Anda di halaman 1dari 66

USULAN SKRIPSI

EFEK SCAFFOLD BOVINE HYDROXYAPATITE-


GELATIN-ALENDRONAT PADA PENUTUPAN
DEFEK TULANG DAN EKSPRESI ALKALI
FOSFATASE DI TULANG

DEWI NOVITASARI

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA


DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2018
USULAN SKRIPSI

EFEK SCAFFOLD BOVINE HYDROXYAPATITE-


GELATIN-ALENDRONAT PADA PENUTUPAN
DEFEK TULANG DAN EKSPRESI ALKALI
FOSFATASE DI TULANG

DEWI NOVITASARI

NIM: 051511133105

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA


DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2018

ii
Lembar Pengesahan

EFEK SCAFFOLD BOVINE HYDROXYAPATITE-


GELATIN-ALENDRONAT PADA PENUTUPAN
DEFEK TULANG DAN EKSPRESI ALKALI
FOSFATASE DI TULANG

USULAN SKRIPSI

Dibuat untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi


pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2019

Oleh:

DEWI NOVITASARI
NIM: 051511133105

Usulan skripsi ini telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama, Pembimbing Serta,

Samirah, S.Si., Sp.FRS., Apt Mahardian Rahmadi, S.Si., M.Sc., Ph.D., Apt
NIP. 19800420 2003 12 2 001 NIP. 19810314 2005 01 1 002

iii
DAFTAR ISI

Halaman

iv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
IV.1 Perlakuan Pemberian Scaffold pada Tikus..................................................44
V.1 Jadwal Penelitian.........................................................................................48
V.2 Anggaran Penelitian....................................................................................49

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Ilustrasi Struktur Tulang Kompak dan Tulang Rawan.................................8
2.2 Osteoblas yang Melapisi Permukaan Tulang Trabekular.............................10
2.3 Sintesis Osteoid oleh Osteoblas Aktif...........................................................10
2.4 Osteoklas Dalam Tulang yang Aktif Tumbuh..............................................11
2.5 Regulasi Diferensiasi Osteoklas....................................................................12
2.6 Perbaikan Fraktur Femur...............................................................................17
2.7 Ilustrasi Komponen Kimia Bifosfonat..........................................................24
2.8 Potensi Bifosfonat Terhadap Kemampuan Penghambatan Osteoklas..........24
2.9 Mekanisme Kerja Bifosfonat Secara Seluler dan Biokimia..........................24
2.10 Ilustrasi Alendronat Dengan Rantai Samping Spesifik R2.........................25
2.11 Struktur Hidroksiapatit................................................................................28
2.12 Struktur Gelatin...........................................................................................29
2.13 Ikatan HA-gelatin-GA-alendronat...............................................................30
2.14 Skematik metode Avidin-Biotin-Complex...................................................33
3.1 Kerangka Konseptual....................................................................................37
4.1 Skema Pengelompokan Hewan Coba...........................................................41
4.2 Skema Kerangka Operasional.......................................................................41

vi
DAFTAR SINGKATAN

ABC : Avidin-Biotin Complex


ALP : Alkali Fosfatase
Ale : Alendronat
ATP : Adenosine Triphosphate
BHA : Bovine Hydroxyapatite
BMP-2 : Bone Morphogenetic Protein-2
CSF : Colony Stimulating Factor
EGF : Epidermal Growth Factor
FPPS : Farnesyl Pyrophosphate Synthase
GA : Glutaraldehid
Gel : Gelatin
GTP : Guanosine Triphosphate
HA : Hydroxyapatite
IHC : Immunohistochemistry
IL-I : Interleukin-Eosin
IL-1R1 : Interleukin 1 Receptor type 1
IRS : Immunoreactive Score
LSAB : Labeled StreptAvidin Biotin
M-CSF : Macrophage-Colony Stimulating Factor
NFATc1 : Nuclear Factor of Activated T-cell Cytoplasmic
OPG : Osteoprotegerin
OSF-1 : Osteoblast Spesific Factor-1
RANK : Receptor Activator of Nuclear Factor-KB
TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α
TNFR-1 : Tumor Necrosis Factor Receptor-1
TRAP : Tartrate-Resistant Acid Phosphatase
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tulang merupakan salah satu bagian tubuh yang paling penting karena
kemampuannya dalam menjalankan fungsi vital tubuh. Sebagai unsur utama
kerangka tubuh, tulang menyokong struktur-struktur tubuh lainnya, melindungi
organ-organ vital seperti yang terdapat di dalam rongga tengkorak dan dada, serta
mengandung sumsum tulang tempat di mana sel-sel darah dibentuk. Tulang relatif
rapuh, hingga dapat menyebabkan terjadinya fraktur (Appley and Solomon,
2010).
Fraktur merupakan salah satu penyebab terjadinya defek tulang. Fraktur
menyebabkan rusaknya kontinuitas dari struktur tulang. Tidak hanya keretakan
atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan
yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Dikarenakan pentingnya fungsi tulang
maka jika terjadi fraktur dibutuhkan teknik pengobatan yang dapat
menyembuhkan fraktur secara cepat (Appley and Solomon, 2010).
Perkembangan penanganan medis untuk mengatasi masalah fraktur diatas
salah satunya adalah menggunakan teknik implantasi. Teknik implantasi dapat
berfungi untuk pemberian mineral tulang pada bagian tulang yang mengalami
fraktur. Implan yang umumnya digunakan berbahan non biodegradabel sehingga
harus dilakukan operasi ulang untuk mengambil kembali implan yang telah
terpasang, akibatnya proses penyembuhan akan berlangsung lama. Oleh karena itu
dibuat sistem penghantaran menggunakan teknik implantasi dengan bahan yang
bersifat biodegradabel sehingga tidak perlu dilakukan operasi ulang untuk
mengambil kembali implan yang telah terpasang (Budiatin, 2014).
Implan yang digunakan berupa scaffold yang terbuat dari polimer
hidroksiapatit (HA). Scaffold adalah bentuk rekayasa jaringan tulang yang
merupakan matriks 3 dimensi yang menstimulasi perlekatan serta proliferasi sel-
sel osteoinducible pada permukaannya (Ghassemi et al., 2018).
Scaffold tulang secara optimal diharapkan memiliki sifat osteokonduktif dan
osteoinduktif. Osteokonduktif adalah kemampuan scaffold menyediakan jalur
migrasi ke dalam elemen seluler seperti sel mesenkimal, osteoblas, dan osteoklas,

1
serta pembuluh darah tambahan, sedangkan osteoinduktif mengacu pada
kemampuan scaffold dalam menginduksi proses diferensiasi sel-sel induk menjadi
sel osteogenik (Ghassemi et al., 2018).
HA merupakan salah satu polimer yang dapat digunakan untuk pembuatan
scaffold. HA menyajikan sifat osteokonduktif yang baik karena membentuk
bagian utama dari bahan anorganik pada tulang dan gigi manusia. HA merupakan
biomaterial yang tidak mengalami permasalahan dari segi kesesuaian biologi.
Selain itu, HA dapat digunakan sebagai bahan pengganti tulang misalnya, mengisi
dan memperbaiki tulang yang fraktur (Ghassemi et al., 2018).
HA alami memiliki ciri khas biomaterial, seperti bioaktif, osteokonduktif,
non-inflamasi, biokompatibel, tidak beracun, dan nonimmunogenic aktiva. Namun
HA memiliki kelemahan yaitu mudah rapuh dan kaku serta memiliki porositas
yang lebih rendah dibandingkan Bovine Hydroxyapatite (BHA) yang merupakan
komponen anorganik tulang sapi dan mempunyai kemampuan mengadsorpsi
berbagai bahan aktif , hormon, atau faktor pertumbuhan. Kelebihan BHA
daripada HA adalah lebih porus sehingga sel-sel dalam tulang lebih mudah untuk
berdiferensiasi di dalamnya, harganya lebih murah jika dibandingkan dengan HA
sintesis. Namun, bahan aktif yang diadsorpsi oleh BHA hanya di permukaan saja
sehingga kemampuannya dalam mengontrol pelepasan bahan aktif kurang
maksimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi permukaan dengan
menambahkan bahan pengikat yaitu gelatin (Gel) (Budiatin, 2014).
Dalam penggantian mineral tulang pada kasus fraktur, maka diperlukan
matriks polimer yang komposisinya menyerupai tulang, yaitu komponen organik
seperti kolagen maupun turunannya. Sehinga digunakan gelatin yang menyerupai
kolagen tipe 1 yang bersifat memperkuat komponen anorganik BHA (Askarzadeh
et al., 2005). Fungsi dari gelatin adalah sebagai penghalus sekaligus perekat, serta
dapat diresorpsi oleh tubuh. Gelatin dapat memperkuat BHA yang rapuh (fragile)
dan mendistribusi bahan aktif (Panzavolta et al., 2010). Keuntungan
menggunakan komposit kombinasi BHA-Gel yang merupakan material organik
dan anorganik adalah dapat mengikat bahan aktif lebih kuat, bersifat
biodegradabel, biokompatibel yang tinggi, bioresorpsi, tidak toksik,
osteokonduktif dan dapat bersatu dengan tulang disekitarnya. Namun ikatan

2
antara BHA-Gel-Ale belum cukup kuat untuk mengontrol pelepasan alendronat
dan degradasi scaffold, sehingga untuk memperbaiki ikatan agar waktu pelepasan
dapat diperpanjang dan degradasi scaffold dapat lebih terkontrol dilakukan cross-
link dengan cross-link agent yaitu glutaraldehid (Budiatin, 2014).
Scaffold BHA-Gel yang digunakan tidak hanya berfungsi sebagai pengisi
tulang namun sebagai pembawa obat. Bahan aktif yang digunakan dalam scaffold
BHA-Gel berasal dari golongan bifosfonat yaitu alendronat (Ale). Alendronat
merupakan obat golongan bifosfonat yang dalam strukturnya terdapat gugus
nitrogen, atau disebut golongan nitrogen-containing bisphosphonate. Bifosfonat
yang mengandung nitrogen diketahui memiliki efek positif terhadap osteoblas
menghasilkan pertumbuhan tulang yang lebih cepat (Toker et al., 2012).
Penggunaan alendronat secara lokal dalam bentuk scaffold bersama
pembawa BHA dan gelatin memiliki banyak manfaat. BHA merupakan material
yang tidak larut sehingga dapat mempertahankan kondisi scaffold dengan
demikian memungkinkan sel-sel osteoblas masuk ke dalam nya. Dalam scaffold
tersebut, alendronat akan berikatan dengan kalsium pada HA tulang sehingga
alendronat dapat bertahan lama di dalam tulang. Gelatin dalam scaffold akan
berinteraksi dengan osteoblas membentuk osteoid , bersama dengan kalsium dari
tulang dan BHA maka osteoid akan termineralisasi menjadi osteosit (Raggat and
Patridge, 2010).
Mekanisme kerja dari alendronat dalam menghambat osteoklas telah
diketahui secara pasti terdapat dua mekanisme yaitu pertama atom oksigen (O)
akan melepas atom hidrogen (H) pada rantai samping R1 dan mengikat ion Ca 2+
pada hidroksiapatit tulang, sehingga osteoklas tidak bisa mengambil kalsium pada
tulang. Kedua, atom nitrogen (NH2) akan mengikat dan menghambat secara
selektif enzim farnesyl pyrophosphate synthase (FPPS) yang merupakan enzim
yang mengatur jalur asam mevalonat untuk produksi kolesterol, sterol, dan lipid
isoprenoid untuk modifikasi pasca-translasi protein guanosine triphosphate (GTP-
binding) yang penting untuk fungsi osteoklas (Drake et al., 2008).
Alendronat yang menghambat jalur mevalonat kemudian akan merangsang
osteoblas dengan menginduksi ekspresi gen BMP-2 yang merupakan agen
osteokonduktif yang poten dan faktor pertumbuhan yang terlibat dalam

3
perekrutan, proliferasi dan diferensiasi sel-sel progenitor mesenkim menghasilkan
produksi jaringan tulang, melalui mekanisme ini alendronat dapat meningkatkan
pertumbuhan tulang (Von Knoch et al., 2005).
Pada mekanisme healing, segera setelah terjadi fraktur cedera akan
memunculkan respon peradangan dan menyebabkan hematoma mengental pada
ujung fraktur hingga medula tempat pembentukan kalus. Respon proinflamasi
awal melibatkan sekresi tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL-1),
IL-6, IL-11, dan IL-18. Faktor-faktor ini mengerahkan sel-sel inflamasi dan
merangsang angiogenesis. Selanjutnya terjadi perekrutan sel mesenkimal untuk
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel osteogenik, proses penyembuhan
dilanjutkan dengan regenerasi tulang rawan dan tulang kalus periosteum diikuti
dengan revaskularisasi di situs fraktur, mineralisasi dan resorpsi dari kalus
kartilago dan terakhir adalah proses remodeling (Einhorn and Gerstenfeld, 2014).
Pada saat terjadi osteogenesis terdapat peran dari enzim alkali fosfatase
(ALP) dalam proliferasi, diferensiasi serta mineralisasi dari osteoblas (Kim,
2017). Selama proses diferensiasi dari pre osteoblas menjadi osteoblas maka
aktivitas ALP akan tinggi (minggu ke-2), saat awal terbentuknya osteoblas maka
aktivitas ALP akan menurun dan akan ditemukan tinggi lagi saat awal proses
mineralisasi (minggu ke-4). Enzim ini mempersiapkan suasana alkalis (basa) pada
jaringan osteoid yang terbentuk supaya kalsium dapat dengan mudah terdeposit
pada jaringan tersebut (Yudaniayanti, 2005). ALP akan menghidrolisis pirofosfat
anorganik sebagai inhibitor proses mineralisasi dan melepaskan fosfat anorganik
dalam bentuk ion fosfat (Goes, 2012). Dengan adanya hidrolisis anorganik
pirofosfat tersebut menyebabkan meningkatnya konsentrasi fosfat, sehingga
terbentuklah ikatan kalsium-fosfat dalam bentuk kristal hidroksiapatit dan
mengendap di dalam tulang (Yudaniayanti, 2005).
Dalam proses healing tersebut, alendronat memicu peningkatan
pertumbuhan tulang melalui peningkatan proliferasi dan diferensiasi dari
osteoblas (Kim, 2017). Penelitian baru tentang penggunaan alendronat
menyebutkan bahwa alendronat tidak hanya mampu menghambat aktivitas dari
osteoklas melainkan menyebabkan peningkatan aktivitas osteogenesis dari
osteoblas. Sebuah studi sebelumnya melaporkan bahwa alendronat meningkatkan

4
proliferasi sel stromal sumsum tulang dan diferensiasi osteoblastik melalui gen
yang berhubungan dengan osteogenesis yaitu BMP-2 dengan enzim ALP sebagai
marker yang diekspresikan dalam proses tersebut (Kim, 2017). Peningkatan
aktivitas osteogenik dari sel osteoblas dapat dilihat melalui marker ALP (Salim,
2017). ALP merupakan marker pertumbuhan tulang berupa eksoenzim yang
bersinggungan dengan kompartemen ekstrasel sehingga aktivitas dan fungsinya
dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, oleh karena itu ekspresi ALP dapat
dianalisis untuk menggambarkan adanya pengaruh pemberian scaffold Bovine
Hydroxyapatite-gelatin-alendronat (BHA-Gel-Ale) terhadap perbaikan tulang
menggunakan metode imunohistokimia (Goes, 2012).
Penelitian sebelumnya dilakukan pada model defek hewan tikus dengan
alendronat yang diberikan secara lokal telah menunjukkan adanya peningkatan
aktivitas pembentukan tulang di sekitar implan. Toker et al., (2012) melaporkan
bahwa alendronat dengan pemberian lokal dapat menginduksi aktivitas
osteoblastik dan pembentukan tulang. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh
Boanini et al., (2008) disebutkan bahwa pemberian komposit nanokristal
alendronat-hidroksiapatit pada kultur sel osteoblas dan osteoklas mampu
menghambat proliferasi osteoklas dan meningkatkan pertumbuhan serta
diferensiasi osteoblas yang dilihat dari peningkatan produksi ALP dibandingkan
dengan kelompok kontrol dan kelompok yang hanya diberikan hidroksiapatit
murni (Toker et al., 2012).
Penelitian terkait efek scaffold BHA-Gel-Ale terhadap ekspresi ALP dengan
model fraktur pada hewan tikus belum pernah dilakukan, sehingga peneliti ingin
mengetahui efek scaffold BHA-Gel-Ale terhadap ekspresi ALP dengan model
fraktur pada hewan tikus.
Untuk mengetahui efek scaffold BHA-Gel-Ale pada penelitian ini, maka
dilakukan analisis ekspresi ALP sebagai marker pertumbuhan tulang
menggunakan metode imunohistokimi. Selain itu, digunakan radiologi x-ray
sebagai evaluasi fisik mengenai gambaran tulang setelah pemberian scaffold
dengan mengamati penyempitan defek tulang.
Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efek scaffold BHA-Gel-Ale sebagai pengisi tulang fraktur

5
menggunakan model fraktur pada tulang tikus dengan analisis ekspresi ALP di
tulang dan pengamatan radiologi x-ray.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana efek pemberian secara lokal scaffold BHA-Gel-Ale pada defek
tulang akibat fraktur?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui efek scaffold BHA-Gel-Ale sebagai pengisi tulang fraktur
dengan analisis ekspresi ALP di tulang dan pengamatan radiologi x-ray.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui ekspresi level ALP di tulang tikus yang fraktur pada hari ke-14
dan hari ke-28.
b. Mengetahui perbaikan defek tulang akhir pada gambar radiologi.

1.4 Manfaat Penelitian


Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek
scaffold BHA-Gel-Ale sebagai pengisi tulang fraktur yang diidentifikasi dengan
analisis ekspresi ALP di tulang dan pengamatan radiologi x-ray.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tulang
Kerangka terdiri dari tulang yang memiliki kandungan anorganik lebih besar
dibanding kandungan organik. Komposisi anorganik dari matriks tulang sebagian
besar tersusun atas kristal garam kalsium fosfat yang berada dalam bentuk
hidroksiapatit. Ini memungkinkan tulang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
dari kalsium dan fosfat yang dapat disimpan atau dimobilisasi dalam mode
terkontrol. Tulang juga mengandung karbonat, fluor,asam fosfat, magnesium dan
sitrat. Komponen organik dari matrik tulang sebagian besar tersusun atas kolagen
tipe I yang disintesis intraseluler sebagai tropokolagen dan kemudian dikeluarkan
sebagai kolagen fibril. Selain kolagen, matriks tulang tersusun atas proteoglikan,
glikoprotein, fosfolipid, fosfoprotein, serta berbagai faktor pertumbuhan seperti
osteoklasin, osteonektin, dan sialoprotein tulang (Safadi et al., 2009). Mineral
tulang memberikan kekuatan dan daya tahan terhadap serangan dari luar,
kepadatan, menghasilkan tulang tebal yang menyusun tengkorak, dan korteks
tulang panjang (Landis, 1995). Fungsi utama tulang kortikal atau tulang kompak
adalah sebagai penyangga tubuh karena sifat komposisinya yang kompak dan
padat. Fungsi lain tulang kompak adalah untuk melindungi organ dan menyimpan
elemen penting seperti kalsium. Korteks berfungsi membungkus tulang spons atau
tulang cancellous. Jaringan cancellous atau jaringan tulang spons tersusun dalam
bentuk kurang padat dan memiliki luas permukaan yang lebih besar. Sebagian
besar terkonsentrasi di daerah proksimal sendi . Di dalam jaringan trabecular
terdapat sumsum tulang merah yang berfungsi dalam produksi sel-sel darah dan
adanya aktivitas metabolik seperti pertukaran ion kalsium (Pura, 2014).
Kerangka tulang adalah struktur yang dinamis. Sehingga komposisi tulang
kortikal dan cancellous berubah sesuai dengan fungsi tertentu (Gambar 2.1).
Kerangka terus-menerus tumbuh atau mengalami remodeling. Selama masa
kanak-kanak, tahap perkembangan awal terlihat bahwa tulang tumbuh dengan
membesarnya diameter, ketebalan, dan panjang (seperti yang terlihat pada tulang

7
panjang). Ketika dewasa, pembentukan dan peningkatan massa tulang disebut
remodeling tulang. Kerangka yang sehat akan memiliki keseimbangan dua
aktivitas utama yaitu resorpsi dan pembentukan (Hill, 1998). Resorpsi, atau
penghilangan tulang, dilakukan oleh osteoklas. Pengeroposan atau kehilangan
tulang dapat diimbangi dengan pembentukan tulang yang baru oleh osteoblas.
Seperti kebanyakan sistem di dalam tubuh manusia, tulang memiliki kemampuan
untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan atau penyesuaian dengan
kebutuhan tubuh (Sommerfeldt and Rubin, 2001). Ketidakseimbangan dalam
homeostasis tulang dapat muncul ketika tubuh tidak mampu mengelola proses
remodeling. Penyakit tulang metabolik dapat muncul akibat adanya aktivitas yang
berlebihan dari salah satu komponen osteoklas maupun osteoblas yang tidak
seimbang. Akibatnya, terjadi peningkatan yang tidak
menguntungkan dalam proses resorpsi dan
pembentukan tulang (Pura,
2014).

Gambar 2.1 Ilustrasi struktur tulang kompak dan tulang rawan (Pura, 2014)

2.1.1 Sel Tulang


Sel tulang terdiri dari osteoblas penghasil matriks, jaringan penyerap
osteoklas, dan osteosit yang merupakan penyusun 90% dari semua sel kerangka
dewasa. Osteosit dapat dilihat sebagai osteoblas yang telah terdiferensiasi
sepenuhnya, demikian juga, osteoblas disebutkan sebagai fibroblas yang canggih.
Fibroblas, osteoblas, osteosit dan adiposit berasal dari mesenkim pluripoten sel

8
punca. Sedangkan osteoklas berasal dari turunan hematopoietik dan perkusornya
berada di fraksi monositik sumsum tulang (Sommerfeldt and Rubin, 2001).

9
2.1.1.1 Osteoblas
Osteoblas berasal dari sel punca mesenkimal yang memiliki potensi untuk
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel jaringan ikat. Sel
prolipoten mesenkimal ini dapat berdirferensiasi menjadi
osteoblas,khondroblas,sel stroma sumsum tulang,fibroblas,sel-sel otot atau
adiposit tergantung sifat stimulus pada lingkungan mikro nya. Apabila terdapat
pembuluh darah maka akan berdiferensiasi menjadi osteoblas dan apabila tidak
terdapat pembuluh darah akan menjadi khondroblas (Safadi et al., 2009).
Untuk dapat berdiferensiasi menjadi osteoblas, pertama akan dikeluarkan
sel-sel osteoprogenitor, sel yang masih mampu berproliferasi menjadi sumber sel
baru dari osteoblas dan osteoklas. Sel tersebut berada pada permukaan jaringan
tulang pada periosteum bagian dalam dan juga endosteum. Selama pertumbuhan,
sel-sel ini akan membelah diri dan menghasilkan sel osteoblas. Osteoblas
berbentuk kuboid atau silindris pendek dan ditemukan di lapisan permukaan
tulang tempat aktif pembentukan tulang atau perbaikan fraktur. Osteoblas
bertanggung jawab pada pembentukan kolagen tipe I dan proteoglikan
(glikosaminoglikan) yang sebagian besar terdiri dari komponen organik matriks
tulang, juga dikenal sebagai osteoid. Osteoblas juga terlibat dalam mineralisasi
osteoid selanjutnya melalui pembebasan matriks vesikel dan pengendapan
kalsium dan fosfat. Terlihat pada gambar 2.3 osteoid termineralisasi tampak
berwarna hitam (Safadi et al., 2009).
Osteoblas juga menghasilkan berbagai jenis protein non kolagen lainnya
termasuk osteoklasin, osteopontin, sialoprotein tulang, dan osteonektin. Protein-
protein ini juga merupakan penanda fenotip dari osteoblas. Osteoblas
mengeluarkan berbagai sitokin dan colony stimulating factor (CSF), seperti
interleukin-6, interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF), dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF), dengan
demikian osteoblas berperan dalam myelopoesis. Osteoblas juga mensekresikan
receptor activator of nuclear factor-κB (RANK), protein yang berperan dalam
diferensiasi osteoklas (Sommerfeldt and Rubin, 2001).

10
Umur osteoblas berkisar antara 3 hari pada kelinci muda hingga 8 minggu
pada manusia, dalam waktu tersebut osteoblas akan melepaskan 0,5-1,5µm
osteoid per hari. Kemudian beberapa osteoblas akan terperangkap dalam matrik
kalsifikasinya sendiri, mengubah fenotipnya dan berkembang menjadi osteosit.
Sel-sel tersebut terus berkembang namun organel sel dan produksi matrik protein
menjadi berkurang. Sel osteosit tersebut tetap terhubung dengan sel tulang serupa
lainnya tetapi juga dengan sel-sel tulang (osteoblas tidak aktif) di permukaan
tulang membentuk jaringan ekstensif dari hubungan interseluler (Sommerfeldt and
Rubin, 2001). Photomicrograph dari tulang trabekular metaphyseal pada gambar
2.2 menunjukkan lapisan kuboid osteoblas yang aktif pada permukaan trabekular
(panah hitam). Beberapa osteosit terbungkus dalam matriks tulang (panah biru)
(Safadi et al., 2009)

Gambar 2.2 Osteoblas yang melapisi permukaan tulang trabekular (Safadi et al.,
2009)

Gambar 2.3 Sintesis osteoid oleh osteoblas aktif (Safadi et al., 2009)

11
2.1.1.2 Osteoklas
Ciri utama osteoklas adalah kemampuannya meresorpsi tulang yang
termineralisasi pada Lacunae Howship. Makrofag dan osteoklas merupakan
derivat dari sel induk hematopoietik. Seperti makrofag, osteoklas mudah
bermigrasi, multinukleat, sel yang terpolarisasi dan mengandung enzim lisosom.
Walaupun jalur derivatisasi dari osteoklas dan osteoblas berasal dari sel induk
yang berbeda, genesis dari osteoklas membutuhkan kehadiran dari osteoblas
bersama dengan berbagai sitokin hematopoetik seperti interleukin 1, 3, 6, dan 11,
TNF, CSF, faktor sel induk dan faktor lainnya. CSF diperlukan untuk proliferasi
dan diferensiasi dari sel progenitor osteoklas. Setelah osteoklas terbentuk, sitokin
diperlukan untuk aktivasi dan resorpsi tulang. Hormon paratiroid, 1,25
dihidroksivitamin D3, mengubah TNF-α dan epidermal growth factor (EGF)
bertindak untuk merangsang osteoklastogenesis, sedangkan kalsitonin
menghambat pembentukan osteoklas. Osteoklas ditemukan pada tempat dimana
terjadi resorpsi tulang maupun jika resorpsi aktif telah terjadi dalam lubang atau
rongga yang disebut Lacunae Howship (gambar 2.4) (Safadi et al., 2009). Sisi
resorpsi terbentuk dibawah sel dimana enzim litik disekresikan. Osteoklas yang
aktif mampu menyerap hingga 200.00µm3/hari, jumlah tulang yang dibentuk oleh
tujuh hingga sepuluh generasi osteoblas dengan usia rata-rata 15-20 hari
(Sommerfeldt and Rubin, 2001).

Gambar 2.4 Osteoklas dalam tulang yang aktif tumbuh (Safadi et al., 2009)

12
Pembentukan osteoklas memerlukan interaksi antara RANK dan ligannya,
RANKL. Interaksi antara RANK dan RANKL ini diregulasi oleh produksi
osteoprotegerin (OPG) (Bezerra, 2005). Pada diferensiasi osteoklas, monosit
diturunkan dari pembuluh di sumsum tulang, mencapai area pembentukan atau
remodeling tulang lalu mengekspresikan reseptor M-CSF pada permukaan sel.
Monosit tersebut kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag. M-CSF mengikat
reseptor M-CSF dan menginduksi ekspresi RANK. RANKL diproduksi oleh sel
stroma atau osteoblas dan berikatan dengan reseptor RANK pada progenitor
osteoklas mononuklear (makrofag sumsum tulang). OPG, reseptor umpan yang
mengikat RANKL dan menghambat diferensiasi osteoklas. Selanjutnya,
mengikuti interaksi antara RANK dan RANKL, progenitor osteoklas
mononuklear bergabung membentuk osteoklas multinukleat yang non fungsional
tidak berikatan dengan osteoblas. Beberapa faktor termasuk faktor transkripsi,

hormon, produksi sitokin / faktor pertumbuhan dan matriks protein memediasi


aktivasi osteoklas. Proses diferensiasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5
(Safadi et al., 2009)
Gambar 2.5 Regulasi diferensiasi osteoklas (Safadi et al., 2009)

2.1.1.3 Osteosit
Berbeda dengan sel-sel permukaan seperti osteoblas, osteosit adalah sel-sel
tulang yang hidup dalam substansi tulang. Osteosit berasal dari osteoblas yang

13
terperangkap dan dikelilingi oleh matriks tulang yang mereka hasilkan sendiri.
Ruang yang mereka tempati dikenal sebagai Lacunae. Osteosit memiliki
kemampuan untuk menstimulasi osteoblas dan matriks yang menyertainya dengan
mengekspresikan osteoblast spesific factor-1 (OSF-1). OSF-1 terakumulasi pada
permukaan tulang dekat dengan osteosit dan berikatan dengan reseptornya, N-
syndecan terletak di sel-sel progenitor osteoblas (Safadi et al., 2009).

2.2 Proses Penyembuhan Fraktur


Penyembuhan fraktur dan perbaikan jaringan skeletal melibatkan suatu fase
anabolik awal yang ditandai dengan peningkatan volume jaringan dan diferensiasi
sel punca yang membentuk tulang dan vaskular jaringan. Setelah fase anabolik
berakhir, diikuti oleh prolonged phase yang didominasi oleh aktivitas katabolik
dan dicirikan dengan pengurangan volume jaringan kalus (Einhorn and
Gerstenfeld, 2014). Secara umum, terdapat dua jenis penyembuhan fraktur antara
lain penyembuhan fraktur secara tidak langsung (indirect fracture healing) dan
penyembuhan fraktur secara langsung (direct fracture healing) (Marsell and
Einhorn, 2011). Selain itu terdapat tiga fase mayor dari proses penyembuhan
fraktur yaitu fase reaktif, fase reparatif, dan fase remodeling (Affshana and Pria,
2015).

2.2.1 Penyembuhan Fraktur Secara Tidak Langsung


Penyembuhan fraktur secara tidak langsung (sekunder) merupakan bentuk
paling umum dari penyembuhan fraktur, terdiri dari penyembuhan tulang
endokondral dan tulang intramembran. Penyembuhan ini tidak memerlukan
reduksi anatomi maupun kondisi yang sangat stabil. Sebaliknya, penyembuhan ini
ditingkatkan dengan gerakan mikro dan menahan beban. Namun, terlalu banyak
gerakan dan beban dapat menghambat penyembuhan. Penyembuhan tulang secara
tidak langsung biasanya terjadi pada perawatan fraktur yang nonoperatif dan
perawatan operasi tertentu (Marsell and Einhorn, 2011).

2.2.1.1 Respon Inflamasi Akut


Setelah terjadi fraktur, perubahan pertama yang terlihat oleh mikroskop
elektron adalah adanya sel-sel darah dalam jaringan yang berdekatan dengan area
yang cedera. Segera setelah fraktur, pembuluh darah akan menyempit dan

14
menghentikan pendarahan lebih lanjut. Dalam beberapa jam setelah fraktur, sel
darah ekstravaskuler membentuk bekuan darah yang dikenal sebagai hematoma
(Affshana and Pria, 2015). Hematoma terdiri dari sel darah perifer, intramedula,
serta sel-sel sumsum tulang. Adanya cedera memunculkan respon peradangan dan
menyebabkan hematoma mengental pada ujung fraktur hingga medula tempat
pembentukan kalus yang merupakan proses awal dalam fase reaktif (Marsell and
Einhorn, 2011).
Respon inflamasi akut memuncak pada 24 jam pertama dan berakhir dalam
waktu 7 hari. Respon proinflamasi awal melibatkan sekresi TNF-α, IL-1, IL-6, IL-
11, dan IL-18. Faktor-faktor ini mengerahkan sel-sel inflamasi dan merangsang
angiogenesis. Konsentrasi TNF-α memuncak pada 24 jam pertama dan kembali ke
baseline dalam 72 jam pasca trauma. Dalam waktu tersebut, TNF-α diekspresikan
oleh sel makrofag dan sel inflamasi lainnya menyebabkan induksi dari sinyal
inflamasi sekunder dan bertindak sebagai agen kemotaktik untuk mengerahkan
sel-sel yang dibutuhkan (Marsell and Einhorn, 2011).
TNF-α menginduksi diferensiasi osteogenik yang dapat memediasi aktivasi
reseptor TNFR-1 dan TNFR-2 yang diekspresikan baik di osteoblas maupun
osteoklas. TNFR-1 selalu diekspresikan pada tulang, sedangkan TNFR-2 hanya
diekspresikan pada saat terdapat cedera, hal ini menunjukkan bahwa TNFR-2
memiliki peran yang lebih spesifik dalam regenerasi tulang. Diantara interleukin
yang disekresikan, IL-1 dan IL-6 memiliki peran paling penting dalam
penyembuhan fraktur. IL-1 diekspresikan bersama dengan TNF-α, diproduksi oleh
makrofag pada fase inflamasi akut dan menginduksi produksi IL-6 dalam
osteoblas, meningkatkan produksi softcallus primer dan merangsang angiogenesis
pada area yang cedera dengan mengaktifkan salah satu dari dua reseptornya yaitu
interleukin 1 receptor type 1 (IL-1RI) atau interleukin 1 receptor type II (IL-
1RII). IL-6 hanya diproduksi selama fase akut dan merangsang angiogenesis,
produksi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan diferensiasi dari
osteoblas maupun osteoklas (Marsell and Einhorn, 2011).
Semua sel yang berada dalam bekuan darah akan didegenerasi dan mati.
Beberapa sel yang berada diluar bekuan darah tetapi berada di dekat area yang
cedera juga didegenerasi dan mati. Di dalam area yang sama ini, fibroblas

15
bertahan dan bereplikasi membentuk agregat sel yang diselingi dengan pembuluh
darah kecil dikenal sebagai jaringan granulasi (Affshana and Pria, 2015).

2.2.1.2 Generasi Tulang Rawan dan Tulang Kalus Periosteum


Proses ini masuk dalam fase reparatif dari penyembuhan fraktur.
Beberapa hari setelah fraktur, sel-sel periosteum bereplikasi dan berubah. Sel
periosteal proksimal yang berada di dekat celah fraktur berkembang menjadi
kondroblas yang membentuk hialin tulang rawan. Sel periosteal distal yang berada
lebih jauh dari celah fraktur berkembang menjadi osteoblas yang membentuk
woven bone. Fibroblas dalam jaringan granulasi berkembang menjadi kondroblas
yang juga membentuk kartilago hialin. Kedua jaringan baru ini bertambah besar
kemudian bersatu dengan bagian lain dari fraktur. Proses ini berujung pada
pembentukan massa baru dari jaringan heterogen yang dikenal sebagai kalus
fraktur. Celah pada fraktur disambung oleh kartilago hialin, sehingga mampu
memulihkan sebagian dari kekuatan aslinya (Affshana and Pria, 2015).
Fase selanjutnya adalah penggantian dari kartilago hialin dan woven bone
dengan tulang pipih. Proses penggantian ini dikenal sebagai osifikasi
endokondral. Penggantian woven bone dengan tulang pipih mendahului substitusi
dari hialin tulang rawan dengan tulang pipih. Tulang pipih mulai terbentuk segera
setelah matriks kolagen dan jaringan lain termineralisasi. Pada tahap ini, matriks
yang termineralisasi ditembus oleh saluran-saluran yang mengandung microvessel
dan banyak osteoblas. Osteoblas membentuk tulang pipih yang baru pada
permukaan yang terpapar matriks termineralisasi. Tulang pipih yang baru ini akan
membentuk tulang trabekular. Kemudian woven bone dan kartilago hialin yang
terbentuk akibat fraktur diganti dengan tulang trabekular yang memulihkan
sebagian besar kekuatan tulang (Affshana and Pria, 2015).

2.2.1.3 Revaskularisasi dan Neoangiogenesis di Situs Fraktur


Penyembuhan fraktur memerlukan suplai darah dan revaskularisasi
untuk keberhasilan perbaikan tulang. Dalam penyembuhan fraktur endokondral
tidak hanya melibatkan jalur angiogenik tetapi juga apoptosis kondrosit dan
degradasi kartilago untuk menghilangkan sel dan matriks ekstrasel sehingga
pembuluh darah dapat tumbuh pada sisi yang cedera. Proses vaskularisasi diatur
oleh dua jalur molekuler, yaitu jalur angiopoietin-dependent dan VEGF-

16
dependent. Jalur VEGF merupakan pengatur utama dari regenerasi pembuluh
darah dengan merangsang vaskulagenesis yaitu agregasi dan proliferasi dari sel
induk endotel mesenkimal ke dalam pleksus vaskular dan angiogenesis yaitu
pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah ada. Oleh
karena itu VEGF memainkan peran penting dalam neoangiogenesis dan
revaskularisasi di area fraktur (Marsell and Einhorn, 2011).

2.2.1.4 Mineralisasi dan Resorpsi dari kalus kartilago


Agar regenerasi tulang berlangsung, softcallus perlu diresorpsi dan
diganti dengan hardcallus. Saat fraktur, kalus kondrosit berproliferasi menjadi
hipertrofik dan matriks ekstraseluler dikalsifikasi. Sebuah kaskade diatur oleh M-
CSF, RANKL, OPG dan TNF-α memulai resorpsi dari kartilago yang
termineralisasi. Dalam proses ini, M-SCF, RANKL dan OPG membantu
mengerahkan sel-sel tulang dan osteoklas untuk membentuk woven bone. TNF-α
memulai terjadinya apoptosis kondrosit (Marsell and Einhorn, 2011).
Mekanisme kalsifikasi melibatkan peran mitokondria yang
mengakumulasi kalsium mengandung granul yang dibuat di lingkungan fraktur
yang hipoksia. Setelah elaborasi ke sitoplasma, butiran kalsium diangkut ke
matriks ekstraseluler kemudian mengendap bersama fosfat dan mengawali
pembentukan endapan mineral. Endapan kalsium dan fosfat ini menjadi tempat
untuk nukleasi homogen dan pembentukan dari kristal apatit. Puncak
pembentukan dari hardcallus biasanya tercapai pada hari ke 14 dengan model
binatang ditandai dengan histomorfometri dari jaringan termineralisasi ,
pengukuran matriks ekstrasel seperti prokolagen tipe I, osteoklasin, alkali
fosfatase dan osteonektin. Dengan berlangsungnya pembentukan hardcallus dan
tulang rawan diganti dengan woven bone, kalus menjadi lebih padat dan kaku
secara mekanis (Marsell and Einhorn, 2011).

2.2.1.5 Bone Remodelling


Meskipun hardcallus adalah struktur yang kaku dan stabil secara
biomekanis, tetapi tidak sepenuhnya dapat mengembalikan stabilitas biomekanis
dari tulang normal. Untuk dapat meningkatkan stabilitas hingga mendekati tulang
normal, maka dilakukan resorpsi kedua. Dalam fase ini terjadi remodeling dari
hardcallus menjadi struktur tulang pipih. Fase ini diatur secara biokimia oleh IL-1

17
dan TNF-α, yang menunjukkan tingkat ekspresi tinggi dibandingkan dengan TNF-
β yang ekspresinya berkurang selama tahap ini (Marsell and Einhorn, 2011).
Pada saat remodeling terjadi proses yang seimbang antara resorpsi
hardcallus oleh osteoklas dengan deposisi tulang lamelar oleh osteoblas. Pertama
tulang trabekular diserap oleh osteoklas, membentuk tulang resorpsi dangkal yang
disebut Lacunae Howship. Kemudian osteoblas mengendapkan tulang kompak
dalam lubang resorpsi. Akhirnya tulang kalus fraktur dirombak menjadi bentuk
baru yang menyerupai bentuk dan kekuatan asli tulang. Proses ini dimulai dalam
waktu 3-4 minggu pada model hewan dan manusia, namun untuk dapat mencapai
struktur tulang yang sepenuhnya diregenerasi, proses remodeling membutuhkan
waktu 3 hingga 5 tahun tergantung pada faktor usia dan faktor umum lainnya.
Proses ini dapat ditingkatkan dengan pemberian injeksi biomaterial sintetik
tertentu yang memiliki aktivitas osteokonduktif dan meningkatkan penyembuhan
tulang (Affshana and Pria, 2015).

Gambar 2.6 Perbaikan fraktur femur (Einhorn and Gerstenfeld, 2014)

Penyembuhan dengan kalus, meskipun tidak langsung (indirect) memiliki


keuntungan antara lain dapat menjamin kekuatan tulang di akhir penyembuhan

18
tulang, dengan peningkatan tekanan kalus berkembang lebih kuat. Dengan
penggunaan fiksasi metal, disisi lain, tidak terdapatnya kalus berarti tulang akan
bergantung pada implan metal dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena,
implan akan mengurangi tekanan, yang mungkin dapat menyebabkan osteoporotik
dan tidak sembuh total sampai implan dilepas (Appley and Solomon, 2010).

2.2.2 Penyembuhan Fraktur Secara Langsung


Penyembuhan dengan proses penyatuan langsung tidak lagi melibatkan
proses pembentukan kalus. Jika lokasi fraktur benar‒benar dilakukan imobilisasi
dengan menggunakan plate, tidak dapat memicu kalus. Namun, pembentukan
tulang baru dengan osteoblas timbul secara langsung diantara fragmen. Gap antar
permukaan fraktur diselubungi oleh kapiler baru dan sel osteoprogenitor tumbuh
dimulai dari pangkal dan tulang baru terdapat pada permukaan luar (gap healing).
Saat celah atau gap sangat kecil, osteogenesis memproduksi tulang lamelar, gap
yang lebar pertama‒ tama akan diisi dengan woven bone, yang selanjutnya
dilakukan remodeling untuk menjadi tulang lamelar. Setelah 3‒4 minggu, fraktur
sudah cukup kuat untuk melakukan penetrasi dan bridging mungkin kadang
ditemukan tanpa adanya fase pertengahan atau contact healing (Appley and
Solomon, 2010).

2.3 Model Defek Tulang pada Tikus


Sebelum dilakukan pengujian pada manusia, implan tulang yang ideal harus
diuji baik secara in vivo maupun in vitro untuk memastikan bahwa implan bekerja
dengan efektif dan aman. Oleh karena itu, menentukan model binatang yang
sesuai adalah hal yang sangat diperlukan untuk dapat mengevaluasi properti
mekanik dan biokompatibilitas biomaterial implan (Li et al., 2015).
Tikus merupakan hewan pengerat berukuran kecil dan mudah ditangani,
salah satu model hewan yang paling sering digunakan dalam studi praklinis untuk
menguji biomaterial dari pengganti tulang, dan dianggap sebagai salah satu model
pilihan pertama untuk uji in vivo regenerasi jaringan tulang. Namun,
dibandingkan dengan hewan lain yang lebih besar seperti kelinci, anjing, dan babi,
tikus memiliki tulang panjang berukuran kecil dan korteks yang tipis dan rapuh.
Model defek tulang tikus telah berhasil digunakan untuk menguji secara in vivo

19
kemampuan osteokonduktif dan osteoinduktif dari bahan pengganti tulang (Li et
al., 2015).
Penggunaan obat lokal atau sistemik dapat diuji menggunakan model ini.
Mengubah genotip tikus yang terlibat dengan model ini juga memungkinkan
peneliti untuk memahami jalur sinyal molekuler yang terlibat dalam
penyembuhan fraktur dan regenerasi tulang. Menurut ukuran dan pola kerusakan
tulang, model-model ini dibagi lagi menjadi model lubang bor atau ukuran kritis
(Ning et al., 2017).
Model lubang bor biasanya dibuat di femur atau tibia. Untuk membuat
lubang bor, bor dimasukkan ke tulang sambil menerapkan irigasi konstan.
Lubang-lubang ini biasanya dibuat di poros tengah diafisis tulang panjang,
dimana hanya tulang kortikal yang terlibat. Model ini dapat berupa unicortical
atau bicortical, dimana lubang dibuat baik di satu sisi atau di kedua sisi tulang
kortikal (Ning et al., 2017).
Model kerusakan tulang kritis digunakan untuk mensimulasikan tingkat
keropos tulang yang lebih besar daripada model lubang bor. Sebuah tinjauan
literatur mengungkapkan bahwa dua metode yang paling sering digunakan untuk
membentuk defek tulang kritis termasuk penggunaan tulang tengkorak atau tulang
panjang ekstremitas, termasuk tulang paha dan jari jari. Ada berbagai perbedaan
dalam metode yang digunakan untuk menetapkan model-model ini. Untuk
menciptakan defek kranial, perikranium dihilangkan dan trephine digunakan
untuk menciptakan defek tulang melingkar ditengkorak, dengan perawatan teliti
yang diambil untuk menghindari kerusakan duramater yang mendasarinya (Ning
et al., 2017). Critical - size defek dianggap sebagai luka terkecil yang terjadi
secara intraoseus, yang tidak dapat sembuh secara alami selama masa hidup
binatang. Pada tikus, sebuah defek berukuran 3 mm telah dilaporkan diperlukan
untuk menciptakan defek tulang paha yang dapat bertahan lama (Li et al., 2015).

2.4 Scaffold
Rekayasa jaringan telah digunakan sebagai pengobatan medis yang
potensial yang dapat menghilangkan operasi ulang dengan menggunakan
pengganti biologis, menggunakan pengganti biologis untuk mengatasi masalah
penolakan implan, transmisi penyakit yang terkait dengan xenograft dan allograft,

20
kekurangan donor organ, sebagai solusi jangka panjang dalam perbaikan jaringan
atau pengobatan penyakit (Wang, 2006). Scaffold adalah bentuk rekayasa jaringan
tulang. Scaffold tulang adalah matriks 3D yang memungkinkan dan menstimulasi
perlekatan dan proliferasi sel-sel osteoinducible pada permukaannya (Ghassemi et
al., 2018). Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan scaffold antara lain
scaffold harus biokompatibel dengan toksisitas seminimal mungkin hingga tidak
ada reaksi inflamasi, harus lulus uji sitotoksisitas, harus dapat menjaga sel tetap
hidup dan menyatu dengannya. Scaffold harus dapat menyediakan perlekatan dan
proliferasi sel yang baik, scaffold harus kuat menahan tekanan mekanis, dan
bersifat biodegradabel, sterilitas tanpa kehilangan bioaktivitasnya juga harus
diperhitungkan. Scaffold diinginkan mampu memberikan pelepasan terkendali
dari bahan aktif yang dibawanya (Ghassemi et al., 2018).
Scaffold tulang secara optimal diharapkan memiliki sifat osteokonduktif dan
sifat osteoinduktif. Osteokonduktif adalah kemampuan scaffold menyediakan jalur
migrasi ke dalam dari elemen seluler seperti sel mesenkimal, osteoblas, dan
osteoklas, serta pembuluh darah tambahan, sedangkan osteoinduktif mengacu
pada kemampuan menginduksi proses diferensiasi sel-sel dari garis keturunan
yang berbeda ke sel osteogenik (Ghassemi et al., 2018).
Secara umum, bahan polimer memberikan lebih banyak pengendalian pada
karakteristik fisiokimia dari scaffold seperti ukuran pori, porositas, kelarutan,
biokompatibilitas, reaksi enzimatik, dan reaksi alergi (Ghassemi et al., 2018). HA
merupakan salah satu polimer yang dapat digunakan untuk pembuatan scaffold.
Scaffold HA telah dipelajari secara luas. HA menyajikan sifat osteokonduktif
yang baik karena membentuk bagian utama dari bahan anorganik pada tulang dan
gigi manusia (Leboucher, 2002).
Untuk merancang scaffold fungsional, struktur scaffold harus bersifat porus
(porositas 50-90%) dengan diameter pori minimum 100-150 μm dan diameter pori
200-350 μm untuk pertumbuhan tulang yang optimal. Interkoneksi yang tepat
antara pori-pori sangat penting untuk difusi nutrisi, oksigen dan cairan
ekstraseluler yang keluar masuk dari matriks seluler. Selain diameter pori,
distribusi ukuran pori, volume pori, bentuk pori, ukuran pori pori dan kekasaran
dinding pori juga dipertimbangkan untuk mendapatkan pertumbuhan jaringan

21
yang tepat. Kedua porositas makro dan mikro memainkan peran penting dalam
pengembangan jaringan di dalam lingkungan scaffold. Porositas makro memiliki
ukuran pori 150-900 μm memungkinkan difusi limbah dan pasokan nutrisi ke
jaringan seluler. Porositas mikro memiliki ukuran pori kurang dari 10 μm yang
mendukung kapiler, vaskularisasi dan interaksi matriks sel. Distribusi pori-pori
juga harus seragam di seluruh dimensi struktur scaffold untuk keterikatan dan
interaksi sel yang tepat (Deb et al., 2017).
Sebuah scaffold pada implantasi dalam tubuh, harus mendukung struktur
internal dari matriks sel yang baru terbentuk. Oleh karena itu harus
mempertahankan kekuatan mekanik organ yang akan dibangun sampai
terdegradasi, diserap kembali dalam tubuh dan organ fungsional sepenuhnya
terbentuk. Menurut literatur kekuatan tekan dan tensile strength dari tulang
trabekular manusia masing-masing sekitar 7-10 MPa dan 10-20 MPa, sedangkan
untuk tulang kortikal masing-masing 170-193 dan 50-150 MPa. Oleh karena itu
sifat mekanik (elastisitas, tensile strength, regangan maksimum) dari scaffold
tulang harus sedekat mungkin dengan aslinya sehingga dapat mengganti jaringan
ikat keras tulang dan ligamen. Kekuatan mekanik dari scaffold yang ideal
diharapkan sekitar 10-100 MPa (Deb et al., 2017).

2.5 Bifosfonat
Penggunaan Bifosfonat dalam dunia medis untuk mengatasi masalah tulang
dan mempercepat pertumbuhan tulang telah digunakan pada pengobatan berbagai
penyakit tulang (Pura, 2014). Bifosfonat bekerja dengan menekan sebagian fase
resorptif dari remodeling tulang (Russel and Rogers, 1999). Fase resorptif
merupakan fase dimana osteoklas melakukan pemecahan tulang (Giger et al.,
2013). Bifosfonat mempengaruhi proses remodeling tulang dengan menghambat
kinerja osteoklas, tetapi aktivitas osteoblas tidak dihambat. Komposisi kimia dari
Bifosfonat tidak hanya meningkatkan pembentukan tulang tetapi strukturnya
dirancang untuk berikatan kuat dengan tulang (Pura, 2014). Pada gambar 2.9,
posisi karbon berada di pusat Bifosfonat, merupakan posisi yang ideal untuk
berikatan dengan ion kalsium (Ebetino et al., 2011).
Dua kelompok Bifosfonat memiliki afinitas tinggi terhadap mineralisasi
komponen tulang, seperti komponen kalsium fosfat dari hidroksiapatit. Rantai

22
samping R1 merupakan gugus hidroksil yang memperkuat ikatan dengan kalsium
tulang. Hubungan struktur-aktivitas untuk interaksi antara Bifosfonat dan
hidroksiapatit tulang menunjukkan bahwa gugus hidroksil (OH) maupun gugus
nitrogen (NH2) dimana kelompok atom H pada rantai samping R1 meningkatkan
kemampuan mengikat hidroksiapatit dan bagian nitrogen posisinya di cincin
heterosiklik dalam rantai samping R2 menyebabkan peningkatan yang signifikan
dalam mengikat hidroksiapatit pada tulang (Russel et al., 2008).
Rantai samping R2 digunakan untuk mengelompokkan Bifosfonat menjadi
dua kelas lain, yaitu nitrogen dan non nitrogen Bifosfonat. Diferensiasi ini
didasarkan pada potensi keefektifan Bifosfonat dan cara penghambatan osteoklas
(Ebetino, et al., 2011). Bifosfonat yang mengandung gugus nitrogen pada rantai
samping R2 termasuk alendronat, ibandronat, resindronat, dan zolendronat jauh
lebih kuat sebagai agen antiresorpsi daripada Bifosfonat yang tidak memilik
nitrogen seperti pada gambar 2.7 (Drake et al., 2008).
Mekanisme golongan Bifosfonat yang tidak mengandung nitrogen
(Etidronat, Klodronat, dan Tiludronat) adalah dengan memproduksi analog
adenosine triphosphate (ATP) sitotoksik oleh class II aminoacyl-transfer RNA
synthetase yang menumpuk pada intraselular osteoklas yang dapat menginduksi
apoptosis dari osteoklas. Sedangkan, mekanisme kerja dari golongan bifosfonat
yang mengandung nitrogen ada dua yaitu pertama atom oksigen (O) akan melepas
atom hidrogen (H) pada rantai samping R2 dan mengikat ion Ca 2+ pada
hidroksiapatit tulang, sehingga osteoklas tidak bisa mengambil kalsium pada
tulang. Kedua, atom nitrogen (NH2) akan mengikat dan menghambat secara
selektif enzim farnesyl pyrophosphate synthase (FPPS) yang merupakan enzim
yang mengatur jalur asam mevalonat untuk produksi kolesterol, sterol, dan lipid
isoprenoid untuk modifikasi pasca-translasi protein guanosine triphosphate
(GTP)-binding yang penting untuk fungsi osteoklas (Drake et al., 2008).
Dengan demikian, Bifosfonat menjadi terapi utama untuk mengelola kondisi
tulang yang ditandai dengan peningkatan resorpsi tulang yang dimediasi oleh
osteoklas. Sehingga digunakan Bifosfonat sebagai agen terapi yang mampu
berikatan dengan hidroksiapatit pada tulang dan mampu bertahan lama pada
tulang. Hasil uji in vivo yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada

23
konsentrasi tertentu, Bifosfonat yang mengandung nitrogen memiliki efek positif
meningkatkan kinerja osteoblas (Russel, 2011).

Gambar 2.7 Ilustrasi komponen kimia Bifosfonat (Pura, 2014)

Gambar 2.8 Struktur Bifosfonat dan potensi relatif terhadap kemampuan


penghambatan osteoklas (Drake et al., 2008)

24
Gambar 2.9 Mekanisme kerja Bifosfonat secara seluler dan biokimia
(Russel, 2011)

2.6 Alendronat
Alendronat merupakan salah satu obat golongan bifosfonat yang dalam
strukturnya terdapat gugus nitrogen, atau disebut golongan nitrogen-containing
biphosphonate. Penggunaan alendronat telah diterima secara luas dan secara klinis
efektif dalam meningkatkan massa dan kepadatan tulang. Alendronat dosis oral
memiliki absorbsi yang kurang baik. Absorbsinya dapat menurun dengan adanya
makanan, terutama yang mengandung kalsium. Bioavailabilitas alendronat adalah
sekitar 0,4% digunakan setengah jam sebelum makanan. Ikatan obat dengan
protein plasma adalah sekitar 78%. Golongan Bifosfonat dimetabolisme sekitar
setengah dari obat diserap kemudian diekskresi dalam urin, sisanya berada dalam
tulang dan mampu berikatan dalam waktu lama. Gejala gastrointestinal seperti
sakit perut, dispepsia, diare atau sembelit adalah efek samping yang sering muncul
setelah pemberian alendronat. Reaksi esofagus parah seperti esofagitis, erosi dan

25
ulserasi. Kemudian alendronat juga memiliki efek samping osteonekrosis pada
rahang (Sweetman, 2011)
Riwayat klinis yang panjang dan profil keamanannya untuk perawatan
osteoporosis merupakan alasan yang menjadikan alendronat salah satu golongan
Bifosfonat yang berpotensi digunakan dalam terapi pengobatan lokal
menggunakan implan ortopedi (Verenna et al., 2013). Penggunaan alendronat
dengan aplikasi lokal memiliki banyak manfaat. Alendronat telah terbukti
memiliki kadar yang tetap tinggi terlokalisir di sekitar implan dan potensi
penghambatan yang tinggi dapat dimungkinkan meminimalisir efek samping yang
terjadi di sistemik. Dosis lokal yang dibutuhkan jauh lebih rendah daripada dosis
sistemik karena obat harus melewati usus dan ginjal (Pura, 2014).

Gambar 2.10 Ilustrasi alendronat dengan rantai samping spesifik R 2 (Bobyn et


al., 2013)

2.7 Alendronat Pemberian Lokal


Penelitian sebelumnya dilakukan pada hewan dengan bifosfonat yang
diberikan secara lokal telah menunjukkan adanya peningkatan aktivitas
pembentukan tulang di sekitar implan. Penelitian yang dilakukan Niu et al.,
(2012), membandingan dua jenis bifosfonat yang memiliki afinitas tinggi
(Alendronat / ALE ) dan bifosfonat afinitas rendah (Risedronat / RIS)
menggunakan implan yang telah dilapisi hidroksiapatit dengan hewan coba
kelinci. Implan ditempatkan di daerah proksimal saluran meduler dari tulang
kering sebalah kiri. Kelompok yang dibandingkan antara lain kelompok I: HA,
kelompok II: ALE-HA, dan kelompok III: RIS-HA untuk membandingkan efek
lokal implan alendronat. Efek sistemik dibandingkan di sebelah kanan tibia atau

26
tulang kering dan vertebra lumbal. Implan alendronat beserta kontrolnya
dievaluasi melalui perkembangan integrasi tulang-implan, struktur tulang,
kepadatan mineral tulang, stabilitas implan, dan level serum sebagai penanda
pergantian tulang. Kelompok implan ALE-HA menunjukkan rasio kontak,
augmentasi massa tulang, kepadatan mineral tulang, dan stabilitas implan yang
lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa efek yang dihasilkan implan ALE-HA
lebih kuat dibandingkan implan RIS-HA. Namun, implan RIS-HA memiliki efek
yang lebih signifikan pada lumbar vertebra untuk perbandingan sistemik. Ini
menunjukkan bahwa pengobatan bifosfonat memiliki efek yang bervariasi dalam
distribusi dan keberhasilan terapi (Niu et al., 2012).
Pemberian alendronat secara lokal dapat meningkatkan pembentukan tulang
baru dan menyebabkan amplifikasi osteoblas secara simultan. Hasil terapi pada
pemberian alendronat secara lokal lebih dapat diprediksi dibandingkan dengan
pemberian sistemik. Toker et al., (2012) melaporkan bahwa alendronat
menginduksi aktivitas osteoblastik dan pembentukan tulang. Hasil histopatologi
dan analisis histomorfometri menunjukkan adanya pembentukan tulang baru dan
area tulang yang baru terbentuk meningkat ketika salah satu bahan graft
digunakan dengan pemberian alendronat lokal maupun sistemik (Toker et al.,
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Myoung et al., (2001) dan Toker et al.,
(2012) menunjukkan bahwa ekspresi osteokalsin dan mRNA alkali fosfatase
secara signifikan lebih tinggi dalam kelompok yang diperlakukan dengan
pemberian alendronat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kim Sung et al.,
(2012) juga menyebutkan pemberian alendronat dalam alendronate-eluting
substrat chitosan dapat memperbaiki fungsi osteoblas dan menghambat
diferensiasi osteoklas. Pada penelitian tersebut, alendronat dilepaskan dari kitosan
untuk waktu yang lama, menunjukkan kinetika lepas lambat dan tidak
menunjukkan efek sitotoksik pada sel MG-63. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa alendronate-eluting chitosan secara signifikan meningkatkan fungsi
osteoblas dengan menunjukkan peningkatan yang signifikan dari aktivitas ALP
pada pengujian hari ke 10. Selain itu, alendronate-eluting chitosan secara efektif
menghambat diferensiasi osteoklas dengan menunjukkan penurunan aktivitas

27
tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP) yang signifikan, pewarnaan TRAP
dan tingkat mRNA dari TRAP dan nuclear factor of activated T-cell
cytoplasmic (NFATc1) (Kim et al., 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Boanini et al, (2008) disebutkan
bahwa pemberian alendronat dalam komposit nanokristal alendronat-
hidroksiapatit mampu menghambat proliferasi osteoklas dan meningkatkan
pertumbuhan dan diferensiasi osteoblas. Osteoblas dikultur pada sampel dengan
kandungan alendronat yang relatif tinggi dengan konsentrasi 6,2% dan 7,1%
menunjukkan peningkatan produksi ALP dan osteoklasin dibandingan dengan
kelompok kontrol dan kelompok pemberian hidroksiapatit murni. Hasil ini
menunjukkan bahwa alendronat mampu mempengaruhi sel-sel tulang bahkan
dalam komposit nanokristal alendronat-hidroksiapatit. Efek pemberian alendronat
lokal dalam polycarprolactone nanofibrous scaffold yang diteliti oleh Yun et al.,
(2014) dengan model defek pada hewan tikus memberikan hasil berupa
peningkatan penutupan defek pada kelompok yang diberi scaffold mengandung
alendronat dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi scaffold tanpa
alendronat (Yun et al., 2014).
Pengobatan gangguan tulang secara lokal dengan Bifosfonat dapat
memberikan perlindungan terhadap resorpsi, tanpa mempengaruhi seluruh
kerangka. Konsentrasi bifosfonat yang lebih tinggi dapat dicapai pada pemberian
lokal daripada pemberian sistemik (Srisubut et al., 2007). Penggunaan implan
untuk terapi gangguan penyakit tulang dengan penambahan alendronat secara
lokal dapat meningkatkan fiksasi antara implan dengan tulang. Jakobsen et al.,
(2007) melalui penelitiannya menggunakan implan titanium berpori secara
bilateral dimasukkan ke bagian proksimal dari tulang tibia dari 10 anjing. Di sisi
kanan, diberikan injeksi Bifosfonat lokal ke dalam rongga tulang segera sebelum
implan dimasukkan. Di sisi kiri, diberikan salin sebagai kontrol. Lama
pengamatan dilakukan selama 12 minggu. Pemberian Bifosfonat secara lokal
menunjukkan peningkatan yang signifikan dari fiksasi implan biomekanik (sekitar
dua kali lipat), kontak tulang-ke-implan (1,2 kali lipat), dan fraksi volume tulang
peri-implan (2,3 kali lipat). Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
alendronat lokal dapat meningkatkan osseointegrasi dini pada implan dan fiksasi

28
biomekanik implan yang dimasukkan menggunakan bone compaction (Jakobsen
et al., 2007).

2.8 Hidroksiapatit – Bovine Hidroksiapatit


Konstituen utama dari mineral tulang adalah hidroksiapatit dengan rumus
kimia Ca10(PO4)6(OH)2. Hidroksiapatit adalah suatu kalsium fosfat keramik yang
terdiri atas kalsium (Ca) dan fosfat (P) dan berasal dari rangka binatang dan
melalui proses hidrotermal. Oleh karena itu, Hidroksiapatit tidak mengalami
permasalahan dari segi kesesuaian biologi. Selain itu, Hidroksiapatit dapat
digunakan sebagai bahan pengganti tulang misalnya, mengisi dan memperbaiki
tulang yang cacat. HA alami memiliki ciri khas biomaterial, seperti bioaktif,
osteokonduktif, non-inflamasi, biokompatibel, tidak beracun, dan
nonimmunogenic aktiva. Dengan kemiripan sifat HA dengan komponen tulang
manusia yaitu kalsium fosfat maka hal ini mendorong penelitian untuk
menggunakannya dalam berbagai aplikasi biomedik. HA dapat diaplikasikan
untuk mengatasi beberapa permasalahan tulang seperti pemulihan tengkorak yang
cacat , pemulihan tulang cacat, bone-tissue engineering scaffold, penghilangan
logam berat dan sistem penghantaran obat (Bano et al., 2017).

Gambar 2.11 Struktur Hidroksiapatit (Warastuti and Abbas, 2011)

Penggunaan HA dalam implan bertujuan untuk meningkatkan fiksasi


biologis. Ikatan biokimia diyakini terbentuk antara tulang dan lapisan HA,
menghasilkan implan yang memiliki stabilitas yang lebih baik. Beberapa peneliti
telah melaporkan bahwa penggunaan HA dalam implan meningkatkan kekuatan
geser mekanik dan kontak tulang di antar muka implan dan mengurangi
micromotion dari implant (Frenkel et al., 2001). HA memiliki kelemahan yaitu
mudah rapuh dan kaku serta porositas yang lebih rendah dibandingkan BHA yang
merupakan 25 komponen anorganik tulang sapi yang mempunyai kemampuan

29
mengadsorpsi berbagai bahan aktif, hormon, atau faktor pertumbuhan. Kelebihan
BHA daripada HA adalah lebih porus sehingga sel-sel dalam tulang lebih mudah
untuk berdiferensiasi di dalamnya, harganya lebih murah jika dibandingkan
dengan HA sintesis yang kemungkinan masih ada sisa-sisa zat kimia di dalamnya.
Namun, bahan aktif yang diadsorpsi oleh BHA hanya di permukaan saja sehingga
kemampuannya dalam mengontrol pelepasan bahan aktif kurang maksimal. Oleh
karena itu, perlu dilakukan modifikasi permukaan dengan menambahkan bahan
pengikat yaitu gelatin (Budiatin, 2014).

2.9 Gelatin
Gelatin adalah polimer alami yang terdiri dari peptida dan protein. Bahan ini
berasal dari kolagen dihidrolisis disebut juga kolagen tipe I. Gelatin dapat dengan
mudah diperoleh dari kulit hewan, jaringan ikat putih atau otot, tendon, ligamen
dan tulang. Gelatin bersifat rapuh dan lemah serta berwarna kuning. Gelatin
banyak digunakan dalam makanan, farmasi, industri fotografi dan beragam
keperluan teknis. Saat ini, gelatin juga digunakan sebagai bahan untuk fabrikasi
scaffold. Keuntungan gelatin sebagai polimer alam membawa keuntungan dalam
aplikasi biomedis, yaitu biokompatibel, biodegradabel, dan murah (Budiatin,
2014).
Kekuatan gel dan viskositas dari gelatin, secara bertahap akan menurun
pada pemanasan berkepanjangan dalam larutan pada suhu sekitar lebih dari 40°C.
Gelatin sapi memiliki nilai kekuatan gel pada kisaran 200-300 g dan titik leleh
>30ºC. Kekuatan gel dan termostabilitas, sangat tergantung pada sifat molekul
gelatin, terutama dengan dua faktor utama yaitu komposisi asam amino, dan
distribusi berat molekul. Dalam bidang ortopedi gelatin digunakan sebagai
pengganti tulang, kombinasi antara gelatin-HA merupakan biomaterial untuk
regenerasi jaringan keras (Gorgieva and Kokol, 2011).

30
Gambar 2.12 Struktur gelatin (Yanovska et al., 2016)

2.10 Glutaraldehid
Glutaraldehid (GA) telah digunakan secara luas sebagai agen cross-link
untuk aplikasi biomedis seperti imobilisasi sel dan enzim serta sintesis hidrogel.
GA merupakan cairan tak berwarna dengan bau menyengat pada suhu kamar. GA
termasuk dalam golongan aldehida yang sangat reaktif dan dapat membentuk
ikatan kovalen dengan gugus fungsi seperti amina, tiol, fenol, hidroksil dan
imidazol. GA adalah agen cross-link yang paling umum digunakan karena
efektivitasnya dalam menjaga stabilitas biomaterial, mudah didapatkan, harganya
cenderung terjangkau, bersifat larut air dan dapat mengcross-link jaringan kolagen
(Pal et al., 2013).
Dalam sistem penghantaran obat, GA digunakan sebagai agen cross-link
yang mengikat gelatin dan alendronat dengan membentuk ikatan kovalen, dengan
terbentuknya ikatan tersebut maka akan menyebabkan sedian menjadi keras dan
kaku hingga mampu mempengaruhi pelepasan obat. Tingkat kekerasan maupun
kekakuan yang dihasilkan bergantung pada konsentrasi GA yang digunakan serta
lama perendaman (Budiatin, 2014).

Hidroksiapati
d

Gelatin

31
Glutaraldehid Alendronat
2.11 Alkali Fosfatase d
Gambar 2.13 Ikatan antara HA-gelatin-glutaraldehid-alendronat

Alkali fosfatase adalah glikoprotein yang terikat pada membran plasma.


Enzim ini didistribusikan secara luas di alam, termasuk pada prokariota dan
eukariota, dengan pengecualian beberapa tanaman eukariota yang lebih tinggi.
Alkali fosfatase pada mamalia merupakan metaloenzim mengandung zinc. Tiga
ion logam yang terdiri dari dua Zn2+ dan satu Mg2+ di situs aktif penting untuk
aktivitas enzimatik. Alkali fosfatase terdiri dari beberapa isoenzim. Setiap
isoenzim merupakan glikoprotein yang dikode oleh lokus gen yang berbeda. ALP
dapat diklasifikasikan ke dalam setidaknya empat bentuk isozim sesuai dengan
tempat ekspresi pada jaringan tertentu, antara lain placental alkaline phosphatase
(PLALP), intestinal alkaline phosphatase (IALP), liver / bone / kidney alkaline
phosphatase (L / B / K ALP), germ cell ALP (GCALP). Alkali fosfatase yang
diekspresikan di hati, tulang dan ginjal merupakan isozim yang tidak stabil
terhadap panas. L/B/K ALP diekspresikan dalam banyak jaringan di tubuh
terutama di jaringan hati, tulang, dan ginjal. Sedikit perbedaan dalam stabilitas
termo antara ALP L / B / K dari berbagai jaringan dikaitkan dengan perbedaan
dalam modifikasi pasca-penerjemahan gen, meskipun demikian mungkin bahwa
bagian protein mereka dikodekan secara terpisah (Sharma et al., 2014).
Peranan enzim alkali fosfatase dalam proses mineralisasi perbaikan tulang
adalah bahwa enzim ini mempersiapkan suasana alkalis (basa) pada jaringan
osteoid yang terbentuk, supaya kalsium dapat dengan mudah terdeposit pada
jaringan tersebut. Selain itu di dalam tulang enzim ini menyebabkan
meningkatnya konsentrasi fosfat, sehingga terbentuklah ikatan kalsium-fosfat
dalam bentuk kristal hidroksiapatit dan berdasarkan hukum massa (law of mass
action) kristal tersebut pada akhirnya akan mengendap di dalam tulang
(Yudaniayanti, 2005).

32
ALP menunjukkan diferensiasi awal osteoblas dari sel mesenkim dan
berperan penting pada pembentukan osteoid dan mineralisasi dengan cara
degradasi dari mineralisasi inhibitor yaitu pirofosfat (Shetty et al., 2016). ALP
merupakan isoenzim yang menunjukkan adanya formasi tulang dan enzim utama
yang terdapat pada perubahan inorganik pirofosfat yang merupakan inhibitor dari
mineralisasi tulang. Alkali fosfatase mendegradasi matriks yang kaya
proteoglikan dan menghidrolisis energi ester yang tinggi untuk menyediakan ion
fosfat sehingga terjadi pengendapan mineral dengan kalsium di jaringan matriks
yang kaya kolagen (Goes et al., 2012). ALP yang spesifik untuk tulang disintesis
dalam osteoblas dan mencerminkan aktivitas osteoblas selama pembentukan
tulang (Thomas, 2012).
Di dalam tulang dan kalsifikasi lempeng pertumbuhan tulang rawan, ALP
diekspresikan pada awal pembentukan, dan selanjutnya dapat diamati pada
pembentukan sel dan dalam vesikel matriks. Kemudian dalam proses
pembentukan selanjutnya, maka gen lain (misalnya osteokalsin) mengalami
upregulasi, sedangkan ekspresi ALP akan menurun. ALP dengan jelas berperan
ditahap awal proses mineralisasi (Golub and Boesze, 2007).
Mekanisme kalsifikasi melibatkan peran mitokondria yang mengakumulasi
kalsium mengandung granul yang dibuat di lingkungan fraktur yang hipoksia.
Setelah elaborasi ke sitoplasma, butiran kalsium diangkut ke matriks ekstraseluler
kemudian mengendap bersama fosfat dan mengawali pembentukan endapan
mineral. Endapan kalsium dan fosfat ini menjadi tempat untuk nukleasi homogen
dan pembentukan dari kristal apatit. Puncak pembentukan dari hardcallus
biasanya tercapai pada hari ke 14 dengan model binatang ditandai dengan
histomorfometri dari jaringan termineralisasi, pengukuran matriks ekstrasel
seperti prokolagen tipe I, osteoklasin, ALP dan osteonektin (Marsell and Einhorn,
2011).
ALP merupakan marker awal yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
aktivitas dan diferensiasi osteoblas. Aktivitas berupa peningkatan ekspresi dari
ALP menggambarkan progresivitas dari diferensiasi osteoblas (Boanini et al.,
2008).

33
2.11 Imunohistokimia
Imunohistokimia (IHC) adalah metode yang digunakan untuk melokalisasi
antigen sel-sel biologis atau jaringan, berdasarkan interaksi antara antigen dan
antibodi. IHC digunakan untuk diagnosis penyakit, pengembangan obat dan
penelitian biologi salah satunya adalah untuk mendeteksi tingkat ekspresi ALP
(Korsnes, 2016).
Metode (Strept)Avidin-biotin Complex (ABC) disebut sebagai metode tiga
tahap karena terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama terdiri dari antibodi primer
tak berlabel, lapisan kedua terdiri dari biotinylated antibodi sekunder, dilanjutkan
lapisan ke tiga yang terdiri dari kompleks enzyme-labeled biotin dan streptavidin
atau enzym-labeled streptavidin (Bancroft and Gamble, 2008).
Avidin secara alami ditemukan dalam putih telur, sedangkan streptavidin
ditemukan dalam bakteri streptomyces avidinii. Keduanya merupakan protein
yang memiliki empat situs pengikatan untuk biotin, oleh karena dapat berikatan
kuat dan spesifik terhadap biotin. Streptavidin merupakan inovasi terbaru sebagai
pengganti avidin yang disebut Labeled StreptAvidin Biotin (LSAB). Molekul
biotin terkonjugasi dengan antibodi dan enzim, dan dalam metode ABC antibodi
sekunder terkonjugasi dengan biotin yang disebut sebagai biotinylated antibodi.
Ketika terkonjugasi dengan antibodi, biotin berfungsi sebagai jembatan antara
antibodi primer yang terikat jaringan dengan kompleks avidin-biotin-enzim.
Dengan cara ini, sinyal dari antibodi primer akan diamplifikasi (Korsnes, 2016).

34
Gambar 2.14 skematik metode Avidin-Biotin-Complex (Korsnes, 2016)
Interpretasi dan analisis IHC dapat dilakukan dengan skala semikuantitatif
Immunoreactive score (IRS) presentasi (%) rata-rata dari sel positif ( percentage
(%) of positive / PP) dan intensitas pewarnaan (staining intensity/SI)
menggunakan mikroskop. Intensitas ALP dinilai secara semikuantitatif pada skala
0-3 (0, tanpa pewarnaan; 1, pewarnaan lemah; 2, pewarnaan moderat; 3,
pewarnaan kuat). Skor rata-rata tertimbang (average weighted score /AWS) untuk
setiap area dihitung dengan mengalikan PP dengan SI (skor 0–12). Sebagai
hasilnya adalah skor negatif (0-3) dan positif (4-12) (Agustina et al., 2018).

2.12 Radiologi X-Ray


Radiologi X-Ray merupakan salah satu metode yang digunakan oleh klinisi
untuk mendiagnosis suatu penyakit dimana pada X-Ray memungkinkan untuk
visualisasi struktur tubuh manusia, fungsi tubuh, suatu penyakit dan visualisasi
adanya cedera. Radiologi dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan
penyembuhan fraktur. Evaluasi radiologi berdasarkan materi yang dikalsifikasi
(anorganik) pada lokasi fraktur. Radiografi adalah produksi gambaran radiografis
dari suatu obyek dengan memanfaatkan sinar x (Kushdilian et al., 2016).
Dalam penyembuhan fraktur tidak langsung, pembentukan tulang baru
adalah melalui transformasi jaringan fibrosa atau tulang rawan. Segera setelah
terjadi reduksi dan stabilisasi, akan tergambar fragmen yang tajam. Defek dapat

35
terlihat di lokasi fraktur. Defek akan menjadi lebih luas dan ujung tulangnya
digambarkan kurang tajam (lebih halus). Ini merupakan resorpsi yang terjadi di
lokasi fraktur. Setelah tahap ini, kalus akan menjadi terlihat, yang pada awalnya
adalah tidak termineralisasi dan sangat tidak teratur. Saat penyembuhan
berlangsung, kalus akan semakin termineralisasi dan mengeras, dan karenanya
menjadi terlihat secara radiografi (Gielen, 2008).

36
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Uraian Kerangka Konseptual


Fraktur merupakan salah satu penyebab terjadinya defek tulang.
Dikarenakan pentingnya fungsi tulang maka ketika terjadi fraktur dibutuhkan
teknik pengobatan yang dapat menyembuhkan fraktur secara cepat (Appley and
Solomon, 2010). Salah satu teknik pengobatan yang dapat mempercepat
penyembuhan defek akibat fraktur adalah dengan teknik implantasi yang dapat
berfungi untuk pemberian mineral tulang pada bagian tulang yang mengalami
fraktur serta sebagai pembawa bahan aktif (Budiatin, 2014).
Implan yang digunakan berupa scaffold BHA-Gel yang berfungsi sebagai
pengisi tulang serta pembawa bahan aktif alendronat. Alendronat yang digunakan
sebagai bahan aktif merupakan obat golongan bifosfonat yang dalam strukturnya
terdapat gugus nitrogen, atau disebut golongan nitrogen-containing
bisphosphonate. Bifosfonat yang mengandung nitrogen diketahui memiliki efek
positif terhadap osteoblas menghasilkan pertumbuhan tulang yang lebih cepat
(Toker et al., 2012).
Bahan yang digunakan dalam pembuatan scaffold bersifat biokompatibel
sehingga komposit dalam scaffold dapat menyatu dengan jaringan tulang. Scaffold
terbuat dari BHA yang merupakan material tidak larut sehingga mampu
mempertahankan kondisi scaffold dan memungkinkan sel-sel osteoblas bermigrasi
ke dalamnya. Glutaraldehid yang digunakan untuk mengcross-link scaffold akan
menghasilkan pelepasan terkendali dari alendronat dan degradasi scaffold
sehingga pembentukan tulang baru menjadi lebih baik. Alendronat dalam scaffold
akan berikatan dengan kalsium tulang sehingga alendronat dapat bertahan lama di
tulang. Gelatin dalam scaffold akan berinteraksi dengan osteoblas membentuk
osteoid. Osteoid yang terbentuk bersama dengan kalsium tulang serta BHA akan
termineralisasi menjadi osteosit (Raggat and Patridge, 2010).
Percepatan perbaikan tulang yang fraktur dapat ditingkatkan dengan adanya
alendronat yang memicu peningkatan pertumbuhan tulang melalui mekanisme

37
peningkatan proliferasi dan diferensiasi osteoblas (Kim, 2017). Alendronat yang
menghambat jalur mevalonat kemudian akan merangsang osteoblas dengan
menginduksi ekspresi gen BMP-2 yang merupakan agen osteokonduktif yang
poten dan faktor pertumbuhan yang terlibat dalam perekrutan, proliferasi dan
diferensiasi sel-sel progenitor mesenkim menghasilkan produksi jaringan tulang,
melalui mekanisme ini alendronat dapat meningkatkan pertumbuhan tulang
sehingga ketika pertumbuhan tulang dapat ditingkatkan maka penyembuhan
fraktur dapat terjadi lebih cepat (Von Knoch et al., 2005).
Selama terjadi aktivitas osteogenik dari sel osteoblas maka enzim ALP yang
merupakan marker terhadap adanya aktivitas osteogenik dari sel osteoblas akan
diekspresikan (Kim, 2017). Peningkatan ekspresi ALP menandakan terjadinya
diferensiasi osteoblastik (Salim, 2016). Enzim ini mempersiapkan suasana alkalis
(basa) pada jaringan osteoid yang terbentuk supaya kalsium dapat dengan mudah
terdeposit pada jaringan tersebut (Yudaniayanti, 2005). ALP akan menghidrolisis
pirofosfat anorganik sebagai inhibitor proses mineralisasi dan melepaskan fosfat
anorganik dalam bentuk ion fosfat (Goes, 2012). Dengan adanya hidrolisis
anorganik pirofosfat tersebut menyebabkan meningkatnya konsentrasi fosfat,
sehingga terbentuklah ikatan kalsium-fosfat dalam bentuk kristal hidroksiapatit
dan mengendap di dalam tulang selanjutnya proses mineralisasi sel tulang dapat
terjadi (Yudaniayanti, 2005). ALP merupakan marker pertumbuhan tulang berupa
eksoenzim yang bersinggungan dengan kompartemen ekstrasel sehingga aktivitas
dan fungsinya dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, oleh karena itu ekspresi
ALP dapat dianalisis untuk menggambarkan adanya pengaruh pemberian scaffold
BHA-Gel-Ale terhadap perbaikan tulang menggunakan metode imunohistokimia
(Goes, 2012).
Uji terhadap ekspresi level ALP dilakukan pada tahap soft callus dan hard
callus selama proses healing dimana waktu pengujian dilakukan pada hari ke-14
dan ke-28. Selama proses diferensiasi dari pre osteoblas menjadi osteoblas
aktivitas ALP akan tinggi (hari ke-14), saat awal pembentukan osteoblas maka
aktivitas ALP akan menurun dan akan ditemukan tinggi lagi saat awal proses
mineralisasi (hari ke-28) (Salim, 2016).

38
Setelah melalui berbagai mekanisme dalam proses healing tersebut,
alendronat beserta komposit akan bersatu dengan jaringan tulang tubuh, defek
tulang akan tertutup untuk selanjutnya diidentifikasi secara radiologi.

39
3.2 Kerangka Konseptual

Defek Scaffold BHA-Gel-Ale


tulang Dicross-link dengan GA
0,5%
Terjadi healing
Scaffold tidak
larut, sel
osteoblas dapat
masuk ke
Inflamasi Soft Hard callus
dalamnya Remodelin
callus g

1. Alendronat menghambat jalur mevalonat &


Terjadi menginduksi ekspresi gen BMP-2
proses 2. Gel + osteoblas membentuk osteoid;
1
osteogenesis osteoid + kalsium tulang & BHA
membentuk osteosit
Terjadi proliferasi,
diferensiasi dan 2
mineralisasi osteoblas Seluruh komposit bersatu
dengan jaringan tulang tubuh

Peningkatan ekspresi
ALP (marker aktivitas Perbaikan defek tulang
osteoblas)

Pengamatan celah
Pemeriksaan level ALP tulang secara radiologi
dengan x-ray
Imunohistokimia

Gambar 3.1 Kerangka konseptual


Keterangan gambar :

: penyembuhan defek dipercepat dengan pemberian

: dilakukan pengamatan/pemeriksaan

: mempengaruhi peningkatan

40
3.3 Hipotesis
Ekspresi level ALP di tulang lebih tinggi dan defek tulang lebih kecil pada
kelompok hewan coba yang diberi scaffold BHA-Gel-Ale.

41
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik
(true-experimental) dengan desain posttest only control group menggunakan
hewan coba tikus.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakokinetik Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga, Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga, dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari
sampai bulan Juni 2019.

4.3 Materi Penelitian

4.3.1 Alat Penelitian


Alat yang diperlukan antara lain:
a. Peralatan adaptasi tikus terdiri dari: tempat makan dan minum, kandang
tikus, dan sekam untuk alas tidur tikus.
b. Satu set perlengkapan bor tulang, peralatan dekalsifikasi tulang, set
peralatan uji imunohistokimia, radiologi x-ray, mikroskop cahaya.

4.3.2 Bahan Penelitian


Bahan yang diperlukan antara lain:
a. Alendronat, BHA, gelatin, glutaraldehid.
b. Ketamin, eter, xylazine, betadine, ampisilin injeksi, normal saline.
c. Larutan formalin 10% dan larutan EDTA 10% (pH 7,4), xylol, alkohol
bertingkat (absolut, 96%, 90%, 80%,70%) dan distilled water.
d. Kit uji imunohistokimia ALP.

42
4.4 Subyek Penelitian
Penelitian ini menggunakan hewan tikus (Rattus norvegicus) dengan kriteria:
a. Berjenis kelamin jantan
b. Berasal dari galur yang sama (galur Wistar)
c. Berat badan 200 – 250 g
d. Berumur tiga bulan
e. Berada dalam keadaan sehat dan normal
Jumlah hewan coba yang digunakan dalam tiap kelompok perlakuan
ditentukan menggunakan rumus (Lemeshow et. al., 1990):
.........….. (4.1)

………… (4.2)

Dengan n adalah jumlah sampel; adalah simpangan baku dari studi pilot,

Z1-α adalah level of significant (level of significant 5%, Z1-α = 1,96); Z1-β adalah
power (power 95%, Z1-β = 1,645; dan µ1 - µ2 adalah perbedaan harga µ antar
kelompok yang dianggap mempunyai arti klinis.
n = 4.3 ~ 5
Berdasarkan perhitungan di atas, jumlah hewan coba yang digunakan tiap
kelompok perlakuan minimal berjumlah 5 ekor. Kemungkinan hewan coba mati
didapatkan dengan memperhitungkan faktor resiko (f) sebesar 25%, sehingga
1/(1-f) x 4.3 = 5.7 ~ 6. Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah yang digunakan
sebanyak 6 ekor tiap kelompok hewan coba.

4.5 Protokol Penelitian

4.5.1 Rancangan penelitian


Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik (true-
experimental) dengan desain posttest only control group menggunakan hewan
coba tikus. Subjek percobaan adalah hewan coba tikus sejumlah 36 ekor yang

43
dibagi menjadi 3 sub kelompok dengan 2 waktu terminasi yaitu hari ke-14 dan
hari ke-28 yang pembagiannya dapat dilihat pada Gambar 4.1. Tikus
diadaptasikan terhadap pakan dan lingkungan selama satu minggu. Pembuatan
tikus model defek dilakukan dengan melubangi tulang femur dengan diameter 2
mm menggunakan bor.

4.5.2 Pengelompokan hewan coba

Gambar 4.1 Skema Pengelompokan Hewan Coba

4.5.3 Kerangka Operasional

Tikus diadaptasikan selama 7 hari

P1 (12ekor) P2 (12ekor) P3 (12ekor)

Dilakukan pencukuran bulu lalu pengeboran pada femur dengan diameter sebesar
2mm

Diberi pelet Diberi pelet berisi


berisi BHA-Gel BHA-Gel-Ale

Terminasi pada hari ke-14 dan hari ke-28 dengan overdosis eter lalu dilakukan pengambilan femur

Pengamatan mengecilnya celah tulang secara radiologi X-Ray

Dekalsifikasi femur menggunakan larutan EDTA 10%

Pemeriksaan ALP dengan teknik IHC pada tulang femur yang fraktur

44
Gambar 4.2 Skema Kerangka Operasional

45
4.6 Variabel Penelitian

4.6.1 Variabel Bebas


a. Pemberian scaffold
b. Waktu terminasi

4.6.2 Variabel Tergantung


a. Mengecilnya celah yang diamati secara kualitatif pada gambar radiologi
b. Level ALP yang tampak pada analisis imunohistokimia

4.6.3 Variabel Terkendali


Jenis, strain, usia, jenis kelamin, berat badan hewan coba, perlakuan
terhadap hewan coba, kadang, ruang penelitian, peralatan, pemilihan alat ukur dari
hasil penelitian, bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian.

4.7 Definisi Operasional


1. Analisis ekspresi level ALP dilakukan disekitar area defek.
2. Ekspresi level ALP dikatakan lebih tinggi dari kelompok lain jika setelah
dilakukan analisis secara statistik menyatakan hasil akhir skor IRS yang
lebih tinggi dengan nilai signifikansi p<0,05.
3. Sel positif adalah sel osteoblas yang mengekspresikan ALP

4.8 Prosedur Penelitian

4.8.1 Penanganan Hewan Coba


Tikus berumur 3 bulan sejumlah 36 ekor dibagi lagi menjadi 3 sub
kelompok. Seluruh tikus ditempatkan dalam kandang-kandang individu dan
diadaptasikan terhadap pakan dan lingkungan selama satu minggu. Setelah
dilakukan implantasi scaffold BHA-Gel pada P2 dan scaffold BHA-Gel-Ale pada
P3 semua sub kelompok hewan coba diterminasi pada hari ke-14 dan 28 pasca
implantasi. Terminasi dengan anestesi ketamin 25mg/kgBB dan xylazin
8mg/kgBB dengan perbandingan 2 : 1 berdasarkan berat masing-masing tikus
yang disuntikkan di intraperitonial (daerah sekitar perut tikus).

46
4.8.2 Pemberian Scaffold
4.8.2.1 Penentuan Dosis Alendronat pada Scaffold
Berat setiap scaffold = 25 mg

Dosis alendronat 10% =

4.8.3 Pembuatan Scaffold BHA-Gelatin-Alendronat


4.8.3.1 Jumlah Bahan yang Ditimbang
Scaffold pada penelitian ini beratnya adalah 25 mg untuk 1 tikus dengan
perbandingan BHA : Gelatin adalah 10 : 1, Alendronat 10% dari berat sediaan.
4.7.3.2 Prosedur Pembuatan Scaffold BHA-Gelatin-Alendronat
Matriks komposit dibuat dalam bentuk granul dengan cara mencampur
BHA dan alendronat yang telah digerus dalam mortir, lalu dicampur dengan
larutan gelatin 20% hingga kalis. Kemudian massa disaring dengan mesh 1,0 mm
untuk membentuk massa granul, selanjutnya massa granul dikeringkan pada suhu
40 º C selama 24 jam. Granul yang sudah kering kemudian direndam dengan
larutan glutaraldehid 0,5% ad granul terendam seluruhnya selama 24 jam. Setelah
direndam dengan glutaraldehid selanjutnya granul dicuci sampai bersih dari
glutaraldehid menggunakan aquades dan dikeringkan pada suhu 40°C selama 24
jam. Setelah itu massa granul yang dihasilkan dibuat dalam bentuk pelet silindris.
Dari 25 mg gram granul dibuat pelet dengan diameter 2 mm yang dikempa
dengan beban ½ ton selama 1 menit
4.8.3.3 Penanaman Scaffold pada Femur Tikus
Scaffold langsung ditanamkan pada bagian lubang yang terbentuk pada
tikus dengan operasi pembedahan.

4.8.4 Operasi
4.8.4.1 Pre-Operasi
Sebelum operasi, dilakukan penimbangan berat badan untuk menentukan
dosis anastesinya. Selanjutnya tikus dianastesi menggunakan kombinasi ketamin
dengan dosis 25 mg/kgBB dan xylazin 8mg/kgBB dengan perbandingan 2:1.
Setelah tikus teranastesi terlebih dahulu dilakukan pencukuran bulu pada bagian

47
paha. Daerah yang telah dicukur kemudian didesinfektan dengan betadine. Tikus
percobaan kemudian diletakkan dengan posisi telentang. Kain drape steril
dipasang untuk menutup area yang tidak dioperasi termasuk tubuh tikus.
4.8.4.2 Teknik Operasi
Irisan pada bagian paha kira-kira sebesar 1,5 cm kemudian klem
dimasukkan ke dalam lubang yang terbentuk untuk merasakan dimana letak
tulangnya. Setelah ditemukan kemudian lubang tersebut dibuka lebih lebar dengan
klem kemudian jaringan dan daging yang menutupi tulang femur dibersihkan
menggunakan pinset hingga terlihat tulang.
Dilakukan pengeboran femur pada kelompok tikus P1, P2, dan P3 dengan
diameter sebesar 2 mm. Kemudian sediaan ditanamkan di dalam lubang yang
terbentuk pada femur tikus. Pemberian scaffold dilakukan hanya pada dua sub
kelompok tikus sedangkan satu sub kelompok lainnya tidak diberi scaffold, yang
secara rinci dapat dilihat pada Tabel IV.1
Rongga diirigasi menggunakan normal saline. Selanjutnya, dilakukan
penjahitan untuk menutup luka operasi. Setelah operasi selesai, daerah jahitan
diusap dengan betadine dan ditutup dengan hypafix kemudian diberikan injeksi
ampicillin secara intramuscular dengan dosis 50 mg/2 ml sebanyak 0.2 ml
(0,025mg/KgBB).
Tabel IV.1 Perlakuan Pemberian Scaffold pada Tikus
No. Kelompok Perlakuan
1. Kontrol positif (P1) Dibor dan tidak diberi scaffold
2. BHA-Gelatin (P2) Dibor dan diberi scaffold BHA-Gel

3. BHA-Gelatin-Alendronat (P3) Dibor dan diberi scaffold BHA-Gel-


Ale

4.8.4.3 Teknik Pengambilan Sampel


Pada hari ke-14 dan 28 setelah diberi scaffold, tikus disacrifice dengan
cara dianastesi overdosis menggunakan eter. Bagian femur dipisahkan. Kemudian
tulang dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi buffer formalin 10%.

48
4.9 Tahap Dekalsifikasi Tulang
Prosedur:
1. Sampel tulang difiksasi selama 3 hari dengan formalin 10%
2. Sampel tulang dibilas dengan air mengalir
3. Sampel tulang diinkubasi dengan EDTA 10% pH 7,4 pada suhu kamar
(25°C). Penggantian EDTA dilakukan 5 hari sekali.
4. Melakukan pengecekan end point dengan X-Ray maupun uji fisik, tulang
terasa elastis dan lunak (untuk tulang femur atau tibia memerlukan waktu
4-6 minggu) (Skinner, 2011).

4.10 Pembuatan Parafin Blok


Prosedur :
1. Mencuci jaringan dengan PBS lalu fiksasi menggunakan formalin 10%.
2. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat (absolut, 95%, 90%, 80%, 70% )
masing- masing selama 60 menit.
3. Clearing dengan xylol sebanyak 2 kali masing-masing selama 60 menit
pada suhu 48°C.
4. Impregnasi jaringan di parafin solid pada suhu 56°C. Kemudian masukkan
di holder kotak berukuran 3cm3 dan tuangkan parafin sebanyak 3cc
biarkan dingin pada suhu ruang selama 1 hari.
5. Setiap blok parafin dilakukan pemotongan menggunakan rotary microtom
dengan ketebalan 4-6µ.
6. Mouting pada gelas objek dengan gelatin 5%.

4.11 Pewarnaan Imunohistokimia ALP


Prosedur yang dipakai adalah sebagai berikut (Agustina, et al., 2018)
1. Imunohistokimia dilakukan menggunakan metode streptavidin biotin
immunoperoksidase kompleks berlabel dengan sistem deteksi universal
HRR Starr Trek.
2. Sampel preparat yang telah dipotong dari parafin blok dideparafinisasi
menggunakan xylol 3 kali masing-masing selama 5 menit kemudian
dilakukan hidrasi dengan alkohol bertingkat : absolut (4 menit), 96% (3

49
menit) , 90% (3 menit), 80% (2 menit), 70% (2 menit) kemudian dibilas
dengan H2O selama 3 menit.
3. Proses antigen retrieval dilakukan dengan menggunakan tripsin 0,025%
dimasukkan dalam inkubator dengan temperatur 37°C selama 15 menit
dan dicuci menggunakan phospate buffer saline (PBS) (pH 7,2) selama
2x5 menit.
4. Selanjutnya dilakukan proses endogenous blocking dengan cara merendam
sampel dalam H2O2 0,3% selama 30 menit.
5. Kemudian dicuci kembali dengan PBS 2x5 menit
6. Sampel diinkubasi kembali menggunakan antibodi primer (antibodi
monoklonal anti alkali fosfatase tikus) yang diencerkan (5% diencerkan
dengan diluent). Inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam.
7. Sediaan dicuci kembali menggunakan PBS selama 2x5 menit sebelum
diinkubasi menggunakan antibodi sekunder dan streptavidin selama
masing-masing 30 menit kemudian dicuci kembali dengan PBS 2x5 menit.
8. Dilakukan pewarnaan dengan chromogenik diaminobenzidine selama
kurang lebih 10 menit kemudian cuci dengan PBS selama 2x5 menit
dilanjutkan dengan dipping aquades selama 5 menit dan diwarnai kembali
dengan hematoksilin untuk memperjelas inti sel selama 5-10 menit dan
dicuci dengan air mengalir selama 5 menit dilanjutkan dengan amoniak air
selama 3 menit.
9. Tahap selanjutnya adalah dipping aquades selama 5 menit dan dilakukan
mouting menggunakan entelan/canada balsem lalu ditutup dengan cover
glass.
Interpretasi hasil :
Interpretasi dan analisis IHC dapat dilakukan dengan skala semikuantitatif
Immunoreactive score (IRS) presentasi (%) rata-rata dari sel positif ( percentage
(%) of positive / PP) dan intensitas pewarnaan (staining intensity/SI)
menggunakan mikroskop. Intensitas ALP dinilai secara semikuantitatif pada skala
0-3 (0, tanpa pewarnaan; 1, pewarnaan lemah; 2, pewarnaan moderat; 3,
pewarnaan kuat). Skor rata-rata tertimbang (average weighted score /AWS) untuk

50
setiap area dihitung dengan mengalikan PP dengan SI (skor 0–12). Sebagai
hasilnya adalah skor negatif (0-3) dan positif (4-12) (Agustina et al., 2018).

4.12 Pengukuran Defek Tulang


Prosedur:
1. Pengambilan foto menggunakan X-Ray device
2. Analisis defek tulang secara kualitatif

4.13 Analisis Data


1. Data diperoleh dengan mengamati ukuran defek yang tertutup pada
gambar radiologi kemudian dianalisis secara kualitatif
2. Data diperoleh dengan melihat tingkat ekspresi alkali fosfatase secara
imunohistokimia (IHC) kemudian dilakukan interpretasi dan analisis IHC
dengan mengalikan presentasi (%) rata-rata dari sel positif ( percentage
(%) of positive / PP) dan intensitas pewarnaan (staining intensity/SI). Data
dianalisis dengan uji Kruskal Wallis. Apabila hasil signifikan dilanjutkan
dengan uji Mann Withney.

51
BAB V
RANCANGAN PELAKSANAAN PENELITIAN

5.1. Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan mulai Desember 2018 - Juni 2019

5.2. Tempat Penelitian


a. Departemen Farmasi Klinis Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
b. Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga.
c. Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.

5.3. Jadwal Penelitian


Tabel V.1 Jadwal Penelitian

Kegiatan Sept. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. April Mei Juni
2018 2018 2018 2018 2019 2019 2019 2019 2019 2019
Studi
Pustaka
Persiapan
Proposal
Ujian
Proposal
Pengambilan
Data
Pengolahan
Data
Penyusunan
Skripsi
Ujian
Skripsi

5.4. Rancangan Anggaran Penelitian


Tabel V.2 Anggaran Penelitian
Pengeluaran Jumlah Harga Satuan Total

52
Subyek Penelitian
Tikus 36 ekor Rp 50.000,00/ekor Rp 1.800.000,00
Biaya pakan 2 karung Rp 225.000/karung Rp 450.000,00
Bahan dan Alat Penelitian
Antibodi ALP 1 Rp 9.000.000,00 Rp 9.000.000,00
Anestesi Ketamin 1 vial Rp 60.000,00/vial Rp 60.000,00
Anestesi Xylazin 1 vial Rp 400.000/vial Rp 400.000,00
Antibiotik Ampisilin 1 vial Rp 9.000/vial Rp 9.000,00
Benang catgut 2 rol Rp 25.000,00 /rol Rp 50.000,00
Betadine 1 liter Rp 62.500,00 / liter Rp 62.500,00
Formaldehida 1 liter Rp 100.000,00 /liter Rp 100.000,00
Kassa 4 box Rp 10.000,00/box Rp 40.000,00
Biaya Pengujian Sampel
Uji Radiologi 1 lembar Rp Rp 250.000,00
250.000,00/lembar
Biaya Administrasi Rp 40.000,00
Pemb. preparat IHC 48 slide Rp 100.000,00 Rp 4.800.000,00
Lain-lain
Biaya pembuatan Rp 500.000,00
naskah skripsi dan
proposal
Total Rp 12.571.500,00

DAFTAR PUSTAKA

Affshana, M., and Pria, J., 2015. Healing mechanism in bone fracture. Journal of
Pharmaceutical Science and Research, Vol. 7 No. 7, pp. 441-442.

53
Agustina, H., Asyifa, I., Aziz, A., and Hernowo, B., 2018. The Role of
Osteocalcin and Alkaline Phosphatase Immunohistochemistry in
Osteosarcoma Diagnosis, Bandung: Universitas Padjadjaran.
Appley, A., and Solomon, 2010. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta:
Widya Medika.
Askarzadeh, K., Orang, F., and Moztarzadeh, F., 2005. Fabrication and
characterization of a porous composite scaffold based on gelatin and
hydroxyapatite for bone tissue engineering. Iranian Polymer Journal, Vol.
14 No. 6, pp. 511-520.
Bancroft, J. D., and Gamble, M., 2008. Teory and Practice of Histological
Techniques: Immunohistochemical Techniques. United States: Churchill
Livingstone Elsevier.
Bano, N., Jikan, S., Basri, H., Abu Bakar, S. A., and Nuhu, A. H., 2017. Natural
hydroxyapatite extracted from bovine bone. Journal of Science and
Technology, Vol. 9 No. 2, pp. 22-28.
Bezerra, M., 2005. RANK, RANKL and osteoprotegerin in arthritic bone loss.
Brazilian Journal of Medical and Biological Research, Vol. 38 No. 2, pp.
161-170.
Blackwell, 2009. Biomarkers of bone turnovers. International Journal of
Clinical Practice, Vol. 63 No. 1, pp. 19-26.
Boanini, E., Torricelli, P., Gazzano, M., Giardino, R., and Bigi, A., 2008.
Alendronate-hydroxyapatite nanocomposites and their interaction with
osteoclasts and osteoblast–like cells. Journal of Biomaterials, Vol. 29 No.
7, pp. 790-796.
Bobyn, J., Thompson, R., Lim, L., Pura, J., Bobyn, K., and Tanzer, M., 2013.
Local alendronic acid elution increases net periimplant bone formation: a
micro-CT analysis. Clinical Orthopaedics and Related Research, Vol. 472
No. 2, pp. 687-694.
Budiatin, A. S., 2014. Pengaruh Glutaraldehid sebagai Cross-link Agen
Gentamisin dengan Gelatin terhadap Peningkatan Efektivitas Bovine
Hydroxyapatite-Gelatin sebagai Sistem Penghantaran Obat dan Pengisi
Tulang, Surabaya: Universitas Airlangga.

54
Deb, P., Deoghare, A., Borah, A., Barua, E., and Lala, S., 2017. Scaffold
development using biomaterials: a review. Materials Today: Proceedings,
Vol. 5 No. 5, pp. 12909–12919.
Drake, M., Clarke, B., and Khosla, S., 2008. Bisphosphonates: mechanism of
action and role in clinical practice. Mayo Clinic Proceeding, Vol. 83 No. 9,
pp. 1032-1045.
Eapen, E., Grey, V., Wauchope, A. D., and Atkinson, S., 2008. Bone health in
childhood : usefulness of biochemical biomarkers. Electronic Journal of
the International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory
Medicine, Vol. 19 No. 2, pp. 123-136.
Ebetino, F. H., Hogan, A. M., Sun, S., Tsoumpra, M. K., and Duan, X., 2011. The
relationship between the chemistry and biological activity of the
bisphosphonates. Bone, Vol. 49 No. 1, pp. 20-23.
Einhorn, T. A., and Gerstenfeld, L. C., 2014. Fracture healing: mechanisms and
interventions, Boston: Macmillan Publishers.
Frenkel, S. R., Jaffe, W., Valle, C., Jazrawi, L., Maurer, S., Baitner, A., and
Wright, K., 2001. The effect of alendronate (Fosamax™) and implant
surface on bone integration and remodeling in a canine model. Biomedical
Materials Research, Vol. 58 No. 6, pp. 645-650.
Gallagher, J. C., and Tella, S. H., 2013. Controversies in osteoporosis
management. Clinical Obstetrics And Gynecology , Vol. 56 No. 4, pp. 749-
756.
Ghassemi, T., Shahroodi, A., Ebrahimzadeh, M., Mousavian, A., Movaffagh, J.,
and Moradi, Ali., 2018. Current concepts in scaffolding for bone tissue
engineering. The Archives of Bone and Joint Surgery, Vol. 6 No. 2, pp. 90-
99.
Gielen, I., 2008. Radiology of Fractures - Classification, Healing, Complication,
Belgium: Ghent University.
Giger, E. V., Castagner, B., and Leroux, J.-C., 2013. Biomedical applications of
bisphosphonates. Journal of Controlled release, Vol. 167 No. 2, pp. 175-
188.

55
Goes, P., Melo, M., Dutra, S., Lima, S., and Lima, V., 2012. Effect of alendronate
on bone–specific alkaline phosphatase on periodontal bone loss in rat.
Archives of Oral Biology, Vol. 57 No. 11, pp. 1537-1544.
Golub, E. E., and Boesze, K., 2007. The role of alkaline phosphatase in
mineralization. Current Opinion in Orthopaedics, Vol. 18, pp. 444–448.
Gorgieva, S., and Kokol, V., 2011. Collagen vs gelatine-based biomaterials and
their biocompatibility: review and perspectives. In: R. Pignatello, ed.
Biomaterials Applications for Nanomedicine. Ljubljana: InTech, pp. 17-40.
Hill, P. A., 1998. Bone remodelling. British Journal of Orthodontics, Vol. 25
No. 2, pp. 101-107.
Jakobsen, T., Kold, S., Bechtold, J., Elmengaard, B., and Soballe, K., 2007. Local
alendronate increases fixation of implants inserted. Journal of Orthopaedic
Research, Vol. 25 No. 4, pp. 432-441.
Kim, S. E., Suh, D. H., Yun, Y.-P., and Lee, J. Y., 2012. Local delivery of
alendronate eluting chitosan scaffold can Local delivery of alendronate
eluting chitosan scaffold can differentiation. Material in Medicine, Vol. 23,
pp. 2739–2749.
Korsnes, I. E., 2016. Immunohistochemistry – Principles and Method, Tromso:
Universitas Tromso.
Kushdilian, M., Ladd, L., and Gunderman, R., 2016. Radiology in the study of
bone phisiology. Academic Radiology, Vol. 23 No. 10, pp. 1298-1308.
Landis, W. J., 1995. The strength of a calcified tissue depends in part on the
molecular structure and organization of its constituent mineral crystals in
their organic matrix. Bone, Vol. 16 No. 5, pp. 533-544.
Leboucher, J. A., 2002. Design and Characterization of a Scaffold for Bone
Tissue, Paris: DEA National de Biomécanique.
Li, Y., Chen, S., Li, L., Qin, L., Wang, X-L., and Lai, Y-X., 2015. Bone defect
animal models for testing efficacy of bone substitute biomaterials. Journal
of Orthopaedic Translation, Vol. 3 No. 3, pp. 95-104.
Marsell, R., and Einhorn, T. A., 2011. The biology of fracture healing. Injury,
Vol. 42 No. 6, pp. 551-555.

56
Ning, B., Zhao, Y., Buza III, J., Li, W., Wang, W., and Jia, T., 2017. Surgically-
induced mouse models in the study of bone regeneration : current models
and future directions. Molecular Medicine Reports, Vol. 15 No. 3, pp.
1017-1023.
Niu, S., Cao, X., Zhang, Y., Zhu, Q., Zhu, J., and Zhen, P., 2012. Peri-implant and
systemic effects of high-/low-affinity bisphosphonate-hydroxyapatite
composite coatings in a rabbit model with peri-implant high bone turnover.
BMC Musculoskeletal Disorders, Vol. 13 No. 1, pp. 1-8.
BIBLIOGRAPHY Pal, K., Paulson, A. T. & Rousseau, D., 2013. Biopolymers
in controlled-release delivery systems. In: S. Ebnesajjad, (Ed.). Handbook
of Biopolymers and Biodegradable Plastics. United State: Woodhead
Publisher, pp. 329-363.

Panzavolta, S., Torricelli, P., Bracci, B., Fini, M., and Bigi, A., 2010.
Functionalization of biomimetic calcium phosphate bone cements with
alendronate. Journal of Inorganic Biochemistry, Vol. 104 No. 10, pp.
1099–1106.
Pura, J. A., 2014. Implant-Delivered Alendronate Enhances Net Bone
Formation Around Porous Titanium Implants, Montréal: McGill
University.
Russell, R., Watts, N., Ebetino, F., and Rogers, M., 2008. Mechanisms of action
of bisphosphonates: similarities and differences and their potential influence
on clinical efficacy. Osteoporos International, Vol. 19 No. 6, pp. 733-759.
Russel, R. G., 2011. Bisphosphonates: the first 40 years. Bone, Vol. 49 No. 1, pp.
2-19.
Russel, R. G., and Rogers, M. J., 1999. Bisphosphonates: from the laboratory to
the clinic and back again. Bone, Vol. 25 No. 1, pp. 97-106.
Safadi, F., Barbe, M., Abdelmagid, S., Rico, M., Aswad, R., Litvin, J., and
Popoff, Steven., 2009. Bone structure, development and bone biology. Bone
Pathology, Vol. 1, pp. 1-50.

57
Salim, S., 2016. Corelation between estrogen and alkaline phosphatase
exspression in osteoporotic rat model. Dental Journal, Vol. 49 No. 2, pp.
76-80.
Sharma, U., Pal, D., and Prasad, R., 2014. Alkaline phosphatase: an overview.
Indian Journal of Clinical Biochemistry, Vol. 29 No. 3, pp. 269-278.
Shetty, S., Kapoor, N., BonduJ, D., Thomas, N., and PaulT, V., 2016. Bone
turnover marker: emerging tool in the management of osteoporosis. Journal
of Endocrinology and Metabolism, Vol. 20 No. 6, pp. 846-852.
Sommerfeldt, D., and Rubin, C., 2001. Biology of bone and how it orchestrates
the form and function of the skeleton. European Spine Journal, Vol. 10
No. 2, pp. 86–95.
Srisubut, S., Teerakapong, A., and Vattraphodes, T., 2007. Effect of local delivery
of alendronate on bone formation in bioactive glass grafting in rats. Oral
Surgery Oral Medicine Oral Pathology Oral Radiology Endodontics, Vol.
104 No. 4, pp. 11-16.
Sweetman, S. C., 2011. The 37th edition of Martindale: The Complete Drug
Reference. London, England, UK: Pharmaceutical Press.
Thomas, S., 2012. Bone turnover markers. Australian Prescriber, Vol. 35 No. 5,
pp. 156-158.
Toker, H., Ozdemir, H., Ozer, H., and Eren, Kaya., 2012. Alendronate enhances
osseous healing in a rat calvarial. Archives of Oral Biology, Vol. 57 No. 11,
pp.1545-1550.
Von Knoch, F., Jaquiery, C., Kowalsky, M., Schaeren, S., Alabre, C., Martin, I.,
Rubash, H. E., Shanbhag, A. S., 2005. Effect of biphosphonat on
proliferation and osteoblasts differentiation of human bone marrow stromal
cell. Biomaterials, Vol 26, pp. 6941-6949
Wang, M., 2006. Composite scaffolds for bone tissue engineering. American
Journal of Biochemistry and Biotechnology, Vol. 2 No. 2, pp. 80-84.
Warastuti, Y., and Abbas, B., 2011. Sintesis dan karakterisasi pasta injectable
bone substitute iradiasi berbasis hidroksiapatit. Jurnal Ilmiah Aplikasi
Isotop dan Radiasi, Vol. 7 No. 2, pp. 73-79.

58
Yanovska, A., Kuznetsov, V., Stanislavov, A., Husak, E., Pogorielov, M.,
Starikov, V., Bolshanina, S., and Danilchenko, S., 2016. Synthesis and
characterization of hydroxyapatite-gelatine composite materials for
orthopaedic application. Materials Chemistry and Physics, Vol. 183, pp.
93-100.
Yudaniayanti, I. S., 2005. Aktifitas alkaline phosphatase pada proses kesembuhan
patah tulang femur dengan terapi CaCO3 dosis tinggi pada tikus jantan.
Media Kedokteran Hewan, Vol. 21 No. 1, pp. 15-18.
Yun, Y. P., Kim, S. J., Lim, Y. M., Park, K., Kim, H. J., Jeong, S. I., Kim, S. E.,
and Song, H. R., 2014. The effect of alendronate-loaded polycarprolactone
nanofibrous scaffolds on osteogenic differentiation of adipose-derived stem
cells in bone tissue regeneration. Journal of Biomedical Nanotechnology,
Vol. 10 No. 6, pp. 1080–1090.
Zwingenberger, S., Niederlohmann, E., Vater, C., Ing, D., Rammelt, S., Matthys,
R., Bernhardt, R., Valladares, R. D., Goodman, S. B., and Stiehler, Maik.,
2013. Establishment of a femoral critical-size bone defect model in
immunodeficient mice. Journal of Surgical Research, Vol. 181, pp. 7-14.

59

Anda mungkin juga menyukai