Anda di halaman 1dari 213

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344678247

Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers Jurusan Teknik Radiodiagnostik
dan Radioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Conference Paper · October 2020

CITATIONS READS

0 927

2 authors:

Muhammad Irsal Nursama Heru Apriantoro


Politeknik Kesehatan Kementarian Kesehatan Jakarta II Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II
19 PUBLICATIONS   6 CITATIONS    34 PUBLICATIONS   179 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Validasi Pengukuran cairan pada CT Scan View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Irsal on 16 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ISSN 2746-2129 (Media online)

PROSIDING
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA II
‘’PERKEMBANGAN TEKNOLOGI CT MENJAWAB TANTANGAN COVID-19’’

Jakarta, Agustus 2020

Diterbitkan oleh

Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi


Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II
Jl. Hang Jebat III, No. 4. No. 8, RT 04/ RW 08, Kebayoran Baru,Jakarta Selatan,
12120
JAKARTA-INDONESIA

i
Editor/ Penilai

Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi


Dr. Nursama Heru A, M.Si
Dr. dr. Nurbaiti, MKM
Drs. Gando Sari, M.Kes
Eka Syarif Putra, S.Pd, M.Kes
Mayarani, S.Si, M.KKK
Guntur Winarno, S.Si, M.Si
Legia Prananto, S.Pd, MM
Shinta Gunawati, S.ST, M.Biomed
Wahyu Hidayat, S.ST, M.Biomed
Mahfud Eddy W. S.ST
Retno Prawestri, S.Si
Muhammad Rizky, S.ST
Setio Adi Saputro, S.ST
Heri Kuswoyo, S.ST, MKM.

Prosiding
Nursama Heru, Nurbaiti, Muhammad Irsal

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas petunjuk dan karunia-Nya
sehingga dapat diterbitkan Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers Jurusan Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II. Penerbitan prosiding ini
merupakan dokumentasi karya ilmiah para mahasiswa, dosen dan Alumni dari disiplin ilmu Radiologi
terutama Radiodiagnostik dan Radioterapi yang telah dipresentasikan pada tanggal 21 Juli 2020
secara online.
Seminar Nasion Radiografi ini diselenggarakan yang pertama, dan merupakan kegiatan rutin
tahunan di Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi. Seminar dan Presentasi Ilmiah
dilakukan oleh ceramah umum 1 Dr. Achmad Yurianto (Direktur Jendral P2P Kemenkes RI) dengan
judul TANTANGAN COVID-19 BAGI INDONESIA DAN DUNIA, ceramah umum 2 Dr. Raden
Rara Diah Handayani Sp.P (K) (Department Pulmonologi dan Respiratori) dengan judul UPDATE
PENANGANAN PASIEN COVID-19, ceramah umum 3 Eka Syarif Hidayat, S.Pd, M.kes. (Dosen
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta II) dengan judul
PEMELIHARAAN ALAT CT SCAN PADA SAAT PENDEMI COVID-19, ceramah umum 4 Widy
Harsanto, S.Si (Clinical Application Specialist CT GE Healthcare) dengan judul UPDATE
PEMANFAATAN TEKNOLOGI CT PADA PENANGANAN COVID-19, ceramah umum 5 Samuel
Mameasa M.Sc. (Oncology & CT Specialist Siemens Healthcare) dengan judul IMPLEMENTASI
ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI) PADA CT . Di dalam buku prosiding ini berisi artikel ilmiah
yang telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional sebanyak 24 makalah yang disampaikan dalam
presentasi ilmiah. tersebut berasal dari Poltekkes Kemenkes Jakarta II (1), Akademika Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi Nusantara (2). Prosiding ini telah melalui proses penilaian dan
editing oleh dewan editor/penilai artikel ilmiah serta dilengkapi dengan diskusi dan tanya jawab pada
saat seminar berlangsung. Semoga penerbitan prosiding ini dapat bermanfaat sebagai bahan acuan
untuk lebih memacu dan mengembangkan penelitian dibidang radiografi yang akan datang. Kepada
semua pihak yang telah ikut membantu penerbitan prosiding ini kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, Agustus 2020

Dr. Nursama Heru A, M.Si

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i
EDITOR ii
PENGANTAR EDITOR iii
DAFTAR ISI iv

Perbandingan Dosis Organ At Risk Pada Penyinaran Kanker Nasofaring Dengan 1-7
Teknik Intensity Modulated Radiotherapy Berbasis Linear Accelerator Dan Helical
Tomotherapy
Ruth Marcheline Maretina1), Muhammad Irsal1), Wahyu Hidayat1), Nuruddin2) Misjuherlina2),
Fenia2)
1Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Analisis Efektifitas Double Fiksasi Pada Kasus Craniospinal Teknik Rapid Arc 8-18
Terhadap Verifikasi Geometri Menggunakan On Board Imager
Divitry Fajriyatul Falah1), Muhammad Irsal1), Wahyu Hidayat1 dan Ayu Saraswati2)
1Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2 Departemen Radioterapi MRCC Siloam Hospitals Semanggi.

Penggunaan Bluebag Sebagai Alat Immobilisasi Pada Terapi Radiasi Eksterna 19-28
Soft Tissue Sarcoma Antebrachii Di Santosa Hospital Bandung Kopo
Yosephene Theresia Siregar1), Arif Jauhari1), Samsun1), dan Ferry2)
1) Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)
Instalasi Radioterapi Santosa Hospital Bandung Kopo.

Computer-Aided Detection (CAD) Implementation In The Process Of Diagnosing 29-35


Pulmonary Tuberculosis
Giandra Adhifa Rizal1)
1) Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.

Teknik Pemeriksaan Ultrasonografi Obstetric Trimester Pertama Dengan Klinis 36-44


Blighted Ovum
Silma Fisqiyah1), Heny Setiyo Lestari2), Wahyu Hidayat1), Muhammad Irsal1)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)Puskesmas Babelan I

Analisis Konsistensi Titik Isocenter Laser Pada Penyinaran Organ Pelvis Dengan 45-53
Teknik 3D-CRT Di Instalasi Radioterapi Rs Kanker Dharmais
Anggi Rinaldi 1), Nursama Heru Apriantoro 1), Gando Sari1)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.

Pengaruh Sequence T2 Tirm, T2 Spair, T2 Fat Sat Terhadap Kualitas Citra 54-59
Pemeriksaan MRI Shoulder Potongan Coronal Di RSUP Fatmawati
Alissya Pratiwi Aurel1), Nursama Heru Apriantoro1), Gando Sari1), Heriyanto2)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)Departemen Radiologi, RSUP Fatmawati.

iv
Evaluation Of The Use Of Solid Bolus On Homogenity And The Distribution Of 60-67
Radiation Dose In The Liposarcoma Femur Irradiation
Alma Auliamarwa1), Nursama Heru Apriantoro1), Hari Purnomo2)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais.

Analysis Of MRI Cruris Examination Techniques On Soft Tissue Tumor Case At 68-74
Premier Hospitals Surabaya
Dery Furqon Pradana1), Heri Kuswoyo2), Asumsie Tarigan3)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik Dan Radioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Penatalaksaan Pemeriksaan MRCP Dengan Kontras Kasus Kanker Pankreas Di 75-84


RS Krakatau Medika Cilegon
Dea Nurfadhillah1),Nursama Heru A.1),Gandosari1),Aris Nurkamal2)
1)Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)Instalasi Radiologi, Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon.

Radioterapi 2D Kanker Nasofaring Menggunakan Cobalt 60 85-90


Shafrin Eka Aullya1), Umiyati2), Satsetyo Pudji Rahayu2)
1)Jurusan Teknik Radiodiagonstik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)Instalasi Radioterapi, Rumah Sakit Hasan Sadikin.

Teknik Radioterapi 2 Dimensi (2DRT) Pada Kanker Nasofaring Dengan Cobalt- 91-97
60
Nendika Dwi Ramadhani 1), Samsun 1), Arif Jauhari 1) R. Prahardi 2)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)Instalasi Radioterapi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Analysis The Use Of Sequence T2 Multi Echo Data Imaging Combination (Medic) 98-107
And T2 Blade Of Image Quality For MRI Cervical Examination In Axial Slice
Anggi Ulina Siregar1), Eka Putra Syarif H.1), Asumsie Tarigan1)
1)Teknik Radiodiagnostik Dan Radioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta II.

Analisis Teknik Pemeriksaan MRI Lumbal Dengan Klinis Cauda Equina 108-114
Syndrome
Dwi Wulan Sari1)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Penatalaksaan Pemeriksaan CT Urografi Dengan Klinis Urolithiasis di RS 118-121


Premier Bintaro
Nova Anggreini1), Angga2), Erni Yanrizal Rusmana2), Eny Supriyaningsih1)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.
2)Instalasi Radiologi RS Premier Bintaro.

Hubungan Fatty Liver Non Alcoholic Terhadap Hemodinamika Vena Porta Pada 122-133
Pemeriksaan USG Liver
Vira Salsabilla1), Wahyu Hidayat1), dan Muhammad Irsal1)
1)Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.

v
Studi Kasus Radiasi Eksterna Pada Kasus Keloid Dengan Teknik 3 Dimensional- 134-145
Conformal Radiation Theraphy
Cyndi Rinanda Septianti1), Eka Putra Syarif H.2), Asumsie Tarigan,3)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.

Analisis Variasi Receive Bandwidth Pada Pemeriksaan MRI Knee Dengan 146-155
Sequence Proton Density Weighted Fast Spin Echo
Wahdini Hanifah1), Eny Supriyaningsih1), dan Legia Prananto1)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Analisis Variasi Slice Thickness Menggunakan Sequence Susceptibility Weighted 156-163


Imaging Pada Pemeriksaan MRI Brain Dengan Klinis Parkinson
Sofia Khunafa1), Eny Supriyaningsih1), Legia Pranoto1)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II
Teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) Pada Kasus Kanker 164-172
Kelenjar Timus
Mulya riski 1), Guntur Winarno 1), Shinta Gunawati Sutoro 1), Yogi 2)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II
2) Departemen Radioterapi Siloam Hospitals TB Simatupang

Penatalaksanaan MRI Vertebra Lumbal Pada Kasus Kista Arachnoid 173-180


Ekstradural
Nishrina Irfani 1), Guntur Winarno 1), Heri Kuswoyo 1)
1) Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Deteksi Graves Disease Dengan Ultrasonografi Doppler 181-185


Gando Sari 1), Gita Putri Wahyuni 1)
1) Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Analisa Homogenisasi Densitas Dan Kontras Pada Foto Vertebrae Thoracal 186-190
Proyeksi Antero Posterior (Ap) Dengan Variasi Filter Baji 7°, 10° Dan 15°
Ali Amroji, S.Si. M.Kes1), Halimahtusyadiah1)
1)Teknik Radiologi, ATRO Nusantara

Pengaruh Dark Noise Dan Time Responsive Imaging Plate Terhadap Kualitas 192-199
Gambar Radiografi
Siti Nur Hidayati1) , Siti Hajar1)
1)Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Nusantara

Artificial Intelligence: Tantangan Baru Teknik Radiodiagnostik di Era COVID- 200-205


19
Nurbaiti1)
1)Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II

vi
PERBANDINGAN DOSIS ORGAN AT RISK PADA PENYINARAN KANKER
NASOFARING DENGAN TEKNIK INTENSITY MODULATED RADIOTHERAPY
BERBASIS LINEAR ACCELERATOR DAN HELICAL TOMOTHERAPY

Ruth Marcheline Maretina1), Muhammad Irsal1), Wahyu Hidayat1), Nuruddin2)


Misjuherlina2), Fenia2)
1
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120.
2
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 10430.

Koresponden : rmarcheline8@gmail.com

Abstrak
Kanker nasofaring (KNF) merupakan salah satu kanker yang paling banyak ditemukan di Indonesia, berada
pada urutan ke-4 setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Sampai saat ini, radioterapi
masih menjadi pilihan utama dalam pengobatan KNF. Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) menjadi
teknik radioterapi yang digunakan di banyak institusi karena kemampuannya untuk memberikan radiasi dengan
intensitas yang bervariasi secara konformal pada target dan menghindari organ sehat sekitarnya menerima
radiasi. Pesatnya perkembangan teknologi terapi radiasi eksterna terus berlanjut. Tersedianya beberapa
teknologi secara komersil untuk IMRT telah mendorong ketertarikan dalam mengeksplor potensi keuntungan
yang berbeda antara satu teknologi dengan yang lainnya. Dua teknologi tersebut, yaitu Helical Tomotherapy
(HT) dan linac konvensional, telah terbukti sangat cocok untuk penyinaran kanker kepala leher. Pada penelitian
ini dilakukan penyinaran pada 5 pasien KNF. Perencanaan penyinaran untuk setiap pasien dibuat menggunakan
sistem planning HT dan sistem planning linac. Proses pembuatan planning menghasilkan print out kurva Dose
Volume Histogram (DVH). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk membandingkan dosis yang
diterima OAR pada penyinaran KNF menggunakan IMRT berbasis linac dan Helical Tomotherapy. Data
didaptakan dari kurva DVH, dan parameter yang digunakan adalah Dmax tiap organ. Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dosis yang diterima OAR menggunakan kedua
modalitas. Namun organ seperti spinal cord, brainstem, optik chiasma, dan lens mendapatkan dosis lebih rendah
dengan HT, dan optic nerve mendapat dosis lebih rendah dengan linac. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa dengan HT memberikan dosis lebih rendah pada sebagian besar organ.

Kata Kunci: : IMRT, Linac, Helical Tomotherapy

PENDAHULUAN
Kanker nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari epitel nasofaring
(1,2). Keganasan ini memiliki angka kejadian yang tinggi di daerah Asia Timur dan Tenggara
(3–6). Di Indonesia, KNF merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan,
berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan
kanker paru, dengan rasio pria : wanita adalah 3:1 (2). Prevalensi kanker nasofaring di
Indonesia adalah 6.2/100.000, dengan hampir sekitar 13.000 kasus baru setiap tahun (2,7).

1
Ada beberapa pilihan dalam pengobatan KNF, yaitu radioterapi, kemoterapi, dan
kombinasi keduanya yaitu kemoradiasi (3,7,8). Saat ini, radioterapi menjadi pilihan utama
dalam pengobatan KNF karena sebagian besar kasus yang ditemukan berasal dari sub-tipe
non-keratinizing (termasuk yang differensiated maupun undiferensiated) yang 100%
berhubungan dengan virus Epstein-Barr dan sensitif terhadap radiasi (3). Namun
perencanaan penyinaran untuk KNF cukup kompleks dikarenakan banyaknya organ vital
yang berdekatan dengan target seperti spinal cord, optik chiasma, brainstem, lens, dan optic
nerve (9).
Selama dekade terakhir, banyak kemajuan telah dibuat untuk meningkatkan indeks
terapi mengenai radioterapi KNF. Kemajuan teknik-teknik radioterapi untuk penyinaran
KNF telah muncul dengan perkembangan dari 3D-CRT, dan terakhir adalah Intensity
Modulated Radiation Therapy (IMRT). IMRT menggunakan algoritma inverse planning dan
optimisasi berulang yang digerakkan oleh komputer untuk menciptakan lapangan penyinaran
dengan berbagai intensitas radiasi (10). Di beberapa instansi yang menyediakan teknologi
radioterapi yang canggih, IMRT menjadi teknik yang paling sering digunakan karena mampu
memberikan dosis radiasi yang tinggi pada target dan mengurangi dosis pada organ sehat
sekitarnya (1,9). Saat ini, teknik IMRT dengan 5 – 9 arah / sudut yang diberikan menggunakan
Linear Accelerator (linac) yang digunakan di sebagian besar pusat radioterapi dinilai cukup
untuk mencapai homogenitas dosis pada target dan menghindari jaringan sehat menerima
radiasi (10).
Helical Tomotherapy (HT), sebagai sebuah perkembangan teknologi dalam IMRT,
dilaporkan mencapai cakupan target yang lebih baik dengan peningkatan pengurangan dosis
pada OAR dibandingkan dengan IMRT konvensional (11). HT adalah teknologi yang
menggabungkan linear accelerator (linac) 6MV dan CT Scan spiral secara bersamaan.
Pemberian dosis Tomotherapy ke pasien dilakukan secara helikal, dilakukan secara
bersamaan antara pergerakan meja pasien (couch) dengan perputaran gantry (12).
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dan menentukan apakah ada
perbedaan signifikan antara kedua modalitas IMRT ini.

2
METODE PENELITIAN
Dilakukan permintaan data sekunder 5 pasien kanker nasofaring yang sudah dilakukan
simulasi di CT Simulator, data dari CT Simulator sudah dikontur (GTV, CTV, PTV dan
OAR) oleh dokter onkologi radiasi di komputer TPS pada bulan Oktober 2019 – Januari
2020. Setiap pasien dibuat 2 buah perencanaan penyinaran oleh fisikawan medis dengan
teknik Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) menggunakan linac dengan Eclipse
treatment planning system (Eclipse version 15.6) dan Helical Tomotherapy dengan
TomoTherapy Planning Workstation (TomoHD version 2.1.4, Accuray di TPS. Hasil
perencanaan TPS berupa DVH. Melalui diagram DVH, dapat dikeahui dosis yang diterima
target maupun OAR untuk masing-masing modalitas.
Dari DVH tersebut, akan dibandingkan dosis yang diterima spinal cord, brainstem,
optik chiasma, lensa mata, optic nerve, dan di masing-masing modalitas. Pengolahan data
dilakukan dengan uji normalisasi (Shapiro-Wilk dan Kolmogorov-Smirnov) untuk
mengetahui distribusi data. Lalu dilakukan uji hipotesis yaitu uji parametrik t berpasangan
(paired t test) untuk data yang berdistribusi normal, dan uji nonparamterik Wilcoxon untuk
data yang tidak berdistribusi normal. Uji statistik dilakukan dengan aplikasi IBM SPSS
Statistic 20. Setelah dibandingkan dan dianalisis, ditarik kesimpulan modalitas apa yang
dapat memberikan dosis lebih sedikit pada OAR dalam penyinaran KNF.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini data dosis yang didapatkan OAR pada setiap pasien dengan kedua
modalitas baik linac maupun Helical Tomotherapy. Data diambil dari DVH, parameter yang
digunakan adalah dosis maksimal atau Dmax dari tiap organ.

3
Tabel 1. Dosis yang diterima OAR pada setiap pasien dengan kedua modalitas

Spinal cord Brain stem Optik chiasma Right lens Left lens Right nerve Left nerve
PASIEN
HT L HT L HT L HT L HT L HT L HT L

A 3971 4348.2 5491 4967.7 4621 4857.3 672 542.1 679 642.5 4407 4386.0 4597 4284.9

B 4339 4225.1 5348 5457.5 5348 5365.5 704 998.7 835 863.6 5611 5208.6 5572 5289.3

C 4036 4330.9 5309 5160.6 5173 5021.9 404 682.7 375 561.8 4215 1788.4 4607 3509.1

D 3909 4395.2 5005 5301.5 5920 6012.8 568 861.9 673 898.4 5790 6384.6 6061 6455.2

E 4147 3991 5154 5485.3 5831 7005.2 5171 5445.4 538 647.3 7129 7177.0 5636 5378.4

Mean 4080.4 4258.0 5261.4 5274.5 5378.6 5652.5 1503.8 1706.1 620 722.7 5430.4 4988.9 5294.6 4983.3

% 90 94 97.4 97.6 99 104 60 68 24 28 100.5 92 98 92

St. D 169.2 161.7 186.9 215.4 527.9 876.3 2053.3 2097.4 172.6 148.9 1180.2 2085.1 659.6 1126.6

4
Setelah dilakukan uji normalitas, didapatkan bahwa data dosis untuk semua organ
kecuali right lens berdistribusi normal. Oleh karena itu, untuk organ yang berdistribusi
normal dapat dilakukan uji hipotesis dengan uji T berpasangan (paired T test), dan untuk
organ yang tidak berdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon.

Tabel 2. Hasil uji T berpasangan (paired T test) dan uji Wilcoxon


Paired T-Test
OAR
p-value Α
Spinal cord 0.248 0.05
Brain stem 0.938 0.05
Optik chiasma 0.306 0.05
Left lens 0.102 0.05
Right nerve 0.445 0.05
Left nerve 0.259 0.05
Uji Wilcoxon
Right lens 0.08 0.05

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan p-value > α untuk semua organ. Hal
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara dosis yang diterima spinal cord
menggunakan IMRT berbasis linac maupun Helical Tomotheraphy.
Berdasarkan dosis pada OAR yang dirangkum pada tabel 1, planning Helical
Tomotherapy menunjukkan distribusi dosis yang lebih rendah pada kebanyakan organ
dibanding dengan planning linac, walau tidak ada perbedaan yang cukup jauh atau signifikan
(p < 0.05). Hasil ini cocok dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya seperti penelitian
Chen dkk. (13) dan Zhang dkk. (14) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara HT dan linac dalam hal menghindari dosis di spinal cord, brainstem, optik chiasma,
dan lensa mata. Secara keseluruhan, kedua modalitas memberikan rata-rata dosis dibawah
batas toleransi. Seperti pada spinal cord, pengurangan dosis dengan HT sekitar 4%, optik
chiasma 5%, right lens 8%, left lens 4%, dan brainstem hanya berkurang 0.2%. Hal ini bisa
disebabkan karena HT memberikan kebebasan lebih besar dibandingkan linac sehingga HT
dapat memberikan spasial resolusi yang lebih tinggi untuk organ-organ kecil seperti
lensa(10).
Sebaliknya, pada optic nerve, teknik IMRT berbasis linac memberikan dosis lebih
minimal. Helical Tomotherapy menghasilkan rata-rata Dmax pada right dan left optic nerve
berturut-turut 8.5% dan 6% lebih tinggi dibandingkan dengan linac. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penemuan Szu dkk (15) yang menyatakan hal serupa. Hal ini bisa disebabkan
oleh mode helikal pada Helical Tomotherapy dalam pemberian radiasi. Agar bagian atas PTV
menerima dosis yang adekuat, Helical Tomotherapy harus memulai pemberian radiasi pada
titik yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan peningkatan dosis pada OAR yang mengelilingi
PTV bagian atas tersebut. Perbedaan pergerakan MLC pada linac dan Helical Tomotherapy
juga menyebabkan perbedaan distribusi pada daerah mata.
Bagimanapun juga, penulis tidak dapat menyimpulkan organ mana yang lebih
terhindar dengan HT mauapun linac dalam penyinaran KNF. Secara teori, hasil perbandingan
suatu planning penyinaran dengan lainnya dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pedoman
yang digunakan untuk delineasi OAR, kontur PTV, dan prioritas dalam menyelamatkan suatu
organ dibanding organ lainnya (10).
KESIMPULAN
Tidak ada perbedaan signifikan dosis yang diterima OAR spinal cord, brainstem, optik
chiasma, lensa mata dan optic nerve antara teknik IMRT berbasis linac dan Tomotherapy
untuk kasus KNF secara statistik. Namun, HT memberikan dosis minimal dibanding linac
pada sebagian besar organ.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis ingin mengucapkan terimakasih untuk setiap pihak yang telah membantu dan
mendukung selama proses pembuatan artikel ini khususnya Bapak Muhammad Irsal dan
Bapak Wahyu Hidayat selaku pembimbing skripsi, Bapak Nuruddin dan para fisikawan
medis Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chua MLK, Wee JTS, Hui EP, Chan ATC. Nasopharyngeal carcinoma. Lancet
[Internet]. 2016;387(10022):1012–24. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(15)00055-0
2. Dawolo AP, Utama DS, Kasim BI. Profil Klinis Karsinoma Nasofaring di Departemen
THT-KL RSUP Dr . Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2014-2015 Mohammad

6
Hoesin Palembang selama tahun kanker tubuh lain . Namun pada pria dari koana atau
rongga hidung sampai tuberkulum faring ( clivus ). Dindi. 2017;2015.
3. Petersson F. Nasopharyngeal carcinoma: A review. Semin Diagn Pathol.
2015;32(1):54–73.
4. Zong J, Lin S, Lin J, Tang L, Chen B, Zhang M. Impact of intensity-modulated
radiotherapy on nasopharyngeal carcinoma : Validation of the 7th edition AJCC
staging system. Oral Oncol [Internet]. 2015;51(3):254–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2014.10.012
5. Lin S, Pan J, Han L, Zhang X, Liao X, Lu JJ. Head And Neck Nasopharyngeal
Carcinoma Treated With Reduced-Volume Intensity-Modulated Radiation Therapy :
Report On The 3-Year Outcome Of A Prospective Series. 2009;75(4):1071–8.
6. Zhang B, Mo Z, Du W, Wang Y, Liu L, Wei Y. Intensity-modulated radiation therapy
versus 2D-RT or 3D-CRT for the treatment of nasopharyngeal carcinoma : A
systematic review and. ORAL Oncol [Internet]. 2015; Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2015.08.005
7. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring.
8. Faiza S, Rahman S, Asri AA. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma
Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang. J Kesehat Andalas
[Internet]. 2016;5(1):90–6. Available from:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/450/378
9. Vulpen M Van, Field C, Raaijmakers CPJ, Parliament MB, Terhaard CHJ, Mackenzie
MA, et al. Comparing Step-And-Shoot IMRT with Dynamic Helical Tomotherapy
IMRT Plans for Head-and-Neck Cancer. Int J Radiat Oncol Biol Phys.
2005;62(5):1535–9.
10. Lee TF, Fang FM, Chao PJ, Su TJ, Wang LK, Leung SW. Dosimetric comparisons of
helical tomotherapy and step-and-shoot intensity-modulated radiotherapy in
nasopharyngeal carcinoma. Radiother Oncol. 2008 Oct;89(1):89–96.
11. Qu S, Liang ZG, Zhu XD. Advances and challenges in intensity-modulated
radiotherapy for nasopharyngeal carcinoma. Vol. 16, Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention. Asian Pacific Organization for Cancer Prevention; 2015. p. 1687–92.
12. Liu Z, Xu C, Jiang R, Liu G, Liu Q, Zhou J, et al. Treatment of Locally Advanced
Nasopharyngeal Carcinoma by Helical Tomotherapy: An Observational, Prospective
Analysis. Transl Oncol. 2019 May 1;12(5):757–63.
13. Chen AM, Lee NY, Yang CC, Liu T, Narayan S, Vijayakumar S, et al. Comparison
of intensity-modulated radiotherapy using helical tomotherapy and segmental
multileaf collimator-based techniques for nasopharyngeal carcinoma: Dosimetric
analysis incorporating quality assurance guidelines from RTOG 0225. Technol Cancer
Res Treat. 2010;9(3):291–8.
14. Zhang X, Penagaricano J, Moros EG, Corry PM, Yan Y, Ratanatharathorn V.
Dosimetric Comparison of Helical Tomotherapy and Linac-IMRT Treatment Plans
for Head and Neck Cancer Patients. Med Dosim. 2010;35(4):264–8.
15. Lu SH, Cheng JCH, Kuo SH, Lee JJS, Chen LH, Wu JK, et al. Volumetric modulated
arc therapy for nasopharyngeal carcinoma: A dosimetric comparison with
TomoTherapy and step-and-shoot IMRT. Radiother Oncol [Internet].
2012;104(3):324–30. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.radonc.2011.11.017

7
ANALISIS EFEKTIFITAS DOUBLE FIKSASI PADA KASUS CRANIOSPINAL
TEKNIK RAPID ARC TERHADAP VERIFIKASI GEOMETRI MENGGUNAKAN
ON BOARD IMAGER

Divitry Fajriyatul Falah1), Muhammad Irsal1), Wahyu Hidayat1 dan Ayu Saraswati2)
1
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120
2
Departemen Radioterapi MRCC Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta, 12930

Koresponden : dvtf.flh@gmail.com

Abstrak
Double fiksasi digunakan untuk set – up position yang tepat terutama untuk target yang panjang pada
craniospinal irradiation.. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis efektifitas penggunaan double fiksasi pada
kasus craniospinal dengan Teknik Rapid Arc terhadap verifikasi geometri menggunakan On Board Imager
Jenis Penelitian ini adalah analitik kuantitatif. Penelitian ini menggunakan 2 sample dengan data sekunder yang
dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi. Data sekunder tersebut akan dianalisa nilai pergeseran posisi
pasien menggunakan uji statistika Uji Kruskal Wallis yang kemudian akan dievaluasi dengan nilai yang
direkomendasikan oleh ICRU Report 50 dan 62. Metode penelitian ini berupa studi kepustakaan, data sekunder
dan diskusi. Penelitian ini dilakukan di Departemen Radioterapi MRCCC Siloam Hospitals Semanggi pada
bulan Februari – April 2020. Hasil yang didapatkan berdasarkan analisa statistik pergeseran posisi pasien
daerah brain, thoracal dan lumbal terjadi pergeseran yang signifikan pada titik koordinat X. Dan berdasarkan
evaluasi nilai rata – rata keseluruhan fraksi menunjukan total fraksi yang melebihi nilai toleransi pada titik
koordinat X yaitu 31 fraksi dengan presentase 52,6%, pada titik koordinat Y yaitu 20 fraksi dengan presentase
33,8% serta pada titik koordinat Z yaitu 8 fraksi dengan presentase 13,6%. Kesimpulan dari hasil penelitian ini
adalah, titik koordinat X pada daerah brain, thoracal dan lumbal memiliki angka pergseran yang melebihi
standar toleransi, hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga penggunaan double fiksasi pada kasus
craniospinal masih cukup baik untuk mencegah pergerakan pasien.

Kata Kunci: Craniospinal, Double Fiksasi, On Board Imager.

PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi di
dunia. Berdasarkan data GLOBOCAN (Global Cancer Observatory), pada tahun 2018 telah
meningkat 18,1 juta kasus baru dan 9,6 juta kematian yang diakibatkan oleh penyakit kanker.
Di seluruh dunia, jumlah total orang yang hidup dalam 5 tahun setelah didiagnosis kanker
diperkirakan 43,8 juta (1). Dan di Indonesia kanker otak, nervous system terdapat pada urutan
ke-15 dengan jumlah kasus baru 5.323 atau 1,5% dan urutan ke-13 menyebabkan kematian
dengan jumlah 4.229 atau 2.0 % (2). Berbagai metode pengobatan telah dikembangkan untuk
mengobati kanker, salah satunya dengan menggunakan terapi radiasi atau radioterapi.
Berdasarkan IARC (International Agency for Research on Cancer) dari 10,9 juta orang yang

8
didiagnosis menderita kanker di seluruh dunia setiap tahun, sekitar 50% membutuhkan
radioterapi (3).
Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama dalam penanganan kanker. Sekitar
50% pasien kanker yang mendapat radioterapi, 30% diantaranya pasien kanker yang
mengalami efek samping hematologi (4). Radioterapi adalah penggunaan sinar-X energi
tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Pada umumnya penyinaran diberikan selama
beberapa minggu. Setiap perawatan harian dapat memakan waktu kurang lebih 20 menit
hingga 30 menit (5).
Penderita tumor pada anak usia 4 tahun atau lebih muda dan yang kedua tumor otak
paling umum terjadi pada anak usia 5-14 tahun. Setelah operasi, biasanya dirawat dengan
Craniospinal Irradiation. Dokter akan mempertimbangkan untuk menggunakan teknik
seperti IMRT (Intensity Modulated Radiation Therapy) dan RA (Rapid Arc) dengan tujuan
agar sinar radiasi dapat konvergen langsung pada tumor dan akhirnya mampu meningkatkan
kualitas jangka panjang pada kelangsungan hidup (6).
Perawatan pada Craniospinal Irradiation (CSI) diperlukan untuk beberapa jenis
tumor pada orang dewasa atau anak-anak untuk pengobatan kuratif atau palliatif. Pada teknik
konvensional yang dibutuhkan untuk persimpangan antara cranium dan vertebrate, di mana
risiko pemberian radiasi optimal akan menjadi berlebih, terutama dengan jadwal kemoterapi
- radiasi. Selain itu, sangat penting untuk mencakup PTV secara optimal, akan tetapi
penggunaan Teknik konvensional rentan terjadinya margin yang menyimpang (misalnya
pada cribriform plate, posterior fossa) (7).
Craniospinal Irradiation (CSI) memiliki tingkat kesulitan pada pemilihan teknik,
akan tetapi dapat diatasi dengan penggunaan teknologi yang lebih baru yang telah tersedia
pada dekade terakhir ini. Tujuan dari CSI untuk memberikan dosis terapi yang homogen (8).
Penggunaan CT simulator memungkinkan peningkatan target lokalisasi dan definisi geometri
block sekaligus secara signifikan mengurangi waktu simulasi perawatan yang berlangsung
(9).
Teknik berbasis LINAC canggih yang terbaru, seperti Rapid Arc atau VMAT
(Volumetric Modulated Arc Therapy), mungkin menjadi solusi yang lebih menguntungkan
untuk perawatan pasien Craniospinal Irradiation yang lebih aman dan lebih akurat dari pada

9
dengan Radioterapi konvensional. Teknik ini harus mampu memastikan kemungkinan untuk
mengurangi ketidakpastian geometri serta untuk mengurangi dosis integral, sementara
mampu memberikan Radioterapi conformal yang optimal(7). Proses perencanaan Rapid Arc
untuk iradiasi craniospinal telah dilaksanakan dengan peningkatan yang signifikan mampu
mencapai distribusi dosis pada kesesuaian, homogenitas, kelayakan dan efisiensi dengan
dosis kecil ke jaringan normal di sekitarnya (8)(10)(11)(12)(13).
Selama pasien menjalani proses radiasi perlu dilakukan verifikasi. Verifikasi
merupakan salah satu komponen penting dalam proses radioterapi. Dengan melakukan
verifikasi dapat diketahui besar variasi ketika set-up dilakukan (14)(15) dan menimimalkan
terjadinya kesalahan lapangan (set up error) (16). Selain itu, imobilisasi pasien perlu
dilakukan untuk re-position yang tepat dan fiksasi yang tepat (17)(18) karenanya untuk target
lokalisasi, terutama untuk target yang panjang pada Craniospinal Irradiation (13).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vijayaprabhu Neelakandan, S. Sherly
Christy dan Ashutosh Mukherji, K. Sathyanarayana Reddy pada tahun 2018 dengan hasil
penelitian yaitu Teknik Rapid Arc cocok untuk merencanakan target volume yang berbentuk
kompleks, menghindari persimpangan, pencocokan lapangan, dan abutment dosimetri,
dengan metode dan material pada perawatan iradiasi craniospinal menggunakan Teknik
Rapid Arc dengan double fiksasi yaitu Vac Lock dan masker thermoplastic. Dan berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Andrej Strojnik, Ignasi Mendez, dan Primoz Peterlin pada
tahun 2016 dengan hasil penelitian yaitu iradiasi craniospinal mengunakan teknik VMAT
menghasilkan dosis yang diinginkan dari dua bidang yang dilakukan penyinaran dan
meminimalkan ketergantungan dosimetri pada kesalahan posisi dalam pengaturan pasien.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Analisis Efektifitas Double Fiksasi Pada Kasus Craniospinal Teknik
Rapid Arc Terhadap Verifikasi Geometri Menggunakan On Board Imager”.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini bersifat Analitik Kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di
Departemen Radioterapi MRCCC Siloam Hospitals Semanggi pada bulan Februari - April
2020. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dengan klinis craniospinal yang
menggunakan double fiksasi dengan teknik Rapid Arc dan verifikasi On Board Imager dalam

10
pemeriksaannya. Sampel penelitian ini menggunakan data sekunder yang merupakan hasil
verifikasi menggunakan On Board Imager (OBI) yang dapat dilihat di Software ARIA.
Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 2 pasien karena untuk melihat perbandingan.
Untuk definisi operasional variabel berupa verifikasi untuk akurasi nilai titik
koordinat X, Y dan Z saat planning dengan sesudah dilakukan treatment dengan alat ukurnya
On Board Imager, pergeseran nilai verifikasi untuk pergeseran nilai koordinat X, Y dan Z
yang terjadi pada setiap kali dilakukan penyinaran dengan alat ukurnya On Board Imager
dan penyimpangan pada lapangan radiasi untuk mengetahui nilai penyimpangan titik
koordinat X, Y dan Z pada setiap kali dilakukan penyinaran dengan alat ukur berupa lembar
kerja.
Metode analisis data dengan cara menghitung nilai rata – rata pergeseran posisi pasien
pada titik koordinat X, Y dan Z di daerah brain, thoracal dan lumbal pada setiap fraksi. Hasil
perhitungan tersebut akan dievaluasi dengan nilai toleransi yang direkomendasikan oleh
ICRU Report 50 dan 62. Kemudian data - data tersebut akan diolah berdasarkan
pengelompokkan daerah brain, thoracal dan lumbal menggunakan uji normalitas kemudian
diuji secara statistik menggunakan pengujian hipotesis Uji Kruskal Wallis dengan cara
mengelompokkan berdasarkan organ pada titik koordinat X, Y dan Z. Setelah itu akan
diketahui hasil hipotesis dan nilai rata - rata pergeseran pada daerah brain, thoracal dan
lumbal yang terjadi setelah dilakukan verifikasi lapangan penyinaran yang didapatkan dalam
batas nilai toleransi pergeseran atau tidak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Double fiksasi digunakan pada kasus craniospinal karena organ yang panjang
meliputi daerah brain, thoracal dan lumbal sehingga mampu meminimalisir pergerakan
posisi walaupun pergeseran akan tetap terjadi karena banyak faktor penyebab. Efektif
tidaknya suatu alat fiksasi dapat diketahui dari seberapa besar pergeseran yang terjadi,
menggunakan single fiksasi atau double fiksasi merupakan pemilihan yang disesuaikan
dengan kondisi pasien. Secara umum pasien dengan kasus craniospinal hanya menggunakan
single fiksasi yaitu masker thermoplastic head and neck. Akan tetapi, pada pasien dengan
kasus craniospinal dipenelitian ini kurang kooperatif dan daerah penyinaran yang cukup luas

11
karena mencakup keseluruhan tulang belakang sehingga pemilihan menggunakan double
fiksasi agar distribusi dosis yang diterima oleh pasien optimal karena posisi yang tepat.
Verifikasi dilakukan setiap hari untuk meniminalisir penyimpangan pergeseran posisi
pasien dengan nilai yang besar. Pasien diverifikasi menggunakan double fiksasi yaitu masker
thermoplastic brain dan vacuum bag. Dengan hasil yang diperoleh berupa rata – rata couch
position pergeseran pasien kemudian akan dievaluasi dengan standar toleransi yang
direkomendasikan oleh ICRU Report 50 dan ICRU Report 62 yaitu sebesar 3 sampai 5 mm.
Ketika dilakukan set-up pasien terdapat titik koordinat X, Y dan Z yang digunakan sebagai
acuan arah pergeseran pada couch.

Gambar 1. Imobilisasi Pasien menggunakan masker thermoplastic brain dan vacuum bag
Hasil Rata – rata 2 sample pergeseran posisi pasien dititik koordinat X, Y dan Z daerah
brain, thoracal dan lumbal pada fraksi 1 s.d 19 adalah sebagai berikut:

Rata - rata Pergeseran Posisi Daerah Brain


Rata - rata Pergeseran (cm)

0,5

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Fraksi Penyinaran (Hari)

Couch Vertikal (Z) Couch Longitudinal (Y)


Couch Lateral (X)

Gambar 2. Grafik Hasil Rata – rata pergeseran posisi pasien daerah Brain

12
Berdasarkan gambar 2 yang menunjukkan grafik hasil rata – rata pergeseran posisi
pasien daerah brain pada 19 fraksi penyinaran. Dilihat pada gambaran grafik untuk titik
koordinat Z melewati batas nilai toleransi yaitu 0,5 cm pada hari ke 16 dan 17. Pada titik
koordinat Y melewati nilai batas toleransi yaitu 0,5 cm pada hari ke 15 dan ke 19. Untuk hari
lainnya selain hari ke 5 cukup konstan pergeserannya dan tidak jauh melewati batas nilai
toleransi. Dan pada titik koordinat X pergeseran posisi cukup konstan dan tidak ada yang
melewati batas nilai toleransi.

Rata - rata Pergeseran Posisi Daerah Thoracal


2
Rata - rata Pergseran (cm)

1,5
1
0,5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Fraksi Penyinaran (Hari)

Couch Vertikal (Z) Couch Longitudinal (Y) Couch Lateral (X)

Gambar 3. Grafik Hasil Rata – rata pergeseran posisi pasien daerah Thoracal

Berdasarkan gambar 3 yang menunjukkan grafik hasil rata – rata pergeseran posisi
pasien daerah thoracal pada 19 fraksi penyinaran. Dilihat pada gambaran grafik untuk titik
koordinat Z hampir melewati batas nilai toleransi pada hari ke 5 s.d 10 dan untuk hari lainnya
tidak ada pergeseran yang melewati batas nilai toleransi, sedangkan pada titik koordinat Y
hampir melewati nilai batas toleransi yaitu 0, 5 cm pada hari ke 1 dan 7 serta hari ke 5 s.d 17
dan hari ke 14, 16 s.d 19. Dan untuk titik koordinat X ada beberapa hari pergeseran posisi
pasien yang melewati batas nilai toleransi yaitu 0,5 cm pada hari ke ke 5 s.d 17.

13
Rata - rata Pergeseran Posisi Daerah Lumbal
2,5

Rata - rata Pergeseran ( cm)


2
1,5
1
0,5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Fraksi Penyinaran (Hari)

Couch Vertikal (Z) Couch Longitudinal (Y) Couch Lateral (X)

Gambar 4. Grafik Hasil Rata – rata pergeseran posisi pasien daerah Lumbal

Berdasarkan gambar 4 yang menunjukkan grafik hasil rata – rata pergeseran posisi
pasien daerah lumbal pada 19 fraksi penyinaran. Dilihat pada gambaran grafik untuk titik
koordinat Z ada yang melewati batas nilai toleransi 0,5 cm pada hari ke 3, 7, 9 dan 16 akan
tetapi hari lainnya pergeseran posisi cukup konstan, sedangkan pada titik koordinat Y
melewati nilai batas toleransi yaitu 0, 5 cm yang cukup jauh pada hari ke 4, 8 dan 9 dan juga
pada hari ke 12 s.d 14 serta hari ke 16 s.d 18. Untuk titik koordinat X hampir semua hari
mengalami pergeseran posisi pasien yang melewati batas nilai toleransi yaitu 0,5 cm kecuali
pada hari ke 14.
Dari hasil rata – rata pergeseran posisi pasien harian tersebut pada titik koordinat X,
Y dan Z pernah mengalami pergeseran diatas batas nilai toleransi yaitu 0,5 cm yang
direkomendasikan oleh ICRU Report 50 dan ICRU Report 62 terutama daerah thoracal dan
lumbal dititik koordinat X (Couch Lateral).
Uji statistik Uji Kruskall Wallis untuk pengambilan keputusan ini dapat diperoleh
dari perbandingan nilai signifikansi (Sig.) dengan tingkat kepercayaan 95% sehingga
didapatkan nilai 𝜌 value sebesar 0.05. Jika nilai Sig. < 0.05 maka Ho ditolak dan jika nilai
Sig. > 0.05 maka Ho diterima.

14
Tabel 1. Hasil Uji Statistik Uji Kruskal Wallis
Test Statistic a,b
Couch_Vertika Couch_Longitudin Couch_Lateral
l_Z al_Y _X
Chi Square .241 1.195 10.075
df 2 2 2
Asymp.Sig .886 .550 .006
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping variable: Organ

Pada table 1 menunjukkan pergeseran posisi daerah brain, thoracal dan lumbal
sehingga didapatkan nilai 𝜌 value atau nilai Signifikansi (Sig.) pada keseluruhan titik
koordinat Z adalah 0,886. Pada keseluruhan titik koordinat Y didapatkan nilai 𝜌 value atau
nilai Signifikansi (Sig.) adalah 0,550. Pada keseluruhan titik koordinat X didapatkan nilai 𝜌
value atau nilai Signifikansi (Sig.) adalah 0,006. Dengan demikian untuk titik koordinat Z
dan Y nilai Sig. > 0,05 yang menandakan bahwa tidak terjadi pergeseran lapangan penyinaran
yang signifikan dititik koordinat Z dan Y sedangkan pada titik koordinat X nilai Sig. < 0,05
yang menandakan bahwa terjadi pergeseran lapangan penyinaran yang signifikan dititik
koordinat X pada daerah brain, thoracal dan lumbal.
Tabel 2. Data Frekuensi hasil verifikasi pergeseran posisi 2 sample yang melebihi batas
nilai toleransi
Titik Koordinat Brain Thoracal Lumbal Total
Vertikal (Z) 2 1 5 8
Longitudinal (Y) 4 7 9 20
Lateral (X) 0 13 18 31

Berdasarkan tabel 2 yang merupakan data frekuensi hasil verifikasi pergeseran posisi
2 sample yang melebihi batas nilai toleransi, titik koordinat yang paling banyak mengalami
pergeseran melebihi nilai toleransi dari 19 fraksi di daerah brain, thoracal dan lumbal adalah
titik koordinat X (Couch Lateral) pada daerah lumbal sebanyak 18 fraksi dan pada daerah
thoracal sebanyak 13 fraksi serta dititik koordinat Y (Couch Longitudinal) pada daerah
lumbal sebanyak 9 fraksi. Dan yang paling sedikit mengalami pergeseran melebihi nilai
toleransi yaitu sebanyak 0 fraksi adalah titik koordinat X (Couch lateral) daerah brain.
Secara keseluruhan, total fraksi yang melebihi nilai toleransi pada titik koordinat X yaitu 31

15
fraksi dengan presentase 52,6%, pada titik koordinat Y yaitu 20 fraksi dengan presentase
33,8% dan pada titik koordinat Z yaitu 8 fraksi dengan presentase 13,6%.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pergeseran posisi pasien pada titik koordinat X,
Y dan Z pada saat proses treatment disebabkan karena kemungkinan adanya pergerakan
pasien setelah dilakukannya set – up positioning, pasien yang kurang kooperatif, kesalahan
pada laser di ruang treatment antara laser satu dengan laser lainnya, hilangnya tanda atau
berubahnya tanda sentrasi pada tubuh pasien, adanya perubahan berat badan pasien, kurang
pasnya cetakan di vacum bag ketika di CT – Simulator dan pada vacum bag tidak ada kuncian
seperti pada masker thermoplastic. Dan juga pergeseran lapangan yang terjadi di Rumah
Sakit biasanya pergeseran lapangan ke lapangan lain dilakukan dari ruang operator, ini yang
membuat hasil yang tidak tepat pada On Board Imager, hal tersebut dilakukan karena untuk
efisiensi waktu. Untuk pasien dengan klinis craniospinal yang kebanyakan pasiennya adalah
anak – anak, pergeseran posisi yang berubah jauh kemungkinan yang terjadi adalah
pergerakan tubuh pasien karena pasien merasa sakit atau nyeri menjadikan set-up kurang
optimal dan juga pasien harus dalam posisi supine tidak diperbolehkan bergerak dan cukup
lama karena ada 3 titik daerah penyinaran yaitu brain, thoracal dan lumbal.
Dengan demikian, penggunaan double fiksasi yaitu masker thermoplastic dan blue
bag pada klinis craniospinal terhadap verifikasi geometri sudah cukup baik dalam
meminimalisir pergerakan posisi pasien. Jika terjadi pergeseran masih dalam batas toleransi
dan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti human error, adanya perubahan berat
badan pasien, pasien merasa sakit atau nyeri menjadikan set-up kurang optimal.
KESIMPULAN
Hasil evaluasi nilai rata – rata keseluruhan fraksi pada daerah brain, thoracal dan
lumbal menunjukkan total fraksi yang melebihi nilai toleransi pada titik koordinat X yaitu 31
fraksi dengan presentase 52,6%, pada titik koordinat Y yaitu 20 fraksi dengan presentase
33,8% dan pada titik koordinat Z yaitu 8 fraksi dengan presentase 13,6%. Dan hasil analisis
berdasarkan hasil Uji Statistik Uji Kruskal Wallis pada titik koordinat X terjadi pergeseran
lapangan radiasi yang signifikan pada pasien dengan klinis cranisopianl menggunakan
double fiksasi. Berdasarkan 2 uji tersebut sehingga titik koordinat X pada daerah brain,

16
thoracal dan lumbal memiliki angka pergeseran yang melebihi standar toleransi berdasarkan
ICRU Report 50 dan 62.
DAFTAR PUSTAKA
1. IARC. Press Release N° 263. 2018;(September):13–5. Available from:
http://gco.iarc.fr/,
2. World Health Organization. Indonesia Source GLOBOCAN 2018. Int Agency Res
Cancer [Internet]. 2019;256:1–2. Available from: http://gco.iarc.fr/
3. Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. Cancer Therapy with Radiation:
The Basic Concept of Radiotherapy and Its Development in Indonesia. Indones J Clin
Pharm. 2017;6(4):311–20.
4. Indonesian T, Oncology R. Radioterapi. 2012;3(2):36–72.
5. Hospital BC. PATIENT Radiotherapy planning. 2015;(5).
6. Pichandi A, Ganesh KM, Jerrin A, Balaji K, Sridhar PS, Surega A. Cranio spinal
irradiation of medulloblastoma using high precision techniques – A dosimetric
comparison. Technol Cancer Res Treat. 2015;14(4):491–6.
7. Fogliata A, Bergström S, Cafaro I, Clivio A, Cozzi L, Dipasquale G, et al. Cranio-
spinal irradiation with volumetric modulated arc therapy: A multi-institutional
treatment experience. Radiother Oncol. 2011;99(1):79–85.
8. Mahajan A, Paulino A. Radiation oncology for pediatric CNS tumors. Radiation
Oncology for Pediatric CNS Tumors. 2017. 1–639 p.
9. Parker WA, Freeman CR. A simple technique for craniospinal radiotherapy in the
supine position. Radiother Oncol. 2006;78(2):217–22.
10. Lliso F, Carmona V, Gimeno J, Ibañez B, Bautista J, Bonaque J, et al. EP-1538:
VMAT craniospinal radiotherapy, planning strategy and results in twenty pediatric
and adult patients. Radiother Oncol [Internet]. 2017;123:S826–7. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0167-8140(17)31973-4
11. AbstractID : 13462 Title : Pediatric Craniospinal Irradiation with RapidArc : A
Feasibility Study and Dosimetric Comparison. :13462.
12. Chen J, Chen C, Atwood TF, Gibbs IC, Soltys SG, Fasola C, et al. Volumetric
modulated arc therapy planning method for supine craniospinal irradiation. J Radiat
Oncol. 2012;1(3):291–7.
13. Li Q, Gu W, Mu J, Yin W, Gao M, Mo J, et al. Collimator Rotation In Volumetric
Modulated Arc Therapy For Craniospinal Irradiation And The Dose Distribution In
The Beam Junction Region. Radiat Oncol [Internet]. 2015;10(1):1–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1186/s13014-015-0544-z
14. Yogyakarta SH. ISSN 2356-301X Verifikasi Geometri Pada Teknik 3d Konformal
Radioterapi Dengan Kasus Kanker Nasofaring Di Unit Radioterapi Instalasi Radiologi
Rsup Dr . Sardjito Yogyakarta Verification Of Geometry On 3d Conformal
Radiotherapy Technique With Nasopharingea. 2017;4(1):35–40.
15. Adam F, A. SG. Kanker Kepala Dan Leher Di Departemen Radioterapi RSCM Faisal
Adam , Soehartati A . Gondhowiardjo Abstrak / Abstract Informasi Artikel.
2014;5(1):1–8.
16. Khatamsi HA, Indrati R, Murniati E. Karsinoma Nasofaring Di Unit Radioterapi

17
Instalasi Radiologi Rsup Dr . Sardjito Yogyakarta Treatment Of Radiotheraphy
Monoisocentric Technique In Cases Of Nashopharangeal Cancer At Unit
Radiotheraphy Installation Radiology Rsup Dr . Sardjito Hafsi : Tata. 2017;4(1):1–9.
17. Jakobsen A, Iversen P, Gadeberg C, Lindberg Hansen J, Hjelm-Hansen M. A new
system for patient fixation in radiotherapy. Radiother Oncol. 1987;8(2):145–51.
18. Policy TM. Model Policies. 2019;

18
PENGGUNAAN BLUEBAG SEBAGAI ALAT IMMOBILISASI PADA TERAPI
RADIASI EKSTERNA SOFT TISSUE SARCOMA ANTEBRACHII
DI SANTOSA HOSPITAL BANDUNG KOPO

Yosephene Theresia Siregar1), Arif Jauhari1), Samsun1), dan Ferry2)


1)
Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II,Jakarta, 12120
2)
Instalasi Radioterapi Santosa Hospital Bandung Kopo, Bandung, 40224.

Koresponden : yosephinechaa@gmail.com

Abstrak
Imobilisasi adalah alat bantu positioning radiasi yang bertujuan untuk meminimalisir pergerakan tubuh pasien
selama dilakukan prosedur penyinaran tanpa mengurangi keamanan dan kenyamanan. Antebrachii adalah organ
yang mudah bergerak, baik berpindah posisi maupun berotasi maka diperlukanlah alat immobilisasi.
Penggunaan alat immobilisasi bluebag, dapat berperan dalam menjaga kenyamanan dan ketepatan posisi pasien
pada soft tissue sarcoma antebrachii yang dinilai masih jarang ditemui. Tujuan dilakukannya penelitian ini ialah
mendeskripsikan penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi pada terapi radiasi eksterna soft tissue sarcoma
antebrachii di Santosa Hospital Bandung Kopo. Metode penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan satu
sampel data primer pada bulan Maret 2020 dengan immobilisasi bluebag pada terapi radiasi eksterna soft tissue
sarcoma antebrachii. Metode pengumpulan datanya adalah observasi, dokumentasi, dan diskusi. Peran bluebag
sebagai alat immobilisasi sangat membantu dalam menjaga kenyamanan dan ketepatan posisi pasien selama
simulasi dan penyinaran. Dalam menjaga kenyamanan, pasien merasa lebih nyaman dan higienis serta proses
pencetakan yang lebih mudah merupakan kelebihan penggunaan bluebag. Adapun kekurangannya antara lain
positioning pasien yang memakan waktu 3 hingga 5 kali lebih lama dan beresiko tinggi dilakukan pencetakan
ulang. Selain itu, bluebag dapat menjaga ketepatan posisi pasien selama penyinaran dilihat dari hasil verifikasi
yang menunjukkan adanya pergeseran sebesar 0,1mm pada sumbu vertikal dan 0,2mm pada sumbu longitudinal
selama 30 fraksi. Adapun didapat pergeseran sumbu lateral yang dinilai jauh lebih besar yakni 7,2mm terjadi
karena beberapa hal, seperti peletakkan objek yang tidak pas dan perubahan volume objek. Namun dengan
adanya verifikasi pergeseran letak objek tersebut dapat ditangani. Penggunaan bluebag sebagai alat
immobilisasi pada soft tissue sarcoma antebrachii memiliki kekurangan dan kerugiaannya masing-masing.
Namun sejauh ini kelebihan dan ketersediaan alat immobilisasi membuat penggunaan bluebag masih digunakan
daripada harus memodifikasi masker thermoplastic. Hal yang harus tetap diperhatikan ialah kenyamanan
pasien. Seiring dengan berkembangnya bentuk bluebag, penggunaannya dapat digunakan sebagai alat
immobilisasi pada organ lainnya.

Kata Kunci: Immobilisasi, Bluebag, Soft Tissue Sarcoma Antebrachi

PENDAHULUAN
Antebrachii adalah salah satu tulang yang termasuk dalam ekstremitas tubuh bagian
atas yang terdiri dari dua tulang, yaitu os.ulna dan os.radius (1). Antebrachii adalah organ
yang mudah bergerak, baik berpindah posisi ataupun berotasi. Oleh karena itu, immobilisasi
merupakan suatu keharusan dalam terapi radiasi eksterna pada antebrachii.

19
Imobilisasi adalah alat bantu positioning yang bertujuan untuk meminimalisir
pergerakan tubuh pasien selama dilakukan prosedur penyinaran tanpa mengurangi keamanan
dan kenyamanan (2). Jika terjadi pergerakan saat penyinaran maka perhitungan dosis yang
telah direncanakan oleh fisikawan medis mengalami perubahan sehingga dosis radiasi yang
direncanakan tidak tercapai secara optimal pada target saat pemberian dosis radiasi (3).
Soft Tissue Sarcoma adalah sarkoma pada jaringan lunak yang sangat jarang ditemui
dan dapat terjadi dibagian tubuh mana saja, tetapi sebagian besar dapat ditemukan di
ekstremitas sebanyak 60% dengan presentase 45% di ekstremitas bawah dan 15% di
ekstremitas atas, batang tubuh 15% hingga 20%, retroperitoneum 10% hingga 15%, dan
kepala dan leher 9% (4,5).
Soft Tissue Sarcoma memiliki presentasi kurang dari 1% dari dari semua kanker yang
didiagnosis di Inggris. Mereka memiliki insiden age-standardized 45 juta per tahun seperti
yang dilaporkan dari data 2010. Ini telah meningkat dari waktu ke waktu dari kejadian 39 per
juta per tahun pada tahun 1996. Pada tahun 2010, ada 3298 kasus baru Soft Tissue Sarcoma
yang didiagnosis di Inggris, dengan presentase perbandingan 51% pria dan 49% wanita.
Kejadian tahunan Soft Tissue Sarcoma secara konsisten lebih tinggi pada pria daripada
wanita, walaupun perbedaan ini jarang signifikan secara statistik (6).
Secara umum, soft tissue sarcoma dapat diobati dengan berbagai macam cara
pengobatan, antara lain: operasi, radioterapi, brakhiterapi, maupun kemoterapi (4,7).
Radioterapi adalah salah satu pilihan dalam pengobatan soft tissue sarcoma yang
menggunakan sinar pengion untuk menghancurkan sel kanker atau menyebabkan perubahan
genetik yang mengakibatkan kematian sel kanker. Meskipun begitu, radioterapi memiliki
prinsip memaksimalkan dosis radiasi untuk sel kanker dan meminimalkan dosis pada sel
normal yang berdekatan dengan sel kanker (8). Radioterapi dapat digunakan baik sebelum
maupun sesudah pembedahan dengan pertimbangan tertentu (9).
National Cancer Institute (NCI) melakukan penelitian acak prospektif tentang tentang
peran External Beam Radiotherapy (EBRT) pascaoperasi setelah reseksi Limbsparing dan
membuktikan bahwa radioterapi dapat digunakan sebagai metode untuk meningkatkan
fungsional dengan menghindari amputasi pada pasien yang memiliki Extremity Soft Tissue
Sarcoma. Hasilnya terjadi kekambuhan pada 6 dari 19 pasien yang tidak menerima

20
radioterapi dan 1 dari 22 pasien yang menerima radioterapi. Dalam beberapa penelitian,
faktor seperti usia tampaknya mempengaruhi tingkat kekambuhan lokal (4).
Pengobatan radioterapi dilakukan dalam jangka waktu yang lama sehingga
memerlukan presisi yang sangat tinggi, ditambah mudahnya antebrachii bergerak
mengharuskan penggunaan alat immobilisasi agar pasien selalu dalam posisi yang tepat dan
akurat dalam setiap penyinaran (2,10,11). Ada beberapa alat immobilisasi yang dapat
digunakan, contohnya bodyfix atau kantong vakum (bluebag), masker thermoplastic, dan
bolus (2,10). Selain untuk meminimalkan pergerakan pasien, alat immobilisasi ini juga
diharapkan dapat mendukung kenyamanan pasien selama proses terapi radiasi (11).
Berdasarkan pengamatan penulis selama praktek, terapi radiasi eksterna soft tissue
sarcoma dapat dilakukan dengan berbagai macam variasi, menggunakan energi foton
maupun elektron serta variasi alat immobilisasi yang digunakan beberapa rumah sakit. Di
Santosa Hospital Bandung Kopo, penulis menemukan penggunaan bluebag sebagai alat
immobilisasi pada klinis soft tissue sarcoma antebrachii. Penggunaan alat immobilisasi yang
berbeda membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai penyinaran
radioterapi pada soft tissue sarcoma, mengingat kanker tersebut dikatakan jarang dijumpai
sehingga dapat menjadi pelajaran baru untuk penulis dan pembaca.
Berdasarkan pada uraian diatas, penulis menetapkan rumusan masalah yang akan
dibahas lebih rinci, yaitu bagaimana penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi pada
terapi radiasi eksterna soft tissue sarcoma antebrachii di Santosa Hospital Bandung Kopo,
sehingga tujuan dari artikel ini ialah mendeskripsikan penggunaan bluebag sebagai alat
immobilisasi pada terapi radiasi eksterna soft tissue sarcoma antebrachii di Santosa Hospital
Bandung Kopo, mulai dari alat dan bahan yang digunakan, prosedur pencetakkan bluebag,
dan peran bluebag sebagai alat immobilisasi.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam artikel ini bersifat deskriptif kualitatif yang
dilakukan secara langsung di Santosa Hospital Bandung Kopo pada bulan Maret 2020.
Penelitian ini akan mendeskripsikan alat dan bahan yang digunakan, prosedur pencetakan
bluebag, peran bluebag sebagai alat immobilisasi pada terapi radiasi eksterna soft tissue
sarcoma antebrachii di Santosa Hospital Bandung Kopo.

21
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan klinis soft tissue sarcoma
antebrachi yang menjalani terapi radiasi eksterna di Instalasi Radioterapi Santosa Hospital
Bandung Kopo. Sampel yang digunakan berjumlah satu (1) sampel data primer dengan
kriteria inklusif yakni, pasien yang menjalani terapi radiasi eksterna di Santosa Hospital
Bandung Kopo, pasien dengan klinis soft tissue sarcoma antebrachii pada bulan Maret, dan
pasien yang telah melakukan CT Simulasi, planning, dan verifikasi di Santosa Hospital
Bandung Kopo. Adapun kriteria ekslusif dari pasien yakni pasien yang melakukan
penyinaran radiasi eksterna soft tissue sarcoma antebrachii dengan alat immobilisasi selain
bluebag.
Metode pengumpulan data yaitu observasi, dokumentasi, dan berdiskusi. Pengolahan
dan analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang akan disajikan
dalam bentuk naratif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan di Santosa Hospital Bandung Kopo pada pasien Ny.M
dengan usia 47 tahun yang menjalani terapi radiasi eksterna dengan klinis soft tissue sarcoma
antebrachii menggunakan alat immobilisasi bluebag yang didapatkan dari hasil observasi,
dokumentasi, dan diskusi, diperolehlah hasil sebagai berikut.
1. Alat dan Bahan
Dalam menunjang peggunaan bluebag sebagai alat imobilisasi terhadap pasien soft
tissue sarcoma antebrachii dextra di Santosa Hospital Bandung Kopo, radioterapis
menyiapkan alat dan bahan yang digunakan. Alat dan bahan yang digunakan adalah bluebag
yang digunakan sebagai alat immobilisasi, bluebag vacuum yang digunakan untuk mencetak
bluebag, bantal putih yang menunjang kenyamanan pasien saat posisi prone, CT Simulator
dengan merk Siemens SOMATOM Emotion eco (16 slices) dengan kondisi maksimum
130kV dan 200mA, serta pesawat Linac produksi perusahaan Varian Medical System, Linac
Varian Clinical IX-SN1057 yang dilengkapi dengan Electronic Portal Imaging Device
(EPID) sebagai alat untuk verifikasi 2D dan Multi Leaf Collimator (MLC) yang berjumlah
60 pasang atau 120 leafs (40 pasang berukuran 1cm dan 20 pasang berukuran 0,5cm), serta
dual energi yakni, energi foton (6MV dan 10MV) dan energi elektron (6MeV, 9MeV,
12MeV, 15MeV, dan 18MeV).

22
Gambar 1 Bluebag, Bluebag Vacum, dan Bantal Putih
(Sumber : Radioterapi Santosa Hospital Bandung Kopo)

Gambar 2 Pesawat, Monitor, dan Control Console Simulator


(Sumber : Radioterapi Santosa Hospital Bandung Kopo)

Gambar 3 Pesawat dan Monitor serta Control Console


(Sumber : Radioterapi Santosa Hospital Bandung Kopo)

2. Prosedur Pencetakan Bluebag


Pencetakan bluebag dilakukan di ruangan CT Simulator tepat sebelum pasien akan
dilakukan CT Simulasi. Proses pencetakan bluebag ini memakan waktu ± 15 menit. Sebelum
melakukan prosedur pencetakan radioterapis mempersiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan dalam proses pencetakan bluebag, seperti bluebag yang belum dicetak, bluebag
vacuum, dan bantal putih..
Jika peralatan sudah siap, posisikan bluebag yang belum dicetak dan bantal putih di
atas couch CT Simulator dan instruksikan pasien untuk prone head first dengan posisi dada
diatas bantal putih dan antebrachii yang akan disinar dipertengahan bluebag. Pastikan
kembali bahwa pasien sudah berada dalam posisi yang nyaman untuk menghindari
pergerakan saat dilakukannya pencetakan bluebag.

23
Jika antebrachii yang akan disinar sudah berada dipertengahan bluebag dan pasien
sudah dalam posisi yang nyaman, cetak bluebag hingga membentuk kontur antebrachii
dengan bluebag vacuum. Apabila bluebag dinilai sudah cukup keras dan padat sehingga tidak
dapat berubah bentuk, matikan bluebag vacuum dan bluebag pun sudah selesai dicetak.

Gambar 4 Alat Immobilisasi dan Posisi Pasien Saat Pencetakan Bluebag


(Sumber: Radioterapi Santosa Hospital Bandung Kopo)

3. Peran Bluebag Pada Terapi Radiasi Eksterna Soft Tissue Sarcoma Antebrachii
Penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi saat prosedur terapi radiasi eksterna soft
tissue sarcoma antebrachii sangatlah membantu untuk menjaga pergerakan pasien selama
simulasi dan penyinaran. Peran penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi ini juga dapat
dinilai dari kenyamanan pasien dan ketepatan posisi.
a. Kenyamanan Pasien
Setiap penggunaan alat immobilisasi harus tetap memperhatikan hal kenyamanan
pasien pada saat simulasi dan penyinaran. Penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi
pada soft tissue sarcoma antebrachii tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Adapun kelebihan yang didapatkan antara lain pasien merasa lebih nyaman, apalagi
untuk pasien yang memiliki luka lecet dipermukaan kulitnya. Akan sangat mengganggu
kenyamanan jika menggunakan alat immobilisasi lain seperti masker thermoplastic yang
dapat menekan luka tersebut. Bluebag juga dinilai lebih higienis karena alat yang digunakan
khusus untuk satu pasien dan tidak dapat digunakan oleh pasien lain, dan lebih gampang
dibentuk dibandingkan jika menggunakan masker thermoplastic yang harus dimodifikasi.
Selain kelebihan, ada beberapa kekurangan pada saat penggunaan bluebag sebagai alat
immobilisasi soft tissue sarcoma antebrachii yaitu memakan waktu yang lebih lama untuk
positioning pasien, jika satu pasien biasanya memakan waktu 3 menit, dengan bluebag
postioning pasien dapat memakan waktu 10 hingga 15 menit karena posisinya yang harus

24
tepat, dan bluebag hanya membentuk bagian bawah saja dibandingkan dengan masker
thermoplastic yang dapat menutupi bagian atas hingga bagian bawah objek sehingga dapat
meminimalkan pergerakan secara maksimal. Jika tidak disimpan dengan benar, bentuk
bluebag dapat berubah dan begitu juga seiring berjalannya waktu jika sudah tidak padat harus
dicetak ulang dan hal ini mengharuskan simulasi serta perencanaan radiasi ulang.
b. Ketepatan Posisi
Selain menjaga kenyamanan pasien, penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi
juga diharapkan menjaga ketepatan posisi saat dilakukannya penyinaran. Untuk menilai
ketepatan posisi pasien ini dilakukannya verifikasi dengan tujuan untuk memastikan bahwa
posisi pasien sebelum radiasi sama dengan posisi pasien saat perencanaan radiasi sehingga
radiasi dapat diberikan secara akurat.
Berikut didapat hasil verifikasi pada penyinaran pertama, kesepuluh, dan keduapuluh
mengenai pergeseran area radiasi pada posisi lateral, vertikal, dan longitudinal pasien.
Didapat pula rata-rata selisih pergeseran lateral, vertikal, dan longitudinal pada pasien,
sebagai berikut :
Tabel 1 Hasil Rerata Verifikasi Pasien

Setelah Verifikasi Selisih Rata-


Pergeseran
Posisi Rata
di TPS 1 10 20 1 2 3 Selisih
Lateral 998,1 990,9 993,7 988,1 7,2 4,4 10,0 7,2
Vertikal 4,4 4,5 4,2 4,4 0,1 0,2 0,0 0,1
Longitudinal 96,6 96,4 96,9 96,5 0,2 0,3 0,1 0,2

Pada tabel 4.1 terlihat hasil verifikasi lateral, vertikal, dan longitudinal pada pasien.
Verfikasi dilakukan pada penyinaran pertama, kesepuluh, dan keduapuluh guna menjaga
ketepatan posisi pasien. Dapat kita lihat dengan penggunaan bluebag sebagai alat
immobilisasi pada soft tissue sarcoma antebrachii menunjukan sedikitnya pegerseran yang
terjadi pada saat verifikasi ditunjukan dengan rata-rata selisih pergeseran pada sumbu
vertikal 0,1mm dan sumbu longitudinal 0,2mm. Hal ini membuktikan bluebag dapat menjaga
posisi antebrachii pada awal hingga akhir penyinaran. Adapun didapat pergeseran sumbu
lateral yang dinilai jauh lebih besar pada sumbu lateral, yakni 7,2mm. Hal ini dapat terjadi

25
karena beberapa hal, seperti peletakkan objek yang tidak pas dan perubahan volume objek.
Namun dengan adanya verifikasi pergeseran letak objek tersebut dapat ditangani.
Penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi pada soft tissue sarcoma antebrachii
memiliki kekurangan dan kerugiaannya masing-masing. Selain untuk immobilisasi
antebrachii, perkembangan bentuk bluebag mendukung penggunaan bluebag sebagai alat
immobilisasi pada organ lainnya seperti untuk fiksasi kanker prostat, kanker paru, dan
lainnya. Namun sejauh ini kelebihan dan ketersediaan alat membuat penggunaan bluebag
masih digunakan sebagai alat fiksasi antebrachii daripada harus memodifikasi masker
thermoplastic.
KESIMPULAN
Penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi pada soft tissue sarcoma antebrachii di
Santosa Hospital Bandung Kopo pada dasarnya tidak berbeda dengan penggunaan alat
immobilisasi pada ekstremitas pada umumnya dimana alat immobilisasi digunakan untuk
meminimalisir pergerakan tubuh pasien saat dilakukannya penyinaran sehingga dosis radiasi
yang telah ditentukan oleh fisikawan medis sesuai dengan dosis yang diterima oleh target.
Pencetakan bluebag sebagai alat immobilisasi pada terapi radiasi eksterna soft tissue
sarcoma antebrachii di Santosa Hospital Bandung Kopo dilakukan di ruang CT Simulator
sebelum pasien melakukan simulasi dengan bantuan bluebag vacuum untuk memompa
maupun menghisap udara yang ada di dalam bluebag hingga membentuk objek dengan
memakan waktu ± 15 menit.
Peran bluebag sebagai alat immobilisasi pada terapi radiasi eksterna soft tissue
sarcoma antebrachii sangatlah membantu untuk menjaga pergerakan pasien baik pada saat
simulasi maupun penyinaran. Penggunaan bluebag memiliki peran untuk menjaga
kenyamanan dan ketepatan posisi pasien saat prosedur terapi radiasi eksterna dilakukan.
Penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi pada soft tissue sarcoma antebrachii memiliki
kekurangan dan kerugiaannya masing-masing. Namun sejauh ini kelebihan dan ketersediaan
alat immobilisasi membuat penggunaan bluebag masih digunakan daripada harus
memodifikasi masker thermoplastic.
Hal yang tetap harus diperhatikan ialah kenyamanan pasien dan ketepatan posisi
pasien. Jika pasien dalam posisi nyaman, maka akan mengurangi pergerakan pasien sehingga

26
radiasi tepat mengenai target. Selain untuk immobilisasi antebrachii, perkembangan bentuk
bluebag juga mendukung penggunaan bluebag sebagai alat immobilisasi pada organ lainnya
seperti untuk fiksasi kanker prostat, kanker paru, dan lainnya.
Diperlukan perhatian khusus terhadap alat immobilisasi yang digunakan pada pasien
soft tissue sarcoma antebrachii pada saat penyimpanan maupun peletakannya agar tidak
mengubah bentuk sehingga penggunaanya sesuai dengan kenyamanan pasien dan dapat
meminimalisir pergeseran yang terjadi pada saat penyinaran radiasi. Pastikan posisi objek
dan keadaan bluebag selalu dalam keadaan baik dan tepat. Jika bluebag dinilai mulai lentur,
pemadatan kembali perlu dipertimbangkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga atas dukungannya, Jurusan Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi dibawah institusi Poltekkes Kemenkes Jakarta II sebagai
lembaga yang menaungi penelitian ini, serta Instalasi Radioterapi Santosa Hospital Bandung
Kopo beserta seluruh staf sebagai tempat penelitian dan teman berdiskusi dalam penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. F.Paulsen;J.Waschke. Sobotta Atlas of Human Anatomy General : Anatomy and
Musculoskletal System. 15th Editi. Paulsen F, Waschke J, editors. Vol. 15th. Edit.
München: Elsevier; 2011. 138 p.
2. Dickie CI, Parent A, Griffin A, Craig T, Catton C, Chung P, et al. A Device and Procedure
for Immobilization of Patients Receiving Limb-Preserving Radiotherapy for Soft Tissue
Sarcoma. Am Assoc Med Dosim. 2009;34(3):243–9.
3. Light KL. Immobilization and Treatment of Patients Receiving Radiation Therapy for
Extremity Soft-Tissue Sarcoma. Am Assoc Med Dosim. 1992;17(3):135–9.
4. Gondhowiardjo S. Peranan Radioterapi Terhadap Soft Tissue Sarcoma (STS) di
Ekstremitas. J Indones Radiat Oncol Soc. 2014;5(January):34–41.
5. Halperin EC, Wazer DE, Perez CA, Brady LW. Principles and Practice of Radiation
Oncology. Seven Edit. Halperin EC, Wazer DE, Perez CA, Brady LW, editors. Vol. 53,
Wolters Kluwer. Philadhelpia, Baltimore, New York, London, Buenps Aires, Hong
Kong, Sydney, Tokyo: Wolters Kluwer; 2019. 7402 p.
6. Beckingsale TB, Shaw C. Epidemiology of Bone and Soft-Tissue Sarcomas. Orthop
Trauma [Internet]. 2017;31(3):144–50. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mporth.2017.03.005
7. Mallick S, Rath GK, Benson R. Practical Radiation Oncology. Mallick S, Rath GK,
Benson R, editors. Practical Radiation Oncology. Singapore: Springer Nature Singapore
Pte Ltd; 2020. 282 p.
8. Baskar R, Lee KA, Yeo R, Yeoh KW. Cancer and radiation therapy: Current advances

27
and future directions. Int J Med Sci. 2012;9(3):193–9.
9. Wirawan S, Gondhowiardjo SA. Peranan Radioterpi Terhadap Soft Tissue Sarcoma
(STS) di Ekstremitas. J Indones Radiat Oncol Soc. 2017;5(December):34–41.
10. Xia P, Godley A, Shah C, Videtic GMM, Suh JH. Strategies for Radiation Therapy
Treatment Planning [Internet]. Xia P, Godley A, Shah C, Videtic GMM, Suh JH, editors.
Strategies for Radiation Therapy Treatment Planning. United States of America: Springer
Publishing Company; 2018. 319 p. Available from: https://lccn.loc.gov/2018021687
11. Brown AM. Adjustable Patient Immobilization System and Method for Patient
Immobilization. United States Pat. 1997;(19):16.

28
COMPUTER-AIDED DETECTION (CAD) IMPLEMENTATION IN THE
PROCESS OF DIAGNOSING PULMONARY TUBERCULOSIS

Giandra Adhifa Rizal1)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, 12120

Koresponden : giandraadhifa@gmail.com

Abstrak
Jumlah penderita Tuberculosis Paru di Indonesia menempati posisi ketiga terbanyak di dunia. Sebanyak
583.000 kasus baru dan 140.000 kasus kematian akibat TB Paru setiap tahun. Pemeriksaan Sputum merupakan
Gold Standar dalam diagnosa TB Paru. Namun, pemeriksaan radiografi Thorax dapat digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang dan deteksi awal TB Paru. Teknologi Computer-Aided Detection (CAD) digunakan
untuk menilai resiko dan kemungkinan seseorang menderita TB Paru dari hasil pemeriksaan radiografi Thorax.
CAD menampilkan gambaran radiografi Thorax dengan temuan ciri-ciri radiologis TB Paru berupa Heatmap
dan nilai dengan rentang 0 – 100. Semakin besar nilai yang ditampilkan, maka resiko dan kemungkinan pasien
menderita TB Paru juga semakin besar.Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan teknologi
Computer-Aided Detection pada proses diagnosa kasus Tuberculosis Paru. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan kualitatif deskriptif menggunakan metode pengumpulan data berupa observasi dan studi
kepustakaan. CAD digunakan bersama dengan sistem Digital Radiography dan dapat melakukan pengolahan
citra CXR secara Online maupun Offline. CAD diharapkan dapat meningkatkan penemuan kasus, pengendalian
infeksi dini, dan penerapan triase. Terdapat beberapa kekurangan teknologi CAD antara lain teknologi ini hanya
dapat digunakan bersama dengan sistem Digital Radiography. Variasi faktor eksposi juga dapat mempengaruhi
hasil pengolahan gambar CXR. Disamping itu, belum ada nilai ambang yang direkomendasikan oleh WHO
sebagai penentu tingkat abnormalitas yang ditunjukkan pada hasil pengolahan citra menggunakan CAD.
Kesimpulan dari penelitian ini adalahh, teknologi Computer-Aided Detection dapat digunakan sebagai salah
satu pemeriksaan awal untuk deteksi awal pada kasus TB Paru secara mudah dan cepat. Namun, dikarena
beberapa kekurangan dan keterbatasan teknologi ini, pendapat klinisi dan pemeriksaan penunjang lain juga
tetap dibutuhkan dalam proses diagnosa TB Paru.

Kata Kunci : Tuberculosis Paru, Compuer-Aided Detection, CAD4TB

PENDAHULUAN
Tuberculosis (TB) Paru merupakan salah satu masalah kesehatan dunia yang telah
menginfeksi sepertiga dari populasi dunia. Sebanyak 9 juta orang terinfeksi, dan 1,5 juta
orang meninggal akibat TB Paru setiap tahunnya. Indonesia merupakan negara ketiga
terbesar untuk penderita TB Paru di dunia dimana kasus ini terjadi sebanyak 130 orang per
100.000 penduduk. Terjadi sebanyak 583.000 kasus baru dan 140.000 kasus kematian akibat
TB Paru setiap tahun. (1)(2)(3)
Tuberculosis Paru diakibatkan oleh infeksi bakteri Myobacterium tuberculosis yang
menyerang saluran nafas. Bakteri ini dapat ditularkan melalui udara dengan transmisi droplet
ketika penderita TB Paru aktif batuk, bersin, maupun berbicara. Terdapat beberapa gejala

29
yang terjadi pada penderita TB Paru antara lain, batuk, demam, berkeringat berlebihan pada
malam hari, dan penurunan berat badan. (1)(4)
Pemeriksaan Sputum (dahak) merupakan Gold Standard dalam mendiagnosa TB
Paru. Uji Xpert MTB/IRF dilakukan untuk mendiagnosis TB Paru pada penderita HIV/AIDS.
Namun, akibat banyaknya jumlah penderita TB Paru, pemeriksaan ini dapat memakan waktu.
Maka dari itu, pemeriksaan radiografi Thorax (CXR) direkomendasikan sebagai pemeriksaan
yang cepat, mudah, dan efektif dalam mengidentifikasi TB Paru tahap awal. (5)(6)(7)
TB Paru primer akan menunjukkan temuan radiologis yang meliputi gambaran
Limfadenopati, Konsolidasi, Efusi Pleura, dan Nodul Milier. Pada TB Paru Postprimary
menunjukkan konsolidasi dominan pada Apeks dan bagian atas paru-paru, adanya Nodul,
dan Kavitasi. (1)
Terdapat perangkat lunak yang dapat digabungkan dengan program Digital
Radiography untuk mendeteksi kelainan radiologis pada CXR yang kompatibel dengan ciri-
ciri TB Paru yang disebut Computer-Aided Detection (CAD). Hasil pemeriksaan CXR
dimasukkan dalam algoritma diagnostik TB. Sistem CAD akan menganalisa karakteristik
gambaran radiografi dan memberikan nilai abnormalitas dengan rentang 0 – 100. Semakin
besar nilai yang dihasilkan, maka kemungkinan TB Paru akan semakin besar. Namun, WHO
belum memberikan nilai batas ambang untuk menyatakan abnormalitas gambaran paru-paru
yang diproses menggunakan CAD. (8)(9)(10)
CAD tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan akurasi diagnostik yang lebih baik,
tapi juga diharapkan dapat memberikan interpretasi gambar radiologi yang konsisten
menggunakan sistem komputer. Output CAD diharapkan dapat membantu Radiolog dalam
menemukan lesi dan sebaran pola abnormalitas pada paru-paru. Pada tahun 2018, perangkat
lunak CAD telah mampu menganalisis CXR dalam waktu kurang dari 15 detik dan dapat
digunakan pada pasien mulai dari usia 4 tahun. (11)(5)
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan
teknologi Computer-Aided Detection (CAD) dalam proses diagnosa Tuberculosis Paru.
Proses evaluasi yang dilakukan antara lain, fungsi, kelebihan dan kekurangan, serta
efektivitas teknologi CAD.

30
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Populasi penelitian
ini adalah pasien yang melakukan pemeriksaan Radiografi Thorax (CXR), dan sampel
penelitian ini adalah hasil pemeriksaan CXR yang diolah menggunakan Software CAD.
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah observasi dan studi
kepustakaan. Data yang telah diperoleh akan diolah dan dianalisis dengan membandingkan
proses observasi terhadap teori dari berbagai sumber.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan proses observasi dan studi kepustakaan, teknologi Computer-Aided
Detection telah diproduksi oleh sebuah perusaan alat kesehatan di Belanda yaitu Delft
Imaging dengan nama produk CAD4TB Software. Dalam penggunaannya, CAD4TB akan
terhubung dengan perangkat Digital Radiography (DR) baik secara Online maupun Offline.
Sistem kerja perangkat CAD4TB dapat diamati pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Sistem perangkat CAD4TB (Sumber: https://www.delft.care/CAD4TB/)

Berdasarkan gambar di atas, dapat diamati bahwa hasil pemeriksaan CXR yang diolah
menggunakan CAD4TB dapat dilakukan secara Online maupun Offline. Jika dilakukan secara
Online, maka hasil pemeriksaan CXR akan di Upload ke CAD4TB Cloud dan diolah,
kemudian hasil pengolahan citra dapat ditampilkan ke media komputer dengan cepat dan
mudah. Namun jika dilakukan secara Offline, Work Station pada Digital Radiography harus
terhubung dengan CAD4TB Box sebagai sistem pengolah citra.

31
CAD4TB akan menganalisa bentuk paru-paru, klavikula, dan tekstur paru-paru yang
akan ditampilkan dalam bentuk Heatmap pada citra CXR pasien. CAD4TB juga akan
memberikan nilai dengan rentang 0 – 100, semakin tinggi nilai yang ditampilkan, maka
resiko dan kemungkinan pasien menderita TB paru semakin besar. CAD4TB digunakan
sebagai deteksi awal terhadap resiko TB paru, terutama pada pasien tanpa gejala. CAD4TB
sudah digunakan di Zambia, Afrika Selatan, dan Gambia.
CAD4TB pernah digunakan di Indonesia pada kegiatan Gerakan Bersama Menuju
Eliminasi TBC 2030 di Cimahi pada tanggal 29 Januari 2020 oleh Presiden Joko Widodo
bersama dengan Tirta Medical Center. CAD4TB diperkenalkan dalam kegiatan ini sebagai
teknologi deteksi awal TB paru yang diharapkan dapat menurunkan angka penderita TB paru
di Indonesia. Hasil pengolahan citra CXR menggunakan Software CAD4TB dapat di amati
pada gambar di bawah ini :

A B

Gambar 2. (A) Hasil pemeriksaan CXR dan (B) hasil pengolahan citra menggunakan
CAD4TB (Sumber : Dokumentasi)

32
A B
Gambar 3. (A) Hasil pemeriksaan CXR dan (B) hasil pengolahan citra menggunakan
CAD4TB (Sumber : https://demo.cad4TB.care/demo/demo/series/ )

Berdasarkan gambar di atas, dapat diamati bahwa pada Gambar 2, sebaran Heatmap
tidak terlihat mencolok. Namun pada Gambar 3, dapat diamati sebaran dan intensitas
Heatmap. Selain pola seperti gambar di atas, CAD4TB juga memberikan nilai berdasarkan
bentuk dan tekstur lapangan baru pada citra CXR.

Gambar 4. User Interface pada Software CAD4TB


(Sumber : https://demo.cad4TB.care/demo/demo/series/ )

Pada gambar di atas dapat diamati bahwa Software CAD4TB akan menampilkan nilai
yang menunjukkan resiko atau kemungkinan pasien menderita TB Paru. Pada Gambar 4, hasil

33
pengolahan citra CXR menunjukkan adanya Intensitas yang tinggi pada lapangan atas paru-
paru dengan nilai sebesar 99.
Berdasarkan proses observasi, penggunaan Software CAD4TB diharapkan dapat
membantu proses deteksi awal TB Paru di Indonesia, meningkatkan penemuan kasus,
pengendalian infeksi dini, dan sebagai penerapan prinsip triase.Terutama di daerah terpencil
yang sulit menjangkau fasilitas kesehatan yang menunjang diagnosa TB Paru atau tidak
memiliki tenaga dokter spesialis radiologi. Deteksi awal TB Paru dapat menjadi lebih mudah,
cepat, dan efisien.
Software CAD4TB juga diharapkan dapat membantu dalam mengklasifikasikan
tingkat tingkat keparahan (Staging) gejala TB Paru pada seseorang. Sehingga dapat
membantu dokter dalam proses diagnosa dan terapi. Disamping itu, teknologi ini dapat
digunakan bersamaan pada kegiatan Medical Check Up. Dengan adanya teknologi ini,
diharapkan penyakit TB Paru dapat diidentifikasi sejak dini dan dapat menekan jumlah
penderita TB Paru.
Namun, penggunaan teknologi CAD4TB juga memiliki beberapa kekurangan,
diantaranya teknologi ini hanya dapat digunakan bersama dengan sistem Digital
Radiography. Variasi faktor eksposi juga dapat mempengaruhi hasil pengolahan gambar
CXR. Disamping itu, WHO belum menyarankan penggunaan CAD4TB untuk keperluan
klinis, dan belum ada nilai ambang yang direkomendasikan oleh WHO sebagai penentu
tingkat abnormalitas yang ditunjukkan pada hasil pengolahan citra menggunakan CAD4TB.
KESIMPULAN
Teknologi Computer-Aided Detection dapat digunakan sebagai salah satu
pemeriksaan awal untuk deteksi awal pada kasus TB Paru secara mudah dan cepat. Namun,
dikarenakan beberapa kekurangan dan keterbatasan teknologi ini, pendapat klinisi dan
pemeriksaan penunjang lain juga tetap dibutuhkan dalam proses diagnosa TB Paru.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung kegiatan penulis.
Terima kasih kepada dosen dan staf Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi
Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II yang telah membimbing penulis selama proses
perkuliahan.

34
DAFTAR PUSTAKA
1. Nachiappan AC, Rahbar K, Shi X, Guy ES, Mortani Barbosa EJ, Shroff GS, et al.
Pulmonary tuberculosis: Role of radiology in diagnosis and management.
Radiographics. 2017;37(1):52–72.
2. Sinaga MD. Implementasi Theorema Bayes Untuk Mendiagnosis Penyakit
Tuberkulosis (TBC). JUSITI J Sist Inf dan Teknol Inf [Internet]. 2018;4(2):155–64.
Available from: https://ejurnal.dipanegara.ac.id/index.php/jusiti/article/view/19
3. Fadilla M, Utomo B. Analisis Faktor Resiko Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Kaligondang Kabupaten Purbalingga Tahun 2017. 2017;37(3):347–53.
4. Muyoyeta M, Kasese NC, Milimo D, Mushanga I, Ndhlovu M, Kapata N, et al. Digital
CXR with computer aided diagnosis versus symptom screen to define presumptive
tuberculosis among household contacts and impact on tuberculosis diagnosis. BMC
Infect Dis. 2017;17(1):1–8.
5. Murphy K, Habib SS, Zaidi SMA, Khowaja S, Khan A, Melendez J, et al. Computer
aided detection of tuberculosis on chest radiographs: An evaluation of the CAD4TB
v6 system. Sci Rep. 2020;10(1):1–11.
6. Pande T, Cohen C, Pai M, Ahmad Khan F. Computer-aided detection of pulmonary
tuberculosis on digital chest radiographs: A systematic review. Int J Tuberc Lung Dis.
2016;20(9):1226–30.
7. Zaidi SMA, Habib SS, Van Ginneken B, Ferrand RA, Creswell J, Khowaja S, et al.
Evaluation of the diagnostic accuracy of Computer-Aided Detection of tuberculosis
on Chest radiography among private sector patients in Pakistan. Sci Rep [Internet].
2018;8(1):1–9. Available from: http://dx.doi.org/10.1038/s41598-018-30810-1
8. Pande T, Cohen C, Pai M, Ahmad Khan F. Computer-aided detection of pulmonary
tuberculosis on digital chest radiographs: A systematic review. Int J Tuberc Lung Dis.
2016;20(9).
9. Khan FA, Pande T, Tessema B, Song R, Benedetti A, Pai M, et al. Computer-aided
reading of tuberculosis chest radiography: Moving the research agenda forward to
inform policy. Eur Respir J [Internet]. 2017;50(1). Available from:
http://dx.doi.org/10.1183/13993003.00953-2017
10. Rahman MT, Codlin AJ, Rahman MM, Nahar A, Reja M, Islam T, et al. An evaluation
of automated chest radiography reading software for tuberculosis screening among
public- and private-sector patients. Eur Respir J [Internet]. 2017;49(5). Available
from: http://dx.doi.org/10.1183/13993003.02159-2016
11. Nyein Naing WY, Z. Htike Z. Advances in Automatic Tuberculosis Detection in Chest
X-Ray Images. Signal Image Process An Int J. 2014;5(6):41–53.

35
TEKNIK PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI OBSTETRIC TRIMESTER
PERTAMA DENGAN KLINIS BLIGHTED OVUM

Silma Fisqiyah1), Heny Setiyo Lestari2), Wahyu Hidayat1), Muhammad Irsal1),


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120
2)
Puskesmas Babelan I, Jl. Raya Babelan Kabupaten Bekasi

Koresponden : fisqiyahsilma@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menganalisis teknik pemeriksaan USG obstetric trimester pertama dengan klinis
blighted ovum dan menganalisis sonopattern pada klinis blighted ovum. Desain penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif dengan melakukan studi kasus berupa pengamatan langsung dilapangan dan studi kepustakaan.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Babelan I Kabupaten Bekasi dengan populasi penelitian seluruh
pemeriksaan USG Obstetric trimester pertama dengan klinis blighted ovum selama bulan Maret 2020 dengan
sampel penelitian sebanyak 3 orang pasien. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa teknik pemeriksaan USG
Obstetric trimester pertama dengan klinis Blighted ovum pada sampel dilakukan dengan scanning potongan
transversal dan longitudinal, juga dilakukan sweeping pada setiap potongan transversal maupun longitudinal,
kemudian dilakukan pengukuran rata-rata diameter gestasional sac atau Mean Gestasional Diameter (MGD)
dan selanjutnya dilakukan pengukuran cardiac activity. Klinis Blighted Ovum secara umum ditemukan
memiliki sonopattern yaitu memiliki struktur echo anechoic, double sign, rata-rata ukuran diameter gestasional
sac ≥ 25cm, tidak tampak adanya embrio dan yolk sac dan tidak tampak adanya cardiac activity, bentuk
gestasional sac irregular. Kesimpulannya pada ketiga sampel dilakukan teknik pemeriksaan yang sama tanpa
adanya persiapan khusus, hasil gambaran USG yang dihasilkan pada ketiga sampel sesuai dengan kriteria
sonopattern dari Blighted Ovum.

Kata Kunci : Ultrasonografi, Obstetric, Blighted ovum

PENDAHULUAN
Kehamilan adalah proses pertumbuhan dan perkembangan janin didalam uterus
dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya kehamilan normal yaitu 40 minggu
atau 9 bulan 7 hari, dan dibagi menjadi tiga trimester. Kehamilan trimester pertama yaitu usia
kehamilan dimulai dari proses konsepsi sampai 12 minggu, trimester kedua yaitu dari 13
minggu sampai 24 minggu, trimester ketiga yaitu dari 25 minggu sampai 40 minggu.(1,2)
Ada berbagai patologis yang dapat mempengaruhi kehamilan trimester pertama.(3)
Blighted ovum merupakan salah satu klinis pada kehamilan trimester pertama. Blighted ovum
atau anembryonic gestation adalah kehamilan dimana perkembangan embrio terhenti pada
tahap awal kehamilan sebelum menyelesaikan trimester 1 di dalam kantung kehamilan.(4–6)
Diagnosis USG dari blighted ovum atau kehamilan anembrionik dapat dibuat ketika rata-rata

36
diameter gestasional sac lebih besar dari atau sama dengan 25 mm tetapi tidak ada kantung
kuning telur (Yolk sac) ataupun embrio.(7)
Diperkirakan di seluruh dunia Blighted ovum merupakan 60% dari penyebab kasus
keguguran, di ASEAN (association of southeast asian nations) mencapai 51%, di Indonesia
ditemukan 37% dari setiap 100 kehamilan.(8) Blighted ovum menyebabkan 1 dari 2
keguguran pada trimester pertama kehamilan. (9) Sekitar 50-90% abortus pada kasus
blighted ovum terjadi pada usia kehamilan 15-16 minggu.(2) Penyebab tersering dari kasus
Blighted ovum adalah faktor genetik. Selain itu bisa disebabkan oleh faktor gizi. Faktor-
faktor gizi yang dapat menyebabkan blighted ovum diantaranya kekurangan zat tembaga,
prostaglandin E2, dan enzim anti-oksidatif. Secara global, telah ditunjukkan bahwa blighted
ovum adalah peristiwa buruk yang serius.(9)
Blighted ovum merupakan kantung kehamilan atau gestasional sac kosong tanpa
adanya jaringan atau bagian embrionik. USG berperan efektif dalam penilaian blighted
ovum.(10) Selama lebih dari empat dekade USG memiliki peranan penting dalam
pemeriksaan kehamilan diantaranya untuk penentuan estimasi usia kehamilan dan
pemantauan keadaan kehamilan terutama kehamilan yang memiliki klinis tertentu. USG
telah digunakan untuk menentukan estimasi usia kehamilan terutama bagi pasien yang lupa
waktu periode menstruasi terakhir (LMP). Kemajuan dalam peralatan dan teknik telah
memungkinkan USG sebagai alat untuk penentuan usia kehamilan. Hal yang dapat diukur
untuk penentuan usia kehamilan pada trimester pertama yaitu diameter gestasional sac dan
CRL (Crown Rump Length). Diameter gestasional sac dapat diukur sebelum embrio terlihat,
tetapi panjang bokong sampai kepala (CRL) paling akurat untuk penentuan usia kehamilan
pada trimester pertama. (6,11)
Pemeriksaan USG trimester pertama adalah salah satu pemeriksaan utama harus
dilakukan dalam perawatan prenatal. Dengan peningkatan teknologi dan pengembangan
teknik scanning USG yang lebih modern memungkinkan untuk mendiagnosa keadaan
kehamilan lebih awal.(12,13) Di tahun 2016 World Health Organization Antenatal
Guidelines dan di tahun 2015 South African Maternal and Child Health Guidelines
merekomendasikan pemeriksaan ultrasonografi prenatal secara dini untuk menentukan usia
kehamilan dan mendeteksi kelainan janin.(14)

37
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif desktiptif yang dilakukan secara
observasional dan studi kepustakaan. Populasi penelitian ini adalah pasien wanita yang
melakukan pemeriksaan USG Obstetric trimester pertama dengan klinis blighted ovum dan
diambil sejumlah 3 sampel di Puskesmas Babelan I Kabupaten Bekasi pada bulan Maret 2020
. Data yang dikumpulkan berupa hasil gambaran USG Obstetric trimester pertama dengan
klinis blighted ovum. Pengolahan data yang digunakan secara kualitatif berdasarkan studi
kepustakaan dan hasil gambaran dijelaskan secara deskriptif sehingga menjadi suatu
kesimpulan.
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat USG merk GE LOGIQ
V5 dengan transduser yang digunakan yaitu tipe Convex dengan rentang frekuensi 3,5-5
MHz, jeli khusus USG sebagai media penghantar gelombang suara, tisu untuk membersihkan
bagian tubuh pasien yang terkena jeli, serta printer thermal merk Sony untuk mencetak hasil
gambaran USG yang akan diberikan kepada pasien.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa dari sampel pasien yang telah dilakukan pemeriksaan USG Obstetric trimester
pertama, tidak ada persiapan khusus yang perlu dipersiapkan oleh pasien. Pasien
diperbolehkan untuk makan dan minum sebelum pemeriksaan. Idealnya vesika urinaria
pasien dalam keadaan penuh yang berfungsi sebagai acoustic window sehingga gambaran
yang dihasilkan lebih maksimal.
Pemeriksaan USG Obstetric trimester pertama dilakukan pada uterus yang terletak
pada area pelvis. Pertama dengan potongan transversal (Gambar 4.1), selanjutnya lakukan
dengan potongan longitudinal (Gambar 4.2) untuk menampilkan uterus secara keseluruhan,
kemudian dilakukan sweeping untuk menampilkan gambaran gestasional sac secara
maksimal (Gambar 4.3).
Setelah gambaran Gestasional sac terlihat, kemudian dilakukan pengukuran rata-rata
diameter gestasional sac. Amati ada tidaknya yolk sac dan embrio. Kemudian lakukan
pemeriksaan cardiac activity. Kemudian dilakuakan analisa berdasarkan teori. Teknik
tersebut dilakukan terhadap semua sampel pada penelitian ini.

38
A B
Gambar 4.1 Posisi transducer pada potongan (A)transversal, (B)longitudinal(15)

Gambar 4.2 Gambaran sonografi gestasional sac

Berdasarkan landasan teori definisi dan karakteristik dari Blighted ovum, dirangkum
menjadi sebagai berikut:
1. Rata - rata diameter gestasional sac atau Mean Gestasional Diameter (MGD) ≥ 25
mm.(4,7,16) dan tidak tampak adanya embrio ataupun yolk sac.(4,7,16–18)
2. Tidak terdapat Cardiac activity.(17)
3. Kantung kehamilan atau gestasional sac irregular.(18)

39
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, dibuatlah tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil USG Obstetric dengan klinis Blighted ovum
Sampel
Sonopattern Blighted ovum
1 2 3
Rata-rata ukuran diameter
gestasional sac √ √ √
≥ 25 mm
Embrio - - -
Yolk Sac - - -
Cardiac Activity - - -
Kantung kehamilan
√ √ √
/Gestasional Sac Irregular

Gambar 4.3 Hasil Gambaran USG Pada Sampel 1

Pada Gambar 4.3 kehamilan trimester pertama terlihat Gestasional sac dengan ukuran
diameternya 3,99 cm x 3,70 cm x 3,89 cm, anechoic, double sign, tidak tampak adanya
embrio maupun yolk sac, tidak tampak cardiac activity, Gestasional sac irregular.

Gambar 4.4 Hasil Gambaran USG Pada Sampel 2

Pada Gambar 4.4 kehamilan trimester pertama terlihat Gestasional sac dengan
ukuran diameternya 2,18 cm x 1,75 cm x 2,03 cm, anechoic, double sign, tidak tampak

40
adanya embrio maupun yolk sac, tidak tampak cardiac activity, Gestasional sac
irregular.

Gambar 4.5 Hasil Gambaran USG Pada Sampel 3

Pada Gambar 4.5 kehamilan trimester pertama terlihat Gestasional sac dengan ukuran
diameternya 1,70 cm x 3,65 cm x 1,92 cm, tidak tampak adanya embrio maupun yolk sac,
tidak tampak cardiac activity, Gestasional sac irregular. Analisa dari pemeriksaan USG
obstetric trimester pertama tidak ada persiapan khusus yang perlu dipersiapkan oleh pasien.
Pasien diperbolehkan untuk makan dan minum sebelum pemeriksaan. Idealnya vesika
urinaria pasien dalam keadaan penuh yang berfungsi sebagai acoustic window sehingga
gambaran yang dihasilkan lebih maksimal.
Scanning pada obstetric trimester pertama dilakukan pada uterus yang terletak pada
area pelvis. Pertama dengan potongan transversal, Selanjutnya lakukan scanning dengan
potongan longitudinal untuk memperlihatkan uterus secara keseluruhan kemudian dilakukan
sweeping, untuk menampilkan gambaran uterus secara keseluruhan sehingga gambaran
blighted ovum terlihat jelas. Setelah gambaran Gestasional sac terlihat, kemudian dilakukan
pengukuran rata-rata diameter gestasional sac. Amati ada tidaknya yolk sac dan embrio.
Kemudian lakukan pemeriksaan cardiac activity. Menurut P.E.S Palmer dan Menurut Trish
Chudleigh bahwa pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan posisi supine (terlentang).
Posisi ini dilakukan agar mempermudah sonografer dalam melakukan pemeriksaan dan
untuk kenyamanan pasien. Scanning dilakukan menggunakan transducer convex dengan
frekuensi 3,5-5 MHz, diawali dengan posisi transducer longitudinal kemudian posisi
transversal pada area yang sama yaitu uterus.(19,20). Menurut Katrina Skoog Nguyen & L.

41
Connor Nickels dan menurut Chuldleigh T & Thilaganathan B bahwa, scanning dilakukan
menggunakan transducer convex dengan frekuensi 3,5-5 MHz, diawali dengan posisi
transducer longitudinal untuk mengidentifikasi keadaan uterus kemudian posisi transversal
pada area yang sama. Amati gestasional sac pada uterus kemudian lakuakan
pengukuran.(4,19)
Jadi dapat disimpulkan Teknik pemeriksaan USG Obstetric trimester pertama dengan
klinis Blighted ovum pada sampel dilakukan dengan scanning potongan transversal dan
longitudinal, juga dilakukan sweeping pada setiap potongan transversal maupun
longitudinal, kemudian dilakukan pengukuran rata-rata diameter gestasional sac atau Mean
Gestasional Diameter (MGD) dan selanjutnya dilakukan pengukuran cardiac activity.
Hasil gambaran USG Obstetric trimester pertama dengan klinis Blighted ovum pada
umumnya akan memiliki sonopattern dengan struktur echo yang anechoic, tampak double
sign, rata-rata ukuran diameter gestasional sac ≥25 mm, tidak tampak adanya embrio dan
yolk sac, tidak tampak adanya cardiac activity.(4,7,16–18). Menurut Katrina Skoog Nguyen
& L. Connor Nickels dan Lucie Morin, MD, Yvonne M. Cargill & Phyllis Glanc dan Asim
Kurjak & Frank A Chervenak, gambaran Blighted ovum yaitu tampak gambaran gestasional
sac, rata-rata ukuran diameter gestasional sac ≥25 mm, tidak tampak adanya embrio dan yolk
sac.(4) Menurut Rajendra K. Diwakar pada blighted ovum tidak terdapat cardiac activity.(17)
Menurut Steven M. Penny pada blighted ovum kantung kehamilan atau gestasional sac
berbentuk irregular.
Jadi dapat disimpulkan sonopattern dari klinis Blighted Ovum yaitu memiliki struktur
echo anechoic, double sign, rata-rata ukuran diameter gestasional sac ≥ 25 mm, tidak tampak
adanya embrio dan yolk sac dan tidak tampak adanya cardiac activity, bentuk gestasional
sac irregular.
KESIMPULAN
Teknik pemeriksaan USG Obstetric trimester pertama dengan klinis Blighted ovum
pada sampel dilakukan dengan scanning potongan transversal dan longitudinal, juga
dilakukan sweeping pada setiap potongan transversal maupun longitudinal, kemudian
dilakukan pengukuran rata-rata diameter gestasional sac atau Mean Gestasional Diameter
(MGD) dan selanjutnya dilakukan pengukuran cardiac activity. Hasil gambaran USG

42
Obstetric trimester pertama dengan klinis Blighted Ovum secara umum memiliki sonopattern
yaitu memiliki struktur echo anechoic, double sign, rata-rata ukuran diameter gestasional sac
≥ 25 mm, tidak tampak adanya embrio dan yolk sac dan tidak tampak adanya cardiac activity,
bentuk gestasional sac irregular.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima Kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dalam pembuatan jurnal
ini sampai selesai. Terutama kepada pembimbing materi dan pembimbing teknik saya yaitu
bapak Wahyu Hidayat, S.ST,M.T dan bapak Muhammad Irsal, S.Si, M.Si. dan terimakasih
kepada instruktur PKN di Puskesmas Babelan I Kabupaten Bekasi ibu Heny Setiyo Lestari,
S.Tr.Rad yang telah membimbing dan membantu selama proses PKN dan pengambilan data.
Terima kasih juga kepada rekan rekan satu kelas USG yang selalu mendukung dan membantu
selama proses pembuatan tugas tingkat akhir ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Crino JP, Ehsanipoor RM. First-Trimester Ultrasound. First-Trimester Ultrasound.
2016;91–8.
2. Sari HP, Dayaningsih S, Ningsih S. Asuhan Kebidanan Ibu Hamil Patologi Pada Ny.
E Umur 20 Tahun G1 P0 A0 Umur Kehamilan 13 Minggu Dengan Blighted Ovum di
RSUD Karanganyar. Indones J Med Sci. 2015;2(2):3–9.
3. Creditt A, Tozer J, Vitto M, Joyce M, Taylor L. Clinical Ultrasound. Clin Ultrasound.
2018;
4. Gestation A, Nguyen KS, Nickels LC. Atlas of Emergency Medicine Procedures.
Atlas Emerg Med Proced. 2016;653–4.
5. Donald I, Morley P, Barnett E. The diagnosis of blighted ovum by sonar. Dermatol
Online J. 2009;15(7):11.
6. Canavan TP, Mastrobattista JM. First-Trimester Ultrasound. First-Trimester
Ultrasound. 2016;40–50.
7. Morin L, Cargill YM, Glanc P. Ultrasound Evaluation of First Trimester
Complications of Pregnancy. J Obstet Gynaecol Canada. 2016;38(10):982–8.
8. Za RN, Rosdiana E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Blighted Ovum (
BO ) pada Ibu Hamil di Rumah Sakit dr . Zainoel Abidin Kota Banda Aceh Tahun
Factors Affecting The Occurrence of Blighted Ovum ( BO ) in Pregnant Women at
The Hospital dr . Zainoel Abidin City of . 2016;2(2):135–43.
9. Peleg R, Shvartzman P. Case report : Case report. Can Fam Physician.
2001;47(10):788–9.
10. Burai M, Gameraddin M, Yahya R. Miscarriage in First Trimester: Risk Factors and
Sonographic Assessment in Sudanese Pregnant Women. Int J Heal Sci Res [Internet].
2017;7(2):52. Available from: www.ijhsr.org
11. Nathan AJ, Scobell A. How China sees America1. Nathan AJ, Scobell A. How China

43
sees America. Vol. 91, Foreign Affairs. 2012. 1689-1699 p. Vol. 91, Foreign Affairs.
2012. 1689-1699 p.
12. Bunduki V, Zugaib M, Bunduki V, Zugaib M. The Fetus at the First Trimester. Atlas
of Fetal Ultrasound. 2018;15–28.
13. Sainz JA, Gutierrez L, García-Mejido J, Ramos Z, Bonomi MJ, Fernández-Palacín A,
et al. Early fetal morphological evaluation (11–13 + 6 weeks) accomplished
exclusively by transabdominal imaging and following routine midtrimester fetal
ultrasound scan recommendations. Since when can it be performed? J Matern
Neonatal Med. 2020;33(7):1140–50.
14. Richter L, Slemming W, Norris SA, Stein A, Poston L, Pasupathy D. Health
Pregnancy, Healthy Baby: Testing the added benefits of pregnancy ultrasound scan
for child development in a randomised control trial. Trials. 2020;21(1):1–11.
15. Abuhamad A. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology : A Practical Approach. First.
2014.
16. Kurjak A, Chervenak FA. Ultrasound in Obstetric & Gynecology. Fourth. 2018.
17. Diwakar RK. Basics of Abdominal, Gynaecological, Obstetrics and Small Parts
Ultrasound. Basics of Abdominal, Gynaecological, Obstetrics and Small Parts
Ultrasound. 2018.
18. Penny SM. Examination Review For Ultrasound. Second. Wolters Kluwer; 2018.
19. Chuldleigh T, Thilaganathan B. Obstetric Ultrasound: How, Why and When. Third.
Elsevier Ltd; 2004. 29-59 p.
20. Palmer PES. Manual of Diagnostic Ultrasound. California; 2003.

44
ANALISIS KONSISTENSI TITIK ISOCENTER LASER PADA PENYINARAN
ORGAN PELVIS DENGAN TEKNIK 3D-CRT DI INSTALASI RADIOTERAPI RS
KANKER DHARMAIS

Anggi Rinaldi 1), Nursama Heru Apriantoro 1), Gando Sari1)


1
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta,
12120

Koresponden : anggirinaldi97@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsistensi pergeseran saat verifikasi pada Isocenter tubuh pasien
dan Treatment Couch pada kasus kanker area Whole Pelvis (buli, servik dan rektum) dengan menggunakan
teknik 3D-CRT.Metode penelitian yang akan digunakan adalah eksperimen analitik kuantitatif yang dilakukan
penelitian dari Januari sampai April 2020 di Instalasi Radioterapi RS Kanker Dharmais, sampel yang digunakan
berjumlah 10 pasien yang akan dilakukan 2 cara pada tiap pasien pada fraksi 1,2 dan6 ialah isocenter tubuh
pasien dan 11, 16 dan 21 ialah treatment couch. Alat yang digunakan yaitu LINAC Trilogy, CT Simulator GE
16 Slice dan Alat OBI. Hasil penelitian adalah pada cara isocenter tubuh pasien menghasilkan x 0.57 cm, y 0.68
cm dan z 0.67 cm melebihi batas nilai toleransi 0.5 cm dikarenakan pasien tidak menggunakan alat fiksasi
berupa masker. Pada treatment couch menghasilkan x 0.22 cm, y 0.19 cm dan z 0.21 cm tidak melebihi batas
nilai toleransi 0.5 cm. Kesimpulan pada treatment couch yang hampir tidak batas nilai toleransi 0.5 cm. Dari
hasil diskusi lebih baik menggunakan alat fiksasi berupa masker agar pasien tidak mengalami pergeseran pada
saat dilakukan nya penyinaran.

Kata Kunci : Radioterapi, 3D-CRT, Nilai Toleransi 0.5 cm, Whole Pelvis, On Board Imager

PENDAHULUAN
Radioterapi sudah digunakan sebagai pengobatan kanker lebih dari 100 tahun yang
lalu,sinar x pertama kali ditemukan oleh William congrat Roentgen pada tahun
1895(1)(2)(3)(4). Radioterapi mulai berkembang era 1900an sejak kemenangan Nobel Marie
Curie, yang menemukan elemen radioaktif polonium dan radium. Hal ini membuka era baru
bagi terapi dan penelitian di bidang kedokteran.Sel yang pertumbuhan dan penyebarannya
tidak terkontroladalah kanker(5). Salah satu kanker yang menggunakan teknik radioterapi
yaitu pada penyinaran bagian organ pelvis seperti kanker serviks, kanker buli dan kanker
rekti. Tujuan radioterapi adalah untuk mendapatkan tingkatan sitotoksik radiasi terhadap
planning target volume pasien atau dosis maksimal pada organ yang disinar, dan dengan
seminimal mungkin penyinaran radiasi terhadap jaringan sehat dan di sekitarnya(6)(7). maka

45
radiasi yang diberikan harus tepat dan terukur pada volume tumor yang ditentukan.hal ini
disebut sebagai prinsip Radioterapi.
Di Indonesia, kanker serviks menduduki tempat kedua dalam urutan keganasan pada
wanita yaitu 16 orang per 100.000 penduduk wanita, Angka kejadian kanker serviks
meningkat dari jumlah kasus pada 2006 sebanyak 4.696 kasus atau 11,07% dan sekitar 70%
penderita berada dalam stadium lanjut(8)(9)(10)(11)(12). Pada tahun 2002, terdapat lebih
dari satu juta kasus kanker kolorektal baru yang menempatkan kanker ini pada urutan ke-3
jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia(13)(14)(15).Karsinoma kandung kemih (ca
buli-buli) adalah suatu penyakit keganasan yang mengenai kandung kemih dan menempati
urutan ke-4 keganasan pada laki laki, dan urutan ke 12 pada perempuan. Kejadian penyakit
ini lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam dan lebih sering pada laki
laki dibanding perempuan dan terbanyak dijumpai pada usia 60-70 tahun(16)(15)(17).
Penanganan pada area organ pelvis adalah dengan melakukan nya penyinaran radiasi
dan pemberian obat kanker. Pada keadaan lain, pemberian radiasi dosis tinggi dalam jangka
waktu lama mampu merusak struktur jaringan normal. Radioterapi eksternal adalah metode
radioterapi dengan sumber radiasi terletak pada jarak tertentu dari tubuh pasien.Sesuai
prinsip radioterapi, maka ketepatan merupakan hal yang harus diperhatikan, baik dalam
perencanaan radiasi maupun dalam setiap pelaksanaan Treatment. Oleh sebab itu dalam
perencanaan penyinaran radiasi eksterna selalu didahului dengan proses lokalisasi target dan
semulasi teknik penyinaran dengan alat ct simulasi untuk menentukan titik referensi pada
tubuh pasien.
Verifikasi sangat dianjurkan sebelum dilakukannya penyinaran pada area tumor atau kanker,
karena radiasi harus disampaikan kepada pasien sesuai dengan anatominya dan dosis yang
disampaikan harus benar dan tepat agar organ sehat sekitar target tidak terkena dosis radiasi
supaya target penyinaran mendapatkan dosis yang maksimal. Pergeseran tidak boleh lebih
dari 3mm, apabila terjadi pergeseran lebih dari 5 mm maka dilakukan reposisi ulang(18)(19).
Dengan ini memiliki tujuan penelitian yaitu bertujuan untuk menganalisis konsistensi
pergeseran saat verifikasi pada Isocenter tubuh pasien dan Treatment Couch pada kasus
kanker area Whole Pelvis (buli, servik dan rektum) dengan menggunakan teknik 3D-
CRTDalam kasus ini terdapat tidak kesesuaian antara gambar isocenter pada pasien dengan

46
treatment couch. Hal ini terjadi pada kasus yang tidak menggunakan alat fiksasi berupa
masker. Dalam penelitian ini menganalisis konsistensi titik isocenter pada pasien dan pada
treatment couch.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen analitik kuantitaif, dengan dilakukan
pengamatan dan mengerjakan secara lansung di RS Kanker Dharmais. Populasi dalam
penelitian ini adalah pasien yang akan dilakukan penyinaran dengan kasus kanker area pelvis
(servik, rektum dan buli). Jumlah sampel yang dilakukan penelitian sebanyak 10 pasien
dengan data primer. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara
observasi pengamatan dan mengerjakan secara langsung dengan melakukan pada fraksi 1, 2
dan 6 pada isocenter tubuh pasien dan 11, 16 dan 21 pada treatment couch.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi yang dilakukan, yaitu pengambilan data verifikasi quickly atau
mingguan penyinaran kanker pada area whole pelvis yang menggunakan teknik 3D-CRT
(Conformal Radiation Theraphy) pada software ARIA di Departement Radioterapi RS
Kanker Dharmais dengan jumlah sampel 10, didapat hasil verifikasi dengan 6 fraksi
pergeseran ara radiasi pada titik koordinat x, y dan z didapat pergseran sebagai berikut :

Tabel 1.1 Hasil verifikasi 10 sampel pada titik koordinat x, y dan z dari 3 kali fraksi pada
Isocenter tubuh pasien dan fraksi pada Treatment Couch
Hasil Pergeseran Hasil Pergeseran
Isocenter Tubuh Pasien
Sampel Fraksi Fraksi Treatment Couch (cm)
(cm)
X Y Z X Y Z
1 1 0.7* 1.8* 0.4 11 0.3 0.4 0.4
2 0.1 0.5 1.0* 16 0.1 0.2 0.3
6 0.8* 0.4 0.6* 21 0.2 0.4 0.2
2 1 0.6* 2.6* 0.5 11 0.6* 0.6* 0.5
2 0.5 1.0* 0.5 16 0.3 0.2 0.3
6 0.6* 1.0* 0.5 21 0.3 0.2 0.3
3 1 0.5 0.8* 0.3 11 0.5 0.0 0.1
2 0.7* 0.3 0.7* 16 0.3 0.2 0.2
6 1.1* 0.2 0.6* 21 0.1 0.2 0.2

47
4 1 0.6* 1.5* 0.0 11 0.0 0.5 0.0
2 0.6* 0.7* 0.0 16 0.1 0.2 0.0
6 0.6* 0.7* 0.0 21 0.0 0.0 0.0
5 1 0.2 1.6* 1* 11 0.6* 0.5 0.0
2 0.8* 0.7* 1.8* 16 0.4 0.2 0.4
6 1.5* 0.6* 0.0 21 0.0 0.0 0.5
6 1 1.0* 0.2 0.3 11 0.0 0.2 0.3
2 0.8* 0.0 1.3* 16 0.2 0.0 0.3
6 0.4 0.0 1.1* 21 0.4 0.2 0.1
7 1 0.6* 1.3* 0.3 11 0.6* 0.3 0.3
2 1.7* 0.0 0.8* 16 0.3 0.0 0.5
6 0.4 0.4 0.8* 21 0.3 0.2 0.1
8 1 0.5 0.4 0.4 11 0.1 0.0 0.3
2 0.1 0.0 0.4 16 0.1 0.0 0.3
6 0.1 0.4 0.4 21 0.1 0.1 0.1
9 1 0.3 0.3 0.2 11 0.3 0.3 0.2
2 0.1 0.9* 1.6* 16 0.1 0.3 0.2
6 0.1 0.9* 1.6* 21 0.1 0.3 0.2
10 1 1.2* 0.1 1.5* 11 0.2 0.1 0.2
2 0.0 0.6* 0.0 16 0.0 0.0 0.0
6 1.2* 0.1 1.5* 21 0.0 0.0 0.0

Rata – Rata 0.57* 0.68* 0.67* 0.22 0.19 0.21

Tanda (*) menunjukan bahwa melebihi batas nilai toleransi sebesar 0.5 cm(19).
Standar Deviasi 0,37 0,59* 0,54* 0,18 0,17 0,16

Standar Eror 0,07 0,11 0,09 0,03 0,03 0,03

Pada tabel 1.1 diatas, hasil verifikasi dari 10 sampel dengan fraksi 1, 2 dan 6 dengan
isocenter tubuh pasien mendapatkan verifikasi rata rata hasil pergeseran koordinat x, y dan
zmasing masing 0.57 cm rentang 0.0 cm – 1.7 cm memiliki Standar Deviasi 0.37 dan Standar
Eror 0.07 , 0.68 cm rentang 0.0 cm – 1.8 cm memiliki Standar Deviasi 0.59 dan Standar Eror
0.11 , 0.67 cm rentang 0.0 cm – 1.8 cm memiliki Standar Deviasi 0.54 dan Standar Eror
0.09. Lalu pada hasil verifikasi dari 10 sampel dengan fraksi 11, 16 dan 21 dengan treatment
couch mendapatkan verifikasi rata rata hasil pergeseran koordinat x, y dan z masing masing
0.22 cm rentang 0.0 cm – 0.6 cm memiliki Standar Deviasi 0.18 dan Standar Eror 0.03, 0.19

48
cm rentang 0.0 cm – 0.6 cm memiliki Standar Deviasi 0.17 dan Standar Eror 0.03, 0.21 cm
rentang 0.0 cm – 0.5 cm memiliki Standar Deviasi 0.16 dan Standar Eror 0.03. Dengan ini
bahwa nilai pergeseran pada verifikasi isocenter tubuh pasien dengan treatment couch
memiliki hasil yang berbeda, pada treatment couch nilai pergeseran dan hasil rata rata
koordinat x, y dan z tidak melebihi batas nilai toleransi sebesar 0.5 cm.

Tabel 1.2 Hasil rata rata verifikasi 10 sampel dan Standar Deviasi pada titik koordinat x,
y dan z dari 3 kali fraksi pada Isocenter tubuh pasien dan fraksi pada Treatment Couch
Rata rata Pergeseran (cm)
Hasil Verifikasi Fraksi
X SE Y SE Z SE
1 0,61 0,09 1,06 0,26 0,49 0,13
Isocenter Tubuh
2 0,43 0,1 0,51 0,1 0,81 0,19
Pasien
6 0,68 0,14 0,47 0,1 0,71 0,17
11 0,32 0,06 0,29 0,06 0,23 0,05
Treatment Couch 16 0,19 0,04 0,13 0,03 0,25 0,05
21 0,15 0,04 0,16 0,04 0,17 0,04
Dari data pada tabel 1.2, pada koordinat fraksi 1 dan 11 Isocenter dan Treatment rata
rata 0.61 cm dan SE 0,09 cm jadi maksimum nya 0.7cm dan minimum nya 0.52 cm, pada
Treatment rata rata 0.32 cm dan SE 0.06 cm jadi maksimum nya 0.38 cm dan minimum nya
0.26 cm. Pada koordinat y dengan isocenter rata rata 1.06 cm SE 0.26 cm jadi maksimum
nya 1.32 cm dan minimum nya 0.8 cm, pada treatment rata rata 0.29 cm dan SE 0.06 cm jadi
maksimum nya 0.35 cm dan minimum nya 0.23 cm. Pada koordinat z dengan isocenter rata
rata 0.49 cm dan SE 0.13 cm jadi maksimum nya 0.62 cm dan minimum nya 0.36 cm, pada
treatment rata rata 0.23 cm dan SE 0.05 cm jadi maksimum nya 0.28 cm dan minimum nya
0.18 cm.
Pada fraksi 2 dan 16 koordinat x Isocenter dan Treatment rata rata 0.43 cm dan SE 0,1
cm jadi maksimum nya 0.53 cm dan minimum nya 0.33 cm, pada Treatment rata rata 0.19
cm dan SE 0.04 cm jadi maksimum nya 0.23 cm dan minimum nya 0.15 cm. Pada koordinat
y dengan isocenter rata rata 0.51 cm SE 0.1 cm jadi maksimum nya 0.61 cm dan minimum
nya 0.41 cm, pada treatment rata rata 0.13 cm dan SE 0.03 cm jadi maksimum nya 0.16 cm
dan minimum nya 0.1 cm. Pada koordinat z dengan isocenter rata rata 0.81 cm dan SE 0.19

49
cm jadi maksimum nya 1 cm dan minimum nya 0.62 cm, pada treatment rata rata 0.25 cm
dan SE 0.05 cm jadi maksimum nya 0.3 cm dan minimum nya 0.2 cm.
Pada fraksi 6 dan 21 koordinat x Isocenter dan Treatment rata rata 0.68 cm dan SE 0,14
cm jadi maksimum nya 0.82 cm dan minimum nya 0.54 cm, pada Treatment rata rata 0.15
cm dan SE 0.04 cm jadi maksimum nya 0.19 cm dan minimum nya 0.11 cm. Pada koordinat
y dengan isocenter rata rata 0.47 cm SE 0.1 cm jadi maksimum nya 0.57 cm dan minimum
nya 0.37 cm, pada treatment rata rata 0.16 cm dan SE 0.04 cm jadi maksimum nya 0.2 cm
dan minimum nya 0.12 cm. Pada koordinat z dengan isocenter rata rata 0.71 cm dan SE 0.17
cm jadi maksimum nya 0.88 cm dan minimum nya 0.54 cm, pada treatment rata rata 0.17 cm
dan SE 0.04 cm jadi maksimum nya 0.21 cm dan minimum nya 0.13 cm.
Jadi pada Treatment Couch hasilnya lebih dibawah dari batas nilai toleransi sebesar 0.5
cm dan lebih sedikit pergeseran nya pada saat verifikasi. Menurut diskusi dengan radioterapis
dan melihat langsung dilapangan bahwa petugas radioterapisudah melakukan posisi pasien
sesuai protokol pada CT Simulator dan hasil TPS berupa titik koordinat x, y dan z. Namun
hanya beberapa yang mengalami pergeseran lebih dari batas nilai toleransi sebesar 0.5 cm.
Hal ini dikarenakan pengerjaan nya mengikuti dari hasil TPS lalu pasien nya yang mengikuti
laser agar tepat pada titik reference. Ada pun mengalami pergeseran dikarena beberapa faktor
yaitu pasien tidak menggunakan alat fiksasi berupa masker sehingga pasien mengalami
pergerakan yang signifikan pada saat penyinaran, pasien mengalami penurunan berat badan
sehingga titik refference mengalami perubahan posisi, pengecilan ukuran massa tumor dan
tidak diturunkan celana pasien sehingga menyebabkan tekanan pada kulit pasien, hilangnya
tanda titik reference pada tubuh pasien sehingga pada saat menyamakan berbeda dengan hasil
dari CT Simulator dan TPS(20).
Jika mengalami pegeseran yang jauh dari batas nilai toleransi yaitu 0.5 cm maka perlu
dilakukan evaluasi oleh fisika medis di TPS agar dibuat perencaraan penyinaran ulang atau
pengecilan ukuran pada target yang ada pada pasien dan radioterapis melakukan posisioning
ulang sesuai dengan hasil yang diberikan dari TPS melalui fisika medis. Dari penelitian yang
berjudul “analisis verifikasi lapangan penyinaran pada kasus kanker rektum dengan tenknik
vmat menggunakan obi didepartemen radioterapi rs mrccc siloam semanggi” bahwa
penelitian tersebut menggunakan alat fiksasi berupa masker mendapatkan hasil data rata rata

50
x 0.48 cm, y 0.24 cm dan z 0.55 cm dibawah batas nilai toleransi.Bahwa praktek yang
dilakukan di lapangan sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang diterapkan di Rumah
Sakit Kanker Dharmais. Dan adapun faktor sistematik terjadi adalah perbedaan keselarasan
laser antara CT Simulator dengan laser yang berada pada ruang penyinaran, kesalahan lain
pada saat transfer data pencitraan dari TPS ke Pesawat penyinaran radioterapi(20).
KESIMPULAN
Pada penelitian ini menggunakan 10 sampel dengan dilakukannya verifikasi 6 kali
yaitu pada fraksi 1, 2, 6, 11, 16, dan 21 menggunakan OBI (On Board Imager) di Departemen
Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais. Dilakukan perhitungan rata rata pergeseran area
radiasi di titik koordinat X, Y dan Z. Nilai rata rata pergeseran area radiasi isocenter pada
pasien dengan fraksi 1, 2 dan 6 pada titik koordinat x sebesar 0.57 cm, pada titik koordinat y
sebesar 0.68 cm, dan pada titik koordinat z sebesar 0.67 cm. Hal ini menunjukan bahwa nilai
rata rata pada ketiga titik koordinat tersebut melebihi batas nilai toleransi yaitu sebesar 0.5
cm. Nilai rata rata pergeseran area radiasi pada treatment couch dengan fraksi 11, 16 dan 21
pada titik koordinat x sebesar 0.22 cm, pada titik koordinat y sebesar 0.19 cm, dan pada titik
koordinat z sebesar 0.21 cm. Hal ini menunjukan bahwa nilai rata rata pada ketiga titik
koordinat tersebut tidak melebihi batas toleransi yaitu sebesar 0.5 cm. Penyebab adanya
pergeseran pada saat verifikasi yaitu adanya pergerakan pada pasien yang signifikan, pada
saat menurunkan celana pada pasien tidak sampai bawah hal ini menyebabkan titik refrence
yang ada pada kulit pasien mengalami penekanan, adanya penurunan berat badan pasien,
adanya pengecilan tumor atau organ hal ini karena organ tumor sensitif terhadap radiasi dan
hilang nya gambar titik reference pada tubuh pasien.
Adapun faktor sistematik antara lain adalah perbedaan keselarasan laser pada CT
Simulator dengan laser pada ruangan penyinaran, kesalahan pada saat tranfer data pemcitraan
dari TPS ke pesawat penyinaran. Jika terjadi pergeseran signifikan maka perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut oleh fisika medis untuk mengecilkan target penyinaran dan
radioterapisuntuk membuat titik reference baru.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah Subhanahu wata‘ala yang telah memberika kelancaran
kepada saya selama melakukan penelitian. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada

51
pembimbing yang telah membimbing saya selama penelitian berlangsung, saya ucapkan juga
terima kasih kepada pembimbing lapangan RS Kanker Dharmais yang telah mengizinkan
saya melakukan penelitian. Terima kasih kepada orang orang yang tidak bisa saya ucapkan
satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih saya
DAFTAR PUSTAKA
1. Purba HMP. Analisis Dosis Serap , Citra , dan Faktor Ekspose pada Rontgen Thorax
Berdasarkan Usia dan Berat Badan dengan Menggunakan X-Ray Konvensional.
Sumatra Utara; 2018.
2. Ratnasari J. Mengenal penemu sains dan penemuan nya. 1st ed. jakarta: logika galileo;
2007.
3. Akhadi M. Analisis Unsur Kelumit Melalui Pancaran Sinar-X Karakteristik. Bul Al.
2006;8(1):11–9.
4. Akhadi M. Sinar X Menjawab Masalah Kesehatan. 1st ed. Ayu GD, editor.
yogyakarta: Grup Penerbitan CV Budi Utama; 2020. 2-47 p.
5. Dyah FS, Johan. Perkiraan Dosis Ekuivalen Neutron Cepat Pada Pasien Radioterapi
Linac 15 MV. 2012;1(1):1–4.
6. Wurdiyanto G, Tuti C. Optimasi Aspek Keselamatan Pada Kalibrasi Pesawat
Radioterapi. Bul Al. 2005;7(1–2):11–6.
7. Fithrony MT. Pengaruh Radioterapi Area Kepala dan Leher Terhadap Curah Saliva
Universitas Diponegoro Tahun 2012 Lembar Pengesahan Laporan Akhir Hasil
Penelitian. Laporan penelitian Universitas Diponegoro. semarang; 2012. 1-63 p.
8. Saraswati L. Pengaruh Promosi Kesehatan Terhadap Pengetahuan Tentang Kanker
Serviks Dan Partisipasi Wanita Dalam Deteksi Dini Kanker Serviks (Di Mojosongo
Rw 22. Sebelas Maret; 2011.
9. Kusumawati Y, Nugrahaningtyas R. Pengetahuan, Deteksi Dini dan Vaksinasi HPV
sebagai Faktor Pencegah Kanker Serviks di Kabupaten Sukoharjo. J Kesehat Masy.
2016;11(2):204.
10. Septadina IS. Upaya Pencegahan Kanker Serviks Melalui Peningkatan Pengetahuan
Kesehatan Reproduksi Wanita Dan Pemeriksaan Metode Iva (Inspeksi Visual Asam
Asetat) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang. J Pengabdi Sriwij.
2015;3(1):222–8.
11. Shalahuddin I, Eriyani T. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Tingkat
Kecemasan Penderita Kanker Serviks Paliatif. J Keperawatan Indones. 2019;5(1):1–
15.
12. Sofia F. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Kanker Serviks. 1st ed. Februanti S, editor.
Vol. 1. yogyakarta: Grup Penerbitan CV Budi Utama; 2019. 1-12 p.
13. Winarto EP, Ivone J. Prevalensi Kanker Kolorektal di Rumah Sakit Immanuel
Bandung Periode Januari 2005 ─ Desember 2007. Jkm. 2007;8(2):138–45.
14. Wijayakusuma H. Atasi Kanker dengan menggunakan tanaman obat. 3rd ed. Dede,
editor. Alodokter Indonesia. Depok: Puspa Swara; 2016. 11 p.
15. Dewi M. Sebaran Kanker di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2007. Indones J Cancer.
2017;11(1):1–8.

52
16. Pandu PA, Pandu IN. Insidensi Penyakit Kanker Buli-buli di RSUD Provinsi Nusa
Tenggara Barat periode 2017-2018. Unram Med J. 2019;8(2):1.
17. Siti H. Studi Biaya Kemoterapi Pada Pasien Kanker Buli Di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Gastrointest Endosc. 2018;10(1):279–88.
18. Nofridianita S, Prasetia H. Perbandingan Verifikasi Akurasi Posisi Pasien Radioterapi
Secara Manual dan Semiotomatis Berbasis Citra DRR/EPID. Indones J Cancer.
2016;10(3):103–12.
19. Abdullah, Bawotong. Hubungan Pemakaian Kontrasepsi Hormonal dan Non
Hormonal Dengan Kejadian Kanker Serviks di PROF. Dr. R.D. Kandao Manado. J
Keperawatan UNSRAT. 2013;1(1):105599.
20. Barrett J. On Target: Ensuring Geometric Accuracy In Radiotherapy. 2008;1(1):11–5.

53
PENGARUH SEQUENCE T2 TIRM, T2 SPAIR, T2 FAT SAT TERHADAP
KUALITAS CITRA PEMERIKSAAN MRI SHOULDER
POTONGAN CORONAL DI RSUP FATMAWATI

Alissya Pratiwi Aurel1), Nursama Heru Apriantoro1), Gando Sari1), Heriyanto2)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120
2)
Departemen Radiologi, RSUP Fatmawati, Jakarta, 12430

Koresponden : Alissyapratiwi98@gmail.com

Abstrak

Pemeriksaan MRI Shoulder bisa dilakukan dengan menggunakan ke tiga sequence ini yaitu sequence T2 TIRM
(turbo inversion recovery magnitude), sequence SPAIR (Spectral Adiabatic Inversion Recovery), dan sequence
FAT SAT (Fat Saturation). TIRM adalah salah satu teknik fat suppression yang memanfaatkan inversi
(pembalikan) proton dengan menggunakan pulsa inversi 180º berdasarkan pada TI dari jaringan. SPAIR adalah
teknik Hybrid yang mengkombinasikan chemical spectral saturation dengan inversion recovery dengan
menggunakan pulse adiabatic. FAT SAT merupakan salah satu pulsa pre-saturation untuk menekan lemak
yang hanya digunakan pada jaringan (khusus lemak) pada sejumlah sendi dan tidak efektif jika diaplikasi kan
pada udara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sequence T2 TIRM, T2 SPAIR, T2 FAT
SAT pada kualitas citra pemeriksaan MRI Shoulder potongan coronal di RSUP fatmawati. Desain penelitian ini
kuantitatif analitik dengan metode eksperimen yang dilakukan di Instalasi Radiologi Magnetic Resonance
Imaging (MRI) di RSUP Fatmawati pada bulan Maret-April 2020. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
adanya perbedaan kualitas citra dari aspek anatomi pada hasil citra pemeriksaan MRI Shoulder potongan
coronal. Didapatkan hasil bahwa sequence T2 FAT SAT lebih baik dalam mencitrakan anatomi gambaran dari
glenoid, supraspinatus muscle dan caput humeri sedangkan sequence T2 SPAIR dan T2 TIRM hasil gambar
dan kuisioner mengatakan hampir mirip bila diukur secara subjektif.

Kata Kunci : MRI Shoulder, TIRM, SPAIR, FAT SAT

PENDAHULUAN
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah teknik pencitraan diagnostik yang
memanfaatkan sifat magnetik dari atom hidrogen yang berinteraksi dengan medan magnet
eksternal (B0) yang besar dan dapat menghasilkan citra diagnostik bagian dalam tubuh
manusia dengan potongan coronal, axial dan sagittal dengan tidak menggunakan radiasi
pengion, radioaktif dan tanpa banyak memanipulasi atau merubah posisi tubuh pasien (1–4).
MRI dikenal dapat memperlihatkan jaringan lunak dengan sangat baik seperti otak, sumsum
tulang belakang, serta musculoskeletal. Sistem musculoskeletal telah menjadi area yang
sangat dikuasai oleh MRI (5). Salah satu pemeriksaan nya adalah MRI Shoulder.
Sakit pada bahu merupakan penyebab terbanyak ketiga pada konsultasi
musculoskeletal (6). Karena bahu memiliki jangkauan seperti gerakan dan sering digunakan,

54
oleh karena itu bahu akan sering mengalami luka atau cedera. Beberapa cedera bahu meliputi:
dislokasi sendi glenohumeral, frozen shoulder, radang sendi, rotator cuff tear, patah
clavicula, ruptur dan skapula retak (7). Pada pemeriksaan shoulder terdapat berbagai
potongan, diantara nya potongan axial, sagittal, dan potongan coronal. Pada potongan
coronal dapat lebih memperlihatkan gambaran glenoid, supraspinatus muscle, caput humeri.
Untuk memperlihatkan musculoskleletal dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik fat
suppression yaitu chemical shift spectral selective (CHESS) turbo inversion recovery
magnitude (TIRM), spectral adiabatic inversion recovery (SPAIR) (8–11).
Pada pemeriksaan MRI Shoulder bisa dilakukan dengan menggunakan ke tiga
sequence ini yaitu sequence T2 TIRM (Turbo Inversion Recovery Magnitude), sequence
SPAIR (Spectral Adiabatic Inversion Recovery), dan sequence FAT SAT karena dianggap
mampu menekan lemak dan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan teknik fat
suppression konvensional (9,11–13) serta sangat sensitif terhadap pengaruh bahan metal dan
bagus untuk menekan lemak (4,12,14).
Untuk itu peneliti tertarik dan ingin mengetahui apa keutamaan dari masing-masing
sequence T2 TIRM, T2 SPAIR, T2 FAT SAT dalam memperlihatkan hasil kualitas citra
pemeriksaan MRI Shoulder potongan coronal di RSUP Fatmawati.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam jurnal ini adalah kuantitatif analitik dengan metode eksperimen
yang dilakukan secara langsung di Instalasi Radiologi Magnetic Resonance Imaging (MRI)
di RSUP Fatmawati pada bulan Maret-April 2020. Penelitian ini menggunakan 2 sampel
dengan metode non random sampling yaitu tidak semua anggota populasi mempunyai
kemungkinan terpilih menjadi sampel tetapi hanya pasien yang melakukan MRI Shoulder di
RSUP Fatmawati. Instrument penelitian ini menggunakan lembar observasi untuk mencatat
semua kegiatan yang dilakukan selama penelitian berlangsung berupa langkah-langkah kerja
yang dilakukan, dan kuisioner yang akan diberikan kepada responden.
Alat dan bahan yang digunakan pada pemeriksaan MRI Shoulder di RSUP Fatmawati
yaitu pesawat MRI Siemens Magnetom Essenza 1,5 Tesla, shoulder coil, headphone,
emergency bell, selimut, operator console, monitoring camera, processing unit, DVD-R.
Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan sebelum menjalani pemeriksaan. Pasien

55
diberikan lembar screening yang berisi keterangan seperti: apakah pasien sudah pernah
menjalani operasi, apakah memiliki claustrophobia (takut ruang sempit), apakah didalam
tubuh pasien terdapat benda logam seperti alat pacu jantung dan sebagainya, kemudian
jelaskan prosedur pemeriksaan secara lengkap. Sebelum memasuki ruangan pemeriksaan,
pastikan pasien sudah terbebas dari benda yang mengandung bahan ferromagnetic seperti
perhiasan, jam tangan, jepit rambut, alat bantu dengar, kartu ATM, dan lain-lain. Lalu pasien
mengganti baju dengan baju pemeriksaan.
Pasien diposisikan tidur (supine) di atas meja pemeriksaan MRI dengan posisi kepala
berada dekat dengan gantry MRI (head first). Posisikan shoulder berada dalam coil shoulder
yang sudah terpasang ke gantry. Jelaskan kepada pasien mengenai waktu pemeriksaan yang
cukup lama dan instruksikan agar tidak bergerak selama pemeriksaan berlangsung agar tidak
terjadi artefak. Berikan emergency bell dan jelaskan fungsinya sebagai alat komunikasi
antara pasien dan radiografer yang hanya digunakan saat pasien merasa tidak nyaman
ataupun tidak sanggup untuk melanjutkan pemeriksaan. Beri selimut agar pasien merasa
nyaman dan pasangkan headphone pada pasien untuk meredam suara bising dari pesawat
MRI. Atur sentrasi pada caput humeri kemudian tekan tombol travel to scan pada gantry
agar meja pemeriksaan masuk ke dalam gantry.
Setelah itu cek hasil gambaran apabila sudah baik, pasien dikeluarkan dari gantry
dengan menekan kebawah tombol masuk/keluar meja pemeriksaan, instruksikan kepada
pasien untuk mengganti baju dan diberitahu bahwa hasil fotonya dapat diambil 1x24 jam
setelah pemeriksaan atau besok harinya, film yang akan dicetak diedit dan disesuaikan
terlebih dahulu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil gambaran MRI Shoulder potongan coronal dengan (a) sequence T2 TIRM, (b)
sequence T2 SPAIR, (c) sequence T2 FAT SAT.

56
A B C
Gambar 1 Hasil Citra MRI Shoulder potongan coronal dengan menggunakan
(a) T2 TIRM (b) T2 SPAIR (c) T2 FAT SAT

Nilai dari kualitas citra gambar yang diperoleh dapat memberikan informasi citra
diagnostik seperti anatomi dengan memberikan skor penilaian 1 untuk hasil 1 untuk gambar
“kurang jelas”, nilai 2 hasil gambar “cukup jelas”, dan nilai 3 hasil gambar “sangat jelas”
pada setiap gambaran yang dijadikan sampel penelitian dengan munggunakan sequence T2
TIRM, T2 SPAIR, T2 FAT SAT. Hasil rekapitulasi penilaian dirangkum pada tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi total hasil penilaian 7 responden terhadap 2 hasil gambar (2 sampel)
T2 TIRM, T2 SPAIR, T2 FAT SAT pada citra anatomi Glenoid, Supraspinatus Muscle,
Caput Humeri
Hasil rerata pendapat 7 responden Rat
Sequence terhadap 2 hasil gambaran (2 arat
Anatomi
MRI sampel) a
1 2 3 4 5 6 7
Glenoid 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 3 2,5 2,57
T2 TIRM Supraspinatus
3 2 2,5 2,5 3 2,5 2,5 2,57
Muscle
Caput Humeri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Glenoid 3 2 2 2,5 3 3 2 2,5
T2 SPAIR Supraspinatus
2 2 3 3 2,5 3 2 2,5
Muscle
Caput Humeri 3 2,5 2,5 2,5 2 2,5 2 2,42
Glenoid 3 3 2 3 3 3 3 2,85
Supraspinatus
T2 FAT SAT 3 3 2 3 3 3 3 2,85
Muscle
Caput Humeri 3 3 2 3 2,5 3 3 2,78
Hasil dari kuisioner yang dimasukkan pada tabel 1 menyajikan tabel yang sudah
dikelompokkan antara 7 responden terhadap 2 hasil gambar dengan penilaian citra anatomi

57
Glenoid, Supraspinatus Muscle, Caput Humeri pada setiap pasien. Di dapat nilai rata-ratanya
tertinggi pada T2 FAT SAT (2,82) dengan perolehan penilaian responden terendah 2 dan
tertinggi 3, T2 SPAIR (2,47) dengan perolehan penilaian responden terendah 2 dan tertinggi
3, T2 TIRM (2,54) dengan perolehan penilaian responden terendah 2 dan tertinggi 3.
KESIMPULAN
Setelah dilakukan eksperimen terhadap pemeriksaan MRI Shoulder potongan coronal
di Instalasi Radiologi RSUP Fatmawati dengan sequence T2 TIRM, T2 SPAIR, T2 FAT
SAT, didapatkan hasil bahwa sequence T2 FAT SAT lebih baik dalam mencitrakan anatomi
gambaran dari glenoid, supraspinatus muscle dan caput humeri sedangkan sequence T2
SPAIR dan T2 TIRM hasil gambar dan kuisioner mengatakan hampir mirip bila diukur secara
subjektif. Berdasarkan waktu penilaian nya, sequence T2 FAT SAT mempunyai waktu
relative lebih cepat dengan perolehan waktu 02,20 menit sedangkan sequence T2 SPAIR
02,49 menit, dan sequence T2 TIRM 03,29 menit.
Diketahui bahwa teknik fat suppression sequence T2 FAT SAT lebih baik dengan
perolehan nilai rata-rata 2,82 dalam mencitrakan anatomi pada pemeriksaan MRI Shoulder
dari nilai rata-rata sequence T2 TIRM dan T2 SPAIR berdasarkan hasil kuisioner yang telah
dinilai dari responden dan dianalisis statistik. Dari sequence T2 TIRM, T2 SPAIR, T2 FAT
SAT memiliki keunggulan masing-masing tergantung dari klinis pasien dan dari permintaan
yang diinginkan dokter.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah S.W.T atas segala
kemudahan, pertolongan, kasih sayang serta anugerah yang tak terhingga kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan jurnal ini, serta shalawat dan pujian kepada Nabi besar
Muhammad S.A.W yang telah memberikan contoh akhlakul kharimah bagi seluruh muslim.
Dan kedua orang tua tercinta yaitu bunda dan ayah atas seluruh doa, dukungan penuh baik
moril maupun materi atas aktivitas dan seluruh keputusan yang penulis lakukan, serta
nasehat, kasih sayang dan dorongan semangat tanpa henti yang diberikan sepanjang hidup
penulis. Serta tak lupa kakak tercinta yang telah memberi bantuan dan semangat nya selama
ini. Semoga jurnal ini dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun bagi pembaca pada
umumnya serta dapat dijadikan inspirasi

58
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartawiguna D. Tomografi Resonansi Magnetik Inti. 1st ed. Yogyakarta: Graha Ilmu;
2015.
2. Hancock J. Mri Study Guide. 1st editio. Australia: australian Institute of Radiography;
2010.
3. Westbrook C. MRI at a Glance. 3rd editio. Road G, Drive GA, editors. Cambridge:
John Wiley & Sons Ltd; 2016.
4. Indrati R, Juliantara I P, Dahjono J, Wibowo GT, Abimanyu B, Murniati E MS.
Comparing SPIR and SPAIR Fat Suppression Techniques in MRI of wrist.
2017;5(June).
5. Muzamil A, Indri NV, Astuti SD, Prijo TA. Optimalisasi Citra Axial Sequence T2
Gradient Echo Dengan Variasi Bandwidth Dan Time Echo Pada MRI Shoulder Untuk
Mengurangi Susceptibility Artifacts Dan Chemical Shift. J Heal. 2018;5:40–9.
6. Evadarianto N, Dwiyanti E. Postur kerja dengan keluhan musculoskeletal disorder.
IJOSH. 2017;6:97–106.
7. Major N, Morrison WB, Coker D. The Shoulder. 2015;24(2):83–92.
8. Pezeshk P, Alian A, Chhabra A. Role of chemical shift and Dixon based techniques
in musculoskeletal MR imaging. Eur J Radiol. 2017;
9. Kishida Y, Koyama H, Seki S, Yoshikawa T, Kyotani K, Okuaki T et al. Comparison
of fat suppression capability for chest MR imaging with Dixon, SPAIR and STIR
techniques at 3 Tesla MR system. Magn Reson Imaging. 2017;
10. Grande F Del, Santini F, Herzka DA, Aro MR, Dean GW, Gold GE, et al. Fat-
suppression techniques for 3-T MR imaging of the musculoskeletal system.
Radiographics. 2014;34.
11. Ribeiro MM, Rumor L, Oliveira M, O’Neill JG, Maurício JC. STIR, SPIR and SPAIR
techniques in magnetic resonance of the breast: A comparative study. J Biomed Sci
Eng. 2013;06(03).
12. Horger W. Fat Suppression in the Abdomen. Siemens Med Solut. 2007;3:114–9.
13. Lauenstein TC. Spectral Adiabatic Inversion Recovery (SPAIR) MR imaging of the
Abdomen. 2017;
14. Kristiyanto D, Katili M ME. Perbedaan Informasi Anatomi sekuen T1 W FSE dengan
fat saturasi dan tanpa fat saturasi pada pemeriksaan MRI Kepala. 2017;3(1).

59
EVALUATION OF THE USE OF SOLID BOLUS ON HOMOGENITY AND THE
DISTRIBUTION OF RADIATION DOSE IN THE LIPOSARCOMA FEMUR
IRRADIATION

Alma Auliamarwa1), Nursama Heru Apriantoro1), Hari Purnomo2)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Selatan, 12120
2)
Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, 11420

Koresponden : almaauliam@gmail.com

Abstrak

Perencanaan dan penggunaan teknik yang tepat dalam radioterapi dapat menghasilkan dosis optimum pada sel
kanker. Salah satu teknik yang biasa digunakan adalah penggunaan bolus pada penyinaran liposarcoma femur
di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
pemanfaatan bolus padat terhadap homogenitas dan sebaran dosis pada penyinaran femur dengan kasus
liposarcoma di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais. Desain penelitian ini bersifat studi kasus
dengan pendekatan deskriptif kualitatif dengan satu sampel sekunder pada penyinaran liposarcoma pada femur
dengan menggunakan bolus padat. Metode penelitian berupa studi kepustakaan, observasi, dan focus group
discussion. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais pada bulan Maret
2020.Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyinaran liposarcoma femur di Instalasi Radioterapi
Rumah Sakit Kanker Dharmais menggunakan bolus padat untuk menghomogenkan dosis radiasi dikarenakan
bentuk anatomi dari objek yang tidak teratur atau tidak sama volumenya. Dilihat dari kurva DVH yang
menunjukkan laju dosis 95% dari 6000 cGy adalah 5700 cGy untuk PTV, yang berarti bolus padat dapat
menghomogenkan dosis radiasi. Penggunaan bolus padat membuat sebaran dosis mencakupi seluruh lapangan
target.

Kata Kunci : Radioterapi, Liposarcoma Femur, Bolus Padat

PENDAHULUAN
Radioterapi merupakan salah satu tindakan yang bertujuan untuk mematikan sel kanker
dengan menggunakan radiasi pengion yang bersifat non bedah (1) (2). Radiasi pengion
adalah jenis radiasi yang dapat mengionisasi atom–atom atau materi yang dilaluinya karena
adanya peristiwa ionisasi. Linear Accelerator (LINAC) merupakan salah satu alat penghasil
berkas radiasi pengion yang bertujuan untuk mempercepat elektron menjadi energi tinggi
melalui tabung linear dengan menggunakan gelombang elektromagnetik tinggi (3) (4).
Radioterapi merupakan komponen penting disamping tindakan pembedahan dan kemoterapi
dalam penanganan kanker (5). Dengan prinsip memberikan dosis maksimum pada daerah sel
kanker dan seminimal mungkin pada daerah sel sehat. Hal tersebut lebih dimudahkan karena
sifat sel kanker yang lebih sensitif terhadap radiasi dibandingkan dengan sel tubuh yang
sehat. (6)

60
Liposarcoma adalah neoplasma ganas dan berasal dari sel adiposit dan merupakan
salah satu sarkoma jaringan lunak yang paling sering ditemukan (sekitar 9,8-16% dari seluruh
sarkoma). Insidennya pada usia dewasa di USA sekitar 2,5 per satu juta penduduk.
Liposarcoma sedikit lebih tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, rata-rata
mengenai umur 50 tahun (7) (8). Diperlukan adanya pemeriksaan radiologi berupa X-Ray,
CT-Scan dan MRI untuk mengetahui letak tumor serta penyebarannya, dan membantu
menilai batas, struktur disekitar tumor, serta margin untuk tindakan operatif. (9)
Perencanaan dan penggunaan teknik yang tepat dapat menghasilkan dosis optimum
pada sel kanker. Salah satu teknik yang biasa digunakan dalam radioterapi adalah
penggunaan bolus. Bolus merupakan suatu bahan yang tangguh dan memiliki sifat setara
jaringan tubuh manusia. Tujuannya untuk meratakan kontur pasien yang tidak teratur dan
dengan demikian memberikan permukaan yang datar untuk mempermudah melakukan
treatment (3). 3D-CRT (Three Dimensional Conformal Radiation Theraphy) adalah teknik
penyinaran yang didasarkan pada informasi anatomis 3D dan menggunakan distribusi dosis
yang sesuai dengan target volume dalam hal dosis memadai untuk tumor dan seminimal
mungkin pada jaringan sehat (10). Dengan semakin berkembangnya teknologi pencitraan
diagnostik dan radioterapi, kombinasi perencanaan radiasi 3 dimensi disertai penggunaan
pengaturan berkas sinar yang lebih kompleks dapat menghasilkan cakupan sinar yang sesuai
dengan bentuk tumor. (11)
Femur memiliki bentuk yang tidak rata sehingga pemberian dosis radiasi tidak
homogen. Untuk menanggulanginya maka diperlukan penggunaan bolus padat yang
memiliki sifat setara dengan jaringan tubuh manusia. Dengan penggunaan sebagai
kompensator, idealnya bahan bolus harus mudah diproduksi, tidak beracun, kaku selama
periode penggunaan, mudah ditempatkan pada permukaan kulit. Selain itu, distribusi dosis
harus homogen dan mencakup seluruh target volume (12). Berdasarkan masalah di atas, maka
perlu dikaji tentang evaluasi pemanfaatan bolus padat terhadap homogenitas dosis radiasi
dan sebaran dosis radiasi pada penyinaran liposarcoma femur di Instalasi Radioterapi Rumah
Sakit Kanker Dharmais.

61
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat studi kasus dengan
pendekatan deskriptif kualitatif untuk mendiskripsikan dan menganalisis mulai dari
perencanaan, pelaksanaan radiasi hingga pemberian dosis yang disajikan berupa penjelasan
penyinaran liposarcoma pada femur dengan menggunakan bolus padat. Penelitian ini
dilakukan di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais pada bulan Februari
sampai dengan April 2020. Populasi dari penelitian ini adalah pasien penderita liposarcoma
pada femur yang melakukan penyinaran teknik 3D dengan menggunakan bolus padat di
Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais. Sampel penelitian ini adalah pasien
yang didapat dari data sekunder penyinaran femur pada kasus liposarcoma dengan
menggunakan bolus padat. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan lembar observasi untuk mencatat hasil observasi dan print out hasil
Treatment Planning System (TPS). Metode pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh
dari studi kepustakaan yang berasal dari jurnal serta data di internet, observasi terhadap
penyinaran liposarcoma femur menggunakan bolus padat, dan focus group discussion yaitu
melakukan diskusi bersama radioterapis untuk mendapatkan arahan dan bimbingan.
Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
sekunder dari hasil penyinaran kasus liposarcoma pada femur teknik 3D dengan
menggunakan bolus padat. Kemudian penulis mengumpulkan berbagai data-data pendukung
dengan melakukan diskusi dengan radioterapis dan fisikawan medis, yang berkaitan dengan
proses planning dan penyinaran radiasi. Data yang telah terkumpul selanjutnya disajikan
dalam bentuk naratif sesuai dengan hasil diskusi dan pengambilan data yang sebenar-
benarnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi lapangan di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker
Dharmais tentang evaluasi pemanfaatan bolus padat terhadap homogenitas dan sebaran dosis
radiasi pada penyinaran liposarcoma femur. Pasien datang ke bagian administrasi dengan
membawa surat rujukan atau pengantar dari poliklinik internal rumah sakit atau rujukan
rumah sakit lain. Serta membawa data penunjang seperti hasil diagnostik (CT-scan, MRI,
PET-Scan, dan Bone scan), hasil Patologi Anatomi (PA) dan hasil laboratorium. Selanjutnya

62
pasien melakukan administrasi dan diberikan jadwal untuk konsultasi dengan Dokter
Spesialis Onkologi Radiasi. Pasien melakukan konsultasi dengan Dokter Spesialis Onkologi
Radiasi di poliklinik radioterapi. Selanjutnya Dokter akan melakukan pemeriksaan umum
pasien dan anamnesa meliputi: 1) Perlu atau tidaknya tindakan radiasi; 2) Bila diperlukan
tindakan radioterapi, dokter akan menentukan tujuan radiasi; 3) Menentukan lokasi
penyinaran radiasi; 4) Menentukan teknik radiasi; 5) Menentukan dosis radiasi. Setelah
semua syarat dan kriteria untuk pasien menjalani terapi radiasi eksterna terpenuhi,
selanjutnya pasien diberikan perincian biaya dan mengisi serta menandatangani inform
consent/surat persetujuan tindakan. Dengan diagnosa liposarcoma femur, dokter onkologi
radiasi menentukan teknik penyinaran yaitu 3D-CRT dengan energi 6 MV dengan dosis total
6000 cGy dan dosis per fraksi 200 cGy sebanyak 30 kali. Pesawat yang digunakan untuk
simulasi di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais adalah Pesawat CT
Simulator dengan merk GE. LINAC (Linear Accelerator) yang digunakan di Rumah Sakit
Kanker Dharmais adalah Trilogy produksi perusahaan Varian Medical System, USA.
Memiliki multi energi yaitu energi foton (6 MV dan 10 MV) dan energi elektron (4 MeV, 6
MeV, 9 MeV, 12 MeV, 15 MeV, 16 MeV, dan 18 MeV). Dilengkapi dengan Multi Leaf
Collimator (MLC) pada setiap sisi kanan dan kiri sebanyak 120 bilah dengan 20 bilah
berukuran 1 cm dan 40 bilah berukuran 0.5 cm. Serta memiliki alat verifikasi berupa
Electronic Portal Imaging Device (EPID) dan On Board Imager (OBI).
Proses Pembuatan Bolus Padat di Mould Room : Pasien diinstruksikan untuk supine
diatas meja pemeriksaan dengan bagian femur sinistra terbebas dari pakaian. Balut femur
bagian anterior dengan plester gip kemudian dibaluri dengan powder gypsum yang telah
dicairkan dan tunggu hingga mengeras. Setelah mengeras, angkat gypsum yang telah
dibentuk dan lakukan hal yang sama untuk femur bagian posterior. Satukan gypsum bagian
anterior dan posterior dan direkatkan dengan powder gypsum yang telah dicairkan, tunggu
hingga merekat lalu isi bagian dalam gypsum dengan powder gypsum sampai penuh dan
merata sehingga terbentuk patung yang berbentuk femur. Patung yang telah mengeras dilepas
dari cetakan kemudian digantung di kotak akrilik ukuran panjang 40 cm, lebar 25 cm, dan
panjang 20 cm, menggunakan tali yang disangkutkan kayu diatas kotak akrilik. Patung
digantung dengan ketinggian batas bawah sekitar 2,5 cm dari kotak akrilik untuk mencegah

63
terjadinya keretakan atau pecah. Tuangkan lilin parafin yang telah dicairkan di alat pemanas
lilin sedikit demi sedikit ke dalam kotak akrilik sampai penuh dan tunggu hingga 2 hari
hingga lilin mengeras. Setelah mengeras, potong horizontal lilin menjadi 2 bagian (anterior
dan posterior) dengan gergaji kayu dan lepaskan patung gypsum yang berada di dalam lilin.
Pasien diinstruksikan datang kembali setelah dua hari untuk memastikan ukuran bolus padat
yang telah dicetak dengan femur. Setelah ukuran bolus padat dengan femur sudah pas, pasien
diberikan jadwal untuk melakukan simulasi radiasi di ruang CT Simulator.
Proses Simulasi di Ruang CT Simulator : Pasien diinstruksikan supine dengan feet first
dan posisi tangan di atas perut, serta posisi femur berada di dalam bolus padat. Pastikan letak
femur sudah sesuai dengan cetakan bolus padat. Atur laser horizontal di Mid Coronal Line
(MCL) tubuh dan laser vertical berada di Mid Sagittal Line (MSL) tubuh agar pasien dalam
posisi true AP dan Central Point (CP) di pertengahan femur. Bila ada jahitan bekas operasi,
tempelkan Scar Marker di bekas jahitan tersebut. Radioterapis akan menentukan titik
reference point pada bolus padat di tiga titik dengan menempelkan micropore dan
menandainya dengan spidol permanen berwarna merah lalu menempelkan titik timbal
dengan micropore di tiga reference point tersebut. Masukkan pasien ke dalam gantry, dan
tekan laser 0 pada tiga reference point kemudian masukkan kembali hingga mencapai batas
bawah. Setelah itu tutup pintu ruangan dan menuju ke ruang operator. Selanjutnya scanning
diawali dengan gambaran topogram dengan atur Field of View (FOV) batas atas crista illiaca
dan batas bawah 1/3 proximal cruris. Atur slice thickness 3 mm dan lakukan scanning. Hasil
scan dikirim ke TPS dan pasien diberikan jadwal penyinaran dan dipersilakan pulang.
Prosedur Perencanaan Penyinaran : Setelah data dari CT Simulator dikirim ke TPS,
Dokter Spesialis Onkologi Radiasi akan melakukan konturing target tumor dari CTV dan
PTV. Untuk daerah femur tidak ada Organ At Risk (OAR) sehingga tidak perlu dilakukan
konturing pada OAR. Fisikawan Medis akan memasukkan data beam seperti Moniror Unit
(MU), menentukan energi yang dipakai, Dose Rate, isocenter, luas lapangan radiasi, sudut
gantry, sudut collimator, dan bentuk Multi Leaf Collimator (MLC) sesuai bentuk target.
Dilakukan kalkulasi dosis serta analisis hasil perhitungan Dose Volume Histogram (DVH).
Mengevaluasi hasil Dose Volume Histogram (DVH) dan distribusi dosis.

64
Gambar 4.14: Hasil Planning Oleh Fisikawan Medis

Gambar 4.15: Dose Volume Histogram (DVH)

Jika disetujui, Dokter Spesialis Onkologi Radiasi dan Fisikawan Medis akan
melakukan approval. Hasil planning dikirim ke ruang penyinaran, setelah planning
penyinaran dikirim ke ruang penyinaran, radioterapis akan menyiapkan alat dan bahan yang
diperlukan, kemudian memanggil pasien dan menginstruksikan untuk supine feet first dengan
posisi tangan di atas perut dan posisi femur sinistra berada di dalam bolus padat. Pastikan
letak femur sesuai dengan bentuk dari cetakan bolus padat. Selanjutnya atur laser ke titik
referensi dan lakukan pergeseran couch sesuai set up TPS. Sebelum penyinaran dimulai,
pasien dilakukan verifikasi menggunakan On Board Imager (OBI) untuk mencocokkan
posisi sesuai dengan planning. Setelah selesai dilakukan verifikasi, selanjutnya pasien
dilakukan penyinaran oleh radioterapis pada sudut gantry 70o, 20o, 0o, dan 196o. Apabila
selesai dilakukan penyinaran, pasien dipersilakan pulang dan diberikan buku penyinaran
yang harus dibawa setiap kali melakukan radiasi.

65
KESIMPULAN
Bolus padat digunakan karena anatomi dari femur tidak rata sehingga pemberian dosis
radiasi tidak homogen. Selain digunakan untuk menghomogenkan dosis radiasi, bolus padat
memiliki fungsi lain, yaitu sebagai alat immobilisasi selama penyinaran berlangsung. Untuk
kasus liposarcoma femur diberikan total dosis 6000 cGy dengan dosis per fraksi sebesar 200
cGy sebanyak 30 kali. Dosis tersebut diinput oleh Fisikawan Medis di TPS yang kemudian
dilakukan kalkulasi dosis dari target PTV. Tidak terdapat OAR pada kasus liposarcoma
femur. Pada kurva Dose Volume Histogram (DVH) menunjukkan laju dosis 95% dari 6000
cGy adalah 5700 cGy untuk PTV yang berarti bolus padat dapat menghomogenkan dosis
radiasi ke target dan saat dilakukan radiasi dalam satu bagian kompartemen mendapatkan
nilai yang sama. Sebaran dosis dapat dilihat pada kurva isodosis, Pada kurva isodosis,
menunjukkan batas bawah dosis untuk (Planning Target Volume) PTV yaitu 5700 cGy dan
presentase dosis sebesar 95%. Angka tersebut sudah mencapai batas yang diharapkan.
Dengan demikian, penggunaan bolus padat pada penyinaran liposarcoma femur
menghasilkan sebaran dosis yang mencakupi seluruh lapangan dan sangat signifikan untuk
memberikan sebaran dosis pada volume target tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Emsis PW, Suharyono. Kepuasan Konsumen (Survei Pada Pasien Sinar Radiasi /
Radioterapi Rawat Jalan Di RSK Dharmais Jakarta). J Adm Bisnis. 2019;73(1):21–9.
2. Jauhari A, Pamungkas DOR, Dewi PW. Analisis Hasil Treatment Planning System
Teknik Penyinaran 3D Conformal Radiotherapy Dengan 2 Variasi 5 Arah Lapangan
Radiasi Yang Berbeda Pada Kasus Kanker Prostat Di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. J Kesehat Masy Andalas. 2013;9(1):37–43.
3. Junaedi D, Setiawati E, Arifin Z, Fisika D, Sains F, Diponegoro U, et al. Analisis
Penggunaan Polydimethyl Siloxane Sebagai Bolus Dalam Radioterapi Menggunakan
Elektron 8 MeV Pada Linac. Youngster Phys J. 2016;5(4):391–8.
4. Purnomo A, Nurdin WB, Dewang S, Fisika J, Hasanuddin U, Purnomo A, et al. Uji
Kelayakan Pesawat Linear Accelerator (Linac) Berkas Sinar- X 6 MV Dan 10 MV
Dengan Variasi Source To Skin Distance (SSD) Dan Kedalaman Pada Water
Phantom. Hasanudin University. 2017.
5. Arifianto A, Manjas M, Raymond B, Edison E. Amnion Liofilisasi Efektif
Menyembuhkan Reaksi Kulit Akibat Radioterapi Pada Pasien Kanker. Maj Kedokt
Andalas. 2016;39(2):42.
6. Handoko A, Hidayanto E, Hidayatullah, Richardina V. Analisis Keakuratan Verifikasi
Dosis Dengan Menggunakan Perbandingan Phantom Standar Dan Phantom Replika.
Youngster Phys J. 2018;07(1):10.

66
7. Hartati I, Mustokoweni S. Hubungan Ekspresi CD8 dengan Skor Diferensiasi
Liposarkoma. Maj Patol. 2015;24(2):1–6.
8. Fitrikalinda. Karakteristik Gambaran Histopatologi Liposarkoma di Laboratorium
Patologi Anatomik FK USU / Unit Patologi Anatomik RSUP H . Adam Malik Medan.
2019.
9. Ismiarto YD, Sitanggang GL. Karakteristik Pasien Dengan Osteosarkoma Pada
Ekstremitas Di Rumah Sakit Umum Pusat DR . Hasan Sadikin Bandung Periode
Januari-Desember 2014. Syifa Med. 2019;10(1):23–30.
10. Khan FM. The Physics Of Radiation Therapy. 3rd ed. Philadelphia; 2003.
11. Kodrat H, Susworo R, Amalia T, Sabariani RR. Radioterapi Konformal Tiga Dimensi
Dengan Pesawat Cobalt-60. Radioter Onkol Indones. 2016;7(1):37–42.
12. Verma TR, Painuly NK, Tyagi M, Johny D, Gupta R, Bhatt MLB. Validation of the
gel & wax boluses and comparison of their dosimetric performance with virtual bolus.
J Biomed Phys Eng. 2019;9(6):629–36.

67
ANALYSIS OF MRI CRURIS EXAMINATION TECHNIQUES ON SOFT TISSUE
TUMOR CASE AT PREMIER HOSPITALS SURABAYA

Dery Furqon Pradana1), Heri Kuswoyo2), Asumsie Tarigan3)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik Dan Radioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120

Koresponden : furqondery@gmail.com

Abstrak
Tumor merupakan masalah kesehatan yang serius di era modern. Tumor adalah pertumbuhan yang abnormal
dari sel-sel tubuh. Tumor dapat terjadi hampir di seluruh organ termasuk pada muskuloskeletal. Tumor pada
muskuloskeletal dapat bersifat jinak atau ganas, dimana dapat merupakan tumor primer yang berasal dari unsur-
unsur tulang atau soft tissue sendiri atau tumor sekunder dari metastasis (infiltrasi) terutama dari tumor tumor
ganas lain ke dalam musculoskeletal. MRI merupakan salah satu modalitas imejing yang digunakan untuk
mendiagnosa soft tissue tumor. Penelitian ini bertujuan Menganalisis prosedur pemeriksaan MRI cruris pada
kasus soft tissue tumor di RS Premier Surabaya. Desain penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penulis
mengumpulkan data dengan melakukan observasi atau pengamatan di lapangan pada bulan Maret 2020 di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi
langsung, studi kepustakaan, dan menggunakan lembar kerja untuk mencatat hasil penelitian. Hasil dari
penelitian ini adalah ada sedikit perbedaan anatara prosedur di lapangan dengan teori dari segi persiapan pasien
dan orientasi potongan pemeriksaan MRI cruris pada kasus soft tissue tumor di Rumah Sakit Premier Surabaya.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah penting dalam melakukan prosedur pemeriksaan untuk mengacu pada
teori agar menghasilkan gambaran yang baik dan diagnosa yang akurat, namun dalam keadaan tertentu ada
beberapa hal yang tidak dilakukan sesuai teori bergantung pada keadaan dan situasi di lapangan.

Kata kunci: MRI cruris, tumor soft tissue, kontras media, diagnosa, sequence

PENDAHULUAN
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah teknik pencitran yang digunakan terutama
dalam pemeriksaan medis untuk menghasilkan gambar dari bagian dalam tubuh manusia.
MRI didasarkan pada prinsip – prinsip teknik resonansi magnetic. MRI mampu mencitrakan
penampang tubuh dalam berbagai potongan seperti sagittal, axial, dan coronal dengan
memanfaatkan atom hydrogen dalam tubuh (1). Kelebihan MRI dibandingkan modalitas
pencitraan lain diantaranya tidak menimbulkan rasa sakit, tidak menggunakan radiasi
pengion, dan menghasilkan resolusi yang baik pada jaringan lunak. Oleh karena itu modalitas
MRI dipilih untuk menilai kelainan pada jaringan lunak seperti otak, otot, sumsum tulang
belakang, persarafan, dan muskuloskeletal. Kekurangan pencitraan MRI terletak pada waktu
pemeriksaan yang relative lebih lama dibandingkan modalitas lainnya(2)(3).

68
Teknologi MRI mampu melakukan berbagai pemeriksaan organ dalam tubuh, salah
satunya yaitu MRI cruris. Cruris atau tungkai bawah terdiri atas tulang tibia dan fibula yang
berfungsi memberikan keseimbangan, dan mobilitas. Untuk mempertahankan fungsi
tersebut, maka diperlukan kondisi tulang dan jaringan lunak (otot, lemak, tendon jaringan
saraf, dan pembuluh darah) yang optimal. Tibia atau tulang kering terletak medial dari fibula
atau tulang betis (4)(5). Indikasi pada pemeriksaan MRI cruris diantaranya tumor, infeksi,
dan cedera otot (6)(7).
Tumor merupakan masalah kesehatan yang serius di era modern. Tumor adalah
pertumbuhan yang abnormal dari sel-sel tubuh (8). Tumor dapat terjadi hampir di seluruh
organ termasuk pada muskuloskeletal. Tumor pada muskuloskeletal dapat bersifat jinak atau
ganas, dimana dapat merupakan tumor primer yang berasal dari unsur-unsur tulang atau soft
tissue sendiri atau tumor sekunder dari metastasis (infiltrasi) terutama dari tumor tumor ganas
lain ke dalam muskuloskeletal (9)(10).
Soft tissue tumor adalah suatu kelompok tumor yang biasanya berasal dari jaringan
ikat, dan ditandai sebagai massa di anggonta gerak, badan atau reptroperitoneum.
Presentasenya kira-kira 40% terjadi di ekstermitas bawah, terutama daerah paha, 20% di
ekstermitas atas, 10% di kepala dan leher dan 30% di badan dan retroperitoneum (11).
Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin mengetahui lebih detail dengan melakukan suatu
penelitian yang berjudul “Analisis Teknik Pemeriksaan Mri Cruris Pada Kasus Soft Tissue
Tumor Di Rumah Sakit Premier Surabaya”.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan pada penulisan jurnal ini merupakan penelitian
kualitatif bersifat deskriptif. Penelitian ini mendekat pada studi kasus yang dilakukan di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya, pada periode 1 sampai 30 Maret 2020.
Sampel merupakan pasien yang melakukan pemeriksaan MRI cruris dengan kasus soft tissue
tumor. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara Pengamatan langsung dan
studi kepustakaan yang dirangkum dari buku, internet dan berbagai jurnal. Metode
Pemeriksaan MRI cruris di Rumah Sakit Premier Surabaya dilakukan dengan cara
mempersiapkan alat dan bahan, persiapan pasien dan posisi pasien dengan protocol scanning.
Persiapan alat dan bahan : Pesawat MRI Phillips 3 T, Selimut, Fiksasi, Anterior coil,

69
Headphone, Emergency bell, Operator console dan. Gadovist. Persiapan Pasien : Sebelum
pemeriksaan, pasien dianamnesa oleh dokter radiolog. Pasien mengisi formulir checklist
pemeriksaan MRI. Pasien diinstruksikan untuk melepas semua perhiasan atau apapun yang
besifat logam dan elektronik. Kemudian pasien mengenakan pakaian khusus pemeriksaan.
Pasien diedukasi mengenai apa yang akan terjadi selama pemeriksaan.
Teknik Pemeriksaan: Pasien diposisikan supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi
feet-first. Kedua kaki diposisikan lurus, kemudian letakkan anterior coil pada cruris. Berikan
selimut, headphone dan emergency bell. Gunakan alat immobilisasi bila diperlukan. Atur
sentrasi di pertengahan ossa cruris, kemudian masukkan objek ke dalam gantry. Input data
pasien secara lengkap, kemudian pilih protokol sequence:
Tabel 1. Protokol sequence
Pre kontras Post kontras

STIR_TSE_COR T1W_TSE_TRA_FS
T1W_TSE_COR T1W_TSE_COR_FS
T2W_TSE_COR T1W_TSE_SAG_FS
T2W_TSE_SAG
STIR_TSE_SAG
STIR_TSE_TRA
T2W_TSE_TRA
T1W_TSE_TRA

Mulai scanning survey untuk planning pre kontas. Selanjutnya dapat mengatur
potongan untuk masing-masing sequence. Untuk potongan coronal dan sagital proximal
sampai distal cruris harus tercakup dalam FOV. sedangkan untuk potongan axial cukup
mencakup bagian yang terdapat kelainan saja. Setelah diperoleh semua gambaran pre
kontras, pasien disuntikan kontras Gadovist oleh perawat radiologi. Setelah injeksi kontras
media selesai lanjutkan scanning post kontras. Selesai scanning post kontras, maka
pemeriksaan telah selesai. Pasien dikeluarkan dari ruang pemeriksaan. Hasil gambaran dapat
dicetak, kemudian diserahkan kepada dokter radiolog.

70
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan pemeriksan MRI cruris dengan kontras media, tampak soft tissue
tumor pada cruris dextra bagian proximal.

Gambar 1. T1_TSE_COR_FS + C

Gambar 2. T1_TSE_TRA_FS + C

Gambar 3. T1_TSE_SAG_FS + C

71
Berdasarkan hasil observasi teknik pemeriksaan MRI cruris pada kasus soft tissue
tumor di Rumah Sakit Premier Surabaya dan berdasarkan literatur yang ada, maka
pembahasan yang dapat disampaikan sebagai berikut:
Pasien memberikan surat permintaan untuk pemeriksaan MRI ke loket pendaftaran
radiologi dari dokter pengirim. Kemudian pasien datang lagi sesuai jadwal yang telah
ditentukan. Sebelum pemeriksaan pasien atau keluarga pasien diharuskan mengisi formulir
checklist pemeriksaan MRI dan menandatangani inform consent. Hal ini dilakukan untuk
memastikan pasien dapat melakukan pemeriksaan MRI. Bila diperlukan informasi detail,
dokter akan mewawancarai pasien yang akan melakukan pemeriksaan MRI. Dokter akan
menanyakan riwayat penyakit yang diderita oleh pasien. Hal ini diperlukan sebagai data
penunjang bagi dokter radiolog nantinya ketika hendak membaca hasil pemeriksaan pasien
yang bersangkutan. Selanjutnya diminta melepas semua benda logam, memakai pakaian
pasien yang telah disediakan dan pasien diedukasi mengenai pemeriksaan yang akan
dilakukan.
Secara umum persiapan pasien sebelemum pemeriksan MRI cruris di RS Premier
Surabaya hampir sama dengan teori. Hanya saja sebelum pemeriksaan pasien tidak diminta
untuk buang air kecil. Sedangkan menurut teori pada buku MRI Parameters and Positioning
(2013), pasien dianjurkan untuk buang air kecil sebelum pemeriksaan. Hal ini dikarenakan
pemeriksaan MRI yang lama sehingga dikhawatirkan pasien ingin buang air kecil ketika
pemeriksaan sedang berlangsung.
Posisi pasien pemeriksaan MRI cruris dengan kontras media pada kasus tumor soft
tissue di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Premier Surabaya adalah feet first. Untuk
kenyamanan, pasien diberikan bantal, selimut dan tombol emergency. Coil yang digunakan
yaitu anterior coil, dengan sentrasi pada pertengahan cruris. Usahakan objek yang diperiksa
berada dipertengahan coil. Secara umum posisi pasien sama dengan teori. Orientasi potongan
MRI cruris, untuk potongan sagital dan coronal genu hingga ankle harus tercakup dalam
gambaran. Sedangkan pada potongan axial hanya mencakup seluas tumor. Terdapat
perbedaan pada orientasi potongan, dimana pada buku MRI Parameters and Positioning
(2013), kedua sisi cruris yaitu cruris dextra dan sinistra tercakup dalam FOV atau bilateral.
Sedangkan pada pemeriksaan MRI cruris di RS Premier Surabaya hanya sisi yang terdapat

72
patologi yang tercakup dalam FOV atau unilateral. Dengan metode unilateral
memungkinkan sisi yang terdapat kelainan diposisikan dipertengahan coil dan gantry
sehingga menghasilkan SNR yang optimal. Jika cruris dextra dan sinistra masuk ke dalam
FOV, bagian tepi dari cruris beresiko terkena artefak. Hal ini sesuai dengan prinsip semakin
jauh dari pusat medan magnet, maka homogenitas magnet nya berkurang.
Sequence yang digunakan STIR_TSE_COR, T1W_TSE_COR, T2W_TSE_COR,
T2W_TSE_SAG, STIR_TSE_SAG, STIR_TSE_TRA, T2W_TSE_TRA, T1W_TSE_TRA
untuk pre kontras dan T1W_TSE_TRA_FS, T1W_TSE_COR_FS, T1W_TSE_SAG_FS
untuk post kontras. Sequence T1 digunakan untuk menggambarkan anatomi, sedangkan
sequence T2 untuk menggambarkan patologi. Pada gambaran T1 tumor terlihat isointens dan
akan terjadi enhancement pada gambaran post kontras. Pada gambaran T2 tumor terlihat
hiperintens. Pada MRI cruris digunakan juga sequence STIR yaitu sebuah teknik yang
memanfaatkan pulsa 180º sebagai pembalikkan (inversion), teknik ini menggunakan time
inversion yang bertujuan untuk meng-null-kan sinyal lemak sehingga hasil citra MRI lemak
berwarna hipointens atau hitam (14). Pada gambaran STIR tumor terlihat hiperintens. Secara
umum protokol yang digunakan sama seperti yang tercantum di literatur.
Pada kasus tumor, pemeriksaan MRI cruris menggunakan kontras media untuk
membantu dalam menegakkan diagnosa dan memberikan informasi diagnostik tentang
klinis. Proses penyuntikan kontras media dilakukan oleh perawat. Dengan kontras media
dapat diketahui jenis tumor, batasan dan bentuk massa serta metastasenya.
Kelebihan dari Pemeriksaan MRI Cruris Menggunakan kontras Media dalam diagnosa
Soft Tissue Tumor, kontras media gadolinium mempengaruhi waktu relaksasi T1 dan T2.
Interaksi antara elektron ion paramagnetik yang tidak berpasangan dengan proton hidrogen,
menyebabkan kemagnetan proton hidrogen bergerak mendekati frekuensi Larmor.
Kemudian energi akan berpindah kearah atom di sekitarnya dan waktu relaksasi T1 dan T2
menjadi lebih singkat. Hal ini menyebabkan meningkatnya intensitas sinyal T1 dan T2
sehingga jaringan yang bersifat patologis menjadi enhancement. Pada kasus tumor,
pemeriksaan MRI cruris menggunakan kontras media membantu dalam menegakkan
diagnosa dan memberikan informasi diagnostik tentang klinis. Dengan kontras media dapat
diketahui jenis tumor, batasan dan bentuk massa serta metastasenya.

73
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan mengenai teknik pemeriksaan MRI cruris pada kasus Soft
Tissue Tumor di Rumah Sakit Premier Surabaya didapatkan kesimpulan: Prosedur
pemeriksaan MRI cruris pada kasus Soft Tissue Tumor di Rumah Sakit Premier Surabaya,
pasien memberikan surat permintaan untuk pemeriksaan MRI ke loket pendaftaran radiologi
dari dokter pengirim. Kemudian pasien datang lagi sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Sebelum pemeriksaan pasien atau keluarga pasien diharuskan mengisi formulir checklist
pemeriksaan MRI dan menandatangani inform consent. Selanjutnya diminta melepas semua
benda logam, memakai pakaian pasien yang telah disediakan dan pasien diedukasi mengenai
pemeriksaan yang akan dilakukan. Kelebihan pemeriksaa MRI cruris dengan kontras media
yaitu dapat mendeteksi lokasi tumor, jenis tumor dan metastasenya. Adapun kekurangannya
adalah waktu pemeriksaan yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
1. McRobbie DW, Moore EA, Graves MJ, Prince MR. From Picture to Proton.
CAMBRIDGE: Cambridge University Press; 2017.
2. Kartawiguna D. Tomografi Resonansi Magnetik Inti. Jakarta: Graha Ilmu; 2015.
3. Brown MA, Semelka RC. MRI Basic Principles and Aplications. 4th ed. Canada: John
Wiley and Sons, Inc; 2011. 1–12 p.
4. Atalay IB, Korkmaz I, Gungor S. Pilomatrixoma located on the cruris : an uncommon
localization. 2017;1–3.
5. Akbar E. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Post Orif Fraktur Cruris 1/3 Distal
Sinistra di RSUD Salatiga. 2015;
6. Westbrook C. Hanbook of Mri Technique. Vol. 53, Journal of Chemical Information
and Modeling. Cambridge; 2008. 1689–1699 p.
7. Webborn N, Morrissey D, Sarvananthan K, Chan O. Acute tear of the fascia cruris at
the attachment to the Achilles tendon : a new diagnosis. 2015;1398–403.
8. Bergovec M, Kubat O, Smerdelj M, Seiwerth S. Epidemiology of musculoskeletal
tumors in a national referral orthopedic department . A study of 3482 cases
Epidemiology of musculoskeletal tumors in a national referral orthopedic department
. A study of 3482 cases. Cancer Epidemiol [Internet]. 2015;(November 2017).
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.canep.2015.01.015
9. Mahyudin F. Diagnosis dan Terapi Tumor Muskuloskeletal. 1st ed. Jakarta: Sagung
Seto; 2017.
10. Nurrohmah S. Asuhan Keperawatan Pada Osteosarkoma. 2016;
11. Hornick JL. Practical Soft Tissue Pathology: A Diagnostic Approach E-Book: A
Volume in the Pattern Recognition Series. 2nd ed. Boston: Elsevier Health Sciences;
2017. 3 p.

74
PENATALAKSAAN PEMERIKSAAN MRCP DENGAN KONTRAS KASUS
KANKER PANKREAS DI RS KRAKATAU MEDIKA CILEGON

Dea Nurfadhillah1),Nursama Heru A.1),Gandosari1),Aris Nurkamal2)


1)
Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta 12120
2)
Instalasi Radiologi, Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon, Banten 42435

Koresponden : deanurfadh@gmail.com

Abstrak
Ca Pankreas merupakan tumor pankreas eksokrin yang paling umum serta merupakan Kanker paling umum
ke-12 di seluruh dunia. Ca pankreas merupakan salah satu kanker mematikan yang sulit dideteksi awalnya
sehingga diperlukan penangan tepat dan cepat untuk mendeteksinya yaitu dengan menggunakan pemeriksaan
MRCP menggunakan kontras. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan prosedur penatalaksaanaan,
teknik pemeriksaan dan menganalisis kualitas citra gambaran klinis ca pankreas. Desain penelitian ini berupa
studi kasus dengan metode pengumpulan data observasi langsung, wawancara, dokumentasi dan studi
kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya MRCP dengan kontras pada kasus ca pankreas
membantu menegakkan diagnosa. Serta penggunaan sequence dan teknik akuisisi citra MRCP yang digunakan
mampu mempengaruhi kualitas citra gambar yang dihasilkan. Berdasarkan observasi langsung pemeriksaan
MRCP dengan kontras teori dan hal yang terjadi dilapangan memiliki perbedaan penggunakan sequence dan
teknik akuisisi MRCP yang digunakan. Hasil pemeriksaan MRCP dengan kontras menunjukkan bahwa pasien
mengalami Ca Pankreas dan klinis lainnya.

Kata kunci: MRCP Kontras, Ca Pankreas, Sequence

PENDAHULUAN
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan salah satu modalitas imaging
diagnostik memanfaatkan sifat magnetik dari hidrogen dan interaksi dengan kedua magnet
eksternal (B0) dan gelombang radiofrekuensi untuk menghasilkan gambar irisan anatomi
tubuh secara multiplanar dengan kontras resolusi yang sangat baik tanpa banyak
memanipulasi atau merubah posisi tubuh pasien (1,2).
MRI menciptakan gambar yang dapat menunjukkan perbedaan sangat jelas dan lebih
sensitif untuk menggambarkan anatomi jaringan lunak dalam tubuh, terutama otak, sumsum
tulang belakang, otot, susunan saraf, dan muskulus skeletal dibandingkan dengan
pemeriksaan CT-Scan atau konvensional (3,4). Salah satu pemeriksaan MRI adalah
pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP). Magnetic
Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP) adalah pemeriksaan MRI yang digunakan

75
untuk mengevaluasi duktus billiaris, pankreas dan kandung empedu dengan salurannya
karena kemungkinan adanya batu, tumor dan penyakit lainnya (5).
Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography merupakan salah satu pemeriksaan
MRI pada organ yang bergerak, oleh karena itu diperlukan suatu teknik pengambilan gambar
yang tepat untuk dapat menghindari atau meminimalisir kekaburan citra akibat pergerakan
dari organ. Pemeriksaan MRCP terdapat dua teknik dalam proses akuisisi citra, yaitu akuisisi
citra dengan teknik breath hold dan teknik trigger. Akuisisi citra pada teknik breath hold,
berlangsung pada saat pasien menahan nafas. Tahan nafas ini bertujuan untuk menghindari
adanya pergerakan dari organ abdomen sehingga mengakibatkan kekaburan citra. Teknik
breath hold digunakan pada pasien yang kooperatif dan dapat menahan nafas saat
pemeriksaan. Sementara, Proses akuisisi tekniki trigger berlangsung dengan menggunakan
suatu alat respiratory gatting yang diletakan pada diafragma pasien yang berfungsi untuk
mendeteksi pernafasan pasien. Teknik trigger digunakan pada pasien yang tidak kooperatif
dan pasien pediatrik, dimana pada kondisi ini pasien tidak dapat menahan nafas dengan baik
(5,6).
Sequence yang biasa digunakan pada pemeriksaan MRCP adalah Three Plane
Localiser, Axial 2D Fiesta (Fat Suppressed), Coronal 2D Fiesta (Fat Suppressed), Axial T2
Weighted Triggered, Coronal Oblique 3 Slab MRCP, Para Coronal Respiratory Triggered,
Axial Thin Slice T2-Weighted dan Dynamic Coronal MRCP (4,5). Ca Pankreas merupakan
tumor pankreas eksokrin yang paling umum dan Kanker paling umum ke - 12 di seluruh
dunia. Beberapa faktor risiko kanker pankreas, seperti riwayat keluarga kanker pankreas,
serta sejarah pribadi merokok, pankreatitis kronis, dan diabetes mellitus. Gejala kanker
pankreas sering termasuk sakit perut, penurunan berat badan, gatal, atau Jaundice disease
(kulit kuning) (7). Ca Pankreas merupakan salah satu kanker mematikan yang sulit dideteksi
awalnya sehingga diperlukan penangan tepat dan cepat untuk mendeteksi dan
mengkategorikan jenis cancer ini (8). Pendeteksian ca pancreas dapat menggunakan MRI
karena sensitivitas mendeteksi lesi dan menghasilkan Enhance gambar kanker yang lebih
baik dibanding modalitas CT-scan (3,9). Selain itu, MRI mampu menujukkan sensitivitas
terhadap metastasis kecil pada liver dan mampu mendeteksi ca pancreas dilihat dari
pelebaran pancreas dan bile duct pada head pancreas pada gambaran 3D (4,10–12). Pada

76
beberapa kasus MRCP dilakukan pemberian kontras media untuk menambah informasi
mengenai jenis lesi dan penyebarannya (13,14).
METODE
Penelitian termasuk jenis Studi Kasus teknik pemeriksaan MRCP Kontras di Instalasi
Radiologi Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon menggunakan 1 sampel yang merupakan
pasien dengan klinis ca pankreas. Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan
cara observasi langsung, wawancara dengan dokter spesialis radiologi dan radiografer, dan
seluruh data (alat dan bahan penelitian) dijelaskan sesuai dengan SOP yang diterapkan di
Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon untuk mengetahui alur penatalaksanaan MRCP
kontras mulai dari Persiapan Alat dan Bahan, Persiapan pasien, Prosedur Pemeriksaan,
Teknik Pemeriksaan dan pencetakkan hasil gambaran di Rumah Sakit Krakatau Medika
Cilegon. Alat dan Bahan yang digunakan yaitu Pesawat MRI merk GE 1,5 T , Surface coil,
Emergency Bell, Headphone, Selimut, Workstation Unit, Monitoring Camera, kontras media
berupa Gadolinium 10 mL, Nacl 5 mL, Spuit 10 cc dan needle.
Persiapan pasien untuk pemeriksaan MRCP menggunakan Kontras yaitu telah
melakukan cek laboratorium Ureum Kreatinin dan melakukan puasa 4-6 jam sebelum
pemeriksaan. Prosedur pemeriksaan MRCP Kontras, pasien yang sudah dijadwalkan
pemeriksaan datang ke bagian radiologi membawa jadwal perjanjian untuk konfirmasi ke
petugas. Pasien diberikan lembar Inform Consent sebagai persetujuan untuk menjalani
tindakan medis yang dilakukan dan lembar Screening Check yang berisi keterangan apakah
pasien telah melakukan tindakan medis lainnya seperti operasi organ, pemasangan alat bantu
dengar, pacu jantung, benda logam dan apakah pasien memiliki claustrophobia (takut
ruangan sempit atau tertutup) dan riwayat penyakit lainnya. Petugas memberikan penjelasan
lengkap pemeriksaan MRCP dan memberikan penjelasan bahwa selama pemeriksaan akan
ada intruksi respirasi dan ekspirasi. Setelah memahami prosedur pemeriksaan pasien
menandatangani inform consent dan screening check. Pasien dipersilahkan mengganti baju
dengan baju pemeriksaan yang telah disediakan, melepaskan perhiasan atau benda – benda
logam yang melekat di tubuh.
Teknik Pemeriksaan : Pasien diposisikan supine Feet first, dengan kedua lengan
diletakkan diatas kepala dan tidak boleh bergerak selama pemeriksaan berlangsung terutama

77
didaerah yang akan diperiksa. Tubuh pasien diatur simetris dan diberikan trigger untuk
memantau pergerakan nafas pasien. Berikan Emergency bell yang dapat digunakan pasien
apabila terjadi keadaan darurat, merasa kurang nyaman selama pemeriksaan. Selanjutnya,
pasien diberikan headphone untuk mengurangi bising selama pemeriksaan. Kemudian
pasang Surface coil dan pastikan daerah antara axilla sampai SIAS tercangkup dengan
sentrasi berada 10 cm dibawah sternal notch. Lalu masukkan pasien kedalam gantry. Input
data pasien seperti berat badan, examination, petugas yang melaksanakan, dr radiolog dan dr
pengirim. Lanjut pilih protocol pemeriksaan Abdomen Routine rs Krakatau + MRCP,
kemudian klik start exam. Sequence yang digunakan di Rumah Sakit Krakatau Medika
Cilegon adalah COR Fiesta BH , COR T2 RTr , COR T2 FS RTr , AX T2 Upper Abdomen
RTr, AX T1 FS SPGR BH, AX 2D Fiesta BH, AX T2 FS Upper Abd RTr, AX T1 Dual Echo
BH, Thick 2D (Radial O),3D MRCP RTr Asset, COR LAVA + Contrast, AX LAVA +
Contrast.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Planning scan dan Parameter MRCP Kontras yang dilakukan di Rumah Sakit Krakatau
Medika Cilegon dengan kasus Ca pankreas akan ditampilkan hasil gambaran berikut :

Gambar 1. Planning MRCP sequence COR Fiesta BH (Breath Hold) dengan parameter
Slice Thickness = 6 mm; TR = 3.7; TE = 1.6; NEX = 1; Slice = 24; FOV = 48.0 mm

Gambar 2. Planning MRCP sequence COR T2 RTr (Respiratory Trigger) dengan


parameter Slice Thickness = 6 mm; Slice = 24; FOV = 48,0 mm

78
Gambar 3. Planning MRCP sequence COR T2 FS RTr (Respiratory Trigger) dengan
parameter Slice Thickness = 6 mm; TE = 98,6; Slice =24; FOV = 48.0 mm

Gambar 4. Planning MRCP sequence AX T2 Upper Abdomen RTr dengan parameter Slice
Thickness = 6 mm; TE = 82,4; Slice =24; FOV = 34.0 mm

Gambar 5. Planning MRCP sequence AX T1 FS SPGR BH dengan paramater Slice


Thickness = 6 mm; TR = 150; TE = 2.2; Slice =24; FOV = 34.0 mm

Gambar 6. Planning MRCP sequence AX T2 FS Upper Abd RTr dengan paramter Slice
Thickness = 7.5 mm; TE = 97.1; Slice =24; FOV = 34.0 mm

79
Gambar 7. Planning MRCP sequence AX 2D Fiesta BH dengan parameter Slice Thickness
= 7.5 mm; TR = 4,2; TE = 1,9; Slice =24; NEX = 1; FOV = 34.0 mm

Gambar 8. Planning MRCP sequence AX T1 Dual Echo BH dengan parameter Slice


Thickness = 7.5 mm; TR = 140; TE = 4,4; Slice =48; NEX = 1; FOV = 34.0 mm

Gambar 9. Planning MRCP sequence Thick 2D dengan parameter Slice Thickness = 60


mm; TR = 2470; Slice =12; FOV = 28.0 mm

Gambar 10. Planning MRCP sequence 3D MRCP RTr Asset dengan parameter Slice
Thickness = 1,6 mm; TE = 700,5; Slice =59; FOV = 36.0 mm

80
Gambar 11. Planning MRCP sequence Cor LAVA (kontras) dengan parameter Slice
Thickness = 4,4 mm; TR = 4,4; TE=2,1; NEX= 1; FOV = 38.0 mm

Gambar 12. Planning MRCP sequence Ax LAVA (kontras) dengan parameter Slice
Thickness = 4,4 mm; TR = 4,3; TE=2,1; NEX=1; FOV = 40.0 mm

Hasil citra MRCP Kontras yang dilakukan di Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon
dengan kasus Ca Pankreas akan ditampilkan hasil gambaran berikut :

A B C D E

Gambar 13. Hasil Citra MRCP potongan Axial A) T2 RTr B) T1 FS BH C) 2D FIESTA


D) T2 FS E)T1 dual Echo BH

A B C
Gambar 14. Hasil citra MRCP potongan Coronal A) FIESTA BH B) T2 RTr C) T2 FS
RTr

81
Gambar 15. Hasil citra MRCP 3D (kiri) dan 2D (kanan)

Gambar 16. Hasil citra MRCP sequence Axial Lava (kiri) dan Coronal Lava (kanan)
kontras

Observasi langsung pemeriksaan MRCP Kontras dengan kasus ca pankreas yang


dilakukan di Ruma Sakit Krakatau Medika Cilegon, didapatkan hasil bahwa berdasarkan
teori dan hal yang terjadi dilapangan memiliki perbedaan penggunakan sequence dan teknik
akuisisi MRCP yang digunakan. Terdapat sequence tambahan yang merupakan penunjang
hasil gambaran yang tidak didapatkan antar sequence yang digunakan sehingga waktu yang
digunakan lebih lama. MRCP kontras merupakan pemeriksaan yang lama sehingga perlunya
komunikasi dengan pasien untuk relaks selama pemeriksaan dan pemberian motivasi untuk
bernafas sesuai intruksi yang diberikan petugas. Pemeriksaan MRCP dilakukan pada organ
yang bergerak jadi diperlukan teknik Breath Hold dan Trigger agar tidak terjadi motion
artefak dan blur pada gambar. Terlihat dari hasil gambaran bahwa MRCP Kontras pada kasus
ca pankreas ini pasien tidak mengalami Ca Pankreas namun terdapat metastase di daerah
medial dari hepar yang dilihat dari penyangatan pada hasil gambaran Axial. Kontras media
yang digunakan Omniscan konsentrasi 0,5 sebanyak 10 mL ini menambah jelas informasi
diagnostik yang ditampilkan.

82
KESIMPULAN
Setelah dilakukuan observasi langsung pemeriksaan MRCP Kontras dengan kasus ca
pankreas yang dilakukan di Rumah Sakit Krakatau Medika Cilegon, didapatkan hasil bahwa
berdasarkan teori dan hal yang terjadi dilapangan memiliki perbedaan penggunakan
sequence dan teknik akuisisi MRCP yang digunakan. Hasil pemeriksaan MRCP dengan
kontras menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami Ca Pankreas namun ditemukan klinis
lain yaitu pelebaran bile duct dan obstruksi karena ada batu di saluran empedu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya jurnal penelitian ini saya mengucapkan terima kasih kepada Allah
SWT telah memberikan saya kesehatan serta kesempatan menyelesaikan jurnal ini dan saya
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu serta mendukung saya
menyelesaikan jurnal ini sehingga terlaksana dengan lancar dan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartawiguna D. Tomografi Resonansi Magnetik Inti : Teori Dasar, Pembentukan
Gambar dan Instrumentasi Perangkat Kerasnya. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2015. 130
p.
2. Wicaksono AI, Murniati E, Masrochah S. Analisis Informasi Anatomi Dengan
Variasi Nilai Sensitivity Enchoding ( SENSE ) Pada Sekuen T2 Weighted Balance
Turbo Field Echo ( BTFE ) Pada Pemeriksaan MRCP Di Instalasi Radiologi Siloam
Hospital Surabaya. J Imejing Diagnostik. 2018;4(2):68–72.
3. P FC, Kalb B, Martin D. Imaging of Pankreatic Malignancies. In: Current and
emerging therapies in pancreatic cancer. 2017. p. 1–379.
4. Chen FM, Ni JM, Zhang ZY, Zhang L, Li B, Jiang CJ. Presurgical evaluation of
pancreatic cancer: A comprehensive imaging comparison of CT versus MRI. Am J
Roentgenol. 2016;206(3):526–35.
5. Utomo YA, Satoto B, Indrati R. Analisis Informasi Citra Anatomi antara Teknik
Breath-Hold dan Trigger pada Pemeriksaan Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography (MRCP) Menggunakan Sequence T2 Half Fourier
Acquisition Single Shot TSE (HASTE) Coronal Slab. J Imejing Diagnostik.
2016;2(1):92–6.
6. Zins M. Breath-holding 3D MRCP: the time is now? Eur Radiol. 2018;28(9):3719–
20.
7. Kamisawa T, Wood LD, Itoi T, Takaori K. Pancreatic cancer. Lancet.
2016;388(10039):73–85.
8. Costache MI, Costache CA, Dumitrescu CI, Tica AA, Popescu M, Baluta EA, et al.
Which is the Best Imaging Method in Pancreatic Adenocarcinoma Diagnosis and
Staging - CT, MRI or EUS.Cur Heal Sci J. 2017;43(2):132–6.
9. Bogveradze N, Hasse F, Mayer P, Rupp C, Tjaden C, Klauss M, et al. Is MRCP

83
necessary to diagnose pancreas divisum? BMC Med Imaging. 2019;19(1):1–7.
10. Bridges MD. Magnetic resonance imaging of pancreatic malignancy. Transl Cancer
Res. 2015;4(6):616–33.
11. Engelbrecht M, Rauws E, Besselink M. The value of magnetic resonance
cholangiopancreatography in clinical practice. J Am Coll Surg. 2016;222(3):328. 12.
Sindhu RS, Natesh B, Rajan R. MRCP Helps in Chronic Pancreatitis Complicated
with Obstructive Jaundice. Indian J Surg. 2015;77:1405–6.
13. Adibelli ZH, Adatepe M, Imamoglu C, Esen OS, Erkan N, Yildirim M. Anatomic
variations of the pancreatic duct and their relevance with the Cambridge
classification system: MRCP findings of 1158 consecutive patients. Radiol Oncol.
2016;50(4):370–7.
14. Ma S, Duan J, Li W, Zhang H, Hou Z. Exploration of the value of MRCP combined
with tumor marker CA19-9 in the diagnosis of pancreatic cancer. Artif Cells,
Nanomedicine Biotechnol. 2016;44(2):717–21.

84
RADIOTERAPI 2D KANKER NASOFARING MENGGUNAKAN COBALT 60

Shafrin Eka Aullya1), Umiyati2), Satsetyo Pudji Rahayu2)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagonstik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120
2)
Instalasi Radioterapi, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, 40161

Koresponden : shafrineka@gmail.com

Abstrak
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan di antara tumor ganas telinga hidung
tenggorokan, gejala yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga sering terlambat dalam
melakukan diagnosis, Pada stadium dini umunya terapi yang diberikan yaitu radioterapi sebagai treatment of
choice. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskrisikan penatalaksanaan radioterapi kanker nasofaring dengan
teknik 2D menggunakan pesawat Cobalt 60 di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan kualitatif deskriptif menggunakan metode observasi terhadap 1 orang sampel pada bulan Maret
2020. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung, studi kepustakaan. Pasien
radioterapi kanker nasofaring di Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan tenik 2D menggunakan pesawat Cobalt
60, melakukan prosedur mulai administrasi sampai dengan treatment room, pasien menggunakan alat fiksasi
berupa masker head and neck dan bantal ekstensi, dan lapangan penyinan terbagi menjadi 3 yaitu
supraclavicular dengan 25 x 200cGy, lateral kanan dan kiri dengan 33 x 200cGy. Setiap 5 kali penyinaran
pasien akan cek lab dan konsul dengan dokter. Pasien radioterapi kanker nasofaring dengan teknik 2D
menggunakan pesawat Cobalt 60 di Rumah Sakit Hasan Sadikin, mendapat kan dosis sebesar 5000cGy pada
lapangan supraclavicula dan 6600cGy pada lapangan lateral kanan dan kiri, teknik 2D masih memiliki banyak
kekurangan sehingga penggunaan teknik tersebut belum optimal, seperti tidak diketahui dengan pasti dosis yang
di terima pada OAR.

Kata kunci: Radioterapi, 2D, Kanker Nasofaring, Cobalt 60

PENDAHULUAN
Di Indonesia kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan
di antara tumor ganas telinga hidung tenggorokan. Kanker nasofaring termasuk lima besar
kanker dengan frekuensi tertinggi, sedangkan jika di daerah kepala dan leher kanker
nasofaring menduduki urutan pertama. Tumor ini berasal dari fossa rosenmuller pada
nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel
sukuamosa. Kebanyakan pasien kanker nasofaring yang datang berobat sudah stadium lanjut,
hal ini terjadi karena etiologi yang masih belum pasti, gejala yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi sehingga sering terlambat dalam melakukan diagnosis. Pada
stadium dini umunya terapi yang diberikan yaitu radioterapi sebagai treatment of choice,
sedangkan pada stadium lanjut terapi yang diberikan yaitu kombisasi antara radioterapi dan
kemoterapi (1,2).

85
Radioterapi merupakan tindakan medis dengan menggunakan radiasi pengion untuk
mematikan sel kanker semaksimal mungkin dan kerusakan pada sel atau jaringan normal
seminimal mungkin, radiasi pengion merupakan gelombang elektromagnetik yang
menimbulkan ionisasi bila melewati berbagai materi termasuk materi biologi (3). Radioterapi
dapat bertujuan sebagai terapi kuratif maupun paliatif, terapi kuratif yaitu berbentuk terapi
tunggal untuk penyembuhan suatu kanker, dan terapi paliatif yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup dengan cara menghilangkan gejala-gejala kanker yang dialami oleh pasien (4).
Sejak diketemukannya Cobalt 60, radioterapi kanker nasofaring menggunakan telecobalt.
Pesawat Cobalt 60 merupakan suatu isotop buatan yang memancar radiasi sinar gama
dengan harga yang relative murah, pesawat ini memiliki energi sebesar 1,17 dan 1,33 Mega
Elekton Volt (MEV) dan digunakan untuk radioterapi pada kanker yang terletak
dipermukaan tubuh seperti ekstremitas, payudara, kepala dan leher (2). Hal ini
memungkinkan memberikan dosis radiasi yang besar untuk jaringan yang lebih dalam.
Ketika persentase dosis yang lebih besar terjadi di bawah permukaan kulit, istilah dosis
maksimum digunakan untuk menggambarkan proses tersebut. D-max adalah kedalaman
maksimum untuk dosis build-up, dimana 100% dari dosis terletak. Untuk Cobalt-60, D-max
terletak 0,5 cm di bawah permukaan kulit. Ini merupakan kelebihan yang nyata dibandingkan
dengan peralatan lain yang digunakan untuk pengobatan kanker pada saat itu (5). Artikel ini
akan mendeskripsikan penatalaksanaan radioterapi kanker nasofaring dengan teknik 2D
menggunakan pesawat Cobalt 60 di Rumah Sakit Hasan Sadikin.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan
pada periode 1 sampai 30 maret 2020 di Instalasi Rumah Sakit Hasan Sadikin. Tujuan
penelitian ini yaitu mendeskrisikan penatalaksanaan radioterapi kanker nasofaring dengan
teknik 2D menggunakan pesawat Cobalt 60 di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Populasi
penelitian adalah pasien yang melakukan radioterapi kanker nasofaring di Rumah Sakit
Hasan Sadikin. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang melakukan radioterapi
kanker nasofaring dengan teknik 2D menggunakan pesawat Cobalt 60. Metode yang
digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah observasi langsung,
dokumentasi, dan studi kepustakaan.

86
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi yang dilakukan di Dapartemen Radioteapi rumah sakit Hasan
Sadikin dapatkan data pasien Tn.C 25 tahun, datang kebagian radioterapi dengan klinis
kanker nasofaring, sebelumnya pasien telah melakukan prosedur sebagai berikut. Pasien
datang ke radioterapi ke bagian pendaftaran untuk melakukan pendaftaran, kemudian ke poli
dengan membawa rujukan dari dokter Onkologi serta penunjang hasil medis seperti hasil
patologi anatomi, hasil lab, hasil CT Scan/MRI.
Kemudian pasien melakukan pemeriksaan fisik oleh Dokter Onkologi Radiasi dan
ditentukan perlu tidaknya radiasi, jika perlu maka ditentukan tujuan dari radioterapi serta
teknik dan dosis yang akan diberikan kepada pasien tersebut. Selanjutnya pasien melakukan
simulasi di simulator, yaitu menentukan daerah radiasi dengan membuat gambaran AP dan
Lateral, batas atas glabella dan batas bawah cervical ke 3, dan menentukan daerah yang akan
di blok menggunakan individual blok, serta menentukan dan membuat alat fiksasi yang akan
digunakan oleh pasien pada saat penyinaran.
Setelah itu gambaran simulator di berikan ke Treatment Planning System (TPS) untuk
di buat planning penyinaran meliputi sudut gantry, sudut collimator, luas lapangan
penyinaran, waktu penyinaran, energi yang digunakan dan lain sebagainya. Kemudian pasien
ke Treatment Room untuk melakukan radioterapi dengan rincian sebagi berikut :

Gambar 1. Pesawat Radioterapi Cobalt 60 RS Hasan Sadikin

87
Gambar 2. Pesawat Simulator

A B
Gambar 3. Base Plate dan Bantal Ekstensi A) Masker Head and Neck B)

Gambar 4. Individual Block Laring dan Apex Paru A) Individual Block Medula
Spinalis, Mata dan Mandibula

88
Gambar 5. Operator Consule Monitor

Teknik Penyinaran : Radioterapis memanggil pasien sesuai dengan urutan pendaftaran,


dan mengidentifikasi identitas pasien, Pasien di posisikan supine di atas meja pemeriksaan,
dengan Mid Sagital Line (MSL) sejajar pada meja pemeriksaan dan posisi tangan berada di
samping tubuh, kemudian pasien di pasangkan alat fiksasi berupa masker head and neck dan
bantal ekstensi. Radioterapis mengatur set up pasien yaitu, lapangan Supra clavicula : Luas
lapangan : 80 x dan 43 y, Sudut gantry : 0°, Sudut collimator : 0°, SSD : 80 cm, Time set :
159 s, Dosis : 25 x 200 cGy, Energi : Foton 1,25 MV.
Lapangan Lateral Kanan dan Kiri : Luas lapangan : 55 x dan 85 y, Sudut gantry : 270°
dan 90°, Sudut collimator : 0°, SSD : 80 cm, Time set : 100 s, Dosis : 33 x 200 cGy, Energi
: Foton 1,25 MV. Serta mengatur couch lateral,longitudinal dan vertikal sesuai dengan iso
center yang ada pada tubuh pasien. Setelah posisi pasien dan set up pasien sudah tepat di
lakukan pemasangan individual blok untuk memblok daerah yang tidak di radiasi, hal ini di
lakukan pada setiap lapangan berdasarkan set up nya masing-masing. Pasien diberikan
instruksi agar tenangn dan tidak bergerak selama penyinaran dilakukan. Kemudian pasien di
radiasi sesuai dengan set up hasil output TPS, dan setelah radiasi pasien dapat kembali ke
rumah dan datang pada keesokan harinya. Pasien akan di berikan pengantar untuk cek lab
dan konsul ke dokter setiap, setelah 5 kali penyinaran dilakukan, fungsinya agar
memonitoring keadaan pasien dan observasi efek radiasi pada kanker selama menjalani
radioterapi.
KESIMPULAN
Radioterapi kanker nasofaring di Rumah Sakit Hasan Sadikin salah satunya
menggunakan modalisatas Cobalt 60 dengan Teknik 2D. Sebelum dilakukan penyinaran

89
pasien melakukan konsultasi di poli,dengan Dokter Onkologi Radiasi dan melakukan
simulasi di simulator, dan dibuat planning penyinaran di TPS. Radioterapi kanker nasofaring
menggunakan Teknik 2D dengan 3 lapangan yaitu supracalvicula, lateral kanan dan kiri,
sudut gantry yang di gunakan 00, 2700 dan 900 . pasien menggunakan alat fikasasi berupa
masker head and neck dan bantal ekstensi. Blok individual digunakan untuk melindungi
organ at risk seperti medulla spinalis, mata, mandibula, laring, dan apex paru. Pasien akan
di radiasi sebanyak 25 x 200cGy pada lapangan supraclavicula sedangkan 33 x 200cGy pada
lapangan lateral kanan dan kiri. Serta pasien akan melakukan cek lab dan konsul dengan
dokter setiap setelah 5 kali dilakukan penyinaran untuk mengobservasi keadaan dan efek
radiasi pada tumor.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan bagi penulis dalam
menyelesaikan artikel ini. Penulis berterima kasih kepada kedua orang tua, ibu, bapak dan
kakak-kakak Radioterapis yang selalu membimbing dan memberikan kesempatan untuk
belajar, dosen pembimbing, kepada pengelola Prodi DIV TRO Jakarta II, dan kepada teman-
teman DIV B.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sigarlaki ED, Imanto M, Cania E, Kedokteran F, Lampung U, Ilmu B, et al.
Tatalaksana Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring Radiotherapy Management of
Nasopharyngeal Carcinoma. 2019;8:23–6.
2. Kentjono WA. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Maj
Kedoteran Trop Indones. 2003;14:1–39.
3. Kadarullah O. Intensitas radioterapi pada keganasan kepala leher. 2012;
4. Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. Terapi Kanker dengan Radiasi:
Konsep Dasar Radioterapi dan Perkembangannya di Indonesia. Farm Klin Indones.
2017;6(4).
5. Kodrat H, Susworo R, Amalia T, Sabariani RR. RADIOTERAPI KONFORMAL
TIGA DIMENSI DENGAN PESAWAT COBALT - 60 Abstrak / Abstract Informasi
Artikel. 2016;7(1):37–42.

90
TEKNIK RADIOTERAPI 2 DIMENSI (2DRT) PADA KANKER NASOFARING
DENGAN COBALT-60

Nendika Dwi Ramadhani 1), Samsun 1), Arif Jauhari 1) R. Prahardi 2)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120
2)
Instalasi Radioterapi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, Jawa Tengah, 53146

Koresponden : nendika@dr.com

ABSTRAK

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan penyakit keganasan yang timbul pada daerah nasofaring. Sampai saat
ini radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan utama untuk penderita kanker nasofaring. Radioterapi
adalah pengobatan kanker menggunakan radiasi pengion. Perencanaan Radioterapi 2 Dimensi dan Cobalt-60
masih banyak digunakan di Asia Tenggara dan Hongkong. Jenis penelitian ini adalah kualititatif dengan
pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2020 di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo. Hasil : Teknik 2DRT pada KNF membutuhkan waktu radiasi selama 4 menit dengan jumlah 3
lapangan. Pada lateral kiri (90o) luas lapangan X : 70 mm dan Y : 65 mm, waktu penyinaran 1,11 menit, dan
pada lateral kanan (270o) luas lapangan X : 70 mm dan Y : 65 mm, waktu penyinaran 1.11 menit, lalu pada
Supraclavicula (0o) luas lapangan X : 90 mm dan Y : 42 mm waktu penyinaran 1,72 menit. Kesimpulan :
Pemberian dosis radiasi diberikan sesuai dengan data planning yang didapakan dari Simulasi Penyinaran dan
TPS. Proses treatment delivery memiliki jumlah 3 lapangan penyinaran yaitu 2 Lapangan Nasofaring (Lateral
kiri 90o, Lateral kanan 270o) dan 1 Lapangan Supraclavicula (AP 0o). Dimana dosis untuk Supraclaviula (0o)
disinar sebanyak 25 kali dan 35 kali untuk Kanker Nasofaringnya (90 o dan 270o).

Kata Kunci: kanker nasofaring, radioterapi, cobalt 60

PENDAHULUAN
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan penyakit keganasan yang timbul pada daerah
nasofaring (area di belakang hidung dan diatas tenggorok). Karsinoma ini terbanyak
merupakan keganasan tipe sel skuamosa Kanker Nasofaring merupakan tumor ganas yang
paling banyak dijumpai diantara tumor ganas Tenggorokan Hidung Telinga (THT) di
Indonesia. Di Asia Tenggara, peringkat pertama diduduki oleh Kanker Nasofaring akibat
Epstein Barr Virus (EBV). Sebagian besar pasien di Indonesia datang dalam stadium lanjut.
Pembesaran kelenjar getah bening leher seringkali didiagnosis dan diobati sebagai
Limfadenitis Tuberculosis. Radioterapi adalah modalitas klinis yang berhubungan dengan
penggunaan radiasi pengion dalam pengobatan pasien dengan tumor ganas maupun jinak.
Radioterapi memainkan peran utama dalam mengurangi rasa sakit pada kanker. Radiasi ini
ditujukan pada tumor di daerah Nasofaring (1,2).

91
Radioterapi sampai sekarang masih merupakan pengobatan pilihan utama (treatment
of choice) untuk penderita KNF. Radioterapi dilaporkan sebagai terapi utama untuk tujuan
kuratif pada KNF loko-regional, yang belum ada metastasis jauh. Tujuan radioterapi (terapi
radiasi) adalah mengeradikasi tumor in vivo dengan memberikan sejumlah dosis radiasi yang
diperlukan secara tepat pada daerah target radiasi tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya,
dengan harapan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang angka kelangsungan
hidup penderita (3,4)
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan
terapi terpenting (5). Faktor anatomi nasofaring yang terletak di dasar tengkorak dengan
banyak organ vital dan pola menyebaran sel kanker di daerah kepala– leher yang
menyebabkan pembedahan radikal untuk tujuan kuratif sangat sulit dikerjakan. Alasan lain
pemilihan radioterapi pada KNF karena hasil kemoterapi masih kontroversi. Meskipun
pemberian kemoterapi yang di kombinasi dengan radioterapi dilaporkan dapat meningkatkan
respons tumor, namun masih belum atau sedikit menunjukkan peningkatan angka bertahan
hidup secara bermakna. Radioterapi 2 dimensi (2D) terdiri dari satu penyinaran dengan satu
sampai empat arah (6). Perencanaan Radioterapi 2 Dimensi masih banyak digunakan di Asia
Tenggara dan Hongkong (7). Perangkat radioterapi eksternal menggunakan Cobalt-60
merupakan perangkat radioterapi yang umum digunakan untuk terapi kanker sejak tahun
1950 oleh Harold E. Johns di Kanada. Penggunaan perangkat radioterapi eksternal banyak
digunakan di negara berkembang karena teknologinya tidak begitu rumit dan mudah dalam
perawatan (8). Berdasarkan uraian diatas, artikel ini bertujuan untuk menjelaskan penyinaran
radioterapi tumor otak pada kasus Kanker Nasofaring pada pesawat Cobalt-60.
METODE
Jenis penelitian ini adalah kualititatif dengan pendekatan studi kasus. Pengambilan data
dilakukan pada bulan April 2020 di rumah sakit RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Sampel
yang digunakan dalam penelitian adalah satu sampel data primer dengan kriteria sebagai
berikut: (1) Pasien yang menjalani terapi radiasi eksterna di Instalasi Radioterapi RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo; (2) Pasien dengan kasus kanker nasofaring; (3) Menggunakan teknik
radioterapi 2 Dimensi (2DRT). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah observasi yaitu dengan cara mengamati sampel data primer dan mendeskripsikan

92
prosedur radioterapi dari awal sampai radiasi fraksinasi pertama selesai. Adapun tahapan
radioterapi, yakni tahap dimana pasien berkonsultasi dengan dokter onkologi radiasi di
poliklinik radioterapi dengan merujuk pada hasil PA, CT-scan, MRI atau PET Scan dan
mengenai kebijakan-kebijakan dalam tindak lanjut dari diagnosa tersebut, tahap pasien
menyetujui keputusan untuk dilakukan radioterapi, tahap penentuan lokasi , dosis total dan
langkah-langkah pemeriksaan tambahan yang diperlukan, tahap simulasi (imobilisasi dan
lokalisasi), tahap pengolahan perencanaan radiasi di TPS, set-up, treatment delivery (9).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tatalaksana Radioterapi Eksterna pada Kanker Nasofaring dengan Teknik Radioterapi
2 Dimensi (2DRT) di Unit Radioterapi Instalasi Radioterapi RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo dimulai dengan konsultasi dan pemeriksaan dokter. Skema penyinaran dari dokter
onkologi radiasi menggunakan teknik 2DRT dengan yang bertujuan kuratif dengan dosis
total 7000cGy dan dosis per fraksi 2Gy yang diberikan sebanyak 35 kali. Pasien menjalani
prosedur atau alur radioterapi sesuai dengan SOP di Instalasi Radioterapi RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo. Prosedur yang pertama, dimulai dari pasien datang ke Instalasi
Radioterapi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo menuju bagian administrasi dengan
membawa surat rujukan untuk dokter onkologi radiasi dari dokter spesialis (dokter poli), hasil
Patologi Anatomi, hasil pemeriksaan lab, hasil pemeriksaan penunjang di radiologi (MRI,
CT-Scan, PET-Scan, USG, dll). Kemudian pasien bertemu dan berkonsultasi dengan dokter
onkologi radiasi di poliklinik radioterapi. Di poliklinik, dokter onkologi radiasi melakukan
anamnesa terhadap pasien, dilakukan evaluasi dari hasil pemeriksaan penunjang,
menentukan tujuan pengobatan radioterapi dan melakukan penandatanganan surat
persetujuan untuk dilakukannya tindakan radioterapi. Kemudian pasien diberikan jadwal
untuk simulasi di ruang Simulator.
Tahapan berikutnya adalah Simulator. Dimulai dengan persiapan alat dan bahan yaitu
pesawat Simulator serta aksesoris treatment yaitu Head and neck base plate, Masker Head
and Neck, Bantal fiksasi, Water bath, Micropore,Spidol permanen, dan marker timbal. Pasien
diposisikan supine atau tidur terlentang diatas meja pemeriksaan. posisi badan lurus, atur
kepala pasien true Anterior Posterior (AP), dagu ekstensi, ke dua tangan diletakan di samping
tubuh. Atur laser Horizontal pada Mid Coronal Line (MCL) kepala dan laser Vertikal pada

93
Mid Sagital Line (MSL) kepala. 6) Beri marker diletakkan diatas kelopak mata dan
diantara dagu dan leher. Rendam masker Thermoplast ±3 menit di Water Bath sampai masker
lentur, setelah lentur masker dilap menggunakan handuk supaya masker yang baru di rendam
di Water Bath tidak terlalu panas di tubuh pasien, kemudian dilakukan pencetakan masker
dengan cara menempelkan masker pada kepala pasien dengan mengikuti bentuk kepala
pasien. Pasang masker pada wajah pasien.
Setelah posisi pasien sesuai. Untuk membuat lapangan Nasofaring (Opposing kanan
kiri). Pertama, tentukan sudut gantry (90 atau 270). Lakukan fluoroscopy untuk mengetahui
luas lapangan radiasi, kolimator dan organ yang harus dilindungi. Setelah luas lapangan
penyinaran sudah tepat. Kemudian pasang kawat timbal (marker) untuk memastikan daerah
organ yang akan blok pada daerah lapangan penyinaran. telah pasang marker, lakukan
flouroscopy untuk memastikan penempatan marker bloknya. Pengamatan fluoroscopy sudah
sesuai, lakukan foto radiografnya (print).

Gambar 2. Flouroscopy Setelah Pemasangan Marker Blok pada Lapangan Nasofaring

Gambar lapangan penyinaran pada masker menggunakan spidol warna merah untuk
sentrasi, spidol warna hitam untuk lapangan penyinaran pada masker pasien yang sudah
ditempelkan plester. Setelah lapangan salah satu sisi sudah selesai, lakukan hal yg sama
terhadap sisi sebaliknya (opposing). Ukur separasi menggunakan jangka sorong, lalu catat
koordinat luas lapangan penyinaran X1,X2,Y1 dan Y2.
Setelah opposing kanan dan kiri sudah selesai, lanjut untuk membuat lapangan
supraklavikula. Pertama atur gantry pada 0. Lakukan fluoroscopy untuk mengetahui luas

94
lapangan radiasi, kolimator dan organ yang harus dilindungi. Setelah luas lapangan
penyinaran sudah tepat. Kemudian pasang kawat timbal (marker) untuk memastikan daerah
organ yang akan blok pada daerah lapangan penyinaran. telah pasang marker, lakukan
flouroscopy untuk memastikan penempatan marker bloknya. Pengamatan fluoroscopy sudah
sesuai, lakukan foto radiografnya (print).

Gambar 3. Hasil Flouroscopy Setelah Pemasangan Marker Blok pada Supraklavikula

Gambar lapangan penyinaran pada masker menggunakan spidol warna merah untuk
sentrasi, spidol warna hitam untuk lapangan penyinaran pada masker pasien yang sudah
ditempelkan plester.Setelah lapangan supraklavikula selesai. Ukur separasi menggunakan
jangka sorong, lalu catat koordinat luas lapangan penyinaran X1,X2,Y1 dan Y2. Selesai ukur
separasi, foto posisi pasien saat simulasi penyinaran dari tampak depan dan samping sebagai
acuan saat penyinaran di ruang Cobalt, kemudian lepaskan masker. Kemudian dilakukan
planning oleh dokter onkologi danfisikawan medis. Planning ini meliputi konturing target,
beam input, kalkulasi dosis, dan proses approval. Hasil dari TPS merupakan lama waktu
penyinaran dari setiap lapangan.
Sebelum pasien datang untuk dilakukan penyinaran radiasi hari pertama, radioterapis
membuka data hasil planning radiasi dari Simulator pada status pasien untuk mengatur waktu
penyinaran dan luas lapangan penyinaran. Setelah pasien datang, pasien diposisikan di ruang
Cobalt-60 sama dengan posisi saat simulasi penyinaran, yaitu supine di atas meja pesawat
Cobalt, posisi badan lurus, atur kepala pasien true Anterior Posterior (AP), dagu ekstensi,

95
ke dua tangan diletakan disamping tubuh. Atur Source to Skin Distance (SSD), luas lapangan
penyinaran dan pemasangan blok sesuai gambar pada masker. Pasien diinstruksikan untuk
tidak bergerak selama penyinaran. Setelah semua parameter diatur, segera tinggalkan
ruangan penyinaran. Setelah proses set-up dilanjutkan dengan pengiriman dosis radiasi yang
diberikan kepada pasien dengan pesawat Cobalt. Waktu radiasi yang diberikan sesuai dengan
data planning yang didapat pada saat simulasi peyinaran dan TPS.
Dalam proses terapi radiasi dengan teknik 2DRT diperlukan ketepatan pemberian dosis
radiasi secara geometri yang harus didukung dengan teknik set-up pasien yang benar. Pada
sampel yang diteliti penulis, proses treatment delivery dengan Teknik Radioterapi
Konvensional 2 Dimensi pada kasus kanker nasofaring membutuhkan waktu radiasi selama
4 menit dan memiliki jumlah lapangan sebanyak 3 lapangan. Pada lapangan pertama (lateral
kiri), gantry pada sudut 90o dengan luas lapangan X : 70 mm dan Y : 65 mm dengan waktu
penyinaran 1,11 menit, dan pada lapangan kedua (lateral kanan), gantry pada sudut 270o
dengan luas lapangan X : 70 mm dan Y : 65 mm dengan waktu penyinaran 1.11 menit, lalu
pada lapangan ketiga (KGB supraclavicular), gantry pada sudut 0o, luas lapangan X : 90 mm
dan Y : 42 mm dengan waktu penyinaran 1,72 menit. Dimana dosis untuk Supraclavicula
(0o) disinar sebanyak 25 kali sedangkan untuk Kanker Nasofaringnya (90o dan 270o) setiap
35 kali. Waktu penyinaran bergantung pada jumlah aktifitas radioaktif Cobalt-60. Berbeda
dengan linac yang waktu penyinarannya bergantung pada Teknik yang dipakai, kedalaman
organ dan energi yg digunakan.
KESIMPULAN
Prosedur radioterapi pada kasus kanker nasofaring dengan teknik 2DRT di Instalasi
Radioterapi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo telah sesuai dengan SOP Rumah Sakit yaitu
dimulai dari pasien ke poliklinik radioterapi untuk konsultasi dengan dokter onkologi radiasi,
simulasi, lokalisasi target dan pembuatan masker di Simulator, dan proses di treatment room
(positioning, set-up, dan treatment delivery). Proses pemberian dosis radiasi melalui pesawat
Cobalt-60 yang diberikan sesuai dengan data planning yang diberikan sesuai dengan data
planning yang didapakan dari Simulasi Penyinaran dan TPS. Pada sampel yang diteliti
penulis, proses treatment delivery memiliki jumlah 3 lapangan penyinaran yaitu 2 Lapangan
Nasofaring (Lateral kiri 90o, Lateral kanan 270o) dan 1 Lapangan Supraclavicula (AP 0o).

96
Dimana dosis untuk Supraclaviula (0o) disinar sebanyak 25 kali sedangan untuk Kanker
Nasofaringnya (90o dan 270o) setiap 35 kali.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada paasien yang telah sudah bersedia untuk menjadi sampel pada
penelitian yang di lakukan, dan terimakasih kepada beberapa pihak yang membantu dalam
penulisan dan pembuatan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasional KPK. Kanker Nasofaring. 2017;
2. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Buku ajar ilmu Kesehat telinga hidung
tenggorok kepala leher. 2012;182–7.
3. Santoso BS, Surarso B, Kentjono WA. Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. J
Chem Inf Model. 2013;53(9):1689–99.
4. Susworo R. Radioterapi Dasar & Tata Laksana Penyakit Kanker. 2017;
5. Zaitunah A, Hut S, Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma
Nasofaring. Seminar. 2002;(1987):1–7.
6. Bucci MK, Bevan A, Roach M. Advances in Radiation Therapy: Conventional to
3D, to IMRT, to 4D, and Beyond. CA Cancer J Clin. 2005;55(2):117–34.
7. Chau RMC, Teo PML, Kam MKM, Leung SF, Cheung KY, Chan ATC. Dosimetric
Comparison Between 2-Dimensional Radiation Therapy and Intensity Modulated
Radiation Therapy in Treatment of Advanced T-Stage Nasopharyngeal Carcinoma.
Med Dosim. 2007;32(4):263–70.
8. Santoso WB, Istofa, Santoso B, Rozali B. Perekayasaan Perangkat Radioterapi
Eksternal Menggunakan Cobalt-60. 2012;(November):1–13.
9. Barton M. Radiotherapy risk profile. World Health Organization. Geneva: World
Health Organization Publication; 2008.

97
ANALYSIS THE USE OF SEQUENCE T2 MULTI ECHO DATA IMAGING
COMBINATION (MEDIC) AND T2 BLADE OF IMAGE QUALITY FOR MRI
CERVICAL EXAMINATION IN AXIAL SLICE

Anggi Ulina Siregar1), Eka Putra Syarif H.1), Asumsie Tarigan1)


1)Teknik Radiodiagnostik Dan Radioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Selatan, 12120

Koresponden : anggiulina27@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan sequence T2 Multi Echo Data Imaging Combination
(MEDIC) dan T2 BLADE terhadap kualitas citra MRI Cervical potongan axial. Desain penelitian ini adalah
analisis deskriptif berupa kajian literatur. Penelitian dilakukan Februari – April 2020. Populasi dan sampel pada
penelitian ini berdasarkan kajian literatur yaitu pasien dengan pemeriksaan MRI Cervical. Metode
pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini berupa kajian literatur yaitu melakukan penelaahan
terhadap jurnal dan artikel ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang akan diteliti. Instrumen penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari jurnal dan artikel ilmiah. Pengolahan dan analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Data yang diperoleh dari kajian literatur dianalisis berdasarkan
landasan teori yang telah dikumpulkan sehingga dapat memperoleh kesimpulan atas penggunaan sequence T2
MEDIC dan T2 BLADE terhadap kualitas citra MRI Cervical potongan axial. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya perbedaan penggunaan sequence T2 MEDIC dan T2 BLADE terhadap kualitas citra MRI Cervical
potongan axial. Dapat disimpulkan bahwa kualitas citra MRI Cervical dari segi anatomi, resolusi dan artefak
lebih jelas menggunakan sequence T2 MEDIC, sedangkan informasi dari segi kontras lebih jelas menggunakan
sequence T2 BLADE. Namun, sequence T2 BLADE dapat dijadikan alternative dalam pemeriksaan MRI
Cervical potongan axial.

Kata Kunci : MRI Cervical, Kualitas Citra, T2 MEDIC, T2 BLADE

PENDAHULUAN
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan alat penunjang diagnostik yang
menggunakan magnet. MRI menjadi suatu pilihan karena dapat mengidentifikasi hampir
semua patologi yang relevan secara klinis yang tidak dapat dilakukan oleh modalitas
pencitraan lai. MRI memanfaatkan karakteristik kontras dari struktur tulang dan jaringan
lunak beresolusi tinggi sehingga dapat memperlihatkan perbedaan serta memberikan
informasi penting dalam menilai struktur anatomi normal dan abnormal (1). MRI merupakan
suatu pencitraan diagnostik yang pertama kali digunakan oleh Raymond Damadian dengan
memanfaatkan sifat magnetik dari hydrogen. Prinsip kerja MRI menggunakan medan magnet
berkekuatan 0,064 T – 3.0 T (1 Tesla = 10.000 Gauss (2). Pemeriksaan ini dapat
menampilkan gambaran citra dalam potongan axial, sagittal, coronal berdasarkan prinsip
resonansi magnetik inti atom hydrogen (3).

98
Jenis pemeriksaan pada MRI beragam salah satunya yaitu pemeriksaan MRI Cervical.
MRI pada Cervical adalah teknik pencitraan yang paling sensitif terhadap jaringan lunak
(seperti discus intervertebralis, ligament tulang belakang, dan saraf), struktur osseus (seperti
Atlas, Axis, Corpus Vertebrae, Prosesseus Spinosus dan Transversus) dan struktur lainnya
(seperti Canalis Spinalis yang berisikan CSF dan Spinal Cord). MRI Cervical cenderung
pencitraan struktur anatominya relatif kecil dari tulang belakang lainnya dan berbagai artifact
yang terdapat pada Cervical (4,5). Artifact yang terdapat pada pemeriksaan MRI Cervical
merupakan motion artifact dan truncation artifact. Motion artifact pada Cervical disebabkan
oleh adanya gerakan tak sadar dari pasien, aliran darah, serta kecepatan flow CSF yang
kencang pada daerah Cervical (6).
Sequences standar yang digunakan dalam pemeriksaan MRI Cervical yaitu Sagittal
T2W dan T1W TSE, Axial T2 TSE/MERGE/M-FFE, Coronal T2 TSE, Sagittal dan Axial
PDW (7). MRI Cervical adalah pemeriksaan yang sering dilakukan di Rumah Sakit, untuk
melakukan pemeriksaan MRI Cervical dibutuhkan teknik dan sequences yang dapat
menghasilkan citra yang baik untuk mendiagnosa. Cervical merupakan organ yang sangat
rentan terhadap artifact. Ada beberapa teknik untuk mengurangi artifact yang disebabkan
oleh motion yaitu dengan menggunakan teknik MEDIC (Multi Echo Data Imaging
Combination) dan BLADE/PROPELLER (Periodically Rotated Overlapping Parallel With
Enhanced Reconstruction) (8,9). MEDIC (Multi Echo Data Imaging Combination) pada
Siemens atau MERGE (Multiple Echo Recombined Gradient Echo) pada GE atau M-FFE
(Merge Fast Field Echo) pada Philips atau ADAGE (Additive Arrangement Gradient Echo)
pada Hitachi merupakan salah satu turunan dari sequences Gradient Echo (GRE) yang
menghasilkan gambaran T2 weighted. Dasar dari sequences ini adalah dari pengulangan
gradient frequency encoding, satu gradient echo dapat dihasilkan dari nilai TE yang berbeda
– beda sehingga multi echo yang didapat dalam satu pengukuran digabungkan menjadi suatu
gambaran. MEDIC (Multi Echo Data Imaging Combination) sangat berguna untuk
pencitraan Cervical, Cartilage, pemeriksaan sendi dan Musculoskeletal (10). Keuntungan
dari sequences MEDIC ini bisa untuk 2D dan 3D imaging dan dapat mengurangi motion
artifact dikarenakan MEDIC sensitif terhadap gerakan kecil (9).BLADE pada Siemens,
PROPELLER pada GE, MultiVane pada Philips, atau RADAR pada Hitachi pada dasarnya

99
merupakan sequences pada TSE dimana pengambilan sample pada k-space secara radial
dengan data parallel berputar mengelilingi k-space. BLADE dapat digunakan untuk
mengurangi motion artifact. Biasanya BLADE digunakan dalam pemeriksaan MRI Abdomen,
Brain, Pelvis atau organ lainnya yang disebabkan oleh motion artifact seperti pada Cervical
(8).
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis deskriptif berupa kajian
literatur yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat, serta mengolah bahan penelitian (11) dengan sampel dan
populasi berdasarkan kajian literatur yang melakukan pemeriksaan MRI Cervical dengan
sequences T2 MEDIC dan T2 BLADE . Sampel pada penelitian ini ditentukan dengan kriteria
inklusi yaitu pasien yang melakukan pemeriksaan MRI Cervical dengan sequences T2
MEDIC dan T2 BLADE yang bersedia menjadi sampel. Kriteria eksklusi yaitu pasien tidak
cooperative dan memiliki claustrophobia (takut terhadap ruang sempit dan tertutup)
sehingga mengundurkan diri. Pengambilan data dilakukan dengan cara melakukan
penelaahan terhadap jurnal, artikel ilmiah, literature review yang berkaitan dengan penelitian
yang akan diteliti. Kemudian, data yang diperoleh dari kajian literatur dianalisa berdasarkan
landasan teori yang telah dikumpulkan sehingga dapat memperoleh kesimpulan atas
penggunaan sequences T2 MEDIC dan T2 BLADE terhadap kualitas citra pada pemeriksaan
MRI Cervical potongan axial.
Alat dan bahan yang akan digunakan pada pemeriksaan MRI Cervical yaitu pesawat
MRI Siemens Magnetom Essenza 1.5 Tesla, Head And Neck Coil, Emergency Bell,
Headphone, selimut, Oksigen, Workstation (komputer), Monitoring Camera, Processing
Unit. Prosedur pemeriksaan MRI, pasien yang sudah dijadwalkan pemeriksaannya datang ke
departemen Radiologi untuk konfirmasi waktu pemeriksaan, lalu pasien diberikan lembar
screening safety yang di dalamnya berisi keterangan apakah pasien sudah pernah dioperasi
sebelumnya, apakah memiliki claustrophobia (takut terhadap ruang sempit atau tertutup),
apakah terdapat logam seperti alat pacu jantung dalam tubuh pasien dan sebagainya. Jelaskan
prosedur pemeriksaan secara lengkap lalu pasien mengisi dan menandatangani Inform
Consent sebagai persetujuan atas dilakukannya tindakan medis. Kemudian pasien mengganti

100
baju dengan baju khusus pasien yang telah disediakan, dan melepaskan pakaian dalam, serta
pastikan pasien tidak mengenakan barang-barang yang mengandung bahan feromagnetik
seperti perhiasan, jam tangan, accessorise rambut, alat bantu dengar, kartu ATM dan
sebagainya. Pada pemeriksaan MRI Cervical tidak ada persiapan khusus, namun sebelum
pemeriksaan dilakukan pasien hanya diminta buang air kecil terlebih dahulu.
Teknik pemeriksaan.
Tabel 1. Parameter Pemeriksaan MRI Cervical potongan axial dengan sequence T2
MEDIC dan T2 BLADE
Parameter T2 MEDIC T2 BLADE
Time Acquisition 2:07 2:13
Voxel Size 0,5 x 0,5 x 3.0 mm 1 x 1 x 3.0 mm
TR 582 ms 3000 ms
TE 23 ms 98 ms
PAT 2 2
SNR 1,0 1,0
Slices 3 3
Orientation transversal Transversal
Phase Oversampling 25% 25 %
FOV Read 260 mm 260 mm
FOV Phase 79.7% 79.7%
Slice Thickness 3 mm 3 mm
Average 1 2
Concatenations 2 2

Pasien diposisikan supine head first, dengan kedua lengan di samping tubuh. Kemudian
berikan selimut pada pasien. Setelah itu instruksikan pasien untuk tidak bergerak dan
menelan ludah selama pemeriksaan berlangsung. Berikan tombol emergency pada pasien
sebagai alat untuk berkomunikasi dengan Radiografer di ruang Operator Console apabila
pasien merasa tidak nyaman atau mengalami keluhan (pusing, mual, sesak nafas, takut)
pasien dapat menekan tombol emergency. Setelah itu, berikan headphone atau earplug pada
pasien untuk mengurangi suara bising selama pemeriksaan.
Pastikan posisi pasien lurus, kemudian berikan immobilisasi di samping kepala pasien
yang telah menggunakan headphone untuk mencegah rotasi objek. Setelah itu pastikan bahu
pasien benar-benar menempel pada batas dari bagian posterior head and neck coil. Setelah
itu pasangkan Head and Neck coil anterior, lalu atur isocenter pada bagian Symphysis Menti

101
dan masukan pasien ke dalam gantry. Pada Computer Console dengan mengisi identitas
pasien yaitu nama lengkap pasien, nomor registrasi ID, nomor rekam medik, tanggal lahir,
jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien. Lalu pilih posisi pasien head first.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil citra MRI Cervical potongan axial menggunakan sequence T2 Multi Echo Data
Imaging Combination (MEDIC) memperlihatkan seluruh anatomi Cervical dengan jelas dan
detail serta tidak tampak adanya artefak yang disebabkan oleh flow artefact dikarenakan
sensitivitas yan tinggi pada citra MRI Cervical (12–14). Sedangkan hasil citra MRI Cervical
potongan axial menggunakan sequence T2 BLADE memperlihatkan struktur anatomi dengan
perubahan sinyal pada Cervical yang baik serta dapat juga mengurangi flow artefak, namun
citra yang dihasilkan tidak detail yang mengakibatkan sedikit adanya artefak pada potongan
axial (12,15,16).

MEDIC BLADE
(a) (b)

Gambar 1. Hasil citra MRI Cervical potongan Axial (a) untuk sequences T2 MEDIC serta
(b) untuk sequences T2 BLADE

Hasil penelitian terhadap sampel yang digunakan mengenai analisis penggunaan


sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC) dan T2 BLADE terhadap
kualitas citra MRI Cervical potongan axial. Hasil citra MRI Cervical menunjukkan bahwa
penggunaan sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC) menghasilkan
gambaran anatomi Cervical khususnya Corpus Vertebrae, Cerebro Spinal Fluid, Processus
Spinosus, Discus Intervertebralis dan Spinal Cord pada kasus Degenerative Myeolopathy
yang sangat jelas serta dapat dinilai dengan baik (17,18). Sedangkan pada penggunaan
sequences T2 BLADE menghasilkan gambaran Corpus vertebrae, Cerebro Spinal Fluid,
Processus Spinosus, Discus Intervertebralis yang cukup jelas (19).

102
Kontras merupakan perbedaan relatif kekuatan sinyal antara dua jenis jaringan yang
berbeda (20). Pada penggunaan sequence T2 Multi Echo Data Imaging Combination
(MEDIC) dapat memperlihatkan kontras antara jaringan lunak dan Processus Spinosus
kemudian jaringan lunak dan Corpus Vertebrae yang cukup jelas namun tidak sejelas T2
BLADE (13,14). Pada penggunaan sequences T2 BLADE menghasilkan gambaran yang
sangat jelas antara perbedaan jaringan seperti pada jaringan lunak dan Processus Spinosus,
jaringan lunak dan Corpus Vertebrae, Discus Vertebralis dan Corpus Vertebrae, serta
telihatnya perbedaan kontras Spinal Cord dengan Cerebro Spinal Fluid (21,22).
Penggunaan sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC)
berdasarkan kajian literatur menghasilkan gambaran yang memiliki resolusi yang sangat baik
dalam memperlihatkan batasan dan detail dari Corpus Vertebrae, cerebrospinal fluid,
processus spinosus dengan sangat baik (13,23). Sedangkan, pada penggunaan sequences T2
BLADE memperlihatkan batasan dan detail Corpus Vertebrae, Cerebrospinal Fluid,
Processus Spinosus cukup jelas tetapi tak sebagus hasil gambaran sequences T2 Multi Echo
Data Imaging Combination (MEDIC) (15,24,25).
Artifact merupakan gangguan gambaran yang diidentifikasi bukan suatu anatomi tubuh
yang disebabkan oleh distorsi sinyal atau kurangnya sinyal (26,27). Pada penggunaan
sequences T2 MEDIC dan sequences T2 BLADE terdapat adanya perbedaan pada kualitas
citra anatomi artifact. Sequences T2 BLADE menghasilkan ketajaman gambaran secara
optimal dan dapat mengurangi motion artifact secara keseluruhan pada pasien kooperatif
maupun pasien non-kooperatif. Dikarenakan sequences T2 BLADE memiliki sensitifitas
yang tinggi terhadap motion artifact (15,22,28). Motion artifact pada Cervical disebabkan
oleh adanya gerakan tak sadar pasien, aliran darah, serta kecepatan Flow Cerebro Spinal
Fluid (CSF) yang kencang pada Cervical (6). Penggunaan sequences T2 BLADE potongan
axial membuktikan ketajaman gambaran yang baik serta penggambaran struktur anatomi
yang baik, namun potongan axial tidak bisa direkomendasikan secara umum walaupun bisa
sebagai alternatif dalam pemeriksaan MRI Cervical karena flow artifact dari Cerebro Spinal
Fluid (CSF) tidak dapat disupresi secara signifikan (15,25). Berbeda halnya dengan
sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC), sequences tersebut
merupakan salah satu turunan dari sequences gradient echo yang menghasilkan gambara T2-

103
weighted serta menggunakan TR yang rendah. Multi Echo Data Imaging Combination
(MEDIC) sangat berguna untuk pencitraan Cervical, Cartilage, pemeriksaan sendi dan
Musculoskletal. Sequences Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC) paling umum
digunakan untuk menilai patologi pada discus intervertebralis pada cervical serta dapat
mengggambarkan abnormalitas dari spinal cord pada kasus degenerative myeolopathy
(4,10,14,17). Gambaran axial pada pemeriksaan MRI Cervical dengan sequence T2 Multi
Echo Data Imaging Combination (MEDIC) merupakan protokol standar yang digunakan
untuk mengurangi perubahan sinyal yang dihasilkan oleh aliran cerebrospinal fluid (CSF)
disekitar sumsung tulang belakang. Keuntungan dari menggunakan sequence ini adalah dapat
mengurangi motion artefact yang disebabkan oleh aliran cerebrospinal fluid (CSF), dapat
mengakuisisi gambaran 3D serta menunjukan resolusi gray – matter yang baik (12,13,29).
Pada penggunaan sequence Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC) pada
pemerikssan MRI cervical potongan axial menunjukkan evaluasi haisl gambaran yang baik
dari segi anatomi, dapat mengurangi motion artifact yang disebabkan oleh aliran Cerebro
Spinal Fluid (CSF) secara optimal serta menghasilkan nilai SNR yang tinggi (13,29).
KESIMPULAN
Pemeriksaan MRI Cervical potongan axial dengan menggunakan sequences T2 Multi
Echo Data Imaging Combination (MEDIC) dan sequences T2 BLADE, didapatkan hasil
bahwa keduanya sama baik dalam mencitrakan struktur anatomi. Namun, Discus
Intervertebralis dan Spinal Cord pada kasus Degenerative Myeolopathy lebih baik dan jelas
dicitrakan dengan menggunakan sequence T2 Multi Echo Data Imaging Combination
(MEDIC). Sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC) dapat
memperlihatkan kontras pada jaringan cukup jelas namun tidak sejelas pada saat
menggunakan sequences T2 BLADE yang dapat memperlihatkan kontras dengan jelas dan
optimal pada jaringan lunak. Sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC)
menghasilkan gambaran yang memiliki resolusi yang sangat baik dalam memperlihatkan
batasan dan detail sedangkan sequences T2 BLADE cukup jelas tetapi tak sebagus hasil
gambaran sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination (MEDIC).
Dapat disimpulkan bahwa kualitas citra MRI Cervical potongan axial lebih optimal
divisualisasikan dengan menggunakan sequences T2 Multi Echo Data Imaging Combination

104
(MEDIC), karena citra yang dihasilkan memiliki resolusi yang sangat baik dan bebas dari
berbagai artifact yang terdapat pada Cervical dibandingkan menggunakan sequence T2
BLADE, namun sequence T2 BLADE dapat dijadikan alternatif dalam pemerisaan MRI
Cervical potongan axial.
UCAPAN TERIMA KASIH
Allah SWT atas segala kekuatan, umur, waktu dan kesehatan yang diberikan hingga
dapat menyelesaikan jurnal ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Liu PS. Normal MRI Anatomy from Head to Toe. In Philadelphia: Elsevier Inc.; 2011.
p. 1–475.
2. Kartawiguna D. Tomografi Resonansi Magnetik Inti Teori Dasar, Pembentukan
Gambar dan Instrumen Perangkat Kerasnya. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2015. 132 p.
3. Westbrook C, Talbot J. MRI In Practice. 5th ed. Cambridge, UK: Wiley Blackwell;
2019. 418 p.
4. Shen FH, Samartzis D, Fessler RG. Textbook Of The Cervical Spine. 1st ed. Maryland
Heights: Elsevier Saunders; 2015. 528 p.
5. Finkenzeller T, Wendi CM, Lenhart S, Stroszczynski C, Schuierer G, Fellner C.
BLADE sequences in transverse T2-weighted MR imaging of the cervical spinecut-
off for artefacts? 2015;2(187):102–8.
6. McRobbie DW, Moore EA, Graves MJ. MRI from picture to proton. 2nd ed. MRI
from Picture to Proton. United States of America: Cambridge University; 2006. 1–406
p.
7. Moeller TB, Reif E. MRI Parameters and Positioning. 2nd ed. Vol. 53. New York:
Thieme Stuttgart; 2010. 315 p.
8. Dietrich TJ, Ulbrich EJ, Zanetti M, Fucentese SF, Pfirrmann CWA. PROPELLER
Technique to Improve Image Quality of MRI of the Shoulder. Am J Roentgenol.
2011;197(6):1093–100.
9. Chavhan GB. MRI Made Easy (For Beginners). 1st ed. MRI Made Easy (For
Beginners). New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher; 2006. 1–274 p.
10. Schmid MR, Pfirrmann CWA, Koch P, Zanetti M, Kuehn B, Hodler J. Imaging of
Patellar Cartilage with a 2D Multiple-Echo Data Image Combination Sequence. Am J
Roentgenol. 2005;184(6):1744–8.
11. Mirzaqon A, Purwoko B. Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori Dan Praktik
Konseling Expressive Writing Library. J BK UNESA. 2018;(1):1–8.
12. Dietemann JL, Bogorin A, Abu Eid M, Sanda R, Mourao Soares I, Draghici S, et al.
Tips and Traps in Neurological Imaging: Imaging the Perimedullary Spaces. Diagn
Interv Imaging [Internet]. 2012;93(12):985–92. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.diii.2012.08.005
13. White ML, Zhang Y, Healey K. Cervical Spinal Cord Multiple Sclerosis: Evaluation
with 2D Multi-Echo Recombined Gradient Echo MR Imaging. J Spinal Cord Med.
2011;34(1):93–8.

105
14. Martin N, Malfair D, Zhao Y, Li D, Traboulsee A, Lang D, et al. Comparison of
MERGE and Axial T2-Weighted Fast Spin-Echo Sequences for Detection of Multiple
Sclerosis Lesions in the Cervical Spinal Cord. Am J Roentgenol. 2012;199(1):157–
62.
15. Finkenzeller T, Wendl CM, Lenhart S, Stroszczynski C, Schuierer G, Fellner C.
BLADE sequences in transverse T2-weighted MR imaging of the cervical spinecut-
off for artefacts? 2015;187(2):102–8.
16. Lavdas E, Mavroidis P, Kostopoulos S, Ninos C, Strikou AD, Glotsos D, et al.
Reduction of motion, truncation and flow artifacts using BLADE sequences in cervical
spine MR imaging. Magn Reson Imaging [Internet]. 2015;33(2):194–200. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.mri.2014.10.014
17. Vargas MI, Dietemann JL. 3D T2-SPACE versus T2-FSE or T2 Gradient Recalled-
Echo: Which Is the Best Sequence? Am J Neuroradiol. 2017;38(7):E48–9.
18. Lee SY, Shin YR, Park HJ, Rho MH, Chung EC. Usefulness of Multiecho Fast Field
Echo MRI in the Evaluation of Ossification of the Posterior Longitudinal Ligament
and Dural Ossification of the Cervical Spine. PLoS One. 2017;12(8):1–12.
19. Finkenzeller T, Zorger N, Kühnel T, Paetzel C, Schuierer G, Stroszczynski C, et al.
Novel Application of T1-Weighted BLADE Sequences with Fat Suppression
Compared to TSE in Contrast-Enhanced T1-Weighted Imaging of the Neck: Cutting-
Edge Images? J Magn Reson Imaging. 2013;37(3):660–8.
20. Westbrook C. Handbook Of MRI Technique. 4th ed. Cambridge, UK: Wiley
Blackwell; 2014. 365 p.
21. Lavdas E, Topalzikis T, Mavroidis P, Kyriakis I, Roka V, Kostopoulos S, et al.
Comparison of PD BLADE with fat saturation (FS), PD FS and T2 3D DESS with
Water Excitation (WE) in Detecting Articular Knee Cartilage Defects. Magn Reson
Imaging. 2013;31(8):1255–62.
22. Fellner C, Menzel C, Fellner FA, Ginthoer C, Zorger N, Schreyer A, et al. Blade in
Sagittal T2-Weighted MR Imaging of the Cervical Spine. Am J Neuroradiol.
2010;31(4):674–81.
23. Bodelle B, Luboldt W, Wichmann JL, Fischer S, Vogl TJ, Beeres M. Chondral
Lesions in the Patellofemoral Joint in MRI: Intra-individual Comparison of Short-Tau
Inversion Recovery Sequence (STIR) with 2D Multiple-Echo Data Image
combination sequence (MEDIC). Eur J Radiol Open [Internet]. 2016;3:259–63.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ejro.2016.10.004
24. Lavdas E, Mavroidis P, Kostopoulos S, Glotsos D, Roka V, Topalzikis T, et al.
Improvement of Image Quality Using BLADE Sequences in Brain MR Imaging.
Magn Reson Imaging [Internet]. 2013;31(2):189–200. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mri.2012.08.001
25. Exhibit S, Fellner C, Wendl CM, Lenhart S, Stroszczynski C. Value of BLADE
Sequences in T2-Weighted MRI of the Cervical Spine : Transverse Orientation.
2013;1–6.
26. McRobbie D w., Moore EA, Graves MJ, Prince MR. MRI from Picture to Proton. 3rd
ed. Cambridge, UK: Camridge University Press; 2017. 1–400 p.
27. Muzamil A, Indri NV, Astuti SD, Prijo TA. Optimalisasi Citra Axial Sequence T2
Gradient Echo Dengan Variasi Bandwidth Dan Time Echo Pada MRI Shoulder Untuk

106
Mengurangi Susceptibility Artifacts Dan Chemical Shift. J Heal. 2018;5(2):40–9.
28. Lavdas E, Vlychou M, Zaloni E, Vassiou K, Tsagkalis A, Dailiana Z, et al. Elimination
of Motion and Pulsation Artifacts using BLADE Sequences in Shoulder MR Imaging.
Skeletal Radiol. 2015;44(11):1619–26.
29. Sundseth J, Jacobsen EA, Kolstad F, Nygaard OP, Zwart JA, Hol PK. Magnetic
Resonance Imaging Evaluation After Implantation of A Titanium Cervical Disc
Prosthesis: A comparison of 1.5 and 3 Tesla magnet strength. Eur Spine J.
2013;22(10):2296–302.

107
ANALISIS TEKNIK PEMERIKSAAN MRI LUMBAL DENGAN KLINIS CAUDA
EQUINA SYNDROME

Dwi Wulan Sari1)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120

E-mail: dwiwulansari12@gmail.com

Abstrak
MRI Lumbal adalah Pemeriksaan dengan menggunakan medan magnetik yang bertujuan untuk mengevaluasi
lumbal dan organ organ disekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa teknik pemeriksaan MRI
Lumbal dengan klinis Cauda Equina Syndrome dan menganalisa hasil citra MRI Lumbal dengan klinis Cauda
Equina Syndrome. Metode penelitian yang digunakan yaitu analisis deskriptif dengan metode pengumpulan
data observasi yang telah dilakukan dari 2 - 16 Maret 2020. Populasi pada penelitian ini adalah 1 pasien dengan
pemeriksaan MRI Vertebrae Lumbal dengan klinis cauda equina syndrome. Instrumen penelitian yang
digunakan yaitu mesin MRI 1,5 Tesla, kontras media MRI, lembar kerja dan lembar check list MRI. Hasil dari
penelitian ini adalah teknik pemeriksaan MRI Vertebrae Lumbal dengan klinis cauda equina syndrome secara
umum sudah sesuai dengan literature. Hanya pada potongan axial planning dibuat hanya pada bagian klinis
yang diduga dapat menggangu spinal cord. Kesimpulan: Sequence yang digunakan pada pemeriksaan MRI
Lumbal dengan klinis Cauda Equina Syndrome sesuai dengan litature, hanya pada potongan axial, planning
dibuat hanya pada bagian klinis yang diduga dapat menggangu spinal cord. Hasil gambaran MRI Vertebrae
Lumbal digunakan untuk menegakan diagnosa.

Kata Kunci: MRI, Vertebrae Lumbal, cauda Equina syndrome

PENDAHULUAN
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik pencitraan medis yang
menggunakan medan magnet dan radiofrequency untuk mencitrakan dan menganalisa
jaringan tubuh, fungsi metabolisme tubuh dan aliran darah. MRI tidak menimbulkan rasa
nyeri, tidak bersifat invasive, berdaya tinggi sensitif, serta diketahui tidak memiliki efek
samping atau setelahnya. Dalam aplikasinya medan magnet yang digunakan pada MRI
memiliki kuat medan magnet sebesar 0,064 – 3 Tesla (1–5). Modalitas MRI melakukan
proses pencitraan dengan memanfaatkan distribusi hydrogen yang ada didalam tubuh (6,7).
MRI dapat memperlihatkan jaringan lunak dengan sangat baik. MRI dimanfaatkan untuk
menampilkan citra Brain, abdomen, tulang belakang dan musculoskeletal. Ada beberapa
pemeriksaan MRI tulang belakang yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan MRI Lumbal
(8–10).

108
Vertebrae Lumbal adalah bagian dari tulang belakang yang terdiri dari 5 vertebral body
(corpus). 4 diskus intervertebralis, dengan 1 diskus pada thoracolumbar junction dan
lumbosacral junction, dan pada bagian penampang sagittal, regio ini berbentuk lordosis, oleh
karena posisinya yang paling banyak menahan beban mekanik (11–13). MRI Vertebrae
Lumbal adalah Pemeriksaan dengan menggunakan medan magnetik yang bertujuan untuk
mengevaluasi lumbal dan organ organ disekitarnya seperti: cerebro spinal fluid (CSF),
diskus, kosrpus lumbal, dan muscles atau soft tissue disekitar lumbal karena kemungkinan
adanya keabnormalitasan seperti trauma pada spinal cord, ligament atau korpus, metastasis
tulang belakang, inflamasi atau kompresi pada spinal cord, low back pain, dan HNP (12,14–
16). Pada pemeriksaan Vertebrae Lumbal biasanya menggunakan beberapa sequence yaitu
coronal T2 weighted, sagital T2 weighted, sagital T1 weighted, sagital STIR, axial T2
weighted, dan axial T1 weighted (8).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan sequence T2_haster_cor_myelo,
T2_haster_sag_myelo, T2_tse_sag, T1_tse_sag, T2_tse_dixon_sag_W, T2_tse_cor,
T1_tse_tra, T2_tse_tra, T1_tse_dixon_cor_W (post kontras), T1_tse_dixon_sag_W (post
kontras), dan T1_tse_tra_fs_gd. Cauda Equina Syndrome adalah (CES) adalah kondisi
neurologis serius yang disebabkan oleh kerusakan atau gangguan di Cauda Equina yang
menyebabkan hilangnya fungsi plexus lumbalis (serabut saraf) di area dibawah conus
medullaris (17,18). Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mendalami lebih lanjut tentang
teknik pemeriksaan MRI Lumbal dengan klinis Cauda Equina Syndrome. Peneltian ini
bertujuan untuk menganalisa teknik pemeriksaan dan hasil gambaran MRI Lumbal dengan
klinis Cauda Equina Syndrome.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriptif dengan
metode pengumpulan data observasi, studi kepustakaan dan dokumentasi. Penelitian ini
dilakukan pada 2 - 16 Maret 2020 di bagian MRI intalasi Radiologi di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan MRI SIEMENS Essenza dengan kuat medan
magnet 1,5T dan jenis magnet superkonduktif, spine coil dan bahan kontras media
gadolinium. Populasi dan sampel yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dengan
menggunakan teknik random sampling. Teknik random sampling merupakan teknik

109
mengambil jumlah sampel secara acak. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 1 pasien MRI
Vertebrae Lumbal dengan klinis cauda Equina yndrome dengan satu perlakuan, yaitu
pemeriksaan menggunakan sequence Myelo sagittal dan coronal, sequence sagittal T1
weighted dan T2 weighted, sequence coronal T2 dan sequence axial T1 weighted dan T2
weighted dengan parameter seperti pada Table 1.

Table 1 Sequence dan parameter yang digunakan


Nama Sequence TR TE ETL Flip Number
(ms) (ms) angle of
average
T2_haster_cor_myelo 8000 1100 259 1500 2
0
T2_haster_sag_myelo 8000 1100 259 150 2
0
T2_tse_sag 3200 89 19 150 2
T1_tse_sag 550 12 3 1500 3
0
T2_tse_dixon_sag_W 3000 77 18 150 2
T2_tse_cor 3000 87 19 1500 3
0
T2_tse_tra 3970 88 18 150 2
0
T1_tse_tra 410 12 3 150 2
T1_tse_dixon_sag_W 560 14 2 1800 1
(post kontras)
T1_tse_dixon_cor_W 560 14 2 1800 1
(post kontras)
T1_tse_tra_fs_gd 601 12 3 1500 2
Sumber: RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, 2020

Kriteria inklusi pengambilan sampel MRI Vertebrae Lumbal, yaitu pasien dengan
pemeriksaan MRI knee yang berusia 87 tahun dengan jenis kelamin laki-laki, pasien tidak
menggunakan alat pacu jantung, serta pasien bersedia menjadi sampel. Sedangkan kriteria
ekslusi pengambilan sampel MRI Vertebrae Lumbal yaitu pasien pemeriksaan MRI knee
yang mempunyai riwayat takut ruang sempit (claustrophobia), pasien dengan alat pacu
jantung, dan tidak bersedia menjadi sampel. Analisis data dilakukan dengan cara observasi
teknik pemerikaan MRI Vertebrae Lumbal dengan klinis cauda Equina syndrome dengan
menggunakan sequence Myelo sagittal dan coronal, sequence sagittal T1 weighted dan T2

110
weighted, sequence coronal T2 dan sequence axial T1 weighted dan T2 weighted. Hasil
gambaran dari pemeriksaan tersebut kemudian diobservasi dan diamati. Dengan cara melihat
perbedaan gambaran klinis di setiap sequence.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan Pembahasan pada penelitian ini adalah peneliti membuat planning potongan
saggital dan coronal sesuai dengan literatur. Yakni untuk potongan sagittal adalah dengan
memposisikan block parallel dengan long axix dari spinal cord dan memposiskan block
mencangkup area thoracal 12 sampai conus dari scaral 2. Dan untuk potongan coronal
adalah dengan memposisikan block parallel dengan long axis dari cauda equina. Dan
memposisikan block mencangkup area thoracal 12 sampai conus dari scaral 2 serta batas
posterior-anterior mencangkup seluruh corpus vertebral. Namun untuk potongan axial
adalah dengan memotong hanya pada bagian kelaianan yang kemungkinan mengganggu
spinal cord. Hal ini dilakukan agar waktu pemeriksaan lebih efisien dan hail gambaran fokus
pada pada klinis pasien.
Dari hasil gambaran pada setiap sequence tampak perbedaan intensitas sinyal dari klinis
yang diderita pasien. Seperti pada sequence T2_tse_sag gambaran L1 dan L2 tampak sedikit
hiperintens dan gambaran cerebro spinal fluid pada L4-L5 tampak hipointes. Pada sequence
T1_tse_sag gambaran L1 dan L2 tampak hipointes dan gambaran cerebro spinal fluid tampak
hipointes. Pada sequence T2_tse_dixon_sag_W gambaran L1 dan L2 tampak hipointes dan
gambaran cerebro spinal fluid tampak hipointes. Pada sequence T2_tse_cor tampak sudah
terjadi perubahan bentuk dan degenatif lumbal. Pada sequence T1_tse_tra pada beberapa
gambaran korpus lumbal tampak hiperintens. Pada sequence T2_tse_tra gambaran tampak
hipointens seperti pada Gambar 1.

111
Gambar 1 Hasil Citra MRI Lumbal Pre Kontras
a. Sequence T2_tse_sag b. Sequence T1_tse_sag c. Sequence T2_tse_dixon_sag_W
d. Sequence T2_tse_cor e. Sequence T1_tse_tra f. Sequence T2_tse_tra
Sumber: RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, 2020

Setelah scanning prekontras selesai dilanjutkan dengan scanning post kontras. Bahan
kontras yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah gadolinium, sebanyak 10 ml. Hasil
gambaran post kontras tampak beberapa bagian dari lumbal yang memiliki intensitas sinyal
yang tinggi. Hal itu disebabkan karena bagian tersebut menyerap lebih banyak bahan kontras
dibandingkan dengan bagian yang lain seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Hasil citra MRI Lumbal post kontras


Sumber: RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, 2020

112
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk menganalis teknik pemeriksaan MRI
Vertebrae Lumbal dengan klinis cauda Equina syndrome, maka diperoleh kesimpulan adalah
teknik pemeriksaan MRI Vertebrae Lumbal dengan klinis cauda Equina syndrome yang
dilakukan secara umum dapat dilakukan sesuai dengan literature atau sama dengan teknik
pemeriksaan MRI lumbal pada umumnya, hanya pada planning potongan axial dibuat hanya
pada bagian klinis yang diduga dapat menggangu spinal cord dan hasil gambaran MRI
Vertebrae Lumbal dengan klinis cauda Equina syndrome dapat digunakan untuk membantu
menegakan diagnosa.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak sutrisno dan
ibu suryati selaku orang tua peneliti. Bapak DR. Nursama Heru A, M.Si, selaku Kepala
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta
II. Ibu Mayarani, S.Si, M.KKK, selaku kepala bidang kemahasiswaan Jurusan Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi, Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II. Seluruh dosen
dan staf Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Politeknik Kesehatan Kemenkes
Jakarta II. Bapak Yusuf Iskandar, selaku pembimbing lapangan. Bapak Pramudya, selaku
pembimbing lapangan. Seluruh staf dan karyawan unit radiologi rumah sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brian M. Dale PMM, Mark A. Brown P, Richard C. Semelka M. MRI Basic Principles
and Applications. FIFITH EDI. Vol. 112, WILEY Blackwell. UK: WILEY Blackwell;
2015. 211–212 p.
2. Amaliya MI, Setiawati R, Sari AK, Muqmiroh L, Muhaimin. Scoring Analysis Of The
Relationship Between Magnetic Resonance Imaging- Anxiety Questionnaire (MRI-
AQ) With Heart Rate To Patients Anxiety Level At Lumbosacral MRI Examination.
2019;02:112–7. Available from:
https://pdfs.semanticscholar.org/40b1/8ccd4152851f4738e77ac5a0c482d476200d.pd
f
3. Kristiyanto D, Katili MI, Murniati E. Perbedaan Informasi Anatomi Sekuen T1WI
FSE dengan Fat Saturasi dan Tanpa Fat Saturasi pada Pemeriksaan MRI Kepala Irisan
Axial Post Media Kontras. J Imejing Diagnostik [Internet]. 2017;3(1):180. Available
from: http://ejournal.poltekkes-
smg.ac.id/ojs/index.php/jimed/article/download/3181/792
4. Bequet AY, Kartikasari Y, Mulyati S, Isnoviasih ST. Pengaruh variasi time repetition

113
(tr) terhadap Kualitas citradan informasi citra pada pemeriksaan Mri lumbalsekuens
t2 fse potongan sagital. 2019;5:55–9. Available from: http://ejournal.poltekkes-
smg.ac.id/ojs/index.php/jimed/article/view/4473
5. Westbrook C, Talbot J. MRI IN PRACTICE. UK: WILEY Blackwell; 2019.
6. Carolyn Kaut Roth, William H. Faulkner. Review Question In MRI. In: 2nd ed.
Chichester: Wiley-Blackwell; 2013.
7. Westbrook C, Talbot J. MRI In Practice 5TH Edition. In Cambridge: Wiley-
Blackwell; 2018.
8. Moeller TB, Reif E. MRI Parameters and Positioning. 2nd ed. USA: Thieme Stuttgart;
2010.
9. Westbrook C. Handbook of MRI Technique Fourth Edition. 4th editio. UK: WILEY
Blackwell; 2014.
10. Bright A. Planning and Positioning In MRI. Australia: Elsevier Inc; 2011.
11. Pearce EC. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Indonesia: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2016. 416 p.
12. Singh H, Sheik P. Atlas of Human Anatomy on MRI Spine Extremities Joints. india:
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd Corporate; 2011.
13. Agur AMR, II AFD. Grant’s Atlas of Anatomy. Vol. 138, Military Medicine. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2013. p. 32–32.
14. Shi J. Anatomy Atlas and Interpretation of Spine Surgery. Anatomy Atlas and
Interpretation of Spine Surgery. 2018.
15. Mckinney A, Cayci Z, Rischall M. Atlas of Head / Neck and Spine Normal Imaging
Variants. Switzerland: Springer Nature Switzerland AG; 2018.
16. Forseen SE, Borden NM. Imaging Anatomy of the Human Spine A Comprehensive
Atlas Including Adjacent Structures. USA: Demos Medical Publishing; 2016.
17. Bahra A, Cikurel K, Turner C. Neurology. UK: Elsevier Inc; 2013.
18. Tsitsopoulos PP. Kern Singh: Spine essentials handbook: a bulleted review of
anatomy, evaluation, imaging, tests, and procedures. Vol. 161, Acta Neurochirurgica.
2019. p. 1917–1917.

114
PENATALAKSAAN PEMERIKSAAN CT UROGRAFI DENGAN KLINIS
UROLITHIASIS DI RS PREMIER BINTARO

Nova Anggreini1), Angga2), Erni Yanrizal Rusmana2), Eny Supriyaningsih1)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120
2)
Instalasi Radiologi RS Premier Bintaro, Banten, 15224

Koresponden : novaagrn@gmail.com

Abstrak

Urolithiasis merupakan masalah kesehatan yang umum sekarang ditemukan. Beberapa penderita urolitiasis
tidak menunjukkan gejala atau mengalami keluhan. Urolitiasis adalah penyebab umum adanya keluhan
ditemukan darah dalam urin dan nyeri di abdomen, pelvis, atau inguinal. Urolithiasis dapat dievaluasi melalui
Pemeriksaan fisik vital sign, Pemeriksaan Laboratorium, BNO-IVP, CT Scan Urografi, dan Ultrasonography.
Tujuannya adalah mendeskripsikan penatalaksanaan pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis Urolithiasis
di RS Premier Bintaro. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif menggunakan
metode observasi terhadap 1 orang sampel. Hasil dan pembahasannya adalah pasien melakukan perjanjian
untuk melakukan pemeriksaan CT Scan Urografi tanpa kontras. Persiapan yang harus dilakukan oleh pasien
berupa puasa sejak malam sebelum hari pemeriksaan. Pasien diminta minum obat pencahar di malam hari.
Pasien juga diminta untuk membawa air mineral di hari pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan menghasilkan
gambaran hasil rekonstruksi berupa potongan axial, sagital, coronal dan melakukan tracking dari ginjal sampai
kandung kemih. Kesimpulan penatalaksanaan CT scan urografi pada klinis urolithiasis di RS Premier Bintaro
dilakukan dengan perjanjian tanpa menggunakan media kontra, melakukan scanning dari diafragma hingga
sympisis pubis, dan mengolah hasil gambaran menjadi potongan axial, sagital, coronal, dan tracking.

Kata Kunci: CT Scan Urografi, Urolithiasis, Tracking Traktus Urinarius

PENDAHULUAN
Urolitiasis adalah proses terbentuknya batu (kalkuli) pada organ traktus urinarius. Batu
yang ditemukan pada ginjal disebut nephrolitiasis dan kasus ini paling sering ditemukan. Jika
batu ditemukan pada ureter dan vesica urinaria sebagian besar berasal dari ginjal. Urolitiasis
adalah penyebab umum adanya keluhan ditemukan darah dalam urin dan nyeri di abdomen,
pelvis, atau inguinal. Diperkirakan 10% dari semua individu dapat menderita urolitiasis,
meskipun beberapa individu tidak menunjukkan gejala atau mengalami keluhan. Batu
saluran kemih sebagian besar mengandung batu kalsium oksalat atau kasium posfat, secara
bersama dijumpai sampai sebesar 65-85% dari jumlah keseluruhan batu ginjal. (1)(2)
Setiap tahunnya berkisar 1 dari 1000 populasi yang dirawat di rumah sakit karena
menderita urolitiasis. Laki-laki lebih sering menderita urolitiasis dibandingkan perempuan,
dengan rasio 3:1. Dan setiap tahun rasio ini semakin menurun. Dari segi umur, yang memiliki

115
risiko tinggi menderita urolitiasis adalah umur diantara 20 dan 40 tahun.(1). Keluhan yang
disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang
telah terjadi. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang. Batu
dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar spontan setelah melalui hambatan pada
perbatasan uretero-pelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka, dan saat ureter masuk ke dalam
buli-buli.(2)
CT Scan adalah suatu modalitas diagnostik yang terkomputerisasi dengan sinar-X yang
berputar mengelilingi tubuh dan detektor-detektor khusus mengumpulkan informasi sinar-X
dan mengkonversi informasi tersebut ke dalam gambar-gambar atau citra irisan dari tubuh
manusia.Multislice Computed Tomography (MSCT) merupakan salah satu modalitas yang
bertujuan mengevaluasi dan mendiagnosa suatu kelainan pada saluran kemih sehingga
MSCT Urography digunakan sebagai alternatif pengganti pemeriksaan IVP (intra vena
Pyelography) karena tidak dapat memberikan diagnostik kualitatif. (3)(4).
Pada pemeriksaan MSCT penggunaan software tracking bertujuan melacak alur suatu
organ yang mau dinilai pada organ, salah satunya traktus urinarius. Alur dari sistem traktus
urinarius terdiri dari organ-organ yang memproduksi urin dan mengeluarkannya dari tubuh,
diantaranya ginjal ureter dan kandung kencing. Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi
penggunaan tracking dan menilai adanya kelainan pada traktus urinarius.(5)
METODE
Pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Penelitian
ini bertujuan untuk mengevaluasi pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis Urolithiasis
di Rumah Sakit Bintaro Premier. Populasi penelitian ini adalah pasien-pasien yang
melakukan pemeriksaan CT Scan Urografi di Rumah Sakit Bintaro Premier. Sampel
penelitian ini adalah pasien yang melakukan pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis
Urolithiasis. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah
observasi, dokumentasi, dan studi kepustakaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh selama melakukan observasi, pasien Ny. D datang ke
Instalasi Radiologi untuk melakukan pemeriksaan CT Scan Urografi dengan klinis
Urolithiasis bedasarkan rujukan Dokter Spesialis Urologi. Pemeriksaan CT- Scan urografi

116
tanpa kontras di Instalasi Radiologi RS Premier Bintaro merupakan pemeriksaan dengan
perjanjian. Pasien melakukan perjanjian pada bagian administrasi dengan membawa surat
pengantar pemeriksaan. Petugas administrasi menjadwalkan pemeriksaan pada hari Jum’at,
13 Maret 2020. Persiapan yang harus dilakukan oleh pasien berupa puasa sejak malam
sebelum hari pemeriksaan dan pasien diminta minum obat pencahar di malam hari. Pasien
juga diminta untuk membawa air mineral di hari pemeriksaan. Pasien diminta untuk minum
air putih dan menahan buang air kecil. Jika pasien sudah merasa ingin buang air kecil, pasien
dipersilahkan untuk mengganti pakaian dengan baju pemeriksaan. Pastikan tidak ada benda
logam di area scan. Pasien diposisikan supine di meja pemeriksaan dengan orientasi pasien
feet first. Kedua tangan pasien diposisikan di atas kepala.
Petugas akan mengisi data pasien pada work station berupa nama lengkap, nomor ID,
tanggal lahir, jenis kelamin, dokter pengirim, klinis pasien, asal pasien (rawat jalan atau rawat
inap), kemudian nama operator yang melakukan pemeriksaan tersebut. Protokol yang
digunakan pada pemeriksaan ini adalah ABDOMEN POLOS GSI dengan parameter sebagai
berikut :
Tabel 1. Parameter Pemeriksaan CT Urografi di RS Premier Bintaro

Parameter Keterangan
Scan type Helical
Thickness 0.625 mm
Interval 0.625 mm
FOV S60 - I500
kV 120
mA 10
Exposure Time 3.58 s

Sebelum memulai pemeriksaan, dilakukan Scanning Scout atau Topogram pada


gambaran Anteroposterior dan Lateral. Scout berfungsi sebagai acuan area pemeriksaan
yang akan dilakukan Pasien akan dilakukan scanning sebanyak dua kali yaitu untuk
pengambilan topogram, dan untuk mengambilan scanning. Setelah pengambilan topogram,
petugas akan membatasi area scan dari diafragma hingga sympisis pubis. Kemudian
dilakukan Scanning Non Contrast yang dimulai dari area diafragma hingga sympisis pubis.
Saat scanning pasien akan diberi aba-aba untuk menarik nafas, mengeluarkan nafas,

117
kemudian menahan nafas. Setelah scanning selesai pasien diberi aba-aba untuk nafas seperti
biasa. Selesai melakukan scanning, petugas akan meninjau hasil gambaran untuk memastikan
tidak ada bagian yang goyang ataupun artefak. Jika hasil gambaran sudah baik, maka pasien
dapat diperbolehkan untuk mengganti pakaian dan buang air kecil.
Rekonstruksi gambaran yang dilakukan yaitu membuat potongan axial, sagital, dan
coronal mulai dari bagian atas ginjal hingga sympisis pubis. Dalam melakukan rekonstruksi
dan memilih potongan, pastikan setiap kelainan yang tampak harus tercakup dalam gambaran
rekonstruksi. Rekonatruksi gambar berupa potongan axial dengan Slice Thickness 5 mm dan
Increment 5 mm. Apabila terdapat kelainan pada beberapa tempat, maka dapat dijadikan
sebagai Spot Photo. Setelah itu lanjut merekonstruksi potongan sagital. Untuk menghasilkan
potongan sagital, biasanya direkonstruksi pada potongan coronal dengan menggunakan slice
thickness 5 mm dan increment 5 mm. Pada potongan coronal dilakukan rekonstruksi dari
potongan sagital dengan menggunakan slice thickness sebesar 5 mm dan increment sebesar
5 mm. Setelah semua gambar direkonstruksi, dokter radiologi biasanya meminta petugas
untuk melakukan tracking pada gambaran CT Urografi.

Gambar 1. Hasil gambaran potongan Axial

118
Gambar 2. Hasil gambaran potongan Sagital

\
Gambar 3. Hasil gambaran potongan Coronal

Setelah merekonstruksi gambar, selanjutnya melakukan tracking ureter pasien. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran traktus urinarius dengan lebih jelas mulai dari ginjal,
ureter, hingga kandung kemih. Tracking dilakukan dengan cara membuat kurva mengikuti
gambaran ureter pada potongan sagital untuk menghasilkan gambaran pada potongan coronal
atau sebaliknya. Tracking dilakukan pada kedua ginjal dan ureter. Jika terdapat batu pada
ureter maka petugas memastikan batu tersebut tercakup dalam kurva agar tampak lebih jelas.
Penggunaan tracking dapat sebagai alternatif pengganti pemeriksaan MSCT urography

119
dengan media kontras positif, tanpa penggunaan media kontras mampu menekan biaya dan
efek dari media kontras positif resiko penggunaan media kontras terutama pada pasien
urologi dengan creatin tinggi, berikut ini salah satu hasil citra pemeriksaan MSCT traktus
urinarius setelah penggunaan tracking.

Gambar 4. Citra traktus urinarius potongan sagital dan coronal setelah tracking

Hasil citra yang di dapat setelah penggunaan tracking, dengan gambaran traktus
urinarius mampu memperlihatkan citra traktus urinarius secara keseluruhan, mulai dari ginjal
(parenkim ginjal, pelvic ginjal), ureter (ureter proksimal, distal) dan kandung kemih,
sehingga citra yang di dapat sangat informatif dan mampu menegakkan klinis urolithiasis.
KESIMPULAN
Pemeriksaan CT scan urografi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
perjanjian dan persiapan pasien terlebih dahulu. Pasien melakukan puasa mulai dari malam
sebelum pemeriksaan, meminum obat pencahar sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dimulai
saat pasien sudah merasa ingin buang air kecil (kondisi kandung kemih sudah penuh). Pasien
diposisikan supine di atas meja pemeriksaan dengan orientasi feet first dan kedua tangan di
atas kepala. Proses scanning dilakukan mulai dari diafragma hingga sympisis pubis. Hasil
scanning direkonstruksi dalam potongan axial, sagital, coronal dan kurva ureter kanan-kiri.
Hasil citra yang di dapat setelah penggunaan tracking, dengan gambaran traktus urinarius
mampu memperlihatkan citra traktus urinarius secara keseluruhan, mulai dari ginjal
(parenkim ginjal, pelvic ginjal), ureter (ureter proksimal, distal) dan kandung kemih,
sehingga citra yang di dapat sangat informatif dan mampu menegakkan klinis urolithiasis.

120
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan bagi penulis dalam
menyelesaikan jurnal ini. Penulis berterima kasih kepada kedua orang tua, kakak-kakak
Radiografer RS Premier Bintaro yang selalu membimbing dan memberikan kesempatan
untuk belajar, dosen pembimbing, kepada pengelola Prodi DIV TRO Jakarta II, dan kepada
teman-teman DIV B yang sekarang biasa disebut sebagai MilkductMager.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardana ING. Urolithiasis. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.


2017;
2. Dinda. Urolithiasis (batu saluran kemih). Manaj Mod dan Kesehat Masy. 2011;1–4.
3. Hofer M. CT Teaching Manual A Systematic Approach to CT Reading. 1st ed.
Dusseldorf; 2007.
4. Webb, W.richard, brant, William e., major nancy m. Fundamentals of Body CT.
2006. 432 p.
5. Sulaksono N, Ardiyanto J, Diponegoro U. Optimalisasi Citra Msct Traktus Urinarius
Menggunakan Trackingdengan Variasi Slice Thickness Dan Windowsetting. J Ris
Kesehat. 2016;5(1):30–4.

121
HUBUNGAN FATTY LIVER NON ALCOHOLIC TERHADAP HEMODINAMIKA
VENA PORTA PADA PEMERIKSAAN USG LIVER

Vira Salsabilla1), Wahyu Hidayat1), dan Muhammad Irsal1)


1)
Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II,Jakarta, 12120

E-mail: virasalsabilla17@gmail.com

Abstrak
Fatty Liver Non Alcoholic merupakan kondisi adanya akumulasi lemak berlebih pada organ liver yang terjadi
tanpa disertai kebiasan mengkonsumsi alcohol, biasanya terjadi akibat faktor resiko metabolik seperti
hiperkolestrol dan diabetes.Prevalensi terjadinya Fatty Liver Non Alcoholic di Asia relatif tinggi, yaitu 27%
dikarenakan prevalensi obesitas yang juga lebih tinggi (64%) dibandingkan daerah lain. Penelitan ini bertujuan
untuk mendeskrpisikan hubungan Fatty Liver Non Alcoholic terhadap Hemodinamika Vena Porta pada
Pemeriksaan USG Liver. Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan menjadikan literatur
terkait seperrti jurnal berisi artikel penelitian terdahulu sebagai objek yang akan dianalisis. Data yang diperoleh
dianalisis berdasarkan literatur terkait kemudian ditarik kesimpulan terkait hubungan Fatty Liver Non Alcoholic
terhadap Hemodinamika vena porta. Hasil penelitian menyangkut evaluasi fatty liver menggunakan USG B-
Mode, teknik doppler vena porta pada fatty liver, serta deskripsi terkait hubungan Fatty Liver Non Alcoholic
dengan hemodinamika vena porta. Kesimpulan penelitian ini adalah belum diketahui secara jelas hubungan
Fatty Liver Non Alcoholic dengan hemodinamika vena porta karena kondisi ini dipengaruhi oleh patologi
Fatty Liver Non Alcoholic yang belum jelas, penilaian dengan USG B-Mode tidak menunjukkan kondisi liver
yang sebenarnya sehingga dibutuhkan metode dan modalitas pembanding lain, serta hasil penilaian
hemodinamika dengan USG doppler yang bervariasi akibat beberapa faktor seperti lamanya persiapan puasa,
dan posisi pasien selama pemeriksaan.

Kata Kunci: USG, Fatty Liver, Vena Porta

PENDAHULUAN
Fatty Liver atau biasa dikenal dengan perlemakan hati merupakan suatu kondisi adanya
akumulasi lemak berlebih pada organ liver. Berdasarkan etiologi, fatty liver secara klinis
diklasifikasikan menjadi Alcoholic Fatty Liver Disease (AFLD), dan Non Alcoholic Fatty
Liver Disease (NAFLD) (1). AFLD disebabkan adanya riwayat konsumsi alkohol, dan asupan
etanol berlebih sehingga memicu munculnya fatty liver (2), sedangkan NAFLD merupakan
kondisi perlemakan hati yang terjadi tanpa disertai kebiasan mengkonsumsi alkohol (3,4),
biasanya terjadi akibat faktor resiko metabolik seperti hiperkolestrol dan diabetes (5,6).
Berdasarkan penelitian Zobair M. Younosi dkk pada tahun 2016, prevalensi terjadinya
NAFLD di Asia relatif tinggi, yaitu 27% dikarenakan prevalensi obesitas yang juga lebih
tinggi (64%) dibandingkan daerah lain(7). NAFLD dapat berkembang dari steatosis (simple
fatty liver), yaitu kondisi perlemakan hati yang masih jinak dan bersifat reversible, menjadi

122
non-alcoholic steatohepatitis (NASH), yaitu kondisi perlemakan hati yang disertai
peradangan dan cedera pada sel hepatosit yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi
fibrosis, sirrosis, bahkan karsinoma hepatoseluler jika tidak ditangani dengan baik (8–10).
Liver manusia diperdarahi oleh 2 pembuluh darah utama, yaitu vena porta yang
mensuplai 80% darah yang rendah oksigen, dan sisanya diperdarahi dari arteri hepatika(11–
13). Ultrasonografi (USG) brightness modulation (B-mode) sering digunakan dalam deteksi
fatty liver karena harganya yang terjangkau dan bersifat non invasif. Deteksi fatty liver
dengan USG B-mode juga dapat membedakan grade fatty liver menjadi mild, moderate, dan
severe fatty liver serta mengevaluasi hemodinamika/pergerakan darah sistem vaskular
hepatik menggunakan analisa spectral Doppler.(14). Berbagai studi yang dilakukan untuk
menilai dinamika vaskular liver pada pasien dengan penyakit fatty liver telah menunjukkan
bahwa adanya perubahan signifikan pada sirkulasi hemodinamik aliran porta dan arteri
hepatika disetiap peningkatan derajat kepararahan fatty liver yang dapat menentukan
prognosis penyakit tersebut(9,10). Merujuk pada penelitian Balasubramanian, et al tahun
2016, dengan 90 sampel fatty liver yang dikategorikan dalam kelompok mild, moderate dan
severe fatty liver dibandingkan dengan 30 orang grup kontrol menggunakan USG colour
doppler dan spectral doppler dalam memeriksa hemodinamik vena porta. Hasil penelitian
menunjukkan pengurangan yang signifikan dalam pengukuran nilai peak maximum velocity
(Vmax),mean flow velocity (MFV), vein pulsatility index (VPI) vena porta dengan
peningkatan grade fatty liver(8). Adapun penelitian Mohammed, et al tahun 2019 yang
meneliti tentang hemodinamik liver pada NAFLD berdasarkan USG Doppler, ditemukan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pola aliran vena porta dalam hal ini
MFV pasien normal dengan pasien NAFLD. (16)
Berdasarkan kedua penelitian tersebut, perlu dilakukan kajian ulang terkait pengaruh
NAFLD terhadap hemodinamika vena porta. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode
yang serupa dengan kedua penelitian sebelumnya dalam menetukan kelompok fatty liver
berdasarkan grade nya, yaitu menggunakan USG B-Mode, pada penelitian ini juga
ditambahkan terkait evaluasi teknik scanning USG Liver, evaluasi teknik doppler untuk
kemudian dinilai hemodinamik vena porta dan dianalisis hubungannya dengan fatty liver.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana Hubungan Fatty Liver Non

123
Alcoholic terhadap Hemodinamika Vena Porta pada Pemeriksaan USG Liver?”. Dengan
tujuan untuk mendeskrpisikan hubungan Fatty Liver Non Alcoholic terhadap Hemodinamika
Vena Porta pada Pemeriksaan USG Liver.
METODE
Metode penulisan yang digunakan berupa kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi
kasus berupa analisis yang mendalam terhadap kumpulan data dan pelaporan hasil dari
litaratur dan penelitian terdahulu untuk kemudian diperoleh manifestasi berupa pemahaman
yang mendalam terkait Hubungan Fatty Liver Non Alcoholic terhadap Hemodinamika Vena
Porta pada Pemeriksaan USG Liver. Penelitian ini dilakukan di rumah peneliti, tepatnya
daerah Bukittinggi, Sumatera Barat pada bulan April sampai Mei 2020. Populasi pada
penelititan ini adalah seluruh pasien yang melakukan pemeriksaan USG Abdomen pada
literatur. Sampel pada penelitian ini diambil dari penelitian terdahulu dengan kriteria inklusi
berupa seluruh pasien dengan temuan adanya fatty liver berdasarkan pemeriksaan USG yang
dikategorikan sebagai kelompok fatty liver, dan pasien tanpa adanya temuan fatty liver pada
pemeriksaan USG yang dikategorikan sebagai kelompok normal. Adapun kriteria esklusi
berupa pasien dengan indikasi riwayat konsumsi alkohol berlebih (≥20 gram/hari untuk
wanita, ≥30 gram/hari untuk pria), pasien hepatitis (B dan C), obstruksi bilier, sirosis,
penyakit liver menurun, keganasan, malformasi vaskuler, lesi fokal. . Instrumen penelitian
ini berupa dukumentasi jurnal/literatur yang diperoleh dari internet berupa soft copy.
Pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis kualitatif. Data diperoleh dari jurnal yang
berisi artikel penelitian terdahulu, dianalisis berdasarkan dasar teori yang sudah ada
kemudian ditarik kesimpulan terkait hubungan Fatty Liver Non Alcoholic terhadap
Hemodinamika vena porta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
USG digunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi fatty liver non alcoholic dan
menilai hemodinamika vena porta. Disebutkan bahwa USG memiliki sensitifitas sebesar 82-
89% dan spesifisitas sebesar 93% dalam mendeteksi fatty liver pada grade 2 dan grade 3
(9,17). Evaluasi Fatty Liver menggunakan USG B-Mode dilakukan dengan persiapan puasa
selama 6-8 jam sebelum pemeriksaan(16). Pemeriksaan dilakukan dalam posisi pasien
supine, dengan menggunakan transducer convex berfrekuensi 3.5 MHz (16,18). Pengaturan

124
USG termasuk gain, depth, dan TGC disesuaikan disetiap pasien. Morfologi dan struktur
USG Liver diamati, parenkim liver yang normal tampak homogen dengan echogenitas yang
sedikit lebih tinggi daripada korteks ginjal kanan, dan sedikit lebih rendah daripada parenkim
spleen, pembuluh darah intrahepatik dan diafragma tervisualisasi dengan baik(18).
Pengambilan gambar dilakukan pada saat scanning subcostal oblique liver lobus kanan(19).
Meningkatnya akumulasi lemak pada liver menyebabkan atenuasi gelombang
ultrasound sehingga menyebabkan penurunan visualisasi pada area liver yang lebih dalam
(diafragma dan vena hepatika), hal ini lah yang mendasari klasifikasi grade fatty liver (20).
Grade 1 ditandai dengan echogenitas sedikit meningkat, diafragma dan dinding pembuluh
darah intrahepatik tervisualisasi dengan baik, grade 2 ditandai dengan echogenitas
meningkat, diafragma dan pembuluh darah intrahepatik tampak kabur, grade 3 ditandai
dengan echogenitas meningkat pesat, diafragma, pembuluh darah intrahepatik dan bagian
posterior lobus kanan tidak tervisualisasi dengan baik. Semakin tinggi grade fatty liver yang
tervisualisasi pada alat USG menandakan semakin banyaknya akumulasi lemak pada liver.
Pemeriksaan doppler vena porta dilakukan setelah pasien menjalani persiapan dengan
puasa sekitar selama 4 jam pada penelitian Balasubramanian, Bedewi selama 6-8 jam,
Solhjoo selama 8 jam, dan Erdogmus selama semalam yang dapat diasumsikan lebih dari 8
jam. Penilaian doppler vena porta dilakukan dalam posisi posisi LLD pada penelitian
Balasubramanian, Bedewi, dan Solhjoo, serta posisi supine atau left decubitus pada penelitian
Erdogmus.. Sebelum itu, pada posisi yang sama dilakukan scanning B-Mode vena porta
melalui daerah subcostal dan intercostal bergantung pada orientasi pembuluh darah dan
postur tubuh pasien(3,16,21) untuk menentukan daerah yang akan diukur. Pada USG B-
Mode, vena porta terlihat sebagai struktur yang mengarah ke posterior hati menuju saluran
empedu dan arteri hepatika dengan dinding hyperechoic.Sedangkan pada Color Doppler,
vena porta tampak sebagai struktur terisi warna dengan gain yang rendah(21).
Pengukuran spectral doppler vena porta dilakukan pada daerah main portal vein
sebelum memasuki percabangan vena porta (16). Pengukuran nilai doppler dilakukan setelah
gambaran vena porta yang optimal diperoleh, operator akan meminta pasien untuk tahan
napas pada awal inspirasi (9,10,22) selama 6 detik untuk mendapatkan gambaran spectral
doppler vena porta yang tepat (9). Pada studi oleh Topal et, al lain menyebutkan bahwa,

125
pengambilan gambaran spectral doppler dilakukan selama 5-10 detik, dengan sudut insonasi
doppler diatur pada kemiringan antara 300 dan 600 (3,21–23), dan ukuran sample volume
sebesar dua per tiga dari diameter vena porta (21,23) ditempatkan di pertengahan lumen
pembuluh darah (23,24).
Analisa spectral doppler vena porta dilakukan sekurang-kurangnya 2 sampai 3 kali
(25). Spectral doppler vena porta yang normal akan tampak seperti undulasi yang lembut (26)
seperti ditampilkan pada gambar 1 dengan hasil pengukuran nilai doppler vena porta seperti
yang ditampilkan pada tabel 1 dan tabel 2.

Gambar 1 Spectral doppler vena porta pada pasien fatty liver wanita usia 35 tahun
diperoleh dengan pengaturan sampel volume sebesar 2 mm dan sudut inisiasi doppler
sebesar 440
Tabel 1 Interpretasi rata-rata nilai indeks doppler vena porta antara pasien
normal dengan fatty liver
Indeks Doppler
Kelompok Study
MFV(cm/sec) VPI
Normal (n=30) 12.23±2.47 0.30±0.08
Balasubramanian(10)
Fatty Liver (n=90) 10.76±1.48 0.24±0.04
p-value 0.001 0.001
Normal (n=15) 20.1±5.68
Fatty Liver (n=52) 20.376±5.14 Bedewi (16)
p-value 0.762
Normal (n=20) 16.5±0.67 0.31±1.31
Erdogmus (27)
Fatty Liver (n=60) 12.5±1.89 0.21±2.55
p-value 0.001 0.001
Normal (n=31) 17.27±5.34 0.92±0.42 Solhjoo(28)

126
Fatty Liver (n=31) 12.82±4.32 0.50±0.25
p-value 0.01 0.001

Hasil penelitian pada tabel 4.1 diolah dengan uji statistik Anova dengan nilai p ≤ 0.05
dianggap adanya perbedaan signifikan secara statistik. Dari tabel 4.1, terlihat bahwa
penelitian oleh Balasubramanian, Erdogmus, dan Solhjoo menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan MFV dan VPI vena porta antara pasien normal dengan pasien fatty liver.
Penelitian oleh Bedewi menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan MFV vena
porta antara pasien normal dengan pasien fatty liver.
Tabel 2 Interpretasi rata-rata nilai indeks doppler vena porta antar
kelompok (grade) fatty liver
Indeks Doppler Study
Kelompok
MFV(cm/sec) VPI
Grade 1(n=30) 11.25±1.97 0.26±0.04
Grade 2(n=30) 10.67±1.28 0.25±0.04
Balasubramanian(10)
Grade 3(n=30) 10.37±0.87 0.21±0.04
p-value 0.086 0.0001
Grade 1(n=20) 14.6±0.87 0.27±1.26
Grade 2(n=20) 12.6±0.78 0.20±1.29
Erdogmus (27)
Grade 3(n=20) 10.3±0.61 0.17±1.21
p-value 0.001 0.001
Grade 1(n=30) 14.40±1.52 0.28±0.05
Grade 2(n=30) 12.56±1.33 0.20±0.04
Sultana(29)
Grade 3(n=30) 10.90±1.03 0.18±0.04
p-value 0.001 0.001
Pada beberapa penelitian di atas, terdapat perbedaan masing-masing peneliti dalam
menentukan lamanya persiapan puasa serta posisi pasien selama pemeriksaan. Penelitian
oleh Lazar menyebutkan bahwa beberapa faktor fisiologi berikut ini mempengaruhi
morfologi dan parameter fungsional vaskular hepatik yang berpengaruh pada nilai ukur pada
USG doppler:Tahan napas selama inspirasi menyebabkan peningkatan tekanan intra-
abdomen sehingga mengosongkan vena abdominalis dan meningkatkan aliran vena menuju
jantung. Tekanan intra-abdomen ini juga dapat disebabkan karena kompresi hemidiafragma.
Kedua faktor ini akan menimbulkan munculnya aliran balik vena dari daerah mesentrica
lienalis dan pada saat yang sama dapat meningkatkan resistensi vena hepatika. Hal ini
menyebabkan meningkatnya intravascular hydrostatic yang berujung pada meningkatnya
ukuran pembuluh darah seperti vena porta, vena lienalis, dan vena mesentrika superior.

127
Sehingga terjadi aliran yang lambat. Proses sebaliknya terjadi pada saat tahan napas selama
ekspirasi yang pada akhirnya dapat menigkatkan aliran vena porta (30).
Postprandial menyebabkan peningkatan ukuran pembuluh darah pada vena porta.
Namun, kondisi ini tidak menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah vena porta
melainkan sebaliknya, karena adanya peningkatan aliran darah menuju pembuluh darah
intestinal akibat faktor vaskular lokal (30). Pada penelitian lain disebutkan bahwa adanya
peningkatan nilai resitensi indeks arteri hepatika pada pasien normal setelah makan.
Vasokonstriksi arteri hepatika ini terjadi sebagai respon normal terhadap peningkatan aliran
vena porta setelah adanya stimulasi makanan (31). Studi oleh Alvarez yang menjelaskan
tentang efek makanan terhadap kekakuan hati dan aliran vena porta pada pasien dengan
derajat penyakit hati yang berbeda, disebukan bahwa terdapat peningkatan aliran vena porta
yang signifikan. Pada penelitian dengan sampel yang banyak didominasi oleh pasien dengan
Hepatitis C tersebut ditemukan bahwa. Jumlah dan jenis makanan yanag dikonsumsi, serta
lamanya puasa yang dilakukan sebelum pemeriksaan juga mempengaruhi hasil pengukuran
doppler vena porta (30). Pada penelitian oleh Alvarez dengan sampel penelitian yanag
didominasi oleh pasien Hepatitis C ditemukan bahwa kecepatan aliran vena porta yang
meningkat akibat postprandial secara perlahan akan mulai kembali pada keadaan awal
(sebelum makan) setelah 2 jam. Meskipun secara spesifik pengaruh puasa pada nilai doppler
vena porta pada klinis NAFLD tidak dijelaskan, namun dapat diasumsikan bahwa lamanya
puasa dapat berpengaruh terhadap nilai doppler vena porta.
Efek grafitasi pada posisi LLD dapat menyebabkan pengurangan aliran darah dari lien
menuju liver dan peningkatan jumlah darah pada pembuluh mesentrika menuju vena porta
(30). Disarankan dilakukan pengulangan pengukuran nilai doppler pada posisi pasien dorsal
decubitus dengan pernapasan pendek untuk menghindari error selama pengukuran (30). Hasil
penelitian oleh Balasubramanian, Erdogmus, dan Solhjoo menyebutkan bahwa nilai indeks
doppler vena porta dalam hal ini MFV dan VPI pada pasien fatty liver lebih rendah jika
dibandingkan dengan pada pasien normal. Ditinjau dari patogenesis dan histologinya,
NAFLD sejauh ini dinilai terjadi karena adanya interaksi beberapa jalur metabolik yang
mengakibatkan disregulasi glukosa dan asam lemak. Resistensi insulin dianggap sebagai
faktor kunci yang mendorong akumulasi patologis lemak di dalam hepatosit (32). Sebagian

128
besar proses akumulasi lemak ini dijelaskan sebagai steatosis makrovesikular, yaitu
mekanisme penempatan beberapa tetesan lipid pada seluruh sitoplasma hepatosit yang dapat
menyebabkan pembengkakan hepatosit. Kondisi ini umumnya banyak ditemui pada NASH
dan beberapa simple steatosis. Hepatosit merupakan sel polihedral yang tersusun sebagai plat
anastomosis parenkim liver yang banyak ditemukan meluas di sekitar daerah porta, dan
berorientasi radial seiring mendekati daerah terminal vena hepatika(33). Berdasarkan kondisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa akumulasi lemak pada hepatosit dapat menyebabkan
pembengkakan hepatosit yang berujung pada penekanan area porta sehingga memenghambat
aliran darah, seperti telah ditemukan pada penelitian terdahulu bahwa hal ini berdampak pada
peningkatan diameter vena porta, penurunan kecepatan aliran vena porta. Studi histologis
pada tikus tanpa adanya fibrosis juga membuktikan bahwa kompresi hepatosit akibat adanya
tetesan lipid, ke dalam sinusoidal dan ke cabang vena porta di portal triad, berujung pada
pengurangan PFV dan peningkatan kaliber vena porta (22).Kondisi tersebut menjelaskan
nilai doppler vena porta antara pasien normal dan fatty liver berbeda, di mana nilai doppler
vena porta pasien fatty liver lebih rendah daripada pasien normal.
Menilik kembali pada patogenesis NAFLD, disebutkan bahwa pembengkakan
hepatosit lebih banyak ditemui pada NASH dan hanya beberapa pada simple steatosis (33),
sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan vaskular vena porta tidak selalu terjadi di semua
kondisi fatty liver. Penting untuk digaris bawahi bahwa USG tidak mampu menegakkan
diagnosis NASH atau tahap fibrosis hati (34), fatty liver yang terdeteksi pada USG B-Mode
tetap berada pada spektrum simple steatosis dan NASH yang tidak dapat dibedakan. Hal ini
menjelaskan hasil penelitian Bedewi mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada nilai doppler vena porta dalam hal ini MFV antara pasien fatty liver dan
normal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan perbandingan dari beberapa hasil penelitian terkait
hubungan fatty liver terhadap hemodinamika vena porta pada pemeriksaan USG Liver dapat
disimpulkan bahwa Evaluasi fatty liver dengan menggunakan USG B-Mode dapat dilakukan
dengan mengikuti prosedur pemeriksaan dan teknik scanning yang telah tertera pada banyak
literatur, namun tidak mampu menilai akumulasi lemak pada liver serta mendeteksi

129
perubahan perlemakan liver dalam jumlah yang kecil sehingga dibutuhkan modalitas atau
metode pembanding lain. Penilaian hemodinamika vena porta menggunakan USG doppler
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, histologi fatty liver, modalitas USG yang bersifat
operator dependent, persiapan pasien sebelum pemeriksaan serta penatalaksanaan
pemeriksaan itu sendiri dalam hal ini posisi pasien saat pemeriksaan. Hubungan fatty liver
non alcoholic dengan hemodinamika vena porta belum diketahui secara jelas karena kondisi
ini dipengaruhi oleh patologi fatty liver non alcoholic yang belum jelas, penilaian dengan
USG B-Mode tidak menunjukkan kondisi liver yang sebenarnya sehingga dibutuhkan metode
dan modalitas pembanding lain, serta penilaian hemodinamika dengan USG doppler yang
bervariasi akibat beberapa faktor yang sudah disebutkan di atas.
Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan sampel yang lebih banyak serta modalitas
pembanding lain. Penilaian secara histologis dibutuhkan untuk dapat mengetahui kondisi
perlemakan pada hati sebelum dilakukannya pemeriksaan USG, untuk kemudian dapat
dibandingkan dengan hasil pemeriksaan USG lalu dinilai hemodinamika vena portanya.
Penelitian terkait lamanya puasa dalam mempengaruhi nilai doppler vena porta pada kasus
fatty liver non alcoholic juga perlu dilakukan untuk mengetahui lamanya persiapan puasa
yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai doppler vena porta yang dapat menujukkan
kondisi hemadinamika liver yang sebenarnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing
penulis dalam penelitian ini, serta kepada keluarga dan teman-teman yang telah memberikan
semangat dan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini, serta kepada
pihak lain yang tidak bisa disebutkan sau per satu.

130
DAFTAR PUSTAKA

1. ZHU JZ, YI HW, HUANG W, PANG T, ZHOU HP, WU XD. Fatty liver diseases,
mechanisms, and potential therapeutic plant medicines. Chin J Nat Med.
2020;18(3):161–8.
2. K.Y. S, W.S. L, D.W. C, J. H, M.K. J, W.Y. T, et al. Influence of obesity on the
severity and clinical outcome of acute pancreatitis. Gut Liver. 2011;5(3):335–9.
3. Topal NB, Orcan S, Siğirli D, Orcan G, Eritmen Ü. Effects of Fat Accumulation in the
Liver on Hemodynamic Variables Assessed by Doppler Ultrasonography. J Clin
Ultrasound. 2015;43(1):26–33.
4. Buzzetti E, Pinzani M, Tsochatzis EA. The multiple-hit pathogenesis of non-alcoholic
fatty liver disease (NAFLD). Metabolism. 2016;65(8):1038–48.
5. Li J, Zou B, Yeo YH, Feng Y, Xie X, Lee DH, et al. Prevalence, incidence, and
outcome of non-alcoholic fatty liver disease in Asia, 1999–2019: a systematic review
and meta-analysis. Lancet Gastroenterol Hepatol. 2019;4(5):389–98.
6. Tana C, Tana M, Rossi S, Silingardi M, Schiavone C. Hepatic artery resistive index
(HARI) and non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) fibrosis score in NAFLD
patients: cut-off suggestive of non-alcoholic steatohepatitis (NASH) evolution. J
Ultrasound. 2016;19(3):183–9.
7. Younossi ZM, Koenig AB, Abdelatif D, Fazel Y, Henry L, Wymer M. Global
epidemiology of nonalcoholic fatty liver disease—Meta-analytic assessment of
prevalence, incidence, and outcomes. Hepatology. 2016;64(1):73–84.
8. Chen LW, Huang PR, Chien CH, Lin CL, Chien RN. A community-based study on
the application of fatty liver index in screening subjects with nonalcoholic fatty liver
disease [Internet]. Journal of the Formosan Medical Association. Elsevier Ltd; 2019.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.jfma.2019.03.016
9. Tarzamni MK, Khoshbaten M, Sadrarhami S. Hepatic Artery and Portal Vein Doppler
Indexes in Non-alcoholic Fatty Liver Disease Before and After Treatment to Prevent
Unnecessary Health Care Costs Hepatic Artery and Portal Vein Doppler Indexes in
Non ‑ alcoholic Fatty Liver Disease Before and After. Int J Prev Med. 2014;5(May
2015).
10. Balasubramanian P, Boopathy V, Govindasamy E. Assessment of Portal Venous and
Hepatic Artery Haemodynamic Variation in Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (
NAFLD ) Patients. J Clin Diagnostic Res. 2017;10:TC07-TC10.
11. Zulkarnain Z, Novianto F. Uji Klinik Fase II Ramuan Jamu sebagai Pelindung Fungsi
Hati PHASE II CLINICAL TRIAL OF JAMU FOR HEPATOPROTECTOR. Bul
Penelit Kesehat. 2017;45(2):125–36.
12. Go S, Kamaya A, Jeffrey B, Desser TS. Duplex Doppler Ultrasound of the Hepatic
Artery. Ultrasound Q. 2016;32(1):58–66.
13. Gines P, Patrick S K, Aroyo V. Chronic Liver Failure Mechanisms And Management.
New York: Humana Press; 2011. 607 p.
14. Mahode AA, Rahman LY, Nugroho AW, Muttaqin H, Rendy L. Kamus Saku
Kedokteran Dorland. 28th ed. Indonesia: Elsevier; 2011.
15. Andriawati E. Kesesuaian Interpretasi Fatty Liver Berdasarkan Usg Doppler Arteri
Hepatika Dengan Ct-Scan Non-Kontras. 2017;1–8.

131
16. Bedewi MA, Kamal S. Doppler sonographic hemodynamics in non-alcoholic fatty
liver disease. J Int Pharm Res. 2019;46(1):283–6.
17. Mahale AR, Prabhu SD, Nachiappan M, Fernandes M, Ullal S. Clinical relevance of
reporting fatty liver on ultrasound in asymptomatic patients during routine health
checkups. J Int Med Res. 2018;46(11):4447–54.
18. Ruiz-tovar J, Alsina ME, Alpera MR. Improvement of nonalcoholic fatty liver disease
in morbidly obese patients after sleeve gastrectomy : association of ultrasonographic
findings with lipid profile and liver enzymes. Acta Chir Belg [Internet]. 2017;0(0):1–
7. Available from: https://doi.org/10.1080/00015458.2017.1334858
19. Cao W, An X, Cong L, Lyu C, Zhou Q, Guo R. Application of Deep Learning in
Quantitative Analysis of 2-Dimensional. J Ultrasound Med. 2019;9999:1–9.
20. Mustapic S, Ziga S, Matic V, Bokun T, Radic B, Lucijanic M, et al. Ultrasound Grade
of Liver Steatosis Is Independently Associated with the Risk of Metabolic Syndrome.
Can J Gastroenterol Hepatol. 2018;2018:10.
21. Ibinaiye PO, Aiyekomogbon JO, Tabari MA, Chom ND, Hamidu AU, Yusuf R.
Determination of Normal Portal Vein Parameters on Triplex Ultrasound Scan Among
Adults in. Sub-Saharan African J Med. 2015;2(1).
22. Soresi M, Giannitrapani L, Noto D, Terranova A, Campagna ME, Cefalù AB, et al.
Effects of Steatosis on Hepatic Hemodynamics in Patients with Metabolic Syndrome.
Ultrasound Med Biol. 2015;41(6):1545–52.
23. Songmen S, Panta OB, NP N, RK G. Measurement of Portal Vein Diameter , Peak
Systolic Velocity and Pulsatility Measurement of Portal Vein Diameter , Peak Systolic
Velocity and Pulsatility Index by Ultrasound Doppler Evaluation in Asymptomatic
Nepalese Population . J Inst Med. 2017;1(April):29–34.
24. Anda AC, P B, E D. The role of ultrasonography in the evaluation of portal
hemodynamics in healthy adults and pathologic conditions. ARS Medica Tomitana.
2016;2(22):128–34.
25. Olteanu AV, Lan GGBĂ, Gologan E, Bălan G, Trifan A. UTILITY OF DOPPLER
ULTRASOUND PORTAL VEIN VELOCITY MEASUREMENT IN THE
EVALUATION OF NON-ALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE : A CASE-
BASED APPROACH OF THE LITERATURE. 2016;(June):112–7.
26. Iranpour P, Lall C, Houshyar R, Helmy M, Yang A. Altered Doppler flow patterns in
cirrhosis patients : an overview. Ultrasonography. 2016;35(January):3–12.
27. Uyukkaya AYLAB, Orkut ESINK, Lcelik AYA, Orkmaz UGURK. Portal Vein
Hemodynamics in Patients with Non-Alcoholic Fatty Liver Disease. Tohoku J.
2008;215:89–93.
28. Solhjoo E, Mansour-ghanaei F, Moulaei-langorudi R, Jou- F. Comparison of Portal
Vein Doppler Indices and Hepatic Vein Doppler Waveform in Patients with
Nonalcoholic Fatty Liver Disease with Healthy Control. Hepat Mon. 2011;11(9):740–
4.
29. Sultana N, Mohiuddin A, Monwara M, Jeny SS, Yeasmin N, Kundu SS, et al. Changes
in Pulsatility Indes and Mean Flow Velocity of Portal Vein in Fatty Liver Disease:
Comparison with Normal Subjects. Bangladesh J Radiol Imaging. 2010;18:24–7.
30. Lazar M, Ion DA. Physiological variations of the portal flow parameters and their
clinical relevance. J Contemp Clin Pract. 2015;1(1).

132
31. Rumack CM, Levine D. Diagnostic Ultrasound. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.;
2018. 2249 p.
32. Hadziyannis S, Perez VA, Thuluvath P, Broelsch C, Boyer T, Foster G, et al. Liver A
Complete Book on Hepato-Pancreato-Biliiary Diseases. Logix Park: Elsevier; 2009.
666 p.
33. Burt AD, Ferrell LD, Hübscher SG. MacSween’s Pathology of the Liver. Seven.
Philadelphia: Elsevier; 2018. 1067 p.
34. Mishra P, Younossi ZM. Abdominal Ultrasound for Diagnosis of Nonalcoholic Fatty
Liver Disease ( NAFLD ). Am J Gastroenterol. 2007;102:2716–7.

133
STUDI KASUS RADIASI EKSTERNA PADA KASUS KELOID DENGAN TEKNIK
3 DIMENSIONAL-CONFORMAL RADIATION THERAPHY

Cyndi Rinanda Septianti1), Eka Putra Syarif H.2), Asumsie Tarigan,3)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120
Koresponden : -

Abstrak
Penyinaran Radioterapi pada kasus keloid dengan menggunakan elektron dari beberapa referensi yang
didapatkan menunjukan bahwa penggunaan elektron memiliki tingkat keberhasilan dan kesembuhan yang baik.
Di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi untuk kasus keloid sudah menggunakan radiasi eksterna berupa
elektron dengan menggunakan teknik 3D-CRT. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengevaluasi radiasi eksterna pada kasus keloid di Departemen Radioterapi MRCCC Siloam Hospitals
Semanggi. Desain penelitian ini adalah bersifat deskriptif kualitatif. Data di peroleh dari pasien yang melakukan
penyinaran keloid dengan teknik 3D-CRT selama periode bulan Februari sampai dengan Maret. Hasil penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa penyinaran menggunakan radiasi eksterna pada kasus keloid memiliki
perencanaan, pelaksanaan, dan pemberian dosis. Perencanaan meliputi konsul dengan dokter onkologi radiasi,
CT-Simulator dan TPS. Pelaksanaan meliputi pemberian dosis di ruang treatment. Untuk pemberian dosis, dosis
yang di dapatkan adalah dosis total sebesar 1500 cGy, dosis perhari 300 cGy dengan total 5 kali fraksi dengan
energy 6 MeV.

Kata kunci : Radiasi Eksterna, Keloid, 3D-CRT.

PENDAHULUAN
Radioterapi adalah suatu tindakan medis terapi radiasi yang dilakukan pada pasien
dengan kasus keganasan (kanker) dengan memanfaatkan radiasi pengion untuk mematikan
dan menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker. Adapun prinsip metode pemberian radiasi
(radioterapi) berupa radiasi eksterna (teleterapi), brakhiterapi atau kombinasi keduanya (1).
Modalitas yang digunakan untuk Radioterapi adalah LINAC (Linear Accelelator). LINAC
adalah pesawat yang menghasilkan berkas elektron dan atau sinar-X energi tinggi untuk
radioterapi sel kanker (2). Pesawat LINAC telah digunakan untuk terapi berbagai jenis tumor
mulai awal tahun 1950-an. Dalam dunia kedokteran elektron tingkat tinggi digunakan untuk
keperluan radioterapi sejak permulaan tahun 1950. Pada awalnya, penyinaran berasal dari
betatron walaupun terdapat akselerator linear dan generator Van de Graff dengan elektron
energi rendah. Sejak tahun 1970-an penggunaan akselerator linear energi tinggi mempunyai
multienergi berkas elektron dan foton. Berkas foton digunakan untuk menyinari tumor yang
berada dalam jaringan tubuh, misalnya ca cervix, ca mammae dan ca nasopharynx.
Sedangkan berkas elektron digunakan untuk menyinari kanker yang berada di permukaan
kulit (superficial) (3).

134
Dalam radioterapi ada beberapa teknik penyinaran yang dilakukan. Salah satunya adalah
3D-CRT. Three-Dimensional Conformal Tomography merupakan teknik penyinaran radiasi
yang memaksimalkan distribusi dosis homogen ke target yang akan disinar dengan
meminimalisir dosis organ sehat sekitar target. Teknik ini menggunakan Computed
Tomography Simulator, lokasi tumor dapat ditentukan lebih tepat serta distribusi dosis ke
target lebih akurat. (4). Keloid adalah penyakit jinak pada kulit atau luka pathological
neoplastic yang melampaui batas sayatan asli. Keloid ini berasal dari berbagai lesi kulit,
seperti operasi, luka bakar, jerawat dan dapat muncul secara spontan. Keloid lebih sering
terjadi pada wanita dan cenderung terletak di tubuh bagian atas. Keloid dapat menyebabkan
berbagai jenis gejala. Seperti, rasa sakit, gatal, atau peradangan sehingga dalam banyak kasus
mereka tidak hanya mewakili perubahan kosmetik tetapi juga fungsional (5). Reseksi bedah
sederhana dari jenis lesi ini memiliki tingkat kekambuhan lokal sebesar 50%. Dalam
pengobatan keloid, kekambuhan setelah bedah relatif tinggi, maka dari itu untuk membantu
meminimalisir kekambuhan keloid tersebut salah satunya adalah dengan menggunakan
Radioterapi elektron (6).
Terapi tambahan yang dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan setelah terapi
pasca operasi adalah radioterapi menggunakan elektron, perban silikon, perban kompresi,
dan suntikan intralesional. Iradiasi berkas elektron menawarkan tingkat kontrol tinggi
dengan efek samping minimal untuk penyembuhan keloid. Radioterapi pasca operasi
adjuvant, dianggap sebagai protokol yang paling manjur untuk keloid yang resisten,
mengurangi tingkat kekambuhan di bawah 10% dan meningkatkan kenyamanan pasien.
METODE
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif
untuk mendeskripsikan, menganalisis serta mengevaluasi dari mulai perencanaan,
pelaksanaan radiasi hingga pemberian dosis yang disajikan berupa penjelasan radiasi
eksterna menggunakan elektron pada kasus keloid. Metode pengumpulan data berupa studi
kepustakaan, data sekunder, dan serta wawancara. Data penelitian ini diperoleh dengan
mengumpulkan data sekunder dari hasil pemeriksaan kasus keloid menggunakan radiasi
eksterna berupa elektron. Kemudian penulis mengumpulkan berbagai data-data pendukung
dengan melakukan wawancara dengan radioterapis dan fisikawan medis, yang berkaitan

135
dengan proses planning dan penyinaran radiasi. Adapun instrumen penelitian berupa lembar
kerja untuk menuliskan hasil observasi, print out hasil Treatment Planning System, serta
pedoman wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi di Departemen Radioterapi MRCCC Siloam Hospitals
Semanggi tentang studi kasus radiasi eksterna pada kasus keloid dengan teknik 3
Dimensional-Conformal Radiation Therapy. Prosedur Persiapan Pasien : Pasien harus
berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi. Pasien membawa surat
rujukan/pengantar dari RS internal maupun eksternal, dengan pasien membawa data
penunjang antara lain : hasil imaging diagnostik (CT Scan, MRI, dan PET Scan), hasil
Patologi Anatomi (PA), serta hasil labolatorium. Setelah semua surat dan hasil penunjang
lengkap, petugas administrasi poliklinik radioterapi akan memberikan nomor antrean. Lalu
Dokter Onkologi Radiasi akan melakukan anamnesa meliputi : perlu atau tidaknya tindakan
radiasi, bila perlu tindakan radiasi maka dokter Onkologi akan menentukan tujuan radiasi
yaitu paliatif/kuratif, menentukan lokasi penyinaran radiasi, menentukan teknik radiasi,
menentukan metode radiasi, menentukan dosis radiasi. Lalu pasien akan dijelaskan mengenai
rincian biaya, bila menyetujui tindakan radioterapi pasien yang bersangkutan akan mengisi
dan mendatangani surat persetujuan (Inform Concern), lalu pasien akan di berikan jadwal
untuk tindakan CT Simulator. Persiapan alat dan bahan : CT-Simulator, pesawat Linac,
komputer TPS (Treatment Planning System), Automatic Cutter, aplikator elektron, spidol,
titik timbal dan bantal fiksasi. Prosedur CT-Simulator : Pasien datang ke meja administrasi
radioterapi untuk mengkonfirmasi kedatangan untuk dilakukan tindakan CT Simulator.
Status pasien dan lembar tindakan diterima oleh radioterapis dari meja administrasi
radioterapi. Kemudian radioterapis melihat status pasien untuk mengetahui organ
target/lokasi target yang akan di CT Simulator. Melihat kelengkapan surat persetujuan
tindakan Simulasi serta hasil penunjang dari rekam medis pasien. Radioterapis menyiapkan
alat bantu untuk Simulasi seperti : Bantal fiksasi, Spidol Permanent Biru, titik timbal tiga,
dan Micropore. Radioterapi menginput data pasien di operator console CT Simulator.
Radioterapi memanggil pasien sesuai dengan identitas lalu pasien di intstrusikan mengganti
pakaian di ruang ganti. Lalu pasien diarahkan ke ruang CT Simulator dengan radioterapis

136
menjelaskan prosedur / simulasi yang akan dilakukan di CT Simulator . Pasien di
instruksikan untuk berbaring diatas meja CT Simulator dengan posisi supine, atur posisi
pasien lurus dengan kepala berada di bantal fiksasi putih. Radioterapis menentukan titik
references point sesuai dengan organ target. Radioterapis menentukan titik referensi
menggunakan spidol biru yang sudah di tempel micropore. Kemudian tempelkan titik timbal
di titik refrence point sebagai acuan Fisikawan Medis. Setelah semua siap, pasien di masukan
ke gantry CT Scan, sesuaikan tanda titik reference point pada laser yang berada di dalam
gantry. Lakukan proses scanning. Setelah proses scanning, data hasil scanning dikirimkan
ke Treatment Planning System (TPS) via Dicom. Pasien diperbolehkan pulang dan kembali
lagi untuk melakukan penyinaran radiasi pertama sesuai jadwal yang telah ditentukan dalam
lembar kartu perjanjian. Radioterapis menyiapkan kartu pelaksanaan penyinaran dan mengisi
lembar CT Planning Instruction sebagai data set-up alat dan bahan yang digunakan selama
proses CT simulasi. Kemudian, lembar kartu pelaksanaan penyinaran, CT Planning
Intruction, status pasien dan data pendukung imaging diagnostik di bawa ke ruang TPS untuk
dilakukan Planning penyinaran radiasi oleh fisikawan medis.
Prosedur perencanaan Treatment Planning System (TPS) : Masukan data pasien.
Dimulai dari nama lengkap, tanggal lahir, dan nomor rekam medik dengan benar. Dokter
Spesialis Onkologi Radiasi akan melakukan konturing target dari PTV, GTV, PTV, hingga
OAR atau organ yang harus dilindungi.

Gambar 1 : Proses Konturing Oleh Dokter Onkologi Radiasi

137
Selain melakukan konturing pada target, Dokter Spesialis Onkologi membuat kontur
untuk blok yang akan di pasangkan di aplikator elektron menggunakan alat automatic cutter.
Setelah Dokter Spesialis Onkologi melakukan konturing kemudian Fisikawan Medis akan
melakukan perencanaan dengan forward -planning. Dimulai dengan memasukan dosis yang
diminta (dosis constrain) untuk PTV, GTC, dan PTV (target), memasukan dosis untuk Organ
At Risk, menetukan energi yang akan dipakai, Dose Rate, isocenter, lapangan radiasi, beserta
Monitor Unit, diatur sudut gantry.

Gambar 2 : Treatment Plant Report

Dilakukan kalkulasi dosis dari dosis yang diterima PTV hingga OAR. Serta evaluasi
dari hasil Dose Volume Histogram (DVH) dan distribusi dosis. Jika Dokter Spesialis
Onkologi menyetujui hasil Planning Fisikawan Medis maka akan dilakukan approval dengan
hasil Planning berisi lembar hasil DVH, lembar kurva isodose yang akan ditanda-tangani
oleh Fisikawan Medis dan Dokter Spesial Onkologi. Hasil Planning akan dikirim ke ruang
Linac via Local Area Network (LAN). Prosedur pembuatan Blok menggunakan Automatic
Cutter : Nyalakan komputer Automatic Cutter. Planning elektron yang sudah di kontur oleh
Dokter Onkologi Radiasi untuk kasus keloid dikirim dari TPS ke komputer Automatic Cutter.
etelah data dikirim, cek kembali hasil kiriman data dari TPS di Aplikasi Automatic Cutter.

138
Selanjutnya jika data sudah benar dan sama, pastikan alat Automatic Cutter di kalibrasi di
titik zero (nol). Nyalakan wire dan pasang sterofoam dengan benar dan tepat. Tunggu hingga
3-5 menit dengan suhu mencapai 47 derajat celcius. Setelah gambar dan wire sudah di setting
dengan benar, mulai melakukan pemotongan dengan cara menekan cut. Sambil menunggu
hasil potongan sterofoam terpotong sesuai gambar planning oleh Dokter Onkologi Radiasi,
print hasil gambar planning yang telah dikirim dari TPS. Setelah sterofoam terpotong sesuai
dengan planning. Samakan dengan gambar planning yang telah di print tadi. Setelah
potongan dengan hasil print sesuai, maka potongan sterofoam tersebut sudah benar dan bisa
di pakai untuk blok elektron.
Prosedur penyinaran di ruang radiasi : Bagian administrasi radioterapi akan
menghubungi petugas radioterapis dan petugas Fisika Medis jika pasien sudah datang untuk
dilakukan penyinaran radiasi hari pertama sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Setelah pasien
datang, Radioterapis membuka data hasil Planning radiasi dari TPS di monitor console Linac
dengan memilih nama pasien yang akan dilakukan penyinaran, lalu memilih Treat setelah itu
muncul foto pasien beserta lapagannya. Radioterapis memasuki ruangan Linac dan
menyiapkan alat fiksasi dengan melihat catatan di set up note yaitu catatan yang ada pada
saat CT Simulasi. Panggil nama pasien pastikan data diri dimulai dengan nama lengkap
pasien hingga tanggal lahir pasien.Posisikan pasien sama seperti saat di CT Simulator. Untuk
tahap pertama adalah melakukan verifikasi. Sesuaikan titik pergeseran yang di dapatkan dari
TPS. Dimulai dengan mengatur gantry dan couch meja. Jika semua sudah sama, posisikan
pasien dengan titik pergeseran TPS. Radioterapis beserta Fisikawan Medis menuju operating
console Linac sambil menutup pintu untuk dilakukannya verifikasi. Selanjutnya Radioterapis
memilih option set up OBI dan mode up. Radioterapis dan Fisikawan Medis melakukan
verifikasi terhadap penyinaran pasien dengan menggunakan OBI. Langkah-langkah
melakukan verifikasi menggunakan OBI adalah sebagai berikut : Pilih salah verifikasi
pemeriksaan pada monitor Linac, kemudian di mode up, Pilih option 2D/2D Match, pilih
posisi AP/Lateral, sesuaikan gantry dengan posisi AP/Lateral, Selanjutnya klik pada Option
Download Axis pada monitor OBI, Kemudian gantry diputar dengan menekan tombol Motion
Enable pada keyboard Linac. Setelah gantry berhenti berputar, tekan tombol auto dan OBI
Motion Enable untuk mengeluarkan OBI, Radioterapis memilih anatomy, lalu ekspose, OBI

139
dikembalikan ke tempatnya dengan menekan tombol Auto dan Retract, Radioterapis memilih
option Analyze pada monitor Linac, lalu Moving Window, lalu mengubah optimized menjadi
content atau brightness, untuk melakukan penyesuaian antara hasil pengambilan gambar OBI
dengan target awal planning pada gambaran AP dan Lateral, Setelah selesai, klik option Save
Match, lalu Apply Shift, dan menekan tombol Motion Enable. Lalu memilih option Done dan
Apply Permanently untuk lapangan permanen sebagai acuan posisi untuk penyinaran
selanjutnya, Setelah dilakukan verifikasi, gambar lapangan sesuai dengan pergeseran
verifikasi menggunakan spidol permanen, Kemudian pasangkan aplikasi elektron beserta
blok hasil cutter pada pesawat Linac. Fisikawan akan melakukan screening. Seperti
mengecek Skin To Skin Distance (SSD). Setelah melakukan screening, Radioterapis beserta
Fisikawan Medis menuju operating console Linac sambil menutup pintu untuk mulai
dilakukan nya penyinaran. Lakukan penyinaran dengan pilih lapangan yang akan disinar
dengan klik Mode Up lalu Fisikawan Medis akan mengecek dari sudut gantry, kolimator,
bentuk lapangan, Monitor Unit, dan energi. Setelah tepat putar kunci pada console linac, lalu
beam. Setelah selesai penyinaran buka pintu ruangan Linac, turunkan pasien pada meja
pemeriksaan dan beri kartu tanda sinar pada pasien. Intruksikan pasien agar jangan
menggosok daerah yang disinar radiasi dengan air agar tanda tidak hilang dan kulis pasien
tidak iritasi.
Pada hasil wawancara dan observasi perencanaan radiasi eksterna kasus keloid dengan
teknik Three-Dimensional Conformal Radiation Therapy (3DCRT) yaitu pasien terlebih
dahulu melakukan konsultasi dengan Dokter Onkologi Radiasi. Pasien diharuskan membawa
surat pengantar ke bagian radioterapi dari poliklinik asal atau bisa dari rujukan rumah sakit
lain. Hasil diagnostik berupa hasil USG, PET Scan, CT Scan, MRI, Bone Scan dan hasil
diagnostik lainnya yang menunjang klinis, hasil Patologi Anatomi (PA) dan hasil
laboratorium. Pada teori yang ada, saat pasien menemui atau berkonsultasi dengan dokter
pasien harus membawa hasil penunjang dikarenakan hasil penunjang tersebutlah yang akan
membantu Dokter Onkologi Radiasi melakukan anamnesa (7). Dokter Spesialis Onkologi
Radiasi akan melakukan anamnesa diantaranya perlu atau tidaknya tindakan radiasi, bila
perlu tindakan radiasi, Dokter yang bersangkutan akan menentukan tujuan radiasi
(kuratif/paliatif), menentukan lokasi penyinaran radiasi, teknik dan metode radiasi yang

140
digunakan serta dosis radiasi yang akan diberikan. Pada teori dijelaskan bahwa pada saat
menemui Dokter Onkologi Radiasi, Dokter tersebut akan menentukan penentuan lokasi,
dosis total, dan langkah tambahan yang diperlukan seperti pemeriksaan gigi dan perlu atau
tidaknya tindakan kemoterapi (7). Pada teori di jelaskan bahwa ada langkah tambahan seperti
pemeriksaan gigi atau langkah lainnya, pada kasus keloid tidak ada tambahan tindakan untuk
pelaksanaan radiasi.
Selanjutnya pasien akan dilakukan simulasi penyinaran di CT Simulator. Pada teori
dijelaskan bahwa pada tahapan menyiapkan beberapa keperluan pasien sesuai dengan
diagnosa, memposisikan pasien dengan alat bantu (bantal, knee rest) untuk memberikan
kenyamanan pada pasien dan memungkinkan untuk menghindari pergerakan pada saat
treatment. Pada wawancara radioterapis menjelaskan bahwa persiapan alat dan bahan yaitu,
CT Simulator, spidol permanen, titik timbal tiga, bantal fiksasi, dan micropore. Persiapan
tersebut sudah sesuai dengan diagnosa pasien yaitu kasus keloid. Dimana spidol permanen
tersebut digunakan untuk tanda pada pasien, titik timbal tiga digunakan diatas tanda spidol
yang bertujuan untuk referensi perhitungan oleh Fisikawan Medis di TPS, pada kasus keloid
pasien menggunakan bantal fiksasi putih untuk kenyamanan dan mengurangi pergerakan
pada saaat disinar menggunakan elektron, yang terakhir adalah penggunaan micropore.
Pasien di instruksikan untuk berbaring diatas meja CT Simulator dengan posisi supine, atur
posisi pasien lurus dengan kepala berada di bantal fiksasi putih. Radioterapis menentukan
titik references point sesuai dengan organ target. Pasien di masukan ke gantry CT Scan,
sesuaikan tanda titik reference point pada laser yang berada di dalam gantry. Lakukan proses
scanning (8).
Setelah melakukan Scanning, hasil dari CT Simulator dikirimkan via Dicom ke
ruangan Treatment Planning System (TPS). Pada teori dijelaskan bahwa pada saat di ruangan
TPS dimulai dengan penggambaran target tumor, batasan sekitar tumor, atau lokasi
menggunakan plain film atau computerized tomography. Kasus keloid menggunakan CT-
Simulator, yang artinya plain film tidak digunakan. Pada hasil wawancara, data pasien
dilakukan Planning oleh Dokter Onkologi Radiasi dan Fisikawan Medis. Dokter pertama kali
akan melakukan konturing (GTV, PTV, dan CTV). Di teori dijelaskan bahwa untuk
melakukan konturing harus mencakup GTV, PTV, CTV, TV, dan IV (9). Pada kasus keloid

141
ini, Dokter Onkologi Radiasi hanya menyertakan GTV, PTV, dan CTV saja. Untuk kasus
keloid Dokter juga meng-kontour blok menggunakan Automatic Cutter untuk di pasangkan
di aplikator elektron. Setelah Dokter melakukan konturing, selanjutnya Fisikawan Medis
akan melakukan perencanaan dengan forward planning yaitu pemasukan data beam secara
manual tanpa bantuan algoritma komputerisasi saat perhitungan dosis. Dimulai dengan dosis
yang diminta (constrain dose) untuk PTV, GTC, dan PTV (target), memasukan dosis untuk
Organ At Risk, menetukan energi yang akan dipakai, Dose Rate, isocenter, lapangan radiasi,
dan Monitor Unit, beserta mengatur sudut gantry. Selanjutnya akan dilakukan kalkulasi dosis
dan analisis hasil DVH pasien. Jika Dokter Spesialis Onkologi menyetujui hasil Planning
Fisikawan Medis maka akan dilakukan approval dengan hasil Planning berisi lembar hasil
DVH, lembar kurva isodose yang akan ditanda-tangani oleh Fisikawan Medis dan Dokter
Spesial Onkologi. Hasil Planning akan dikirim ke ruang Linac via Local Area Network
(LAN).
Pada hasil wawancara, prosedur pertama untuk penyinaran radiasi pada kasus keloid
adalah pasien di posisikan sama seperti pada saat CT Simulasi. Siapkan bantal putih pada
meja pemeriksaan. Sama halnya pada hasil teori, hasil teori tersebut menjelaskan untuk set
up pasien dimana pada tahapan ini pasien di posisikan sesuai dengan yang dilakukan pada
saat simulasi (7). Set up pasien ini berfungsi untuk treatment harian yang dibuat untuk
memastikan posisi pasien tepat setiap harinya. Sebelum dilakukannya penyinaran elektron,
Radioterapis dan Fisikawan medis melakukan Verifikasi menggunakan OBI. Sama halnya
dengan teori, Pada tahap ini verifikasi atau pemantauan atau konfirmasi posisi pasien, apakah
posisi pada saat disinar sama dengan saat dilakukan CT-Simulator. Pada teori juga dijelaskan
bahwa fungsi dari verifikasi adalah untuk memverifikasi posisi penyinaran untuk
mengkoreksi kesalahan set-up. Selanjutnya, sesuaikan titik pergeseran yang di dapatkan dari
TPS (10). Dimulai dengan mengatur gantry dan couch meja seperti posisi couch lateral,
longitudinal dan vertical. Jika semua sudah sama, posisikan pasien sesuai dengan set up.
Untuk elektron keloid menggunakan teknik 3DCRT pergeseran sudah didapatkan dari TPS,
sehingga pada saat treatment radioterapis terlebih dahulu men-set up gantry dan couch meja,
lalu setelah itu posisikan pasien sesuai dengan set up. Biasanya untuk pemeriksaan kasus lain
menggunakan elektron radioterapis hanya men-set up gantry, untuk mengatur posisi, pasien

142
sudah berada di meja pemeriksaan setelah itu baru mengatur posisi couch lateral,
longitudinal dan vertical. Jika verifikasi dirasa sudah cukup, Radioterapis dan Fisikawan
Medis memasang elektron yang sudah dipasangi blok di aplikator elektron. Melakukan
penyinaran dengan pilih lapangan yang akan disinar dengan klik Mode Up lalu Fisikawan
Medis akan mengecek dari sudut gantry, kolimator, bentuk lapangan, Monitor Unit, dan
energi. Setelah tepat lakukan beam.
Dokter Spesialis Onkologi Radiasi akan melakukan konturing target dari PTV, GTV,
PTV, hingga OAR atau organ yang harus dilindungi. Untuk kasus keloid dikarenakan bentuk
keloid itu sendiri irregular, maka Dokter Onkologi Radiasi juga membuat kontour untuk blok
yang akan di pasangkan di aplikator elektron. Fisikawan Medis akan melakukan perencanaan
dengan forward planning. Dimulai dengan memasukan dosis yang diminta (dosis constrain)
untuk PTV, GTC, dan PTV (target), memasukan dosis untuk Organ At Risk, menetukan
energi yang akan dipakai, Dose Rate, isocenter, lapangan radiasi, beserta Monitor Unit, diatur
sudut gantry. Dilakukan kalkulasi dosis dari dosis yang diterima PTV hingga OAR. Serta
evaluasi dari hasil Dose Volume Histogram (DVH) dan distribusi dosis. Berdasarkan hasil
perhitungan dosis yang telah dilakukan, hasil DVH (Dose Volume Histogram) berupa nilai
distribusi dosis dari perencanaan radiasi eksterna untuk kasus keloid dengan teknik Three-
Dimensional Radiation Therapy (3D-CRT) yaitu dosis total 1500 cGy, dosis perhari 300 cGy
dengan total 5 kali fraksi dengan energy 6 MeV. Pada teori dijelaskan bahwa energi yang
digunakan untuk kasus keloid adalah menggunakan 6 MeV (11) (12), dimana hal tersebut
sama dengan hasil wawancara, untuk kasus keloid di MRCCC Siloam hospitals
menggunakan energi 6 MeV. Pada teori pemberian dosis dan fraksi, di jelaskan beberapa
fraksi yang digunakan untuk kasus keloid diantaranya adalah menggunakan 2 fraksi, 4 fraksi,
5, fraksi, hingga 8 fraksi. Standar dosis yang digunakan untuk kasus keloid adalah 1500 cGy
dengan 5 fraksi (13). Dimana dosis ini sama dengan hasil wawancara, pada kasus keloid di
MRCCC menggunakan dosis 1500 cGy dengan 5 fraksi.
KESIMPULAN
Perencanaan untuk radiasi eksterna pada kasus keloid : Pasien melakukan konsultasi
dengan Dokter Onkologi Radiasi. Dokter Spesialis Onkologi Radiasi akan melakukan
anamnesa diantaranya perlu atau tidaknya tindakan radiasi, bila perlu tindakan radiasi,

143
Dokter yang bersangkutan akan menentukan tujuan radiasi (kuratif/paliatif), menentukan
lokasi penyinaran radiasi, teknik dan metode radiasi yang digunakan serta dosis radiasi yang
akan diberikan. Pasien akan dilakukan simulasi penyinaran di CT Simulator. Data pasien
dilakukan Planning oleh Dokter Onkologi Radiasi dan Fisikawan Medis. Dokter pertama kali
akan melakukan konturing (GTV, PTV, dan CTV) serta blok di Automatic Cutter.
Pelaksanaan untuk radiasi eksterna pada kasus keloid : Prosedur pertama sebelum
penyinaran adalah verifikasi, setelah verifikasi dirasa cukup prosedur yang terakhir adalah
penyinaran radiasi. Pemberian dosis untuk radiasi eksterna pada kasus keloid : pada hasil
perhitungan untuk dosis didapatkan dosis total sebesar 1500 cGy, dosis perhari 300 cGy
dengan total 5 kali fraksi dengan energy 6 MeV.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Bapak Eka Putra Syarif H. S.Pd, M.kes, selaku Dosen
Pembimbing Materi yang sangat membantu dalam proses penyusunan penelitian ini, juga
kepada Bapak Asumsie Tarigan, S,Si, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Teknik yang sangat
membantu dalam proses penyusunan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Khatamsi HA, Indrati R, Murniati E. Karsinoma Nasofaring Di Unit Radioterapi


Instalasi Radiologi Rsup Dr . Sardjito Yogyakarta Treatment Of Radiotheraphy
Monoisocentric Technique In Cases Of Nashopharangeal Cancer At Unit
Radiotheraphy Installation Radiology Rsup Dr . Sardjito Hafsi : Tata . 4(1):1–9.
2. Muhammad S, Wurdiyanto G, Proteksi P, Keselamatan Dan, Di R, Linac Fr.
Penerapan Proteksi Dan Keselamatan Radiasi Di Fasilitas Radioterapi-Linac. 2016;1–
9.
3. Fisika J, Matematika F, Ilmu DAN, Alam P. Analisis Kualitas Berkas Radiasi Foton
10 Mv Pada Pesawat Teleterapi Linear Accelerator. 2010;1–6.
4. Therapy R. Of Radiation Therapy.
5. Carvajal CC, Ibarra CM, Arbulo DL, Russo MN, Solé CP. Postoperative Radiotherapy
In The Management Of Keloids. Ecancermedicalscience. 2016;10:1–8.
6. Lee SY, Park J. Postoperative Electron Beam Radiotherapy For Keloids: Treatment
Outcome And Factors Associated With Occurrence And Recurrence. Ann Dermatol.
2015;27(1):53–8.
7. Gantchew M. Radiotherapy risk profile. Rentgenol i Radiol. 2010;49(4):282–5.
8. Mukherji A. Basics Of Planning And Management Of Patients During Radiation
Therapy. Basics Of Planning And Management Of Patients During Radiation Therapy.
2018.
9. Benedict SH. Review of Radiation Oncology Physics: A Handbook for Teachers and

144
Students. J Appl Clin Med Phys. 2004;5(3):91–2.
10. Djordjevic M. Evaluation of Geometric Accuracy and Image Quality of an On-Board
Imager (OBI). Environ Sci Technol. 2007;40(18):5629–35.
11. Hoang D, Reznik R, Orgel M, Li Q, Mirhadi A, Kulber DA. Surgical Excision and
Adjuvant Brachytherapy vs External Beam Radiation for the Effective Treatment of
Keloids: 10-Year Institutional Retrospective Analysis. Aesthetic Surg J.
2017;37(2):212–25.
12. Petrou IG, Jugun K, Rüegg EM, Zilli T, Modarressi A, Pittet-Cuénod B. Keloid
treatment: What about adjuvant radiotherapy? Clin Cosmet Investig Dermatol.
2019;12:295–301.
13. Xu J, Yang E, Yu NZ, Long X. Radiation therapy in keloids treatment: History,
strategy, effectiveness, and complication. Chin Med J (Engl). 2017;130(14):1715–21.

145
ANALISIS VARIASI RECEIVE BANDWIDTH PADA PEMERIKSAAN MRI KNEE
DENGAN SEQUENCE PROTON DENSITY WEIGHTED FAST SPIN ECHO

Wahdini Hanifah1), Eny Supriyaningsih1), dan Legia Prananto1)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta, 12120

Koresponden : wahdinihnfh@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa gambaran anatomi pada pemeriksaan MRI knee, sequence
proton density weighted dengan variasi receive bandwidth 130 Hz/Px, 182 Hx/Px, 485 Hz/Px dan 685 Hz/Px.
Desain penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan di
Jakarta pada bulan April - Mei 2020. Dengan sampel penelitian merupakan sampel yang terdapat dalam jurnal
/ literature. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan, berupa jurnal, buku dan artikel
terkait dengan penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu jurnal / literature berupa soft copy. Hasil
dari analisa jurnal terhadap gambaran MRI knee, penggunaan receive bandwidth 130 Hz/Px dan receive
bandwidth 182 Hz/Px mampu menampilkan gambaran anatomi knee diantaranya PCL, ACL, meniscus, Hoffa
fat pad, dan cartilage dengan kualitas diagnostik yang baik, sedangkan receive bandwidth 485 Hz/Px dan
receive bandwidth 685 Hz/Px kurang informatif dalam menampilkan gambaran anatomi knee, tapi bermanfaat
untuk mengurangi metal artefak pada pemeriksaan MRI knee dengan metal implan. Kesimpulan dari penelitian
ini bahwa penggunaan receive bandwidth 130 Hz/Px dan 182 Hz/Px menghasilkan gambaran anatomi knee
yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan receive bandwidth 485 Hz/Px dan 685 Hz/Px. Namun,
penggunaan receive banwidth 485 Hz/Px dan 685 Hz/Px baik dalam mengurangi metal artefak.

Kata Kunci: MRI knee, variasi receive bandwidth, proton density weighted

PENDAHULUAN
MRI dinilai sebagai alat yang paling efektif untuk musculoskeletal imaging. Salah satu
bentuk MR musculoskeletal adalah MRI knee yang muncul sebagai modalitas pencitraan
utama untuk sendi lutut. MR knee adalah alat uji yang paling sensitif, noninvasif untuk
mendiagnosis gangguan tulang dan jaringan lunak didalam dan sekitar lutut. Pemeriksaan
MRI knee memberikan informasi patologi, panduan terapi, kondisi prognostik dan perawatan
untuk berbagai macam kondisi ortopedi lutut (1,2). Proton density weighted (PDW) fast spin
echo (FSE) adalah salah satu pulsa sequence yang sering digunakan untuk MRI knee. Proton
density weigthted dihasilkan dari perbedaan intensitas sinyal antara jaringan, yang
merupakan dampak dari perbedaan jumlah proton didalamya. Penggunaan parameter dan
sequence yang tepat dapat mempengaruhi hasil gambaran MRI. Salah satu parameter yang
digunakan adalah receive bandwidth (4,5) . Receive bandwidth adalah rentang frekuensi

146
pengambilan sampel selama penerapan readout gradient. Bandwidth menjelaskan secara
sederhana rentang frekuensi dari sinyal echo yang dianalisis kemudian ditransfer menjadi
satu piksel (3). Receive bandwidth adalah rentang frekuensi yang diambil secara akurat pada
saat proses readout terjadi. Receive bandwidth merupakan total bandwidth diseluruh FOV
atau sebagai bandwidth perpixel (4).
Menurut jurnal internasional menggunakan parameter receive bandwidth 130 Hz/Px
untuk menghasilkan gambaran MRI knee dengan traumatik atau mengalami masalah
degeneratif. Penggunaan nilai ini menunjukan tidak adanya kontinuitas pada anterior
cruciate ligament dan tampak adanya intensitas yang rendah bagian distal ACL (5). Pada
sumber lainnya menggunakan receive bandwidth 182 Hz/Px untuk menghasilkan gambaran
MRI knee untuk mengevaluasi perubahan degeneratif knee setelah rekonstruksi PCL.
Penggunaan nilai ini menunjukan kemiringan tibia, tibial plateau dan posterior cruciate
ligament (PCL) pada pasien setelah rekonstruksi PCL (6). Jurnal lainnya menggunakan
receive bandwidth 485 Hz/Px pada pemeriksaan MRI knee untuk evaluasi gambaran knee
dengan implan logam. Nilai ini baik dalam mengurangi artefak logam pada gambaran MRI
knee dengan total knee arthroplasty, menilai periprosthetic osteolysis dan menilai
abnormalitas pada knee (7). Jurnal lainnya menggunakan receive bandwidth 685 Hz/Px pada
pemeriksaan MRI knee, juga untuk evaluasi gambaran MRI knee dengan implan logam.
Penggunaan receive bandwidth ini berperan penting mengurangi artefak logam pada knee
dan mampu memperlihatkan anatomi knee dengan kualitas diagnostik bagus (8).
Dalam penerapannya terdapat variasi penggunaan receive bandwidth, diantaranya 130
Hz/Px, 182 Hz/Px, 485 Hz/Px, dan 685 Hz/Px. Karena pemakaian parameter yang berbeda-
beda, dan masih kurangnya pemahaman pemakaian receive bandwidth dalam menghasilkan
gambaran MRI. Maka perlu adanya upaya untuk menganalisa dan mengkaji lebih jauh
penggunaan receive bandwidth dalam menampilkan gambaran MRI khususnya knee.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah , yaitu Bagaimana
gambaran anatomi MRI knee dengan penggunaan variasi receive bandwidth 130 Hz/Px, 182
Hz/Px, 485 Hz/Px, dan 685 Hz/Px?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa
gambaran anatomi MRI knee dengan penggunaan variasi receive bandwidth 130 Hz/Px, 182
Hz/Px, 485 Hz/Px, dan 685 Hz/Px.

147
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode studi
kepustakaan dalam menganalisa dan mendeskripsikan gambaran MRI knee dengan
penggunaan receive bandwidth 130 Hz/Px, 182 Hz/Px, dan 485 Hz/Px dan 685 Hz/Px.
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pasien yang digunakan dalam literatur yang
akan dianalisa. Sampel menggunakan beberapa pasien yang terdapat dalam literatur, yang
berkaitan dengan penelitian ini. Data didapat dengan studi kepustakaan berupa hasil
gambaran MRI knee. Hasil gambaran tersebut akan dianalisa anatomi knee terkait
penggunaan nilai receive bandwidth.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam jurnal ini untuk menampilkan gambaran anatomi knee, sequence proton dencity
weighted dengan menggunakan beberapa parameter. Parameter yang digunakan sebagai
berikut: TR 1300 msec, TE 44 msec, matrix size 285x320, field of view 160 mm, slice
thickness 2 mm, voxel size 0.5x0.5x2, bandwidth 130 Hz/Px, echo train length 45, averages
1, imaging time 1:01, iPAT grappa 2. Dari penggunaan parameter tersebut dihasilkan
gamabaran knee seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 : Sagital MRI knee pasien dengan acute tear ACL karena indirect trauma

Dalam penelitian ini ditunjukan bahwa dengan menggunakan nilai receive bandwidth
yang lebih kecil akan menunjukan gambaran anatomi yang baik untuk diagnosa. Hal ini
dibuktikan dengan akurasi mendeteksi meniscus dan cruciate ligament sebesar 93% dan

148
97%. Meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam jurnal tersebut, dapat dilihat pada
gambaran, rendahnya noise/blurring yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan nilai
receive bandwidth 130 Hz/Px, untuk diagnosa trauma dan internal knee injuries. Dengan
diterapkannya parameter tersebut kita dapat melihat gambaran ACL, meniscus, Hoffa fat pad,
cartilage, patella, condylus femoralis, corpus tibia dan muscle. Batasan setiap objek juga
tampak jelas, dan detail bagus karena rendahnya noise. Pada hasil gambaran knee tersebut
juga tampak tidak adanya kontinuitas pada ACL, dengan intensitas rendah pada bagian distal.
Karena alasan inilah, nilai 130 Hz/Px akan lebih baik dalam menampilkan gambaran
patologis knee dengan noise yang rendah. Noise yang rendah menjukan peningkatan nilai
signal to noise ratio (SNR), karena semakin banyak sinyal yang dicatat pada setiap pixelnya.
SNR yang meningkat kan mengahasilkan gambaran yang baik untuk diagnosa.
Dalam jurnal tersebut menampilkan gambaran knee untuk memperkuat diagnosa
menggunakan beberapa sequence dan parameter. Salah satu nya yaitu sequence proton
density weighted dengan parameter sebagai berikut: TR 3100 ms, TE 42 ms, matrix 320x256,
bandwidth 182 Hz/Px, slice thickness 3 mm, FOV 160 mm. Parameter ini digunakan untuk
mengevaluasi perubahan degeneratif sendi lutut.

Gambar 2 : Sagital knee dengan Pengukuran Posisi Kemiringan Corpus Tibialis


Setelah Rekonstruksi PCL

Dalam penelitian ini dapat dianalisa bahwa gambaran MRI knee dengan penggunaan
parameter receive bandwidth 182 Hz/Px menunjukan gambaran anatomi knee dengan cukup
jelas. Gambaran MRI informatif dalam mengevaluasi keberadaan dan perkembangan
perubahan degeneratif pada pasien setelah dilakukannya rekonstruksi PCL. Terlihat pada
gambar 2 dapat dilakukan pengukuran perubahan degeneratif setelah dilakukannya

149
rekontruksi PCL. Tidak hanya itu, gambaran anatomi knee juga ditampilkan dengan baik.
Meskipun tidak dituliskan secara rinci dalam jurnal, terlihat ACL, PCL, meniscus, Hoffa fat
pad, muscle, articular cartilage, condylus femoralis, corpus tibia. Nilai receive bandwidth
yang diterapkan tersebut mampu menghasilkan gambaran dengan noise cukup rendah, dan
layak untuk kualitas diagnostik. Rendahnya nilai noise pada gambaran MRI akan
meningkatkan nilai signal to noise ratio (SNR). Batasan tiap objek tampak cukup tegas dan
detail baik. Penggunaan nilai receive bandwidth 182 Hz/Px memiliki kemampuan
diaganostik yang sama bagusnya dengan menggunakan receive bandwidth 130 Hz/Px. Hal
ini dikerenakan, dengan receive bandwidth tersebut mampu menghasilkan gambaran knee
dengan patologis dan tampilan anatomi yang informatif.
Dalam penelitian tersebut pemeriksaan MRI knee menggunakan beberapa sequence
dan parameter. Sequence proton density weighted adalah salah satu sequence yang dipakai,
dengan parameter : TR 5010, TE 14, slice thickness 4 mm, flip angle of 135°, FOV 18 cm,
matrix of 297 × 448, bandwidth 485 Hz/Px, echo spacing 7.18 ms, ETL 7, number of slices
23, phase-encoding direction A>>P. Parameter ini digunakan dalam menampilkan anatomi
knee, patologi dan periprosthetic osteolysis.

Gambar 3 : Sagittal proton density weighted a) left knee MRI pasien laki-laki 62
tahun dengan total knee arthroplasty b) left knee MRI, pasien wanita 50 ahun
dengan total knee arthroplasty c) right knee MRI, pasien laki-laki 65 tahun dengan
total knee arthroplasty

Dalam penelitian ini dapat dianalisa bahwa penggunaan nilai receive bandwidth 485
Hz/Px disebut sebagai high bandwidth yang berperan dalam mengurangi metal artefak dan
menampilkan patologis/abnormalitas. Setiap hasil gambaran MRI knee tampak adanya

150
gangguan metal artefak berupa distorsi dan signal lost. Akan tetapi, gangguan metal artefak
ini telah berkurang karena penggunaan receive bandwidth 485 Hz/Px.
Gambaran MRI knee yang dihasilkan (gambar 3 a) tampak adanya distorsi akibat
implan logam, dan terdapat signal lost (berwarna gelap). Gambaran terlihat adanya
abnomalitas berupa fibrosis Hoffa fat pad. Abnormalitas dapat dideteksi namun dengan
blurring/noise dan sedikit masih adanya distorsi. Patella, distal femur, muscle dan proximal
tibia terlihat pada gambaran (gambar 3 a). Tetapi, batasan setiap objek terlihat tidak tegas.
Anatomi lainnya seperti ACL,PCL , cartlage, meniscus tidak terlihat, karena sinyal disekitar
implan logam hilang dan berwarna gelap.
Hasil gambaran MRI knee lainnya yang ditunjukan oleh gambar 3 b. Gambaran
tersebut juga menunjukan adanya distorsi akibat implan logam. Meskipun adanya distorsi
artefak logam dan sinyal yang hilang, penggunaan receive bandwidth 485 Hz/Px ini mampu
memperlihatkan fibrosis Hoffa fat pad dan periprosthetic osteolysis pada tibia. Anatomi knee
yaitu Patella , distal femur, muscle dan sedikit bagian tibia ditampilkan pada gambaran, tetapi
tampak adanya blurring/noise. Batasan setiap objek juga terlihat tidak tegas. Anatomi lain
seperti ACL,PCL , cartlage, meniscus tidak terlihat, karena sinyal disekitar implan logam
hilang dan berwarna gelap.
Hasil gambaran MRI knee selanjutnya, ditunjukan oleh gambar 3 c. Gambaran tersebut
menunjukan adanya distorsi artefak logam. Penggunaan receive bandwidth 485 Hz/Px
menunjukan adanya periprosthetic osteolysis, lobulated ganglion cyst, joint effusion dan
synovitis. Periprosthetic osteolysis tampak ada disekitar tibia. Lobulated ganglion cyst
terlihat dibagian posterior knee, dekat dengan distal femur. Joint effusion dan synovitis
terlihat dibagian anterior knee, dekat dengan distal femur. Gambaran MRI knee ini terlihat
sedikit noise/blurring. Anatomi knee terlihat cukup jelas yaitu patella, distal femur dan
muscle, namun batasan setiap objek tidak tegas. . Anatomi lain seperti ACL, PCL , cartlage,
meniscus juga tidak terlihat, karena sinyal disekitar implan logam hilang dan berwarna gelap.
Dari ketiga hasil gambaran MRI knee, dapat dianalisa bahwa batasan setiap objek dapat
dilihat meskipun terlihat adanya noise/blurring pengaruh adanya metal dan tingginya
bandwidth yang digunakan. Peningkatan nilai receive bandwidth menyebabkan tingginya
noise pada gambaran. Noise yang tinggi akan mengurangi signal yang akan tercatat pada

151
gambaran. Berkurangnya signal yang tercatat maka signal to noise ratio (SNR) akan
mengalami penurunan.
Anatomi knee seperti ACL, PCL, meniscus, cartilage, dan anatomi lain yang terlihat
pada penggunaan bandwidth 130 Hz/Px dan 182 Hz/Px tidak terlihat pada penggunaan
bandwith 485 Hz/Px ini. Hal ini karena adanya metal pada knee sehingga gambaran tertutup
dampak dari distorsi dan signal lost. Meskipun gambaran anatomi yang dihasilkan tidak
informatif, penggunaan nilai bandwidth 485 Hz/Px bermanfaat dalam evaluasi pasien setelah
operasi pemasangan implan logam pada knee, menunjukan adanya fibrosis Hoffa fat pad,
mendeteksi lobulated ganglion cyst, joint effusion synovistis dan periprosthetic osteolysis
Dalam jurnal tersebut menggunakan beberapa sequence dan parameter untuk
menghasilkan gambaran MRI knee. Salah satu sequence adalah proton density weighted
dengan parameter sebagai berikut: TR 4500 ms, TE 37 ms, turbo factor 9, flip angle 1400,
matrix 346x384, voxel size 0.4x0.4x3.0, PAT off, bandwidth 685 Hz/Px. Nilai high
bandwidth juga digunakan dalam penelitian tersebut dengan tujuan mengurangi metal artefak
pada gambaran MRI knee.

Gambar 4: sagittal knee proton density weighte, CoCrMo implant a) parameter


receive bandwidth standar b) parameter receive bandwidth 685 Hz/Px

Dalam penelitian ini dianalisa bahwa penggunaan receive bandwidth 685 Hz/Px juga
disebut sebagai high bandwidth dan berperan penting mengurangi metal artefak. Tampak
pada (gambar 4 a) adanya distorsi dan signal lost (berwarna gelap) akibat implan logam
CoCrMo yang menutupi anatomi knee. Kemudian pada (gambar 4 b) tampak pengurangan
distorsi dan signal lost (berwarna gelap) tersebut. Pengurangan terjadi karena penggunaan
receive bandwidth 685 Hz/Px, meskipun tidak seluruh artefak dapat dikurangi. Gambaran

152
anatomi knee seperti patella, condylus femoralis, cartilage, mucles dan sedikit bagian dari
corpus tibia dapat terlihat. Anatomi lainnya yang terlihat pada penggunaan bandwidth 130
Hz/Px dan 182 Hz/Px tidak dapat ditampilkan pada bandwidth 685 Hz/Px dengan adanya
implan CoCrMo.

Gambar 5 : sagittal knee proton density weighte, titanium implant a) parameter


receive bandwidth standar b) parameter receive bandwidth 685 Hz/Px

Pada hasil gambaran lainnya (gambar 5 a ) tampak adanya implan logam pada bagian
tibia. Diketahui dalam jurnal implan yang digunakan adalah titanium. Gambar (5 a)
menunjukan adanya distorsi dan signal lost (berwarna gelap) pada bagian tibia. Meskipun
artefak yang terjadi tidak parah, penggurangan implan harus tetap dilakukan guna dihasilkan
kualitas diagnostik yang baik. Dilihat pada gambar (5 b) distorsi akibat artefak logam
berkurang, batasan setiap objek terlihat. Terlihat anatomi knee: patella, meniscus, Hoffa fat
pad, muscle, articular cartilage, condylus femoralis, corpus tibia. Anatomi yang ditampilkan
pada gambaran ini sama dengan anatomi yang tampak pada penggunaan bandwidth 130
Hz/Px dan 182 Hz/Px meskipun tidak detail. Kedua gambaran MRI knee tersebut
menunjukan luas metal artefak yang berbeda. Hal ini terjadi karena perbedaan material
penyusun implant dan posisi implant. Penggunaan implan CoCrMo menghasilkan lebih
banyak distorsi dan signal lost pada gambaran dibandingkan dengan implan titanium. Dari
dua gambaran MRI knee ini juga mampu menampilkan anatomi knee dengan tampak batasan
setiap objek, meskipun adanya noise/blurring. Peningkatan noise terjadi karena nilai
bandwidth yang digunakan lebih tinggi, yaitu 685 Hz/Px. Noise yang meningkat akan
menurunkan nilai SNR

153
KESIMPULAN
Berdasarkan analisa yang dilakukan dengan kajian beberapa literature terhadap
pemeriksaan MRI knee potongan sagital sequence proton density weighted, penggunaan nilai
receive bandwidth 130 Hz/Px, 182 Hz/Px, 485 Hz/Px dan 685 Hz/Px maka dapat disimpulkan
bahwa, penggunaan receive bandwidth 130 Hz/Px sequence proton density weighted
menunjukan noise yang sangat rendah. Gambaran yang dihasilkan baik untuk diagnosa.
Terlihat hasil gambaran mampu memvisualisasikan ACL, Hoffa fat pad, patella, codylus
femoralis, articular cartilage, corpus tibia, dan muscle. Batasan setiap objek tampak jelas
dan detail baik. penggunaan nilai receive bandwidth 130 Hz/Px dapat digunakan untuk
diagnosa patologi pada knee. Penerapan receive bandwidth 182 Hz/Px sequence proton
density weighted mengahasilkan noise yang cukup rendah. Hasil gambaran menunjukan
ACL, PCL, meniscus, Hoffa fat pad, muscle, articular cartilage, condylus femoralis, corpus
tibia. Batasan setiap objek jelas dan detail baik. Nilai ini dapat digunakan untuk diagnosa
patologi pada knee. Penerapan receive bandwidth 485 Hx/Px sequence proton density
weighted berperan penting mengurangi metal artefak. Distorsi akibat implan logam dapat
dikurangi sehingga gambaran anatomi knee dapat terlihat. Terlihat fibrosis Hoffa fat pad,
lobulated ganglion cyst, joint effusion synovistis dan periprosthetic osteolysis serta anatomi
knee, seperti patella, distal femur, muscle dan proximal tibia. Anatomi yang terlihat terbatas
karena pengaruh letak implan dan distorsi akibat implan tersebut. Peneraparan receive
bandwidth 685 Hz/Px sequence proton density weighted juga berperan penting mengurangi
metal artefak. Gambaran knee yang pertama, terlihat anatomi knee seperti patella, condylus
femoralis, cartilage, mucles dan sedikit bagian dari corpus tibia. gambaran knee yang kedua
terlihat anatomi knee: patella, meniscus, Hoffa fat pad, muscle, articular cartilage, condylus
femoralis, corpus tibia. Perbedaan gambaran anatomi yang terlihat ini, terjadi karena
pengaruh material dan posisi implan pada knee. Anatomi masih dapat dilihat meskipun
adanya blurring/noise.
Penggunaan receive bandwidth juga berpengaruh pada hasil gambaran, yang dapat
dilihat dari receive bandwidth 130 Hz/Px, 182 Hz/Px, 485 Hz/Px dan 685 Hz/Px. Semakin
tinggi nilai receive bandwidth akan semakin baik dalam mengurangi metal artefak knee
dengan implan logam. Semakin tinggi nilai receive bandwidth yang digunakan, maka

154
semakin tinggi noise pada gambaran. Namun, dengan menggunakan receive bandwidth
rendah unggul dalam menampilkan patologi dan anatomi dengan batasan jelas dan deatail
tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melaksanakan dan menyelesaikan penelitian dalam jurnal ini. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing yang bersedia meluangkan waktu dan fikiran untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih kepada orang tua, yang
tidak pernah berhenti berdoa dan memberikan dukungan. Terima kasih juga kepada teman-
teman DIV-B yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadler J, Schulthess GK van, (Eds) CLZ. Musculosceletal Dieses 2009-2012. Vol. 53,
Journal of Chemical Information and Modeling. italia; 2013. 1689–1699 p.
2. Liney G. MRI in Clinical Practice. London; 2006.
3. Graessner J. Bandwidth in MRI. 2013;3–8. Available from: Siemens Healthcare,
Hamburg
4. Westbrook C, Talbot J. MRI in practice. Vol. 112, The British Journal of Psychiatry.
2019. 211–212 p.
5. Schnaiter JW. Diagnostic Accuracy of an MRI Protocol of the Knee Accelerated
Through Parallel Imaging in Correlation to Arthroscopy Diagnostische Genauigkeit
eines mittels paralleler Bildgebung beschleunigten Knie-MRT-Protokolls in
Korrelation zur Arthroskopie. 2018;265–72.
6. Gwinner C, Weiler A, Denecke T, Rogasch JMM, Boeth H, Jung TM. Degenerative
changes after posterior cruciate ligament reconstruction are irrespective of posterior
knee stability: MRI-based long-term results. Arch Orthop Trauma Surg [Internet].
2018;138(3):377–85. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s00402-017-2855-z
7. Sutter R, Hodek R, Fucentese SF, Nittka M, Pfirrmann CWA. Total knee arthroplasty
MRI featuring slice-encoding for metal artifact correction: Reduction of artifacts for
STIR and proton density-weighted sequences. Am J Roentgenol. 2013;201(6):1315–
24.
8. Bachschmidt TJ, Sutter R, Jakob PM, Pfirrmann CWA, Nittka M. Knee implant
imaging at 3 Tesla using high-bandwidth radiofrequency pulses. J Magn Reson
Imaging. 2015;41(6):1570–80.

155
ANALISIS VARIASI SLICE THICKNESS MENGGUNAKAN SEQUENCE
SUSCEPTIBILITY WEIGHTED IMAGING PADA PEMERIKSAAN MRI BRAIN
DENGAN KLINIS PARKINSON

Sofia Khunafa1), Eny Supriyaningsih1), Legia Pranoto1)


1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II,Jakarta, 12120

Email : sofiakhunafa@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis variasi slice thickness pada MRI brain dengan klinis Parkinson
menggunakan sequence Susceptibility Weighted Imaging (SWI) dengan slice thickness 0,7 mm, 2 mm, dan 3
mm dalam mengevaluasi citra anatomi Subtansia Nigra secara optimal. Desain penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan di Jakarta pada bulan April sampai Mei 2020,
dimana sampel yang digunakan menggunakan sampel dari data studi kepustakaan tersebut. Metode
pengumpulan data dengan mengumpulkan data penelitian berupa data-data kepustakaan yang telah dipilih dan
dianalisis terkait pemeriksaan MRI brain menggunakan SWI pada klinis Parkinson. Instrumen penelitian yang
digunakan yaitu Jurnal/literature berupa softcopy. Hasil penelitian berupa hasil gambaran MRI brain klinis
Parkinson dengan menggunakan sequence SWI serta pengggunaan slice thickness 0,7 mm, 2 mm, dan 3 mm
yang dianalisi berdasarkan hasil studi kepustakaan jurnal terkait dalam menampilkan citra nigrosome 1 pada
Subtansia Nigra. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemeriksaan MRI brain dengan menggunakan slice
thickness 0,7 mm mampu mengevaluasi gambaran Subtansia Nigra secara optimal pada pasien dengan klinis
parkinson yang diketahui dari perbandingan hasil analisis jurnal terkait.

Kata kunci : MRI Brain, SWI, Parkinson, slice thickness

PENDAHULUAN
Magnetic Resonance Imaging (MRI) brain dapat membantu untuk meningkatkan
akurasi dan kenyakinan tentang diagnosis. MRI brain bertujuan untuk menilai kerusakan
serebrovaskular maupun penyakit neurodegeneratif. Indikasi pemeriksaan MRI brain
diantaranya multiple sclerosis, stroke, epilepsy, hemorrhage, trigeminal neuralgia, tumor,
dan juga parkinson (1)(2). Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif yang banyak
dialami usai lanjut. Disebabkan oleh degenerasi progresif dopamine yang mengandung
neuron dalam struktur sel otak yang berada di subtansia nigra(3). Penyakit Parkinson jarang
dialami pada usia dibawah 30 tahun, biasanya banyak menyerang pada usia 40-70 tahun(4).
Terdapat studi yang mengatakan degenerasi patologis dapat divisualisasikan pada resolusi
tinggi T2* berbasis SWI dengan kekuatan medan magnet 7 Tesla dan 3 Tesla(5)(6)(7).
Susceptibility Weighted Imaging (SWI) merupakan teknik pada Magnetic Resonance

156
Imaging (MRI) yang mulai banyak digunakan dengan tujuan menambah informasi dari hasil
kualitas citra demi menegakkan diagnosis dari banyaknya gangguan neurologis. SWI
menggunakan perbedaan dari kerentanan jaringan sehingga akan menghasilkan kontras
gambar. SWI sangat berguna untuk menunjukan stroke akut,menjadi ciri dari malformasi
vaskuler aliran darah, microbleeds otak, kalsifikasi intrakranial, penyakit neurodegeneratif
seperti Parkinson dan juga tumor otak. SWI juga dapat sangat sensitif terhadap zat besi jadi
memungkinkan perbedaan anatomi terperenci berdasarkan kuantifikasi zat besi yang ada di
dalam otak (8)(9)(10).
Pemeriksaan MRI brain pada klinis Parkinson selain dengan menggunakan sequence
yang tepat juga diatur beberapa parameter untuk mendapatkan kualitas hasil gambaran yang
dibutuhkan, salah satu parameter tersebut adalah slice thickness. Pemilihan slice thickness
yang tepat akan mendapatkan gambaran yang optimal. Slice thickness merupakan ketebalan
irisan dari suatu objek yang diperiksa dan diukur dalam mm(2)(11). Terdapat variasi slice
thickness yang digunakan pada pemeriksaan MRI brain dengan klinis Parkinson yakni 0.7
mm, 2 mm, dan 3 mm yang digunakan untuk mengevaluasi gambaran anatomi dari Subtansia
Nigra (5)(12)(13). Untuk itu peneliti tertarik mengkaji lebih jauh tentang penggunaan variasi
slice thicknees dengan menggunakan sequence SWI untuk mengevaluasi subtansia nigra
yang optimal pada pasien dengan klinis Parkinson.
METODE
Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan metode studi
kepustakaan. Tujuan penelitian menganalisa pemeriksaan MRI brain menggunakan
sequence SWI 3D potongan axial dan penggunaan variasi slice thickness pada pasien dengan
klinis Parkinson. Populasi dan sampel penelitian ini ialah pasien dalam jurnal terkait
pemeriksaan MRI brain dengan klinis Parkinson. Mengolah data yang didapatkan dari hasil
studi pustaka buku dan jurnal yang membahas pemeriksaan MRI brain menggunakan
sequence SWI pada klinis Parkinson dengan variasi slice thickness yang digunakan untuk
menampilkan citra subtansia nigra. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan lalu
dianalisis secara deskriptif sehingga mendapatkan kesimpulan.

157
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melakukan studi kepustakaan tentang bagaimana menghasilkan citra subtansia
nigra pada pasien dengan klinis Parkinson dibutuhkan sequence yang tepat dan parameter
yang mendukung. Analisis terkait periapan pasien semua melakukan prosedur yang sama
yakni mengisi formulir persetujuan atas tindakan penelitian yang akan dilakukan.
Pemeriksaan menggunakan medan maget superkonduktor dengan besar 3 Tesla. Posisi
pasien saat pemeriksaan pun tidak diterangkan secara detail pada jurnal tekait, namun
penggunaan coil kepala berarti menandakan bahwa posisi pasien saat pemeriksaan yakni
supine diatas meja pemeriksaan. Pasien juga akan diberikan earplug saat pemeriksaan
dilakukan bertujuan untuk mengurangi bising dan memberikan kenyamanan pasien saat
pemeriksaan MRI, dengan begitu akan mengurangi pergerakan yang dapat menimbulkan
artefak dan menggangu hasil gambaran.
Pemeriksaan MRI brain dengan klinis parkinson menggunakan Susceptibility
Weighted Imaging (SWI) karena dapat menampilkan informasi jaringan yang memiliki
kerentanan yang berbeda dari struktur disekitarnya seperti darah, hemosiderin, ferritin, dan
kalsium. SWI bisa meningkatkan kontras kalsifikasi dan deposito hemosiderin yang dapat
membantu diagnonis gangguan neurologi seperti Parkinson. Dengan resolusi tinggi dan
dengan menggunakan medan magnet dengan besar magnet 3 Tesla. Penggunaan SWI dipilih
karena sensitif terhadap zat besi memungkinkan perbedaan anatomi yang informatif
berdasarkan kuantifikasi zat besi yang ada di dalam otak yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi anatomi subtansia nigra pada pasien dengan klinis parkinson, dimana SWI
dengan menggunakan fase gambar high-pass-filtered yang menghasilkan 4 gambar yakni
gambar magnitude,gambar phase , SWI data (kombinasi dari magnitude dan phase), dan
minimum intensity projection image.
Orientasi axial yang digunakan pada jurnal terkait yakni sejajar garis splenium dan
genu corpus callosum, dengan memperhatikan cakupan area anotomi yang ingin dievaluasi.
Pemilihan orientasi axial dikarenakan gambaran anatomi yang akan dievaluasi lebih
informatif. Planning yang digunakan untuk mendapatkan orientasi axial yakni menggunakan
potongan sagittal dan coronal. Parameter dalam jurnal terkait termasuk TR, TE, flip angle,
jumlah slice, matrix, ukuran voxel dan juga slice thickness yang digunakan untuk

158
menghasilkan citra anatomi subtansia nigra pada klinis parkinson. Evalusai penggunaan
variasi slice thickness 0.7 mm, 2 mm, dan 3 mm untuk mengevalusai anatomi dari subtansia
nigra,
Pada penggunaan slice thickness 0.7 mm dengan parameter pada tabel 1, ini
menampilkan citra nigrosome, dimana nigrosome ini merupakan kelompok terkecil dari sel
dopamine dalam subtansia nigra pars compacta. Dimana nigrosome 1 yang paling sering
dipengaruhi parkinson. Penggunaan sequence axial SWI dengan resolusi tinggi mampu
untuk manampilkan nigrosome 1 dengan menggunakan MRI dengan kuat medan magnet
yang besar yakni 3 Tesla . Penggunaan slice thickness 0.7 mm cukup untuk menggambarkan
nigrosome 1 yang sehat dengan menampilkan gambaran yang mirip dengan swallow-tail atau
ekor burung layang. Pada klinis parkinson gambaran nigrosome 1 tersebut tidak hyperintens
melainkan hypointens dan terlihat sangat jelas pada potongan axial dengan sequence SWI
pada gambar 1 sehingga gambaran swallow-tail tidak Nampak.
Pada non parkinson, subtansia nigra pars compatca yang sehat memiliki 3 bentuk yakni
wedge-shaped, droplet-like, dan oval dengan hasil gambaran hyperintens. Pada klinis
parkinson penggunaan sequence SWI dan parameter yakni slice thickness 2 mm potongan
axial dengan parameter pada tabel 2 dapat menjadi metode efektif untuk mengidentifikasi
parkinson, dimana dengan parkinson ditandai dengan tidak adanya gambaran hyperintens
melainkan hypointens di subtansia nigra. Terlihat pada gambar 2 terlihat bentuk dari struktur
anatomi dari struktur subtansia nigra kurang tegas namun masih bisa menunjukan klinis
parkinson. Penggunaan MRI dengan Tesal tinggi mampu untuk mengidentifikasi gambaran
dari swallow-tail nigrosome 1 di subtansia nigra pars compacta. Penggunaan slice thickness
3 mm dengan parameter pada tabel 3 terlihat terlalu tebal untuk memvisualisasikan gambaran
dari nigrosome 1 walaupun dengan penggunaan sequence SWI potongan axial dengan
resolusi tinggi dan menggunakan medan magnet yang besar yakni 3 Tesla, terlihat pada hasil
gambar 3 dimana anatomi subtansia nigra terlihat amat tipis dibanding dengan penggunaan
slice thickness 0.7 dan 2 mm.

159
Gambar 1, nigrosome 1 hypointens

Tabel 1
TR 60 ms
TE 30 ms
Slice Thickness 0,7 mm

Gambar 2, nigrosome 1 hypointens

Tabel 2
TR 68,2 ms
TE 20,81 ms
Slice Thickness 2 mm

160
Gambar 3, nigrosome 1 hypointens

Tabel 3
TR 29 ms
TE 20 ms
Slice Thickness 3 mm

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan studi kepustakaan terhadap penggunaan


penggunaan sequence Susceptibility Weighted Imaging (SWI) 3D orientasi axial dapat
digunakan untuk melihat anatomi subtansia nigra pada pasien dengan klinis parkinson,
karena menggunakan potongan axial dapat terlihat dengan jelas. Selain itu penggunaan
parameter slice thinckness juga dapat dapat berpengaruh untuk menghasilkan gambaran
anatomi yang optimal, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Penggunaan sequence
SWI 3D dengan slice thickness 0,7 mm terlihat perubahan sinyal subtansia nigra terkait zat
besi yang signifikan ditandai dengan nigrosme 1 pada bagian subtansia nigra dengan bentuk
dan gambaran yang tampak jelas dimana sinyal hypointens menggunakan sequence SWI.
Penggunaan sequence SWI 3D dengan slice thickness 2 mm mampu menampilkan tidak
adanya sinyal tinggi atau hyperintens di subtansia nigra. Penggunaan sequence SWI 3D

161
dengan slice thickness 3 mm dinilai terlalu tebal untuk memvisualisasikan nigrosome 1 ,
sehingga hasil gambaran kurang optimal dimana anatomi yang akan dinilai terlihat tipis.
Penggunaan slice thickness juga dapat berpengaruh terhadap hasil gambaran, terlihat
perbedaan yang cukup jelas dengan penggunaan slice thickness 0,7 mm, 2 mm, dan 3 mm.
Penggunaan slice thickness tipis yakni 0,7 mm dapat menampilkan kelainan parkinson
dengan baik dimana pada daerah nigrosome 1 tampak hypointens pada pasien dengan klinis
parkinson.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan artikel ini. Terima kasih kepada kedua orang tua,
kakak, adik-adik yang selalu memberi semangat moril dan materil. Terimakasih juga
kepada para pembimbing yang telah membimbing dengan sangat baik, serta teman-teman
seperjuangan sangat menyenangkan, para senior yang memberikan kesempatan untuk
banyak mengeksplore dan banyak memberikan masukan mengenai materi-materi yang
sangat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Meijer FJA, Goraj B, Bloem BR, Esselink RAJ. How i do it: Clinical application of
brain mri in the diagnostic work-up of parkinsonism. J Parkinsons Dis.
2017;7(2):211–7.
2. Elmaoglu M, Celik A. MRI Handbook. New York; 2012.
3. Mori S, Sugama S, Nguyen W, Michel T, Sanna MG, Sanchez-Alavez M, et al. Lack
of interleukin-13 receptor α1 delays the loss of dopaminergic neurons during chronic
stress. J Neuroinflammation. 2017;14(1):1–10.
4. Muliawan E, Jehosua S, Tumewah R, Neurologi D, Kedokteran F, Sam U, et al.
DIAGNOSIS DAN TERAPI DEEP BRAIN STIMULATION PADA PENYAKIT
PARKINSON DIAGNOSIS. 2018;1(1).
5. Schwarz ST, Afzal M, Morgan PS, Bajaj N, Gowland PA, Auer DP. The ‘ Swallow
Tail ’ Appearance of the Healthy Nigrosome – A New Accurate Test of Parkinson ’ s
Disease : A Case- Control and Retrospective Cross-Sectional MRI Study at 3T.
2014;9(4).
6. Halefoglu AM, Yousem DM, Yousem DM. Susceptibility weighted imaging:
Clinical applications and future directions. 2018;10(4):30–45.
7. Oh SW, Shin NY, Lee JJ, Lee SK, Lee PH, Lim SM, et al. Correlation of 3D FLAIR
and dopamine transporter imaging in patients with parkinsonism. Am J Roentgenol.
2016;207(5):1089–94.
8. Barbosa JHO, Santos AC, Salmon CEG. Susceptibility weighted imaging:

162
differentiating between calcification and hemosiderin. Radiol Bras. 2015;48(2):93–
100.
9. Westbrook C. MRI in Practice. 5th ed.
10. Haacke EM, Makki M, Ge Y, Maheshwari M, Sehgal V, Hu J, et al. Characterizing
Iron Deposition in Multiple Sclerosis Lesions Using Susceptibility Weighted
Imaging. 2009;544:537–44.
11. Westbrook C, Talbot J. MRI in Practice. 5th ed. Road G, editor. UK: John Wiley &
Sons Ltd; 2019.
12. Meijer FJA, Steens SC, Rumund A Van, Van Walsum AMVC, Küsters B, Esselink
RAJ, et al. Nigrosome-1 on susceptibility weighted imaging to differentiate
parkinson’s disease from atypical parkinsonism: An in vivo and ex vivo pilot study.
Polish J Radiol. 2016;81:363–9.
13. GAO P, ZHOU P-Y, LI G, ZHANG G-B, WANG P-Q, LIU J-Z, et al. Visualization
of nigrosomes-1 in 3T MR susceptibility weighted imaging and its absence in
diagnosing Parkinson ’ s disease. 2015;4603–9.

163
TEKNIK INTENSITY MODULATED RADIATION THERAPY (IMRT) PADA
KASUS KANKER KELENJAR TIMUS

Mulya riski 1), Guntur Winarno 1), Shinta Gunawati Sutoro 1), Yogi 2)
1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta 12120
2)
Departemen Radioterapi Siloam Hospitals TB Simatupang, Jakarta 12430

E-mail : ikih2401@gmail.com

Abstrak
Teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) yaitu teknik radioterapi yang membagi berkas sinar
radiasi menjadi berkas berkas yang lebih kecil dengan memanfaatkan sudut gantry tertentu dan Multi Leaf
Colimator (MLC) sehingga menghasilkan distribusi dosis yang homogen dengan bentuk target radiasi yang
menggunakan komputer dikontrol oleh Linear Accelerator (LINAC). Desain penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif dengan satu sampel primer. Metode penelitian ini berupa observasi, wawancara dan dokumentasi.
Penelitian ini dilakukan di Departemen Onkologi Radiasi Siloam Hospitals TB Simatupang pada bulan februari
sampai April 2020. Hasil Treatment delivery Teknik Intensity Modulated Radiation Therapy pada kasus kanker
kelenjar timus membutuhkan waktu treatment selama 10 menit dan memiliki 7 jumlah arah sudut gantry (80
derajat, 120 derajat, 150 derajat, 180, 40, 0, 315). Kesimpulan Prosedur teknik radioterapi Intensity Modulated
Radiation Therapy pada kasus kanker kelenjar timus di Departemen Onkologi Radiasi Siloam Hospitals TB
Simatupang yang dilakukan meliputi prosedur persiapan pasien, persiapan alat dan bahan yang digunakan
selama proses radiasi, proses CT simulasi di CT Simulator, proses perencanaan penyinaran di Treatment
Planning System (TPS), proses verifikasi penyinaran dengan On Board Imager (OBI) dan terakhir proses
penyinaran pasien dengan Linac.

Kata Kunci : Kanker Kelenjar Timus, Prosedur Radioterapi, Teknik Intensity Modulated Radiation
Therapy

PENDAHULUAN
Kanker kelenjar timus adalah tumor mediastinum anterior dan merupakan 15-20% dari
semua kasus mediastinum yang sering dijumpai dengan insiden 0,15 kasus per 100.000
penduduk (1,2). Kanker kelenjar timus amat jarang terjadi, hanya sekitar 1000 kasus per
tahun di eropa. Crude incidence rate di eropa adalah 1,7 per 1 juta penduduk per tahun.
Insiden kanker kelenjar timus pada wanita dan pria tidak berbeda jauh. Insiden tertinggi
adalah pada kelompok usia 65 tahun dan insiden pada dewasa muda adalah 0,4 per 1 juta
penduduk per tahun (3). Lokasi paling umum terjadinya kanker kelenjar timus adalah
dibagian leher dan paru-paru (3,4). Sekitar 4 dari 10 kasus orang dengan kanker kelenjar
timus tidak memiliki gejala, kecurigaan terjadinya kanker kelenjar timus seringkali terjadi
secara kebetulan ketika melakukan pemeriksaan radiologi thorax, baik saat pemeriksaan

164
kesehatan maupun akibat keluhan intrathoracal. Sebagian besar kasus kanker kelenjar timus
tidak diketahui penyebabnya (5,6).
Kanker merupakan penyebab utama kematian secara global dan Radioterapi
memainkan peran penting dalam pengobatan pasien penderita kanker. Radioterapi adalah
pengobatan kanker dengan menggunakan radiasi pengion yang memberikan dosis yang
terukur dan maksimal pada organ target dan memberikan dosis seminimal mungkin pada
organ sekitar target sehingga mengurangi kerusakan pada jaringan normal di sekitar target(7–
10). Radioterapi dapat digunakan dengan kombinasi pembedahan maupun kemoterapi yang
bertujuan sebagai terapi kuratif, paliatif maupun profilaksis (preventif) (9,11). Radioterapi
yang dilakukan setelah operasi disebut dengan adjuvant dan radioterapi yang dilakuakan
sebelum operasi disebut dengan neo adjuvant (2,12). Terdapat beberapa Teknik radiasi
eksterna, baik teknik konvensional maupun modern seperti 3 Dimension Conformal
Radiotherapy (3D-CRT) maupun Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT). Jumlah
pasien yang dilakukan pengobatan radiasi dengan menggunakan Teknik IMRT meningkat
setiap tahun secara drastis. Perkiraan persentase pasien yang diobati dengan IMRT berkisar
50% hingga hampir 100% (13).
Kemajuan teknologi saat ini dalam bidang radioterapi yaitu penggunaan teknik IMRT.
Teknik IMRT yaitu teknik radioterapi yang membagi berkas sinar radiasi menjadi berkas
berkas yang lebih kecil dengan memanfaatkan sudut gantry tertentu dan Multi Leaf
Colimator (MLC) sehingga menghasilkan distribusi dosis yang homogen dengan bentuk
target radiasi yang menggunakan komputer dikontrol oleh Linear Accelerator (LINAC) (13–
15). Prinsip dari IMRT adalah untuk memberikan penyinaran ke pasien dengan beberapa
jumlah arah penyinaran dengan lapangan yang tidak seragam yang mana sudah dioptimalisasi
untuk memberikan dosis maksimal ke organ target dan memberikan dosis minimal pada
organ sekitar. IMRT menggunakan teknik perencanaan dengan inverse planning. Istilah
inverse digunakan untuk menunjukkan proses yang berasal dari parameter penyinaran yang
tidak diketahui dari distribusi dosis yang sudah diketahui.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Departemen Radioterapi Siloam Hospital TB Simatupang
pada bulan Februari-April 2020. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah satu sampel

165
data primer dengan kriteria sebagai berikut: (1) Pasien yang menjalani terapi radiasi eksterna
di Departemen Radioterapi Siloam Hospital TB Simatupang; (2) Pasien dengan kasus kanker
kelenjar timus; (3) Menggunakan teknik radioterapi Intensity Modulated Radiation Therapy
(IMRT). Berdasarkan jenisnya penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif
deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
yaitu dengan cara mengamati sampel data primer dan mendeskripsikan prosedur radioterapi
dari awal sampai terapi radiasi fraksinasi pertama selesai.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain (a) Pesawat CT-Simulator
merk Philips Big Bore 16 Slice; (b) Pesawat Radioterapi jenis Linear Accelerator (LINAC)
tipe TRILOGY-SN5484 dengan spesifikasi: Memiliki jumlah multi leaf colimmator (MLC)
dengan jenis dynamic MLC sejumlah 120 buah dengan ketebalan 0,5-1 cm; memiliki energi
foton 6 MV dan 10 MV; memiliki energi elektron 6 MeV, 9 MeV, 12 MeV, 15 MeV, 18
MeV, 22 MeV ; memiliki perlengkapan verifikasi On Board Imager (OBI). (c) Alat
imobilisasi berupa Body Base Plate ; (d) Banta fikasi ; (e) Foot Rest ; (f) Masker Body ; (g)
Water Bath ; (h) Titik timbal ; (i) Spidol permanent warna biru dan merah ; (j) Micropore ;
(k) Pengganjal Masker Body. Alat dan bahan sebagai instrumen penelitian ditunjukkan pada
gambar 1 dibawah ini.

166
(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

167
(g) (h)

(i) (j)

(k)
Gambar 1. (a) CT Simulator Philips Brilliance Big Bore; (b) LINAC Varian Clinac IX-
SN474; (c) Body Base Plate ; (d) Banta fikasi ; (e) Foot Rest ; (f) Masker Body ; (g)
Water Bath ; (h) Titik timbal ; (i) Spidol permanent warna biru dan merah ; (j)
Micropore ; (k) Pengganjal Masker Body.

Adapun tahapan radioterapi, yakni tahap dimana pasien berkonsultasi dengan dokter
onkologi radiasi di poliklinik radioterapi dengan merujuk pada hasil PA, CT-scan, MRI
atau PET Scan dan mengenai kebijakan-kebijakan dalam tindak lanjut dari diagnosa
tersebut, tahap pasien menyetujui keputusan untuk dilakukan radioterapi, tahap penentuan
lokasi , dosis total dan langkah-langkah pemeriksaan tambahan yang diperlukan, tahap
simulasi (imobilisasi dan lokalisasi), tahap pengolahan perencanaan radiasi di TPS, set-
up, verifikasi dan treatment delivery.(16)

168
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di di Departemen Radioterapi Siloam Hospital TB
Simatupang, data pasien yang dijadikan sampel yaitu Ny. M. W. R usia 52 tahun yang
memiliki diagnosa kanker kelenjar timus. Skema penyinaran dari dokter onkologi radiasi
menggunakan teknik IMRT dengan energi 6 MV yang bertujuan kuratif dengan dosis total
7000cGy dan dosis per fraksi 2Gy yang diberikan sebanyak 35 kali. Pasien menjalani
prosedur atau alur radioterapi sesuai dengan SOP di Departemen Radioterapi Siloam
Hospital TB Simatupang. Prosedur yang pertama, dimulai dari pasien datang ke Departemen
Radioterapi Siloam Hospital TB Simatupang menuju bagian administrasi dengan membawa
surat rujukan untuk dokter onkologi radiasi dari dokter spesialis (dokter poli), hasil Patologi
Anatomi, hasil pemeriksaan lab, hasil pemeriksaan penunjang di radiologi (MRI, CT-Scan,
PET-Scan, USG, dll). Kemudian pasien bertemu dan berkonsultasi dengan dokter onkologi
radiasi di poliklinik radioterapi. Di poliklinik, dokter onkologi radiasi melakukan anamnesa
terhadap pasien, dilakukan evaluasi dari hasil pemeriksaan penunjang, menentukan tujuan
pengobatan radioterapi dan melakukan penandatanganan surat persetujuan untuk
dilakukannya tindakan radioterapi. Kemudian pasien diberikan jadwal untuk simulasi di
ruang CT Simulator.
Pasien diarahkan ke ruang CT Simulator untuk dilakukan CT simulasi. Sebelum pasien
melakukan CT Simulator petugas akan memberikan edukasi terlebih dahulu atas tindakan
yang akan dilakukan. Radioterapis menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan selama
proses simulasi berlangsung, diantaranya adalah alat fiksasi berupa Body Base Plate, Banta
fikasi, Foot Rest, Masker Body, Water Bath, Titik timbal, Spidol permanent warna biru dan
merah, Micropore Lalu pasien diposisikan head first supine, posisi badan lurus, atur kepala
diatas bantal dengan kedua tangan ke atas badan. Selanjutnya pasien dipakaikan masker
untuk fiksasi dan imobilisasi pasien selama penyinaran radiasi berlangsung. Radioterapis
menentukan titik reference point dengan moving laser terhadap pasien sesuai dengan organ
target yang didapat dari laser (2 horizontal & 1 vertikal). Kemudian beri tanda pada 3 titik
referensi laser yang ada pada masker sebagai panduan untuk pergeseran ke posisi isocenter
beam di TPS. Pasien dimasukkan kedalam gantry CT Simulator. Radioterapis selanjutnya

169
melakukan scanning dengan batas scanning adalah batas atas cervical 3 dan batas bawah
lumbal 3 dan slice thickness 3 mm. Adapun data hasil scanning pasien CT Simulator dikirim
ke TPS. Proses di ruang CT simulator ditunjukkan pada gambar 2

(a) (b)
Gambar 2. (a) Operator Console CT Simulator; (b) Hasil Scan Topogram di Ruangan CT
Simulator

Di ruang TPS dokter onkologi radiasi melakukan pengkonturan (penggambaran) tumor


target yaitu GTV (Gross Tumor Volume) CTV (Clinical Target Volume), PTV (Planning
Target Volume) dan Organ At Risk (OAR) yang beresiko disekitar area target. Setelah selesai
dikontur, selanjutnya fisika medis akan membuat perencanaan radiasi. Fisikawan medis
memasukkan data beam planning berupa penentuan arah sinar, energi, Monitor Unit (MU),
sudut gantry dan sudut kolimator. Karena menggunakan teknik IMRT, maka data planning
dilakukan pengoptimisasian dosis secara otomatis oleh program komputer, pilih dan atur
dosis yang mau diberi di setiap Organ At Risk (OAR) dan Planning Target Volume (PTV).
Selanjutnya, komputer mengatur perputaran gantry dan Multi Leaf Collimator (MLC).
Kemudian data dicek dan di approval oleh fisika medis yang lainnya serta dokter onkologi
radiasi. Selanjutnya data set up perencanaan radiasi pasien dari TPS dikirim ke komputer
Linac.
Selanjutnya, pasien menjalani terapi radiasi pertama di ruang Linac sesuai jadwal yang
telah ditentukan. Radioterapis menyiapakan data set up pasien sesuai identitas pasien.
Kemudian pasien memasuki ruangan Linac dan diposisikan sama dengan posisi saat di ruang

170
CT Simulator. Sebelum dilakukan treatment delivery, radioterapis melakukan verifikasi
penyinaran. Verifikasi dilakukan untuk mendeteksi treatment delivery error dan untuk
mengkonfirmasi posisi pasien sesuai perencanaan radiasi. Batas toleransi pegeseran pada saat
verifikasi yaitu 0,3 cm. Setelah proses verifikasi selesai dilanjutkan penyinaran radiasi
dengan pengiriman dosis radiasi yang diberikan kepada pasien dengan pesawat Linac. Dosis
radiasi yang diberikan sesuai dengan data planning yang dikirim dari TPS.
Pada sampel yang diteliti penulis, proses treatment delivery dengan teknik IMRT
membutuhkan waktu treatment selama 10 menit dan memiliki 7 jumlah arah sudut gantry.
Pada treatment pertama gantry berada di sudut 80 derajat, pada treatment kedua gantry
berada di sudut 120 derajat, pada treatmeant ketiga gantry berada di sudut 150 derajat, pada
treatment keempat gantry berada di sudut 180 derajat, pada treatment kelima gantry berada
di sudut 40 derajat, pada treatment keenam gantry berada di sudut 0 derajat, pada treatment
ketujuh gantry berada di sudut 315 derajat. Arah ataupun Sudut gantry dan MLC disesuaikan
dengan letak tumor. Saat pendistribusian dosis ke pasien, MLC bergerak dinamis mengikuti
bentuk tumor.
KESIMPULAN
Prosedur radioterapi pada kasus kanker kelenjar timus dengan teknik IMRT di
Departemen Radioterapi Siloam Hospital TB Simatupang telah sesuai dengan SOP Rumah
Sakit yaitu dimulai dari pasien ke poliklinik radioterapi untuk konsultasi dengan dokter
onkologi radiasi, simulasi, lokalisasi target dan pembuatan masker di CT-Simulator,
penggambaran GTV, CTV, PTV serta OAR disekitar target oleh dokter onkologi radiasi
serta pembuatan data beam oleh fisikawan medis di TPS, dan proses di treatment room
(positioning, set-up, verifikasi, dan treatment delivery). Pada teknik IMRT,
pendistribusian dosis dilakukan saat Gantry berputar dan MLC mengikuti bentuk tumor
sehingga dapat mengurangi waktu penyinaran yang hanya membutuhkan waktu
penyinaran selama ±10menit. Dikarenakan teknik IMRT adalah teknik yang tingkat
akurasi penyinaran sangat tinggi, maka diperlukan ketelitian pada saat positioning,
planning, set-up, verifikasi, dan treatment delivery agar tercapainya prinsip dari
radioterapi.

171
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada paasien yang telah sudah bersedia untuk menjadi sampel pada
penelitian yang di lakukan, dan terimakasih kepada beberapa pihak yang membantu dalam
penulisan dan pembuatan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiawan HW, Maranatha D. Pemphigus Paraneoplastik pada Timoma. J Respirasi.


2019;4(1):5.
2. Huang MY, Huang CJ, Tang JY, Huang CM, Yang SF, Chou SH. Malignant thymoma:
Long-term outcomes with radiotherapy. Genomic Med Biomarkers, Heal Sci. 2011;3(3–
4):111–8.
3. Fornasiero A, Daniele O, Ghiotto C, Sartori F, Rea F, Piazza M, et al. Chemotherapy of
invasive thymoma. J Clin Oncol. 1990;8(8):1419–23.
4. Cao X, Lin R, Han B, Chen C. A rare case of ectopic chest-wall thymoma: a case report.
AME Case Reports. 2019;3:18–18.
5. Thomas BCR, Wright CD, Loehrer PJ. Thymoma : State of the Art. 1999;17(7):2280–9.
6. Eng TY, Scarbrough TJ, Thomas CR. Principles and Practice of Radiation Oncology 4
th edition Chapter 45 Mediastinum and Trachea. 2000;(210):1–81.
7. Vatnitsky S, Rosenblatt E, International Atomic Energy Agency. Transition from 2-D
Radiotherapy to 3-D Conformal and Intensity Modulated Radiotherapy. 2008.
8. Burnet NG, Thomas SJ, Burton KE, Jefferies SJ. Defining the tumour and target volumes
for radiotherapy. Cancer Imaging. 2004;4(2):153–61.
9. Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. Cancer Therapy with Radiation: The
Basic Concept of Radiotherapy and Its Development in Indonesia. Indones J Clin Pharm.
2017;6(4):311–20.
10. Siti Nurhayati YL. Apoptosis dan respon biologik sel sebagai faktor prognosa
radioterapi kanker. 2006;57–66.
11. Kurniawan P, Dep Y, Smf /, Kesehatan Telinga I, Tenggorok H, Kepala B, et al.
Proses Metastasis Pada Keganasan Kepala Dan Leher. 2014;7(1):37–46.
12. Zijtveld M Van, Dirkx MLP, Boer HCJ De, Heijmen BJM. Dosimetric pre-treatment
verification of IMRT using an EPID ; clinical experience. 2006;81:168–75.
13. Purdy JA. Intensity-modulated radiotherapy: Current status and issues of interest. Int
J Radiat Oncol Biol Phys. 2001;51(4):880–914.
14. Cheng JCH, Chao KSC, Low D. Comparison of intensity modulated radiation therapy
(IMRT) treatment techniques for nasopharyngeal carcinoma. Int J Cancer.
2001;96(2):126–31.
15. Massat MB. Updates in IMRT, VMAT of the head and neck. 2015;(June):22–4.
16. Barton M. Radiotherapy risk profile. World Health Organization. Geneva: World
Health Organization Publication; 2008.

172
PENATALAKSANAAN MRI VERTEBRA LUMBAL PADA KASUS KISTA
ARACHNOID EKSTRADURAL

Nishrina Irfani 1), Guntur Winarno 1), Heri Kuswoyo 1)


1) Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta
Selatan, 12120

Email : nishrinairfani30@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tata laksana MRI vertebra lumbal dengan kasus Kista
Arachnoid Ekstradural. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan metode
pengumpulan data secara observasi langsung dan pengambilan data sekunder yang dilakukan pada bulan Maret
2020 di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar kerja dan
alat dokumentasi. Sampel yang digunakan berjumlah 1 pasien. Hasil citra dievaluasi dan diperkuat dengan hasil
ekspertise dokter spesialis radiologi. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu dari awal proses pasien mendaftar
untuk dilakukan pemeriksaan MRI pada bagian administrasi, sampai pemeriksaan selesai dilakukan.
Menggunakan pesawat MRI Siemens 3 Tesla serta surface coil. Sequence yang digunakan T2 TSE Sag whole
spine, T2 TSE Sag, T1 TSE Sag, T2 TSE STIR Sag, T2 TSE Tra, T1 TSE Tra, T2 cor, dan myelografi.
Kesimpulan penelitian ini menujukkan tampak adanya massa yang mendesak medulla spinalis ke anterior
sehingga terjadi partial obstruksi pada bagian distal. Massa kistik ekstradural berbentuk oval dengan batas tegas
dan tepi relatif licin, setinggi thoracal ke-10 – lumbal ke-1. Karakteristik pencitraan kista arachnoid mirip
dengan intensitas sinyal CSF, menunjukkan hipointense pada T1 image dan hyperintense pada T2 image. Kista
Arachnoid Ekstradural menyebabkan aliran darah terhambat sehingga pasien mengalami kelumpuhan pada
bagian tungkai bawah.

Kata kunci : MRI vertebra lumbal, Tumor, Kista Arachnoid Ekstradural, Paraplegia

PENDAHULUAN
Kista arachnoid ekstradural di tulang belakang merupakan kista yang langka dan jarang
sebagai penyebab kompresi sumsum tulang belakang. Penyebab kista ini belum ditentukan
secara pasti, meskipun mereka yang paling mungkin memiliki asal bawaan atau bisa
diperoleh dari trauma, infeksi, atau peradangan. Kista arachnoid ekstradural berkembang dari
tonjolan arachnoid mengalami herniasi melalui defek dural kecil dan hampir selalu
berhubungan dengan CSF (1,2). Paraplegia adalah kondisi dimana adanya kelumpuhan pada
kedua anggota gerak bawah tubuh atau kedua tungkai kaki karena cedera parah pada saraf
tulang belakang atau bawaan kondisi seperti spina bifida yang mempengaruhi elemen saraf
dari kanal tulang belakang. Akibatnya penderita paraplegia mengalami penurunan fungsi
motorik dan sensorik di bawah bagian tubuh yang rusak, kehilangan kekuatan, menjadi lemah

173
dan layu, kehilangan kendali buang air kecil dan buang air besar (blader and bowel control)
(3).
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran dengan teknik
pencitraan untuk diagnosa yang menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0.064 Tesla
– 1,5 Tesla = 10.000 Gauss) dan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen (4). MRI
dapat menggambarkan pembuluh darah, saraf tulang belakang, bone marrow, jaringan otot,
dan jaringan-jaringan lunak tubuh manusia lainnya (5). Keuntungan utama MRI
dibandingkan dengan modalitas pencitraan lainnya adalah citra yang diperoleh pada MRI
vertebra lumbal lebih jelas dan lebih detail dengan berbagai macam kondisi tulang belakang
seperti kongential, infeksi, trauma, tumor, abses, paraplegia, dan massa jaringan lunak di
sekitar medula spinalis (6)(7). Artikel ini akan mendeskripsikan bagaimana penatalaksanaan
MRI vertebra lumbal pada kasus Kista Arachnoid Ekstradural di Rumah Sakit Margono
Soekarjo Purwokerto. Tujuan penelitian ini yakni untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi
alur pemeriksaan, teknik pemeriksaan, dan hasil citra MRI vertebra lumbal dengan kasus
Kista Arachnoid Ekstradural di Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo Purwokerto.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Populasi penelitian
adalah pasien yang melakukan pemeriksaan MRI vertebra lumbal di Rumah Sakit Margono
Soekarjo Purwokerto. Sampel yang digunakan dengan pengambilan jenis data sekunder
sebanyak satu pasien yang melakukan pemeriksaan MRI vertebra lumbal dengan klinis Kista
Arachnoid Ekstradural di Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Metode yang
digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah observasi langsung,
dokumentasi, dan studi kepustakaan. Pengolahan dan analisis hasil dalam penelitian ini
menggunakan analisis deskriptif, mengolah dari data yang diperoleh dari hasil observasi dan
data kemudian dievaluasi secara deskriptif dan narasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi yang dilakukan didapatkan data, pasien Tn. L 28 tahun datang
kebagian Instalasi Radiologi untuk melakukan pemeriksaan MRI vertebra lumbal dengan
klinis Kista Arachnoid Ekstradural berdasarkan rujukan Dokter Spesialis Saraf. Sebelumnya
pasien sudah melakukan perjanjian pada bagian administrasi dengan membawa surat

174
pengantar pemeriksaan. Petugas menjadwalkan pemeriksaan yang akan dilakukan. Sebelum
pemeriksaan dilakukan screening terlebih dahulu, kemudian petugas menjelaskan prosedur
pemeriksaan. Jika pasien setuju, maka pasien atau keluarga pasien dengan mengisi dan
menandatangani inform concent.
Sebelum pemeriksaan dilakukan pasien meninggalkan benda-benda logam dan alat
elektronik yang bisa mempengaruhi hasil gambar serta kontra dengan MRI, seperti jam
tangan, handphone, ATM card, ikat pinggang, kunci, uang logam, alat bantu dengar, pasien
dengan alat pacu jantung tidak dapat dilakukan tindakan MRI. Kemudian pasien diminta
melengkapi lembar screening dimana dilembar tersebut terdapat nama barang dan hal-hal
yang tidak boleh masuk kedalam ruang MRI. Pasien diminta mengganti baju dengan baju
yang sudah disediakan petugas. Setelah mengganti baju pasien dipersilahkan untuk ke toilet
terlebih dahulu. Pasien diberi penjelasan tentang prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan
dimana pasien harus tetap tenang dan tidak boleh bergerak atau gelisah selama pemeriksaan
berlangsung, berisiknya suara mesin selama pemeriksaan, dinginnya ruangan MRI, dan
lamanya pemeriksaan.
Setelah pasien mengerti, pasien mengganti kursi roda yang dipakai dengan kursi roda
khusus untuk masuk ruang MRI dan dipersilahkan masuk ke ruang MRI Siemens dengan
kuat medan magnet 3 Tesla dan diposisikan supine head first. Pasein diberikan tombol
darurat (emergency) sebagai alat bantu untuk memanggil petugas jika pasien merasakan hal
yang tidak nyaman ketika pemeriksaan berlangsung. Pasien dipasangkan headphone untuk
mengurangi suara bising dari mesin MRI lalu pasien dipakaikan selimut. Atur sentrasi
dengan centralpoint pada mandibula untuk mendapatkan citra whole spine potongan sagital
guna melihat medulla spinalis vertebra pasien. Pasien lalu dimasukan ke dalam gantry.
Pemeriksaan diawali dengan melengkapi pengisian identitas pasien seperti: nama pasien,
berat badan, dokter radiologi, dokter pengirim, klinis pasien, dan petugas yang mengerjakan.
Protokol yang digunakan pada pemeriksaan ini yaitu MRI Lumbal + whole spine RS
Margono dengan sequence dan parameter sebagai berikut :

175
Tabel 1. Sequence dan Parameter MRI Lumbal + whole spine di RS Margono Soekarjo
Purwokerto
T2 T2 T1 T2 T2 T1 T1
Sequence
TSE TSE TSE STIR TSE TSE TSE
Sag WS Sag Sag TSE Tra Tra Tra
Parameter
Sag
Slice thickness 4.4 mm 4 mm 4 mm 4 mm 4 mm 4 mm 1 mm
TR 3200 3460 500 6500 4090 500 3000
TE 93 93 20 60 93 12 432
Slice 15 17 17 17 23 23 9
FOV 40 38 38 38 20 20 35
NSA 1 1 1 1 1 1 1.4
Scan time 02:30 02:38 02:15 02:23 03:01 01:48 02:17
Sumber : RSUD Margono, 2020

Pemeriksaan dimulai dengan melakukan localizer untuk mendapatkan planning


coronal, tranversal, dan sagittal. Citra yang pertama yang dibuat adalah irisan sagittal. Pada
irisan sagittal dilakukan dengan plan coronal yakni sejajar dengan medulla spinalis, dengan
cakupan aspek lateral ke medial dengan vertebra pedicle di setiap sisi. (Gambar 1). Pada
irisan tranversal dilakukan dengan plan sagittal sejajar dengan kemiringan diskus vertebra,
selaras secara satu persatu pada setiap ruang diskus intervertebralis, dan irisan harus
disejajarkan dengan pelat ujung vertebra di bidang coronal. Cakupan pada citra tranversal
aspek posterior ke anterior dengan puncak sacral medial ke prevertebral tissue (Gambar 2).
Kemudian yang terakhir adalah myelo radial (Gambar 3). Jika semua sequence pada tabel 1
sudah dilakukan dan hasil citra baik, selanjutnya pasien diintruksikan bahwa meja
pemeriksaan akan dikeluarkan dari gantry karena pemeriksaan telah selesai.
Pemeriksaan selesai, kondisi pasien akan dievaluasi terlebih dahulu. Jika pasien dalam
kondisi baik tidak merasa pusing, mual, atau sesak nafas, maka pasien dipersilahkan turun
dari meja pemeriksaan dan mengganti pakaian. Berikut merupakan hasil citra pada
pemeriksaan MRI vertebra lumbal dengan kasus Kista Arachnoid Ekstradural di Rumah
Sakit Margono Soekarjo Purwokerto :

176
A

D
Gambar 1. Potongan Sagittal, A) T2 TSE WS B) T2 TSE C) T1 TSE D) T2 TSE STIR
(Sumber : RSUD Margono, 2020)

177
A

B
Gambar 2. Potongan Tranversal, A) T2 TSE B) T1 TSE

Gambar 3. myelo radial

178
Terlihat pada hasil citra dengan karakteristik pencitraan kista arachnoid mirip dengan
intensitas sinyal CSF, menunjukkan hipointens (gelap) pada T1 image dan hiperintens
(terang) pada T2 image kompatibel dengan CSF yang mengandung kista dari vertebra
thoracal kesepuluh hingga vertebra lumbal ke kesatu. Citra T2 sagital dan axial T2
menunjukkan lesi kistik mengandung CSF, terlihat pada selaput dura meter pada bagian
tengah thoracal. Pada medulla spinalis pasien terdesak massa kistik ekstradural berbentuk
oval dengan batas tegas dan tepi relatif licin dengan ukuran panjang 10,58 cm, diameter 2,3
cm ke anterior sehingga terjadi partial obstruksi pada bagian distal, dengan hasil ekspertise
dokter dari citra MRI vertebra lumbal ialah Kista Arachnoid Ekstradural.
KESIMPULAN
Pemeriksaan MRI vertebra lumbal pada klinis Kista Arachnoid Ekstradural di Rumah
Sakit Margono Soekarjo Purwokerto terlebih dahulu dilakukan perjanjian. Tidak ada
persiapan khusus untuk pemeriksaan, hanya perlu mengganti kursi roda yang akan pasien
gunakan untuk masuk ke dalam ruang MRI. Semua benda-benda logam yang bersifat
paramagnetic wajib dilepas sebelum masuk ke dalam ruang MRI, pasien dengan alat pacu
jantung tidak dapat dilakukan tindakan MRI. Pemeriksaan menggunakan pesawat MRI
Siemens 3 Tesla serta protocol MRI Lumbal + whole spine untuk mengevaluasi medulla
spinalis penuh dengan klinis Kista Arachnoid Ekstradural di Rumah Sakit Margono Soekarjo
Purwokerto. Dari hasil citra MRCP dan ekspertise dokter dapat diketahui bahwa Kista
Arachnoid Ekstradural yang mendesak medulla spinalis ke anterior, membuat aliran darah
terhambat sehingga menyebabkan pasien mengalami kelumpuhan atau paraplegia pada
bagian tungkai bawah ekstremitas bawah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat meyelesaikan jurnal ini. Terima kasih kepada kedua orang tua
yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan artikel ini, dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktunya dan memberikan saran serta arahan kepada penulis, serta ibu
Putri selaku Radiografer dan penanggung jawab MRI RS Margono Soekarjo yang selalu
sabar membimbing, selalu memberikan semangat untuk selalu belajar, dan memberikan

179
kesempatan untuk banyak mengeksplore serta selalu tersenyum dan memberikan energi
positif untuk sekelilingnya, dosen pembimbing juga teman-teman seperjuangan D4 TRO.

DAFTAR PUSTAKA

1. Qorina S, Sahputra RE. Kista Arachnoid Ekstradural. 2018;7:74–9.


2. Liu JK, Cole CD, Kan P, Schmidt MH. Spinal extradural arachnoid cysts: clinical,
radiological, and surgical features. 2007;22:1–5.
3. Effendi M, DW S, Patmawati RS. Kualitas Hidup Penderita Paraplegia Paska
Perawatan Di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta. 2015.
4. Suswati Susy NM. Pemanfaatan MRI Sebagai Sarana Diagnosa Pasien. Media
Litbang Kesehat. 2004;XIV:8.
5. Kartawiguna D. Tomografi Resonansi Magnetik Inti. 2010.
6. Yueniwati Y. Prosedur Pemeriksaan Radiologi Untuk Mendeteksi Kelainan dan
Cedera Tulang Belakang. 2014. 118–119 p.
7. Constantinides C. The basics Magnetic resonance imaging. Taylor & Francis Group.
2014. 15–82 p.

180
DETEKSI GRAVES DISEASE DENGAN ULTRASONOGRAFI DOPPLER

Gando Sari 1), Gita Putri Wahyuni 1)


1)
Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta 2, Jl.Hang Jebat Blok F3 Jakarta Selatan

Koresponden : bundagandosari@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prosedur pemeriksaan, teknik skening dan hasil gambaran
graves disease thyroid pada pemeriksaan USG di Rumah SakitUmum Daerah Cengkareng Jakarta. Desain
penelitian ini adalah kualitatif deskriptif yang berupa pengamatan atau observasi dilapangan pada Rumah Sakit
Umum Daerah Cengkareng. Dengan populasi penelitian diambil dari seluruh jumlah pemeriksaan USG thyroid
dengan sampel penelitian sebanyak 1 pasien. Dari hasil penelitian pasien didapatkan bahwa pemeriksaan USG
pada thyroid di RSUD Cengkareng Jakarta , yaitu pada prosedur pasien pada thyroid tidak ada persiapan khusus,
teknik pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan transduser linier dengan frekuensi 7 MHz, pengambilan
gambar dengan potongan transversal dan longitudinal dan penggunaan Doppler, posisi pasien supine diatas
tempat tidur pasien. Skening hanya terfokus pada organ thyroid. Hasil sonogram pada thyroid memperlihatkan
parenkim heterogen , dan hypervaskuler saat di Doppler.

Kata Kunci : Graves Disease, ultrasonografi thyroid, Doppler

PENDAHULUAN
Ultrasonografi (USG) merupakan teknologi pencitraan diagnostik yang
perkembangannya sangat cepat (1). USG merupakan gelombang yang tidak terdengar oleh
manusia dan dapat di transmisikan dalam bentuk berkas dan digunakan untuk pemeriksaan
skening jaringan tubuh, gelombang suara ini memiliki frekuensi yang tinggi lebih dari 20.000
siklus perdetik (20 KHz)(2). USG lebih menguntungkan karena bersifat non-invansif, biaya
murah dan memberikan citra jaringan lunak yang lebih jelas di bandingkan dengan foto
Rontgen konvensional sehingga merupakan pencitraan medis yang paling banyak digunakan
pada dunia medis saat ini(3). Pada bidang radiologi pelayanan penunjang medis salah satunya
pemeriksaan USG kelenjar thyroid (4). Dalam pemeriksaan USG kelenjar thyroid organ yang
dievaluasi antara lain arteri karotis, vena jugular, kelenjar thyroid, trakea, dan otot sekitar
(5). Graves Disease merupakan salah satu klinis yang terdapat di thyroid (6). Grave disease
adalah kelainan autoimun atau proses peradangan yang melibatkan kelenjar thyroid, yang

181
biasanya ditandai dengan adanya sirkulasi autoantibodi yang mengikat dan merangsang
reseptor hormon tiroid atau Thyroid-Stimulating Hormone Receptor (TSHR), yang
mengakibatkan hipertiroidisme dan keganasan (7,8). Graves disease paling sering terjadi di
antara kelainan autoimun, dengan kejadian setiap tahunnya 14 per 100.000 insiden, Graves
disease sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki laki dengan rasio 5:1 (9).
Prevalensi pada wanita 20/1000 orang dan laki laki 2,3/1000 orang, penyakit ini terjadi di
usia berapa pun tapi paling sering terjadi pada usia 20-50 tahun (10).
Gejala penderita Graves disease dipengaruhi seperti umur penderita, lama menderita
hipertiroidisme dan kepekaan organ terhadap kelebihan kadar hormon, manifestasi klinis
paling sering di rasakan adalah detak jantung cepat, penurunan berat badan, sulit tidur,
tremor, serta pada keadaan berat dapat terjadi krisis hormon pada thyroid (11,12). Deteksi
Graves disease dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan salah satunya pemeriksaan
lab dengan cara merangsang kelanjar thyroid untuk menghasilkan triiodhothyronine (T3) dan
thyroxine (T4). Dengan demikian tingkat tinggi TSH reseptor antibodi membantu
mengkonfirmasi Graves disease (13). Dari hasil lab tersebut dokter biasanya menyarankan
pasien untuk melakukan pemeriksaan USG karena sebagai perbadingan dan memantau
perkembangan Graves disease pada thyroid.
Pemeriksaan deteksi Graves disease menggunakan modalitas USG dengan Doppler.
Efek Doppler memberikan kemampuan unik USG untuk mengukur aliran darah. Pengukuran
aliran darah sering dilakukan di lingkungan klinis untuk menilai keadaan pembuluh darah
dan fungsi organ (14). Dengan menggunakan USG Doppler membuat gambaran terlihat
bergerak dari bagian dalam tubuh, apabila gambaran gray scale sulit untuk dinilai maka color
Doppler dapat menunjukan aliran, kecepatan dan intensitas darah yang bergerak dan
mengalir(15). Color Doppler dapat memperlihatkan vaskularisasi, memastikan aliran serta
kecepatan darah di thyroid pada penderita Graves disease untuk menilai dari perubahan
vaskularisasi thyroid yang berhubungan dengan peningkatan Graves disease (16).
METODE
Observasi dilakukan secara langsung di instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum
Daerah Cengkareng Jakarta pada bulan Februari-Maret 2018, yaitu pengambilan data dengan
melakukan pengamatan secara langsung dan mencatat hasil pengamatan tersebut pada lembar

182
kerja yang berhubungan dengan masalah penelitian. Penelitian menggunakan 1orang sampel
dengan metode random sampling dan dengan populasi seluruh pasien yang melakukan
pemeriksaan USG di instalasi Radiologi di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta.
Alat yang digunakkan pada penelitian ini menggunakan USG Philips type EPIQ 5.
Pada penelitian ini tidak ada persiapan khusus pada pemeriksaan thyroid, pasien harus
berbaring pada punggungnya (telentang) dengan leher yang di ekstensikan diatas bantal yang
diletakkan dibawah bahu pasien. Tebal bantal harus sekitar 10 cm(17) Oleskan jelly secara
bebas pada leher pasien. Gunakkan frekuensi 7,5 MHz atau 5 MHz dengan transduser liniear
atau curved (18). Teknik yang dapat dilakukan adalah dengan teknik sliding yaitu probe
dipindahkan / digeser di atas permukaan kulit dari satu organ ke organ lain. Lalu tilting yaitu
ketika transduser dimiringkan dari sisi ke sisi, dilakukan untuk memperluas bidang pandang
selanjutnya rotating yaitu ketika transduser di rotasikan 900 dari posisi sebelumnya (19)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil gambaran pada USG thyroid dengan klinis graves disease pada umumnya tampak
parenkim thyroid heterogen, terkadang tampak struma diffusa, dan saat di colour Doppler
tampak gambaran parenkim thyroid hypervaskuler interlesi. Menurut dokter radiolog di
RSUD Cengkareng, gambaran khas dari graves disease thyroid, tampak parenkim heterogen,
terkadang tampak struma diffusa, dan jarang untuk struma nodula, serta doppler yang
menghasilkan gambaran hypervaskuler.
Menurut WHO gambaran thyroid dengan klinis graves disease tampak ukuran thyroid
membesar, dengan echo yang rendah, parenkim thyroid terkadang tampak homogen atau
heterogen, colour Doppler tampak hypervaskuler pada kelainan graves disease, dan lesi nodul
jarang ditemukan pada kelainan ini. Menurut buku Expertddx Ultrasound, hasil gambaran
USG thyroid dengan klinis graves disease adalah tampaknya parenkim yang struma diffusa
dengan batas tegas, heterogen dan hypoekhoik. Pada saat colour Doppler menghasilkan
gambaran hypervaskuler.

183
Gambar 1. Hasil Gambaran USG Kelenjar Thyroid , (kiri) potongan longitudinal thyroid
kanan, (kanan) potongan longitudinal thyroid kiri.

Gambar 2. Hasil Gambaran USG Kelenjar Thyroid, (kiri) potongan transversal thyroid
sebelum di Doppler, (kanan) potongan Transversal thyroid sesudah di Doppler

KESIMPULAN
Pada USG thyroid hasil gambaran dengan klinis graves disease, sonopattern organ
thyroid tampak secara umum adanya pembesaran ukuran thyroid, tepi dinding reguler,
parenkim tampak heterogen dan tidak tampak nodular, sedikit lebih hypoechoic. Berbeda
dengan struma diffusa ukuran struma diffusa pasti lebih besar dari ukuran thyroid normal
sedangkan graves disease terkadang bentuk organ thyroid tetap normal namun pada saat
dilakukan tindakan colour Doppler menghasilkan gambaran hypervaskular pada parenkim
thyroid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brooks A, Connolly J, Chan O. Ultrasound in Emergency Care. Ultrasound in


Emergency Care. 2008. 1-154 hal.
2. Palmer PE. Manual of Diagnostic Ultrasound. California: WHO; 2002.
3. Sudarsih, Kesawa;Setia Budi W. Analisis Keseragaman Citra Pada Pesawat

184
Ultrasonografi. 2014;17(1):33–8.
4. Blum M. Chapter 6c – Ultrasonography of the Thyroid. Most. 2008;(July):1–44.
5. Pearce E. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta; 2008.
6. English C, Casey R, Bell M, Bergin D, Murphy J. The Sonographic Features of the
Thyroid Gland After Treatment with Radioiodine Therapy in Patients with Graves’
Disease. Ultrasound Med Biol. 2016;42(1):60–7.
7. Burch HB, Cooper DS. Management of Graves Disease. Jama [Internet].
2015;314(23):2544. Tersedia pada:
http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?doi=10.1001/jama.2015.16535
8. Hegedus L. Thyroid Ultrasound. 2001;30(2):339–60.
9. Menconi F, Marcocci C, Marinò M. Diagnosis and classification of Graves’ disease.
Autoimmun Rev. 2014;13(4–5):398–402.
10. Vitti P. Grey scale thyroid ultrasonography in the evaluation of patients with Graves’
disease. Eur J Endocrinol [Internet]. 2000;142(1):22–4. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10633216
11. Legawa NDB, Kedokteran F, Udayana U. Seorang Penderita Penyakit Grave ’ S
Dengan Tetraparesis : Sebuah Laporan Kasus a Grave ’ S Disease Patient With
Tetraparesis : a Case Report. 2014; Tersedia pada:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=174382&val=970&title=SEOR
ANG PENDERITA PENYAKIT GRAVE’S DENGAN TETRAPARESIS:
SEBUAH LAPORAN KASUS
12. Kedokteran F, Lampung U. Ny . Z Usia 47 Tahun dengan Penyakit Graves.
13. Ginsberg J. Diagnosis and management of Graves’ disease. CMAJ [Internet].
2003;168(5):575–85. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12615754
14. Shung KK. DIAGNOSTIC UlTRASOUND. 2006.
15. Bender IGW, Glen M, Buratto SD, Evans RD. United States Patent [ 191. 1990;(Iv):0–
4.
16. Baldini M, Castagnone D, Rivolta R, Pappalettera M, Cantalamessa L. Thyroid by
Color Doppler Ultrasonography Graves â€TM Disease . Changes Related to Different
Phases and. Thyroid. 1997;7(6):823–8.
17. Rumack CM, Wilson SR, Charboneau J william, Levine D. Diagnostic ultrasound.
Vol. 228, Science (New York, N.Y.). 2011. 648, 650 hal.
18. Palmer PE. Panduan Pemeriksaan Diagnostik USG. California: EGC; 2002. 29-155
hal.
19. F.Smith C, Mitchell B, Dilley A, L. Drake R. GRAY’S SURFACE ANATOMY AND
ULTRASOUND. Edinburgh: ELSEIVER; 2018. 27 hal.

185
ANALISA HOMOGENISASI DENSITAS DAN KONTRAS PADA FOTO
VERTEBRAE THORACAL PROYEKSI ANTERO POSTERIOR (AP) DENGAN
VARIASI FILTER BAJI 7°, 10° DAN 15°

Ali Amroji, S.Si. M.Kes1), Halimahtusyadiah1)


1)
Teknik Radiologi, ATRO Nusantara, Jakarta, 13210

E-mail: ali.amroji@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang penggunaan filter baji pada pemeriksaan radiologi Thoracal proyeksi Antero
posterior (AP) dengan variasi sudut sudut dari filter baji sebesar 7°, 10° dan 15°. Dimana diketahui bahwa
anatomi dari tulang Vertebrae Thoracal memeiliki ketebalan yang berbeda, sehingga sering ditemui hasil
gambaran radiografi Vertebrea thorakal memiliki densitas yang berbeda, terutama pada area cervical thoracal
junction, sehingga menghasilkan kontras yang berbeda. Adapun penggunaan filter dengan tujuan untuk
menghomogenkan densitas dan kontras pada hasil gambaran radiografi sehingga diharapkan akan meningkat
kualitas gambaran. Namun perbedaan sudut filter baji juga mempengaruhi intensitas sinar X yang sampai ke
Image Reciver (IR) sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan sudut yang paling baik.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan dilakukan dari bulan Januari hingga Mei 2018.
Pengumpulan data dilakukan Dengan mengambil sample sebanyak 4 pasien, dimana satu sample diekspose
tanpa filter, Satu sampel diekpose dengan menggunakan filter baji dengan sudut kemiringan 7°, sampel kedua
diekpose dengan menggunakan filter baji dengan sudut kemiringan 10°, dan sample ketiga diekpose dengan
menggunakan filter baji dengan sudut kemiringan 15°. Data yang sudah diperoleh, dilakukan pengisian kuioner
oleh 10 orang radiographer sebagai responden. Dengan skala nilai 1 (kurang) sampai 4 (bagus) diperoleh hasil
untuk pemeriksaan Thoracal proyeksi Antero Posterior (AP) tanpa menggunakan filter didapat nilai rata-rata
sebesar 1,6, untuk filter baji dengan sudut 7°, didapatkan rata-rata nilai 2, untuk filter baji dengan sudut 10°
didapatkan nilai rata-rata 3 dan untuk penggunaan filter baji dengan sudut 15° didapatkan nilai rata-rata sebesar
2,2. Adapun skala penilaian yang Kesimpulan pada penelitian ini adalah penggunaan filter baji yang paling
baik pada foto Vertebra Thoracal Proyeksi AP adalah filter baji dengan sudut 10°. karena homogenisasi untuk
densitas dan variasi pada corpus thoracal 1-12 dinilai baik, terutama untuk menampilkan area thoracal ke 9
sampai thoracal ke 12.

Kata kunci:Vertebrae Thoracal, filter baji, densitas, homogenisasi.

PENDAHULUAN
Karakteristik bawaan tabung sinar-X yang dapat mempengaruhi radiograf salah
satunya yaitu Anoda Heel Effect. Anoda Heel Effect merupakan bentuk penyebaran intensitas
sinar-X yang tidak merata dari sisi anoda ke katoda[1].Heel effect ini terjadi pada objek yang
tebal dan densitas yang tinggi pada sisi katoda dan bagian yang mempunyai densitas yang
[2]
rendah pada sisi anoda . Secara anatomi, vertebrae thoracal memiliki ketebalan yang
berbeda, terutama pada area cervical thoracal junction. Pada foto vertebrae thoracal proyeksi

186
AP, jika penggunaan factor eksposi yang tidak tepat, akan menghasilkan gambaran radiografi
yang kurang baik. Namun jika factor eskposi dibuat cukup tinggi untuk memperlihatkan
daerah bawah maka thoracal daerah atas menjadi hitam, dan sebaliknya bila dibuat cukup
rendah untuk memperlihatkan bagian thoracal daerah bawah maka bagian thoracal daerah
atas akan melemah atau rendah.
Filter baji yang digunakan dalam radiologi diagnostik adalah suatu alat yang terbuat
dari alumunium yang dipakai untuk menghasilkan gambaran radiografi yang memiliki
densitas yang lebih seragam pada organ yang berbeda ketebalannya antara satu sisi dengan
[3].
sisi lainnnya Filter baji disarankan untuk menyeragamkan densitas untuk tulang
belakang[6] Teknik yang dapat dipakai untuk menyeragamkan densitas gambaran radiografi
menggunakan filter baji yang bekerja berdasarkan prinsip perbedaan atenuasi yang dialami
sinar-X ketika menembus bahan atau material . Dengan bentuknya yang menyerupai segitiga
maka sinar-X akan mengalamai pelemahan yang cukup tinggi pada daerah filter yang lebih
tebal, maka daerah ini dipasang menghadap organ yang lebih tipis sehingga mendapat
intensitas sinar lebih rendah dibandingkan bagian organ yang lebih tebal yang berhadapan
dengan bagian filter yang lebih tipis sehingga akan mendapatkan intensitas sinar-X yang
lebih besar. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan densitas gambaran radiografi yang lebih
baik, sehingga dapat memberikan suatu informasi yang lebih optimal yang dapat dipakai
dalam membantu menegakkan diagnose. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan filter baji dengan variasi sudut terhadap densitas yang dihasilkan dan
mengetahui, dr ketiga filter yang digunakan, manakah yang paling baik untuk
menghomogenkan densitas pada hasil gambaran radiologi vertebrae thoracal proyeksi AP.
METODE
Adapun kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti tertuang
dalam bagan dibawah ;

187
Variabel Variabel
bebas terikat
Filter Baji Sudut 7 Derajat
Filter Baji Sudut 10 Derajat Homogenisasi
Densitas dan
kontras
Filter Baji Sudut 15 Derajat

Gambar 1. Kerangka Konsep

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dilakukan dari bulan Januari – Mei
2018. Dengan menggunakan 4 sample dimana satu sample diekspose tanpa filter, Satu
sampel diekpose dengan menggunakan filter baji dengan sudut kemiringan 7°, sampel kedua
diekpose dengan menggunakan filter baji dengan sudut kemiringan 10°, dan sample ketiga
diekpose dengan menggunakan filter baji dengan sudut kemiringan 15°. Dari keempat hasil
radiografi yang didapat dilakukan pengambilan kusioner kepada 10 orang radiographer
sebagai responden,
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dilakukan 4 kali eskposi terhadap satu pasien dengan menggunakan 4 penggunaan
filter baji yang berbeda dan didapatkan hasil gambaran sebagai berikut :

a).Tanpa filter b) dengan Filter 7° c) dengan Filter 10° d). dengan filer 15°
Gambar 2. a), b), c), d) penggunaan filter baji
Keempat hasil gambaran diatas, diberikan kepada 10 orang radiografer untuk dinilai
densitas dan kontras dari hasil gambaran dari 3 area yang berbeda, yaitu Vertebrae thoracal

188
1 – 4, Vertebrae Thoracal 5 – 8 dan vertebrae thoracal 9 -12, dengan hasil seperti tertuang
pada table sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Penilaian Kusioner
JUMLAH PENILAIAN RATA-RATA
NO PERNYATAAN THORACAL 1-4 THORACAL 5 - 8 THORACAL 9 - 12
A B C A B C A B C

1 Densitas dan kontras tanpa filter baji 1 3 6 2 4 4 0 2 8 1,60

2 Densitas dan kontras dengan Filter Baji 7° 3 3 4 3 3 4 1 4 5 2,00

3 Densitas dan kontras dengan Filter Baji 10° 7 2 1 3 6 1 6 3 1 3,00

4 Densitas dan kontras dengan Filter Baji 15° 2 2 6 2 5 3 4 5 1 2,20

Keterangan tabel :
1. A : 4 (Baik), jika densitas dan kontras gambaran baik/sangat baik
2. B : 2 (Cukup), jika densitas dan kontras gambaran cukup
3. C : 1 (Kurang), jika densitas dan kontras gambaran kurang

Berdasarkan penilaian responden terhadap nilai densitas dan kontras pada masing-
masing area pengamatan memiliki nilai yang berbeda. Untuk area vertebrae thoracal 1 sampai
4, nilai tertinggi adalah pada penggunaan filter baji 10°, yaitu memiliki nilai rata-rata 2,9 dan
untuk penilaian paling kecil jika tidak menggunakan filter, yaitu sebesar 1,6. Untuk area
vertebrae thoracal 5 sampai 8, nilai tertinggi adalah pada penggunaan filter baji 10°, yaitu
memiliki nilai rata-rata 2,5 dan untuk penilaian paling kecil jika tidak menggunakan filter,
yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 2. Untuk area vertebrae thoracal 9 sampai 12, nilai
tertinggi adalah pada penggunaan filter baji 10°, yaitu memiliki nilai rata-rata 3 dan untuk
penilaian paling kecil jika tidak menggunakan filter, yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 1.6.
Berdasarkan penilian responden, penggunaan filter baji ini, meningkatkan densitas dan
kontras paling optimal untuk area vertebrae thoracal 9-12 . Untuk penilaian berdasarkan
kategori baik dan kurang, dapat dilihat pada table berikut :

189
Tabel 2. Penilaian Densitas dan kontras pada hasil gambaran vertebrae thoracal AP

NO PERNYATAAN TANPA FILTER FILTER BAJI 7° FILTER BAJI 10° FILTER BAJI 15°

1 Densitas dan kontras pada Vertebrae thoracal 1 - 4 Kurang Baik Cukup Baik Baik/sangat baik Kurang Baik

2 Densitas dan kontras pada Vertebrae thoracal 5 - 8 Cukup Baik Cukup Baik Baik/sangat baik Cukup Baik

3 Densitas dan kontras pada Vertebrae thoracal 9 - 12 Kurang Baik Kurang Baik Baik/sangat baik Cukup Baik

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat pada hasil gambaran corpus vertebrae thoracal 1-12
tanpa menggunakan filter baji adalah kurang baik, kemudian corpus thoracal 1-12 pada hasil
gambaran menggunakan filter sudut 70 cukup baik, sedangkan hasil gambaran dengan
0
menggunakan filter sudut 10 untuk corpus thoracal 1-12 terproyeksi baik/sangat baik
sehingga cukup homogen dan pada penggunaan filter baji sudut 150 corpus thoracal 9-12
terproyeksi cukup baik namun pada corpus thoracal 1-8 kurang baik sehingga belum
homogen.
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa penggunaan filter
baji yang paling baik pada foto Vertebrae Thoracal proyeksi AP untuk pasien secara umum
yaitu dengan menggunakan filter baji variasi sudut 10o , karena cukup baik homogenisasinya
untuk densitas dan kontras pada corpus thoracal 1-12.
DAFTAR PUSTAKA

1. BAPETEN,2013,Proteksi dan Keselamatan Radiasi Dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir


,Jakarta.
2. Bontrager,K.L.2001,Textbook of Radiographic Positioning and Radiologic
Prosedures,Eight edition,St Louis:Mosby Your Book Elsevier.
3. Carlton,R,Richard, 1992.Principle of Radiographic Imaging An Art PA Science.
4. Curry III,Thomas S.,J.E Dowdey and Robert C.Murry,1990, Christensen’s Physics Of
Diagnostic Radiology,Fourth Edition.Lea and Febiger.London.
5. Cember,Herman,1983,Pengantar Fisika Kesehatan Edisi Kedua,IKIP,Semarang.
6. Chesney,D.Noreen and Muriel O.Chesney,1981,Radiographic Imaging,Fourth Edition
Blackwell Scientific Publication.Oxford.
7. Donohue,Daniel P,1948,An Analysis of Radiographic Quality,Laboratory Experiments
For Study Assignments.
8. Frank,E,2007,Merrill’Atlas Of Radiographic Positioning and Procedures Eleventh
Editional Volume One,United States of America,The Mosby Elsevier.
9. Putz and Pabst,2003.Atlas Anatomi Manusia Sobotta.21th Edition,Jilid II,EGC,Jakarta.

190
10. Pearce,E.C,2009,Anatomi dan Fisiologis Untuk Paramedis,Jakarta.
11. Rahman,Nova,2009,Radiofotografi,Penerbit Universitas Baiturrahmah.
12. Rasad,Sjahriar,2006,Radiologi Diagnostik,Jakarta.

191
PENGARUH DARK NOISE DAN TIME RESPONSIVE IMAGING PLATE
TERHADAP KUALITAS GAMBAR RADIOGRAFI

Siti Nur Hidayati1) dan Siti Hajar1)


1)
Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Nusantara, Jakarta, 13120

Koresponden : nhiedea@yahoo.com

Abstrak
Penelitian yang telah dilakukan adalah penelitian untuk mengetahui pengaruh dark noise dan time responsive
Imaging Plate (IP). Noise pada citra digital dapat menganggu penegakan diagnosa. Pada beberapa kasus
pemeriksaan thorax dengan menggunakan IP, IP tidak langsung diproses ke CR Reader. Hal ini disebabkan
karena pemeriksaan thorax tidak dilakukan di Instalasi radiologi contohnya pemeriksaan thorax di ruang rawat
inap, ICU/ICCU, atau ruang luka bakar. Jarak dari tempat pemeriksaan thorax yang di luar instalasi radiologi
mengakibatkan adanya waktu tunda pada proses pembacaan ke CR Reader. Selain itu kadang-kadang
pemeriksaan dilakukan untuk beberapa orang di ruangan yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dark noise dan time responsive terhadap kualitas gambar radiografi. IP yang digunakan
sebanyak 2 IP dengan ukuran 35 cm × 43 cm. Kedua IP akan dieksposi dengan faktor eksposi yang sama
kemudian dievaluasi nilai dark noise dan time responsivenya. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan thorax pada
kedua IP dengan diproses di CR Reader tanpa waktu tunda dan dengan waktu tunda. Waktu tunda yang
digunakan yaitu 45 menit, 180 menit, dan 240 menit. Seluruh hasil eksposi untuk dark noise dan time responsive
pada kedua IP diukur nilai pixel value dengan menggunakan software Image-J. Hasil penelitian memperlihatkan
adanya perbedaan nilai dark noise, time responsive, dan kualitas gambar radiografi dari kedua IP. IP yang dark
noise rendah dan tanpa waktu tunda pada proses ke CR Reader memiliki kualitas gambar radiografi yang paling
baik.

Kata Kunci: Imaging Plate, Dark Noise, Time Responsive

PENDAHULUAN
Dalam rangka meningkatkan pelayanan Radiologi, beberapa rumah sakit telah
menggunakan teknologi canggih dalam pelayanan diagnostik maupun terapi, salah satunya
adalah pengaplikasian kecanggihan teknologi pencitraan digital dalam pelayanan diagnostik
dengan menggunakan Computed Radiography (CR) di instalasi Radiologi suatu Rumah
Sakit. (Whitley, 2010). Pada saat ini bidang imajing mengalami peningkatan yang pesat baik
dalam bidang teknologi dan klinis. Perubahan ini terjadi melalui ide, metode, dan pembuktian
teknik secara nyata. Tujuan dari perkembangan ini adalah berusaha untuk memperoleh
informasi diagnostik dengan hasil yang optimal dan kualitas perawatan dalam penyembuhan
penderita. Salah satu perkembangan teknologi yang berkaitan dengan peralatan medis yang
merupakan bagian dari sistem imajing yaitu CR. (Artz, 2010)

192
CR merupakan salah satu citra digital Radiologi menggunakan detector Photo
Stimulable Phospor (PSP) yang dapat mengakuisisi data dan menampilkan citra melalui layar
komputer. Pada CR proses pengumpulan, pengolahan, penampilan, dan penyimpanan citra
radiografi menggunakan Imaging Plate (IP) yang terbuat dari bahan fosfor. Bentuk Format
citra yang dihasilkan CR ini adalah dalam bentuk Digital Imaging and Communication in
Medicine (DICOM). Format citra DICOM ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan
format lain seperti JPEG atau bitmap, yaitu bila dilakukan pembesaran citra maka tidak akan
mengalami perubahan nilai pixel dan resolusinya tetap (Papp, 2010)
Pemeriksaan radiografi thorax di beberapa rumah sakit tidak hanya dilakukan di di
ruang radiologi saja akan tetapi dapat dilakukan yaitu datang ke ruang perawatan misalnya
ruang rawat inap, ICU/ICCU, PJT, atau ruang luka bakar dengan membawa perlengkapan IP
sebagai receptor dan nantinya akan kembali ke ruang radiologi untuk diproses menjadi
gambaran radiografi. Radiografer kadang-kadang sekaligus melakukan pemeriksaan
radiografi di beberapa ruangan berbeda sehingga IP yang sudah dieksposi tidak langsung
diproses atau memerlukan waktu tunda. Waktu tunda berkisar antara 1 sampai 2 jam.
Berdasarkan latar belakang di atas, komponen IP pada CR kualitasnya harus optimal
sehingga memberi hasil yang maksimal untuk menegakkan diagnosa. Berkaitan dengan
waktu tunda maka diperlukan kegiatan pengontrolan kualitas Imaging plate PSP pada CR
dan untuk menjelaskan pengukuran Pixel Value (PV) dan Pixel Value Standart Deviation
(PVSD) pada uji time responsive pada pemeriksaan thorax.
METODE
Metode yang digunakan yaitu diskriptif kuantitatif dengan melakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh dark noise dan time responsive terhadap kualitas gambar radiografi.
Sampel yang digunakan adalah 2 IP dari seluruh populasi yang digunakan di RSUD Budi
Asih. Variabe terikat adalah hasil dari dark noise dan time responsive sedangkan variabel
bebasnya 2 (dua) IP. Pengukuran Pixel Value pada pengukuran dark noise dan time
responsive dengan menggunakan software Image-J. Hasil dari keseluruhan pengukuran akan
disimpulkan untuk mengetahui pengaruh dark noise dan time responsive terhadap kualitas
gambar radiografi.

193
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian IP Dark Noise dilakukan pada 2 (buah) sampel IP ukuran 35 cm × 43 cm
yang ada pada Instalasi Radiologi RSUD Budi Asih yang meliputi IP dengan ID
A51381905C (IP dengan ID-A) dan A51553333C (IP dengan ID-B). Kedua IP dilakukan
proses penghapusan memori IP dengan mode secondary tanpa ada eksposi pada IP.
Kemudian dibaca dengan CR reader. Citra yang dihasilkan dievaluasi dengan membuat ROI
(Region of Interest). Kemudian daerah yang akan dilakukan ROI pada menu “Proses” di
komputer CR diatur yaitu atur L menjadi 1, S = 10.000, GA=1.0, GT=A, RE=0.0. Kemudian
hasil uji dark noise kedua IP disimpan dalam format Digital Communication in Medicine
(DICOM) dan dievaluasi menggunakan Software Image-J. Pengukuran dark noise dapat
dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 3.

Gambar 1. Ilustrasi Pengukuran uji IP Dark Noise

Tabel 3. Hasil Pengukuran Nilai Piksel Uji IP Dark Noise


ID IP Area (mm) Mean/PV StdDev/PVSD Sensitivity
IP dengan ID-A 860160 254.499 0.300 10048
IP dengan ID-B 860160 699.683 12.810 10048

Pengujian time responsive dilakukan pada IP dengan ID-A dan IP dengan ID-B yang
sebelumnya telah diuji dark noise. Faktor eksposi menggunakan faktor ekposi thorax yaitu
65 kVp dan 12 mAs. Kriteria kuantitatif dievaluasi dengan ROI citra yang diukur pada empat

194
area pengukuran organ thorax yaitu (1) Lung Field (2) Lung Periphery (3) Mediastinum
Structure (4) Cardiac Shadaw. Area pengukuran dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Area Pengukuran Pixsel Value Thorax Uji Time Responsive Imaging Plate

Tabel 4. Hasil Perhitungan Uji Time Responsive IP dengan ID-A


Proses ke CR Reader
PVSD
Tanpa Waktu Tunda 45 menit 180 menit 240 menit
Terendah 0,96 1,90 2,34 2,50
Tertinggi 2,42 3,19 4,30 4,69
Keterangan: Dari tabel di atas diperoleh nilai PVSD Tertinggi pada proses ke CR Reader
dengan waktu tunda 240 menit

Tabel 5. Hasil Perhitungan Uji Time Responsive IP dengan ID-B


Proses ke CR Reader
PVSD
Tanpa Waktu Tunda 45 menit 180 menit 240 menit
Terendah 1,29 1,09 1,50 2,29
Tertinggi 6,19 6,29 6,59 7,00
Keterangan: Dari tabel di atas diperoleh nilai PVSD Tertinggi pada proses ke CR Reader
dengan waktu tunda 240 menit

Menganalisa nilai kontras radiografi menghitung nilai PVmax dan PVmin pada setiap
hasil citra. Nilai diperoleh dengan ROI keempat titik dengan luas area 6552 m 2. Hasil
perhitungan dapat di lihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

195
250
Lung Periphery
Kontras (Pixel Value) 200 Mediastinum
Structure
Cardiac
150 Shadaw
Lung Field

100

50 Proses ke CR
Reader
0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210 225 240

Gambar 3. Grafik Penurunan Kontras pada IP dengan ID-A


Kontras (Pixel Value)

Proses ke CR
Reader

Gambar 4. Grafik Penurunan Kontras pada IP dengan ID-B

Kedua IP masih memenuhi kriteria kuantitatif atau dark noisenya masih dalam batas
toleransi yaitu PV tidak kurang dari 280 atau tidak lebih dari 744. Sedangkan PVSD dari
kedua IP juga memenuhi batas toleransi yaitu kurang dari 4 sesuai AAPM Report N0.93
tahun 2006. Nilai dark noise IP dengan ID-B memiliki nilai dark noise yang lebih tinggi
dibandingkan IP dengan ID-A. Hal ini akan mengakibatkan adanya pengaruh atau gangguan
terhadap citra yang dihasilkan. Citra pada IP dengan ID-B akan mendapat gangguan berupa
noise yang lebih tinggi dibandingkan IP dengan ID-A.
Berdasarkan data uji imaging plate time responsive pada Tabel 4 dan Tabel 5
memperlihatkan perbedaan setiap nilai rata-rata Pixel Value (PV) dan Pixel Value Standard

196
Deviation (PVSD) pada kedua IP. Menurut AAPM Report No.93 tahun 2006, semakin besar
nilai PVSD yang dihasilkan menyebabkan semakin kecil bayangan laten yang dapat disimpan
pada phosphor karena semakin lama penundaan waktu pengolahan IP. Semakin lama
penundaan waktu pengolahan IP maka akan menyebabkan semakin tinggi nilai PVSD yang
dihasilkan sehingga semakin banyak noise pada citra. Phosphor pada IP (BaFBr:Eu2+) tidak
dapat menyimpan bayangan laten (latent image) yang berupa electron dari BaFBr:Eu2+ yang
terperangkap dalam Eu2+ dalam waktu lama. Salah satunya akibat dari terpengaruh energi
panas selama kaset IP belum diolah dalam image reader sehingga menyebabkan Pixel Value
(PV) dan nilai kontras radiografi menjadi turun.
Nilai rata-rata Pixel Value (PV) dan nilai rata-rata Pixel Value Standard Deviation
(PVSD) mengalami kenaikan nilai pada tiap kenaikan waktu tunda. Dari keempat hasil nilai
rata-rata PVSD dari uji time responsive memperlihatkan PVSD terendah pengolahan IP tanpa
waktu tunda dan tertinggi pada waktu tunda 240 menit. Berdasarkan AAPM Report No.93
tahun 2006 yang menjelaskan bahwa semakin besar nilai PVSD yang dihasilkan akan
menyebabkan semakin kecil bayangan laten yang disimpan pada phosphor maka dapat
disimpulkan bahwa pengolahan langsung atau tanpa waktu tunda ke CR reader lebih
menghasilkan kualitas citra yang lebih baik dibandingkan dengan adanya waktu tunda setelah
eksposi dilakukan.
Nilai rata-rata Pixel Value (PV) dan nilai rata-rata Pixel Value Standard Deviation
(PVSD) mengalami kenaikan nilai pada tiap waktunya. Jika dibandingkan dengan IP dengan
ID-A nilai PVSD yang dihasilkan oleh IP ID-B sangatlah tinggi. Salah satu penyebabnya
adalah karena terpengaruh dari bawaan IP yang memiliki hasil uji dark noise lebih tinggi
yaitu sebesar 12.8. Dari keempat hasil nilai rata-rata PVSD dari uji time responsive
memperlihatkan PVSD tertinggi pada waktu tunda 240 menit. Berdasarkan AAPM Report
No.93 tahun 2006 yang menjelaskan bahwa semakin besar nilai PVSD yang dihasilkan akan
menyebabkan semakin kecil bayangan laten yang disimpan pada phosphor maka dapat
disimpulkan bahwa pengolahan langsung atau tanpa waktu tunda ke CR reader lebih
menghasilkan kualitas citra yang lebih baik dibandingkan dengan adanya waktu tunda setelah
eksposi dilakukan.

197
Semua data hasil pengukuran untuk setiap titik ROI, nilainya mengalami penurunan
per waktu tunda seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4.12 sampai dengan Tabel 4.19.
Kontras terlihat tinggi atau baik ketika proses ke CR Reader tidak ada waktu tunda.
Sedangkan nilai kontras paling rendah atau kurang ketika waktu tunda di CR Reader semakin
lama yaitu ketika waktu tunda 240 menit. Hal ini memperlihatkan bahwa pengolahan
langsung atau tanpa waktu tunda ke CR Reader lebih menghasilkan kualitas citra yang lebih
baik dibandingkan dengan adanya waktu tunda setelah eksposi dilakukan.
KESIMPULAN
Dark noise dapat mempengaruhi kualitas gambar radiografi. Semakin banyak noise
akan menggangu penegakkan diagnosa. IP dengan ID-B mempunyai nilai noise yang tinggi
dibandingkan IP dengan ID-A. Hal ini mengakibatkan citra yang di hasilkan pada IP ID-B
mendapat gangguan berupa noise (gambaran garis putih). Pengolahan IP tanpa waktu tunda
menghasilkan nilai PVSD yang paling rendah dibandingkan dengan nilai PVSD pada waktu
tunda 45 menit, 180 menit, dan 240 menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengolahan
langsung atau tanpa waktu tunda lebih menghasilkan kualitas citra yang baik. Pada pengujian
time responsive IP memperlihatkan semakin besar nilai PVSD yang dihasilkan menyebabkan
semakin kecil bayangan laten yang dapat disimpan pada phosphor. Semakin lama waktu
penundaan maka sinyalnya akan menghilang akibat terpengaruh dari energi panas di dalam
kaset selama IP belum diolah sehingga semakin tinggi nilai PVSD yang menyebabkan
semakin banyak noise pada citra. Pada nilai kontras radiografi dapat disimpulkan bahwa
semakin lama waktu penundaan pengolahan IP pada CR Reader maka nilai kontras
radiografinya semakin rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Yayasan dan Direktur ATRO Nusantara,
radiografer di RSUD Budhi Asih, instruktur praktek di RS, dan seluruh pihak yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Artz, D.S. Computed Radiography for the Radiological Technologist. Seminars in Roentgenology,
32 (1); 12-24; 2010
2. Bushong, Steward C. Radiological Science for Technologist, physics, Biology and Protection
Saint Louis; Mosby. Edisi 10; 2013

198
3. Bontrager, K. L. and Lampignano. Texbook of Radiographic Positioning and Related
Anatomi.Sixth.St Louis: Elesevier Mosby; 2013
4. F. Paulsensen & J Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: ECG. Edisi 23; 2013
5. Indah Annisa. Computed Radiography for Radiological Technologist Seminars in Roentgenology:
Bali; 2012
6. Jannah, N. et. Analisis Kurva Karakteristik Image Plate Computed Radiography (CR) Sebagai
Indikator Sensitifitas terhadap Sinar-X, pp 1-13; 2014
7. Jannah, N. Armynah, B and Abdullah B. Analisis Kurva Karakteristik Image Plate Computed
Radiography (CR) Sebagai Indikator Sensitifitas Terhadap Sinar-X, Prosiding Seminar Nasional
Geofisika, pp 200-206; 2016
8. Kristina, Naralyawan. Perbandingan CR dengan Radiologi Konvensional: ECG; 2013
9. Lisda, Nur Indah. Computer Radiography for Radiologi Technologist Seminars in Roentgenology:
Bali; 2013
10. Papp, Jeffrey.Quality Management in the Imaging Science, Thrid Edisition.Saint Louis: Mosby;
2010
11. Sartinah, Sumriyah, N. Ayu; Lab Elektronika & Instrumentasi, J.F.F.U. Variasi Nilai Eksposi
Aturan 15 % pada Radiografi Menggunakan Imaging Plate Untuk Mendapatkan Kontras
Tertinggi. 11(2), pp 45-52; 2010
12. Schneider CA, Rasband WS, Eliceire KW. NIH Image to ImageJ, 671-675; 2012
13. Thomas, C.C. Radiography in the Digital Age: Physics-Exposure-Radiation Biology Carroll Quin
B., Springfield, III: Charles C. Thomas Publisher, 2011. ISBN 978-0-398-08717-pp; 2013
14. Whitley, A.S.et all. Clark’s Positioning in Radiography.12th edn.London: HodderArnold, 2010

199
Artificial Intelligence: Tantangan Baru Teknik Radiodiagnostik di Era Covid-19

Nurbaiti1)
1)
Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jakarta,
12120

Koresponden : nurbaiti.haikal@gmail.com

Abstrak

Pengembangan AI pada pesawat imaging telah dilakukan sepanjang era pandemi COVID-19 tahun 2020. Studi
ini dilakukan melalui review literatur untuk mengetahui sejauh mana implementasi AI pada pesawat X-Ray dan
CT Scan dan pemanfaatannya dalam diagnosia COVID-19. Implementasi AI pada pesawat pencitraan belum
diimplementasikan secara luas dan banyak pertimbangan dari para ahli medis untuk mengkaji kembali hasil-
hasil penelitian AI. Kolaborasi penelitian multisenter masih dilakukan dan asosiasi dokter mengeluarkan
panduan khusus untuk penanganan COVID-19.

Kata kunci : Artificial Intelligence, Diagnosa COVID-19

PENDAHULUAN
COVID-19 memberikan banyak tantangan bagi dunia kedokteran. Pandemi COVID-
19 yang berawal dari kasus pneumonia yang tidak teridentifikasi secara tegas penyakitnya,
lalu merebak sangat cepat di kota Wuhan. Tidak berhenti sampai di kota ini, penyebaran
COVID-19 dalam waktu kurang satu bulan sudah merebak ke berbagai negara di dunia
(Cucinotta & Vanelli, 2020).
Identifikasi COVID-19 yang gejala penyakitnya mirip penumonia, yaitu demam,
batuk, sesak nafas, ternyata menyebabkan banyak kematian dengan tingkat kematian dunia
sebesar 7%. Dalam proses patofisiologinya penyakit ini membuat jaringan paru rusak,
sehingga pasien COVID-19 stadium lanjut membutuhkan perawatan intensif di ruang
intensive care unit (ICU) (Wei-jie Guan, Ph.D., Zheng-yi Ni, M.D., Yu Hu, M.D., Wen-hua
Liang, Ph.D., Chun-quan Ou, Ph.D., Jian-xing He, M.D., Lei Liu, M.D., Hong Shan, M.D.,
Chun-liang Lei, M.D., David S.C. Hui, M.D., Bin Du, M.D., Lan-juan Li, M.D., 2019)
Jumlah kasus bertambah cepat memberi tantangan tersendiri bagi pelayanan medik di
masa pandemi COVID-19 terutama fase awal pandemi berlangsung (COVID-19 New Cases
Worldwide by Day | Statista, 2020). Protokol medis penanganan medis kasua COVID-19
diterapkan di berbagai negara, dalam mendeteksi, mendiagnosa, merawat pasien, hingga

200
memulangkan pasien sembuh dan menatalaksana pasien yang meninggal karena COVID-19
(Monardo et al., 2020).
Tidak semua negara memiliki sumber daya yang cukup dalam menanggulangi kasus
COVID-19. Beban kerja para dokter dan paramedik meningkat drastis, mereka kelelahan
sampai stress oleh beban kerja, hingga tidak sedikit yang mengalami kematian karena tertular
dari pasien-pasien COVID-19 (kontan.co.id, 2020). Ketersediaan alat-alat medis untuk
menangani kasus COVID-19 dimasa pendemi juga terbatas (BBC New, 2020). Salah satu
alternatif menangani kasus COVID-19 dalam kondisi pandemi COVID-19 adalah
menggunakan teknologi. Teknologi yang sedang berkembang dan membantu proses kerja
manusia adalah artificial intelligence.
Apa itu artificial intelligence? AI adalah teknologi yang mampu membuat mesin
mampu meniru pekerjaan manusia melalui proses pemrograman komputer yang dilatih untuk
melakukan pekerjaan tersebut (Wong et al., 2018). Pemanfaatan AI dalam bidang teknik
radiodiagnostik sudah dikenal dan dikembangkan saat ini. Namun beragam pendapat para
ahli muncul menanggapi penggunaan AI dalam penanganan COVID-19.
METODE
Merebaknya pandemi COVID-19 membuat banyak ahli mempertimbangkan AI untuk
membantu penanganan COVID-19. Sejauh mana pemanfaatan AI dalam teknik
radiodiagnostik pada pesawat X-Ray dan CT Scan dan tanggapan para ahli menjadi tujuan
dari studi ini. Studi dilakukan melalui kajian literatur terkait dengan AI dalam bidang teknik
radiodiagnostik. Pencarian literatur melalui google scholar dengan kata kunci pencarian “AI
di radiologi” Analisis dilakukan secara deskriptif memperhatikan konten terkait dengan AI,
radiodiagnostik dan COVID-19.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan instrumen AI dalam mendeteksi kasus COVID-19 ditinjau dari 2
penelitian berikut, yaitu penelitian AI pada pesawat X-Ray dan pesawat CT Scan. Penelitian-
penelitian dilakukan pada tahun 2020. Penelitian AI pada Chest X-Ray dilakukan secara
multi senter mencakup universitas dan rumah sakit di Belanda. Tujuan penelitian ini untuk
mengevaluasi sisitem AI pada pesawat X-Ray dalam mendeteksi kasus COVID-19.
Gambaran X-Ray paru digunakan untuk triase atau memilah kasus-kasus COVID-19 di fase

201
awal pelayanan medis. Penerapan triase sangat penting di masa pandemi COVID-19 ini
(Murphy et al., 2020).
Penelitian ini Pemeriksaan X-Ray paru dapat dilakukan dengan cepat dan tidak
membutuhkan biaya tinggi. Melalui implementasi AI pada X-Ray, proses identifikasi kasus
COVID-19 bisa dilakukan tanpa adanya catatan dari dokter ahli radiologi. Ini sangat
membantu negara-negara yang tidak memiliki banyak dokter ahli radiologi, dalam
penangulangan COVID-19, khususnya pada proses deteksi awal atau screening.
Instumen AI diberikan latihan dengan sebanyak 24.678 gambar pencitraan yang terdiri
dari fase latihan awal dan fase validasi atau retraining dengan 1540 gambaran. Fase
retraining dimaksudkan agar instrumen AI memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk
mendeteksi gambaran pneumonia. Selanjutnya instrumen AI diberikan latihan akhir dengan
994 gambaran pencitraan kasus COVID-19 yang terkonfirmasi positif dan negatif.
Sejalan dengan proses instrumen AI dilatih dengan gambaran pencitraan. Maka AI
dapat melakukan identifikasi gambaran pencitraan X-Ray dan dibandingkan dengan hasil
identifikasi oleh tim dokter yang terdiri dari 5 dokter ahli radiologi. Hasilnya menunjukkan
kemampuan instrumen AI mengidentifikasi kasus COVID-19 melalui gambaran pencitraan
X-Ray paru dengan tingkat sensitivitas 85% dan spesifisitas 61%.
Penelitian lainnya adalah pengembangan instrumen AI pada CT Scan melibatkan
beberapa rumah sakit di Cina. Pada penelitian ini instrumen AI diberi latihan 4.536 hasil
gambaran tiga dimensi volumetrik CT Scan paru dari 3.506 pasien yang berasal dari 6 pusat
pelayanan medis. Gambaran CT Scan terdiri dari 30% kasus COVID-19, 40% kasus
community acquired pneumonia (CAP), dan 30% kasus non-pneumonia (Li et al., 2020).
Instrumen AI pada CT Scan ini menghasilkan kemampuan mendeteksi COVID-19 dengan
tingkat sensitivitas 90% dan spesifisitas 96%, dan kemampuan mendeteksi CAP dengan
sensitivitas 96% dan spesifisitas 95%.
Dalam kondisi pandemi COVID-19 pemanfaatan AI dalam pesawat X-Ray atau CT
Scan memudahkan petugas medis menangani kasus COVID-19 dan mengurangi risiko
penularan. Faktanya pembacaan hasil pencitraan secara manual membutuhkan waktu 15
menit, sementara instrumen AI hanya 10 detik (McCall, 2020). Pengembangan AI memiliki
potensi besar dalam proses implementasi teknologi peralatan medis. Ada hal penting dalam

202
pengembangan AI ini seperti yang disebutkan oleh seorang ahli bidang diagnotik Sir William
Osler “Medicine ia a science of uncertainty and an art of probability” (Wei-jie Guan, Ph.D.,
Zheng-yi Ni, M.D., Yu Hu, M.D., Wen-hua Liang, Ph.D., Chun-quan Ou, Ph.D., Jian-xing
He, M.D., Lei Liu, M.D., Hong Shan, M.D., Chun-liang Lei, M.D., David S.C. Hui, M.D.,
Bin Du, M.D., Lan-juan Li, M.D., 2019). Upaya diagnostik adalah proses panjang yang
dimulai dari mengungkap perjalanan penyakit, mengamati tanda-tanda dan gejala yang
muncul, pemeriksaan fisik, ditambah dengan pemeriksaan penunjang dan hasil pencitraan.
Diagnosa tidak boleh ditentukan hanya dari hasil pencitraan.
Para klinisi, khususnya dokter spesialis radiologi berperan penting dalam
menempatkan AI pada pesawat pencitraan agar memenuhi kebutuhan pelayanan medik.
Pengembangan sistem AI dalam mendiagnosa kondisi patologis harus menggabungkan
pemahaman yang menyeluruh antara teknologi AI, fisika medis pencitraan dan ilmu
kedokteraan (Kahn, 2017). Penggunaan data set yang tepat untuk melatih sistem AI menjadi
sisi kritis yang harus diperhatikan. Data set yang berkualitas menjadi faktor penting (McCall,
2020). Banyak riset AI yang dilakukan dalam teknologi pencitraan di masa COVID-19.
Namun para ahli berhati-hati untuk mengimplementasinya. Untuk itu mereka menginisiasi
kolaborasi penelitian multi-senter, agar data-data penelitian dapat dimanfaatkan bersama dan
menghasilkan target penelitian sesuai yang diharapkan. Aliansi AI Eropa telah memulai
proyek penelitian yang dikenal sebagai “AI-ROBOTICS vs COVID-19 initiative” yang turut
berkontribusi dalam pengembangan AI di dunia medis (European Comission, 2020).
Sementara pengembangan AI dalam teknologi pencitraan masih berlangsung,
perkumpulan dokter radiologi Italia mengeluarkan panduan bagi para dokter spesialis
radiologi di negaranya dalam penatalaksanaan COVID-19 (Neri et al., 2020), yaitu:
a. Perkumpulan mendukung penelitian AI dalam mendeteksi dan mendiagnosa penyakit
pasien dengan menggunakan instrumen pencitraan dan dapat dilakukan di pusat studi
untuk meningkatkan validitas tes yang dilakukan.
b. Perkumpulan tidak menganjurkan penggunaan AI sebagai instrumen awal untuk
mendeteksi atau mendiagnosa COVID-19

203
c. Pemeriksaan CT Scan dada dengan AI tidak bisa menggantikan tes diagnosa
molekular melalui swab nasofaring dengan metoda reverse transcription polymerase
chain reaction (RT-PCR)
Di Indonesia pemeriksaan X-Ray dan CT Scan digunakan dalam tata laksana pasien
COVID-19 dan untuk standar baku diagnosa molekular COVID-19 tetap menggunakan RT-
PCR (Bioteknologi -Lipi, 2020). Penggunaan AI dalam teknologi pencitraan untuk proses
deteksi dan diagnosis COVID-19 tetap perlu memperhatikan aspek etik penelitian
kedokteran. Teknologi memberi kemudahan dalam proses kerja alat-alat medis, namun
penggunaan yang tidak tepat akan merugikan. Untuk itu para ahli bersikap lebih hati-hati
untuk menerapkan AI meskipun bermanfaat untuk memudahkan kerja dalam proses
pelayanan kesehatan. Proses validasi tes alat-alat ini masih membutuhkan waktu agar
penelitian-penelitian ini menghasilkan metode pencitraan dengan model algoritma AI yang
tepat (Neri et al., 2020).
KESIMPULAN
Pengembangan AI pada pesawat imaging seperti X-Ray dan CT Scan telah
dikembangkan sepanjang era pandemi COVID-19. Implementasi AI pada pesawat pencitraan
belum diimplementasikan secara luas dan banyak pertimbangan dari para ahli medis untuk
mengkaji kembali hasil-hasil penelitian AI. Kolaborasi penelitian multisenter banyak
dilakukan untuk menstandarisasi proses penelitian AI. Asosiasi dokter spesialis radiologi
mengeluarkan panduan khusus dalam penatalaksanaan COVID-19, termasuk didalamnya
penggunaan gambaran pencitraan.
DAFTAR PUSTAKA
BBC New. (2020). Virus corona: Jumlah kasus terus meningkat, kelengkapan alat kesehatan
“menipis” - BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
51924204
Bioteknologi -Lipi, P. (2020). Diagnosis SARS-CoV-2: Peran Sistem Deteksi dan Ragam
Metode Uji Dalam Menanggulangi Pandemi COVID-19 ANDRI WARDIANA.
COVID-19 new cases worldwide by day | Statista. (2020). Statista.Com.
https://www.statista.com/statistics/1103046/new-coronavirus-covid19-cases-number-
worldwide-by-day/
Cucinotta, D., & Vanelli, M. (2020). WHO declares COVID-19 a pandemic. In Acta
Biomedica (Vol. 91, Issue 1, pp. 157–160). Mattioli 1885.
https://doi.org/10.23750/abm.v91i1.9397
European Comission. (2020). Join the AI-ROBOTICS vs COVID-19 initiative of the

204
European AI Alliance. https://ec.europa.eu/futurium/en/ai-robotics-vs-covid19/join-ai-
robotics-vs-covid-19-initiative-european-ai-alliance
Kahn, C. E. (2017). From images to actions: Opportunities for artificial intelligence in
radiology. In Radiology (Vol. 285, Issue 3, pp. 719–720). Radiological Society of North
America Inc. https://doi.org/10.1148/radiol.2017171734
kontan.co.id. (2020). Tingkat kematian tenaga medis saat pandemi corona cukup tinggi.
Kontan.Co.Id. https://nasional.kontan.co.id/news/tingkat-kematian-tenaga-medis-saat-
pandemi-corona-cukup-tinggi
Li, L., Qin, L., Xu, Z., Yin, Y., Wang, X., Kong, B., Bai, J., Lu, Y., Fang, Z., Song, Q., Cao,
K., Liu, D., Wang, G., Xu, Q., Fang, X., Zhang, S., Xia, J., & Xia, J. (2020). Using
Artificial Intelligence to Detect COVID-19 and Community-acquired Pneumonia Based
on Pulmonary CT: Evaluation of the Diagnostic Accuracy. Radiology, 296(2), E65–
E71. https://doi.org/10.1148/radiol.2020200905
McCall, B. (2020). COVID-19 and artificial intelligence: protecting health-care workers and
curbing the spread. The Lancet Digital Health, 2(4), e166–e167.
https://doi.org/10.1016/s2589-7500(20)30054-6
Monardo, D., Bambang, P., Wiku, W., Akmal, A., Tri, T., Widyastoeti, H., Penyusun, T.,
Firmansyah, A., Susilo, A., Agus, A., Susanto, D., Rizal, A., Hamid, A. H., Mahdi, A.,
Anis, N., Santoso, K. A., Adil, A., Faradilah, A., Kusuma, A., … Djoerban, Z. (2020).
TIM PENYUSUN.
Murphy, K., Smits, H., Knoops, A. J. G., Korst, M. B. J. M., Samson, T., Scholten, E. T.,
Schalekamp, S., Schaefer-Prokop, C. M., Philipsen, R. H. H. M., Meijers, A., Melendez,
J., van Ginneken, B., & Rutten, M. (2020). COVID-19 on the Chest Radiograph: A
Multi-Reader Evaluation of an AI System. Radiology, 201874.
https://doi.org/10.1148/radiol.2020201874
Neri, E., Miele, V., Coppola, F., & Grassi, R. (2020). Use of CT and artificial intelligence in
suspected or COVID-19 positive patients: statement of the Italian Society of Medical
and Interventional Radiology. 125, 505–508. https://doi.org/10.1007/s11547-020-
01197-9
Wei-jie Guan, Ph.D., Zheng-yi Ni, M.D., Yu Hu, M.D., Wen-hua Liang, Ph.D., Chun-quan
Ou, Ph.D., Jian-xing He, M.D., Lei Liu, M.D., Hong Shan, M.D., Chun-liang Lei, M.D.,
David S.C. Hui, M.D., Bin Du, M.D., Lan-juan Li, M.D., et al. (2019). Artificial
Intelligence and Radiology in Singapore: Championing a New Age of Augmented
Imaging for Unsurpassed Patient Care - PubMed. Ann Acad Singapore.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30788490/
Wong, S. H., Al-Hasani, H., Alam, & Z., & Alam, & A. (2018). Artificial intelligence in
radiology: how will we be affected? European Radiology, 29, 141–143.
https://doi.org/10.1007/s00330-018-5644-3

205
PROSIDING
PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS
JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN
206 RADIOTERAPI
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA II
ISSN 2746-2129 (Media online)
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai