SKRIPSI
OLEH :
ILHAM HIDAYAT
NIM. A11110206
i
PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT TERBANG YANG
MELEWATI LINTAS BATAS YURISDIKSI NEGARA
SKRIPSI
OLEH :
ILHAM HIDAYAT
NIM. A11110206
ii
PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMBAJAKAN PESAWAT TERBANG YANG
MELEWATI LINTAS BATAS YURISDIKSI NEGARA
ILHAM HIDAYAT
NIM. A11110206
Disetui Oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Untan
iii
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
Tim Penguji :
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
karena atas limpahan rahmat, petunjuk dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini untuk dapat diajukan sebagai syarat dalam memperoleh
dari berbagai pihak baik berupa moril maupun materil, oleh karna itu dalam
terhormat :
skripsi ini.
v
5. Bapak Erwin.,S.H.,L.LM selaku Pembimbing Pendamping yang pernah
ini selesai;
Tanjungpura Pontianak;
vi
11. Seluruh staf Tata Usaha dan Administrasi Perpustakaan serta para
12. Semua rekan-rekan se-angkatan yang tidak dapat disebutkan satu persatu
pada kesempatan ini, penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih dan
13. Kepada sahabat-sahabat terdekat yang tidak akan bisa ku lupakan sampai
S.H, Cindy, Abdul Hakim dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan
satu persatu atas dukungan dan persahabatan kita yang telah berlangsung
14. Kepada kedua orang tua-ku tercinta, Kakanda dan Adinda, Hefni dwi
15. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam
vii
Semoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi rekan-rekan
Akhirnya semoga karya ini dapat bermanfaat dan berguna bagi yang
memerlukannya, amin.
Penulis
Ilham Hidayat
NIM. A11110206
viii
ABSTRAK
ix
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang.................................................................................. 1
C. TujuanPenelitian .............................................................................. 11
D. KerangkaPemikiran ........................................................................ 12
1. Tinjauan Pustaka..........................................................................12
E. Hipotesis .......................................................................................... 19
F. Metode Penelitian..............................................................................19
1. Bentuk Penelitian........................................................................20
2. T
3. M
etode Analisis..........................................................................21
x
A. Pengertian Yurisdiksi Negara ...........................................................22
1. .................................................................................................. P
2. .............................................................................................
3. .............................................................................................
4. .............................................................................................
5. ............................................................................................. P
6. .............................................................................................
1. K
2. K
xi
BAB III ANALISIS PENERAPAN YURISDIKSI BERDASARKAN
Internasional ..................................................................................... 46
1. ................................................................................................... Y
2. ........................................................................................... Y
3. ........................................................................................... Y
4. ........................................................................................... Y
5. ........................................................................................... Y
xii
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 84
B. Saran ................................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
xiii
Perkembangan politik dan teknologi kemudian memunculkan
Struktur dan model ancaman tindak pidana terus berkembang seiring dengan
atau juga sering disebut Hi Jacking merupakan tindak pidana dimana adanya
manusia (HAM).1
jenis pelayanan barang, manusia bahkan hewan dari satu Negara ke Negara
sekali karena penumpang biasanya terdiri dari berbagai bangsa dan Negara.
1
Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003
xiv
tindak pidana pembajakan pesawat ini, baik oleh masing-masing negara
kerugian baik materil maupun moril, dan yang paling penting adalah keadaan
2
Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003
3
K. Martono 2009, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama.
xv
Dalam Perkembangan tindak pidana seperti pembajakan pesawat ini,
pesawat tersebut, yaitu hak dalam mengadili pelaku tindak pidana atau
pesawat .
hukum internasional.
teritorialnya.
4
Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003
xvi
Menurut hukum internasional, yurisdiksi diartikan the capacity of
state under international law to prescribe and enforce a rule of law (Robert
hukum internasional. Dalam hal ini pada prinsipnya yurisdiksi suatu negara,
akan tetapi dengan hukum internasional yang berlaku. Bahwa negaralah yang
xvii
di jalur tambahan, di ZEE, di landas kontinen, di laut bebas, di ruang angkasa
a)Yurisdiksi teritorial
d)Yurisdiksi universal
pembajakan pesawat udara penulis memilih salah satu contoh kasus dalam
1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan
xviii
Jihad”7 Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari
jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke
pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad
ini menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca peristiwa Cicendo di
11 Maret 1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad
DC-9 Woyla ini menjadi peristiwa terorisme bermotif “jihad” pertama yang
Indonesia.8
7
https://indocropcircles.wordpress.com/2014/08/14/operasi-woyla-1981-pembebasan-korban-
pembajakan-pesawat-garuda-di-thailand/
8
https://indocropcircles.wordpress.com/2014/08/14/operasi-woyla-1981-pembebasan-korban-
pembajakan-pesawat-garuda-di-thailand/
xix
sehingga berdasarkan sebuah analisis dari beberapa literatur menunjukkan
Dalam kasus woyla ada tiga negara yang terkait terhadap yurisdiksi
wilayah teritorial, yaitu adalah negara Indonesia dimana asal Negara Pesawat
Malaysia merupakan Negara Transit Pesawat yang sedang dibajak oleh para
Garuda Indonesia.
dimana sandera tersebut adalah warga negara Indonesia maka dalam proses
xx
negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun
tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain
menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi
hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk
yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara.9 Menurut Romli Atmasasmita
Yurisdiksi dapat dikatakan lahir dari suatu negara yang telah memiliki
xxi
semua negara yang berdaulat mempunyai persamaan yurisdiksi kecuali
Kewajiban Negara dalam pasal 3,4,5,8 dan 9 yang berbunyi sebagai berikut:
b) Pasal 4 : Amerika adalah yuridis sama, menikmati hak yang sama, dan
c) Pasal 5 : Hak-hak dasar negara tidak rentan dari yang terpengaruh dengan
cara apapun.
d) Pasal 8 : Negara tidak berhak untuk campur tangan dalam urusan internal
untuk semua penduduk. Warga negara dan orang asing berada di bawah
perlindungan yang sama hukum dan otoritas nasional dan asing tidak dapat
xxii
mengklaim hak-hak lain atau lebih luas dari orang-orang dari warga
negara.11
subjek utama dari hukum internasional, baik ditinjau secara historis yang
kelamaan juga semakin dominan oleh karna bagian terbesar dari hubungan
warga negaranya dalam hal tindak pidana atau suatu kriminalitas yang terjadi
dalam suatu penerbangan yang melibatkan lintas batas suatu negara maka
pesawat terbang karena hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan aksi
11
http://yunandaputra.blogspot.com/2012/02/isi-perjanjian-montevideo.html
12
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tahun 2002, hal 8.
xxiii
pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa
B. Masalah Penelitian
Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian diatas, maka yang
C. Tujuan Penelitian
xxiv
2. Mengetahui aturan – aturan hukum di Indonesia mengenai tindak pidana
D. Kerangka Pemikiran
1. Tinjauan Pustaka
pesawat dibuat oleh beberapa negara bahkan di sahkan oleh dunia, karena
DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia hari Sabtu 28 Maret 1981. Pesawat
xxv
Sekitar 5,5 tahun kemudian, pembajakan udara terjadi lagi.
Triyudo (27 tahun). Dengan sebilah badik, karyawan sipil honorer TNI-
dari sekadar tindakan kekerasan. Teror atau terorisme tidak identik dengan
difokuskan pada ketiga konvensi ini saja, yakni Konvensi Tokyo tahun
1963, Konvensi Den Haag tahun 1970, dan Konvensi Montreal tahun
1971. Selain karena hanya ketiga konvesi ini saja yang dapat diberlakukan
penerbangan, ketiga konvensi ini pula yang dijadikan sumber utama dalam
xxvi
pidana dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan di dalam pesawat
Hukum). Pasal 1 Konvensi the Hague 1970 ini lazim disebut sebagai
1971 tentang “The Supression o Unlawful Acts Against the Safety of Civil
xxvii
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 kejahatan internasional yang
lepas/bebas
d. Pesawat udara sedang berada di atas daerah lain di luar wilayah dari
suatu negara.
13
Art 1 (2) Tokyo Convention 1963: “Except as provided in Chapter III, this Convention shall
applyin respect of offences committed or acts done by a person on board any aircraft registered in
a Contracting State, while that aircraft is in flight or on the surface of the high seas or of any
other area outside the territory of any State.”
xxviii
Mengenai negara mana yang berhak melaksanakan yurisdiksi
b. Tindak pidana telah dilakukan oleh atau terhadap seorang warga negara
multilateral.
14
Art 3 (1) Tokyo Convention 1963: “The State of registration of the aircraft is competent to
exercise jurisdiction over offences and acts committed on board.”
xxix
pendapatnya perbuatan yang dilakukan dalam pesawat udara itu menurut
pokoknya konvensi ini mengatur tentang ruang lingkup tindak pidana dan
yurisdiksi.
udara.15
tindakan tersebut.16
15
Art 1 (a) The Hague Convention 1970: “Any person who on board an aircraft in flight:
unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of intimidation, seizes, or exercises
control of, that aircraft, or attempts to perform any such act.”
16
Art 1 (b) The Hague Convention 1970: ”.... is an accomplice of a person who performs or
attempts to perform any such act commits an offence (hereinafter referred to as "the offence."
xxx
bahwa setiap negara peserta di dalam wilayah mana tersangka berada,
menuntut dengan cara-cara yang sama seperti dalam setiap tindak pidana
tindakan yang telah diambil terhadap penumpang dan pesawat udara yang
xxxi
2. Kerangka Konsep
berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu
kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan
E. Hipotesis
pesawat terbang yang melewati lintas batas yuridiksi negara belum efektif”
F. Metode Penelitian
yaitu meneliti dan mengkaji data sekunder berupa hukum positif dan
17
Sefriani, Hukum internasional: suatu pengantar, Rajawali Pers, 2010, hal. 232
xxxii
dalam penerbangan yang melibatkan kewenangan negara dalam melakukan
1. Bentuk Penelitian
dan terdiri dari : (a) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI PRESS, Jakarta, 1986, Hal. 25
xxxiii
2. Teknik Pengumpulan Data
3. Metode Analisis
yang bertolak dari kaidah khusus untuk menentukan kaidah yang umum.
Proses penalaran ini bergerak mulai dari penelitian dan evaluasi atas
induktif.
xxxiv
BAB II
yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti
ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak
para pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the court” terhadap
anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata
19
Ibid., hal. 18.
xxxv
lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan
dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk
menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat
oleh Negara atau bangsa itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw
Negara terhadap orang, benda dan peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan
refleksi dari prinsip dasar kedaulatan Negara, persamaan derajat Negara dan
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat
20
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html
xxxvi
enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan
peristiwa tertentu.
Menurut pasal 3 ayat (1) konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yurisdiksi
jurisdiction.22
perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum
21
Menurut hukun kebiasaan yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran terhadap tindak pidana
dalam pesawat udara terdiri dari territorial jurisdiction principle dan extraterritorial jurisdiction
principle. Hal yang terakhir ini meliputi active nationality jurisdiction principle, passive
nationality jurisdiction principle dan the universal jurisdiction principle.
22
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 50
xxxvii
1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial
pertimbangan:
xxxviii
Dengan demikian, misalnya ketika seorang Warga Negara
23
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html
xxxix
tujuan yaitu Thailand sehingga berdasarkan prinsip ini Negara Indonesia
ekstrateriotrial) Prancis.
24
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233.
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html
xl
warganegara Indonesia melakukan kejahatan meskipun terjadi di luar
negara asing yang telah menghapus hukuman mati, maka hukuman mati
adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara
ialah:
3. Keamanan perekonomian
xli
4. Keamanan uang negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan
Ripublik Indonesia.
6. Prinsip Universal
prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh
seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan
diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara
xlii
yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang
juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain
25
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233.
xliii
hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang
crime.
yurisdiksi universal.26
26
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 233-234.
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html
xliv
concern and for some valid reason cannot be left within the state
xlv
perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war
internasional terkait dengan pembajakan Pesawat. Salah satunya dalam hal ini
adalah Konvensi Tokyo 1963 yang merupakan suatu konvensi untuk mencegah
terjadinya pembajakan Pesawat terbang yang pada saat itu mulai marak terjadi
udara tersebut dalam kenyataannya tidak pernah ada pengertian atau definisi
xlvi
pasal yang mengatur pembajakan udara terdapat dalam Pasal Konvensi Tokyo
pembajakan udara.
dan membunuh, melukai, tetapi tindakan tersebut dapat pula mencampuri obat
diri, pesawat terbang diambil alih. Menurut pasal tersebut termasuk semua
orang dalam pesawat terbang. Orang dalam arti yang secara alamiah (natural
xlvii
terbang dan tindakan tersebut dilakukan dalam pesawat terbang yang sedang
pada saat pesawat terbang dengan tenaga penuh siap untuk tinggal landas
Pesawat terbang dengan tenaga penuh, bukan untuk tinggal landas tidak
termasuk in flight sehingga tidak berlaku Konvensi Tokyo 1963. Sementara itu,
pesawat terbang yang terpaksa mendarat di suatu bandar udara (airport) di luar
Suatu tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat terbang pada saat
pembajakan udara.28
hukum atau tidak melawan hukum diukur dari hukum pidana nasional negara
pendaftar pesawat terbang. Oleh karena itu, apabila pemilik pesawat terbang
28
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 64
xlviii
Persyaratan selanjutnya tindakan tersebut dengan kekerasan atau
ancaman. Secara alamiah ancaman tersebut secara fisik dengan senjata atau
senjata api terhadap kapten penerbang atau awak pesawat terbang atau
tidak ada ancaman, tetapi hal ini ditafsirkan sedemikian sehingga hal itu
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf (a) konvensi yang sama. Tampaknya
tindakan melawan hukum yang tercantum dalam Pasal 11 Ayat (1) sengaja
dibedakan dengan tindakan hukum yang tercantum dalam Pasal 1 huruf (a),
awak pesawat terbang, pesawat terbang maupun harta benda yang diangkat.
xlix
Dalam pemberantasan kejahatan penerbangan, Perserikatan Bangsa-
tahun 1959, konsep Legal Status of Aircraft disusun secara terpisah dengan
dalam konsep ini telah diatur prinsip yurisdiksi negara terhadap tindak
l
kewajiban negara anggota, hak dan kewajiban kapten penerbang (pilot in
seperti halnya dalam hukum laut yang telah diakui oleh hukum
intenasional yang pertama kali di Prancis tahun 1910, demikian pula dalam
30
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 46
31
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 49
li
pelanggaran maupun kejahatan di dalam pesawat terbang, kecuali tindak
Aircraft”.32
tahun 1962 tersebut antara lain mengenai ne bis in idem. Kerentuan ne bis
in idem yang semula tercantum dalam konsep hasil sidang Munich tahun
32
Dr.H.K.Martono,S.H.L.L.M.,Pengantar Hukum Udara Nasional dan internasional, Rajawali
Grafindo persada, 2007, hal 48
lii
semula tidak terdapat dalam konsep hasil sidang Munich tahun 1959.
liii
Sub-Komite Hukum Penguasaan Pesawat terbang Secara Melawan Hukum
sidangnya ke-53 tahun 1968 pada bulan Agustus 1968, ILA juga
udara (air piracy) dengan perompakan kapal laut (sea piracy). Dalam
liv
Rekomendasi tersebut mengatakan pembajakan udara (hijacking)
maupun perompakan kapal laut (sea piracy) dapat diancam hukuman. Oleh
karena itu, semua negara wajib menghukum pelaku di mana pun kejahatan
malawan hukum.
lv
Konvensi Montreal 1 Mei 1991 yang berjudul “Convention on the
paling canggih saat ini, namun mempunyai daya ledak yang sangat dasyat.
lvi
Peledakan rapat diselenggarakan pada tanggal 6-10 Maret 1989 di
lvii
agar segera mengadakan sidang Komite Hukum (Legal Committee) dan
lviii
BAB III
TERBANG
penerbangan pada skripsi ini akan difokuskan pada ketiga konvensi ini
saja, yakni Konvensi Tokyo tahun 1963, Konvensi Den Haag tahun 1970,
dan Konvensi Montreal tahun 1971. Selain karena hanya ketiga konvesi ini
34
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.
lix
Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism,
adalah dalam ASEAN Summits pada Januari 2007 juga telah diresmikan
Force (CTTF). Sebuah forum ekonomi yang juga selalu membahas tentang
penanganan terorisme.
ketiga konvensi ini termasuk tindak pidana terorisme atau bukan terpulang
dunia internasional setidaknya sejak tahun 1937. Pada tahun 1937, Liga
suatu konvensi sebagai „‟All criminal acts directed agains a State and
persons or a group or the general public.‟‟ Namun draft konvensi ini tidak
35
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi
lx
Konvensi-konvensi internasional yang mengkategorikan rumusan
tentunya dapat diterima oleh semua Negara, dan bahkan hingga kini
yang tepat.36
a. Konvensi Tokyo
pidana dalam penerbangan yang makin marak, yang pada waktu itu
lxi
secara internasional belum dianggap sebagai kejahatan. Tujuan dari
pembajak.
atau Negara bendera pesawat tersebut (pasal 3). Namun prinsip ini
udara tersebut.
lxii
Kemudian mengatur pula kewenangan seorang komandan
pesawat udara.
lxiii
dapat menolong komandan pesawat udara (kapten pilot)
lebih luas, dan juga memiliki ketentuan tentang ekstradisi yang lebih
yang berat‟‟ ini tidak didefinisikan dalam konvensi ini, hal mana yang
37
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.
38
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 95
lxiv
unlawfully, by force or threat thereof, or by any other form of
pesawat udara dengan bom yang didesain meledak pada saat pesawat
c. Konvensi Montreal
melakukan kejahatan :
lxv
„‟Any person also commits an offence if he: (a) attempts to commit
salah satu bentuk tindak pidana atau bentuk kejahatan yang cukup
39
serius terlebih lagi bila sampai memakan korban. Terorisme udara
39
Angkasa, Majalah Bulanan,”11.000 Kecelakaan Pesawat Tercatat Pada Abad 20 Lalu”,
No.4 Januari 2000
lxvi
pesawat udara, ataupun memasukan barang-barang berbahaya
terorisme udara juga merupakan salah satu bentuk tindak pidana pada
sering terjadi pada pesawat komersial atau pesawat sipil Ini dapat
untuk tindak kriminal ini. Baik oleh negara maupun dunia sangat
lxvii
tindakan pencegahan seperti penetrasi dan penghancuran
lxviii
keputusan konvensi ini menjadi dasar yang sah untuk menyerahkan
diadili.
dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang mutlak, utuh, bulat
dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di
negara lain, yang diatur melalui hukum internasional. Hal inilah yang
lain.
dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang
40
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu,
Yogyakarta 2011 hal 8
lxix
dinamakan negara. Ia juga menyatakan bahwa kedaulatan tersebut
2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaannya
saja;
merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut
kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar
sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah
negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada
41
Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996 hal 89
42
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta,
Jakarta.2010. hal 7
lxx
masa kini kedaulatan negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki
setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and
yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah: (1).
Setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh
atas ruang udara nasionalnya (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di
sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan
43
Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik
Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun. hal 89
lxxi
permasalahan yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak adalah selanjutnya
44
http://menarailmuku.blogspot.com/2012/12/sejarah-dan-sumber-hukum-udara-air-law.html
lxxii
balik hukum domestik semata untuk menghindari tekanan internasional
chaos yang berkepanjangan tanpa adanya turut campur dan bantuan dari
dunia internasional.45
Undang (UU) No.2 tahun 1976, yang menjadikan Indonesia secara langsung
tidak berlaku tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara Indonesia
yang berada diluar wilayah Indonesia dalam bentuk UU No. 4 tahun 1976
45
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung 1978.pengantar
hukum Internasional, Buku I, Bag Umum, Binaciptra, Bandung, 1981.
lxxiii
Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
Beberapa Pasal dalam KUHP ini ada pada Pasal 479 KUHP.
1. Pasal 479 a s/d 479 d mengatur tindak pidana yang dilakukan pada fasilitas
ayat 1 d.
4. Pasal 479 n mengatur penempatan alat atau bahan peledak yang dapat
menghancurkan pesawat udara dalam dinas. Hal ini tercantum pada Pasal 1
ayat 1
lxxiv
Indonesia pada tanggal 31 Maret 1976 telah meratifikasi ketiga konvensi,
Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970 dam Konvensi Montereal
1971 seperti yang telah diundangkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1976
( LNRI No. 18 tahun 1976 ). Kemudian pada tanggal 27 April 1976 telah
26 April 1976 telah menambah sebuah bab baru setelah Bab XXIX Kitab
penerbangan dimuat dalam pasal 479 huruf a sampai dengan huruf r KUHP.
Dengan demikian tindak pidana yang memenuhi rumusan pasal yang termuat
dalam Bab XXIX A atau pasal 479 a sampai dengan pasal 479 r KUHP disebut
artinya perbuatan konkrit dan si pembuat itu harus mempunyai sifat atau ciri-
ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-
Dalam hal ini yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1976
terdapat penambahan sebuah Bab baru, Bab XXIX A. Buku II. Bab baru ini
lxxv
mengatur kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana
penerbangan, terdiri atas 18 Pasal ialah Pasal 479 A sampai dengan Pasal 479
R.
Hukum Pidana ( baru ) telah dirubah menjadi Bab XXX Buku II, terdiri atas 18
Ada tiga hal yang diatur dalam Naskah Rancangan Undang-Undang yang
1. Perubahan dan penambahan Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 Buku I dari Kitab
3. Penambahan sebuah Bab baru ialah Bab XXIX A Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana Buku II setelah Bab XXIX buku II, Bab baru ini mengatur
penerbangan yang terdiri atas 18 Pasal yaitu Pasal 479 a sampai Pasal 479 r.
setiap orang yang di luar Wilayah Indonesia melakukan tindak Pidana di dalam
lxxvi
orang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak Pidana dalam kendaraan air
peswat udara atau pesawat ruang angkasa Indonesia. Pasal tersebut diatas
Pidana menurut tempat yang diatur dalam Pasal 2 KUHP. Dalam hubunganya
dengan Pasal 3 KUHP ini perlu pula diketahui, apakah yang dimaksudkan
2. Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang
Indonesia.
Menurut Sudarto46 reclaksi dan susunan Pasal ini kurang baik. Bahkan
Pasal ini membuat orang ragu, apakah Pasal ini mempunyai dua ayat atau dua
sub, selanjutnya dikatakan hanya ada dua sub, sebab Pasal ini hanya terdiri dari
satu kalimat yang berarti Pasal ini hanya merupakan satu ayat. Susunan
kalimatnya kurang baik karena dua kali disebut istilah "pesawat udara
46
Sudarto, Kepala Sekolah Hukum Pidana. Penerbit Alumni, Bandung, 1968, hal. 17-18.
lxxvii
b. Pesawat udara Asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh
pendaftaran Indonesia.
9 ayat 2 sub b pada Undang-Undang yang sama, yaitu pesawat yang dimiliki
oleh warga negara asing atau badan hukum asing dioperasikan oleh warga
minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan perjanjian sewa beli,
sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya mengenai perubahan ketentuan
Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444 sampai
dengan Pasal 446, tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf i, m, n dan
dan penambahan dilakukan karena mungkin sudah tercakup pada Pasal 10 ayat
lxxviii
1 dan Pasal 4 ayat 4 KUHP ini mengandung asas universal, pada dasarnya
berarti bahwa siapa saja dan dimana saja orang melakukan perbuatan yang
memenuhi rumusan delik-delik yang disebut dalam Pasal 4 ayat 4 ini dapat
Pasal ini ialah yang menyangkut kejahatan penerbangan yang tersebut dalam
Pasal 479 j, 479 i sampai dengan 479 o. Dalam hal ini yang dilindungi oleh
depan, erat kaitannya dengan masalah pembajakan pesawat udara; hanya saja
Pasal ini dalam Naskah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( baru ) telah
asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan
kedalam Pasal 153 dan 154, Naskah Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (
lxxix
Pasal 95 b KUHP menegaskan : Yang dimaksud dengan " dalam
penerbangan " adalah sejak saat semua pintu luar pesawat ditutup setelah
alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.
dalam dinas " adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan oleh awak
darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu hingga setelah 24
oleh karena kejahatan penerbangan tidak hanya terbatas pada pesawat udara
dalam penerbangan.47
sedang "dalam penerbangan" pada waktu sejak semua pintu keluar ditutup
47
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika. Jakarta,1992, hal.
310.
lxxx
Pada penelitian, kita fokus pada yurisdiksi dalam proses penerapan
kepemilikan hukum negara mana yang berhak jika terjadi tindak pidana dalam
pesawat terbang yang tersedia, yurisdiksi yang mengatur baik terhadap lintas
menegakkan.48
48
restatement ( third ) dari Foreign Relations Law dari United States 401 (1987).
lxxxi
dengan hukum atau peraturan, baik melalui pengadilan atau dengan
judisial.
Jenewa l958 dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa l958
terdiri dari salah satu tindakan berikut: 1) Setiap tindakan ilegal kekerasan,
awak atau penumpang kapal swasta atau pesawat pribadi, dan diarahkan: a) Di
laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap orang atau
properti di atas kapal atau pesawat udara. b) Terhadap kapal, pesawat udara,
udara.
disebutkan di sub-ayat (1) atau sub-ayat (2) pasal ini. Berdasarkan ketentuan di
49
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978, hal
224-225
lxxxii
(1). Pembajakan harus menggunakan suatu kapal untuk membajak kapal lain.
(2). Locus delictinya dilakukan di laut lepas. Di samping itu rumusan tersebut
Hal itu disebabkan rumusan dalam konvensi ini melibatkan juga pesawat
Dalam Pasal 101 KHL 1982, menjelaskan tentang definisi dan ruang
1).Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap
kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan
dilakukan:
(a) Di Laut Lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap
orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara;
(b) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat
lxxxiii
2) Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal
ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek
perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang
negara lain untuk mencegah pembajakan pesawat udara ini mengacu pada
lxxxiv
pendaftaran tunggal. Tidak ada pesawat udara secara resmi diakui
50
Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.
lxxxv
mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan bila melakukan
negara dari negara tempat didaftarkan, pesawat udara juga sebagai subjek
Demikian pula pesawat angkasa maupun kapal laut. Hal ini berbeda
darat, tetapi sesudah tahun 1926, tidak ada konvensi yang mengharuskan
51
Pasal 20 Konvensi Chicago 1944
lxxxvi
udara didaftarkan di negara tersebut. Di samping itu, atas permitaan negara
52
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944
lxxxvii
Pelaku pembajakan pesawat memberikan dampak kerugian baik
materil maupun moril pada suatu negara, Pembajakan pesawat juga timbul
1) Motif terorisme
2) Motif pemberontakan
53
http://akbarkurnia.blogspot.com/2011/06/berlakunya-yurisdiksi.html
lxxxviii
Secara umum, pemberontakan adalah penolakan terhadap
3) Motif individu
lxxxix
pembunuhan, pembantaian, penculikan, kejahatan yang
xc
pesawat tersebut, yaitu hak dalam mengadili pelaku tindak pidana atau
pesawat
pesawat udara di tahan Negara anggota, orang tersebut harus di bantu oleh
tertuduh dalam waktu tidak terlalu lama. Orang tersebut perlu bantuan dari
mungkin soal keuangan atau tidak tahu kesalahan yang dituduhkan karena
xci
Yurisdiksi merupakan perwujudan dari kedaulatan. Kedaulatan
negara tidak dapat dilaksanakan di negara berdaulat yang lain, kecuali atas
izin dari negara yang bersangkutan. Yurisdiksi negara atas objek korban
yurisdiksi suatu negara terhadap orang atau badan hukum, baik warga
negaranya sendiri maupun warga negara asing dan badan hukum nasional
yaitu :
dimanapun ia berada.
korban
xcii
b) Bila yurisdiksi tidak dijalankan, maka kejahatan tersebut besar
yurisdiksi dari negara lain. Dimana tidak semua negara dapat ikut campur
Kepentingan itu diatur dalam pasal 4 KUHP. Kejahatan itu terdiri dari :
xciii
3. Pemalsuan surat-surat hutang atau sertifikat hutang yang menjadi
beban negara.
negara
5. Kejahatan pelayaran.
keamanan negara. Oleh karena itu dalam hal kejahatan transnasional sudah
teritorialnya.
dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan
sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga
tuntutan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap pelaku adalah atas
xciv
Yurisdiksi universal dalam hukum internasional bertujuan untuk
untuk mengikat diri pada perjanjian tersebut, jika kekeliruan itu tekait
xcv
setelah itu yurisdiksi Negara pelaku untuk mengadili pelaku tindak pidana
xcvi
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
perlindungan keamanan bagi penumpang adalah sangat lah tidak adil bila
orang. Oleh karena itu badan Internasional dan Nasional maupun badan sipil
telah memuat perangkat hukum serta sarana atau prasarana untuk melawan
pula badan ini juga selalu meng-upgrade perangkat hukum, dikarnakan masih
xcvii
B. Saran
terorisme dan juga meliputi ekstradisi terhadap si pelaku agar tidak ada
negara lain untuk mencegah pembajakan pesawat udara, dan bahkan pada
xcviii
udara hal ini guna meminimalisir resiko kejahatan tindak pidana dalam
kejahatan terorisme.
terorisme dan juga meliputi ekstradisi terhadap si pelaku agar tidak ada
xcix
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Rafika Aditama
c
___________1991/1992. Laporan Akhir : Anahsa dan Evaluasi Hukum Tertulis
PRESS
Sinar Grafika
Persada
Widarto, Bambang. 2010. Hukum Udara (Hukum Udara Publik dan Perdata.
ci
UNDANG-UNDANG
Art 3 (1) Tokyo Convention 1963: “The State of registration of the aircraft is
board.”
Art 1 (a) The Hague Convention 1970: “Any person who on board an aircraft in
Art 1 (b) The Hague Convention 1970: ”.... is an accomplice of a person who
Art 1 (2) Tokyo Convention 1963: “Except as provided in Chapter III, this
aircraft is in flight or on the surface of the high seas or of any other area
cii
MAKALAH
WEBSITE
http://www.scribd.com/doc/251725749/Tipisus-7-Tindak-Pidana-
http://yunandaputra.blogspot.com/2012/02/isi-perjanjian-montevideo.html diakses
ciii
http://menarailmuku.blogspot.com/2012/12/sejarah-dan-sumber-hukum-udara-air-
http://ishma-alhamid.blogspot.com/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html
civ