MODUL 7.1
Bone Graft
Oleh:
1. Alrevo Panji Auradewa 31101600555
2. Annisha Savira 31101600560
3. Ayatusyifa’ Maghfyrany Sumarno 31101600566
4. Dhiya Almanda Fa’adiyah 31101600574
5. Dinda Nabila Sukma 31101600575
6. Ellis Choirurizqoh 31101600578
7. Erdya Ning Pradikta 31101600579
8. Ferina Widyasari 31101600584
9. Hayyunah Azzahra 31101600590
10. Nabilah Nur Dini 31101600612
11. Sita Ratna Pratis 31101600638
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia kedokteran gigi khususnya bedah mulut seringkali ditemukan
terdapat kerusakan tulang maksilofasial yang disebabkan oleh beberapa faktor
seperti ekstraksi, penyakit periodontal, trauma, kista, tumor, dan infeksi (Ebrahimi,
2017). Pada kasus-kasus tersebut menyebabkan defek pada tulang dan rekonstruksi
defek pada tulang masih menjadi tantangan bagi para ahli bedah mulut karena
proses penyembuhannya yang sulit. Untuk membantu dalam proses
penyembuhannya, dapat dilakukan terapi dengan suatu bahan atau material
pengganti yaitu bone graft.
Bone grafting merupakan prosedur kedua terbanyak dalam hal transplantasi
jaringan, setelah transplantasi gigi. Meskipun ada kemungkinan bahwa prosedur
ini dilakukan lebih awal, transplantasi tulang pertama kali didokumentasikan
dilakukan pada tahun 1668 oleh ahli bedah Belanda Job van Meek'ren, yang
menggambarkan pengisian tulang tengkorak yang cacat pada prajurit perang
dengan sepotong tengkorak dari anjing. Pada tahun 1879, sekitar 200 tahun
kemudian, Sir William Macewen memperkenalkan allografting pada anak 4 tahun
ketika ia berhasil menggantikan dua pertiga proksimal humerus dengan tulang
yang diperoleh dari pasien lain. Pada tahun 1915, dr. Fred Albee menjelaskan
tentang autologous grafting tulang dimana ia menggunakan sebagian dari tibia
pasien untuk fusi tulang belakang (Ketonis, 2011).
Proses bone grafting atau pencangkokan tulang adalah prosedur yang
dilakukan untuk menggantikan tulang yang hilang atau rusak dan dapat diambil
dari tulang di tempat lain kemudian disubstitusikan ke dalam jaringan tulang yang
mengalami defek . (Bhattacharjya et al., 2016). Jaringan tulang yang defek
memiliki kemampuan untuk regenerasi sepenuhnya jika disediakan ruang untuk
tumbuh. Seiring dengan pertumbuhan tulang alami, umumnya jaringan tersebut
akan diisi oleh bahan graft sepenuhnya, menghasilkan tulang baru yang
sepenuhnya terintegrasi. (Kumar et al., 2014)
3
Tujuan utama dari terapi bone grafting ini adalah sebagai restorasi estetik dan
rehabilitasi fungsional (Ebrahimi, 2017). Sebagian besar bone graft diharapkan
akan terserap dan menggantikan tulang seperti pada penyembuhan tulang yang
normal dalam waktu beberapa bulan (Hung, 2012).
Bone graft harus memiliki tiga fungsi dasar antara lain osteogenesis,
osteoinduksi dan osteokonduksi. Selain itu bone graft harus bersifat
biokompatibel, yaitu dapat diterima oleh tubuh, memiliki sifat mekanik yang baik,
dan mudah dimanipulasi (Gual Vaques et al., 2018). Bone graft dapat dilakukan
dalam bentuk autograft, allograft, xenograft, alloplast atau dari bahan sintetis yang
seringnya dibuat dari hydroxyapatite atau dari bahan – bahan yang alami dan
mempunyai biokompabilitas dengan bahan yang secara mekanik menyerupai
tulang (Bhattacharjya et al., 2016).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bone Graft
biomaterial dan faktor yang terkait dengan pasien. Seleksi pemilihan bahan
sintetis dalam aspek sifat biomaterial berdasarkan sifat-sifat bahan seperti: sifat
fisik dan mekanik, laju biodegradasi, tingkat bioaktivitas (osteokonduktif,
osteoinduktif, dan osteogenic), ketersediaan, dan biaya.
Sifat biomaterial; sifat fisika-kimia bahan bone graft. Dari aspek kimia,
biomaterial berbasis kalsium fosfat anorganik menunjukkan keuntungan yang
besar dalam rekayasa jaringan. Biomaterial berbasis nano menunjukkan
peningkatan fisik-biologis dibandingkan biomaterial berbasis mikro. Keunggulan
klinis biomaterial komposit yang memiliki kandungan organic dan anorganik
dengan molekul fungsional lainnya dan faktor pertumbuhan membuat adanya
peningkatan pada proses regenerasi. Dari aspek fisik: ukuran partikel, porositas,
sifat mekanik, dan profil biodegradasi biomaterial harus dipertimbangkan.
Idealnya, jenis bone graft sintetis yang digunakan harus memiliki porositas dan
sifat mekanik (kekuatan tarik, kepadatan, dan ketangguhan retak) yang sama
seperti di lokasi yang akan diaplikasikan. Profil biodegradasi juga harus
disesuaikan dengan persyaratan klinis pada lokasi cangkok, penurunan ukuran
partikel dan peningkatan porositas biomaterial mengurangi kekuatan mekanik
akan tetapi biodegradasi meningkat. Namun perlu diperhatikan laju
biodegenerasi biomaterial, apabila lebih cepat dari laju remodeling tulang akan
menyebabkan keruntuhan pada lokasi yang dicangkok dan menjadi kegagalan
awal. Selain itu, laju biodegenerasi biomaterial juga tidak terlalu lambat karena
dapat menghambat pengendapan tulang alami.
Biomaterial berbasis nano memiliki laju biodegenerasi yang lebih cepat dan
homogen daripada berbasis mikro. Laju biodegenarasi juga dapat dilihat dari sifat
komposisi, seperti bahan berbasis HA mengalami laju degradasi yang sangat
lambat, sedangkan TCP dan bahan berbasis organic lainnya memiliki laju
degradasi yang lebih cepat. Sifat fisik dan kimia biomaterial berpengaruh secara
langsung pada respon seluler, laju dan pola penyembuhan tulang. Komposisi
kimia (kimia, fosfat) dan sifat fisik (biodegradasi) berpengaruh pada perlekatan
sel di awal dan fungsi sel selanjutnya. Pada pasien perlu diperhatikan beberapa
7
aspek yang dapat mempengaruhi hasil pencangkokan tulang, seperti: usia pasien,
kesehatan umum, kebiasaan merokok, radioterapi, ukuram, jenis, dan lokasi
anatomi tulang yang cacat, tujuan perbaikan, aspek psikologis, tingkat kerjasama,
dan masalah keuangan.
8
PENUTUP
Daftar Pustaka