Anda di halaman 1dari 2

Opu Daeng Risdju

Opu Daeng Risdju yang lahir pada tahun 1880 ini merupakan buah hati dari pasangan Opu
Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah To Baresseng. Semasa kecilnya, Opu Daeng
Risdju terkenal sebagai keluarga bangsawan karena sang ibu, Opu Daeng Mawellu merupakan
keturunan “darah biru” dari Luwu. Meskipun di masa itu keluarga bangsawan mendapatkan hak
istimewa dari kolonialisme Belanda untuk menjalani pendidikan formal ala barat, tetapi para
bangsawan diharuskan tunduk terhadap segala peraturan Belanda. Ingin bebas dari bayangan
Belanda, Opu Daeng Risadju akhirnya mengenyam pendidikan sendiri dengan belajar berbagai
ilmu moral, adat kebangsawanan, dan ilmu agama Islam. Beranjak dewasa, ia menikah dengan
Muhammad Daud, anak dari teman dagang ayahnya. Sang suami merupakan seorang ulama
terkenal yang pernah tinggal di Mekkah dan memiliki ilmu keislaman yang baik. Berkat
pernikahan tersebut, ia dikaruniai anak bernama Abdul Kadir Daud.

Perannya sebagai ibu tidak menghalangi Risadju untuk terjun ke dunia politik pada usia ke 47
tahun. Langkah itu dipilih berkat pertemuannya dengan dua tokoh serta pendiri Serikat Islam
Pare-Pare yaitu Haji Muhammad Yahya dan Haji Muhammad Agus Salim pada 1927 lalu.

Dalam diskusi tersebut, kedua tokoh menjelaskan tujuan Serekat Islam untuk meningkatkan
kesejahteraan bumiputera (penduduk asli) dari pengaruh kolonialisme Belanda. Kebetulan,
semangat ini sejalan dengan keinginan Risadju untuk membantu masyarakat lokal lebih
sejahtera. Karena hal itu pula, ia bersama sang suami memutuskan untuk bergabung menjadi
anggota Serekat Islam Pare-Pare pada 1927 lalu.

Tiga tahun setelah bergabung, ia memutuskan untuk pindah ke daerah Palopo. Dalam
kepindahannya itu, Risadju memutuskan untuk mendirikan dan mengubah nama Serekat Islam
menjadi Partai Serekat Islam Indonesia (PSII) Cabang Palopo pada 1930. Sebagai seorang ibu
yang telah memasuki usia 50 tahun, ia tetap gigih untuk berjuang melalui jalur politik. Di
usianya itu pula, Risadju dipercaya untuk menjadi ketua PSII Cabang Palopo.

Pergerakan politik yang dibuat oleh Risadju mulai diwaspadai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut pemerintah kolonial, hal itu terjadi ketika Risadju menjadi pembicara pada rapat umum
PSII Ranting Malangke. Dalam acara tersebut, Risadju dituding telah menghasut masyarakat
lokal untuk tidak mempercayai pemerintah Belanda. Karena dianggap berbahaya, pemerintah
kolonial Belanda hendak menghukum Opu Daeng Risadju dengan penjara sekitar satu tahun satu
bulan. Sebelum keputusan itu diturunkan, pemerintah kolonial Belanda juga meminta dirinya
untuk berhenti dari berbagai kegiatan politik dan keluar dari PSII

Sebagai tokoh ibu yang kuat dengan pendirian dan semangat untuk melawan kolonialisme,
Risadju memutuskan untuk tidak menuruti keinginan Belanda. Bahkan setelah keluar penjara
pada 1933, ia tetap berjuang dan bergabung kembali dengan PSII. Menurut buku yang ditulis
oleh Suryadi Pratama pada 2018 lalu, peristiwa itu menjadikan Opu Daeng Risadju sebagai
wanita pertama yang dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan alasan politik.

Anda mungkin juga menyukai