Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN KEPADATAN BANGUNAN MENGGUNAKAN INTERPRETASI HIBRIDA CITRA

LANDSAT-8 OLI DI KOTA SEMARANG TAHUN 2015

Shanti Puspitasari
puspitasari.shanti@gmail.com

Suharyadi
suharyadir@ugm.ac.id

Abstract
The rapid development of the city gives impact to increase in the number of buildings in
Semarang city. It causes Semarang become dense city. Using remote sensing to identify the density of
buildings more efficient than terrestrial method. This research aims: (1) To map building density of
Semarang city using hybrid interpretation, (2) To assess the level of hybrid interpretation accuracy by
comparing to the standard building density map as references, (3) To assess pattern of building
density of Semarang city was resulted from hybrid interpretation. The method in this research is a
hybrid interpretation, it is a combination of visual and digital interpretation. The result of this
research is hybrid interpretation can be used to identify building density. The level of accuracy of this
technique to map the building density is 87,81%. It mean that hybrid interpretation is classified
satisfactory level to extract building density information. The building density in Semarang is affected
by topography in that area. Getting away from downtown area, the density followed the main road.

Keywords: Building density, hybrid interpretation, Landsat-8 OLI

Abstrak
Perkembangan wilayah memicu semakin meningkatnya jumlah bangunan sehingga kepadatan
di Kota Semarang semakin meningkat. Identifikasi kepadatan bangunan agar lebih efisien dapat
memanfaatkan citra penginderaan jauh. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Pemetaan kepadatan
bangunan di Kota Semarang berdasarkan interpretasi hibrida, (2) Mengkaji tingkat akurasi peta
kepadatan bangunan hasil interpretasi hibrida di Kota Semarang dengan peta kepadatan bangunan
rujukan, dan (3) Mengkaji pola kepadatan bangunan yang terjadi di Kota Semarang yang diperoleh
berdasarkan hasil interpretasi hibrida. Metode yang digunakan untuk identifikasi kepadatan
bangunan dalam penelitian ini adalah interpretasi hibrida yakni penggabungan antara interpretasi
visual dan digital. Hasil dari penelitian ini adalah interpretasi hibrida dapat digunakan untuk
memetakan kepadatan bangunan dengan nilai uji akurasi sebesar 87,81%. Nilai tersebut menandakan
interpretasi hibrida layak digunakan untuk identifikasi kepadatan bangunan. Pola kepadatan sangat
dipengaruhi topografi wilayah, semakin menjauh dari pusat kota maka kepadatan mengikuti jalan
utama.

Kata kunci: kepadatan bangunan, interpretasi hibrida, citra Landsat-8

1
PENDAHULUAN penginderaan jauh. Penggunaan citra
penginderaan jauh memiliki keunggulan datanya
Kota adalah daerah administrasi setara
mudah diperoleh dan validitasnya dapat
kabupaten yang keberadaannya ditentukan oleh
dipercaya. Data dari citra penginderaan jauh
undang-undang dan dulu dinamakan kotamadya
diperoleh dengan cara interpretasi citra.
(Suharyadi, 2000). Perkembangan kota tidak
Interpretasi citra menurut Sutanto (1986) dapat
dapat lepas dari aspek pembentuknya yang
dilakukan secara manual/visual maupun digital.
meliputi sosial budaya, ekonomi, permukiman,
Interpretasi manual merupakan interpretasi yang
kependudukan, sarana dan prasarana serta
dilakukan berdasarkan pada pengenalan ciri
transportasi (Pranoto, 2007). Perkembangan kota
karakteristik objek secara keruangan. Interpretasi
dapat memicu semakin tingginya pembangunan
dilakukan dengan menggunakan bantuan unsur
gedung sehingga dapat mengakibatkan semakin
interpretasi seperti rona/warna, bentuk, ukuran,
pesatnya kepadatan bangunan.
tekstur, bayangan, pola, letak, asosiassi.
Perkembangan wilayah juga tidak lepas
Interpretasi data penginderaan jauh secara digital
dari masalah kependudukan. Semakin banyaknya
menurut Sutanto (1986) pada dasarnya berupa
penduduk dan terkonsentrasinya aktivitas
klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya.
penduduk di pusat kota maka mengakibatkan
Penggunaan citra dalam identifikasi kepadatan
pembangunan yang intensif untuk memenuhi
bangunan dapat dilakukan dengan cara
lahan permukiman atau peningkatan fasilitas
interpretasi visual, digital, maupun hibrida.
pelayanan. Pembangunan yang intensif tidak
Cara yang paling dikenal dan sering
diimbangi dengan ketersediaan lahan yang
digunakan adalah interpretasi visual dan digital.
memadai sehingga mengakibatkan semakin
Kedua interpretasi tersebut mempunyai
padatnya bangunan. Kepadatan bangunan yang
keunggulan dan keterbatasan. Guna
terus terjadi dapat menyebabkan dampak negatif
mengoptimalkan keunggulan dan meminimalkan
seperti penurunan kesehatan masyarakat,
keterbatasan interpretasi visual dan digital maka
penurunan kualitas tempat tinggal, dan
dilakukanlah interpretasi hibrida. Interpretasi
ketidaksesuaian dengan tata ruang wilayah.
hibrida dapat mengurangi ketidakkonsistenan
Perkembangan fisik suatu kota dapat
dalam pengenalan objek yang ada pada
dibedakan menjadi perkembangan fisik
interpretasi citra penginderaan jauh visual dan
horisontal dan vertikal. Bentuk perkembangan
mengganti pengenalan individu piksel pada
kepadatan bangunan secara horisontal salah
interpretasi digital dengan delineasi kelompok
satunya disebut sebagai densifikasi bangunan.
piksel (Suharyadi, 2012). Hibrida merupakan
Proses perkembangan kepadatan bangunan
salah satu teknik yang masih jarang digunakan di
secara horisontal memiliki dua tipe yakni
Indonesia. Klasifikasi dilakukan dengan
perkembangan sentrifugal dan sentripetal.
menggabungkan dua metode atau lebih secara
Perkembangan sentrifugal adalah perkembangan
bersama-sama untuk klasifikasi. Metode yang
yang mengarah keluar pusat kota ke daerah
digabungkan dapat berupa penggabungan terselia
pinggiran perkotaan. Perkembangan ini
dan tak terselia atau visual dan digital.
menyebabkan terjadinya perubahan lahan dari
Penggunaan interpretasi dengan metode ini dapat
lahan pertanian ke non pertanian di daerah
dilakukan untuk meningkatkan kualitas hasil
pinggiran dan pada daerah pusat kota mengalami
interpretasi objek serta mampu lebih
perubahan penggunaan lahan dari kawasan
mengembangkan penggunaan interpretasi hibrida
hunian menjadi kawasan bisnis seperti
di Indonesia khususnya.
perdagangan, perhotelan, perkantoran, dan jasa.
Kota Semarang merupakan salah satu kota
Perkembangan sentripetal merupakan proses
yang terus mengalami perkembangan fisik
perkembangan bangunan kekotaan yang terjadi
kekotaan. Perkembangan tersebut salah satunya
di bagian dalam kota dengan kata lain
dikarenakan keberadaan kawasan industri yang
perkembangan masih memanfaatkan lahan di
cukup banyak sehingga menyerap banyak tenaga
perkotaan yang masih kosong.
kerja. Hal tersebut dapat dibuktikan dari Kota
Identifikasi kepadatan bangunan apabila
Semarang dalam angka 2014 (BPS Kota
dilakukan secara terestrial membutuhakn waktu,
Semarang, 2014) yang menyatakan bahwa mata
biaya, dan tenaga yang cukup banyak sehingga
pencaharian penduduk utama terbesar adalah
agar lebih efisien dimanfaatkanlah citra

2
buruh industri sebesar 25,65%, PNS dan pemetaan lahan yang diinterpretasi berupa blok
TNI/Polri 13,76%, pedagang 12,51%, buruh bangunan yang dibatasi oleh kenampakan jalan
bangunan 12,02%, dan sebagainya. Selain itu, maupun sungai. Delineasi dibedakan menjadi
topografi Semarang yang cenderung beragam dua yakni lahan terbangun dan bukan lahan
juga mengakibatkan perkembangan bangunannya terbangun.
memusat di topografi datar hingga landai yakni Interpretasi digital dilakukan dengan
di bagian utara tepatnya pusat kota. transformasi indeks perkotaan (urban index).
Penelitian kepadatan bangunan di Kota Algoritma urban index dilakukan pada saluran
Semarang memang sudah sering dilakukan, inframerah dekat dan inframerah tengah II.
namun sebagian besar menggunakan interpretasi Transformasi ini bertujuan untuk menonjolkan
visual atau digital saja. Penelitian tersebut belum objek lahan terbangun. Semakin tinggi nilai dan
ada yang menggunakan interpretasi hibrida ronanya semakin cerah maka menunjukkan lahan
sehingga perlu diuji, teknik interpretasi ini terbangun, sedangkan semakin rendah nilainya
apakah hasilnya cukup baik seperti penelitian dan semakin gelap ronanya maka menunjukkan
sebelumnya. Interpretasi ini menggunakan data bukan lahan terbangun. Indeks perkotaan
utama berupa citra resolusi menengah yakni digunakan sebagai parameter untuk menentukan
Landsat-8 OLI. Tujuan dari penelitian ini antara kepadatan bangunan pada blok lahan terbangun.
lain: Formula indeks perkotaan yang digunakan
1. Pemetaan kepadatan bangunan di Kota adalah sebagai berikut:
Semarang berdasarkan interpretasi hibrida.
2. Mengkaji tingkat akurasi peta kepadatan …Persamaan (1)
bangunan hasil interpretasi hibrida di Kota
Semarang dengan peta kepadatan bangunan Keterangan:
rujukan. UI = indeks perkotaan (urban index)
3. Mengkaji pola kepadatan bangunan yang B7 = saluran inframerah tengah II citra Landsat
terjadi di Kota Semarang yang diperoleh 8 OLI
berdasarkan hasil interpretasi hibrida. B5 = saluran inframerah dekat citra Landsat 8
OLI
METODE PENELITIAN Penentuan kelas kepadatan bangunan
Data kepadatan bangunan dihasilkan dari dilakukan dengan menggunakan kunci
ekstraksi citra penginderaan jauh Landsat-8 OLI interpretasi yang dibuat oleh Suharyadi (2009)
menggunakan teknik interpretasi hibrida. Teknik dengan modifikasi pada Tabel 1.
ini mengkombinasikan teknik interpretasi visual Tabel 1. Kunci Interpretasi
dan digital. Interpretasi visual digunakan untuk
No Kepadatan Kunci Interpretasi
delineasi satuan pemetaan yang berupa lahan
rUI <65 atau rUI 65 – 80
terbangun dan interpretasi digital digunakan
1 Rendah dan
untuk identifikasi kepadatan bangunan.
rb5 <0,14
Citra Landsat-8 yang digunakan sebagai
rUI >80 atau rUI 65 – 80
data utama terlebih dahulu dilakukan koreksi
2 Tinggi dan
radiometri dan geometri. Koreksi radiometri
rb5 >0,14
dilakukan dengan mengkonversikan nilai
Sumber: Suharyadi (2010) dengan modifikasi
radiance at sensor menjadi reflectance at sensor
Keterangan:
sehingga diperoleh nilai piksel standar. Koreksi
rUI = rerata nilai piksel citra urban index
geometri dilakukan agar posisi piksel sesuai
rb5 = rerata nilai piksel band 5 citra Landsat-8
dengan posisi sebenarnya pada koordinat bumi.
OLI
Tahapan interpretasi visual dari interpretasi
Interpretasi hibrida dilakukan dengan
hibrida adalah mendelineasi satuan pemetaan.
mengkombinasikan hasil interpretasi visual
Satuan pemetaan didelineasi berdasarkan
yakni satuan pemetaan lahan terbangun dengan
komposit 567 pada citra Landsat-8. Komposit
hasil interpretasi digital untuk identifikasi
warna tersebut dipilih karena sangat baik untuk
kepadatan. Interpretasi hibrida dilakukan dengan
membedakan penutup lahan di wilayah
menerapkan kunci interpretasi terhadap nilai
perkotaan yang penutupnya heterogen. Satuan

3
rata-rata citra urban index dan saluran HASIL DAN PEMBAHASAN
inframerah dekat yang telah dikoreksi reflectan
Interpretasi hibrida dilakukan dengan
at sensor pada setiap satuan pemetaan lahan
menggabungkan interpretasi visual dan digital.
terbangun.
Delineasi satuan pemetaan dilakukan pada citra
Hasil dari interpretasi hibrida perlu
Landsat-8 komposit 567. Penggunaan dari
dilakukan validasi untuk mengetahui keakuratan
komposit tersebut berfungsi untuk menonjolkan
interpretasi. Data yang digunakan untuk validasi
kenampakan objek, sehingga mudah untuk
adalah citra Ikonos. Validasi dilakukan dengan
dibedakan. Delineasi dilakukan dengan cara
menggunakan metode BCR (Building Coverage
digitasi on screen menggunakan bantuan unsur
Ratio) yang kemudian diklasifikasikan
interpretasi. Interpretasi digital dilakukan dengan
berdasarkan klasifikasi kepadatan bangunan
transformasi urban index untuk menonjolkan
menurut Suharyadi (2004) dengan modifikasi
objek lahan terbangun. Hasil dari kedua
pada Tabel 2. Formula kepadatan dapat dilihat
interpretasi kemudian ditumpangsusunkan dan
sebagai berikut:
dihitung nilai tiap piksel transformasi urban
index dan saluran inframerah dekat di setiap
...Persamaan (2) blok. Nilai setiap blok kemudian dirata-rata
sehingga menghasilkan nilai rata-rata kepadatan
Tabel 2. Klasifikasi Kepadatan Bangunan di setiap poligon blok.
No Kelas Nilai Keterangan Interpretasi hibrida menghasilkan kelas
Kepadatan Kepadatan kepadatan tinggi dan rendah, sedangkan kelas
1 I >70% Padat kepadatan sedang tidak teridentifikasi. Hal ini
2 II 10% – 70% Jarang dapat dimungkinkan karena kesalahan sensor
dalam menangkap pantulan spektral objek
3 III <10% Bukan sehingga kelas kepadatan sedang dalam
Bangunan transformasi ui dan band 5 teridentifikasi sebagai
Sumber: Suharyadi (2004) dengan modifikasi kelas kepadatan tinggi. Kelas sedang bercampur
dengan lahan kosong, dimana lahan kosong
Peta kepadatan hasil BCR kemudian dalam transformasi atau saluran inframerah
dilakukan cek lapangan untuk uji akurasi dekat teridentifikasi sebagai lahan terbangun.
datanya. Apabila nilai ketelitian pemetaan lebih Selain itu dapat disebabkan kesalahan dalam
besar dari 95% maka derajat kepercayaan interpretasi karena interpretasi citra Landsat
dikatakan baik dan dapat digunakan untuk uji dilakukan mengikuti bentuk piksel yakni kotak,
akurasi peta kepadatan bangunan hasil sedangkan bentuk dari lahan terbangun sendiri
interpretasi hibrida, sedangkan jika nilai tidak kotak-kotak, oleh karenanya objek selain
ketelitian kurang dari 95% maka perlu diuji lahan terbangun dapat teridentifikasi dalam blok
kembali teknik ekstraksi kepadatan bangunan lahan terbangun. Terlebih piksel dari citra
yang digunakan (Suharyadi, 2010). Peta Landsat mencakup 30x30 meter di lapangan
kepadatan bangunan BCR yang telah diuji sehingga dimungkinkan dalam satu piksel
keakuratannya kemudian digunakan sebagai peta tercakup objek-objek lain selain lahan terbangun.
kepadatan bangunan rujukan. Peta rujukan Peta kepadatan bangunan disajikan
digunakan untuk uji akurasi peta kepadatan menggunakan warna gradasi karena
bangunan hasil interpretasi hibrida. menunjukkan tingkatan.
Analisis dilakukan untuk kepadatan Kepadatan tinggi ditunjukkan dengan
bangunan dan pola kepadatan bangunan. warna gelap. Kepadatan ini terkonsentrasi
Analisis untuk kepadatan bangunan dilakukan dibagian utara dan disepanjang jalan utama
secara spasial dengan melihat peta kepadatan dan seperti Kecamatan Semarang Timur, Semarang
berdasarkan nilai tingkat kepadatan bangunannya Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara, dan
atau secara kuantitatif. Analisis untuk pola sebagainya. Kecamatan tersebut termasuk ke
kepadatan dilakukan dengan melihat persebaran dalam Semarang Bawah. Hal ini dikarenakan
tingkat kepadatan bangunan hasil interpretasi wilayah tersebut memiliki aksesibilitas yang baik
hibrida. dan topografi yang cenderung datar hingga
landai. Keadaan topografi sangat berpengaruh di

4
Kota Semarang karena lahan terbangun lebih dan sebagainya. Luas dari kepadatan ini sebesar
banyak terdapat di topografi datar. Selain itu, 5.761,10 Ha.
pembangunan jalan juga lebih banyak terjadi di Bukan lahan terbangun memiliki luas lebih
daerah dengan topografi datar. Semakin banyak dari setengah luas total wilayah yakni 21.103,84
jalan maka aksesibilitasnya pun semakin baik Ha. Persebaran bukan lahan terbangun berada di
dan memicu semakin tingginya lahan terbangun. pinggiran-pinggiran kota. Sebagian besar bukan
Luas kepadatan tinggi sebesar 11.935 Ha. lahan terbangun berada di bagian barat-daya
Kepadatan rendah terletak di daerah hingga ke utara seperti Kecamatan Mijen,
perdesaan dengan topogafi yang cenderung Ngaliyan, Tugu, Gunung Pati, dan Banyumanik
bergelombang hingga berbukit. Daerah dengan yang memiliki topografi bergelombang hingga
topografi seperti itu biasanya dimanfaatkan berbukit. Tabel luas kepadatan ditunjukkan
untuk perkebunan karena pada topografi seperti Tabel 3 dan peta kepadatan bangunan hasil
ini aksesibilitasnya menjadi lebih sulit. Kelas interpretasi hibrida ditunjukan Gambar 1.
kepadatan rendah merupakan kelas yang tidak
hanya berisi bangunan saja seperti kelas Tabel 3. Luas Kepadatan Bangunan Hasil
kepadatan tinggi, namun dalam Interpretasi Hibrida
pendelineasiannya terdapat juga vegetasi. Kelas
Luas Persentase
Percampuran lahan terbangun dan vegetasi No Kepadatan
(Ha) (%)
mengakibatkan saat perhitungan nilai rata-rata Bangunan
blok bangunan juga terdapat nilai dari vegetasi 1 Tinggi 11935,00 30,76
dan nilai rata-ratanya pun menjadi rendah. Nilai 2 Rendah 5761,10 14,85
tersebut apabila dicocokan dalam kunci Bukan Lahan
interpretasi maka tergolong dalam kelas 3 21103,84 54,39
Terbangun
kepadatan rendah. Kelas kepadatan ini sebagian Jumlah 38799,95 100,00
besar berada di Semarang Atas yakni seperti Sumber: Pengolahan Data, 2016
Kecamatan Gunung Pati, Banyumanik, Mijen,

Gambar 1. Peta Kepadatan Bangunan Hasil Interpretasi Hibrida

5
Penggunaan citra resolusi tinggi berperan bangunan interpretasi hibrida dengan peta
dalam memperoleh informasi lahan terbangun dan kepadatan bangunan rujukan. Teknik uji akurasi
bukan lahan terbangun untuk dijadikan peta dilakukan dengan cara menumpangsusunkan
kepadatan bangunan rujukan. Interpretasi kedua peta tersebut. Interpretasi citra Landsat-8
kepadatan bangunan menggunakan citra resolusi OLI dan interpretasi citra Ikonos
tinggi agar diperoleh peta kepadatan bangunan ditumpangsusunkan sehingga diketahui perbedaan
yang sama dengan kondisi lapangan. Interpretasi area digitasi dari kedua citra tersebut. Semakin
untuk memperoleh informasi tersebut dilakukan banyak area yang bertampalan maka semakin
secara visual dengan cara digitasi on screen. banyak pula area yang terkelaskan dengan benar
Digitasi dilakukan untuk membuat hasil delineasi sehingga nilai akurasi dari interpretasi hibrida
dari citra Landsat yang sebelumnya berbentuk semakin tinggi. Pengujian akurasi tidak hanya
kotak-kotak menjadi bentuk sesuai dengan dilakukan pada beberapa wilayah saja, namun
keadaan lapangan. Digitasi tetap dilakukan dilakukan untuk seluruh wilayah di peta
dengan cara mendelineasi daerah sesuai bloknya kepadatan. Uji akurasi dilakukan menggunakan
dengan batas jalan atau sungai dan menggunakan tabel matiks kesalahan atau confusion matrix.
beberapa unsur interpretasi seperti bentuk, warna, Hasil uji akurasi interpretasi hibrida untuk
asosiasi, tekstur, dan pola. Interpretasi dengan kepadatan bangunan memiliki nilai akurasi
citra Ikonos untuk memperoleh nilai kepadatan keseluruhan cukup baik yakni 87,81%. Nilai
bangunan dilakukan menggunakan metode BCR tersebut menandakan 87,81% kondisi di lapangan
(Building Coverage Ratio). telah sesuai digambarkan oleh peta kepadatan
Hasil dari nilai kepadatan bangunan metode bangunan interpretasi hibrida. Anderson dkk
BCR sangat berpengaruh untuk menguji tingkat (1976) dan Campbell (2002) menyatakan bahwa
kepadatan dari interpretasi hibrida sehingga perlu nilai akurasi minimal untuk pemetaan
diketahui tingkat ketelitian pemetaannya atau penutup/penggunaan lahan yang menggunakan
dilakukan uji akurasi. Tingkat ketelitian pemetaan penginderaan jauh sebesar 85%. Oleh karenanya,
dari metode BCR dengan cek lapangan sebesar hasil uji akurasi interpretasi hibrida dapat
95,15%. Nilai tersebut melebih nilai minimal uji dikatakan layak dan dapat diterima untuk
akurasi agar peta dapat digunakan sebagai peta memetakan kepadatan bangunan.
kepadatan rujukan. Oleh karenanya, dapat Nilai akurasi hibrida tersebut tidak kalah
dikatakan bahwa citra Ikonos baik digunakan baiknya dengan hasil akurasi studi perkotaan
dalam penyadapan data kepadatan bangunan menggunakan interpretasi visual atau digital.
menggunakan metode BCR dan dapat digunakan Nurcahyani (2005) menggunakan interpretasi
dalam analisis selanjutnya. Peta hasil metode digital berupa transformasi urban index untuk
BCR juga dapat digunakan sebagai peta pemantauan pemekaran fisik Kota Yogyakarta
kepadatan bangunan rujukan untuk validasi dan menghasilkan akurasi sebesar 86,32%.
interpretasi hibrida. Suharyadi (2010) dan Nugraha (2014)
Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui menggunakan interpretasi hibrida untuk
tingkat keakuratan hasil interpretasi hibrida. mengetahui kepadatan bangunan di kota dan
Pengujian dilakukan dengan membandingkan menghasilkan akurasi sebesar 84,31% dan
hasil interpretasi hibrida dengan peta kepadatan 84,86%. Selain itu, data dalam interpretasi ini
bangunan rujukan metode BCR yang telah dicek yang berupa citra Landsat-8 tidak kalah baiknya
lapangan. Hasil uji akurasi interpretasi hibrida dengan citra resolusi tinggi maupun menengaj
dengan peta rujukan sangat mempengaruhi derajat lainnya. Hal ini dibuktikan oleh Zhou dkk (2014)
kepercayaan untuk data yang digunakan karena yang menggunakan citra Landsat OLI untuk
hasil interpretasi nantinya digunakan untuk pemetaan lahan terbangun dan bukan lahan
analisis lebih lanjut. Nilai dari uji akurasi berupa terbangun dan menghasilkan akurasi sebesar
persentase, sehingga semakin tinggi angka 90,8% menggunakan indeks BBIOLI.
persentasenya maka semakin tinggi pula tingkat Perhitungan akurasi dapat berbeda untuk
keakuratannya. sudut pandang pembuat peta (producer) dengan
Uji akurasi dilakukan dengan pengguna peta (user). Akurasi pembuat atau
membandingkan secara spasial peta kepadatan producer’s accuracy merupakan akurasi yang

6
menggambarkan ketelitian dari interpretasi hibrida terhadap seluruh kategori yang dikenali
hibrida terhadap kategori sebenarnya di lapangan pada citra Landsat OLI. Akurasi dari sudut
dimana kategori di lapangan diwakili oleh peta pandang pengguna untuk kepadatan tinggi sebesar
kepadatan bangunan rujukan. Akurasi dari sudut 79,48%, kepadatan rendah 84,83%, dan bukan
pandang pembuat untuk kepadatan tinggi sebesar bangunan 93,86%. Nilai akurasi tersebut
93,78%, kepadatan rendah 55,78%, dan bukan membuktikan bahwa interpretasi hibrida tidak
bangunan 92,94%. Akurasi pengguna (user’s kalah baiknya dengan interpretasi visual mapun
accuracy) merupakan akurasi yang digital. Tabel uji akurasi secara keseluruhan
menggambarkan ketelitian hasil interpretasi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji Akurasi Interpretasi Hibrida untuk Kepadatan Bangunan


Citra Resolusi Tinggi User
Interpretasi Komisi
No Bukan Total Accuracy
Hibrida Tinggi Rendah (%)
Bangunan (%)
1 Tinggi 11130,95 1894,18 980,06 14005,19 79,48 20,52
2 Rendah 36,53 3138,13 524,82 3699,48 84,83 15,17
Bukan
3 701,86 593,83 19799,59 21095,28 93,86 6,14
Bangunan
Total 11869,33 5626,14 21304,47 38799,95
Producer Overall
93,78 55,78 92,94 87,81
Accuracy (%) Accuracy
Omisi (%) 6,22 44,22 7,06 (%)
Sumber: Pengolahan Data, 2016

Pola kepadatan bangunan dianalisis secara kecamatan meskipun dengan luasan yang
kualitatif dan kuantitaif. Analisis kuantitatif berbeda. Kelas ini mendominasi bagian utara
dilakukan berdasarkan analisis spasial statistik kota seperti Kecamatan Semarang Utara,
metode High/Low Clustering dan Spatial Semarang Tengah, Semarang Barat, Semarang
Autocorrelation Morran’s I. Dilihat dari peta, Timur, Semarang Selatan, Gayamsari, Candisari,
penggunaan lahan di Kota Semarang sebagian sebagian Gajah Mungkur. Kecamatan-kecamatan
besar masih berupa bukan lahan terbangun. tersebut memiliki aksesibilitas yang sangat baik
Keberadaan lahan bukan bangunan apabila dibandingkan dengan kecamatan lain dan
dianalisis berdasarkan spatial statistic memiliki topografi yang datar. Sebagian kecil
menghasilkan pola acak (random). Pola acak kelas kepadatan ini berada di Kecamatan Mijen
tersebut dibuktikan dengan melihat peta dan Gunung Pati. Secara keseluruhan dapat
kepadatan bangunan dimana bukan lahan dilihat pada peta kepadatan bangunan
terbangun tersebar hampir disetiap kecamatan. interpretasi hibrida bahwa kepadatan tinggi
Mayoritas keberadaan bukan lahan terbangun mendominasi bagian pusat kota dan semakin ke
berada di bagian selatan hingga di bagian barat pinggir kepadatan tinggi semakin menyempit di
yang memiliki topografi bergelombang hingga sepanjang jalan utama karena pengaruh dari
berbukit. fungsi kekotaan juga semakin menurun.
Kelas kepadatan lahan terbangun yang Kepadatan rendah memiliki pola yang acak
paling mendominasi adalah kelas kepadatan dan berada di daerah perdesaan. Daerah
tinggi. Kelas kepadatan tinggi dipengaruhi oleh perdesaan sendiri memiliki jarak antar
pantulan dari atap bangunan yang sebagian besar permukiman saling berjauhan dan masih banyak
berupa atap dari tanah liat sehingga pantulan terdapat vegetasi diantara bangunan sehingga
dalam transformasi urban index menjadi sangat pada daerah ini polanya acak (random).
tinggi. Hasil analisis kelas kepadatan tinggi Kepadatan rendah tersebar di Kecamatan
berdasarkan spatial statistic menunjukan pola Gunung Pati, Mijen, Pedurungan, Genuk,
random. Pola acak tersebut dikarenakan kelas sebagian kecil Gajah Mungkur, dan Tembalang.
kepadatan tinggi ini berada hampir di setiap Dominasi tertinggi kepadatan rendah berada

7
bagian barat-daya yakni di Kecamatan Gunung sebesar 85%. Oleh karenanya, interpretasi
Pati dan Mijen yang memiliki topografi berbukit hibrida dapat dikatakan memiliki akurasi yang
dengan kemiringan lereng bagian atas termasuk baik dan dapat diterima serta layak digunakan
kelas III dan kelas IV untuk Gunung Pati. untuk memetakan kepadatan bangunan.
Pola kepadatan bangunan hasil interpretasi Hasil dari interpretasi hibrida yang berupa
hibrida secara garis besar dipengaruhi oleh peta kepadatan selanjutnya dianalisis pola
topografi yang ada di Kota Semarang karena kepadatannya. Pola kepadatan bangunan hasil
topografi di Kota Semarang sangat bervariasi. interpretasi hibrida dipengaruhi oleh topografi
Lahan terbangun paling banyak terdapat di dan aksesibilitas wilayahnya. Lahan terbangun
daerah dengan topografi yang datar hingga landai paling banyak terdapat di topografi yang datar
yakni di pusat kota yang disebut juga Semarang hingga landai dan memiliki jaringan jalan yang
bawah. Kepadatan bangunan di pusat kota yang banyak. Pola kepadatan keseluruhan bersifat
tinggi juga dipengaruhi oleh semakin banyaknya acak karena setiap kelas kepadatan bangunan
jaringan jalan karena jalan juga cenderung lebih hampir berada di setiap kecamatan. Topografi
memilih daerah dengan topografi yang datar. dan keberadaan jalan menjadi unsur utama yang
Semakin banyak jaringan jalan maka menyebabkan kepadatan suatu wilayah menjadi
perkembangan dari wilayah tersebut juga tinggi. Oleh sebab itu, kepadatan menjadi
semakin intensif karena aksesibilitas yang semakin tinggi apabila topografinya datar dan
mudah. jaringan jalan semakin banyak serta sebaliknya
Pola kepadatan semakin menjauhi kota semakin rendah kepadatannya apabila
semakin mengikuti jaringan jalan utama. topografinya berbukit dan jaringan jalannya
Kepadatan rendah memiliki pola acak di bagian semakin sedikit.
barat daya dan timur, kepadatan ini
menunjukkan wilayah yang memiliki DAFTAR PUSTAKA
karaktersitik perdesaan dan bertopografi Anderson, J.R., E. E. Hardy, J.T. Roach., R.E.
bergelombang hingga berbukit. Daerah yang Witmer (1967). A Land Use and Land
bertopografi berbukit berada di sekitar Semarang Cover Classification System for Use with
Atas dengan dominasi penutup lahannya berupa Remote Sensor Data. Washington, DC:
vegetasi. Topografi dan keberadaan jalan U.S Geological Survey Professional Paper
menjadi unsur utama yang menyebabkan 964.
kepadatan suatu wilayah menjadi tinggi. Oleh
sebab itu, kepadatan menjadi semakin tinggi BPS Kota Semarang (2014). Kota Semarang
apabila topografinya datar dan jaringan jalannya dalam Angka Tahun 2014. Kota Semarang:
semakin banyak serta sebaliknya menjadi Badan Pusat Statistik Kota Semarang.
semakin rendah kepadatan bangunan apabila Campbell, James B (2002). Introduction to
topografinya berbukit dan jaringan jalannya Remote Sensing Third edition. New York:
semakin sedikit. The Gilford Press.

KESIMPULAN Nugraha, Vembri S. 2014. Pemanfaatan


Teknologi Pengidneraan Jauh untuk
Interpetasi hibrida dapat digunakan untuk Monitoring Densifikasi Bangunan di Daerah
memetakan kepadatan bangunan di Kota Perkotaan Magelang. Skripsi. Fakultas
Semarang. Interpretasi visual dilakukan dengan Geografi Universitas Gadjah Mada,
menginterpretasi satuan pemetaan berupa objek Yogyakarta.
lahan terbangun pada citra komposit dan
interpretasi digital dilakukan untuk identifikasi Nurcahyani, Fitri. 2005. Aplikasi Transformasi
kepadatan bangunan. Hasil dari interpretasi Spektral Urban Index untuk Pemantauan
hibrida ini perlu diuji akurasi dimana akurasi Pemekaran Fisik Kota Yogyakarta. Skripsi.
pemetaan kepadatan bangunan Kota Semarang Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,
tahun 2015 menggunakan teknik interpretasi Yogyakarta.
hibrida menghasilkan nilai sebesar 87,81%. Nilai Pranoto, Alfatana B (2007). Hubungan
tersebut melebihi nilai minimal yang ditetapkan Kepadatan Permukiman dengan
oleh Anderson dkk (1976) dan Campbell (2002) Ketersediaan Infrastruktur. Tesis.

8
Semarang: Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro.
Suharyadi (2000). Transformasi Spektral Data
Digital Landsat TM untuk Pemetaan
Kepadatan Bangunan di Daerah Perkotaan
Yogyakarta. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UGM.
Suharyadi (2010). Interpretasi Hibrida Citra
Satelit Resolusi Spasial Menengah untuk
Kajian Densifikasi Bangunan Daerah
Perkotaan (Kasus Daerah Perkotaan
Yogyakarta). Disertasi. Yogyakarta:
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Suharyadi (2012). Handout Mata Kuliah
Penginderaan Jauh Dasar: Bahan Ajar.
Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada.
Sutanto (1986). Penginderaan Jauh Jilid 1.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Zhou, Y., Yang, G., Wang, S., Wang, L., Wang,
F., and Liu, X. 2014. A New Index for
Mapping Built-up and Bare Land Areas
from Landsat-8 OLI Data. Remote Sensing
Letters, 5(10), hal. 862-871.

Anda mungkin juga menyukai