Oleh
dr. Ayu Anisa
Pembimbing
dr. Firmansyah Dwi Anggara, Sp.PD
Mengetahui,
DPJP
Pendamping Pendamping
Puji dan syukur atas ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Diare Akut Dengan
Dehidrasi Ringan - Sedang”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan Program Internsip
Dokter Indonesia di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Firmansyah Dwi Anggara, Sp.PD selaku dokter
penanggung jawab pasien dan kepada dokter pendamping AKBP dr.Khodijah, MM serta
dr.Chunin Widyaningsih, MKM yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
memerlukan evaluasi medis.4 Pada pasien-pasien dengan diare berat disertai kolitis atau
demam, kontak dengan pusat kesehatan seperti rumah sakit, riwayat penggunaan antibiotik
tentunya mendapat perhatian klinis untuk dievaluasi lebih lanjut.4 Evaluasi dimulai dari
kebiasaan melakukan hubungan seks bebas. Ciri dan bentuk dari feses juga diperhatikan, dan
yang tidak kalah penting adalah status dehidrasi dari pasien sendiri. 4
Banyak kasus diare terjadi karena kontak dengan orang yang sakit, melalui makanan,
serta air. Kemampuan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang saat ini diharapkan
mampu memberikan penyelesaian terhadap diagnostik, pengobatan klinis, dan sistem
2
kesehatan masyarakat yang baik. Kebanyakan pasien justru tidak mebutuhkan pemeriksaan
laboratorium maupun tinja, fokus terapi adalah mencegah dan mengobati dehidrasi yang
3
terjadi. Namun, pada kasus dengan dehidrasi berat, demam yang persisten, buang air besar
dengan lendir darah, pasien dengan imunosupresan, maupun kasus nosokomial, pemeriskaan
3
lebih lanjut untuk diagnostik harus dilakukan. Terapi kausal tentunya diperlukan pada diare
akibat infeksi, dan rehidrasi oral maupunnya parenteral secara simultan dengan kausal
memberikan hasil yang baik terutama pada diare akut yang menimbulkan dehidrasi sedang
sampai berat. Seringkali juga diperlukan terapi simtomatik untuk menghentikan diare atau
mengurangi volume feses, karena berulang kali buang air besar merupakan suatu keadaan
3
atau kondisi yang mengganggu akitifitas sehari-hari.
Pencegahan terhadap diare tidak kalah penting, meliputi: cuci tangan yang benar,
pengolahan makanan yang benar, akses air bersih yang memadai, dan juga vaksin.3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2.1 Anamnesa
Keluhan Utama
Mencret sejak 1 hari SMRS
Riwayat Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama di keluarga pasien.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pegawai negeri sipil.
Pasien riwayat merokok 20 tahun yang lalu dan sekarang tidak merokok lagi
Pasien suka mengonsumsi makanan yang berlemak, pedas dan bersantan
Pasien tidak ada mengonsumsi kopi, jamu dan alkohol.
Pasien jarang berolahraga secara teratur.
Status General
Mata : Anemis -/-, Ikterus -/-, Oedema palpebra -/-, Refleks pupil (+/+)
isokor, Mata cekung +/+
THT
Telinga : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun bekas luka.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ekskoriasi, maupun
bekuan-bekuan darah.
Tenggorokan : Mulut kering (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Thoraks : Bentuk dada normal, simetris, tidak terlihat pembuluh kolateral, tidak
ada bekas luka ataupun jaringan parut.
- Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : PSL D ICS
Batas atas : ICS II
Batas kiri : MCL S ICS V
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)
- Pulmo
Inspeksi : Gerakan napas simetris.
Palpasi : Vokal fremitus N/N
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Ves +/+, Rhonki -/-, Wh -/-
Abdomen : Turgor kulit normal, Distensi (-), BU (+) meningkat, organomegali (-).
Ekstremitas : Akral hangat +/+ edema -/-
+/+ -/-
Interpretasi :
Sinus : sinus rhytm
HR : 84x/menit
PR interval : <0,12 s
Kompleks QRS : <0,20 s
Segmen ST : ST depresi di lead V2-V6, I dan aVL
Axis : RAD (Right Axis Deviation)
Resume :
Tn. E 50 tahun, datang dengan keluhan diare sejak 1 hari SMRS, dikatakan buang
air besar lebih dari 3 kali dengan volume sekitar ¼ - ½ gelas setiap kali BAB, dengan
kotoran encer kekuningan tanpa lendir dan darah. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut
yang hilang timbul dikatakan seperti melilit terutama saat akan BAB dan terkadang seperti
terasa menyesak di ulu hati. Pasien juga mengeluhkan mual disertai muntah sebanyak 1
kali dengan dengan volume sekitar ¼ gelas tiap muntah, berisi sisa makanan dan air, tanpa
darah maupun lendir. 2 hari SMRS, pasien mengaku mengonsumsi buah durian dalam
jumlah yang banyak. Pasien memiliki riwayat maag sejak 1 tahun terakhir.
Pasien memiliki riwayat DM dan HHD sejak 3 tahun terakhir dan rutin
mengonsumsi obat-obatan, pasien juga memiliki riwayat maag sejak 1 tahun terakhir.
Pasien merupakan seorang pegawai negeri sipil yang memiliki riwayat merokok 20
tahun yang lalu, suka mengonsumsi makanan yang berlemak, pedas dan bersantan serta
jarang berolahraga secara teratur.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum sadar penuh, yang lainnya
dalam batas normal, ditemukan tanda-tanda dehidrasi ringan pada pasien. Pada
pemeriksaan fisik khusus dada, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil dari darah rutin dan kimia darah
yaitu leukositosis dan peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Dari hasil EKG ditemukan
gambaran ST depresi di lead V2-V6, I dan aVL.
Diagnosis Kerja :
1. Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang.
2. Dispepsia
3. Diabetes Mellitus tipe 2 terkontrol
4. Hypertension Heart Disease dengan hipertensi terkontrol.
Penatalaksanaan :
1. IVFD Ringer Laktat loading 500cc (1 kolf) dilanjutkan
IVFD Ringer Laktat 20 tpm.
2. New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
3. Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
4. Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
5. Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
6. Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
7. Metformin tab 3x500mg
8. ISDN tab 3x5mg
9. Atorvastatin tab 1x20mg
10. Bisoprolol tab 1x2,5mg
11. Captopril tab 3x6,25mg
12. CPG tab 1x75mg
Prognosis
Ad vitam : Dubius ad bonam
2. Dispepsia
Assesment : Faktor pencetus dan etiologi
Intial Plan:
-Dx: endoskopi dan urea breath test
-Rx: Injeksi omeprazole 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8jam
-Mx: observasi mual-muntah tiap hari
-Ex: mengurangi konsumsi makanan pedas, asam dan mengandung gas.
-Mx: observasi kadar profil lipid dan tekanan darah secara berkala
-Ex: konsumsi obat secara rutin.
5. Leukositosis
Assesment : Etiologi infeksi
Intial Plan:
-Dx: Pemeriksaan urinalisa
-Rx: Injeksi Ceftriaxone 2gr/24 jam
-Mx: observasi tanda-tanda infeksi lainnya
-Ex: -
FOLLOW UP :
Senin, 02 Maret 2020
S : mencret (+) >3kali, mual disertai muntah (+) >1 kali. Nyeri ulu hati (+)
O : vital sign :
TD=140/80 mmHg
HR=78x/menit
RR=20x/menit
T= 37,2
PF :
Mata = KA(-/-), SI (-/-), mata cekung (+/+)
Abdomen = supel, NTE (+), timpani, BU (+) meningkat
Ekstremitas = turgor kulit kembali cepat
A : Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang + Dispepsia + DM tipe 2 terkontrol + HHD
P : IVFD Ringer Laktat 20 tpm
New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
Metformin tab 3x500mg
ISDN tab 3x5mg
Atorvastatin tab 1x20mg
Bisoprolol tab 1x2,5mg
Captopril tab 3x6,25mg
CPG tab 1x75mg
PF :
Mata = KA(-/-), SI (-/-), mata cekung (-/-)
Abdomen = supel, NTE (+), timpani, BU (+) N
Ekstremitas = turgor kulit kembali cepat
A : Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang + Dispepsia + DM tipe 2 terkontrol + HHD
P : IVFD Ringer Laktat 20 tpm
New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
Metformin tab 3x500mg
ISDN tab 3x5mg
Atorvastatin tab 1x20mg
Bisoprolol tab 1x2,5mg
Captopril tab 3x6,25mg
CPG tab 1x75mg
3.1 Diare
3.1.1 Definisi
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih
cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Sementara untuk bayi
dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan
rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam. (Juffrie, 2010).
Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Sedangkan menurut Boyle (2000), diare adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang
hebat. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3
tahun, yang volume tinjanya sudah sama dengan orang dewasa, volume >200 g/kg/24 jam
disebut diare. Frekuensi dan konsistensi bukan merupakan indikator untuk volume tinja.
3.1.2 Epidemiologi
Diare akut merupakan penyebab serius dari mortalitas dan morbiditas di seluruh
5 3
dunia. Telah terjadi 2,5 juta kematian tiap tahunnya terkait dengan diare. Diare sendiri
merupakan penyebab kematian tersering ketujuh di negara berkembang, setelah penyakit
jantung iskemik, stroke, HIV AIDS, masalah perinatal dan penyakit paru obstruktif
5
kronik.
Sebuah survei di Amerika Serikat tentang diare akut, menunjukkan kasus diare
berkembang pada masing-masing individu sebanyak 0,72 kali dan menghasilkan 200 juta
5
kasus penyakit tiap tahunnya. Dari penelitian ini, didapatkan dari 41 juta kasus diare akut
yang berobat, terdapat 6,6 juta kasus yang melakukan tes tinja untuk penegakan
5
diagnosisnya, dan terdapat 3,6 juta kasus yang harus dirawat di rumah sakit.
prevalensi diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
infeksi
Campilobacter memilki ciri tinja yang cair, dan berlendir darah pada kasus
serius.Infeksi Campilobacter sering terjadi pada daerah pertenakan, dimana faktor
risiko terjadinya adalah kotoran hewan peternakan itu sendiri.
Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas,
anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makanan yang
2. Virus
Infeksi virus terkait diare menjadi predominan pada musim dingin ataupun pada
musim hujan baik pada negara maju mapun negar berkembang.
a. Rotavirus
Penyebab satu dari pertiga kasus diare yang butuh dirawat. Penyebab dari
c. Adenovirus
Kebanyakan adenovirus menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan, namun
3. Protozoa
a. Giardia lamblia.
Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogenesis masih belum
Transmisi melalui 2
fecal-oral route. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh
umur, status nutrisi,endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas
yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan
atau tanpa malabsorpsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi
wabah dalam 5 – 8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang
disertai mual, nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai
malabsorpsi dengan faty stools,nyeri perut dan kembung.
b. Entamoeba histolytica.
Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi,namun penyebarannya di seluruh
dunia. Insiden nya meningkat dengan bertambahnya umur,dan terbanyak pada
laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infeksi asimtomatik yang disebabkan oleh
E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat
berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant.
c. Cryptosporidium
Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 – 15% dari kasus diare
pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik pada
anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe
watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan
gangguan sistim kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS,
cryptosporidiosis merupakan reemerging disease dengan diare yang lebih
berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.
4. Helminths
a. Strongyloides stercoralis
Kelainan pada mucosa usus akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan
diare.
b. Schistosoma spp
Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk
c. Capilaria philippinensis
Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunu, menyebabkan inflamasi
menimbulkan
bloody diarrhea dan nyeri abdomen.
B. Non-Infeksi8,9
1. Gangguan fungsional usus , diare menjadi gejala dari iritable bowel syndrome .
2. Kelainan/penyakit usus, pada beberapa kelainan, seperti inflammatory bowel
disease, kolitis ulserativa, maupun chrons disease mempunyai manifestasi klinis
berupa diare.
3. Intoleransi makanan dan sensitivitas, contoh pada kasus orang-orang yang tidak
bisa mengonsumsi laktosa yaitu glukosa pada produk susu ataupun orang-orang
yang tidak bisa mengonsumsi gula pengganti dalam jumlah yang banyak.
4. Reaksi obat-obatan, beberapa obat dari golongan antibiotik, anti-kanker, maupun
antasida dapat menyebabkan diare.
5. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomidapat menyebabkan diare
disebabkan pasase makanan yang lebih cepat.
3.1.4 Patogenesis5,9,10
Diare disebabkan oleh suatu maupun lebih dari patomekanisme berikut: 1)
Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik ; 2) Sekresi cairan dan
elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik ; 3) Malabsorpsi asam empedu, malabsorpsi
lemak ; 4) defek pertukaran anion/ transport elektrolit aktif di enterosit ; 5) Motilitas dan
waktu transit usus abnormal ; 6) Gangguan permeabilitas usus ; 7) Inflamasi dinding usus,
disebut usus inflamatorik meliputi enteritis dan kolitis ; 8) Infeksi dinding usus disebut diare
infeksi. 9) Diare Psikogenik
Diare Osmotik
Diare osmotik yaitu tipe diare dengan mekanisme peningkatan tekanan osmotik
intralumen dari suatu usus halus. Diare jenis ini disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang
hiperosmotik seperti MgSO4, golongan antasida, malabsorpsi umum dan defek dalam
absorpsi mukosa usus misal pada defisiensi disakaridase, ataupun laktosa intoleransi
menyebabkan fermentasi oleh bakteri usus dan menjadi bahan yang bersifat hiperosmotik.
Diare Sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnyasekresi air dan elektrolit dari usus,
menurunnya absorpsi. Diare ini memiliki khas yaitu tinja dengan volume yang banyak sekali
disertai perut keram dengan atau tanpa demam. Diare tipe ini tetap berlangsung walaupun
dipuasakan. Penyebab dari diare tipe ini adalah infeksi Vibrio cholerae, Escherichia coli,
reseksi ileum.
Diare yang disebabkan oleh toksin kolera secara langsung menstimulasi sekresi
elektrolit dan cairan yang berlebihan dari kripta ileum dan kolon. Jumlah ciaran bisa
mencapai 10 sampai 12 liter per hari, dimana kolon biasanya hanya dapat merearbsorbsi
maksimum sampai 8 liter per hari.
Diare Infeksi
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare.Dari sudut kelainan
usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif (tidak merusak mukosa) dan invasif (merusak
mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri
tersebut yang disebut diare toksigenik seperti kuman V. cholerae.
Patogenesis yang berperan adalah faktor kausal dan faktor pejamu. Faktor pejamu
adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat
menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor imunitas seperti keasaman lambung, motilitas
usus, dan mikroflora usus. Faktor kausal yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel
mukosa, kemampuan produksi toksin.
Diare Psikogenik
Diare yang terjadi saat seseorang merasa tegang, disebabkan oleh stimulasi
berlebihan dari sistem saraf parasimpatis sehingga mengaktifkan motilitas dan sekresi
mukus yang berlebihan pada kolon distal.
Muntah
Pasien diare akut banyak yang mengalami muntah.Muntah merupakan gejala dengan presentasi
besar dalam diare akut.2 Gejala muntah yang terjadi bisa menjadi kecurigaan penyebab diare
adalah bakteri karena virus maupun toksinbakteri yang tertelan lewat makanan (keracunan
makanan.2
Keracunan makanan yang terjadi dapat diinduksi oleh bakteri seperti jenis Clostridium
perfringens maupun Staphylococcus aureus.2
Diare cair
Tinja dengan dengan penurunan konsistensi, bisa menjadi semisolid, lembek maupun cair
tanpa adanya darah.3 Diare ini biasa bisa sembuh sendiri. Diare ini bisa juga dikaitkan dengan
jenis diare yang diinduksi oleh enterotoksin, seperti golongan Vibrio, Enterotxigenic E. coli,
Enteropatogenic E. coli.2
Diare berdarah
Diare dimana secara makroskopis terlihat darah yang bercampur dengan tinja. Secara
mikroskopis, terlihat banyak sel darah merah dan sel darah putih. Diare berdarah mencerminkan
kolitis bakteri yang berat, yang disebabkan oleh patogen yang invasif seperti Shigella,
Salmonella, Yersinia, Campilobacter jejuni, Enteroinvasive E.coli, Enterohemorragic E. coli,
Entamoeba histolitica.5
Dehidrasi
Diare dapat menyebabkan dehidrasi.8 Kehilangan cairan dan elektrolit selama dehidrasi
dapat mempengaruhi aktivitas otot dan fungsi organ dalam tubuh. Dehidrasi sangat berbahaya
untuk anak-anak, orang lanjut usia maupun orang dengan sistem imun yang lemah.8
Gejala dehidrasi pada orang dewasa:8
Haus
Penurunan jumlah urin dari biasa
Urin berwarna pekat
Kulit kering
Lelah
Pusing
Kepala terasa ringan
Turgor kulit menurun
Derajat dehidrasi:9
1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB)
Gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak, pasien belum jatuh dalam presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8 % BB)
Turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat
dan dalam.
3. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10 % BB)
Tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot
kaku, dan sianosis.
3.1.6 Diagnosis
Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis dari diare akut dapat menggunakan beberapa kombinasi
dari manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan lain-lain. Adanya
gejala klasik diare berupa peningkatan frekuensi tidak kurang dari tiga kali dalam sehari,
peningkatan volume dan konsistensi cair yang ditemukan melalui anamnesis yang cermat
merupakan patokan diagnosis. 1
Anamnesis yang cermat dapat membantu ke arah mana diare akut yang terjadi pada
pasien.2
Pemeriksaan fisik
9
Pada pasien dewasa yang terkena diare, sangat penting untuk menilai tanda dehidrasi.
Pemeriksaan yang dilakukan termasuk denyut nadi, tekanan darah, , turgor kulit, mukosa kering,
kelopak mata yang cekung dan capillary refill.3 Pemeriksaan abdomen wajib diperiksa untuk
setiap pasien.3 Palpasi superfisial maupun dalam dikerjakan hati-hati untuk menyingkirkan tanda
peritonitis, walaupun nyeri lepas minimal ada pada palpasi dalam pasien dengan disentri. 2
Pemonitoran pasien bisa dipertimbangkan, pada beberapa kasus yang membutuhkan pembedahan
seperti appendisitis, diverticulitis, adneksitis, pankreatitis, maupun kolitis yang iskemik bisa
ditandai dengan diare akut pada awalnya.2
Pada akut diare, perut yang keras (defence muscular) dan nyeri lepas seharusnya tidak
ada.2 Jika tanda ini ada, pemeriksaan dan investigasi lebih lanjut harus dilakukan. Pemeriksaan
colok dubur seharusnya menjadi pemeriksaan awal untuk menilai darah, mukosa rektum, dan
konsistensi feses.2
Pemeriksaan laboratorium
Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare yang berlangsung
lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan darah
tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum,
ureum dan kreatinin.9
Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang
normal atau limfositosis.9 Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang
invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan leukosit muda. Sedangkan, pada
kasus salmonellosis, bisa terjadi neutropenia.9
Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan
mineral dalam tubuh.9
Tes Berpuasa
Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada intoleransi maupun alergi makanan yang
menyebabkan pasien mengalami diare.8 Pemeriksa akan menganjurkan pasien menghindari
makanan tertentu yang mengandung karbohidrat, laktosa, padi-padian, ataupun bahan makanan
lain untuk melihat apakah ada perbaikan diare terhadap perubahan diet.8
Sigmoidoskopi/ kolonoskopi
Pada pasien dengan kasus diare berdarah dengan pengobatan antibiotik empiris tapi tidak
mengalami perbaikan penggunaan sigmoidoskopi maupun kolonoskopi seharusnya dilakukan.4
Pada pasien AIDS yang mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena
kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma di daerah kolon. Biopsi mukosa sebaiknya
dilakukan jika mukosa terlihat inflamasi berat.9
3.1.7 Tatalaksana
a. Rehidrasi
Tatalaksana awal untuk akut diare adalah rehidrasi, dan sebaiknya diberikan melalui
oral.3 Bila keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai
dengan minuman ringan, sari sup buah,ataupun keripik asin.8 Bila pasien kehilangan
cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena
atau rehidrasi oral dengan cairan istonotik yang mengandung elektrolit dan gula pati
harus diberikan.2 Akumulasi cairan yang hilang (dihitung dari selisih berat badan pasien
normal dan saat sekarang sakit diare) harus dipertimbangkan. 2 Kemudian, fokus
diarahkan kepada banyaknya cairan hilang yang sedang berlangsung, kemudian baru
terapi cairan maintenance.2 Cairan rehidrasi oral dapat diberikan, pada tahun 2002 WHO
sudah mengeluarkan cairan dehidrasi oral baru dengan osmolaritas yang lebih rendah
sehingga dapat menurunkan frekuensi diare, mual muntah, kemungkinan pasien jatuh ke
fase syok tanpa menyebabkan hiponatremia bila dibandingkan dengan cairan dehidrasi
oral yang sebelumnya.2 Komposisi cairan rehidrasi oral baru ini bisa dibuat sendiri
dengan satu liter air, setengah sendok teh garam, dan enam sendok teh gula.2
Klinis Skor
mmHg
mmHg
Kesadaran apatis 1
atau koma
kali/menit
Fasies Cholerica 2
Vox Cholerica 2
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral
(sebanyak mungkin sedikit demi sedikit).9 Bila skor lebih atau sama 3 disertai syok
diberikan cairan per intravena.9
b.Pemberian Makanan
Pemberian makanan dari awal membuktikan menurunkan permeabilitas usus yang
disebabkan oleh infeksi, menurunkan durasi penyakit, dan memperbaiki gizi pasien.2 Hal
ini sangat penting, mengingat faktor komorbid status nutrisi yang buruk yang sering
mendasari kasus diare akut pada negara-negara berkembang.2
Walaupun diet BRAT (banana, rice, apple juice,toast) yang terdiri dari : pisang,
beras, jus apel, roti tawar serta menghindari konsumsi produk susu direkomendasikan,
namun data pendukung terhadap intervensi ini masih terbatas.2 Perintah untuk membatasi
pasien makan makanan keras dalam 24 jam, juga tidak terlalu berpengaruh terhadap
penyakit diare itu sendiri.2
c.Obat Antidiare
Obat antimotilitas seperti loperamid terbukti menurunkan gejala diare dan
penyembuhan secara klinis dalam 24 sampai 48 jam dengan disertai pemberian antibiotik
pada kasus tertentu seperti traveler’s diarrhea. Loperamid merupakan opiat sintetik yang
bekerja pada otot polos usus yang menyebabkan perlambatan dari gerakan usus sehingga
memberikan waktu lebih untuk rearbsorbsi air dan elektrolit. 5 Pemberian loperamid
dimulai dari 4mg kemudian dilanjutkan 2 mg setiap kali diare dengan dosis maksimum 8
mg sehari.5Loperamid memiliki beberapa kontraindikasi pemberian, yaitu pada kasus
diare berlendir darah, pada pasien dengan sistem imun menurun, risiko sepsis maupun
orang lanjut usia dengan penyakit paru kronik. 1
Pemberian loperamid dikombinasikan dengan simetikon terbukti dengan cepat
mengurangi gejala pada kasus-kasus diare akut nonspesifik dengan tuntas.1
d. Antibiotik
Kebanyakan kasus diare akut dapat sembuh sendiri, sehingga penggunaan antibiotik
rutin tidak direkomendasikan pada kasus diare ringan. Penggunaan antibiotik yang
berlebihan justru menyebabkan resistensi, dapat membunuh flora normal usus,
memperpanjang durasi penyakit (pada Clostridium defficile) dan tentunya meningkatkan
biaya pengobatan.2
Indikasi pemberian antibiotik adalah diare akibat infeksi kolera, demam tifoid
maupun paratifoid, shigelosis, diare pada pasien defisiensi imun, dan terkait infeksi
protozoa. 1
Antibiotik golongan florokuinolon merupakan golongan antibiotik yang sering
digunakan untuk diare infeksi pada dewasa. Pada sebuah studi kasus kontrol
perbandingan penggunaan plasebo dan ciprofloxacin terhadap kasus diare, penggunaan
florokuinolon terbukti efektif menurunkan durasi diare pada pasien diare berat.5
Kasus diare terkait dengan perjalanan juga diberikan obat antibiotik. Studi
membuktikan tiga jenis obat berikut efektif menanggulangi kasus diare terkait
perjalanan, yaitu: rifaximin 200 mg selama 3 hari, golongan florokuinolon selama 3 hari,
dan azitromisin dosis 500 mg sehari sekali selama 3 hari.Azitromisin bahkan dapat
digunakan pada kasus diare yang sudah resisten terhadap ciprofloxacin.5
e. Agen antimikroba spesifik1
Rifaksimin
Antibiotik jenis ini efektif mengurangi diare yang disebakan oleh bakteri
enteropatogen yang noninvasif, yang tidak disertai demam maupun gejala
disentri.
Azitromisin
Antibiotik jenis ini menyerang semua jenis bakteri enteropatogen yang
menyebabkan diare termasuk pada kasus Campylobacter yang resisten terhadap
ciprofloxacin maupun kasus Shigella.
Nitazoksanida
Nitazoksanida tergolong efektif dan terbukti untuk pengobatan protozoa seperti
giardia dan kriptospora Obat ini juga mampu membunuh bakteri Clostridium
defficile sehingga diare dan kolitis terkait organisme ini dengan efektif mampu
disembuhkan.
f. Probiotik
Probiotik mempunyai manfaat berupa menstimulasi sistem imun dan berkompetisi
pada binding site di sel epitel usus. Walaupun banyak jenis spesies yang tergolong
probiotik, namun butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek probiotik dengan
strain yang lebih spesifik lagi yang efektif pada kasus diare dewasa.1,5
g. Suplementasi Seng
Penelitian pada anak menyarankan suplementasi seng (20 mg sehari selama 10
hari) sangat bermanfaat untuk penyembuhan dan pencegahan diare akut, khususnya pada
negara berkembang.Penelitian ini juga butuh dievaluasi, tentang pemakaian suplementasi
seng pada populasi dewasa.5
3.2 Dispepsia
3.2.1 Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian
atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut
yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, rasa kembung pada saluran cerna bagian atas, mual, muntah, dan sendawa.11
3.2.2 Epidemiologi
Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya
masalah pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling
umum ditemukan. Dialami sekitar 13% - 40% populasi di dunia setiap tahun. Dispepsia
diperkirakan diderita sekitar 15-40% warga Indonesia. Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Survei yang dilakukan Ari F. Syam dari
FKUI (2001) menemukan bahwa dari 93 pasien yang diteliti, hampir 50% diantaranya
mengalami dispepsia. Survei yang dilakukan pada masyarakat Jakarta pada tahun 2006
oleh Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI yang melibatkan 1645 responden
mendapatkan pasien dengan sindrom dispepsia mencapai angka 60%.12
3.2.3 Klasifikasi
Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu dll) dan
kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain,kelompok terakhir ini disebut sebagai
dispepsia fungsional.13
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, makanan dengan porsi biasa, terjadi
beberapa kali dalam seminggu.
b. Rasa cepat kenyang yang menyebabkan tidak dapat menghabiskan makanan, terjadi
dalam beberapa kali dalam seminggu.
Kriteria suportif:
b. Nyeri intermiten
Kriteria suportif :
b. Nyeri diinduksi atau diredakan dengan makanan, namun dapat terjadi selama puasa.
3.2.4 Etiologi
2. Gangguan motilitas
d. Refluks gastro-esofageal
e. Refluks duodeno-gaster
a. Hiperasiditas
5. Stress
7. Predisposisi genetic
Beberapa obat yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia terlihat pada Tabel 4. Pada umumnya
adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga
menyebabkan gastritis.16
A. Dispepsia Fungsional
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi
Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Abdullah dan
Gunawan (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum
sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang
dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini:17
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan
lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang
rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang
lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.
B. Dispepsia Organik
1. OAINS
2. Ulkus Peptikum
Beberapa diagnosis banding dispepsia menurut Abdullah (2012) seperti yang tertera pada Tabel
6.
Tata lakana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan
faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan
sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil
investigasi.11
3.2.2 Etiologi
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi adalah usia,
jenis kelamin, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi garam (> 3 g/hari), kurangnya
aktifitas fisik, konsumsi alkohol, penyakit komorbid (diabetes melitus, CKD), faktor
genetik, dan faktor lingkungan (Tackling et al, 2019; González et al, 2018)
3.3.3 Epidemiologi
Peningkatan tekanan darah salah satunya dipengaruhi oleh usia, peningkatan ini
paling banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan sebelum usia menopause (<55
tahun), tetapi prevalensinya meningkat saat perempuan sudah memasuki usia menopause.
Pada studi Meta-analisis menunjukkan hubungan antara peningkatan tekanan darah
dengan risiko penyakit kardiovaskular yang meningkat karena usia.
Pada pasien usia 45-54 th 36,1% laki-laki dan 33,2% perempuan
Pada pasien usia 55-64 th 57,6% laki-laki dan 55,5% perempuan
Pada pasien usia 65-74 th 63,6% laki-laki dan 65,8 % perempuan
Pada pasien>75 th 73,4% laki-laki dan 81,2% perempuan
Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan hipertensi diderita oleh
26,5 % penduduk Indonesia usia ≥18 tahun, namun meningkat pada tahun 2018 menjadi
34,1%. Berdasarkan sebaran, wilayah yang tinggi populasi hipertensi adalah Kalimantan
Selatan (44,1%) dan wilayah yang rendah populasi hipertensi adalah Papua (22,2%).
3.3.4 Patofisiologi
Terdapat empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi, antara lain :
1. Volume intravascular
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem
kardiovaskular yang mana patofisiologinya adalah multifaktor. Menurut Kaplan,
hipertensi banyak melibatkan faktor generik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi
hemodinamik. Tekanan darah tinggi merupakan hasil interaksi antara curah
jantung/cardiac output (CO) dan tahanan total perifer/ total peripheral resistance (TPR).
Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekana darah dari
waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi vasodilatasi atau
vasokonstriksi. Bila asupan NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi
garam keluar bersama urin juga akan meningkat. Akan tetapi, jika upaya mengeskresi
garam melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O sehingga
volume intravaskular meningkat. Pada gilirannya curah jantung/cardiac output juga akan
meningkat. Akibatnya, terjadi ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah
akan meningkat. Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara
berangsur curah jantung akan kembali turun menjadi normal kembali akibat adanya
autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR
vasokonstriksi maka tekanan darah akan meningkat.
Hipertensi kronik dapat menyebabkan komplikasi ke beberapa organ target seperti pada tabel
berikut :
Organ Target Manifestasi
Jantung Hipertrofi Ventrikel Kiri
Gagal jantung
Iskemik jantung dan infark
Cerebrovaskular Stroke
Aorta dan Vaskular perifer Aneurisma aorta dan/atau diseksi
aorta
Ginjal Nefroskelrosis
Gagal Ginjal
Retina Papiledema
Arterial Narrowing
Pada jantung terjadi hipertrofi ventrikel kiri karena kompensasi jantung menghadapi
tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan
konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari
gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi
eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling
melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan
terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik).
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi akibat respons dari miosit yang terstimulasi karena
peningkatan tekanan sistemik. Stimulasi kaskade intraselular mengaktifkan ekspresi gen dan
mendorong sintesis protein sehingga meningkatkan kandungan protein, ukuran kardiomiosit dan
mengaktifkan sarkomer yang menyebabkan meregangnya kardiomiosit. Selain itu mekanisme
humoral lokal juga teraktivasi seperti sekresi hormon katekolamin dan angiotensin II yang
dilepaskan pada keadaan tekanan tinggi dapat memainkan peran dalam mengaktifkan ekspresi
gen yang menyebabkan hipertrofi kardiomiosit melalui reseptor membran yang spesifik.
Gambar 6. Patofisiologi Myocardial Remodelling pada Jantung karena Hipertensi
Hipertrofi ventrikel kiri, iskemia miokard, dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor
utama kerusakan miosit pada hipertensi. Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark
jantung, dll) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard akibat dari hipertrofi ventrikel kiri. Peningkatan afterload sekunder
karena hipertensi mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri dan transmural,
menghambat aliran darah koroner saat diastol. Selanjutnya, pada pasien dengan hipertensi,
mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner epikardial, mengalami disfungsi dan tidak dapat
mengkompensasi peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen. Perkembangan dan
progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit jantung koroner, adalah kerusakan arteri terus-
menerus karena peningkatan tekanan darah. Tekanan yang terus-menerus mengakibatkan
disfungsi endotel, dan menyebabkan kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator nitrit
oxide. Penurunan kadar nitrit oxide menyebabkan dan mempercepat proses arteriosklerosis dan
penumpukan plak.
3.3.6 Diagnosis
A. Anamnesis
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat
dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap sebagai
gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada pasien dengan
hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di
regio oksipital.
Gejala nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan darah
antara lain adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-
gejala didapati, mereka umum berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau
dengan manifestasi hipertensi sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang
harus diselidiki dalam perolehan riwayat dari pasien hipertensif.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum, tinggi, berat badan dan
memperhatikan keadaan khusus, seperti: Cushing, Phaeocromositoma, perkembangan tidak
proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada koartasio aorta.
Pengukuran tekanan darah harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi
terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Sebelum
pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan selama 5 menit dalam kondisi hening
dan dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang nyaman. Bagian tengah cuff harus
berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus setara dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar
lengan. Penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2 mmHg/detik)
penting untuk diperhatikan.
Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari sekurang-kurangnya dua ketukan
suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik adalah titik di mana suara Korotkoff
regular terakhir didengar. Dalam praktik saat ini, diagnosis hipertensi umumnya dilandasi
oleh pengukuran dalam kondisi duduk di tempat praktik.
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis,
menggunakan tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat pembacaan
setiap 15-30 menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik tidaklah sering
digunakan secara rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi pasien yang dicurigai
mengalami white coat hypertension. JNC 7 juga telah merekomendasikan pengawasan
ambulatorik untuk resistensi terhadap penanganan, hipotensi simptomatik, kegagalan
otonom, dan hipertensi episodik.
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk menilai
hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Hipertropi ventrikel kiri dapat
terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal yang menguat, bertahan, dan bertempat di
lateral. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang
ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau sistolik)
dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop
ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat
akibat dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan S4 ditemukan bersama disebut summation gallop.
Paru perlu diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau ronkhi
kering. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, lien, ginjal,
dan ascites. Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus (renal artey stenosis). Areteri
radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis harus diraba. Tekanan darah di betis harus
diukur minimal sekali pada hipertensi usia muda (kurang dari 30 tahun) (Panggabean, 2014).
C. Pemeriksaan Penunjang
3.3.7 Tatalaksana
1. Non Farmakologis
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi dan dapat
mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat memperlambat ataupun mencegah
kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1, namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi
obat pada pasien dengan HMOD atau risiko tinggi kardiovaskular.Pola hidup sehat telah terbukti
menurunkan tekanan darah yaitu :
a. Pembatasan konsumsi garam
Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan hipertensi. Konsumsi garam
berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan prevalensi hipertensi.
Rekomendasi penggunaan atrium (Na) sebaiknya tidak lebih dari 2 gram/hari (setara
dengan 5-6 gram NaCl perhari atau 1 sendok teh garam dapur). Sebaiknya menghindari
makanan dengan kandungan tinggi garam.
b. Perubahan pola makan
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang mengandung
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah lemak, gandum, ikan,
dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta membatasi asupan daging
merah dan asam lemak jenuh.
c. Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal
Terdapat peningkatan prevalensi obesitas dewasa di Indonesia dari 14,8% berdasarkan
data Riskesdas 2013, menjadi 21,8% dari data Riskesdas 2018.
Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m2), dan
mentargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2) dengan lingkar pinggang <90
cm (laki-laki) dan<80 cm (perempuan).
d. Olahraga teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi,
sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. Olahraga teratur dengan
intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan TD lebih kecil dibandingkan
dengan latihan intensitas sedang atau tinggi, sehingga pasien hipertensi disarankan untuk
berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobic dinamik berintensitas sedang (seperti:
berjalan, joging, bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.
e. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko vascular dan kanker, sehingga status merokok harus
ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang merokok harus
diedukasi untuk berhenti merokok.
2. Farmakologis
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan
menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa
prinsip dan algoritma terapi telah dikembangkan untuk memberikan rekomendasi praktis
pengobatan hipertensi, yaitu:
A. Bila memungkinkan berikan dosis obat tunggal, pada pasien hipertensi derajat 1 dengan
risiko rendah (TDS < 150 mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dan
berisiko sangat tinggi, pasien dengan usia lanjut ( ≤ 80 tahun) atau ringkih.
B. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua obat.
C. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS blocker (Renin angiotensin
system blocker) yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau diuretic.
D. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEI atau ARB) , CCB,
dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
E. Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten, kecuali ada
kontraindikasi.
F. Kombinasi dua obat penghambat RAS tidak direkomendasikan
G. Lakukan pemantauan efek samping obat dengan teratur.
Salah satu pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa adalah nilai atau
ambang tekanan darah. Target tekanan darah yang dicapai setelah pemberian obat
antihipertensi ditentukan berdasarkan usia dan dengan atau tanpa adanya penyakit penyerta.
Selain itu perlu juga dipertimbangkan hal lain seperti harga obat, efek samping obat serta
frekuensi dan dosis obat agar mencapai target terapi yang efektif dan efisien.
Gambar 8. Strategi Penatalaksnaan Hipertensi dan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi
Menurun
Pasien hipertensi dengan gagal jantung, baik heart failure reduced ejection fraction
(HFrEF) maupun heart failure preserved ejection fraction (HFpEF), terapi antihipertensi harus
dipertimbangkan bila TD ≥ 140/90 mmHg. Pada pasien HFrEF obat antihipertensi yang
dianjurkan terdiri ACEi atau ARB dan beta bloker dan diuretik dan/atau jika diperlukan
ditambah antagonis reseptor mineralkortikoid. CCB golongan dihidropiridin dapat ditambahkan
bila target tekanan darah belum tercapai. Pada pasien HFpEF, nilai batas TD dimulainya terapi
dan target TD sama dengan HFrEF.
Pada semua pasien dengan LVH:
a. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah dengan penghambat RAS dikombinasikan dengan
CCB atau diuretic.
b. TDS harus diturunkan hingga sekitar 120-130 mmHg.
Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama, sendiri atau
dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat pompa Na +/Cl- di
tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium. Dalam jangka panjang,
mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide bersifat aman, memiliki efikasi tinggi,
dan murah serta mengurangi kejadian klinis. Mereka memberikan efek penurunan-tekanan darah
tambahan ketika dikombinasikan dengan beta blocker, ACE inhibitor, atau penyekat reseptor
angiotensin. Sebaliknya, penambahan diuretik terhadap penyekat kanal kalsium adalah kurang
efektif.
Dosis biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25 hingga 50 mg/hari. Karena
peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia, resistansi insulin, peningkatan
kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua diuretik hemat kalium, amiloride
dan triamterene, bekerja dengan menghambat kanal natrium epitel di nefron distal. Agen-agen ini
adalah agen antihipertensif yang lemah namun dapat digunakan dalam kombinasi dengan
thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia. Target farmakologis utama untuk diuretik loop
adalah kotransporter Na+-K+-2Cl- di lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya
dicadangkan bagi pasien hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin
serum refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema karena alasan-
alasan lain seperti penatalaksanaan dengan vasodilator yang poten, seperti monoxidil.
Penyekat sistem renin-angiotensin
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan
mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor angiotensin II menyediakan
blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek angiotensin II pada reseptor AT2 yang tidak
tersekat dapat menambah efek hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini adalah agen antihipertensif
yang efektif yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dalam kombinasi dengan diuretik,
antagonis kalsium, dan agen-agen penyekat alfa.
Efek samping ACE inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara lain adalah
insufisiensi ginjal fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan lesi stenotik
pada arteri renalis. Kondisi-kondisi predisposisi tambahan terhadap insufisiensi ginjal yang
diinduksi oleh agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan penggunaan obat-obat
antiinflamasi non steroid.
Batuk kering terjadi pada ~15% pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang
mengkonsumsi ACE inhibitor. Angioedema paling sering terjadi pada individu yang berasal dari
Asia dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding orang Kaukasia.
Hiperkalemia yang disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek samping yang kadang terjadi
baik pada penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor angiotensin.
Antagonis aldosteron
Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan sendiri atau
dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang terutama efektif pada pasien
dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi resistan, dan aldosteronisme primer. Pada
pasien dengan CHF, spironolakton dosis rendah mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah
sakit karena gagal jantung ketika diberikan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional
dengan ACE inhibitor, digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton berikatan dengan
reseptor progesteron dan androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia, impotensi, dan
abnormalitas menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh agen yang lebih baru, eplerenone,
yang merupakan antagonis aldosteron selektif. Eplerenone baru-baru ini disetujui di US untuk
penatalaksanaan hipertensi.
Beta blocker
Beta blocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada pasien
dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya gejala angina. Obat ini
akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan
kronotropik negatif. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian
diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Beta blocker juga menghambat pelepasan renin
di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung. Beta blocker cardioselective (β1) lebih
banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas simpatomimetik intrinsik.
Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah
jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme lain yang
diajukan mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah adalah efek pada sistem
saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif pada pasien hipertensif
dengan takikardia, dan potensi hipotensi mereka dikuatkan oleh pemberian bersama diuretik.
Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta blocker secara selektif menghambat
reseptor 1 jantung dan kurang memiliki pengaruh pada reseptor 2 pada sel-sel otot polos bronkus
dan vaskular; namun tampak tidak terdapat perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker
kardio selektif dan non kardio selektif.
Beta blocker tertentu memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah jelas
apakah aktivitas ini memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung. Beta blocker
tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian kematian mendadak
(sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium rekuren. Pada pasien dengan
CHF, beta blocker telah dibuktikan mengurangi risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas.
Carvedilol dan labetalol menyekat kedua reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider.
Keuntungan potensial dari penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan
hipertensi masih perlu ditentukan.
Penyekat adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah melalui
penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif yang efektif, yang
digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan agen-agen lain. Namun dalam
uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa tidak terbukti mengurangi morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular ataupun menyediakan perlindungan terhadap CHF sebesar kelas-kelas
agen antihipertensif lain. Agen-agen ini juga efektif dalam menangani gejala tractus urinarius
bawah pada pria dengan hipertropi prostat. Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan dengan
reseptor postsinaptik dan presinaptik dan terutama digunakan untuk penatalaksanaan pasien
dengan pheokromositoma.
Agen-agen simpatolitik
Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi perifer dengan
menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada pasien dengan neuropati otonom
yang memiliki variasi tekanan darah yang luas karena denervasi baroreseptor. Kerugian agen ini
antara lain somnolens, mulut kering, dan hipertensi rebound saat penghentian. Simpatolitik
perifer mengurangi resistansi perifer dan konstriksi vena melalui pengosongan cadangan
norepinefrin ujung saraf. Walaupun merupakan agen antihipertensif yang potensial efektif,
kegunaan mereka dibatasi oleh hipotensi orthostatik, disfungsi seksual, dan berbagai interaksi
obat.
Penyekat kanal kalsium
Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui penyekatan L-channel, yang
mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi. Kelompok ini terdiri dari bermacam agen
yang termasuk dalam tiga kelas berikut: phenylalkylamine (verapamil), benzothiazepine
(diltiazem), dan 1,4-dihydropyridine (mirip-nifedipine). Digunakan sendiri atau dalam kombinasi
dengan agen-agen lain (ACE inhibitor, beta blocker, 1-adrenergic blocker), antagonis kalsium
secara efektif mengurangi tekanan darah; namun, apakah penambahan diuretik terhadap
penyekat kalsium menghasilkan penurunan lebih lanjut pada tekanan darah adalah tidak jelas.
Efek samping sepertiflushing, sakit kepala, dan edema dengan penggunaan dihydropyridine
berhubungan dengan potensi mereka sebagai dilator arteriol; edema disebabkan peningkatan
gradien tekanan transkapiler, dan bukan karena retensi garam dan cairan.
Vasodilator Langsung
Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak dianggap sebagai agen lini
pertama namun mereka paling efektif ketika ditambahkan dalam kombinasi yang menyertakan
diuterik dan beta blocker. Hydralazine adalah vasodilator direk yang poten yang memiliki efek
antioksidan dan penambah NO, dan minoxidil merupakan agen yang amat poten dan sering
digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang refrakter terhadap semua obat lain.
Hydralazine dapat menyebabkan sindrom mirip-lupus, dan efek samping minoxidil antara lain
adalah hipertrikosis dan efusi perikardial (Kasper et al, 2015).
3.3.9 Komplikasi
Hipertensi berkepanjangan dengan pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan
gagal ginjal (sistolik dan diastolik). Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik menyebabkan
peningkatan permintaan oksigen pada miokardium yang membuat munculnya gejala
angina ataupun iskemik jantung. Hipertrofi juga dapat menyebabkan gangguan pada
kelistrikan jantung yang bisa menyebabkan munculnya atrial fibrilasi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan keluhan diare sejak 1 hari SMRS sebanyak lebih dari 3 kali dengan
volume sekitar ¼ - ½ gelas setiap kali BAB, dengan kotoran encer kekuningan tanpa lendir dan
darah. Hal ini sesuai dengan definisi diare, dimana diare adalah peningkatan pengeluaran tinja
dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali
dalam 24 jam. Menurut definisi lain, diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. 2 hari SMRS, pasien mengaku mengonsumsi
buah durian dalam jumlah yang banyak. Menurut etiologi diare dibagi menjadi 2, yaitu infeksi
dan non-infeksi. Pada pasien ini etiologi yang paling mungkin adalah non-infeksi yaitu
intoleransi makanan. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut yang hilang timbul dikatakan seperti
melilit terutama saat akan BAB dan terkadang seperti terasa menyesak di ulu hati. Pasien juga
mengeluhkan mual disertai muntah sebanyak 1 kali dengan dengan volume sekitar ¼ gelas tiap
muntah, berisi sisa makanan dan air, tanpa darah maupun lendir. Pasien dengan diare akut
infektif datang dengan gejala khas yaitu: nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang
sering, bisa air, malabsorpsif, atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik. Selain itu,
pasien memiliki riwayat DM dan HHD sejak 3 tahun terakhir dan rutin mengonsumsi obat-
obatan. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi adalah usia, jenis
kelamin, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi garam (> 3 g/hari), kurangnya aktifitas fisik,
konsumsi alkohol, penyakit komorbid (diabetes melitus, CKD), faktor genetik, dan faktor
lingkungan. Pasien memiliki riwayat maag sejak 1 tahun terakhir. Penyebab terjadinya dispepsia
tergantung dari klasifikasinya sendiri. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus
peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik,
dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab
organik. Pada pasien ini dispepsia bisa terjadi karena adanya penyakit sistemik yang
mendasarinya yaitu DM dan HHD atau juga bisa disebabkan oleh faktor stress pekerjaan dimana
pasien merupakan pegawai negeri sipil.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum sadar penuh, yang lainnya dalam
batas normal, ditemukan tanda-tanda dehidrasi ringan pada pasien. Pada pemeriksaan fisik
khusus dada, abdomen, ekstremitas dalam batas normal. Pada pasien dewasa yang terkena diare,
sangat penting untuk menilai tanda dehidrasi.9 Pemeriksaan yang dilakukan termasuk denyut
nadi, tekanan darah, turgor kulit, mukosa kering, kelopak mata yang cekung dan capillary refill.3
Adapun derajat dehidrasi: Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB) dengan gambaran klinisnya
turgor kurang, suara serak, pasien belum jatuh dalam presyok sedangkan dehidrasi sedang
(hilang cairan 5-8 % BB) dengan gambaran klinisnya turgor buruk, suara serak, pasien jatuh
dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam. Pemeriksaan abdomen wajib
diperiksa untuk setiap pasien.3 Palpasi superfisial maupun dalam dikerjakan hati-hati untuk
menyingkirkan tanda peritonitis, walaupun nyeri lepas minimal ada pada palpasi dalam pasien
dengan disentri.2
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil darah rutin yaitu leukositosis. Pada pasien
yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare yang berlangsung lebih dari beberapa
hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan darah tepi lengkap
(hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum, ureum dan
kreatinin.9 Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit
yang normal atau limfositosis.9 Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang
invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan leukosit muda. Sedangkan, pada
kasus salmonellosis, bisa terjadi neutropenia.9 Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa
adanya kekurangan volume cairan dan mineral dalam tubuh.9 Selain itu, ditemukan peningkatan
kadar SGOT dan SGPT dari hasil pemeriksaan kimia darah. SGOT-SGPT yang berada sedikit
diatas normal tak selalu menunjukkan seseorang sedang sakit. Bisa saja peningkatan itu terjadi
bukan akibat gangguan pada liver. Kadar SGOT-SGPT juga gampang naik turun. Mungkin saja
saat diperiksa, kadarnya sedang tinggi. Namun setelah itu, dia kembali normal. Pada orang lain,
mungkin saat diperiksa, kadarnya sedang normal, padahal biasanya justru tinggi. Karena itu, satu
kali pemeriksaan saja sebenarnya belum bisa dijadikan dalil untuk membuat kesimpulan.
(Widjaja, 2009. Jtpt unimus pdf). Dari hasil pemeriksaan EKG ditemukan gambaran ST depresi
di lead V2-V6, I dan aVL. Hal ini menunjukkan adanya infark miokard akut dengan elevasi ST
(ST elevation myocardial infarction =STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner
akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan
elevasi ST.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu IVFD Ringer Laktat loading 500cc (1 kolf)
dilanjutkan IVFD Ringer Laktat 20 tpm. Tujuan terapi adalah rehidrasi. Tatalaksana awal untuk
akut diare adalah rehidrasi, dan sebaiknya diberikan melalui oral. 3 Bila keadaan umum baik tidak
dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari sup
buah,ataupun keripik asin.8 Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi,
penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan istonotik
yang mengandung elektrolit dan gula pati harus diberikan. 2 New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB
cair. Obat antimotilitas terbukti menurunkan gejala diare dan penyembuhan secara klinis dalam
24 sampai 48 jam dengan disertai pemberian antibiotik pada kasus tertentu seperti traveler’s
diarrhea. Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam dimana obat yang dipergunakan dapat berupa antasida
dan antisekresi asam lambung (PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau
H2-Receptor Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana
pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya.
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam, penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon,
cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien
dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai
salah satu patofisiologi dispepsia fungsional4. Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam dimana tujuan
terapi adalah pemberian antibiotik dengan spektrum luas karena adanya tanda infeksi yaitu
peningkatan leukosit namun belum diketahui etiologinya. Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan,
untuk mengontrol kadar gula darah agar tetap stabil yang dikombinasikan dengan metformin tab
3x500mg. Pemberian ISDN tab 3x5mg, atorvastatin tab 1x20mg, bisoprolol tab 1x2,5mg,
captopril tab 3x6,25mg dan CPG tab 1x75mg yang bertujuan untuk pengontrolan tekanan darah
dan kadar kolesterol tetap stabil.
DAFTAR PUSTAKA