
kapur dan bak penampung larutan tawas. Bak penampung masing-masing dilengkapi
dengan valve pembuangan endapan dan valve untuk mengatur laju alir.
2. Unit Netralisasi
Dalam unit ini larutan kapur dicampur sampai homogen/rata dengan kecepatan
pengadukan tertentu dengan air baku untuk menetralkan pH air gambut.
3. Unit Aerasi
Unit ini dilengkapi dengan aerator atau dengan pompa manual, untuk memasukkan
udara kedalam air baku dengan tujuan zat besi atau mangan yang terlarut dalam air
baku bereaksi dengan oksigen yang ada dalam udara membentuk oksida besi atau
oksida mangan yang dapat diendapkan. Aerator/pompa angin manual dihubungkan
dengan difucer untuk menyebarkan udara yang dihembuskan oleh aerator ke dalam air
baku.
4. Unit Koagulasi-Flokulasi
Dalam unit ini larutan bahan koagulan dicampur sampai homogen dengan kecepatan
pengadukan tertentu untuk menghindari flok-flok yang pecah, sehingga kotoran yang
berupa koloid maupun suspensi yang ada di dalamnya menggumpal dan mudah
diendapkan pada bak pengendapan.
5. Unit Pengendapan
Unit pengendapan atau disebut dengan unit sedimentasi yang berfungsi untuk
mengendapkan gumpalan yang terjadi akibat proses koagulasi-flokulasi secara
gravitasi dengan waktu tinggal ± 1 jam. Unit ini dilengkapi dengan valve/back wash
pembuangan endapan dan pengurasan
6. Unit Penyaring
Unit penyaring terdiri dari tanki tower air berbentuk silinder tinggi media filtrasi 45
cm sebanyak 3 buah dengan kapasitas 500 liter, serta dilengkapi dengan sebuah keran
disebelah bawah. Untuk media penyaring digunakan pasir, kerikil, arang dan ijuk.
Susunan media penyaring media penyaring dari yang paling dasar keatas adalah
sebagai berikut :
a) Lapisan 1 : Kerikil atau koral dengan diameter 1-3 cm, tebal lapisan 5-7 cm
b) Lapisan 2 : Ijuk dengan ketebalan 3-5 cm
c) Lapisan 3 : Arang tempurung kelapa/ arang kayu yang lain dengan ketebalan 10cm.
d) Lapisan 4 : Kerikil Kecil diameter 5 mm ketebalan 5 cm.
e) Lapisan 5 : Pasir dengan diameter 0,5 mm ketebalan 15 cm.
f) Lapisan 6 : Kerikil diameter 3 cm tebal 5 cm
BAB III
PEMAHAMAN CBL
CBL merupakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dimana masalah-
masalah yang dihadirkan dalam pembelajaran berbasis kasus. CBL sering
didefinisikan sebagai metode pengajaran yang mengharuskan mahasiswa untuk secara
aktif berpartisipasi dalam situasi masalah nyata atau hypothetical, yang
mencerminkan jenis pengalaman yang dialami secara alami dalam disiplin yang
sedang dipelajari. Situasi yang dihardirkan pada pembelajaran CBL haruslah
berkenaan langsung pada pengalaman seharihari mahasiswa, sehingga keterkaitan
antara pembelajaran CBL dan kegunaan pada kehidupan mahasiswa terlihat nyata.

Pembelajaran berbasis kasus memberi kesempatan untuk menganalisis konten


dengan terlebih dahulu mengenalkan domain pengetahuan inti dan mendorong
mahasiswa untuk mencari domain pengetahuan lain yang mungkin relevan dengan
masalah yang diberikan dalam kasus ini. Sebuah kasus adalah definisi dari skenario
masalah yang realistik dan relevan dengan bagian materi yang dipelajari. Kasus yang
muncul pada pembelajaran CBL memuat masalah yang berkaitan dengan lingkungan,
kondisi, situasi, ataupun gambaran masa depan mahasiswa. Kasus adalah cerita
dengan sebuah pesan dimana mahasiswa dapat menganalisis dan mempertimbangkan
solusi untuk cerita tersebut. CBL melibatkan mahasiswa untuk belajar dengan
menggunakan narasi yang realistis, narasi ini memberi kesempatan bagi mahasiswa
untuk mengintegrasikan banyak sumber informasi dalam konteks yang otentik. CBL
memberi mahasiswa sebuah skenario masalah yang realistik, sebuah kasus, yang
dapat dipelajari secara retrospektif dengan menguji bagaimana kasus tersebut
diselesaikan atau secara interaktif mencoba menyelesaikan kasus.

Keuntungan digunakannya kasus pada pembelajaran adalah mahasiswa dapat


mengaplikasikan teori ke dalam konteks nyata, berpikir kritis tentang situasi
kompleks dan dapat memilih tindakan yang harus dilakukan, mengembangkan
pengetahuan diri, membandingkan dan mengevaluasi perspektif diri dengan perspektif
orang lain. CBL membantu ‘transfer knowledge’ mahasiswa dari materi yang
dipelajari mahasiswa. Selain itu, CBL juga menjembatani perbedaan antara teori dan
praktek. Sehingga mahasiswa tidak hanya tahu teorinya saja tanpa bisa menerapkan
ilmunya pada suatu kondisi tertentu, ataupun mahasiswa tidak hanya bisa
melaksanakan praktik saja tanpa mengerti ilmu yang mendasarinya.

Pembelajaran
No
Non CBL CBL
1. Identifikasi Masalah Identifikasi Penguatan Konsep
Menetapkan masalah (berpikir tentang
2. masalah dan menyeleksi informasi yang Integrasi Nilai
relevan)
Mengembangkan solusi melalui
3. Masalah – Gagasan (Solusi)
identifikasi dan tukar pikiran
Rencana Kegiatan – Rencana
4. Melakukan tindakan strategis
Tindakan
Melihat ulang dan mengevaluasi
5. Tindak Lanjut dan Evaluasi
pengaruh dan solusi yang dilakukan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Disimpulkan bahwa untuk mengolah air gambut menjadi air bersih dapat
dilakukan dengan proses yang sederhana dengan kombinasi proses netralisasi, aerasi,
flokulasi-koagulasi, pengendapan dan penyaringan. Pengolahan air gambut diwilayah
lahan gambut menjadi air bersih dapat dilakukan dengan proses penyaringan yang
sederhana hanya menambahai beberapa bahan kimia yang tidak berbahaya.
Pengolahan air gambut sangat bermanfaat membantu masyarakat pedesaanyang
mengalami kelangkaar air bersih untuk memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan
mandi dan cuci. Sedangkan untuk kebutuhan air minum perlu dilakukan pemasakkan
terlebih dahulu.
4.2 Saran
Pengolahan air baku dari gambut dapat dirancang ulang yang lebih sederhana
lagi untuk memudahkan masyarakat pedesaan. Karena pada perancangan ini masih
membutuhkan proses yang agak rumit.
DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie, R., Sudarmadji dan T. Yunianto. 2000. Pengolahan Air Gambut untuk
Persediaan Air Bersih. Teknosains, 13(2): 193-204.
Amani, F dan K. Prawiroredjo. 2016. Alat Ukur Kualitas Air Minum dengan Parameter
Ph, Suhu, Tingkat Kekeruhan dan Jumlah Padatan Terlarut. JETri, 4(1): 49-62.
Apriani, W., I. Perdana dan S. P. Saraswati. 2014. Pengaruh Jenis Arang Aktif Ampas
Tebu, Tatal Kayu dan Tempurung Kelapa Terhadap Penyerapan Warna Air
Sungai Sambas. Jurnal Of Sistem Enginering, 2(2): 59-64.
Edahwati. 2000. Kombinasi Proses Aerasi, Adsorpsi, dan Filtrasi pada Pengolahan Air
Limbah Industri Perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, 1(2): 79 –83.
Edwardo, A., Darmayanti dan L. Rinaldi. 2014. Pengolahan Air Gambut dengan Media
Filter Batu Apung. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, 1(1): 1-12.
Febriana, L dan A. Astrid. 2015. Studi Penurunan Kadar Besi (Fe) dan Mangan (Mn)
dalam Air Tanah Menggunakan Saringan Keramik. Jurnal Teknologi, 7(1): 35-44.
Fitria, D dan N. Suprihanto. 2007. Penurunan Warna dan Kandungan Organik Air
Gambut dengan Cara Two Stage. Jurnal Teknik Lingkungan, 13(1): 17-26.
Fauziah, A. 2010. Efektifitas Saringan Pasir Cepat dalam Menurunkan Kadar Mangan
(Mn) pada Air Sumur dengan Penambahan Kalium Permanganat (KMnO4) 1%.
Skirpsi. Fakultas Kimia USU. Medan.
Haslinda, A dan Zulkifli. 2012. Analisis Jumlah Koagulan (Tawas/AL2(SO4)3) yang
Digunakan dalam Proses Penjernihan Air pada PDAM Instalasi I Ratulangi
Makassar. ILTEK, 7(13): 974-976.
Jamilatun, S dan M. Setyawan. 2014. Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Kelapa
dan Aplikasinya untuk Penjernihan Asap Cair. Spectrum Industri, 12(1): 73-86.
Ma’ruf, M. A dan F. E. Yulianto. 2016. Tanah Gambut Berserat: Solusi dan
Permasalahannya dalam Pembangunan Insfastruktur yang Berwawasan
Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Geoteknik, Banjarmasin, 1 Oktober,
2016: 279-292.
Mirwan, A dan H. Wijayanti. 2011. Penurunan Ion Fe dan Mn Air Tanah Kota
Banjarbaru Menggunakan Tanah Lempung Gambut Sebagai Absorben. Info
Teknik, 14(1): 45-51.
Nainggolan, A. H., A. P. M. Tarigan dan H. Khair. 2017. Pengaruh Aerasi Bertingkat
dengan Kombinasi Saringan Pasir, Karbon Aktif dan Zeolit dalam Menyisihkan
Parameter Fe dan Mn dari Air Tanah di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah. Jurnal
Teknik Lingkungan, 14(1): 1-12.
Nurdin, S. 2011. Analisis Perubahan Kadar Air dan Kuat Geser Tanah Gambut Lalumbi
Akibat Pengaruh Temperatur dan Waktu Pemanasan. Jurnal SMARTek, 9(2): 88-
108.
Nurhasni, Firdiyono, F dan Q. Sya’ban. 2012. Penyerapan Ion Aluminium dan Besi
dalam Larutan Sodium Silikat Menggunakan Karbon Aktif. Valensi, 2(4): 516-
525.
Panjaitan, N dan Hardjoamidjojo. 1999. Kajian Sifat Fisik Lahan Gambut dalam
Hubungan dengan Drainase untuk Lahan Pertanian. Buletin Keteknikan
Pertanian, 13(3): 89-96.

Anda mungkin juga menyukai