Anda di halaman 1dari 19

“KEJADIAN 3:1-15”

KEJATUHAN MANUSIA

OLEH :

NAMA : YANSAR TOBAN

NIRM : 2020164549

KELAS : C (TEOLOGI KRISTEN)

SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN NEGERI (STAKN) TORAJA

TAHUN AJARAN 2018/2019


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kejatuhan manusia (fas. 3) – dosa disebabkan oleh kesombongan manusia
yang ingin menjadi seperti Allah. Hubungan manusia dengan Allah putus, baik
manusia maupun bumi dikutuk dan mulai menderita. 1
pasal ini, sama seperti
kejadian 2, berasal dari sumber Yahwist. Dari semua kekhasan sumber ini, yang
berhubungan erat dengan pasal 3 adalah tekanan terhadap perbuatan-perbuatan
besar yang dilakukan Tuhan, dan kesetiaan-Nya untuk menolong orang-orang
lemah. Titik tolak dan ukuran kesetiaan ini diletakkan pada peristiwa Sinai. 2
Keadaan manusia yang berdosa adalah satu kenyataan yang menjadi pertanyaan
sulit bagi orang-orang beriman.
Kitab Kejadian memberikan beberapa perincian mengenai dosa pertama
itu. hanya ada satu hal yang penting: Allah menandai satu pohon, sebagai yang
terlarang. Adam dan Hawa memutuskan berdasarkan sesuatu yang menyenangkan
mereka sendirii, dan kemudian dunia tidak pernah lagi menjadi sama seperti
sebelumnya. Adam dan Hawa bereaksi terhadap dosa mereka, sama seperti
manusia lainnya bereaksi terhadap dosa mereka. Mereka berusaha mencari alasan,
menjelaskan situasi mereka, dan mencari seseorang yang dapat dijadikan kambing
hitam. Mereka saling menyembunyikan diri karena untuk pertama kalinya mereka
merasa malu atas ketelanjangan mereka. Namun mungkin perubahan besar yang
terjadi adalah masalah hubungan mereka dengan Allah. Sebelumnya, mereka dapat
berjalan-jalan dan bercakap-cakap dengan Allah di Taman Eden layaknya seorang
sahabat. Sekarang ketika mereka mendengar Dia, mereka bersembunyi. Kejadian
pasal 3 memberitahukan berbagai perubahan sangat besar lain yang berdampak
pada dunia ketika makhluk-makhluk ciptaan memilih untuk melawan penciptaan
mereka. Penderitaan akan berlipat ganda, pekerjaan menjadi semakin berat, dan
muncul sebuah istilah baru, maut, yang memasuki perbendaharaan kata umat
manusia. Kesempurnaan menjadi rusak selama-lamanya. 3
1
Dennis Green. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2012, hlm 49.
2
J. Blommendaal, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 98
3
Philip Yancey, Brenda Quinn. Meet The Bible Dari Kejadian Sampai Wahyu. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014, hlm. 11
Pada dasarnya tidak ada orang beriman yang suka berbuat dosa karena ia
mengandalkan Tuhan sebagai Yang Mahakuasa, yang disembah dan diagungkan.
Meskipun demikian, dalam berbagai komunitas umat beriman, dosa adalah musuh
yang akrab. Dosa tidak disukai, tetapi dosa juga selalu mendekat kepada manusia,
sekalipun manusia itu beriman.4 Hidup yang diberkati bukan sekadar memiliki
keberadaan, tetapi suatu kehidupan yang melimpah yang dihidupi dalam hadirat
Allah. Kondisi keberkatan ini dicirikan dalam kehidupan Adam dan Hawa dalam
Taman Eden. Namun, pemberontakan manusia membuyarkan hubungan manusia
dengan Allah. Meskipun demikian, sejak dari awalnya (Kej. 3:15) Allah mengejar
manusia dengan anugerah-Nya. Ia menginginkan pemulihan hubungan dengan
mereka dan sekali lagi memberkati mereka sebelumnya.5

BAB II
PEMBAHASAN

A. ANALISIS STRUKTUR
4
J.A Telnoni. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Kejadian Pasal 1-11. Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2017, hlm. 116
5
Tremper Longman III, Panorama Kejadian-Awal Mula Sejarah. Jakarta: Scripture Union Indonesia,
2016, hlm. 155
Isi dari kejatuhan Manusia dalam dosa terdiri atas tiga bagian yaitu
pencobaan, Mutilog Penghakiman, dan Penghukuman.
Kejadian 3:1-7 dalam ayat ini menggambarkan bahwa ular sebagai binatang
yang paling cerdik yang melakukan berbagai cara untuk mempengaruhi atau
menggoda manusia. Ular berkata kepada perempuan yang berada di taman Eden
dan dia pun menurut apa yang dikatakan ular itu sehingga matanya terbuka. Tipu
muslihatnya menyebabkan perempuan itu meragukan pertama-tama firman Allah
(ay 1) dan kemudian kebaikan-Nya (ay 4a). Dengan melihat pohon itu dari sudut
pandang yang berbeda sama sekali (ay 6), ia mengambil buahnya dan
memakannya, lalu hal itu diikuti oleh laki-laki pula. Sebelum kejatuhan manusia ke
dalam dosa, semuanya berada dalam keadaan harmonis dan intim, tetapi sekarang
timbul rasa malu atas ketelanjangan mereka (ay 7).6
Kejadian 3:8-13 kelima ayat ini menampilkan satu mutilog yang bernuansa
penghakiman. Tuhan datang sebagai hakim untuk mengadili manusia dan
memintanya untuk bertanggung jawab atas apa yang dibuat-Nya. Mutilog yang
begitu padat tampaknya lancar , tetapi tidak seimbang oleh karena manusia berada
pada posisi yang salah. Mereka melarikan diri dari hadirat Allah penuh ketakutan
(ay 8).
Kejadian 3:14-15. Penghukuman yang diberikan Tuhan di sini merupakan
puncak dari pertanyaan-pertanyaan (kej. 3:9-13). Dalam kisah taman Eden, Allah
menghakimi pertama-tama ular, lalu perempuan dan akhirnya laki-laki. Dalam
ayat 15, pertempuran barlarut-larut antara manusia dan ular dengan jelas
melambangkan perjuangan berat yang tak mengenal kasihan antara manusia dan
kuasa jahat dalam dunia. Ayat 15a menempatkan ular berlawanan dengan
perempuan dan keturunan ular berlawanan dengan keturunan perempuan. Tetapi
ayat 15b menempatkan keturunan perempuan berlawanan dengan ular itu sendiri,
bukan dengan keturunan ular. Jadi, seteru sesungguhnya adalah ular taman Eden
yang digambarkan sebagai kuasa rohani yang selalu bertentangan dengan
keturunan perempuan.7
Adapun kerangka Kejadian 3:1-15 sebagai berikut

6
W.S. Lasor, D.A. Hubbard, F.W. Bush. Pengantar Perjanjian Lama 1 Taurat dan Sejarah. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011, hlm. 127-128.
7
Ibid. Hlm. 131.
1. Mengeni Pencobaan (3:1-7)
a. 3:1. Dalam ayat 1 ini ular digambarkan sebagai binatang yang “paling
cerdik” (ibr: ‘arum) dari segala binatang di darat.
b. 3:2,3. Ular berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman:
Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?”
c. 3:4,5. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan
mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya
matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang
yang baik dan yang jahat.
d. 3:6. Perempuan itu melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan
sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati, karena memberi
pengertian.
e. 3:6b. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya
juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun
memakannya.
f. 3:7. Maka Terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa
mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat
cawat

2. Kejadian 3:8-13: Penghakiman


a. 3:8. Mendengar bunyi Langkah Tuhan Allah yang berjalan-jalan dalam
taman itu pada hari sejuk...”...pada hari engkau
memakannya...”...bersembunyilah manusia itu dan istrinya terhadap Tuhan
di antara pohon-pohon dalam taman.
b. 3:9. Berfirmanlah Ia: dimanakah engkau?
c. 3:10. Telanjang
d. 3:11. “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang?
Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?”
e. 3:12. Manusia Itu Menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku,
dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.”
f. 3:13. Apakah yang telah kauperbuat ini? “ular itu yang memperdayakan
aku, maka kumakan”
3. Kejadian 3:14-15: Penghukuman
a. Terkutuklah engkau (3:14)
b. Aku akan mengadakan Permusuhan, keturunannya akan meremukkan
kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya (3:15)8

B. TAFSIRAN TEKS
1. Kejadian 3:1-7: Mengenai Pencobaan
Mengenai pencobaan harus diingat, bahwa Tuhan mengizinkannya. Ia tidak
melarangnya. Tidak ada jalan lain untuk mendidik manusia mengatasi dosa,
kecuali melalui konfrontasi dengan dosa dan menghadapkannya kepada pemilihan
ikut jalan Allah atau iut jalan Iblis. Allah menempatkan manusia di bawah ujian
(2:17) dan justru itulah yang menyebabkan ia mungkin dicobai. Tapi pencoba
hanya dapat mencobai saja. Dosa bukanlah sesuatu yang tak dapat tidak harus
terjadi, jadi tak ada alasan bahwa ia tak dapat tidak harus tunduk. Perlu diingat,
cobaan datang kepada Hawa tatkala ia seorang diri. Inilah metode yang biasa
dilakukan Iblis. Harus diingat pula bahwa cobaan itu diselubungi dengan keelokan;
sedang sifatnya yang sesungguhnya tersembunyi. Mula-mula Iblis hanya bertanya
tentang Firman Allah (3:1); kemudian dibantah nyata-nyata (3:4); akhirnya
apabila manusia dicobai itu dengan bodoh mau terus mendengarkan, maka Iblis
pun melanjutkan dengan memburuk-burukkan maksud baik Allah (3:15).
Mengenai hal Mengalah kepada cobaan (3:6); Hawa membiarkan telinganya
mendengarkan perkataan pencoba, lalu membiarkan matanya menikmati benda
yang ditunjukkan oleh pencoba, kemudian membiarkan keinginan hatinya
menguasai kemauannya. “perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik
untuk dimakan” – (hawa nafsu daging); “dan sedap kelihatannya” – (hawa nafsu
mata); “lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian” –
(kemegahan hidup).9
a. 3:1. Ular digambarkan sebagai binatang yang “paling cerdik”
(ibr” ‘arum) dari segala binatang di darat. Pertama Kecerdikannya dalam
8
J.A Telnoni. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Kejadian Pasal 1-11. Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2017. Hlm 117-141
9
J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab Kejadian sampai dengan Ester. Jakarta: Bina Kasih, 2012, hlm.
35-36
hubungan dengan “semua makhluk yang hidup di padang” (Ibr: kol-khayyat
hassadeh). Pengertian yang terkandung di sini adalah semua makhluk hidup yang
berkeliaran di daerah padang terbuka, menghadapi keadaan penuh tantangan dan
perjuangan untuk menjawab tantangan di sana. Meskipun demikian, dalam
pandangan kisah penciptaan bumi dan langit (Kej. 2:4b-25), makhluk-makhluk
hidup di daerah padang itu juga tunduk di bawah kuasa manusia (bnd. Kej. 2:19).
Kedua, kecerdikan ular di sini harus ditempatkan dalam kemampuannya untuk
menipu manusia yang sebenarnya menjadi penguasa atasnya. Dalam hubungan
inilah ular dinilai sebagai binatang yang paling cerdik dari segala binatang di
padang. Jika demikian, ular dalam cerita ini bukanlah ular dalam arti yang
sesungguhnya, yaitu binatang merayap yang kita kenal setiap hari. Ular hanya
dipakai sebagai alat untuk menggambarkan bagaimana gigihnya kuasa yang
melawan Tuhan Allah untuk menghasut umat-Nya supaya memberontak kepada-
Nya. Yang ditonjolkan di sini ialah cara kerja dari kuasa penyesat itu. Kuasa itu
digambarkan sebagai ular yang meniru dan membelokkan firman Tuhan kepada
manusia. Atau dengan perkataan lain, ada kata-kata yang disuarakan oleh kuasa
penyesat, yang sangat dekat dengan Perintah Tuhan sehingga dengan
kecerdikannya ia menjatuhkan umat Tuhan.
Ular (nahash) memiliki kemampuan untuk berbicara dan bercakap-cakap
secara bebas dengan korbannya. Ular ini merupakan makhluk yang lihai berakal
busuk, dan cerdik. Di dalam Wahyu 12:9 penggoda ini disebut “naga besar itu, si
ular tua yang disebut Iblis atau Setan” (Milton, Paradise Lost, Buku IX). Kata
nahash yang artinya membuat suara mendesis, tidak diragukan lagi mengacu
kepada makhluk yang kita kenal sebagai ular. Paulus menyatakan bahwa Iblis
menjadikan dirinya “seperti malaikat terang” (II Kor. 11:!4). iblis memilih hewan
paling cerdik, paling licik, paling berhati-hati, lalu menguasai sepenuhnya makhluk
tersebut untuk tindakan merusak yang dilakukannya. Yesus mengatakan tentang
Iblis, “Ia adalah pendusta dan bapa segala dusta” (Yoh. 8:44; bdg. Rm. 16:20; II Kor.
11:3; I Tim. 2:14; Why. 20:2).10
b. 3:2,3. Ular berkata kepada perempuan itu: yang diucapkan ular
adalah pembelokan dari kata-kata yang dipakai dalam amanat Tuhan kepada

10
Charles F. Pfeiffer, Everett F. Harrison. The Wycliffe Bible Commentary. Malang: Gandum Mas, 2014,
hlm. 36-37.
manusia yang ditempatkan-Nya di taman Eden (Kej. 2:16). Kata-kata pembuka ini
adalah permulaan dari upaya menyesatkan manusia. Rumusan demikian: ‘ap ki-
amar ‘elohim. Secara harafiah kata-kata ini berarti “bahkan atau sesungguhnya
demikianlah Allah berkata.” Jadi, tepat sekali TB-LAI menerjemahkan kata-kata ini
dengan “Tentulah Allah berfirman...”
Kata ‘ap sendiri adalah partikel tambahan yang biasanya dipakai untuk
menunjukkan sesuatu yang lebih penting.11 Ini berarti bahwa dengan memakai
kata ini di sini, ular hendak mengatakan bahwa ada hal penting yang sungguh
meminta perhatian. “...Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan
buahnya, bukan...” (Ibr: mipperi betokh hanggan lo t’okel... Kej 3:1). Terhadap
kata-kata ini perempuan itu menjawab dengan mengatakan bahwa pohon “yang
ada di tengah-tengah taman” janganlah dimakan (Kej. 3:3). Keterangan tempat ini
berlawanan dengan keterangan tempat dalam kisah taman di Eden, yaitu pohon
kehidupan ada di tengah taman itu” (Kej. 2:9). Sebaliknya, pohon pengetahuan baik
dan jahat juga disebutkan, tetapi tempatnya tidak disebutkan secara eksplisit (Kej.
2:17).
c. 3:4,5. “Ular itu berkata” (Ibr: wayy’omer hannakhas). Di sini ular
digambarkan sebagai yang berkuasa dan menyampaikan satu keputusan atau
perintah kepada perempuan itu. selanjutnya pernyataan “sekali-kali kamu tidak
akan mati” (Ibr: l’o-mot temutun) adalah satu serangan yang begitu tegas dan
begitu meyakinkan. Penegasan itu ditingkatkan dalam penjelasannya bahwa yang
dilarang oleh Tuhan Allah itu adalah cara untuk menghindarkan manusia dari
kemungkinan menjadi sama dengan Dia. Dari semua penjelasan ular itu, yang amat
penting ialah “...matamu akan terbuka dan kamu menjadi seperti Allah...” (Ibr:
nipqekhu ‘eyneykem wiheyitem ke’elohim). Secara harfiah, penjelasan ini
menunjukkan bahwa manusia akan memiliki kemampuan untuk memandang dan
memahami berbagai hal, lebih jauh dari apa yang diberikan Tuhan kepadanya.
Tingkat pengenalan itu terutama adalah untuk mengenal yang baik dan yang jahat
(ay. 6). Ini berarti bahwa manusia akan memiliki kemampuan yang sama dengan
Tuhan untuk mengenal siapa dan bagaimana dirinya sehingga ia akan hidup bebas

11
William Gesenius, Hebrew and English. Hlm. 76
dan kuasa Allah tidak berlaku lagi atas dirinya. Manusia dapat mengatur
kehidupannya sendiri karena dia menjadi sama dengan Allah. 12
d. 3:6. “perempuan itu melihat” (Ibr: water’e ha’isysyah). Dalam
konteks cerita ini, tindakan “melihat” menunjukkan pemberontakan manusia
karena ia membuka jendela hatinya, membiarkan dirinya tanduk pada daya tarik
pohon yang ada di hadapannya.13 Tiga aspek manfaat dari buah pohon itu
ditawarkan di sini, yaitu pertama “baik untuk dimakan” (Ibr: tob lema’akal),
keterangan ini bukan hal baru dalam hubungan dengan manusia yang diciptakan
Allah. Di dalam cerita tentang taman Eden, Tuhan Allah menumbuhkan segala
pohon yang “baik untuk dimakan buahnya” (Kej. 2:9). Kedua, “dan sedap
kelihatannya” (Ibr: weki ta’awah-hu’le’eynayim). Jadi, secara harfiah ungkapan ini
berarti “mengandung nafsu atau keinginan padanya”. Secara sederhana ungkapan
ini boleh ditejemahkan dengan “membangkitkan selera pada pandangan orang
yang melihat”. Jika demikian, keterangan “sedap kelihatannya” di sini berarti
“membangkitkan keinginan untuk melihat secara rinci”. Ketiga, “memberi
pengertian” (Ibr: wenekhmad lehaskil). Ungkapan ini secara tepat berarti “asyik
karena mendatangkan pengertian”. Soal memberi pengertian ini juga harus dibaca
dalam hubungan erat dengan pasal 2:9, yaitu “pohon pengetahuan baik dan jahat”
(Ibr: ‘ets hada’at tob wara’). Istilah hada’at dalam “pohon pengetahuan baik dan
jahat” menunjuk pada suatu pengenalan yang sungguh-sungguh dan teliti untuk
membedakan yang baik dari yang jahat.
e. 3:6b Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya. Si
penggoda kini tidak diperlukan lagi. Hawa melanjutkan pekerjaannya dan
memberikan buah dengan rekomendasi yang baik itu kepada suaminya, dan
suaminyapun memakannya. Keterangan penting tentang tindakan manusia di
sini ialah “Lalu ia mengambil (Ibr: wattiqqakh)...dimakannya (Ibr:
watt’okal)...diberikannya kepada suaminya (Ibr: wattitten gam-le’ishah)...dan
suaminya pun memakannya (Ibr: ‘immah wayy’okal)”. Semua tindakan yang
disebutkan di sini bukan tindakan tiba-tiba dan sesaat. Tindakan itu didahului oleh
keputusan manusia untuk mengambil dan memakan buah itu. Dalam hal seperti

12
J.A Telnoni. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Kejadian Pasal 1-11. Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2017. Hlm 124-125
13
inilah manusia secara pasti memutuskan untuk melawan Tuhan dan disitulah ia
berdosa.
f. 3:7 “Maka Terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu,
bahwa mereka telanjang” (Ibr: wapattaqnah ‘eyney seneyhem wayed’u ki
‘erumim hem). Pengggalan kalimat pada permulaan ayat ini berlawanan langsung
dengan tawaran ular bahwa mata mereka akan terbuka dan tahu tentang yang baik
dan yang jahat (ay. 5). Apa yang diketahui setelah mata mereka terbuka, bukan
memperoleh pengertian, melainkan pengenalan yang rinci akan ketelanjangan
mereka. Ketelanjangan kedua manusia di sini, sekalipun tanpa keterangan lebih
lanjut, menimbulkan rasa malu. Dalam konteks cerita ini, perasaan malu yang
timbul pada manusia dipicu oleh kesadaran bahwa mereka telah menjadi korban
kelicikan dari kuasa penyesat itu.
“...lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Ibr:
wayyitperu ‘aleh te’enah wayya’su lahem khagorot). Tindakan menyemat daun
pohon ara merupakan tindakan biasa. Namun, berhubungan pohon ara merupakan
sumber bahan makanan (bnd. Kej. 2:8), boleh ditafsirkan bahwa dalam keadaan
berdosa, manusia berusaha menutupi dirinya dan merasa aman karena masih
dipelihara Tuhan dengan berkat-berkat kehidupan. Di medan kehidupan yang
Tuhan ciptakan itulah manusia memberontak, tetapi disitu pula ketika dia sadar
akan dosanya, ia menutupi dirinya dengan kemurahan Tuhan.14

2. Kejadian 3:8-13: Penghakiman


Tuhan datang sebagai hakim atas apa yang telah dilakukan oleh manusia.
Meskipun mereka bersembunyi namun Tuhan mendengarkan mereka. Tuhan
bertanya kepada mereka tetapi mereka merasa takut karena telanjang. Larangan
Tuhan yang diberikan kepada manusia itu telah dilanggarnya.
a. 3:8. Mendengar bunyi Langkah Tuhan Allah yang berjalan-jalan
dalam taman itu pada hari sejuk...” (leruah artinya angi sepoi). Mereka bisa
menyembunyikan diri dari Allah namun mereka tidak bisa meloloskan diri dari-
Nya. Sang Khalik yang penuh kasih tidak mungkin mengabaikan ketidaktaatan
mereka, Dia juga tidak mungkin meninggalkan orang-orang berdosa yang gemetar

14
J.A Telnoni. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Kejadian Pasal 1-11. Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2017. Hlm 128-133
itu dengan kebutuhan mereka yang sangat. Mereka adalah milik-Nya. Kekudusan-
Nya pasti datang, dengan berjubahkan kasih, untuk mencari menemukan dan
menghakimi mereka. Biasanya bunyi langkah Allah membuat mereka senang. Kini,
ketakutan dan kegentaran melumpuhkan mereka sekalipun Tuhan tidak datang
dalam guntur dan tidak memanggil dengan kasar.15 Manusia bersembunyi dari
hadapan Tuhan karena mendengar bunyi langkah-Nya yang menjadi ancaman
baginya. Kedatangan Tuhan digambarkan sebagai orang yang “berjalan-jalan
dalam taman itu pada pada waktu hari sejuk...” (Ibr: mithalek bagan leruakh
hayyom). Keterangan “berjalan-jalan” (Ibr: mithalek) di sini, tidak dimaksudkan
sebagi berjalan santai, melainkan berjalan dengan tujuan yang pasti. Maksudnya
ialah Tuhan datang untuk memerhatikan manusia di dalam keadaannya secara
nyata.
“...pada hari engkau memakannya...” ini berarti, bunyi langkah-langkah Tuhan
yang tidak begitu besar mengingatkan manusia akan larangan yang disampaikan
Tuhan terlebih dahulu kepadanya. Di sini suara Tuhan tidak diperdengarkan lagi
karena manusia tidak menaati-Nya. Oleh karena itu, sebagai gantinya Ia datang
hanya dalam bunyi langkah-Nya saja yang tidak mengguncang, tetapi hanya seperti
angin yang membelai. Jika demikian, kedatangan Tuhan yang dilukiskan sebagai
angin di sini adalah simbol kuasa-Nya yang luar biasa; tidak sepenuhnya tetapi
dengan tegas menghakimi manusia”
...bersembunyilah manusia itu dan istrinya terhadap Tuhan di antara pohon-
pohon dalam taman. Reaksi manusia terhadap kedatangan Tuhan sudah dapat
diduga. Tuhan datang penuh kuasa dan kemuliaan. Dalam keadaannya yang telah
melangkahi kehendak Tuhan, manusia tidak tahan memandang wajah-Nya. Ia
takut dan menyembunyikan diri dari hadapan Tuhan. Pohon-pohon yang
disebutkan di sini tidak lain dari wilayah yang diciptakan Tuhan. Jika pohon-pohon
itu adalah sumber-sumber kehidupan yang diciptakan Tuhan, itu berarti dalam
keadaan berdosa, manusia berusaha menutup diri dan dosa-dosanya dengan
perasaan aman di tengah segala berkat yang Tuhan karuniakan kepada-Nya.

15
Charles F. Pfeiffer, Everett F. Harrison. The Wycliffe Bible Commentary. Malang: Gandum Mas, 2014,
hlm. 39.
b. 3:9. “berfirmanlah Ia: dimanakah engkau?” (Ibr: wayy’omer lo
‘ayekah) adalah kata-kata Tuhan yang mencari dan merangkul kembali manusia
yang telah melarikan diri dari hadapan-Nya. Kata-kata itu bukan sekadar kata
tanya, melainkan merupakan panggilan dari Tuhan yang penuh kuasa dan
kewibawaan. Dengan jalan itu, Ia menunjukkan bahwa Ia tidak membiarkan
ciptaan-Nya lebih jauh tersesat, melainkan memanggilnya untuk kembali ke
hadapan-Nya.
c. 3:10. “takut karena telanjang” (Ibr: wa’ira ki-‘eyrim ‘anoki).
Keadaan “telanjang” (Ibr: ‘arum) yang menimbulkan ketakutan di sini bertolak
belakang dengan “telanjang” di antara suami-istri, tetapi tidak ada perasaan malu
(Kej. 2:25).
d. 3:11. “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa
engkau telanjang? Penggalan kalimat “Siapakah yang memberitahukan
kepadamu...”(Ibr: mi higid leka) adalah pertanyaan Tuhan yang begitu tajam
terhadap pembelaan diri yang dikemukakan manusia (ay 9). Pertanyaan Tuhan
kepada manusia atas pengakuannya bahwa ia telanjang (ay.11), membangkitkan
rasa takut padanya oleh karena melalui pertanyaan itu Tuhan meminta
pertanggungjawabannya. Ketelanjangan yang diakui manusia itu lebih banyak
mengandung pengertian manusia ditelanjangi oleh kehadiran Tuhan karena ia
telah melanggar apa yang dilarang-Nya. Jelaslah bahwa ketika hadirat Tuhan
dihadapkan kepada manusia, tidak ada pun yang dapat disembunyikannya
terhadap Tuhan (bnd. Mzm. 139:7-12). Yang penting dari pertanyaan
tersebut ialah sifat larangan-Nya. Larangan itu tidak main-main kerena jika tidak
diindahkan, akibatnya fatal. Ketika manusia memakan buah pohon terlarang itu,
akibatnya adalah kematian. Artinya terputuslah hubungan antara manusia dengan
Tuhan, sang pemberi napas hidup (bnd. Kej. 2:7). Itulah yang dimaksudkan dengan
kematian dalam larangan tersebut (Kej. 2:17). 16
Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan
itu?” (Ibr: hamin-ha’ets ‘asher tsiwitika lebilti ‘akal mimmennu ‘akalta). Yang paling
penting dari pertanyaan ini adalah sifat larangan-Nya. Larangan itu tidak main-
main karena jika tidak diindahkan, akibatnya fatal. Ketika manusia memakan buah

16
J.A Telnoni. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Kejadian Pasal 1-11. Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2017. Hlm 132-136
pohon terlarang itu, akibatnya adalah kematian. Artinya terputuslah hubungan
manusia dengan Tuhan, sang pemberi napas hidup (bnd. Kej. 2:7). Itulah yang
dimaksudkan dengan kematian dalam larangan tersebut (Kej. 2:7).
e. 3:12. Manusia Itu Menjawab: jawaban yang dikemukakan oleh
manusia dalam ayat ini merupakan pembelaan atas pelanggarannya.“Perempuan
yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu
kepadaku, maka kumakan.” Terlihat bahwa manusia berusaha menghindar,
tetapi sekaligus melemparkan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Sebabnya ialah
perempuan yang Tuhan berikan kepadanya telah diciptakan atas inisiatif Tuhan
sendiri (Kej. 2:18). Memang kedengarannya logis karena manusia (laki-laki) tidak
meminta perempuan itu. sekarang manusia perempuanlah yang memulai
pelanggaran ini sebab dialah yang memberikan buah itu, lalu manusia laki-laki
memakannya. Akan tetapi, jika jawaban ini dipahami dalam konteks cerita
Kejadian pasal 2 dan 3, upaya menghindar ini juga sia-sia sebab manusia laki-laki
itu juga telah mendengar larangan, yaitu supaya jangan memakan buah terlarang
itu (Kej. 2:17). 17
f. 3:13. Apakah yang telah kauperbuat ini? (Ibr: mah-zot ‘asit).
Dengan pertanyaan ini perempuan didakwa sebagai pihak yang memulai
pemberontakan terhadap Tuhan. Tuhan telah membentuknya melalui larangan
supaya tidak memakan buah terlarang, tetapi manusia membentuk diri-Nya ke
arah lain, yaitu menentang larangan Tuhan. “ular itu yang memperdayakan aku,
maka kumakan” (Ibr: wat’omer ha’isysyah hannakhasy hissyi’ani wa’okel).
Jawaban perempuan itu juga adalah upaya menghindar dan melemparkan
tanggung jawabnya kepada pihak lain. Ular yang tidak pernah menerima larangan
dari Tuhan itulah yang dikambinghitamkan. Dengan jawaban kedua manusia ini,
manusia seutuhnya telah menyangkali citranya sebagai partner Tuhan Allah.
Manusia tidak lagi menjadi penanggung jawab di tengan Taman Tuhan, tetapi
berubah menjadi pengecut yang melemparkan tanggung jawabnya kepada pihak
lain. Dengan jalan itu, manusia menurunkan martabatnya sehingga ia tunduk
kepada makhluk-makhluk lain yang harus dikuasainya (bnd. Kej. 2:19). 18

17
Ibid. Hlm. 136
18
Ibid. Hlm. 136
Kejadian 3:14-15: Penghukuman
Dengan menyampaikan penghukuman ini terlihat bahwa Tuhan
menegakkan kedaulatan-Nya. Walaupun manusia berusaha melemparkan
kesalahannya kepada Tuhan (Kej. 3:10-13), kedaulatan Tuhan tidak dapat
diingkari. Sekarang, Tuhan duduk di kursi pengadilan dan memaklumkan
keputusan-Nya yang menghukumkan ciptaan-Nya yang memberontak kepada-Nya.
Hukuman ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukuman kepada perempuan dan
ular dan hukuman kepada manusia.
a. 3:14 terkutuklah (arur) engkau. Tuhan mengkhususkan pencetus
dan penghasut dalam pencobaan tersebut untuk dikutuk dan direndahkan secara
khusus. Sejak saat itu ular akan menjalar di atas debu tanah dan bahkan debu
tanahlah makanannya. Dia akan terus melata dalam kehinaan sepanjang hidupnya,
dan kebencian akan diarahkan kepadanya dari semua sisi. Manusia akan
senantiasa menganggapnya sebagai lambang keburukan dari makhluk yang telah
memfitnah Allah (bdg. Yes. 65:25). Dia bukan hanya mewakili jenis ular, tetapi juga
kekuasaan dari kerajaan kejahatan. Sepanjang ada kehidupan, manusia akan
membencinya dan berusaha untuk menghancurkannya.19
Pandangan bahwa ular adalah penyebab dosa sudah lama hidup di dalam
pikiran banyak suku dan bangsa. Di dalam Perjanjian Lama bahkan masih
disebutkan tentang Rahab, ular yang harus dihindari (Yes. 51:9), karena sangat
berbahaya. Kutukan terhadap ular di sini menghadapkan makhluk ini pada
kenyataan hidupnya:
 Ular merayap dengan perutnya seumur hidupnya.
 Makan debu tanah seumur hidupnya.
Kedua kenyataan ini dibahaskan sebagai kutukan, akibat dari tipu daya
yang dilancarkan ular untuk menjatuhkan manusia. Permukaan tanah yang
menjadi tempat ular selalu merayap, dan debu adalah dua kenyataan yang selalu
dipakai dalam banyak masyarakat untuk menggambarkan kerendahan dan
kehinaan (bnd. Kej. 2:7). Rumusan “terkutuklah engkau” (Ibr: ‘arur’attah) yang
dikenakan terhadap ular adalah rumusan yang menegaskan pemutusan hubungan
antara Tuhan sebagai pencipta dengan ular sebagai ciptaan. Akan tetapi, pada saat

19
Ibid. Hlm. 136
yang sama, ular ditempatkan di bawah kuasa Tuhan. Dengan demikian, ular
sebagai pihak terkutuk tidak lagi berada dalam keadaan aman dan terlindungi. 20
b. 3:15 Aku akan mengadakan Permusuhan. Kata eba berarti
dendam kesumat berdarah yang ada dalam lubuk hati manusia (bdg. Bil. 35:19, 20;
Yeh. 25:15-17; 35:5, 6). Engkau akan meremukkan (shup). Sebuah nubuat tentang
pertikaian terus menerus untuk saling memusnahkan antara keturunan
perempuan dan keturunan ular. Kata kerja shup jarang dipakai (bdg. Ayb. 9:17;
Maz. 139:11). Kata itu sama artinya dalam kedua anak kalimat. Kata ini
diterjemahkan sebagai meremukkan, dan bersembunyi menantikan , membidik,
waspada (LXX).21 Kutukan yang kedua Tuhan tujukan atas perempuan dan ular.
Kutukan ini bukan hanya satu kenyataan horizontal dalam hubungan antara
manusia dan ular. Sejalan dengan ayat 14 di atas, kutukan ini harus ditempatkan
dalam hunungan anatara Tuhan dan musuh-Nya. Tuhanlah yang hendak
membangun “permusuhan” (Ibr: ‘eybah) antar manusia dengan “ular” sebagai
simbol kuasa perusak. Permusuhan ini digambarkan sebagai tindakan berbalas-
balasan karena kedua musuh saling meremukkan. Hal ini terlihat dari rumusan
hukuman terhadap kedua pihak dengan memakai akar kata yang sama, yaitu shup,
artinya memukul sampai memar, bengkak atau sampai remuk.
“keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan
meremukkan tumitnya” (Ibr: hu’ yesyupka r’osy we’attah teshupennu ‘aqeb).
Kalau perempuan akan meremukkan kepala ular, bahasa gambaran ini harus
disimak dengan baik. Khusus dalam pergumulan di sekitar androsentrisme, kepala
yang hendak dihancurkan di sini bukan sekadar kepala, melainkan otak atau
pikiran yang dominan. Pikiran bahwa perempuan itu sumber dosa dan manusia
rendah itulah yang hendak dihancurkan. Selanjutnya kalau ular kalau ular akan
meremukkan tumit perempuan, kalimat terbungkus ini harus dibaca dalam
perjuangan androsentrisme untuk mempertahankan kekuasaannya. Istilah tumit
(Ibr: ‘aqeb) di dalam Perjanjian Lama dipakai dalam berbagai arti (Kej. 25:26;
27:36; Hos. 12:4; 2 Raj. 10:19). 22

20
Ibid. Hlm. 137
21
Charles F. Pfeiffer, Everett F. Harrison. The Wycliffe Bible Commentary. Malang: Gandum Mas, 2014,
hlm. 40.
22
J.A Telnoni. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Kejadian Pasal 1-11. Jakarta:BPK Gunung Mulia,
2017. Hlm 140-142
BAB III
PENUTUP

Kisah tentang manusia yang berdosa telah menjadi warisan di dalam hidup
pembaca Alkitab selama berabad-abad. Oleh karena itu telah terbangun
pemahaman yang baku bahwa pada mulanya manusia tercipta dalam keadaan
baik, tetapi kemudian ia berdosa dan merusak citranya sebagai ciptaan Allah.
Manusia kemudian dipulihkan untuk hidup menurut gambar Allah, membangun
diri dan mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Manusia harus bekerja dan
membangun kehidupannya, karena dia adalah makhluk yang hidup dan
menghargai kehidupan.
Pada dasarnya manusia dicobai, ular sebagai binatang yang paling cerdik
yang melakukan berbagai cara untuk mempengaruhi atau menggoda manusia,
yang menyebabkan perempuan itu meragukan firman Allah dan kebaikan-Nya.
Ketika manusia memiliki keputusan untuk bertindak melawan kehendak Tuhan
itulah dosa. Manusia membuat keputusan ketika ia tertarik untuk mendengar,
tergoda untuk menimbang, dan terperangkap untuk mengikuti tawaran kuasa
jahat yang melawan Tuhan. Keputusan itu terjadi justru ketika manusia
membiarkan dirinya terbujuk untuk terbawa pada “firman tiruan” yang
ditawarkan kuasa jahat itu. manusia tidak berhati-hati, tidak konsisten, tidak
mimiliki integritas yang kuat. Semua yang tidak ada pada manusia inilah yang amat
dibutuhkan untuk tetap terpelihara dalam kehidupan umat sepanjang masa.
Di sini kita mengetahui bahwa di dalam menghadapi sebuah cobaan tanpa
keyakinan dan percaya, kita akan mudah terpengaruh oleh apa yang dikatakan
tanpa memikirnnya lagi. Dan apabila manusia dicobai dengan terus menerus maka
Iblis pun akan semakin melanjutkan keinginannya untuk memburukkan maksud
baik Allah.
Manusia telah melanggar perintah Allah, namun pada saat Tuhan bertanya
kepada mereka, mereka merasa takut karena telanjang. Kemudian di situlah Tuhan
datang sebagai hakim atas apa yang telah dilakukan oleh manusia. Meskipun
mereka bersembunyi namun Tuhan mendengarkan mereka.
Tuhan datang menghakimi sambil merangkul. Akan tetapi, sikap Tuhan
yang demikian tidak menghapuskan kedaulatan-Nya. Di sini terlihat dua sisi dari
hubungan antara Tuhan dan umat-Nya. Di satu pihak Ia berdaulat, tetapi di lain
pihak Ia mengasihi umat-Nya. Menjadi pengajaran bagi kita bahwa Tuhan datang
untuk mengadili manusia serta meminta untuk bertanggung jawab atas apa yang
telah perbuat. Dan ketika kita melarikan diri dari hadirat Allah karena ketakutan
Tuhan akan mengetahuinya.
Allah menegakkan kedaulatan-Nya dengan menyampaikan penghukuman.
Walaupun manusia berusaha melemparkan kesalahannya kepada Tuhan,
kedaulatan Tuhan tidak dapat diingkari. Penghukuman diberikan kepada manusia
dan ular. Dari setiap pelanggaran yang dilakukan di sini kita dapat mengetahui
bahwa Tuhan akan menghukum kita sesuai dengan apa yang telah kita lakukan,
seperti yang telah dilakukan oleh ular dan manusia. Mereka telah memberontak
terhadap perintah Allah sehingga mereka diberikan hukuman setimpal dengan apa
yang diperbuat.
Tidak ada jalan untuk datang kepada Tuhan sesuka hati karena Tuhan
sendirilah yang membatasinya. Dengan tindakan ini, Tuhan tidak dapat dianggap
sebagai pendendam, tetapi sebaliknya, dalam kuasa-Nya Ia menempatkan manusia
kembali dalam statusnya sebagai ciptaan yang terbatas dan tetap tidak sama
dengan Penciptanya. Dengan jalan itu pula akan nyata bahwa hanya Tuhan
sendirilah yang akan dapat menyelamatkan manusia dari dosanya dan kebinasaan
yang mengancamnya

DAFTAR PUSTAKA

Green, Dennis. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum


Mas, 2012.
Blommendaal, J. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993.
Yancey, Philip. Quinn, Brenda. Meet The Bible Dari Kejadian Sampai Wahyu. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2014.
Telnoni, J.A. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis Kejadian Pasal 1-11. Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2017.
Longman, Tremper III, Panorama Kejadian-Awal Mula Sejarah. Jakarta: Scripture
Union Indonesia, 2016.
Lasor, W.S, Hubbard, D.A, Bush, F.W. Pengantar Perjanjian Lama 1 Taurat dan
Sejarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Baxter, J.Sidlow. Menggali Isi Alkitab Kejadian sampai dengan Ester. Jakarta: Bina
Kasih, 2012.
Pfeiffer, Charles F, Harrison, Everett F. The Wycliffe Bible Commentary. Malang:
Gandum Mas, 2014.
Gesenius, William Hebrew and English.
.

Anda mungkin juga menyukai