Anda di halaman 1dari 13

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN POLITIK IBN TAIMIYAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Ilmu Politkm

Dosen Pengampu : Dr. Anwar Sanusi, M.Ag

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Ika Pawolina 2008206051

Annalia Rosetianna 2008206057

Nanda Tryana Aurora 2008206058

Dika Nurmala 2008206063

M. Arya Pradana 2008206065

Fikri Al-Fathori. H 2008206068

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM

FAKULTAS SYARI'AH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON

2021

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan
hidayahNya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kita curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak dosen Dr. Anwar Sanusi, M.Ag
yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami, dan tidak luput juga
kami ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang ikut menyumbang
pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami memohon maaf kepada bapak dosen Dr. Anwar Sanusi, M.Ag khususnya dan
umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam
penulisan makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, kami mengharap kritik
dan sarannya yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya
makalah ini.

Cirebon, 04 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Biografi

2.2 Riwayat Pendidikan Ibnu Taimiyah

2.3 Karya-karya Ibnu Taimiyah

2.4 Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara natural, manusia cenderung untuk saling tolong menolong, membentuk
suatu tatanan sosial dalam rangka mendapatkan manfaat bersama dan
menghindari hal-hal yang mencelakakan bagi mereka. Di dalam tatanan sosial itu
terdapat seperangkat norma dan aturan yang harus diikuti. Perlakuan seperti itu
menunjukkan bahwa secara sosiologis, manusia tidak mungkin hidup dengan
aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah tatanan sosial. Untuk mencapai
keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk sosial sepakat untuk membuat
suatu perjanjuan untuk membentuk negara yang akan melindungi hak-hak dan
kebutuhan mereka. Masalah kenegaraan dalam kehidupan ini akan sangat
berkaitan dengan masalah politik.
Politik Islam merupakan salah satu bagian dari dunia politik. Sejarah Islam
mewariskan khazanah tradisi politik yang sangat kaya, dimulai dari masa
Rasulullah, khulafaurrasyidin, periode klasik, periode pertengahan hingga masa
modern. Dalam dunia Islam ada beberapa tokoh yang berkecimpung dalam dunia
politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis, di antaranya adalah Ibnu
Taimiyyah. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang
pemikiran politik Ibnu Taimiyah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Siapakah Ibnu Taimiyah?
2. Bagaimana riwayat pendidikan Ibnu Taimiyah?
3. Apa saja karya-karya Ibnu Taimiyah?
4. Bagaimana pemikiran politik Ibnu Taimiyah?

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Taimiyah

Nama asli Ibnu Taimiyyah adalah Taqiyuddin Abu al Abbas Ibnu Abd alHalim bin al-
Imam Majduddin Abil Barakat Abd al Salam bin Muhammad bin Abdullah bin Abi
Qasim Muhammad bin Khuddlarbin Ali bin Taimiyyah al Harrani al Hambali. Para ahli
lebih singkat menyebut nama lengkapnya dengan Taqiyuddin Abu Abbas bin Abd al
Halim bin Abd al Salam bin Taimiyyah al harani al Hambali. Namun orang lebih cepat
mengenal namanya dengan sebutan Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah atau lebih populer Ibnu
Taimiyyah saja. Beliau dilahirkan pada hari senin tanggal 10 Rabi'ul Awal tahun 661 H
bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 M di kota Harran 34 Yaitu daerah yang
terletak ditenggara negeri Syam, tepatnya dipulau Ibnu Amr antara sungai Tigris dan
Eupraht.

Ibnu Taimiyyah lahir dari keluarga cendikiawan dan ilmuan terkenal. Ayahnya
Syaibuddin Abu Ahmad adalah seorang syaikh, khotib hakim dikotanya. Sedangkan
kakeknya, syaikh Islam Majduddin Abu al-Birkan adalah fakih Hambali, Imam, ahli
hadits, ahli-ahli ushul, nahwu seorang hafiz, dan pamannya bernama Fakhruddin yang
terkenal sebagai seorang cendekiawan dan penulis Muslim ternama.

Pada tahun 1268 M, Ibnu Taimiyyah dibawa mengungsi oleh keluarganya ke Damaskus.
Karena pada ketika itu bencana besar menimpa umat Islam, bangsa Mongolia menyerang
secara besar-besaran kota kelahiran Ibnu Taimiyyah. Bangsa Mongol memusnahkan
kekayaan intelektual Muslim serta Metropolotan yang berpusat di Bagdad. Dan seluruh
warisan Intelektual dibakar dan dibuang ke sungai Tigris.

Ketika pindah ke Damaskus, Ibnu Taimiyyah baru berusia enam tahun. Setelah ayahnya
wafat pada tahun 1284, Ibnu Taimiyyah yang baru berusia 21 tahun,menggantikan
kedudukan sang ayah sebagai guru dan khatib pada masjidmasjid sekaligus mengawali
karirnya yang kontroversial dalam kehidupan masyarakat sebagaiteolog yang aktif. Ibnu
Taimiyah dikenal sebagai seorang pemikir, tajam intuisi, berpikir dan bersikap bebas,
setia pada kebenaran, piawai dalam berpidato dan lebih dari itu, penuh keberanian dan
ketekunan. Ia memiliki semua perssyaratan yang menghantarkannya pada pribadi luar
biasa.

B. Pendidikan Ibnu Taimiyah

Al-Islam Ibnu Taimiyyah tumbuh berkembang dalam penjagaan yang sempurna dan
sederhana dalam pakaian dan makanan. Ia terus melakukan demikian sampai akhir
hayatnya. Disamping itu, ia juga sangat berbakti kepada orang tuanya, bertakwa,
berwira'i, beribadah, banyak berpuaa,sholat, dzikir kepada Allah, berhenti pada batas-
batas-Nya berupa perintah dan larangan-Nya, menyuruh melakukan perbuatan yang
makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Jiwanya hampir tidak pernah kenyang
dengan ilmu, tidak puas dari membaca, tidak bosan mengejar dan tidak pernah berhenti
meneliti."

Ibnu Taimiyyah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang berpendidikan tinggi. la mulai
belajar agama ketika ia masih kecil, berkat kecerdasan dan kejeniusannya Ibnu
Taimiyyah yang masih berusia muda sudah dapat menghafal Al-Qur'an dan telah mampu
menamatkan sejumlah mata pelajaran seperti tafsir, hadits, fiqh, matematika dan filsafat,
serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya."
Ibnu Taimiyyah belajar teologi Islam dan Hukum Islam dari ayahnya sendiri. Disamping
itu ia juga belajar dari ulama-ulama hadits yang terkenal. Guru Ibnu Taimiyyah
berjumlah kurang lebih 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin al-Maqdisi, Ahmad
bin Abu bin al-Khair, Ibnu Abi al-Yusr dan alKamal bin Abdul Majd bin Asakir.

Disamping itu ia juga mempelajari hadits sendiri dengan membaca berbagai buku yang
ada. Ketika berusia tujuh belas tahun, Ibnu Taimiyyah telah diberi kepercayaan oleh
gurunya Syamsuddin al-Maqdisi untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan,
ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Ketekunan Ibnu Taimiyyah dalam
mempelajari ilmu yang berkaitan dengan hadits membuatnya menjadi seorang ahli hadits
dan ahli hukum. la sangat menguasai Rijal al-hadits (para tokoh perawi hadits) baik yang
shahih, hasanatau dhoif.

Sebagai ilmuan, Ibnu Taimiyyah mendapat reputasi yang sangat luar biasa dikalangan
ulama ketika itu, ia dikenal sebagai orang yang berwawasan luas, pendukung kebebasan
berpikir, tajam perasaan, teguh pendirian dan pemberani serta menguasai berbagai
disiplin keilmuan yang dibutuhkan ketika itu. Ia bukan hanya menguasai studi Al-Qur'an,
Hadits dan Bahasa Arab, tetapi ia juga mendalami Ekonomi, Matematika, Sejarah
Kebudayaan, kesustraan Arab, Mantiq, Filsafat dan berbagai analisa persoalan yang
muncul pada saat itu. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyyah memproleh penghargaan dari
pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun,
karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan
penguasa, ia pun menolak tawaran tersebut.

Ibnu Taimiyyah menyelesaikan pendidikannya dalam bidang yurisprudensi (Figh), hadits


nabi, tafsir al-Qur'an, matematika dan filsafat pada usia yang sangat muda. Disebabkan
oleh pemikirannya yang revolusioner yakni gerakan tajdid (pembaharu) dan ijtihadnya
dalam bidang muamalah, membuat namanya terkenal diseluruh dunia.

la juga dikenal sebagai seorang pembaharu, dengan pengertian memurnikan ajaran Islam
agar tidak tercampur dengan hal-hal yang berbau bid'ah. Diantara elemen gerakan
reformasinya, adalah pertama, melakukan reformasi melawan praktek-praktek yang tidak
Islami. Kedua, kembali kearah prioritas fundamental ajaran Islam dan semangat
keagamaan yang murni, sebaliknya mempedebatkan ajaran yang tidak fundamental dan
sekunder. Ketiga, berbuat untuk kebaikan publik melalui intervensi pemerintah dalam
kehidupan ekonomi, mendorong keadilan dan keamanan publik serta menjaga mereka
dari sikap eksploitatif dan mementingkan diri sendiri.

Cabang ilmu pengetahuan yang ditekuni Ibnu Taimiyyah adalah Teologi. Disamping itu,
ia juga secara khusus mempelajari hukum dari mazhab Imam Hambali, dimana ayahnya
merupakan tokoh yang sangat penting. Sehingga ia menjadi seorang mujtahid mutlak dan
ahli kalam yang disegani pada masanya. Ibnu Taimiyyah dipandang sebagai salah
seorang diantara para cendekiawan yang paling kritis dan yang paling kopenten dalam
menyimpulkan peraturan-peraturan hukum-hukum dari Al-Qur'an dan hadits.
Semangat dan pemikirannya serta penyelidikannya yang bebas dan tegar, ia dipandang
sebagai bapak spiritual dalam gerakan modernisasi Islam diseluruh dunia. ibnu
Taimiyyah meninjau berbagai masalah tanpa dipengaruhi apapun kecuali Al-Qur'an, As-
Sunnah dan praktek para sahabat Rasulullah serta beberapa tokoh sesudah mereka."

C. Karya-karya Ibnu Taimiyah

Karya-karya Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir, hadits,
ilmu hadits, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, filsafat, politik, pemerintahan dan tauhid. Karya-
karya Ibnu Taimiyyah antara lain:

1. Tafsir wa'Ulum al-Qur'an


a. At-Tibyan fi Nuzuhu al-Qur'an
b. Tafsir surah An-Nur
c. Tafsir Al-Mu'udzatain
d. Muqaddimah fi 'Ilm al-Tafir
2. Fiqh dan Ushul Fiqh
a. Kitab fi Ushul Fiqh
b. Kitab Manasiki al-Haj
c. Kitab al-Farq al-Mubin baina al-Thlaq wa al Yamin
d. Risalah li Sujud al-Sahwi
e. Al-Ubudiyah
3. Tasawwuf
a. Al-Faraq baina Aulia al-Rahman wa Aulia al-Syaithan
b. Abthalu Wandah al-Wujud
c. Al-Tawm1 wa al-Wasilah
d. Risalah U al-Salma wa al-Raqsi
e. Kitab Taubah
f. Al- Ubudiyyah
g. Darajat al-Yaqin
4. Ushulu al Din wa al Ra'du 'Ala al Mutakallimin
a. Risalah fi Ushulu al-Din
b. Kitab al-Iman
c. Al-Furgan baina al-Haq wa al-Bathl
d. Syarah al ,Aqidah al-Ashlihiniyah
e. Jawabu Ahli al-Ilmi wa
f. Risalah U al-fhtijaj bi al-Qadr
g. Shihah Ushul Mazhab
h. Majmua Tauhid
5. Al Ra'du 'Ala Ashab al Milal
a. Al-Jawab al-Shahih Liman Badala Dina Al-Haq
b. Al-Ra'du 'Ala al-Nashant
c. Takhjil Ahli
d. Al Risalah al-Qabarshiyah
6. Al Fasafah al Mantiq
a. Naqdhu al Mantiq
b. Al-Raddu 'Ala al Mantiqiyin
c. Al-Risalah al-.Arsyiah
D. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
1. Pemimpin

Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya
merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hambahamba pilihanNya. Dalam
hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasapenguasa yang korup adalah yang
paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan
ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa
yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari'at
tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari
prinsipprinsip syari'ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika
dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara

Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan


bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak
terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial
perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas. Lebih baik 60 tahun diperintah
oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan adalah
berasal dari pendapat ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah.

2. Negara

Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, merupakan


keniscayaan. Dari konsep ini kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah
terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan
sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai
keadilan.

Manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika
mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatankegiatan yang diperlukan
untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu,
diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat
(ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas
dan ruang gerak masing-masing.

Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang


diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin
hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan
kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui suatu proses perebutan yang
alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian untuk hidup bersama. Penguasa
dengan demikian, dapat menuntut kepatuhan dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa
tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat;
“berikan apa yang menjadi hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang
menjadi hak untuk kita".

Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di


bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh
Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam
dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga
negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar
dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma'ruf
nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah
dalam

pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya


pertolongan Tuhan. Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan,
Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. Menegakkan
hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan
kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.

Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam
pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam
kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah
membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari'iyyah). Syariat dalam
pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran
politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan
(amar ma'ruf nahi munkar).

Walapun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan pemerintahan
dalam kehidupan masyarakat, tetapi Taimiyah meragukan validitas pendapat bahwa
kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan AsSunnah). Suatu pemikiran
ekstrim yang menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa
itu.

Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar
dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori kekhalifahan tradisional ala Sunni dan
tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang
mempunyai hukum tertinggi: hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik
pada negara dan formasinya Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan
agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang dianggap memenuhi syarat
adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan
tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. la
lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan,
dibandingkan meributkan bentuk negara.

Teori politik Ibnu Taimiyah memiliki kemiripan yang lebih dekat kepada konsep
pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi
sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas dari penjelasan agama. Sikap
tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan
hanya berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah
"melampaui" tradisi berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.

3. Kriteria Pemimpin

Dalam disertasinya di Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhil


la'Dammam KSA (1994: hlm 95-97) berjudul Al-Nazhariyyah AlSiyasah 'inda Ibn Al-
Taimiyyah, Hasan Konakata menyatakan bahwa dari berbagai tulisan Ibn Al-Taimiyyah
dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah menetapkan dua syarat umum bagi seorang
pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah waalamânah (kekuatan dan amanah). Kesimpulan
ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam Al-Siyasah Al- Syar'iyyah
(Dar Al-Afaq AlJadidah Beirut, 1998: 15), "Fa innaal-wila yah lahá ruk nâni: al-quwwah
wa alamâ nah."

Yang dimaksud dengan "kekuatan" oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus
dimiliki seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang
panglima perang harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa
kedua hal itu, dia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan
tempur. Sementara, orang yang akan memangku amanah memimpin manusia harus
mengetahui ilmu tentang keadilan yang diajarkan di dalam Alquran dan sunah; juga harus
memiliki kemampuan untuk menerapkannya di tengah-tengah manusia.

Adapun yang dimaksud dengan "amanah" adalah sikap takut hanya kepada Allah, tidak
memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit dan tidak takut pada
manusia. Definisi ini ia dasarkan pada firman Allah SWT,

"...........Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah pada-Ku; dan janganlah kalian
memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang
kafir. (QS al-Ma'idah: 44).

Merujuk pada syarat "amanah" ini, agak sulit dimengerti jika Ibnu Taimiyyah tidak
mempersyaratkan pemimpin harus seorang "Muslim". Kalau bukan Muslim, bagaimana
mungkin dia bisa takut pada Allah dan memperjualbelikan ayat-ayat Allah? Bahkan,
syarat yang ditetapkan Ibnu Taimiyyah ini lebih dari sekadar harus "Muslim". Dia harus
memiliki sifat-sifat yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu "takut kepada Allah
SWT". Penjelasan mengenai syarat-syarat menjadi pemimpin kaum Muslim semacam ini
memang agak berbeda dengan penulispenulis lain.
Namun, maksud yang ingin disampaikan Ibnu Taimiyyah sama dengan ulama-ulama
yang lain. Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-Mawardi, misalnya, kita akan segera
bisa menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah telah merangkum syarat-syarat yang
ditetapkan Al-Mawardi. Dalam Al-Ahkam Al-Sulthåniyyah, Al-Mawardi menyebutkan
bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk meneruskan misi kenabian
dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia.

Untuk itu, orang yang akan memangku amanah ini harus memiliki syarat, antara lain, adil
(dengan berbagai syaratnya, termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang
dapat mengantarkannya melakukan ijtihad, sehat pancaindra, sehat anggota tubuh,
memiliki kecerdasan, dan memiliki keberanian untuk menerapkan berbagai aturan. Dari
keenam syarat yang ditetapkan AlMawardi ini, esensinya hanya dua seperti yang disebut
Ibnu Taimiyyah, yaitu memiliki kekuatan (alquwwah) dan amanah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa
adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik,
kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk
mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama. Seorang pemimpin tidak
menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan
dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan
Islam.

Menurut Ibnu Taimiyah, negara dan agama adalah saling melengkapi Tanpa kekuasaan
negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya, demikian juga sebaliknya,
tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Namun
demikian, bagaimanapun juga, negara hanyalah sebagai sesuatu yang dibutuhkkan untuk
menegakkan perintah agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka, dan bukan
lembaga keagamaan itu sendiri. Baginya Amar ma'ruf nahi mungkar tidak mungkin
diwujudkan tanpa adanya negara. Negara adalah amanah, dan negara bertujuan untuk
menegakkan syariah

B. Saran

Sebagai generasi penerus, hendaknya manusia kini belajar dari tokoh pemikiran politik
pendahulu yang dapat dijadikan suri tauladan yang sekiranya dapat membawa perubahan
bagi bangsa ini, Bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2006)

Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004)

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kotemporer,
(Depok: Gramata Publishing, 2010)

Ibnu Taimiyah, Al-Furgan baina Auliya' al-Syithan, Alih bahasa Abd Azia Mr.
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005)

Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Masrohin. "Pengantar Penerjemah" untuk buku Khalid Ibrahim Jindan, TeoriPolitik


Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam,1995, Surabaya: Risalah
Gusti, 1995

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI
Press, 1990)

Neni, Pemikiran Ibnu Taimiyyah Tentang Talqi Al-Wafidain, (Pekanbaru: UIN Suska
Riau, 2011)

Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Ali bahasa Anas M,(Bandung:
Pustaka, 1983)

Qamaruddin Khan, The political Thought of Ibnu Taimiyah, terj. Anas Mahyuddin,
(Bandung : Pustaka, 1983)

Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Terj Masturi Irham dan Assmu 'I Taman,
(Jakarta: Pusstaka Al-Kautsar, 2006)

Syaikh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi,
Terj, Faisal Saleh, (Jakarta: Pusstaka Al-Kautsar, 2005)

Anda mungkin juga menyukai