Anda di halaman 1dari 104

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA TERHADAP TINDAK

PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT TERBANG YANG


MELEWATI LINTAS BATAS YURISDIKSI NEGARA

SKRIPSI

OLEH :
ILHAM HIDAYAT
NIM. A11110206

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2015

i
PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT TERBANG YANG
MELEWATI LINTAS BATAS YURISDIKSI NEGARA

SKRIPSI

OLEH :
ILHAM HIDAYAT
NIM. A11110206

Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2015

ii
PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT TERBANG YANG
MELEWATI LINTAS BATAS YURISDIKSI NEGARA

Tanggung Jawab Yuridis Material Pada :

ILHAM HIDAYAT
NIM. A11110206

Disetui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Silvester Thomas, SH, M.si Dr. Evi Purwanti, SH,LL.M


NIP. 195912311986091004 NIP. 197402072005012002

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Untan

Dr. Syarif Hasim Azizurahman, SH.M.Hum


NIP. 19630513 198810 1 001

Tanggal Lulus : 12 Oktober 2015

iii
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK

Tim Penguji :

Jabatan Nama Dan NIP Golongan Tanda


Tangan

Ketua Silvester Thomas, SH,M.Si Pembina, IV/a


Penguji NIP. 195912311986091004

Sekertaris Dr. Evi Purwanti, SH,LL.M Penata, III/c


Penguji NIP. 197402072005012002

Penguji I Dr. Budi Hermawan Bangun,SH,M.Hum Penata TK I,


NIP. 197901292003121001 III /d

Penguji II Arsensius, SH, MH Penata Muda


NIP. 197103112006041001 TK I,III/ b

BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK

NOMOR : 4888 / UN22.1/EP/2015


TANGGAL : 07 Oktober 2017

iv
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

karena atas limpahan rahmat, petunjuk dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini untuk dapat diajukan sebagai syarat dalam memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan

dari berbagai pihak baik berupa moril maupun materil, oleh karna itu dalam

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang

terhormat :

1. Prof.Dr. Thamrin Usman, DEA selaku Rektor Universitas Tanjungpura.

2. Bapak Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, S.H., M.Hum. selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura.

3. Bapak H.Azron Muflikin., S.H., M.H. selaku bagian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang telah

memberikan masukan dan pandangan serta saran dalam penyelesaian

skripsi ini.

4. Bapak Silvester Thomas, S.H.,M.Si. selaku Pembimbing Utama yang telah

menuangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan

memberikan masukan, pandangan yang berguna kepada penulis sehingga

skripsi ini selesai;

v
5. Bapak Erwin.,S.H.,L.LM selaku Pembimbing Pendamping yang pernah

meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan

masukan dan pandangan yang berguna serta memotivasi kepada penulis.

6. Ibu Evi Purwanti, SH.,LL.M selaku Pembimbing Pendamping yang pernah

meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan

masukan dan pandangan yang berguna serta memotivasi kepada penulis

sehingga skripsi ini selesai;

7. Bapak Dr. Budi Hermawan Bangun, S.H.,M.Hum selaku Penguji Utama

yang telah mengarahkan dan memberikan masukan, pandangan yang

berguna kepada penulis sehingga skripsi ini selesai;

8. Bapak Arsensius, S.H.,M.H selaku Penguji Pendamping yang telah

mengarahkan dan memberikan masukan, pandangan yang berguna kepada

penulis sehingga skripsi ini selesai;

9. Bapak Ahmad Zahari, S.H., M.Kn. selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan,

memberikan masukan dan pandangan yang berguna serta memotivasi dari

semester I sampai dengan semester akhir kepada penulis sehingga skripsi

ini selesai;

10. Seluruh Dosen dan staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Tanjungpura Pontianak yang telah mengajar dan membimbing penulis

selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Tanjungpura Pontianak;

vi
11. Seluruh staf Tata Usaha dan Administrasi Perpustakaan serta para

pegawai di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak;

12. Semua rekan-rekan se-angkatan yang tidak dapat disebutkan satu persatu

pada kesempatan ini, penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya atas bantuan yang telah diberikan.

13. Kepada sahabat-sahabat terdekat yang tidak akan bisa ku lupakan sampai

kapanpun : Arifidarto Muliawan, Renata Rezarania, Barir Baihaqi, Azmi

S.H, Cindy, Abdul Hakim dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan

satu persatu atas dukungan dan persahabatan kita yang telah berlangsung

lama, penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya atas bantuan yang diberikan.

14. Kepada kedua orang tua-ku tercinta, Kakanda dan Adinda, Hefni dwi

payana hidaya., Wira handayani hidayah dan Gustiar maulidan hidayat

yang telah banyak memberikan motivasi sehingga dapat menyelesaikan

penyusunan skrispi ini;

15. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam

penyusunan skripsi ini, namun tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu;

vii
Semoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi rekan-rekan

mahasiswa dan para praktisi yang terkait.

Akhirnya semoga karya ini dapat bermanfaat dan berguna bagi yang

memerlukannya, amin.

Pontianak, Oktober 2015

Penulis

Ilham Hidayat
NIM. A11110206

viii
ABSTRAK

Dengan adanya tindakan pembajakan penulis merasa perlu mengangkat


topik mengenai yurisdiksi negara, upaya penaggulangan pencegahan pembajakan
pesawat, yang mengacu pada ketentuan undang-undang mengenai pembajakan
pesawat tersebut.Dalam hubungannya dengan hukum internasional, yang
didalamnya ada batasan, namun demikian hanya bagi negara yang mempunyai
yurisdiksi menurut hukum internasionalPembajakan pesawat lebih sering terjadi
pada pesawat komersil atau pesawat sipil.Penentuan yurisdiksi berdasarkan
Hukum Internasional yang merujuk kepada Konvensi Internasional yang terdiri
dari tiga Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan
Konvensi Montreal tahun 1971.
metode yang dipergunakan dalam penelitian ini mempergunakan metode
pendekatan yuridis normatif yaitupenelitian yang dilakukan dengan mendasarkan
pada data kepustakaan atau data sekunder yang terkait dengan
permasalahanspesifikasi penelitian yaitu deskriptif analitis. tahap penelitian yaitu
kepustakaan, pengumpulan data, analisa data yang digunakan normatif kualitatif,
agar tujuan penelitian ini bisa terpenuhi.
.DenganmengambilcontohkasusWoylamakapenulismenarikkesimpulanbah
waterdapatbeberapayurisdiksidalamtindakpidanapembajakanpesawatterbangterseb
ut. Dengan menarik kesimpulan kasus pembajakan tersebut terdapat banyak
Yurisdiksi yang dimiliki negara ada bermacam-macam seperti yurisdiksi
legislative, yurisdiksi eksekutif, yurisdiksi administrative, yurisdiksi yudikatif,
yurisdiksi kriminal dan sipil, yurisdiksi personal, yurisdiksi universal.Adapun
yurisdiksi pidana adalah kewenangan hukum pengadilan suatu Negara terhadap
perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun
yang terdapat unsur asing di dalamnya,Bahwa negara berdaulat perlu melakukan
peningkatan kerjasama dengan negara lain untuk mencegah pembajakan pesawat
udara ini mengacu pada yurisdiksi yang terkait dalam pembajakan tersebut yaitu
yurisdiksi Negara bendara pesawat, yurisdiksi Negara tujuan pesawat, yurisdiksi
Negara transit, yurisdiksi Negara korban dan yurisdiksi Negara pelaku. Yang
berdasarkan Hukum Internasional yang merujuk kepada Konvensi Internasional
yang terdiri dari tiga Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun
1970, dan Konvensi Montreal tahun 1971 .

Kata Kunci : Pembajakan Pesawat , Yurisdiksinegara

ix
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

ABSTRAK ............................................................................................................... v

DAFTAR ISI ............................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. LatarBelakang.................................................................................. 1

B. Masalah Penelitian ........................................................................... 11

C. TujuanPenelitian .............................................................................. 11

D. KerangkaPemikiran ........................................................................ 12

1. Tinjauan Pustaka..........................................................................12

`2. Kerangka Konsep........................................................................19

E. Hipotesis .......................................................................................... 19

F. Metode Penelitian..............................................................................19

1. Bentuk Penelitian........................................................................20

2. T

ehnik Pengumpulan Data.........................................................21

3. M

etode Analisis..........................................................................21

BAB II TINJAUAN UMUM YURISDIKSI NEGARATERKAIT INDAK

PIDANA AKSI PEMBAJAKAN TINDAK PIDANA ERORISME

DALAM PENERBANGAN HUKUM INTERNASIONAL

x
A. Pengertian Yurisdiksi Negara ...........................................................22

1. .................................................................................................. P

rinsip Yurisdiksi Teritorial ........ .................................................25

2. .............................................................................................

Prinsip Teritorial Subjektif ............................................................26

3. .............................................................................................

Prinsip Teritorial Objektif.............................................................. 27

4. .............................................................................................

Prinsip Nasionalitas Aktif .............................................................. 27

5. ............................................................................................. P

rinsip Nasionalitas Pasif .............................................................. 28

6. .............................................................................................

Prinsip Universal ........................................................................... 29

B. Pengertian Pembajakan Pesawat ........................................................... 33

1. K

onvensi Tokyo 1963...................................................................37

2. K

onvensi The Hague 1970...........................................................40

xi
BAB III ANALISIS PENERAPAN YURISDIKSI BERDASARKAN

KONVENSI INTERNASIONALDALAM AKSI TINDAK

PIDANA PESAWAT PENERBANGAN

A. Implementasi Yurisdiksi Terhadap Pengaturan Tindak Pidana

Pembajakan Pesawat Terbang Berdasarkan Dari Konvensi

Internasional ..................................................................................... 46

1. Konvensi – KonvensiInternasionalKeamananPenerbangan ....... 46

2. Yurisdiksi Ekstradisi .................................................................. 55

B. Implementasi Yurisdiksi Terhadap Pengaturan Tindak Pidana

Pembajakan Pesawat Terbang Berdasarkan Perundang-

UndanganHukum Nasional Indonesia .............................................. 60

C. Yurisdiksi Dalam Tindak PidanaPembajakan Pesawat Terbang .. 68

1. ................................................................................................... Y

urisdiksi Negara Pesawat .................................................................... 72

2. ........................................................................................... Y

urisdiksi Negara Pelaku ............................................................. 74

3. ........................................................................................... Y

urisdiksi Negara Korban ........................................................... 79

4. ........................................................................................... Y

urisdiksi Negara Tujuan Pesawat .............................................. 80

5. ........................................................................................... Y

urisdiksi Negara Transit ............................................................ 81

xii
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 84

B. Saran ................................................................................................ 85

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

xiii
Perkembangan politik dan teknologi kemudian memunculkan

sejumlah ancaman yang memiliki efek besar bagi pertahanan negaranya.

Struktur dan model ancaman tindak pidana terus berkembang seiring dengan

perkembangan aktivitas politik, ekonomi, dan rekayasa teknologi di berbagai

Negara. Perkembangan ancaman ini termasuk salah satunya adalah

pembajakan pesawat. Banyak kejadian terutama setelah perang dunia ke II,

penerbangan sipil mengalami bentuk terorisme udara. Pembajakan pesawat

atau juga sering disebut Hi Jacking merupakan tindak pidana dimana adanya

pengancaman, bahkan menyebabkan kematian yang merampas hak asasi

manusia (HAM).1

Pembajakan pesawat lebih sering terjadi pada pesawat komersil atau

pesawat sipil dikarenakan pesawat komersil mampu membawa banyak

penumpang, terlebih lagi beberapa keunggulan moda wahana, yaitu

jangkauannya sangat jauh, kecepatannya yang tinggi dan mengangkut segala

jenis pelayanan barang, manusia bahkan hewan dari satu Negara ke Negara

lainnya dalam waktu singkat.

Tindakan pembajakan pesawat ini berupa kekerasan didalam pesawat,

sabotase di dalam pesawat ataupun memasukan barang illegal dengan tujuan

membahayakan penerbangan. Pembajakan pada pesawat komersil lebih

sering dilakukan karena adanya dampak psikologis dan politiknya besar

sekali karena penumpang biasanya terdiri dari berbagai bangsa dan Negara.

Berbagai macam cara dilakukan untuk menekan sedemikian rupa untuk

1
Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003

xiv
tindak pidana pembajakan pesawat ini, baik oleh masing-masing negara

maupun organisasi internasional. Oleh karena itu dibentuklah peraturan untuk

memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku tindak pidana

pembajakan pesawat, peningkatan kerjasama dengan negara lain untuk

mencegah terorisme udara, dan bahkan pada negara-negara maju sudah

diambil tindakan pencegahan seperti penghancuran organisasi yang dicurigai

sebagai pelaku dan otak terorisme udara.

Berbagai macam peraturan dalam menanggulangi pembajakan

pesawat dibuat oleh beberapa negara bahkan di sahkan oleh masyarakat

internasional, karena ini merupakan tindak pidana yang mana pelakunya

harus dihukum menurut undang-undang hukum pidana yang bersangkutan,

atau undang-undang yang berkenaan dengan tindak pidana pembajakan

pesawat.2 Pembajakan pesawat merupakan tindak pidana khusus yang

menjadi sorotan banyak pihak karena akibatnya menimbulkan banyak

kerugian baik materil maupun moril, dan yang paling penting adalah keadaan

psikologi penumpang yang dapat terguncang atau trauma setelah pembajakan

pesawat yang dialaminya. Pembajakan pesawat pada awalnya timbul karena

adanya tujuan politik, tetapi dengan berjalannya waktu dan semakin

berkembangnya kehidupan manusia maka pembajakan pesawat juga

dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi, misalnya meminta

sejumlah uang tebusan.3

2
Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003
3
K. Martono 2009, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama.

xv
Dalam Perkembangan tindak pidana seperti pembajakan pesawat ini,

ditemukan juga permasalahan dalam penanganan tindak pidana pembajakan

pesawat tersebut, yaitu hak dalam mengadili pelaku tindak pidana atau

yurisdiksi suatu negara dalam menangani pembajakan pesawat, serta

penerapan hukuman dan undang-undang yang berlaku mengenai pembajakan

pesawat .

Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara.4

Setiap Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu

yang ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai

implementasi dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan

ketentuan-ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan

ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan

dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara dalam

hukum internasional.

Yurisdiksi Negara dalam hukum internasional jelas berperan penting

dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk

menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu

peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau

teritorialnya.

4
Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003

xvi
Menurut hukum internasional, yurisdiksi diartikan the capacity of

state under international law to prescribe and enforce a rule of law (Robert

L./Boleslaw A., 1987:102).5

Kata Yurisdiksi berasal dari bahasa latin Secara etimologis berasal

dari kata yuris (1 hal kepunyaan hukum) dan dictio (ucapan/sabda/perkataan).

Secara harfiah adalah kepunyaan menurut hukum, kewenangan/hak menurut

hukum/kekuasaan menurut hukum.6 Kedaulatan (sovereignty) dalam

hubungannya dengan hukum internasional, yang didalamnya ada batasan,

namun demikian hanya bagi negara yang mempunyai yurisdiksi menurut

hukum internasional. Dalam hal ini pada prinsipnya yurisdiksi suatu negara,

terkait tidak saja dengan ketentuan hukum nasional masing-masing negara,

akan tetapi dengan hukum internasional yang berlaku. Bahwa negaralah yang

mempunyai wewenang terhadap benda, individu, atau melakukan tindakan

tertentu dari subyek hukum.

Berdasarkan pengertian diatas maka secara garis besar dapat diartikan

bahwa Yurisdiksi merupakan sebuah kewenangan suatu negara untuk

menetapkan dan menegakkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap orang,

benda maupun peristiwa hukum. Pada suatu perkembangannya yurisdiksi

negara mengalami perluasan tidak hanya terbatas pada yurisdiksi tertorialnya

saja melainkan mencakup yurisdiksi Negara yang bukan yurisdiksi territorial

(yurisdiksi ekstra territorial atau extra territorial jurisdiction) yang

eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi negara


5
http://irwansahaja.blogspot.com/2014/08/yurisdiksi-negara-dalam-hubungan.html
6
Bambang Widarto 2010, Hukum Udara (Hukum Udara Publik dan Perdata), (Jakarta: Diktat
FHUP, 2010), hal. 199.

xvii
di jalur tambahan, di ZEE, di landas kontinen, di laut bebas, di ruang angkasa

dan lain sebagainya.

Yurisdiksi yang dimiliki negara ada bermacam-macam seperti

yurisdiksi legislative, yurisdiksi eksekutif, yurisdiksi administrative,

yurisdiksi yudikatif, yurisdiksi kriminal dan sipil, yurisdiksi personal,

yurisdiksi universal dan lain sebagainya. Dari bukunya Starke dalam

Pengantar Hukum Internasional I, yurisdiksi dapat dikelompokkan menjadi;

a)Yurisdiksi teritorial

b)Yurisdiksi terhadap individu

c)Yurisdiksi menurut prinsip perlindungan

d)Yurisdiksi universal

Bahan dalam menentukan penetapan Yurisdiksi terkait tindak pidana

pembajakan pesawat udara penulis memilih salah satu contoh kasus dalam

dunia penerbangan, salah satu contoh tindak kejahatan dalam dunia

penerbangan yang pernah menimpa dunia penerbangan indonesia adalah

adanya kejahatan pembajakan pesawat yang terkenal dengan terorisme

“woyla”. Woyla adalah sebuah kasus penerbangan maskapai Garuda

Indonesia dari pelabuhan udara sipil Talangbetutu, Palembang ke Bandara

Polonia, Medan yang mengalami insiden pembajakan pesawat pada 28 Maret

1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan

mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok islam ekstremis “Komando

xviii
Jihad”7 Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari

jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke

Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan,

pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad

yang menyamar sebagai penumpang. Setelah mendarat sementara untuk

mengisi bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut

terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Mueang di

Bangkok, Muang Thai tanggal 31 Maret.

Imran bin Muhammad Zein yang merupakan warga negara Indonesia

sebagai pemimpin kelompok Komando Jihad yang melakukan peristiwa teror

ini menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca peristiwa Cicendo di

Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan. Dalam Peristiwa Cicendo, 14

anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada

11 Maret 1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad

ditahan dan terancam hukuman mati. Peristiwa pembajakan pesawat Garuda

DC-9 Woyla ini menjadi peristiwa terorisme bermotif “jihad” pertama yang

menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan

Indonesia.8

Dari kronologi diatas menjelaskan bahwa negara pelaku dalam tindakan

pembajakan pesawat diatas adalah negara indonesia dimana pelaku adalah

Imran bin Muhammad Zein yang merupakan warga Negara Indonesia

7
https://indocropcircles.wordpress.com/2014/08/14/operasi-woyla-1981-pembebasan-korban-
pembajakan-pesawat-garuda-di-thailand/
8
https://indocropcircles.wordpress.com/2014/08/14/operasi-woyla-1981-pembebasan-korban-
pembajakan-pesawat-garuda-di-thailand/

xix
sehingga berdasarkan sebuah analisis dari beberapa literatur menunjukkan

bahwa Konvensi mengandalkan secara eksklusif pada teritorial dan teori

kebangsaan untuk menetapkan kewenangan yurisdiksi.

Setiap pelanggaran yang telah terjadi di wilayah satu Pihak, di kapal

yang mengibarkan benderanya atau di dalam pesawat terbang yang terdaftar

di bawah undang-undang, adalah dituntut di Negara itu.

Dalam kasus woyla ada tiga negara yang terkait terhadap yurisdiksi

wilayah teritorial, yaitu adalah negara Indonesia dimana asal Negara Pesawat

merupakan Pesawat berbendera Negara Indonesia adalah pesawat Garuda

Indonesia, kemudian adalah Yurisdiksi Negara Malaysia diamana Negara

Malaysia merupakan Negara Transit Pesawat yang sedang dibajak oleh para

pelaku untuk melakukan Pengisian Bahan Bakar, dan selanjutnya adalah

Yurisdiksi negara Thailand dimana di Negara Thailand adalah Negara tujuan

dari Penerbangan pesawat tersebut yang kemudian di negara tersebutlah

terjadi pembebasan terhadap korban sandera atas pembajakan pesawat

Garuda Indonesia.

Dalam proses pembebasan terhadap sandera yang ditahan oleh pelaku

dimana sandera tersebut adalah warga negara Indonesia maka dalam proses

pembebasan inilah Indonesia berkordinasi dengan Negara Thailand untuk

melakukan pembebasan terhadap sandera oleh Kopaskha yang di pimpin oleh

Sintong Panjaitan dalam aksi pembebasan sandera.

Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan

berdimensi internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai

xx
negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun

negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah

memakan korban tanpa pandang bulu. Hal ini menyebabkan Perserikatan

Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat

tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain

menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan

kekerasan yang perlu mendapat perhatian. Menurut Muladi, terorisme

merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan

pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa

(Extraordinary Measure). Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang

menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi

hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk

yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara.9 Menurut Romli Atmasasmita

dalam perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik yurisdiksi

yang dapat mengganggu hubungan internasional antara negara-negara yang

berkepentingan di dalam menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya

yang bersifat lintas batas teritorial.10 Kejahatan terorisme menggunakan salah

satu bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat mengancam

ketentraman dan kedamaian dunia.

Yurisdiksi dapat dikatakan lahir dari suatu negara yang telah memiliki

kedaulatan. Pada prinsipnya suatu negara tidak akan memberlakukan

yurisdiksinya di wilayah negara lain atau di luar batas wilayahnya karena


9
http://www.scribd.com/doc/251725749/Tipisus-7-Tindak-Pidana-Terorisme#scribd
10
Romli Atmasasmita, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Rafika Aditama, Bandung,
hal 58.

xxi
semua negara yang berdaulat mempunyai persamaan yurisdiksi kecuali

ditentukan lain oleh hukum internasional.

Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Montevideo tentang Hak dan

Kewajiban Negara dalam pasal 3,4,5,8 dan 9 yang berbunyi sebagai berikut:

a) Pasal 3 : Keberadaan politik negara tidak tergantung dari pengakuan oleh

negara lain. Bahkan sebelum pengakuan negara memiliki hak untuk

membela integritas dan kemerdekaan, untuk menyediakan untuk

konservasi dan kemakmuran, dan akibatnya untuk mengatur sendiri seperti

melihat cocok, untuk mengatur atas kepentingannya, mengelola layanan,

dan untuk menentukan yurisdiksi dan kompetensi dari pengadilannya.

b) Pasal 4 : Amerika adalah yuridis sama, menikmati hak yang sama, dan

memiliki kapasitas yang sama dalam latihan mereka. Hak-hak masing-

masing tidak bergantung pada kekuatan yang dimilikinya untuk

memastikan latihan, tetapi pada fakta sederhana dari keberadaannya

sebagai orang di bawah hukum internasional.

c) Pasal 5 : Hak-hak dasar negara tidak rentan dari yang terpengaruh dengan

cara apapun.

d) Pasal 8 : Negara tidak berhak untuk campur tangan dalam urusan internal

atau eksternal yang lain.

e) Pasal 9 : Yurisdiksi negara dalam batas-batas wilayah nasional berlaku

untuk semua penduduk. Warga negara dan orang asing berada di bawah

perlindungan yang sama hukum dan otoritas nasional dan asing tidak dapat

xxii
mengklaim hak-hak lain atau lebih luas dari orang-orang dari warga

negara.11

Pelaksanaan hak-hak ini tidak memiliki batasan selain pelaksanaan

hak-hak negara-negara lain menurut hukum internasional. Negara merupakan

subjek utama dari hukum internasional, baik ditinjau secara historis yang

pertama-tama merupakan subjek hukum internasional pada awal mula lahir

dan pertumbuhan hukum internasional adalah negara. Peranan negara lama-

kelamaan juga semakin dominan oleh karna bagian terbesar dari hubungan

internasional yang dapat melahirkan prisip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum

negara. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan bagian

terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara.

Berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam menjaga keamanaan

warga negaranya dalam hal tindak pidana atau suatu kriminalitas yang terjadi

dalam suatu penerbangan yang melibatkan lintas batas suatu negara maka

yurisdiksi universal berlaku dalam hal tindak pidana kriminalitas dalam

pesawat terbang karena hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan aksi

terorisme. Sedangkan terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat

digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme

dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extraordinary crime” dan

dikategorikan pula sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime

against humanity”.12 Mengingat kategori yang demikian maka

11
http://yunandaputra.blogspot.com/2012/02/isi-perjanjian-montevideo.html
12
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tahun 2002, hal 8.

xxiii
pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa

sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan

atau penganiayaan. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman

atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-

milih siapa yang akan menjadi korbannya.

Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dan membahas masalah tersebut dalam bentuk tulisan

ilmiah (sekripsi) dengan judul :

“PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA TERHADAP TINDAK

PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT TERBANG YANG MELEWATI

LINTAS BATAS YURISDIKSI NEGARA”

B. Masalah Penelitian

Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian diatas, maka yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

“Bagaimana Penerapan Yurisdiksi Terhadap Pengaturan Tindak Pidana

Pembajakan Pesawat Terbang Berdasarkan Konvensi Internasional dan

Peraturan Perundang-Undangan Negara Indonesia”

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi penelitian dalam penulisan kripsi ini adalah :

1. Mengetahui dan memahami penerapan yurisdiksi negara terkait tindak

pidana pembajakan pesawat terbang berdasarkan Konvensi Internasional.

xxiv
2. Mengetahui aturan – aturan hukum di Indonesia mengenai tindak pidana

dalam kejahatan yang terjadi dalam pesawat terbang.

D. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka

Berbagai macam peraturan dalam menanggulangi pembajakan

pesawat dibuat oleh beberapa negara bahkan di sahkan oleh dunia, karena

ini merupakan tindak pidana yang mana pelakunya harus dihukum

menurut undang-undang hukum pidana yang bersangkutan, atau undang-

undang yang berkenaan dengan tindak pidana pembajakan pesawat.

Kualifikasi serupa tampaknya juga berlaku bagi tiga kasus pembajakan

pesawat di Indonesia. Aksi teror udara paling dramatis menimpa pesawat

DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia hari Sabtu 28 Maret 1981. Pesawat

dengan nomor penerbangan GA-206 itu dibajak dalam penerbangan dari

Palembang ke Medan, dan kemudian dipaksa mendarat di Penang,

Malaysia, dan selanjutnya ke Bandar Udara Don Muang Bangkok,

Thailand. Sebelum kasus pembajakan pesawat Woyla, dua kasus serupa

pernah mengguncang dunia penerbangan Indonesia, tetapi pesawat-

pesawat itu tidak dipaksa terbang ke luar negeri. Pembajakan pertama

menimpa pesawat Vickers Viscount milik Merpati Nusantara Airlines

tanggal 4 April 1971 dalam penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Drama

ini berakhir dengan tewasnya pembajak oleh tembakan.

xxv
Sekitar 5,5 tahun kemudian, pembajakan udara terjadi lagi.

Pesawat DC-9 Garuda dibajak seorang diri yang diidentifikasi sebagai

Triyudo (27 tahun). Dengan sebilah badik, karyawan sipil honorer TNI-

AU itu mulai beraksi dengan menyandera seorang pramugari dalam

penerbangan Surabaya-Jakarta tanggal 5 September 1977

Rangkaian aksi pembajakan udara itu disebut teror karena lebih

dari sekadar tindakan kekerasan. Teror atau terorisme tidak identik dengan

kekerasan. namun berkaitan dengan aksi tindak pidana dalam

penerbangan. Kajian instrumen hukum internasional pada skripsi ini akan

difokuskan pada ketiga konvensi ini saja, yakni Konvensi Tokyo tahun

1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal tahun

1971. Selain karena hanya ketiga konvesi ini saja yang dapat diberlakukan

secara internasional untukmengatur mengenai kejahatan dalam

penerbangan, ketiga konvensi ini pula yang dijadikan sumber utama dalam

pembuatan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang perubahan dan

penambahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana

bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan

pidana, kejahatan penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana/prasarana

penerbangan yang menambahkan beberapa pasal tentang kejahatan

penerbangan dan sarana/prasarananya di dalam KUHP.

Selain konvensi Chicago, Pada tahun 1963 diselenggarakan

Konvensi Tokyo 1963 (Convention on Offences and Certain Other Acts

Committed on Board Aircraft), yaitu konvensi yang mengatur tindak

xxvi
pidana dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan di dalam pesawat

udara. Tindakan dimaksud meliputi perbuatan yang merupakan

pelanggaran terhadap hukum pidana atau bukan tetapi mungkin dapat

mengganggu keamanan dan keselamatan penerbangan.

Kemudian pada tahun 1970 diselenggarakan Konvensi the Hague

1970 tentang “The Supression of Unlawful Seizure of Aircraft” (Konvensi

tentang Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan

Hukum). Pasal 1 Konvensi the Hague 1970 ini lazim disebut sebagai

kejahatan pembajakan pesawat udara (hijacking). Kemudian kejahatan

internasional dalam penerbangan ini diperluas dalam Konvensi Montreal

1971 tentang “The Supression o Unlawful Acts Against the Safety of Civil

Aviation” (Konvensi tentang Pemberantasan Tindakan-Tindakan Melawan

Hukum yang Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil), yang meliputi

perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam

penerbangan, merusak pesawat udara dalam dinas, menempatkan atau

menyebabkan ditempatkannya bahan peledak di dalam pesawat udara

dalam dinas, memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu yang

membahayakan keselamatan penerbangan.

Konvensi the Hague 1970, Konvensi Montreal 1971 dan Konvensi

Tokyo 1963 telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang usaha bersama antar Negara

untuk mencegah dan memberantas kejahatanpenerbangan dan tindak

pidana lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara. Kemudian melalui

xxvii
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 kejahatan internasional yang

bertalian dengan penerbangan tersebut dimasukkan dalam KUHP di

Indonesia . konvensi tokyo merupakan suatu kelanjutan dari konvensi

Chicago. Untuk dapat dikatakan tindak pidana dalam pasal 1 Konvensi

Tokyo 1963, harus memenuhi 4 unsur berikut:13

a. Dilakukan di dalam pesawat udara

b. Pesawat udara tersebut harus didaftarkan di negara peserta konvensi

c. Pesawat udara sedang berada dalam penerbangan di atas laut

lepas/bebas

d. Pesawat udara sedang berada di atas daerah lain di luar wilayah dari

suatu negara.

Konvensi Tokyo 1963 tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia

dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1976 dan ditindaklanjuti dengan UU

No. 4 Tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal

dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-

undangan pidana, kejahatan penerbangan, dan kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan. Sehubungan dengan hal tersebut Pasal 3

KUHP mengalami perubahan sehingga berbunyi: “Ketentuan pidana

dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di

luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air

atau pesawat udara Indonesia”.

13
Art 1 (2) Tokyo Convention 1963: “Except as provided in Chapter III, this Convention shall
applyin respect of offences committed or acts done by a person on board any aircraft registered in
a Contracting State, while that aircraft is in flight or on the surface of the high seas or of any
other area outside the territory of any State.”

xxviii
Mengenai negara mana yang berhak melaksanakan yurisdiksi

terhadap tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Konvensi

Tokyo 1963 ditetapkan pada negara di tempat pesawat udara tersebut

didaftarkan.14 Di samping negara tempat pesawat udara didaftarkan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, dibuka juga kemungkinan bagi

negara lain yang bukan negara pendaftar untuk melaksanakan yurisdikinya

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tindak pidana itu mempunyai akibat terhadap wilayah negara lain.

b. Tindak pidana telah dilakukan oleh atau terhadap seorang warga negara

atau penduduk tetap dari negara tersebut.

c Tindak pidana dilakukan terhadap keamanan dari negara tersebut.

d. Tindak pidana berupa pelanggaran terhadap setiap peraturan atau

ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan penerbangan atau

pergerakan pesawat udara yang berlaku dalam negara tersebut.

e. Pelaksanaan yurisdiksi adalah untuk menjamin dipenuhinya setiap

kewajiban dari negara tersebut menurut perjanjian internasional

multilateral.

Pasal 8 memberikan kewenangan kepada Kapten untuk

menurunkan penumpang atau orang yang membahayakan keselamatan

atau ketertiban di dalam pesawat udara. Kemudian pasal 8 memuat

wewenang dari kapten untuk menyerahkan terdakwa, apabila menurut

14
Art 3 (1) Tokyo Convention 1963: “The State of registration of the aircraft is competent to
exercise jurisdiction over offences and acts committed on board.”

xxix
pendapatnya perbuatan yang dilakukan dalam pesawat udara itu menurut

hukum pidana dari negara pendaftaran pesawat termasuk kejahatan berat.

Konvensi The Hague 1970, Convention for the Suppression of

Unlawful Seizure of Aircraft, yaitu konvensi yang mengatur

pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum. Pada

pokoknya konvensi ini mengatur tentang ruang lingkup tindak pidana dan

yurisdiksi.

Pasal 1, memberikan batasan mengenai kapan seseorang dianggap

telah melakukan perampasan pengendalian pesawat udara secara melawan

hukum, yaitu apabila seseorang tersebut telah melakukan tindak pidana di

dalam pesawat udara dalam penerbangan sebagai berikut:

a. Tindakan secara melawan hukum dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan, atau setiap bentuk ancaman lain dengan tujuan untuk

menguasai pesawat udara atau menguasai pengendalian pesawat

udara.15

b. Termasuk pula setiap orang yang membantu atau mencoba melakukan

tindakan tersebut.16

Dalam pasal 2, Konvensi The Hague 1970 diatur mengenai

ketentuan bahwa negara peserta konvensi diwajibkan untuk memasukkan

tindak pidana dalam konvensi dengan mengancamkan hukuman (ke dalam

hukum pidana nasionalnya). Selanjutnya pada pasal 6 ayat (3) menetapkan

15
Art 1 (a) The Hague Convention 1970: “Any person who on board an aircraft in flight:
unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises
control of, that aircraft, or attempts to perform any such act.”
16
Art 1 (b) The Hague Convention 1970: ”.... is an accomplice of a person who performs or
attempts to perform any such act commits an offence (hereinafter referred to as "the offence."

xxx
bahwa setiap negara peserta di dalam wilayah mana tersangka berada,

apabila terdapat cukup petunjuk wajib menahan tersangka atau mengambil

tindakan lannya itu jangan sampai tersangka melarikan diri. Penahanan

dan tindakan itu dilakukan sesuai dengan hukum negara yang

bersangkutan dengan ketentuan hanya boleh dilanjutkan sampai pada

waktu yang diperlukan untuk memungkinkan proses penuntutan atau

ekstradisi. Adapun dalam pasal 7 diatur mengenai ketentuan bahwa negara

peserta di dalam wilayah mana tersangka diketemukan, apabila negara

tersebut tidak mengekstradisi tersangka, wajib tanpa pengecualian apapun

apakah tindakan pidana itu dilakukan di dalam wilayahnya atau tidak

untuk mengajukan perkaranya kepada penguasa yang berwenang untuk

menuntut dengan cara-cara yang sama seperti dalam setiap tindak pidana

biasa yang serius menurut hukum dari negara yang besangkutan.

Selanjutnya dalam pasal 11 menetapkan bahwa setiap negara peserta

sesuai dengan undang-undang nasionalnya secepat mungkin melaporkan

kepada Perwakilan (Council) dari Organisasi Penerbangan Sipil

Internasional (International Civil Avation Organization), setiap keterangan

yang dimilikinya yang bersangkutan dengan kejahatan atau tindak pidana,

tindakan yang telah diambil terhadap penumpang dan pesawat udara yang

menjadi sasaran kejahatan pembajakan, tindakan yang telah diambil

terhadap tersangka dan proses-proses hukum yang telah dilakukan.

xxxi
2. Kerangka Konsep

Penerapan suatu hukum dalam suatu kejahatan lintas batas negara

tidak terlepas dari teritorial yurisdiksi. Kata yurisdiksi (jurisdiction)

berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu

kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan

menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan.

Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi

berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau

kewenangan menurut hukum.17

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai

jawaban sementara atas masalah penelitian yang harus dibuktikan

kebenarannya. Adapun rumusan hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :

“Bahwa penerapan yuridiksi negara terhadap tindak pidana pembajakan

pesawat terbang yang melewati lintas batas yuridiksi negara belum efektif”

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode yuridis normatif

yaitu meneliti dan mengkaji data sekunder berupa hukum positif dan

pelaksanaannya dalam praktek. Khususnya tentang tindak pidana kejahatan

17
Sefriani, Hukum internasional: suatu pengantar, Rajawali Pers, 2010, hal. 232

xxxii
dalam penerbangan yang melibatkan kewenangan negara dalam melakukan

penerapan hukum terkait masalah yuridiksi.

1. Bentuk Penelitian

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari

berbagai literatur-literatur dan pendapat para pakar hukum yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan

menelusuri data sekunder yang berupa :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

dan terdiri dari : (a) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu

pembukaan UUD 1945; (b) Peraturan Dasar : mencakup

diantaranya batang tubuh UUD 1945 berupa peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji,

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis

bahan-bahan hukum primer seperti hasil penelitian dan karya

ilmiah para ahli.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder seperti surat

kabar dan majalah, buletin dan internet.18

18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI PRESS, Jakarta, 1986, Hal. 25

xxxiii
2. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi

dokumentasi yaitu mengumpulkan dan menganalisis data sekunder

mengenai objek penelitian.

3. Metode Analisis

Metode yang digunakan adalah dengan Teknik Induktif yaitu :

dengan cara penyusunan / penarikan kesimpulan dengan metode pemikiran

yang bertolak dari kaidah khusus untuk menentukan kaidah yang umum.

Proses penalaran ini bergerak mulai dari penelitian dan evaluasi atas

fenomena-fenomena yang ada. Semua fenomena harus diteliti dan

dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah jauh ke proses penalaran

induktif.

Setelah data-data terkumpul, maka akan diinventarisasikan dan

kemudian diseleksi yang sesuai, untuk digunakan menjawab pokok

permasalahan penelitian ini. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif, untuk

mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Dalam menganalisis data

penelitian ini dipergunakan metode kualitatif, yaitu tata cara penelitian

yang menghasilkan data deskriptif analitis.

xxxiv
BAB II

TINJAUAN UMUM YURISDIKSI NEGARA TERKAIT TINDAK PIDANA

AKSI PEMBAJAKAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM

PENERBANGAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengertian Yurisdiksi Negara

Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata

yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti

kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti

ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak

bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut

hukum atau kewenangan menurut hukum.19

Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di

pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa

para pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the court” terhadap

anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata

jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan

istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun

demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan

kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau

peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau

kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara

19
Ibid., hal. 18.

xxxv
lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan

dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk

menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat

oleh Negara atau bangsa itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw

mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum

Negara terhadap orang, benda dan peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan

refleksi dari prinsip dasar kedaulatan Negara, persamaan derajat Negara dan

prinsip non intervensi.

Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat

menurut John O‟Brien, yaitu:

1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap

orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya

(legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction) ;

2. Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan

hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;

3. Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan

hukum (yudicial jurisdiction).20

Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas.

Menurut Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang

ketiga. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita

harta kekayaan dan lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst

merupakan powers of physical interference exercised by the executive. Contoh

20
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html

xxxvi
enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan

dan lain-lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang

dilakukan pengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, banda maupun

peristiwa tertentu.

Yurisdiksi21 merupakan salah satu tujuan utama konvensi Tokyo 1963.

Menurut pasal 3 ayat (1) konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yurisdiksi

terhadap tindak pidana pelanggaran maupun pidana kejahatan adalah negara

pendaftar pesawat negara. Berdasarkan ketentuan tersebut ternyata bahwa

konvensi Tokyo 1963 telah sepakat adanya unifikasi yurisdiksi. Unifikasi

demikian sangat penting sekali untuk mencegah terjadinya conflict of

jurisdiction.22

Hukum internasional publik tidak banyak membuat aturan atau

pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hukum

internasional publik lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang

berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut

perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum

internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya

memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :

21
Menurut hukun kebiasaan yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran terhadap tindak pidana
dalam pesawat udara terdiri dari territorial jurisdiction principle dan extraterritorial jurisdiction
principle. Hal yang terakhir ini meliputi active nationality jurisdiction principle, passive
nationality jurisdiction principle dan the universal jurisdiction principle.
22
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 50

xxxvii
1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial

Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap

kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya.

Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip

yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi

dalam Hukum Internasional. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu

Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan

perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya

sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana

suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan

pertimbangan:

a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban

sosialnya paling terganggu;

b. Biasanya pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan dilakukan;

c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga

proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif;

d. Seseoang Warga Negara Asing yang dating ke wilayah suatu

Negara dianggap menyerahkan diri pada system Hukum Nasional

Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran Hukum

Nasional di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada

hukum setempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah

(lawful) menurut system Hukum Nasional negaranya sendiri.

xxxviii
Dengan demikian, misalnya ketika seorang Warga Negara

Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan

ganja di sebuah hotel23

Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya

terhadap orang tersebut. Meskipun penting, kuat dan popular,

penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa

perkecualian yang diatur dalam Hukum Internasional dimana

Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun

suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang

dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Terhadap pejabat diplomatik negara asing

2. Terhadap negara dan kepala negara asing

3. Terhadap kapal publik negara asing

4. Terhadap organisasi internasional

5. Terhadap pangkalan militer negara asing

2. Prinsip Teritorial Subjektif

Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap

seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi

diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara lain. Dengan contoh kasus

Pembajakan pesawat Woyla dimana kejahatan terhadap tindak pidana

tersebut telah tejadi di wilayah negara Indonesia yang berakhir di Negara

23
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html

xxxix
tujuan yaitu Thailand sehingga berdasarkan prinsip ini Negara Indonesia

berhak menerapkan aturan hukum Negara Indonesia.

3. Prinsip Teritorial Objektif

Berdasarkan prinsip ini suatu Negara memiliki yurisdiksi terhadap

seseorang24 yang melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian di

wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip

teritorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal

Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki

tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis

karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah

ekstrateriotrial) Prancis.

Dalam kasus A di atas yaitu Teritorial Subjektif, Thailand juga dapat

mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah

menimbulkan kerugian yaitu dapat tehambatnya penerbangan di wilayah

tersebut sehingga dapat menyebabkan keugian materil di wilayah

Thailand, meskipun pembajakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.

4. Prinsip Nasionalitas Aktif

Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi baik

perbuatan itu dilakukan di dalam negeri maupun di luarnegeri, hal ini

merupakan asas nasional aktif atau prinsip personal., yakni apabila

24
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233.
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html

xl
warganegara Indonesia melakukan kejahatan meskipun terjadi di luar

Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, apabila

pelaku kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia

sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan warganegara Indonesia di

negara asing yang telah menghapus hukuman mati, maka hukuman mati

tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan.

5. Prinsip Nasionalitas Pasif

Berdasarkan prinsip negara Indonesia juga berkuasa melakukan

penuntutan terhadap siapapun juga di luar negara Indonesia juga terhadap

orang asing di luar Indonesia. Tolak pangkal pemikiran dari asas

perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi

kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya

adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara

saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, merupakan tindakan-

tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan Nasional

Indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan Nasional tersebut

ialah:

1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara

serta pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan

perang RI pada waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI

2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan negara

3. Keamanan perekonomian

xli
4. Keamanan uang negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan

Ripublik Indonesia.

5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;

Tindak pidana dapat juga diperlakukan terhadap kejahatan-

kejahatan yang bersifat merugikan kesalamatan internasional yang

terjadi di dalam daerah yang tak bertuan (daerah kutub, lautan

terbuka). Dalam hukum internasional diakui kesamaan hak dari setiap

negara yang berdaulat dan seakan-akan adanya satu negara dunia.

Selanjutnya dalam hukum internasional diakui pula suatu prinsip ini

bahwa terhadap mereka yang melakukan tugas perwakilan kenegaraan

diluar negerinya, kebal terhadap hukum dimana ia bertugas.

6. Prinsip Universal

Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk

mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa

memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya

prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh

seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan

diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara

terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.

Yurisdiksi universal dalam hukum internasional bertujuan untuk

memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu.

Pelaku serious international crime tanpa di bawah hukum internasional

xlii
yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang

diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa

dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.

Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan

beberapa cirri menonjol sebagai berikut:

a. Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal.

Frase “setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa25

bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif menyelamatkan

masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious

crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa

bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya

niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven

dalam wilayah negaranya.

b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak

perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku

juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain

dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang

akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat

dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang

diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak?

Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal

bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran

25
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233.

xliii
hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang

yang berada di wilayah Negara lain.

c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya

terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional

crime.

d. Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat

disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi

untuk mengisi kekosongan hukum dalam pelaksanaan yurisdiksi

terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi

universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak

memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan

yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri.

Kekosongan hukum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang

oleh hukum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan

yurisdiksi universal.26

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini

yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus

international crime menurut hakim Supreme Court Amerika Serikat

dalam Hostage Case adalah :

“an international crime is such an act universally recognized as

criminal, which is considered as agrave matter of international

26
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 233-234.
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html

xliv
concern and for some valid reason cannot be left within the state

that would have control over it under normal circumatances”

Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus

memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah

dirumuskan sebagai tindak pidana dalam semua system hukum

pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk (condemn)

perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak.

b. Tindak pidana itu harus memenuhi kriteria tertentu sebagai

international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh

umat manusia dan tindakannya bertentangan dengan kepentingan

umat manusia sehingga penegakan hukum internasionalnya harus

dilakukan, dengan melalui hukum kebiasaan internasional

maupun perjanjian internasional, dengan menghukum pelakunya.

c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat

internasional maka sangat beralasan untuk tidak hanya

memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang jika dalam

keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.

Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang

(war crime) dan piracy sebagai kejahatan internasional yang

kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404

Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of United States

menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy,

xlv
perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war

crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat

Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran hukum atau kebiasaan perang,

genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan

internasional yang memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi

ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran

pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977.

Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime, kejahatan

kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.

B. Pengertian Pembajakan Pesawat

Pengertian pembajakan Pesawat dapat dilihat dari berbagai konvensi

internasional terkait dengan pembajakan Pesawat. Salah satunya dalam hal ini

adalah Konvensi Tokyo 1963 yang merupakan suatu konvensi untuk mencegah

terjadinya pembajakan Pesawat terbang yang pada saat itu mulai marak terjadi

pembajakan udara. Konvensi yang sering disebut konvensi tentang pembajakan

udara tersebut dalam kenyataannya tidak pernah ada pengertian atau definisi

tentang pembajakan Pesawat terbang yang biasanya disebut dengan istilah

hijacking, skyjacking, air piracy, aerial piracy, aerial skyjacking, aircraft

hijacking, air banditisme maupun illegal diversion of aircraft. Salah satu

xlvi
pasal yang mengatur pembajakan udara terdapat dalam Pasal Konvensi Tokyo

1963. Dalam pasal tersebut digunakan istilah unlawful seizure of aircraft.27

Menurut Pasal 11 Konvensi Tokyo 1963, setiap tindakan melawan

hukum (unlawfully committed) yang mengganggu dalam pesawat terbang,

penguasaan atau pengambilalihan pesawat terbang dengan paksaan disebut

pembajakan udara. Berdasarkan pasal tersebut, pembajakan udara tidak hanya

penguasaan pesawat terbang secara melawan hukum, tetapi tindakan yang

mengganggu maupun pengambilalihan pesawat terbang juga termasuk

pembajakan udara.

Pada umumnya pembajakan udara dilakukan dengan kekerasan,

misalnya seseorang memukul kapten penerbang atau menembak kemudian

mengambil alih atau kadang-kadang mengancam penumpang dengan senjata

dan membunuh, melukai, tetapi tindakan tersebut dapat pula mencampuri obat

pada minuman kapten penerbang, kemudian setelah penerbang tidak sadarkan

diri, pesawat terbang diambil alih. Menurut pasal tersebut termasuk semua

perbuatan apa pun yang mengganggu dan berakibat terhadap pengambilalihan

pesawat terbang secara melawan hukum termasuk pembajakan udara.

Persyaratan pembajakan udara adalah tindakan tersebut dilakukan oleh

orang dalam pesawat terbang. Orang dalam arti yang secara alamiah (natural

person). Berdasarkan pengertian orang tersebut pembajakan dapat dilakukan

oleh penumpang, penumpang gelap (penumpang yang tidak dilengkapi dengan

dokumen perjalanan seperti tiket pesawat terbang) maupun awak pesawat


27
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 61

xlvii
terbang dan tindakan tersebut dilakukan dalam pesawat terbang yang sedang

dalam penerbangan (in flight). Yang dimaksudkan dengan in flight adalah

pada saat pesawat terbang dengan tenaga penuh siap untuk tinggal landas

sampai saat pesawat terbang melakukan pendaratan di ujung landas-pacu.

Pesawat terbang dengan tenaga penuh, bukan untuk tinggal landas tidak

termasuk in flight sehingga tidak berlaku Konvensi Tokyo 1963. Sementara itu,

pesawat terbang yang terpaksa mendarat di suatu bandar udara (airport) di luar

bandar udara tujuan akibat pembajakan masih termasuk in flight.

Suatu tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat terbang pada saat

pesawat terbang berada di darat atau di hanggar, tidak termasuk pembajakan

udara menurut Konvensi Tokyo 1963. Demikian pula apabila tindakan

melawan hukum tersebut dilakukan di luar pesawat terbang yang ditujukan

kepada pesawat terbang atau penumpangnya, juga tidak termasuk pengertian

pembajakan udara.28

Persyaratan berikutnya agar dapat disebut pembajakan udara adalah

tindakan tersebut harus melawan hukum. Apakah tindakan tersebut melawan

hukum atau tidak melawan hukum diukur dari hukum pidana nasional negara

pendaftar pesawat terbang. Oleh karena itu, apabila pemilik pesawat terbang

memerintahkan first officer (co-pilot) untuk mengambil alih pesawat terbang

dan kapten penerbang (pilot in command), maka tindakan tersebut tidak

termasuk pembajakan udara.

28
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 64

xlviii
Persyaratan selanjutnya tindakan tersebut dengan kekerasan atau

ancaman. Secara alamiah ancaman tersebut secara fisik dengan senjata atau

senjata api terhadap kapten penerbang atau awak pesawat terbang atau

penumpang lainnya agar kapten penerbang mengubah arah penerbangannya,

tetapi ancaman tersebut tidak selalu berupa ancaman fisik.

Apabila pembajak (dapat dilakukan oleh cabin crew) mencampur obat

pada minuman kapten penerbang, kemudian pembajak mengambil alih setelah

kapten penerbang tidak sadar, sebenarnya tidak termasuk pembajakan karena

tidak ada ancaman, tetapi hal ini ditafsirkan sedemikian sehingga hal itu

termasuk pembajakan udara, karena akibat akhir tindakan tersebut sangat

membahayakan keselamatan penumpang, awak pesawat terbang, pesawat

terbang, dan harta benda yang diangkut.

Sebenarnya tindakan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 11 Ayat

(1) Konvensi Tokyo 1963 juga merupakan tindak pidana pelanggaran

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf (a) konvensi yang sama. Tampaknya

tindakan melawan hukum yang tercantum dalam Pasal 11 Ayat (1) sengaja

dibedakan dengan tindakan hukum yang tercantum dalam Pasal 1 huruf (a),

karena tindakan melawan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 huruf a

bersifat umum, sedangkan tindakan melawan hukum sebagaimana diatur dalam

Pasal 11 Ayat (1) bersifat khusus.

Maksud pemisahan tersebut menurut Amerika Serikat dan Venezuela

agar memperoleh perhatian khusus untuk menjamin keselamatan penumpang,

awak pesawat terbang, pesawat terbang maupun harta benda yang diangkat.

xlix
Dalam pemberantasan kejahatan penerbangan, Perserikatan Bangsa-

Bangsa dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional telah mengeluarkan

berbagai resolusi, bahkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional

mengesahkan konvensi internasional, di antaranya Konvensi Tokyo 1963,

Konvensi Tha Hague 1970 dan Konvensi Montreal 199129.

Keterkaitan Konvensi Internasional Terhadap Pembajakan Udara :

1. Konvensi Tokyo 1963

Konvensi Tokyo 1963 yang biasa disebut konvensi tentang

Pembajakan Udara untuk pertama kalinya diusulkan oleh delegasi

Meksiko dalam konferensi tahun 1950 yang membahas konsep Legal

Status of Aircraft. Pembahasan Legal Status of Aircraft tersebut

diteruskan dalam konferensi ke-9 yang berlangsung di Rio De Janerio

dalam tahun 1953. Dalam konferensi ke-9 tersebut, Legal Committee

membentuk Legal Sub Committee yang ditugaskan untuk mempelajari

lebih lanjut. Dalam sidang Legal Committee yang berlangsung di Munich

tahun 1959, konsep Legal Status of Aircraft disusun secara terpisah dengan

konsep konvensi yang mengatur tindak pidana pelanggaran maupun

kejahatan dalam pesawat terbang yang berjudul Draft Convention on

Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft. Konsep

ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep sebelumnya karena

dalam konsep ini telah diatur prinsip yurisdiksi negara terhadap tindak

pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat terbang, hak, dan


29
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 47

l
kewajiban negara anggota, hak dan kewajiban kapten penerbang (pilot in

command), kekebalan hukum yang dimiliki oleh kapten penerbang beserta

awak pesawat, udara maupun penumpangnya yang mengambil langkah-

langkah yang diperlukan untuk perlindungan terhadap penumpang serta

disinggung ancaman hukuman ganda (double trial).30

Sepanjang menyangkut yurisdiksi, dalam sidang Munich tahun 1959,

telah dibahas yurisdiksi negara pendaftar pesawat terbang, yurisdiksi

negara pendaratan dan yurisdiksi teritorial. Dalam konsep tersebut

diusulkan negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana

pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat terbang adalah negara

pendaftar pesawat terbang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (1). Di

dalam konsep tersebut yurisdiksi yang dianut adalah negara bendera 31

seperti halnya dalam hukum laut yang telah diakui oleh hukum

internasional. Sebenarnya, prinsip negara bendera demikian telah

diusulkan oleh Paul Fauchille pada saat konferensi hukum udara

intenasional yang pertama kali di Prancis tahun 1910, demikian pula dalam

tahun 1937 telah disarankan pula oleh Ede Visscher.

Pasal 48 Konvensi Tokyo 1963 diatur yurisdiksi negara pendaftar

pesawat terbang. Dikatakan apabila negara tersebut bukan negara

pendaftar pesawat terbang tidak akan melakukan yurisdiksi tindak pidana

30
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 46
31
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 49

li
pelanggaran maupun kejahatan di dalam pesawat terbang, kecuali tindak

pidana pelanggaran maupun pidana tersebut berpengaruh kepada

wilayahnya atau tindak pidana tersebut mengganggu keamanan nasional

atau langkah-langkah tertentu sangat diperlukan untuk melaksanakan

ketentuan hukum internasional yang berlaku. Oleh karena itu, negara

bukan pendaftar pesawat terbang maupun negara pendaratan pesawat

terbang tidak dapat melakukan yurisdiksi terhadap tindak pidana

pelanggaran maupun kejahatan di dalam pesawat terbang.

Setelah konsep hasil sidang Munich dalam tahun 1959 memperoleh

tanggapan dan berbagai negara dan organisasi internasional lainnya, Legal

Committee memerintahkan Legal Sub Committee untuk mempelajari

semua masukan sebagai bahan penyempurnaan konsep konvensi.

Berdasarkan masukan dari berbagai negara anggota dan organisasi

internasional tersebut, konsep sidang Munich dalam tahun 1959

disempurnakan di Roma dalam sidangnya tahun 1962 dengan judul ”Draft

Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board

Aircraft”.32

Penyempurnaan konsep hasil sidang yang berlangsung di Roma

tahun 1962 tersebut antara lain mengenai ne bis in idem. Kerentuan ne bis

in idem yang semula tercantum dalam konsep hasil sidang Munich tahun

1959 dihapuskan dan ditambah ketentuan hijacking of aircraft yang

32
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 48

lii
semula tidak terdapat dalam konsep hasil sidang Munich tahun 1959.

Konsep hasil sidang Roma 1962 merupakan bahan konferensi diplomatik

di Tokyo 1963. Konferensi diplomatik yang dihadiri oleh 61 negara

anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan 5 organisasi

Internasional tersebut telah berhasil mengesahkan konvensi lnternasional

yang berjudul Convention on Offences and Certain Other Acts Committed

on Board Aircraft yang ditandatangani tanggal 14 September 1963.

Penandatanganan konvensi tersebut merupakan puncak keberhasilan

Legal Committee yang telah disiapkan sejak tahun 1950.

2. Konvensi The Hague 1970

Dalam rangka pemberantasan tindak kejahatan penerbangan,

khususnya pembajakan udara, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional

menyelenggarakan sidang umum di Buenos Aires pada bulan September

1968 serta menyerukan agar negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil

Internasional segera meratifikasi Konvensi Tokyo 1963. Sementara itu,

Sidang Umum Organisasi Penerbangan Sipil Internasional

menginstruksikan Dewan Harian Organisasi Penerbangan Sipil

Internasional untuk segera mempelajari instrumen hukum guna

memberantas penguasaan pesawat terbang secara melawan hukum. Dalam

bulan Desember 1968, dengan menunjuk resolusi sidang Umum

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, meneruskan kepada Komite

Hukum (Legal Committee) minta agar Ketua Komite Hukum membentuk

liii
Sub-Komite Hukum Penguasaan Pesawat terbang Secara Melawan Hukum

(Unlawful Seire of Aircraft).

Menurut Sub-Komite Hukum salah satu cara untuk mencapai

tujuan tersebut adalah menciptakan instrumen hukum internasional di

antara negara-negara anggota. Sub-Komite Hukum telah merumuskan

instrumen hukum dengan mengakomodasi pengertian pembajakan udara,

yurisdiksi, ekstradisi, dan lain-lain yang kemudian diedarkan kepada

seluruh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional beserta

organisasi-organisasi internasional lainnya

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional menyiapkan instrumen

hukum tentang pemberantasan penguasaan Pesawat terbang secara

melawan hukum, International Law Association (ILA) juga membahas

masalah dampak penguasaan pesawat terbang secara melawan hukum dan

pengaruhnya terhadap hukum penerbangan sipil internasional Dalam

sidangnya ke-53 tahun 1968 pada bulan Agustus 1968, ILA juga

membentuk Committee on Piracy (Sea and Air) untuk mempelajari

model „instrumen hukum internasional yang menampung pembajakan

udara (air piracy) dengan perompakan kapal laut (sea piracy). Dalam

sidangnya Committee on Piracy di The Hague tahun 1970,

merekomendasikan asimilasi antara pelanggaran-pelanggaran dalam

pesawat terbang (hijacking) maupun perompakan (sea piracy) dapat

dikenakan ancaman hukuman dengan mengacu prinsip-prinsip hukum

internasional umum (general principles recognized by civilized nations).

liv
Rekomendasi tersebut mengatakan pembajakan udara (hijacking)

maupun perompakan kapal laut (sea piracy) dapat diancam hukuman. Oleh

karena itu, semua negara wajib menghukum pelaku di mana pun kejahatan

tersebut berada dan berlangsung. Resolusi tersebut juga

merekomendasikan setiap pembajakan udara harus diekstrasikan sesuai

dengan perjanjian dan hukum nasional masing-masing negara. Namun

demikian, konferensi ILA mengesahkan resolusi yang menolak

rekomendasi Committee on Piracy. Dalam resolusinya ILA juga

merekomendasikan kepada Komite Hukum agar prinsip-prinsip umum

yang berlaku pada hukum internasional juga sebagai pertimbangan dalam

merumuskan instrumen hukum tentang penguasaan pesawat terbang secara

malawan hukum.

Berdasarkan hasil studi Sub-Komite Hukum Organisasi

Penerbangan Sipil Internasional, rekomendasi ILA maupun Perserikatan

Bangsa-Bangsa serta organisasi-organisasi internasional lainnya,

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengadakan konferensi

diplomatik pada bulan Desember 1970 yang diselenggarakan di The

Hague Belanda. Konferensi diplomatik yang dihadiri oleh 77 negara dan

12 organisasi internasional tersebut mengesahkan konvensi yang berjudul

“Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft” pada

angga1 16 Desember 1970 dengan mayoritas suara tanpa perlawanan dan

dua negara abstein.

lv
Konvensi Montreal 1 Mei 1991 yang berjudul “Convention on the

Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection” lahir sebagai

akibat peledakan pesawat terbang Boeing 747 milik Pan American

Airways yang menewaskan tidak kurang dari 259 penumpang termasuk

awak pesawat terbang di dekat Skotlandia yang dikenal sebagai kasus

Lockerbie 1988. Pesawat terbang tersebut diledakkan dengan bom plastik.

Bom plastik tersebut merupakan persenyawaan kimia, tidak berbentuk,

tidak berbau, tidak berwarna, tidak mampu diditeksi dengan detector

paling canggih saat ini, namun mempunyai daya ledak yang sangat dasyat.

Pengesahan konvensi tersebut merupakan titik puncak instrumen hukum

pemberantasan pembajakan udara. Kedua konvensi internasional tersebut

merupakan instrumen yang saling mengisi kekurangan masing-masing.

Dengan lahirnya Konvensi The Hague 1970 lebih memantapkan

kekurangan Konvensi Tokyo 1963 dalam hal keterkaitan konvensi tersebut

terhadap pembajakan udara.ditemukan oleh warga negara Zechoslovakia

yang dikenal dengan istilah SEMTEX. Berdasarkan kasus tersebut

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional menciptakan konvensi

internasional guna mencegah terulangnya peledakan serupa.

Dalam sidang Dewan Harian Organisasi Penerbangan Sipil

International yang ke-126 tanggal 30 Januari 1989, Presiden Dewan

Harian Organisasi Penerbangan Sipil Internasional memerintahkan Dewan

Harian untuk membentuk Panitia Ad Hoc Penemuan Peledakan

(Detection of Explosive). Setelah dibentuk Panitia Ad Hoc Penemuan

lvi
Peledakan rapat diselenggarakan pada tanggal 6-10 Maret 1989 di

Montreal. Berdasarkan hasil rapat Panitia Ad Hoc Penemuan Bahan

Peledak, Dewan Harian Organisasi Penerbangan Sipil Internasional

tersebut pada bulan Mei 1989 memerintahkan ketua Komite Gangguan

Melawan Hukum agar menyusun ”Persiapan Instrumen Hukum

Internasional Baru Mengenai Bentuk Penandaan atau Lempengan

Peledakan untuk Penemuan” dimasukkan dalam program kerja Komite

Hukum dengan prioritas tinggi.

Tanggal 14 Juni 1989, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-

Bangsa mengesahkan Res.635 (1989) yang mendorong organisasi

Penerbangan Sipil Internasional lebih mengintensifkan program kerjanya

untuk mencegah semua tindakan terorisme terhadap penerbangan sipil,

khususnya menciptakan tatanan hukum internasional untuk penandaan

bahan peledakan untuk identifikasi. 33

Berdasarkan Res. DK Res.635 (1989) tersebut, Dewan Harian

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional menyusun program kerja baru

dengan “Preparation of a new legal instrument regarding the marking of

explosives for detect ability”. Dalam Sidang Umum ke-27 Organisasi

Penerbangan Sipil Internasional tahun 1989 Delegasi Zechoslovakia dan

Inggris menyampaikan konsep resolusi yang berisikan Penandaan

Peledakan untuk Identifikasi. Resolusi tersebut disahkan oleh Sidang

Umum Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dengan pengarahan


33
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 117

lvii
agar segera mengadakan sidang Komite Hukum (Legal Committee) dan

jika mungkin pada pertengahan awal tahun 1990 dapat dilangsungkan

konferensi diplomatik untuk membahas konsep Konvensi tentang

Penandaan Bahan Peledakan untuk Identifikasi (Convention on the

Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Detection). Dalam Sidang

Umum tahun 1989, IFALPA mengusulkan “Status Hukum Pesawa Udara

(the Legal Status of Aircraft)” diprioritaskan dalam program kerja Komite

Hukum, tetapi usul tersebut ditolak oleh Sidang Komisi Hukum.Dalam

sidang ke-128 tanggal 14 November 1989, Dewan Harian Organisasi

Penerbangan Sipil Internasional menyetujui program kerja Komite Hukum

(Legal Committee) Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan

membentuk Sub-Komite ukum Khusus menyelenggarakan sidang di

Montreal tanggal 9-19 Januari 1990 untuk menyiapkan konsep instrumen

hukum mengenai Penandaan Peledakan untuk Identifikasi. Sidang Komite

Hukum ke-27 mengagendakan pembahasan “Persiapan Instumen Hukum

Baru Mengenai Penandaan Peledakan untuk penemuan (Preparation of a

new legal instrument regarding the marking of explosive for detectability)”

lviii
BAB III

ANALISIS PENERAPAN YURISDIKSI BERDASARKAN KONVENSI

INTERNASIONAL DALAM AKSI TINDAK PIDANA PESAWAT

TERBANG

A. Implementasi Yurisdiksi Terhadap Pengaturan Tindak Pidana

Pembajakan Pesawat Terbang Berdasarkan Dari Konvensi Internasional.

1. Konvensi – Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan

Kajian instrumen hukum internasional dalam tindak pidana

penerbangan pada skripsi ini akan difokuskan pada ketiga konvensi ini

saja, yakni Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970,

dan Konvensi Montreal tahun 1971. Selain karena hanya ketiga konvesi ini

saja yang dapat diberlakukan secara internasional untuk mengatur

mengenai kejahatan dalam penerbangan, ketiga konvensi ini pula yang

dijadikan sumber utama dalam pembuatan Undang-undang Nomor 4

Tahun 1976 yang menambahkan beberapa pasal tentang kejahatan

penerbangan dan sarana/prasarananya di dalam KUHP. Beberapa sumber

bahkan menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketiga

konvensi ini sesungguhnya merupakan tindak pidana terorisme.34

Dalam konteks kerjasama multilateral mengenai pencegahan tindak

pidana terorisme, Indonesia terlibat dalam ASEAN – Republic of Korea

34
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.

lix
Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism,

ASEAN – Pakistan Joint Declaration for Cooperation to Combat

International Terrorism, dan ASEAN – New Zealand Joint Declaration

for Cooperation to Combat International Terrorism, serta yang paling baru

adalah dalam ASEAN Summits pada Januari 2007 juga telah diresmikan

melalui penandatanganan kesepakatan ASEAN Convention on Counter

Terrorism. Dengan peningkatan kerjasama tersebut diharapakan akan

dapat meningkatkan keberhasilan dalam penanggulangan dan pencegahan

terorisme. Disamping dalam forum tersebut, Indonesia juga aktif dalam

forum APEC yang secara rutin mengadakan Counter Terrorisme Task

Force (CTTF). Sebuah forum ekonomi yang juga selalu membahas tentang

penanganan terorisme.

Namun, akhir penentuan kategori kejahatan yang diatur lewat

ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang

kepada undang-undang yang dibuat oleh masing-masing negara

peratifikasi. Usaha-usaha untuk mendefinisikan terorisme sudah nampak di

dunia internasional setidaknya sejak tahun 1937. Pada tahun 1937, Liga

Bangsa-bangsa sebenarnya sudah merumuskan defenisi terorisme kedalam

suatu konvensi sebagai „‟All criminal acts directed agains a State and

intended or calculated to create astate of terror in the minds of particular

persons or a group or the general public.‟‟ Namun draft konvensi ini tidak

pernah disetujui, sehingga definisi ini tidak pernah dipakai.35

35
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi

lx
Konvensi-konvensi internasional yang mengkategorikan rumusan

kejahatan yang diaturnya sebagai tindak pidana terorisme, sesungguhnya

banyak yang telah dibuat, misalnya kejahatan pembajakan pesawat udara

dan pembiayaan kegiatan teroris. Berbagai lembaga internasional maupun

regional sudah mengeluarkan produk-produk hukumya untuk menjelaskan

defenisi terorisme tersebut.

Namun, permasalahan sesungguhnya dari konvensi-konvensi ini

adalah penerapannya. Kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam

konvensi-konvensi tersebut sebenarnya baru dapat disebut sebagai tindak

pidana terorisme atau bukan tergantung pada persetujuan Negara-negara

peratifikasi di dalam undang-undangnya masing-masing. Ini dikarenakan

belum adanya definisi menyeluruh mengenai terorisme itu sendiri yang

tentunya dapat diterima oleh semua Negara, dan bahkan hingga kini

Perserikatan Bangsa-Bangsa masih mencoba mencari rumusan defenisi

yang tepat.36

Konvensi-konvensi tersebut adalah :

a. Konvensi Tokyo

Konvensi Tokyo yang dibuat tanggal 14 September 1963 di Tokyo ini

diprakarsai oleh Internasioanal Civil Aviation Organization ( ICAO).

Ini lahir dari keinginan dunia untuk mengkriminalisasikan tindak

pidana dalam penerbangan yang makin marak, yang pada waktu itu

Chicago 1944 tentang Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7


December 1944.
36
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 157

lxi
secara internasional belum dianggap sebagai kejahatan. Tujuan dari

konvensi ini adalah mengkriminalisasikan tindakan-tindakan yang

terjadi di dalam pesawat udara yang dapat membahayakan

keselamatan penumpang dan barang di dalam pesawat udara tersebut,

dan ini merupakan konvensi pertama yang mengikutsertakan secara

formal kewenangan internasional terhadap tindak kriminal para

pembajak.

Di dalam konvensi ini yang utama diatur adalah mengenai

masalah yurisdiksi Negara atas sebuah pesawat udara yang dibajak,

suatu hal yang sebelumnya sering dijadikan bahan perdebatan antar

Negara mengenai kewenangan suatu Negara atas suatu pesawat udara

yang dibajak di atas laut bebas, wilayah internasional, atau di dalam

wilayah negara asing. Konvensi Tokyo menganut prinsip „‟law of the

flag‟‟, artinya yang memiliki yurisdiksi terhadap pelanggar di dalam

pesawat udara adalah Negara di mana pesawat tersebut didaftarkan

atau Negara bendera pesawat tersebut (pasal 3). Namun prinsip ini

dapat dikecualikan oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal 4 konvensi

tersebut, yakni apabila suatu Negara yang mendapatkan suatu pesawat

udara berbendera asing dibajak di dalam wilayah mereka dan dapat

berpengaruh terhadap keamanan Negara tersebut, maka Negara ini

dapat mengambil langkah-langkah untuk mengamankan pesawat

udara tersebut.

lxii
Kemudian mengatur pula kewenangan seorang komandan

pesawat udara (kapten pilot) untuk dapat memastikan kondisi

keamanan pesawat udara, dengan memberikan kewenangan-

kewenangan yang belum pernah ada sebelumnya. Kewenangan ini

antara lain adalah menahan tersangka dan menurunkan tersangka di

Negara anggota (peserta konvensi Tokyo), hal ini merupakan

kewenangan kepolisian yang dapat dipergunakan kapten pilot

manakala ada indikasi kuat keselamatan penerbangan terancam dan

tidak ada aparat kepolisian yang dapat melakukan kewenangannya.

Mengenai tindak kejahatan yang diatur di dalam konvensi ini, selain

mengatur tindakan-tindakan melawan hukum yang membahayakan

keselamatan penumpang, pesawat udara, barang serta tata tertib

penerbangan, juga mengatur tindakan pengambilalihan pesawat udara

secara melawan hukum atau yang biasa disebut sebagai pembajakan

pesawat udara.

Dari Pasal 11 Konvensi Tokyo yang mengatur tentang

pembajakan, unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1. Pesawat udara tersebut harus dalam penerbangan;

2. Pelaku pembajakan harus ada dalam pesawat udara;

3. Perbuatan tersebut harus melanggar hukum;

4. Adanya paksaan atau ancaman paksaan.

Hal yang harus diperhatikan dalam Konvensi Tokyo ini adalah

konvensi ini dirancang utuk mewajibkan Negara peratifikasi agar

lxiii
dapat menolong komandan pesawat udara (kapten pilot)

mengamankan pesawat udaranya dari gangguan pembajakan dan

kejahatan lainnya yang diatur dalam konvensi ini. Namun tidak

mewajibkan negara tersebut untuk menghukum apalagi

mengekstradisi pelaku pembajakan ke Negara bendera pesawat udara

tersebut. Hal inilah yang menjadi kelemahan konvensi ini.

b. Konvensi Den Haag

Konvensi The Hague atau Konvensi Den Haag diberlakukan di

Den Haag, Belanda tanggal 16 Desember 1970. K. Martono

mengatakan bahwa konvensi Den Haag memiliki lingkup keberlakuan

lebih luas, dan juga memiliki ketentuan tentang ekstradisi yang lebih

tegas dibandingkan Konvesi Tokyo.37 Selain itu, ketentuan di

dalamnya juga memperbarui defenisi tindakan pembajakan dalam

pesawat udara dan mengamanatkan pula hukuman yang berat bagi

pelakunya kepada Negara-negara peratifikasi.38 Sayangnya „‟hukuman

yang berat‟‟ ini tidak didefinisikan dalam konvensi ini, hal mana yang

disesalkan oleh beberapa kalangan, dan menciptakan suatu

ketidakseragaman dalam penghukuman bagi pelaku di masing-masing

Negara meratifikasi Pasal 1 Konvensi Den Haag ini berbunyi sebagai

berikut : „‟Any person who on board an aircraft in flight : (a)

37
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.
38
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 95

lxiv
unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of

intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts

to perform any such act, or (b) is an accomplice of a person who

performs or attemps to perform any such act commits an offence (

hereinafter reffered to as „‟the offence‟‟

Perbedaan yang mencolok dari definisi ini dibandingkan dengan

definisi yang dimiliki oleh Konvensi Tokyo adalah adanya

penambahan ketentuan bahwa seseorang yang membantu terjadinya

pembajakan pesawat udara, dianggap melakukan tindak pidana yang

sama dengan orang yang dibantunya.

Sama halnya seperti Konvensi Tokyo, konvensi inipun

menyimpan kelemahan. Satu diantaranya adalah Konvensi Den Haag

ini tidak mengkriminalisasikan kejahatan penyabotasean suatu

pesawat udara. Kebutuhan pemidanaan atas kejahatan sabotase ini

makin mendesak manakala pembajakan atas pesawat udara berkurang

tetapi angka sabotase terhadap fasilitas bandar udara dan peledakan

pesawat udara dengan bom yang didesain meledak pada saat pesawat

udara terbang makin meningkat.

c. Konvensi Montreal

Namun hal ini akan diperbaiki lewat Konvensi Montreal. Juga

mengenai percobaan tindak pidana, percobaan atas kejahatan yang

dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 Konvensi Montreal, dianggap

melakukan kejahatan :

lxv
„‟Any person also commits an offence if he: (a) attempts to commit

any of the offences mentioned in paragraph 1 of this Article…‟‟

Kejadian 11 September 2001 kembali mengingatkan

orang betapa rapuh moda transportasi ini disalahgunakan demi

kepentingan kriminal atau politik tertentu. Badan Penerbangan

Internasional dan Nasional serta tidak ketinggalan badan dunia seperti

PBB juga urun rembuk membuat konvensi dan perangkat hukum

melawan terorime udara yang meresahkan ini. Terorisme pada

pesawat udara atau dapat disebut sebagai terorisme udara merupakan

salah satu bentuk tindak pidana atau bentuk kejahatan yang cukup
39
serius terlebih lagi bila sampai memakan korban. Terorisme udara

merupakan masalah pada aspek keamanan penerbangan. Pengertian

terorisme sendiri banyak ragamnya tetapi dari pengertian kata

dasarnya teror yaitu menimbulkan ketakutan kepada orang lain,

atau dapat diambil kesimpulan pengertian terorisme adalah

praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk

menimbulkan ketakutan dalam mencapai suatu tujuan entah

politik, uang, dan sebagainya. Dalam konteks ini maka

pengertian terorisme udara merupakan segala usaha untuk

melakukan tindakan teror pada wahana udara terutama sipil.

Tindakan ini dapat berupa tindakan kekerasan di dalam

pesawat udara, pembajakan pesawat udara, sabotase terhadap

39
Angkasa, Majalah Bulanan,”11.000 Kecelakaan Pesawat Tercatat Pada Abad 20 Lalu”,
No.4 Januari 2000

lxvi
pesawat udara, ataupun memasukan barang-barang berbahaya

kedalam pesawat secara ilegal dengan tujuan membahayakan

penerbangan, bahkan melakukan tindakan-tindakan terorisme.

Melihat definisi dan contoh diatas maka segala bentuk

terorisme udara juga merupakan salah satu bentuk tindak pidana pada

pesawat udara. Mengapa terorisme terhadap pesawat udara lebih

sering terjadi pada pesawat komersial atau pesawat sipil Ini dapat

terjadi dikarenakan pesawat komersial mampu membawa banyak

penumpang, terlebih lagi beberapa keunggulan moda wahana ini yaitu

jangkauannya yang sangat jauh, kecepatannya yang tinggi, dan segala

jenis pelayanan barang, manusia bahkan hewan dari satu negara ke

negara lain dapat sampai dalam waktu yang singkat. Penerbangan

sipil juga menjadi target empuk terorisme karena bentuknya yang

non-combat atau sebagai pihak lemah. Dari beberapa “keunggulan”

tersebut maka sangat sering dilakukan tindakan terorisme udara

terlebih lagi dampak psikologis dan politisnya besar sekali karena

penumpang bisa terdiri dari berbagai bangsa dan negara.

Berbagai cara dilakukan untuk menekan sedemikian rupa

untuk tindak kriminal ini. Baik oleh negara maupun dunia sangat

mengutuknya, oleh karena itu dibentuklah hukum-hukum unuk

memberikan hukuman yang sangat berat bagi pelaku terorisme

udara, peningkatan kerjasama dengan negara lain unuk mencegah

terorisme udara, dan bahkan pada negara-negara maju sudah diambil

lxvii
tindakan pencegahan seperti penetrasi dan penghancuran

organisasi yang dicurigai sebagai pelaku dan otak terorisme udara.

2. Yurisdiksi dan Ekstradisi

Penentuan masalah yurisdiksi saat ini merupakan hal yang sulit.

Apalagi bagi beberapa negara yang tidak memiliki instrumen hukum

yang mengaturnya serta tidak menjadi anggota Konvensi dan anggota

badan penerbangan dunia. Umumnya peristiwa terjadi diluar

wilayah negara dimana pesawat itu akan mendarat dan juga

kepintaran para pelaku memanfaatkan kelemahan hukum dan prinsip

hukum angkasa negara tertentu. Prinsip-prinsip yang didasarkan pada

Hukum Angkasa dan Hukum Internasional adalah prinsip

kebangsaan korban, prinsip kebangsaan pelaku pembajak dan teroris,

prinsip efektif dan prinsip dimana pesawat mendarat.

Pelaku kejahatan ini merupakan tindak pidana yang sangat

berat dan besar harapan dari masyarakat Internasional untuk

mendapatkan keadilan lewat hukum dan konvensi yang berlaku terlebih

lagi menurut pandangan mereka, kejahatan sepeti ini dikatakan

sebagai international crime. Ekstradisi kepada para pelaku sering

tidak dimungkinkan karena ada kalanya antara kedua atau beberapa

negara tidak memiliki perjanjian mengenai ekstradisi tersebut. Masalah

ini terpecahkan pada Konvensi Den Haag dengan mengklasifikasikan

sebagai extraditible offence sehingga bila tidak ada perjanjian maka

lxviii
keputusan konvensi ini menjadi dasar yang sah untuk menyerahkan

para pelaku kepada negara-negara yang meminta penyerahannya untuk

diadili.

Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara.

Dari sudut ilmu bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah

kekuasaan tertinggi atas pemeritahan negara, daerah, dan sebagainya.

Dalam konteks ilmu tata negara, Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan

dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat

dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di

bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses perkembangan lebih

lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara.40

Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut,

akan tetapi pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan

negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang

kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan negara bersifat relatif

(Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional,

negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati

hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara

lain.

Berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin

menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus

dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang

40
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu,
Yogyakarta 2011 hal 8

lxix
dinamakan negara. Ia juga menyatakan bahwa kedaulatan tersebut

mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai41 :

1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain;

2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat

membatasi kekuasaannya

3. Bersifat abadi atau kekal;

4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi

saja;

5. Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan

merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut

berdaulat, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya

kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar

wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian.42

Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai

sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah

tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional

maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu

negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta

tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada

41
Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996 hal 89
42
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta,
Jakarta.2010. hal 7

lxx
masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki

dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum internasional.

Mengenai konsep „keamanan nasional‟ yang intinya adalah

“kemampuan negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti

(core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-

menerus, dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang

ada serta melingkupi semua aspek kehidupan.43

Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam Pasal I dinyatakan bahwa

setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and

exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari

pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan

yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah: (1).

Setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh

atas ruang udara nasionalnya (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di

ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau

sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan

negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.

Setiap negara memiliki banyak macam permasalahan yang berkaitan

dengan yurisdiksi dan ektradisi yang pada akhirnya memunculkan

keberadaan pemberontak sebagai akibat adanya suatu masalah atau

pertentangan dalam negeri suatu negara berdaulat. Bentuk perlawanan,

pertikaian, ketimpangan kesepahaman maupun hal-hal yang menjadi titik

43
Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik
Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun. hal 89

lxxi
permasalahan yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak adalah selanjutnya

menjadi tanggung jawab sebuah negara. Pemberontakan dapat

menimbulkan berbagai akibat maupun dampak bagi keselamatan dari

negara yang bersangkutan sehingga menjadi kapasitas sebuah negara untuk

menemukan titik tengah dan jalan keluar dari permasalahan tersebut.44

Ada kalanya pemberontakan yang muncul menyebabkan kekacauan

(chaos), seperti memiliki perlengkapan persenjataan terlarang, jatuhnya

korban jiwa dan pemberontakan tersebut terus-menerus mengalami

perkembangan, seperti yang terjadi di beberapa belahan dunia yang

berujung kepada perang saudara dengan akibat-akibat diluar

perikemanusiaan serta melanggar hak-hak asasi manusia.

Gerakan separatis yang terjadi di berbagai belahan dunia

sesungguhnya telah merembet dan mengarah kepada peperangan

menyangkut ranah internasional dan menimbulkan gencatan-gencatan

senjata serta konflik yang berkepanjangan. Pihak-pihak pemberontak turut

memperhatikan aturan-aturan hukum perang, mengingat kegiatan-kegiatan

yang diluncurkan mencapai titik keberhasilan dengan menduduki secara

efektif dan membentuk otoritasnya sendiri.

Kekacauan akibat gerakan pemberontakan tidak menutup

kemungkinan akan meluas ke negara-negara lain dan menimbulkan

kerugian baik secara materil maupun korban jiwa. Masalah kemanusiaan

merupakan masalah universal dalam sistem internasional. Perlindungan di

44
http://menarailmuku.blogspot.com/2012/12/sejarah-dan-sumber-hukum-udara-air-law.html

lxxii
balik hukum domestik semata untuk menghindari tekanan internasional

tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat dalam sistem internasional,

sorotan dari masyarakat internasional tidak dapat dihindari, dan negara

yang mengalami gerakan separatis di dalamnya tidak dapat menyelesaikan

chaos yang berkepanjangan tanpa adanya turut campur dan bantuan dari

dunia internasional.45

B. Implementasi Yurisdiksi Terhadap Pengaturan Tindak Pidana

Pembajakan Pesawat Terbang Berdasarkan Perundang-Undangan

Hukum Nasional Indonesia

Indonesia meratifikasi ketiga konvensi tersebut menjadi Undang-

Undang (UU) No.2 tahun 1976, yang menjadikan Indonesia secara langsung

terikat oleh ketentuan-ketentuan pada ketiga konvensi tersebut. Dengan kata

lain Indonesia berhak melaksanakan hal yurisdikasi bila hukum nasional

belum mengaturnya. Sedangkan untuk hukum pidana, sebelum tahun 1976

tidak berlaku tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara Indonesia

yang sedang terbang diluar wilayah Indonesia. Lalu Indonesia memperluas

berlakunya hukum pidana Indonesia sehingga berlaku terhadap pesawat udara

yang berada diluar wilayah Indonesia dalam bentuk UU No. 4 tahun 1976

yakni Undang-undang tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal

dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) Bertalian dengan Perluasan

Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejhatan

45
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung 1978.pengantar
hukum Internasional, Buku I, Bag Umum, Binaciptra, Bandung, 1981.

lxxiii
Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

Beberapa Pasal dalam KUHP ini ada pada Pasal 479 KUHP.

Sangat jelas terlihat pada Pasal 479 Kitab UU Hukum Pidana

(KUHP) mengambil ketentuan pada Konvensi Montreal bahkan dapat

diambil bandingannya. Pasal 479 yang dimaksud adalah :

1. Pasal 479 a s/d 479 d mengatur tindak pidana yang dilakukan pada fasilitas

penerbangan, sedangkan pada Konvensi tercantum pada Pasal 1

ayat 1 d.

2. Pasal 479 e s/d 479 h mengatur tindak pidana menghancurkan,

mencelakakan, membuat tidak dipakainya pesawat udara, baik sengaja atau

kealpaan, menimbulkan kebakaran, ledakan, kecelakaan, kehancuran,

dan sebagainya terhadap pesawat udara dengan maksud mencari

keuntungan untuk dirinya sendiri atas kerugian penanggungan asuransi.

Dapat dibandingkan dengan jelas Pasal 1 ayat 1 b Konvensi Montreal.

3. Pasal 479 l mengenai tindak pidana sengaja melakukan kekerasan

terhadap seseorang dalam pesawat udara yang sedang berada dalam

penerbangan. Tercantum pula pada Pasal 1 ayat 1 a Konvensi Montreal.

4. Pasal 479 n mengatur penempatan alat atau bahan peledak yang dapat

menghancurkan pesawat udara dalam dinas. Hal ini tercantum pada Pasal 1

ayat 1

5. Pasal 479 p yang berisi memberikan informasi yang tidak benar

yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan yang juga sesuai

dengan Pasal 1 ayat 1 e.

lxxiv
Indonesia pada tanggal 31 Maret 1976 telah meratifikasi ketiga konvensi,

Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970 dam Konvensi Montereal

1971 seperti yang telah diundangkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1976

( LNRI No. 18 tahun 1976 ). Kemudian pada tanggal 27 April 1976 telah

melengkapi Undang-Undang Pidananya dengan Undang-Undang No. 4 tahun

1976 ( LNRI No. 26 tahun 1976 ). Selanjutnya pengertian pembajakan udara

dalam hukum di Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang No. 4 Tahun

1976 tentang “Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya

Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan

Kejahatan Terhadap Sarana/Prasana Penerbangan”, yang berlaku pada tanggal

26 April 1976 telah menambah sebuah bab baru setelah Bab XXIX Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dengan Bab XXXX A tentang kejahatan

penerbangan. Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana

penerbangan dimuat dalam pasal 479 huruf a sampai dengan huruf r KUHP.

Dengan demikian tindak pidana yang memenuhi rumusan pasal yang termuat

dalam Bab XXIX A atau pasal 479 a sampai dengan pasal 479 r KUHP disebut

tindak pidana penerbangan. Memenuhi rumusan delik dalam undang-undang

artinya perbuatan konkrit dan si pembuat itu harus mempunyai sifat atau ciri-

ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-

undang. Perbuatan itu harus masuk dalam rumusan delik itu.

Dalam hal ini yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1976

terdapat penambahan sebuah Bab baru, Bab XXIX A. Buku II. Bab baru ini

lxxv
mengatur kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana

penerbangan, terdiri atas 18 Pasal ialah Pasal 479 A sampai dengan Pasal 479

R.

Ban XXIX A ini dalam Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana ( baru ) telah dirubah menjadi Bab XXX Buku II, terdiri atas 18

Pasal ialah Pasal 589 sampai dengan Pasal 606.

Ada tiga hal yang diatur dalam Naskah Rancangan Undang-Undang yang

terakhir ini ialah :

1. Perubahan dan penambahan Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 Buku I dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Penambahan tiga pasal baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

sesudah Pasal 95 Buku I Bab XIX ialah Pasal 95 a , 95 b , 95 c.

3. Penambahan sebuah Bab baru ialah Bab XXIX A Kitab Undang- Undang

Hukum Pidana Buku II setelah Bab XXIX buku II, Bab baru ini mengatur

kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana

penerbangan yang terdiri atas 18 Pasal yaitu Pasal 479 a sampai Pasal 479 r.

Mengenai perubahan dan penambahan Pasal 3 menegaskan sebagai

berikut : Ketentuan Pidana dalam Perundang-undangan Indonesia berlaku

setiap orang yang di luar Wilayah Indonesia melakukan tindak Pidana di dalam

kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

Pasal 3 ini dalam naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana 1991/1992 ini dalam Pasal 4 menegaskan sebagai berikut : Ketentuan

Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap

lxxvi
orang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak Pidana dalam kendaraan air

peswat udara atau pesawat ruang angkasa Indonesia. Pasal tersebut diatas

merupakan perluasan dari asas teritorial mengenai berlakunya Undang-Undang

Pidana menurut tempat yang diatur dalam Pasal 2 KUHP. Dalam hubunganya

dengan Pasal 3 KUHP ini perlu pula diketahui, apakah yang dimaksudkan

dengan pesawat udara itu.

Menurut Pasal 95 (a) KUHP sebagai berikut :

1. Yang dimaksud dengan "Pesawat udara Indonesia" adalah pesawat udara

yang didaftarkan di Indonesia.

2. Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang

disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan

Indonesia.

Menurut Sudarto46 reclaksi dan susunan Pasal ini kurang baik. Bahkan

Pasal ini membuat orang ragu, apakah Pasal ini mempunyai dua ayat atau dua

sub, selanjutnya dikatakan hanya ada dua sub, sebab Pasal ini hanya terdiri dari

satu kalimat yang berarti Pasal ini hanya merupakan satu ayat. Susunan

kalimatnya kurang baik karena dua kali disebut istilah "pesawat udara

Indonesia", lebih-lebih penyebutan kedua tanpa tanda petik. Menurut Sudarto

lebih baik Pasal tersebut berbunyi :

Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah

a. Pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia atau

46
Sudarto, Kepala Sekolah Hukum Pidana. Penerbit Alumni, Bandung, 1968, hal. 17-18.

lxxvii
b. Pesawat udara Asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh

perusahaan penerbangan Indonesia.

Mengenai pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia ini telah diatur

secara tegas di dalam Pasal 1 point 4 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan yang berbunyi : Pesawat udara

Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan dan mempunyai tanda

pendaftaran Indonesia.

Mengenai pesawat udara asing yang disewakan tanpak awak pesawat

dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia diatur didalam Pasal

9 ayat 2 sub b pada Undang-Undang yang sama, yaitu pesawat yang dimiliki

oleh warga negara asing atau badan hukum asing dioperasikan oleh warga

negara Indonesia. Atau badan hukum Indonesia untuk jangka pemakaiannya

minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan perjanjian sewa beli,

sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya mengenai perubahan ketentuan

dalam KUHP menyangkut Pasal 4 ayat 4 berbunyi sebagai berikut :

Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444 sampai

dengan Pasal 446, tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan

kendaraan air kepada kekuasan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang

penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf i, m, n dan

o tentang kejahatan mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Perubahan ketentuan dalam KUHP menyangkut Pasal 4 ayat 4 ini di

dalam Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana, dimana perubahan

dan penambahan dilakukan karena mungkin sudah tercakup pada Pasal 10 ayat

lxxviii
1 dan Pasal 4 ayat 4 KUHP ini mengandung asas universal, pada dasarnya

berarti bahwa siapa saja dan dimana saja orang melakukan perbuatan yang

memenuhi rumusan delik-delik yang disebut dalam Pasal 4 ayat 4 ini dapat

dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Indonesia. Penambahan dalam

Pasal ini ialah yang menyangkut kejahatan penerbangan yang tersebut dalam

Pasal 479 j, 479 i sampai dengan 479 o. Dalam hal ini yang dilindungi oleh

hukum pidana tidak hanya kepentingan Negara Indonesia akan tetapi

kepentingan Internasional. Dengan demikian asas ini juga disebut asas

penyelenggaraan ketertiban hukum dunia. Disini yang dititik beratkan adalah

perbuatannya. Sifat perbuatan itu dan dimana perbuatan itu dilakukan.

Mengenai penambahan tiga Pasal baru dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana sesudah Pasal 95 ialah Pasal 95 b dan 95 c KUHP. Pasal 95 a

KUHP mengenai pengertian pesawat udara seperti telah diuraikan di halaman

depan, erat kaitannya dengan masalah pembajakan pesawat udara; hanya saja

Pasal ini dalam Naskah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( baru ) telah

dirubah kedalam redaksi Pasal 152 menegaskan : Pesawat udara Indonesia

adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia termasuk pesawat udara

asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan

penerbangan Indonesia. Pasal 95 b KUHP mengenai pengertian dalam

penerbangan juga penting berkaitan dengan masalah pembajakan pesawat

udara. Bersama dengan Pasal 95 c KUHP telah dirubah masing-masing

kedalam Pasal 153 dan 154, Naskah Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (

baru ) dengan bunyi redaksi yang hampir sama.

lxxix
Pasal 95 b KUHP menegaskan : Yang dimaksud dengan " dalam

penerbangan " adalah sejak saat semua pintu luar pesawat ditutup setelah

naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan

penumpang (disembarkasi). Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan

dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil

alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.

Demikian pula Pasal 95 c KUHP menegaskan : Yang dimaksud dengan "

dalam dinas " adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan oleh awak

darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu hingga setelah 24

jam lewat sesudah setiap pendaratan.

Menurut Starke disamping konsep mengenai pesawat udara "dalam

penerbangan", para perumus Konvensi Montreal memandang perlu

memperkenalkan konsep sebuah pesawat udara "dalam dinas" ( in service )

oleh karena kejahatan penerbangan tidak hanya terbatas pada pesawat udara

dalam penerbangan.47

Lebih lanjut Starke mengatakan, sebuah pesawat udara dianggap

sedang "dalam penerbangan" pada waktu sejak semua pintu keluar ditutup

menyusul naiknya penumpang sampai saat pintu tersebut dibuka untuk

menurunkan penumpang atau selama jangka waktu pendaratan darurat

menunggu dilakukannya kontrol oleh pihak yang berwenang.

D. Yurisdiksi Dalam Tindak Pidana Pembajakan Pesawat Terbang

47
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika. Jakarta,1992, hal.
310.

lxxx
Pada penelitian, kita fokus pada yurisdiksi dalam proses penerapan

kepemilikan hukum negara mana yang berhak jika terjadi tindak pidana dalam

penerbangan. Sehingga penulis menganalisis bentuk-bentuk yurisdiksi terkait

proses tindak pidana dalam kejahatan pesawat terbang.

.Ketika undang-undang baik pun konvensi internasional dalam hal

mengatur yurisdiksi dalam kasus tindak pidana penerbangan sangatlah terbatas

sehingga dalam penelitian ini difokuskan pada prinsip-prinsip yang ada

yurisdiksi sangatlah sedikit kasus hukum tentang tindak pidana pembajakan

pesawat terbang yang tersedia, yurisdiksi yang mengatur baik terhadap lintas

batas dan hal-hal lainnya.

"Yurisdiksi" mencakup beberapa konsep kedaulatan, termasuk

yurisdiksi untuk membuat, yurisdiksi untuk mengadili, dan yurisdiksi untuk

menegakkan.48

1. Yurisdiksi untuk membuat adalah otoritas entitas yang berdaulat "untuk

membuat hukumnya berlaku untuk kegiatan, hubungan, atau status orang,

atau kepentingan pribadi. Oleh tindakan eksekutif atau perintah, dengan

aturan administrasi dari pengadilan. "

2. Yurisdiksi untuk mengadili adalah entitas berdaulat otoritas "untuk subjek

orang atau badan untuk proses pengadilan atau pengadilan administratif

"untuk tujuan menentukan apakah hukum preskriptif telah dilanggar.

3. Yurisdiksi untuk menegakkan adalah otoritas entitas berdaulat "untuk

menginduksi atau memaksa kepatuhan atau menghukum ketidakpatuhan

48
restatement ( third ) dari Foreign Relations Law dari United States 401 (1987).

lxxxi
dengan hukum atau peraturan, baik melalui pengadilan atau dengan

menggunakan eksekutif, administratif, polisi, atau lainnya tindakan non-

judisial.

Dalam hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian

pembajakan di laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi

Jenewa l958 dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa l958

dalam Pasal l5 merumuskan pembajakan di laut yaitu bahwa :49 Pembajakan

terdiri dari salah satu tindakan berikut: 1) Setiap tindakan ilegal kekerasan,

penahanan atau tindakan penyusutan, berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh

awak atau penumpang kapal swasta atau pesawat pribadi, dan diarahkan: a) Di

laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap orang atau

properti di atas kapal atau pesawat udara. b) Terhadap kapal, pesawat udara,

orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun. 2)

Setiap tindakan partisipasi sukarela dalam operasi pesawat terbang dengan

mengetahui fakta yang membuatnya menjadi bajak laut-kapal atau pesawat

udara.

Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang

disebutkan di sub-ayat (1) atau sub-ayat (2) pasal ini. Berdasarkan ketentuan di

atas, maka unsur esensial dari kejahatan pembajakan adalah :

49
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978, hal
224-225

lxxxii
(1). Pembajakan harus menggunakan suatu kapal untuk membajak kapal lain.

Hal ini untuk membedakan dengan tindakan pemberontakan anak buah

kapal terhadap kapalnya sendiri;

(2). Locus delictinya dilakukan di laut lepas. Di samping itu rumusan tersebut

diatas ternyata lebih luas cakupannya dibandingkan dengan definisi yang

telah dikemukakan secara teoritis tersebut .

Hal itu disebabkan rumusan dalam konvensi ini melibatkan juga pesawat

udara dan memasukkan delik penyertaan serta delik pembantuan.

Dalam Pasal 101 KHL 1982, menjelaskan tentang definisi dan ruang

lingkup pembajakan di laut sebagai berikut: Pembajakan di laut terdiri atas

salah satu di antara tindakan berikut ini:

1).Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap

tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak

kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan

dilakukan:

(a) Di Laut Lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap

orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara;

(b) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat

di luar yurisdiksi negara manapun.

lxxxiii
2) Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal

atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya menjadi

suatu kapal atau pesawat udara pembajak;

Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional. Secara garis

besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan

pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu Negara

terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya

perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana

ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek

yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi

pidana adalah kewenangan hukum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-

perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang

terdapat unsur asing di dalamnya.

Bahwa negara berdaulat perlu melakukan peningkatan kerjasama dengan

negara lain untuk mencegah pembajakan pesawat udara ini mengacu pada

yurisdiksi yang terkait dalam pembajakan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Yurisdiksi Negara Bendera pesawat udara

Di dalam hukum internasional setiap pesawat udara sipil yang

digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai

tanda pendaftaran dan kebangsaan (nationality and registration mark). 28

Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara menggunakan prinsip

lxxxiv
pendaftaran tunggal. Tidak ada pesawat udara secara resmi diakui

mempunyai pendaftaran ganda (dual registration)50 sehingga pesawat

udara dapat didaftarkan bilamana telah dihapuskan pendaftaran

sebelumnya. Pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional

harus menampilkan (display) tanda pendaftaran dan kebangsaannya

sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Konvensi Chicago 1944. Konvensi

Chicago 1944 tidak mengatur persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur

dalam Konvensi Paris 1919. Menurut konvensi Chicago 1944 prosedur

dan tata cara serta persyaratan pendaftaran pesawat udara diatur

berdasarkan hukum dan regulasi hukum nasional negara yang

bersangkutan. Oleh karena itu, dapat terjadi perbedaan persyaratan

pendaftaran pesawat udara dari satu negara ke negara yang lain.

Persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara di

Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan Pesawat udara memperoleh tanda

kebangsaan dan pendaftaran dari negara tempat pesawat udara didaftarkan.

Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan

mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat

didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban

sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional.

Pesawat udara yang telah memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan

50
Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.

lxxxv
mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan bila melakukan

penerbangan dalam negeri maupun penerbangan internasional. Sebaliknya

pesawat udara tersebut mempunyai kewajiban mematuhi semua hukum

dan regulasi penerbangan nasional maupun internasional. Sebagai warga

negara dari negara tempat didaftarkan, pesawat udara juga sebagai subjek

hukum internasional. Dengan demikian, pesawat udara juga harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal pesawat udara51

melakukan pelanggaran hukum, maka pesawat udara tersebut dapat disita

oleh negara yang bersangkutan. Pesawat udara harus mempunyai tanda

pendaftaran dan kebangsaan.

Demikian pula pesawat angkasa maupun kapal laut. Hal ini berbeda

dengan kendaraan darat. Kendaraan darat tidak wajib mempunyai tanda

pendaftaran dan kebangsaan. Dahulu sebelum tahun 1926 ada konvensi

internasional yang mengharuskan pendaftaran dan kebangsaan kendaraan

darat, tetapi sesudah tahun 1926, tidak ada konvensi yang mengharuskan

kendaraan darat mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan.

Pendaftaran kendaraan darat yang sekarang ada bukan untuk memperoleh

tanda pendaftaran dan kebangsaan, tetapi untuk keperluan statistik

kriminal, dan administrasi bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan

kebangsaan. Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil

Internasional mempunyai kewajiban melaporkan pendaftaran pesawat

51
Pasal 20 Konvensi Chicago 1944

lxxxvi
udara didaftarkan di negara tersebut. Di samping itu, atas permitaan negara

lain, negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil.52

Internasional juga mempunyai kewajiban untuk memberi tahu

pesawat udara yang didaftarkan dengan kepemilikannya. Setiap pesawat

udara yang melakukan penerbangan international harus dilengkapi

sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration mark).

Dalam hal pesawat udara yang terbang internasional tidak dilengkapi

dengan sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, merupakan

pelanggaran hukum nasional maupun hukum internasional.

2. Yurisdiksi Negara Pelaku

Yurisdiksi merupakan sebuah kewenangan suatu negara untuk

menetapkan dan menegakkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap

orang, benda maupun peristiwa hukum. Perkembangan yurisdiksi negara

mengalami perluasan yang tidak hanya terbatas pada yurisdiksi

teritorialnya saja, melainkan mencakup yurisdiksi negara yang bukan

yurisdiksi teritorialnya (yurisdiksi ekstra teritorial atau extra territorial

jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari hukum internasional.

Pembajakan pesawat merupakan salah satu tindak pidana pelanggaran

maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara.

52
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944

lxxxvii
Pelaku pembajakan pesawat memberikan dampak kerugian baik

materil maupun moril pada suatu negara, Pembajakan pesawat juga timbul

karena adanya beberapa motif yaitu :

1) Motif terorisme

Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam

bentuk gerakan yang terorganisasi. Dewasa ini terorisme

mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang bertujuan

untuk mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun

internasional. Terkait dengan penerbangan nasional maupun

internasional, terorisme juga muncul dengan motif yang beragam,

salah satunya adalah peristiwa pembajakan maskapai penerbangan


53
Garuda Indonesia pesawat DC-9 yang dikenal dengan terorisme

Woyla. Peristiwa pembajakan terorisme itu bermotif “jihad” yang

dilakukan oleh komando jihad Imran bin Muhammad Zein dan

menjadi satu-satunya peristiwa peristiwa bermotif “jihad” pertama

yang menimpa maskapai penerbangan Indonesia, sehingga pada

akhirnya perlu diatur hukum terhadap tindak pidana pelanggaran

kejahatan dalam pesawat udara serta diambil tindakan-tindakan

selama penerbangan berlangsung.

2) Motif pemberontakan

53
http://akbarkurnia.blogspot.com/2011/06/berlakunya-yurisdiksi.html

lxxxviii
Secara umum, pemberontakan adalah penolakan terhadap

otoritas yang dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari

pembangkangan sipil hingga kekerasan terorganisir yang berupaya

meruntuhkan otoritas yang ada. Orang-orang yang terlibat dalam

suatu pemberontakan inilah yang disebut sebagai “pemberontak”.

Dalam kasus pembajakan pesawat udara, pemberontak memiliki

hubungan yang erat dengan terorisme. Dalam pelaksanaannya,

mereka melakukan tindak kekerasan terhadap seseorang, merusak

pesawat udara dan lain sebagainya yang mengancam dan

membahayakan keselamatan penerbangan. Motif yang mereka

gunakan juga bermacam-macam, seperti tidak mau berkoporasi dan

bekerja sama kepada pihak individu, instansi atau pemerintahan

(anti-pemerintahan). Pada kasus pesawat DC-9 Woyla yang

bermotifkan “jihad”, para pemberontak ini menuntut agar para

rekan pimpinan Imran bin Muhammad Zein selaku komando jihad

dibebaskan pasca peristiwa cicendo di Bandung, Jawa Barat.

3) Motif individu

Pelaku pembajakan pesawat udara, selalu mengalami

evolusi sehingga diperlukan penanganan yang lebih oleh Negara

nasional dan internasional dalam menanggulangi dampak dari

bentuk kekerasaan, intimidasi, sabotase, dll yang bersifat

merugikan. Pelaku pembajakan pesawat udara tidak hanya meliputi

suatu kelompok tapi juga individu yang memiliki motif

lxxxix
pembunuhan, pembantaian, penculikan, kejahatan yang

berhubungan dengan senjata api bahkan peledakan dengan bahan

peledak yang digunakan untuk kejahatan berakibat kematian atau

kerusakan berat pada harta benda.

4) Motif mencari suaka

Menurut hukum kebiasan internasional, suaka diberikan

kepada kejahatan yang timbul atau akibat perbedaan pendat dari

kegitan – kegiatan politik. Di dalam perkembangannya banyak

Negara yang memperluas pengertian kejahataan politik, termasuk

pembajakan udara sehingga pelaku pembajakan udara tidak selalu

mendapat diekstradisikan. Adanya perdebatan yang hebat

mengenai ekstradisi pembajakan dalam forum perserikatan Bangsa-

Bangsa tahun 1969 dan 1970 membuktikan bahwa mayoritas

Negara anggota perserikatan Bangsa-Bangsa berpendapat bahwa

setiap Negara tempat pembajakan berada mempunyai hak untuk

menentukan apakah akan memberikan suaka politik

mengekstradikan. Hal ini merupakan prerogatif dan tidak boleh

diganggu gugat walaupun Negara-negara anggota mengakui

pembajakan dapat diekstradisikan, ekstradisi tetap harus diatur

berdasarkan hukum nasional masing-masing Negara.

Perkembangan tindak pidana seperti pembajakan pesawat ini,

ditemukan juga permasalahan dalam penanganan tindak pidana pembajakan

xc
pesawat tersebut, yaitu hak dalam mengadili pelaku tindak pidana atau

yurisdiksi suatu negara dalam menangani pembajakan pesawat, serta

penerapan hukuman dan undang-undang yang berlaku mengenai pembajakan

pesawat

Kepada pelaku tindak pidana dalam pembajakan pesawat udara masih

meperoleh perlindungan hukum sebagaimana di atur dalam pasal 13 ayat (3).

Menurut pasal tersebut, apabila seseorang pelaku tindak pidana dalam

pesawat udara di tahan Negara anggota, orang tersebut harus di bantu oleh

Negara yang menahan untuk segera dapat menghubungi perwakilan Negara

tertuduh dalam waktu tidak terlalu lama. Orang tersebut perlu bantuan dari

perwakilan Negaranya karena tertuduh menghadapi kesulitan dalam proses

penahanan. Berbagai kesulitan yang akan di hadapi tertuduh, misalnya

mungkin soal keuangan atau tidak tahu kesalahan yang dituduhkan karena

tidak dapat menjelaskan dengan bahasa lokal.

Apabila tertuduh dapat menghubungi perwakilan negaranya,

perwakilan tersebut dapat membantu kesulitan yang di hadapi oleh tertuduh

karena sesuai dengan hukum internasional yang berlaku perwakilan Negara

mempunyai kewajiban membantu dan melindungi warga negaranya.

Sebenarnya ketentuan tersebut telah di atur dalam hukum internasional

sehingga ketentuan dalam konvensi Tokyo 1963 tersebut bersifat penegasan

kembali ketentuan hukum internasional.

3. Yurisdiksi Negara Korban

xci
Yurisdiksi merupakan perwujudan dari kedaulatan. Kedaulatan

negara tidak dapat dilaksanakan di negara berdaulat yang lain, kecuali atas

izin dari negara yang bersangkutan. Yurisdiksi negara atas objek korban

mengacu pada yurisdiksi personal yang mana yurisdiksi personal, yaitu

yurisdiksi suatu negara terhadap orang atau badan hukum, baik warga

negaranya sendiri maupun warga negara asing dan badan hukum nasional

atau asing. Berdasarkan prinsipnya, yurisdiksi personal dibagi mnjadi tiga

yaitu :

1. Nasionalitas/kewargangaraan aktif, bahwa setiap warga negara dari satu

negara akan membawa hukum negaranya kemanapun ia pergi dan

dimanapun ia berada.

2. Nasionalitas/kewarganegaraan pasif, bahwa suatu negara mempunyai

yurisdiksi untuk mngadili orang asing yang melakukan tindak pidana

terhadap warga negaranya di luaar negeri.

3. Prinsip perlindungan (protected principle), yaitu suatu negara dapat

melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara asing yang

melakukan kegiatan diluar negeri dan diduga dapat mengancam

kepentingan, keamanan, integritas, kemerdekaan atau kepentingan

umum negara tersebut.

Penerapan prinsip ini disertai alasan – alasan :

a) Akibat kejahatan tersebut sangat besar bagi negara yang menjadi

korban

xcii
b) Bila yurisdiksi tidak dijalankan, maka kejahatan tersebut besar

kemungkinan akan lolos dari tuntutan karena tidak melanggar hukum

dari negara pelaku tersebut dan penyerahan ekstradisi ditolak karena

kejahatan tersebut bersifat politik.

4. Yurisdiksi Negara Tujuan Pesawat

yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya

kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki suatu badan peradilan atau

badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku.

Yurisdiksi negara memiliki andil dalam menyelesaikan permasalahan

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam batas wilayah teritorialnya.

Seperti halnya pembajakan pesawat udara, yurisdiksi merupakan atribut

dari kedaulatan suatu negara yang berfungsi untuk melindungi wilayah

negara dan warga negaranya guna untuk memberikan keamanan negara.

Akan tetapi, kedaulatan negara seringkali dibatasi dengan adanya

yurisdiksi dari negara lain. Dimana tidak semua negara dapat ikut campur

dalam setiap permasalahan antar negara tanpa adanya perjanjian

internasional. Dalam hukum internasional terdapat asas perlindungan yang

berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan negara.

Kepentingan itu diatur dalam pasal 4 KUHP. Kejahatan itu terdiri dari :

1. Kejahatan terhadap keamanan negara

2. Kejahatan terhadap materi dan merk yang dikeluarkan dari pemerintah

xciii
3. Pemalsuan surat-surat hutang atau sertifikat hutang yang menjadi

beban negara.

4. Kejahatan jabatan yang dilakukan pegawai negara diluar wilayah

negara

5. Kejahatan pelayaran.

Dari kejahatan- kejahatan yang diuraikan diatas dapat dinilai bahwa

sebenarnya dampak kejahatan tersebut sudah meluas dan mengancam

keamanan negara. Oleh karena itu dalam hal kejahatan transnasional sudah

seharusnya negara memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan hukumnya

dan mengadili terhadap pelanggaran peraturan dalam batas wilayah

teritorialnya.

5. Yurisdiksi Negara Transit

Secara garis besar yurisdiksi terbagi dalam beberapa prinsip dalam

hukum internasional, salah satunya yang berkaitan erat dengan yurisdiksi

transit adalah prinsip yurisdiksi universal.berdasarkan prinsip ini setiap

negara memiliki yurisdiksi untuk mngadili pelaku kejahatan internasional

yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku

maupun korban. Alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku

dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan

sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga

tuntutan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap pelaku adalah atas

nama seluruh masyarakat internasional.

xciv
Yurisdiksi universal dalam hukum internasional bertujuan untuk

memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu.

Pelaku serious international crime tanpa dibawah hukum internasional

yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang

diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa

diminta pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.

Dalam pelaksanaannya, yurisdiksi universal berkaitan dan

berhubungan dengan pasal 48 konvensi Tokyo yang berbunyi : “

menyatakan bahwa sesuatu negara hanya boleh meminta bahwa sesuatu

kekeliruan dalam suatu perjanjian itu dapat membatalkan kesepakatannya

untuk mengikat diri pada perjanjian tersebut, jika kekeliruan itu tekait

dengan suatu kenyataan atau situasi yang ditanggung oleh negaranya

tersebut pada waktu perjanjian ditandatangani dan membentuk dasar

pokok dari kesepakatannya untuk mengikat diri pada perjanjian itu.

Dari ke lima yurisdiksi di atas, penulis meyusun prioritas negara

yang berhak untuk mengajukan yurisdiksi negara tindak pidana tersebut

yaitu : Yurisdiksi Negara bendera pesawat udara yang paling utama

menangulangi kasus pembajakan tersebut dan diikuti yurisdiksi Negara

tujuan yang melakukan pembajakan setelah itu yurisdiksi Negara tujuan

dikarnakan mempunyai teritoril kewenangan yang berdaulat atas tindak

pidana pembajakan tersebut. Setelah itu yurisdiksi Negara korban atas

tindakan pidana yang dilakukan pelaku pembajakan pesawat tersebut.dan

xcv
setelah itu yurisdiksi Negara pelaku untuk mengadili pelaku tindak pidana

pembajakan pesawat tersebut.

xcvi
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan

meskipun pengaturan tindak pidana pembajakan pesawat didasarkan dari

konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan negara Indonesia

adalah dengan mengelompokan yurisdiksi tindak pidana dan wajib di lakukan

suatu tindakan hukum sesuai yurisdiksi suatu negara, sedangkan untuk

menyelesaikan permasalahan mengenai pembajakan pesawat udara yang

mellintasi batas wilayah suatu negara adalah dengan melihat penentuan

yurisdiksi berdasarkan Hukum Internasional.

Jika dilihat dari sisi keadilan demi mencapai tujuan memberikan

perlindungan keamanan bagi penumpang adalah sangat lah tidak adil bila

penumpang yang tahu apa-apa di korbankan demi kepentingan segelintir

orang. Oleh karena itu badan Internasional dan Nasional maupun badan sipil

telah memuat perangkat hukum serta sarana atau prasarana untuk melawan

tindak pidana kejahatan pembajakan pesawat terbang ini. Tapi hendaknya

pula badan ini juga selalu meng-upgrade perangkat hukum, dikarnakan masih

banyak celah melakukan tindak pidana dari pihak pelaku kriminal.

xcvii
B. Saran

1. Peran serta negara Indonesia dalam upaya menciptakan keamanan dalam

bidang keamanan udara di dunia dari aksi tindak pidana pembajakan

pesawat terbang dunia adalah dengan mengikuti aturan hukum berupa

konvensi internasional mengenai pesawat udara serta dengan menjalin

hubungan diplomatik dengan setiap negara supaya tergambar mekanisme

penyelesaian permasalahan mengenai suatu hal termasuk didalamnya

pembajakan pesawat udara yang melintasi batas yurisdiksi.

2. Dalam melaksanakan peran fungsi negara sebagai negara yang berdaulat

Negara Indonesia perlu memperbaiki lagi peraturan – peraturan dan

perundang – undangan terkait masalah tindak pidana pembajakan pesawat

dalam pesawat terbang serta meningkatkan keamanan teritorial

berdasarkan batas wilayah yurisdiksi negara. Karena itu setiap negara

perlu adanya Kerjasama Internasional perlu segera diambil karena

kejahatan Kerjasama Internasional dapat meliputi kerjasama dalam

fasilitas pengamanan bandara, penyelidikan terhadap kemungkinan

terjadinya terorisme udara, pelatihan awak udara terhadap bahaya

terorisme dan juga meliputi ekstradisi terhadap si pelaku agar tidak ada

tempat bagi pelaku terorisme udara untuk bersembunyi.

3. Bahwa negara berdaulat perlu melakukan peningkatan kerjasama dengan

negara lain untuk mencegah pembajakan pesawat udara, dan bahkan pada

negara-negara maju sudah diambil tindakan pencegahan seperti

penghancuran organisasi yang dicurigai sebagai pelaku dan otak terorisme

xcviii
udara hal ini guna meminimalisir resiko kejahatan tindak pidana dalam

penerbangan lintas batas suatu negara sehingga perlulah ditingkatkan segi

pengaman bandara lokal maupun internasional serta security cek in yang

di perketat keamanannya dalam setiap penerbangan guna menghindari aksi

kejahatan terorisme.

Dalam melaksanakan peran fungsi negara sebagai negara yang

berdaulat Negara Indonesia perlu memperbaiki lagi peraturan – peraturan

dan perundang – undangan terkait masalah tindak pidana pembajakan

pesawat dalam pesawat terbang serta meningkatkan keamanan teritorial

berdasarkan batas wilayah yurisdiksi negara. Karena itu setiap negara

perlu adanya Kerjasama Internasional perlu segera diambil karena

kejahatan Kerjasama Internasional dapat meliputi kerjasama dalam

fasilitas pengamanan bandara, penyelidikan terhadap kemungkinan

terjadinya terorisme udara, pelatihan awak udara terhadap bahaya

terorisme dan juga meliputi ekstradisi terhadap si pelaku agar tidak ada

tempat bagi pelaku terorisme udara untuk bersembunyi.

xcix
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A, Mufti Makarim. Tanpa tahun. Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah

Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik,

Yuridis dan Operasional. Indonesia

Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung:

Rafika Aditama

Isjwara, Fred. 1996. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum

Internasional. Bandung : Alumni

Kusumaatmadja, Mochtar. 2010. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian

Umum, Jakarta: Bina Cipta

Martono, K. 2007. Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian

Pertama. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada

Martono, K. 2007. Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasiona. Jakarta:

Rajawali Grafindo Persada

___________1987. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa.

Penerbit Alumni, Bandung.

___________1981. Pembajakan Udara dan Ekstradisi Majalah Hukum dan

Pembangunan Universitas Indonesia. Vol.3 Tahun XI.

c
___________1991/1992. Laporan Akhir : Anahsa dan Evaluasi Hukum Tertulis

Peraturan-Peraturan Tentang Keselamatan Penerbangan Sipil

Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

____________1995. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa.

Hukum Laut International. Buku Kedua, Bandar Maju Bandung.

_____________2007. Jakarta Pengantar Hukum Udara Nasional dan

Internasional, Bagian Pertama, RajaGrafindo Persada.

Restatement (third). 1987. Foreign Relations Law 401. United States

Sakti Hadiwijoyo, Suryo. 2011. Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum

Internasional, Yogyakarta: Graha Ilmu

Sefriani. 2012. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Depok: Raja Grafindo

Sefriani. 2010. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Depok: Rajawali Pers

Shaw, M.N. 1986. International Law. Cambridge: Yiotius Publication, Ltd

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI PRESS, Jakarta: UI

PRESS

Starke, J.G. 1992. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta:

Sinar Grafika

Sudarto. 1986. Kepala Sekolah Hukum Pidana. Bandung: Alumni

Sugeng Istanto, F. 1998. Studi Kasus Hukum Internasional. Jakarta: Tatanusa

Sunggono, Bambang. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Widarto, Bambang. 2010. Hukum Udara (Hukum Udara Publik dan Perdata.

Jakarta: Diktat FHUP

ci
UNDANG-UNDANG

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan Pasal 43

Konvensi Chicago 1944 tentang Convention on International Civil Aviation,

signed at Chicago on 7 December 1944.

Art 3 (1) Tokyo Convention 1963: “The State of registration of the aircraft is

competent to exercise jurisdiction over offences and acts committed on

board.”

Art 1 (a) The Hague Convention 1970: “Any person who on board an aircraft in

flight: unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of

intimidation, seizes, or exercises control of, that aircraft, or attempts to

perform any such act.”

Art 1 (b) The Hague Convention 1970: ”.... is an accomplice of a person who

performs or attempts to perform any such act commits an offence

(hereinafter referred to as "the offence."

Art 1 (2) Tokyo Convention 1963: “Except as provided in Chapter III, this

Convention shall applyin respect of offences committed or acts done by a

person on board any aircraft registered in a Contracting State, while that

aircraft is in flight or on the surface of the high seas or of any other area

outside the territory of any State.”

Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.

Pasal 18 Konvensi Chicago 1944

cii
MAKALAH

Menurut hukun kebiasaan yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran terhadap

tindak pidana dalam pesawat udara terdiri dari territorial jurisdiction

principle dan extraterritorial jurisdiction principle. Hal yang terakhir ini

meliputi active nationality jurisdiction principle, passive nationality

jurisdiction principle dan the universal jurisdiction principle.

Angkasa, Majalah Bulanan. Januari 2000. ”11.000 Kecelakaan Pesawat Tercatat

Pada Abad 20 Lalu”. No.4

Angkasa, Majalah Bulanan. Desember 1991. ”Lockerbie: Siapa Yang Membayar

Pelurunya ?”. No. 3

Sukma, Rizal. 23 September 2003. Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi.

FGD Pro Patria

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tahun 2002. Keterangan

Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. hal. 8

WEBSITE

http://www.scribd.com/doc/251725749/Tipisus-7-Tindak-Pidana-

Terorisme#scribd diakses pada tanggal 16 Juni 2015

http://yunandaputra.blogspot.com/2012/02/isi-perjanjian-montevideo.html diakses

pada tanggal 19 Juli 2015

ciii
http://menarailmuku.blogspot.com/2012/12/sejarah-dan-sumber-hukum-udara-air-

law.html diakses pada tanggal 23 Maret 2015

http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html

diakses pada tanggal 6 Mei 2015

http://akbarkurnia.blogspot.com/2011/06/berlakunya-yurisdiksi.html diakses pada

tanggal 1 Agustus 2015

civ

Anda mungkin juga menyukai