BAB II
A. Familia Columbidae
pada hutan hujan tropis (Camfield, 2004). Diperkirakan semua anggota Familia
Columbidae berasal dari kawasan Asia Tenggara dan Australia (Sarwono, 1999).
Distribusi Familia Columbidae juga terdapat disepanjang Asia, India dan Eropa
(Wu et al., 2007). Salah satu anggota dari Familia Columbidae yaitu burung
perkutut (Geopelia striata) yang merupakan salah satu burung pemakan biji-
merdu.
yaitu anak yang baru dilahirkan matanya terbuka dan tinggal di dalam sarang,
burung jantan dan burung betina perutnya bertembolok dan dari temboloknya bisa
mengeluarkan cairan kental untuk makanan anaknya yang masih kecil, burung
jantan dan betina dewasa hidup berpasangan dan bertelur hanya dua butir dalam
satu musim kawin. Burung jantan dari Familia Columbidae ini dapat berbunyi
terus menerus dengan irama yang bagus, sedangkan burung betina berbunyi
ini berasal dari Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara (Tn1, 2008). Warna burung
merpati beragam, umumnya perpaduan warna abu-abu, hitam, putih, dan cokelat,
Pada alam aslinya, sarang merpati liar biasanya terdapat pada celah-celah
bebatuan di samping tebing, dekat dengan pertanian atau vegetasi semak terbuka.
langit yang mirip dengan habitat aslinya yaitu tebing-tebing yang tinggi (Roof,
burung merpati menurut Gmelin, 1789 (Grouw, tanpa tahun) sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Columbiformes
Family : Columbidae
Genus : Columba
Species : Columba livia Gmelin
(Merpati)
selatan, Malaysia, Asia tenggara dan tersebar di seluruh belahan dunia (Tn1,
2008). Bulu di bagian atas badan burung ini, berwarna kelabu dan terdapat garis-
garis yang gelap pada bagian belakang pangkal tengkuk (Tn1, 2008).
burung kicauan memiliki harga jual tinggi hingga mencapai jutaan rupiah.
Klasifikasi burung perkutut menurut Linnaeus, 1766 dalam ITIS (2009a) sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Columbiformes
Family : Columbidae
Genus : Geopelia
Species : Geopelia striata Linnaeus
(Perkutut)
Burung puter (Gambar 2.3) merupakan salah satu spesies dari Familia
Columbidae yang tersebar di daerah Asia Tenggara. Habitat asli dari burung ini
yaitu di daerah hutan daratan rendah subtropis atau tropis dan juga daerah hutan
mangrove tropis (Tn1, 2008). Klasifikasi burung puter menurut Temminck, 1809
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Columbiformes
Family : Columbidae
Genus : Streptopelia
Species : Streptopelia bitorquata
Temminck (Puter)
Burung tekukur (Gambar 2.4) merupakan burung yang berasal dari Asia
Timur dan diperkenalkan ke Australia sekitar tahun 1800-an, dan sekarang banyak
tersebar diseluruh belahan dunia (Tn1, 2008). Bulu di bagian ventral berwarna
cokelat, sedangkan di daerah dorsal dan sayap berwarna kehitaman. Ciri khusus
dari burung ini yaitu bulu di bagian punggung lehernya yang berpola hitam-putih.
12
Klasifikasi burung tekukur menurut Scopoli, 1786 dalam ITIS (2009c) sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Columbiformes
Family : Columbidae
Genus : Streptopelia
Species : Streptopelia chinensis
Scopoli (Tekukur)
B. Penanda Genetik
individu atau sampel yang diambil. Penanda genetik disebut juga dengan penanda,
dengan gen yang bersangkutan. Segmen DNA yang berdekatan satu sama lain
untuk melacak gen yang berdekatan dengan gen yang diwariskan yang belum
sendiri mungkin merupakan bagian dari gen atau mungkin tidak memiliki fungsi
genetik, yang pada umumnya adalah DNA, dimana dapat digunakan untuk
biokimia) atau DNA (untuk penanda molekuler) dari jaringan atau sel mahluk
protein dan penanda DNA. Untuk menjadi penanda genetik, lokus dari penanda
harus lokus yang secara eksperimen dapat mendeteksi variasi diantara individu di
polimorfik dan terpaut dengan sifat yang akan diamati atau dengan penanda
genetik lain. Syarat polimorfik diperlukan karena penanda genetik harus bisa
genetik harus bisa mengelompokkan individu paling tidak dalam dua kelompok.
Syarat terpaut dengan penanda, gen, atau sifat lain diperlukan karena fungsi
penanda genetik adalah sebagai tanda pengenal yang harus melekat pada sifat
bersifat kodominan yang dapat membedakan ketiga kelas genotipe pada generasi
F2 (dua homozigot dan heterozigot). Kedua, penanda yang bersifat dominan yang
tidak dapat memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot (USDA,
2006).
proses siklus yang berulang meliputi denaturasi, annealing dan ekstensi oleh
untuk membuat hibrid dengan ujung-5’ menuju ujung-3’ untai DNA target dan
mengamplifikasi untuk urutan yang diinginkan. Dasar siklus PCR ada 30-35
menggunakan PCR dapat dilihat pada Gambar 2.5 (Orac, 2007). Siklus dan waktu
jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu
Dalam proses PCR, sejumlah kecil DNA akan diamplifikasi dibantu oleh
enzim yang disebut Taq DNA polymerase, dimana suatu deonukleotida (dNTPs)
akan komplementer dengan cetakan DNA yang diamplifikasi. Pada proses PCR
ini juga terdapat primer yang merupakan titik awal dari proses polimerasi. Primer
konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik
Pada reaksi PCR diperlukan DNA template, primer spesifik, enzim DNA
2+
polymerase yang thermostabil, buffer, ion Mg , deonukleotida (dNTPs) dan
16
PCR thermal cycler. Komposisi larutan dalam satu tabung PCR, yaitu terdiri dari
DNA, buffer, MgCl2, dNTPs, enzim Taq Polymerase, Primer spesifik dan deion-
D. Elektroforesis
suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik
tersebut bergantung pada muatan, bentuk dan ukuran molekulnya. Prinsip kerja
negatif (anion), dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif
menuju kutub negatif (anode) (Klug & Cummings 1994). Gambar 2.6.
berupa larik DNA pada gel agarosa digunakan pewarna yang mengandung
Pada proses elektroforesis ini dibutuhkan agar atau gel sebagai medium
untuk pemisahan DNA. Ada dua tipe gel dalam proses elektroforesis yaitu agarosa
dan polyakrilamid. Agarosa adalah koloid alami yang diekstrak dari rumput laut.
Agarosa mudah pecah dan rusak oleh tangan. Gel agarosa memiliki pori
berukuran besar dan kegunaan utamanya untuk memisahkan molekul yang sangat
besar dengan berat molekul lebih dari 200 kilodalton (Tn2, 2010). Karakteristik
dari gel agarosa dan poliakrilamid dapat dilihat pada Tabel 2.1.
kecil pori yang terbentuk. Pori-pori ini berfungsi sebagai saringan molekul,
dimana migrasi fragmen DNA yang besar akan lebih lambat daripada fragmen
E. Metode Sexing
beberapa cara yaitu secara non molekuler dan secara molekuler. Metode sexing
secara non molekuler diantaranya yaitu vent sexing, karyotyping, steroid sexing
pada feses dan laparoskopi. Metode sexing secara molekuler pada umumnya
1. Vent sexing
Vent sexing adalah metode dipopulerkan pada tahun 1930 oleh seorang
profesor Jepang, Kiyoshi Masui. Sexers vent dilatih di sekolah sexing ayam dan
dengan mudah bisa mendapatkan hasil dengan keakuratan 95% dalam sexing.
(Bramwell, 2003). Metode ini diperlukan orang yang terlatih dan banyak
2. Laparoskopi
laparoskop atau otoscope, diperlukan sayatan kecil di sisi kiri tubuh burung. Pada
anakan betina, indung telur sering tidak ditemukan. Kelemahan utama dari
laparoskopi adalah dibutuhkan anestesi dan risiko cedera pada organ vital. Pra
Pemeriksaan bisa berbahaya dan bahkan dapat membuat burung mati (Swengel,
1996).
3. Karyotyping
dari kultur sel yang umumnya berasal dari bulu atau sel darah. Karena sebagian
utama dari analisis kromosom adalah prosedur yang memakan waktu (Christidis,
1985). Metode ini tidak dapat diterapkan untuk burung unta, karena rendah
dalam kotoran burung. Kotoran burung betina memiliki E/T rasio yang tinggi
20
daripada burung jantan. Sampel feses segar diperlukan untuk tes ini. Karena
adanya perbedaan musiman dan usia, beberapa hasil tumpang tindih sesekali pada
rasio hormon terutama selama bukan musim kawin. Hasil terbaik dapat diperoleh
F. Primer Sexing
memahami struktur seksual dan dinamika dari populasi alami (Zeng, 2009).
eksternal (sexual dimorphism) sangat penting dalam studi lapangan dan untuk
pada hampir semua spesies burung (Miyaki, 1998). Jenis kelamin dapat dibedakan
karena betina mempunyai dua tipe kromosom seks (W dan Z), sedangkan pada
jantan, hanya Z yang ada (ZZ) (Griffiths, et al., 1998). Teknik molekuler untuk
membedakan jenis kelamin pada burung diperkenalkan pertama kali pada tahun
1995, dengan lokasi gen yang terletak pada kromosom W (Griffiths & Tiwari,
1995). Gen yang sama seperti gen ini juga ditemukan pada kromosom Z (Griffiths
kelamin burung. Oleh karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi daerah
kelamin pada kelompok aves (kromosom Z dan kromosom W) (Griffith & Korn,
1997), maka penentuan jenis kelamin secara molekuler akan menjadi lebih
21
gametologs pada kromosom seks Z dan W burung, dimana intron dari dua
gametologs memiliki panjang yang berbeda tetapi diapit urutan nukleotida yang
Gambar 2.7. Urutan sekuen dari gen CHD-W dan CHD-Z pada tiga jenis
burung Familia Columbidae. Kotak merah menunjukkan lokasi penempelan
primer, urutan basa yang ada pada jantan dan betina dan urutan basa yang
ada hanya pada betina. Simbol bintang dan garis menunjukkan daerah
conserved dan deleted antara gen CHD-W dan CHD-Z.
(Huang et al., 2011)
22
Salah satu penanda molekuler atau primer sexing yang sering dipakai pada
burung yaitu P2/P8 yang didesain oleh Griffiths. Griffiths, et al. (1998)
primer forward yang digunakan untuk mengetahui jenis kelamin burung pada
umumnya. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya menuliskan, urutan basa dari
merupakan cara yang efektif untuk membedakan burung jantan dari burung
betina. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya juga mencantumkan, untuk ukuran
basa pita DNA yang dihasilkan dari PCR yaitu berkisar antara 300 pb – 400 bp,
kelamin pada burung. Primer yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin
pada burung sangat spesifik terutama untuk tingkat ordo atau Familia (Griffiths &
Tiwari, 1995; Ellegren & Sheldon, 1997). Primer sexing 1237L/1272H diciptakan
untuk membedakan jenis kelamin pada burung, posisi gen CHD yang
diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Shizuka & Bruce, 2008). Pada
gambar tersebut dapat dilihat perkiraan posisi primer ini menempel pada ekson
yang terdapat pada gen CHD baik pada kromosom Z maupun kromosom W. Pada
proses PCR nantinya ekson akan dimplifikasi beserta intron. Seperti halnya
23
primer 1237L/1272H, primer sexing P2 dan P8 juga menempel pada ekson yang
Gambar 2.8. Visualisasi bagian dari gen CHD yang digunakan untuk
identifikasi jenis kelamin, tanda panah menunjukan perkiraan lokasi
penempelan untuk masing-masing primer 1237L/1272H dan garis tipis
menunjukan lokasi gen yang diamplifikasi masing-masing primer.
(Shizuka & Bruce, 2008)
Terdapat pula primer yang hanya menempel pada CHD yang ada pada
membedakan jenis kelamin yaitu dengan mendesain primer baru OPAV 17F dan
17R berasal dari seleksi beberapa jenis primer RAPD yang diisolasi dari darah
Streptopelia oriental betina (Wu et al., 2007). Primer ini digunakan untuk
jenis kelamin berdasarkan morfologi adalah sulit. Metode sexing secara molekuler
dapat digunakan, namun memilih metode dan protokol yang tepat bergantung
pada spesies yang dipelajari (Kocijan et al., 2011). Proses kawin pada burung
dapat terjadi dengan memasukkan burung jantan dan burung betina dalam satu
jenis kelamin burung tersebut, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan anakan
dari burung monomorfik tersebut. Perbedaan dalam harga jual dan biaya
perawatan spesies burung jantan dan betina dan juga waktu yang dihabiskan untuk
Avanus, 2007). Semakin cepat jenis kelamin diketahui maka semakin sedikit pula
kerugian yang diderita. Metode sexing secara molekuler ini dapat dijadikan alat
kelamin burung. Dawson et al. (2001) menentukan jenis kelamin pada burung laut
dan P8. Burung laut ini hanya memiliki satu anakan setiap masa kawin. Selain itu
menunjukan 2 pita pada betina dan 1 pita pada jantan yang berukuran antara 365
pb – 391 pb.
25
P8 ini dalam menentukan jenis kelamin Spilornis cheela hoya (S. c. hoya) dan
Pycnonotus sinensis (P. sinensis) yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi
yaitu berada di kisaran 300 pb – 400 pb. Pada penelitian yang dilakukan
Jawa mempunyai persentase kesalahan yang cukup tinggi. Dari 36 sampel burung
Gelatik Jawa yang digunakan, secara morfologi diperoleh 18 ekor betina dan 18
ekor jantan. Sedangkan secara molekuler diperoleh 8 ekor betina dan 28 ekor
jantan yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi yaitu 350 pb dan 400 pb.
modifikasi dari primer P2 dan P8. Suhu annealing yang dipakai untuk amplifikasi
untuk menentukan jenis kelamin pada burung Betet Jawa (Psittacula alexandri
alexandri). Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu berasal dari darah
burung Betet Jawa. Sampel darah yang telah dipurifikasi kemudian diamplifikasi
dengan teknik PCR menggunakan primer sexing yaitu P2 dan P8.3 yang
merupakan modifikasi dari primer P2 dan P8. Dari 20 sampel darah burung Betet
Jawa yang diuji teramplifikasi dengan baik dan diperoleh ukuran sebesar 382 pb
untuk kromosom Z dan 400 pb untuk kromosom W, dan dari hasil anallisis DNA
ini diperoleh 10 sampel adalah betina dan sisanya jantan. Berdasarkan hasil uji
teknik molekuler sangat efektif untuk membedakan jenis kelamin untuk burung-
menggunakan dua primer yang berbeda yaitu P2/P8 dan 2550F/2718R. Hasilnya