Anda di halaman 1dari 82

Laporan Kasus

DIARE AKUT DENGAN DEHIDRASI RINGAN-SEDANG

Oleh
dr. Ayu Anisa

Pembimbing
dr. Firmansyah Dwi Anggara, Sp.PD

RS BHAYANGKARA POLDA RIAU


PEKANBARU
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Diare Akut


Dengan Dehidrasi Ringan – Sedang

Mengetahui,
DPJP

(dr. Firmansyah Dwi Anggara, Sp.PD)

Pendamping Pendamping

(dr. Chunin Widyaningsih, MKM) (AKBP dr. Khodijah, MM)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Diare Akut Dengan
Dehidrasi Ringan - Sedang”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan Program Internsip
Dokter Indonesia di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Firmansyah Dwi Anggara, Sp.PD selaku dokter
penanggung jawab pasien dan kepada dokter pendamping AKBP dr.Khodijah, MM serta
dr.Chunin Widyaningsih, MKM yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Pekanbaru, Maret 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Diare adalah
perubahan pergerakan usus normal yang ditandai dengan peningkatan
jumlah air, volume, dan frekuensi buang air besar, diare juga dicirikan dengan penurunan
konsistensi tinja menjadi lunak maupun cair disertai peningkatan frekuensi buang air besar
1,2
tidak kurang dari tiga kali dalam satu hari.
Diare sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan, tidak saja di Negara
berkembang tetapi juga di negara maju. WHO dan UNICEF mencatat setidaknya terdapat
3
dua juta kasus diare terjadi per tahun. Pada penelitian lain, disebutkan terdapat 2,5 juta
2
kematian di seluruh dunia terkait dengan diare. Di Amerika sendiri, tercatat 48 juta kasus
diare terjadi per tahun terkait kontaminasi makanan, dimana 128.000 kasus membutuhkan
2
perawatan serius di rumah sakit dan 3000 kasus berujung kepada kematian.
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk
setiap tahun. Di Afrika anak-anak terserang diare infeksi 7 kali setiap tahunnya di banding di
2
negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali setiap tahun.
Diare akut yang terjadi pada orang dewasa merupakan masalah kesehatan yang

sering terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi 3


bakteri, kemudian virus, dan parasit.
Pasien yang sering bepergian ke tempat-tempat tertentu, pasien yang mempunyai faktor
komorbid tertentu, maupun kontaminasi makanan merupakan penyebab tersering dari
2
diare.
Kebanyakan orang yang terkena diare akut dapat sembuh sendiri dan tidak

memerlukan evaluasi medis.4 Pada pasien-pasien dengan diare berat disertai kolitis atau

demam, kontak dengan pusat kesehatan seperti rumah sakit, riwayat penggunaan antibiotik
tentunya mendapat perhatian klinis untuk dievaluasi lebih lanjut.4 Evaluasi dimulai dari

anamnesis, seperti riwayat bepergian jauh, pengobatan antibiotik, kemoterapi sampai

kebiasaan melakukan hubungan seks bebas. Ciri dan bentuk dari feses juga diperhatikan, dan

yang tidak kalah penting adalah status dehidrasi dari pasien sendiri. 4

Banyak kasus diare terjadi karena kontak dengan orang yang sakit, melalui makanan,
serta air. Kemampuan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang saat ini diharapkan
mampu memberikan penyelesaian terhadap diagnostik, pengobatan klinis, dan sistem
2
kesehatan masyarakat yang baik. Kebanyakan pasien justru tidak mebutuhkan pemeriksaan
laboratorium maupun tinja, fokus terapi adalah mencegah dan mengobati dehidrasi yang
3
terjadi. Namun, pada kasus dengan dehidrasi berat, demam yang persisten, buang air besar
dengan lendir darah, pasien dengan imunosupresan, maupun kasus nosokomial, pemeriskaan
3
lebih lanjut untuk diagnostik harus dilakukan. Terapi kausal tentunya diperlukan pada diare
akibat infeksi, dan rehidrasi oral maupunnya parenteral secara simultan dengan kausal
memberikan hasil yang baik terutama pada diare akut yang menimbulkan dehidrasi sedang
sampai berat. Seringkali juga diperlukan terapi simtomatik untuk menghentikan diare atau
mengurangi volume feses, karena berulang kali buang air besar merupakan suatu keadaan
3
atau kondisi yang mengganggu akitifitas sehari-hari.
Pencegahan terhadap diare tidak kalah penting, meliputi: cuci tangan yang benar,

pengolahan makanan yang benar, akses air bersih yang memadai, dan juga vaksin.3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Ed
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Alamat : Pancoran Mas Blok Lili 21
Pekerjaan : PNS Polda Riau
Agama : Islam
Suku : Melayu
Status : Menikah
Tanggal MRS : 02 Maret 2020
Tanggal pemeriksaan : 04 Maret 2020

2.2 Data Dasar

2.2.1 Anamnesa
Keluhan Utama
Mencret sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan mencret sejak 1 hari SMRS, dikatakan bahwa pasien
buang air besar lebih dari 3 kali dengan volume sekitar ¼ - ½ gelas setiap kali BAB.
Kotoran yang dikeluarkan dikatakan encer, berwarna kekuningan tanpa ada lendir dan
darah. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut yang hilang timbul dikatakan seperti melilit
terutama saat akan BAB dan terkadang seperti terasa menyesak di ulu hati. Pasien juga
mengeluhkan mual disertai muntah sebanyak 1 kali dengan dengan volume sekitar ¼
gelas tiap muntah, berisi sisa makanan dan air, tanpa darah maupun lendir. 2 hari SMRS,
pasien mengaku mengonsumsi buah durian dalam jumlah yang banyak. Pasien memiliki
riwayat maag sejak 1 tahun terakhir.. BAK normal, kencing terakhir dikatakan tadi pagi.
Pasien tidak ada mengeluhkan sesak nafas (-), nyeri dada (-), nyeri kepala (-), nyeri
atau sulit saat menelan (-), penurunan berat badan (-), riwayat perdarahan (-), jantung
berdebar (-), batuk (-), keringat dingin dimalam hari (-), demam (-) dan pandangan kabur
(-).

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


 Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus (DM) sejak 3 tahun terakhir dan rutin
menggunakan suntik insulin sebanyak 10 unit.
 Pasien memiliki riwayat hypertension heart disease (HHD) sejak 3 tahun terakhir
dan rutin mengonsumsi obat : bisoprolol 1x1, atorvastatin 1x1
 Pasien memiliki riwayat maag sejak 1 tahun terakhir dan mengonsumsi lansoprazol.
 Riwayat penyakit keganasan (-)
 Riwayat penyakit hati dan ginjal (-)

Riwayat Keluarga
 Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama di keluarga pasien.

Riwayat Sosial
 Pasien merupakan seorang pegawai negeri sipil.
 Pasien riwayat merokok 20 tahun yang lalu dan sekarang tidak merokok lagi
 Pasien suka mengonsumsi makanan yang berlemak, pedas dan bersantan
 Pasien tidak ada mengonsumsi kopi, jamu dan alkohol.
 Pasien jarang berolahraga secara teratur.

2.2.2 Pemeriksaan Fisik :


KU : Sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS : E4V5M6)
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 20 kali/menit
Temp. Axilla : 37,5oC
Status Gizi : TB= 165 cm, BB=90 kg (IMT= 33 kg/m2 : Obesitas grade II)

Status General

Mata : Anemis -/-, Ikterus -/-, Oedema palpebra -/-, Refleks pupil (+/+)
isokor, Mata cekung +/+

THT
Telinga : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun bekas luka.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ekskoriasi, maupun
bekuan-bekuan darah.
Tenggorokan : Mulut kering (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)

Leher : JVP : Tidak meningkat


Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran

Thoraks : Bentuk dada normal, simetris, tidak terlihat pembuluh kolateral, tidak
ada bekas luka ataupun jaringan parut.
- Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : PSL D ICS
Batas atas : ICS II
Batas kiri : MCL S ICS V
Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

- Pulmo
Inspeksi : Gerakan napas simetris.
Palpasi : Vokal fremitus N/N
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Ves +/+, Rhonki -/-, Wh -/-

Abdomen : Turgor kulit normal, Distensi (-), BU (+) meningkat, organomegali (-).
Ekstremitas : Akral hangat +/+ edema -/-
+/+ -/-

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang :

Darah rutin (02 Maret 2020)


Hb : 12 g/dL
Ht : 36%
Leukosit : 13.300 /uL
Trombosit : 223.000 /uL

Elektrolit (02 Maret 2020)


Natrium : 144 mmol/L
Kalium : 5,4 mmol/L
Chlorida : 117 mmol/L

Kimia Darah (02 Maret 2020)


SGOT : 39 u/l
SGPT : 58 u/l
Ureum : 36 mg/dL
Creatinin : 1,4 mg/dL

Gula Darah (02 Maret 2020)


Gula darah sewaktu : 162 mg/dL
Gula darah puasa : 125 mg/dL
Gula darah 2 jam PP : 176 mg/dL

Rontgen Thoraks : tidak dilakukan pemeriksaan


EKG (02 Maret 2020)

Interpretasi :
Sinus : sinus rhytm
HR : 84x/menit
PR interval : <0,12 s
Kompleks QRS : <0,20 s
Segmen ST : ST depresi di lead V2-V6, I dan aVL
Axis : RAD (Right Axis Deviation)

Resume :
Tn. E 50 tahun, datang dengan keluhan diare sejak 1 hari SMRS, dikatakan buang
air besar lebih dari 3 kali dengan volume sekitar ¼ - ½ gelas setiap kali BAB, dengan
kotoran encer kekuningan tanpa lendir dan darah. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut
yang hilang timbul dikatakan seperti melilit terutama saat akan BAB dan terkadang seperti
terasa menyesak di ulu hati. Pasien juga mengeluhkan mual disertai muntah sebanyak 1
kali dengan dengan volume sekitar ¼ gelas tiap muntah, berisi sisa makanan dan air, tanpa
darah maupun lendir. 2 hari SMRS, pasien mengaku mengonsumsi buah durian dalam
jumlah yang banyak. Pasien memiliki riwayat maag sejak 1 tahun terakhir.
Pasien memiliki riwayat DM dan HHD sejak 3 tahun terakhir dan rutin
mengonsumsi obat-obatan, pasien juga memiliki riwayat maag sejak 1 tahun terakhir.
Pasien merupakan seorang pegawai negeri sipil yang memiliki riwayat merokok 20
tahun yang lalu, suka mengonsumsi makanan yang berlemak, pedas dan bersantan serta
jarang berolahraga secara teratur.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum sadar penuh, yang lainnya
dalam batas normal, ditemukan tanda-tanda dehidrasi ringan pada pasien. Pada
pemeriksaan fisik khusus dada, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil dari darah rutin dan kimia darah
yaitu leukositosis dan peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Dari hasil EKG ditemukan
gambaran ST depresi di lead V2-V6, I dan aVL.

Diagnosis Kerja :
1. Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang.
2. Dispepsia
3. Diabetes Mellitus tipe 2 terkontrol
4. Hypertension Heart Disease dengan hipertensi terkontrol.

Penatalaksanaan :
1. IVFD Ringer Laktat loading 500cc (1 kolf) dilanjutkan
IVFD Ringer Laktat 20 tpm.
2. New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
3. Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
4. Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
5. Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
6. Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
7. Metformin tab 3x500mg
8. ISDN tab 3x5mg
9. Atorvastatin tab 1x20mg
10. Bisoprolol tab 1x2,5mg
11. Captopril tab 3x6,25mg
12. CPG tab 1x75mg

Prognosis
Ad vitam : Dubius ad bonam

Ad fungsional : Dubius ad bonam

2.3 Daftar Abnormalitas :


1. Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang.
2. Dispepsia
3. Diabetes Mellitus tipe 2 terkontrol
4. Hypertension Heart Disease dengan hipertensi terkontrol.
5. Leukositosis
6. Gangguan fungsi hati
7. Gambaran ST depresi pada EKG

2.3 Analisis Masalah :


1. Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang
Assesment : Etiologi jenis bakteri
Intial Plan :
-Dx: kultur feses
-Rx: tirah baring
Diet ML 1700 kkal
IVFD Ringer laktat 20 tpm
New diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
-Mx: observasi tanda-tanda dehidrasi dan vital sign tiap hari
-Ex: harus makan yang lunak selama masih diare dan banyak minum air putih

2. Dispepsia
Assesment : Faktor pencetus dan etiologi
Intial Plan:
-Dx: endoskopi dan urea breath test
-Rx: Injeksi omeprazole 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8jam
-Mx: observasi mual-muntah tiap hari
-Ex: mengurangi konsumsi makanan pedas, asam dan mengandung gas.

3. Diabetes mellitus tipe 2 terkontrol


Assesment : follow up terapi
Intial Plan:
-Dx: pemeriksaan GDS, GDP, GD2PP, HbA1c
-Rx: Novorapid 10-10-10 unit per subkutan
Metformin tab 3x500mg
-Mx: observasi kadar gula darah secara berkala
-Ex: konsumsi novorapid sesuai sliding scale dan secara rutin.

4. Hypertension Heart Disease dengan hipertensi terkontrol.


Assesment : follow up terapi
Intial Plan:
-Dx: pemeriksaan profil lipid
-Rx: CPG tab 1x75mg
ISDN tab 3x5mg
Atorvastatin tab 1x20mg
Bisoprolol tab 1x2,5mg
Captopril tab 3x6,25mg

-Mx: observasi kadar profil lipid dan tekanan darah secara berkala
-Ex: konsumsi obat secara rutin.

5. Leukositosis
Assesment : Etiologi infeksi
Intial Plan:
-Dx: Pemeriksaan urinalisa
-Rx: Injeksi Ceftriaxone 2gr/24 jam
-Mx: observasi tanda-tanda infeksi lainnya
-Ex: -

6. Gangguan fungsi hati


Assesment : Etiologi (peningkatan fungsi hati mungkin berhubungan dengan
mual-muntah, nyeri perut, diare)
Intial Plan:
-Dx: pemeriksaan urin rutin dan feses rutin
-Rx: -
-Mx: observasi apabila ditemukan kelainan BAB dan BAK.
-Ex: -

7. Gambaran ST elevasi pada EKG


Assesment :
Intial Plan:
-Dx: pemeriksaan
-Rx: -
-Mx: observasi apabila sesak nafas, nyeri dada dan jantung berdebar.
-Ex: -

FOLLOW UP :
Senin, 02 Maret 2020
S : mencret (+) >3kali, mual disertai muntah (+) >1 kali. Nyeri ulu hati (+)
O : vital sign :
TD=140/80 mmHg
HR=78x/menit
RR=20x/menit
T= 37,2
PF :
Mata = KA(-/-), SI (-/-), mata cekung (+/+)
Abdomen = supel, NTE (+), timpani, BU (+) meningkat
Ekstremitas = turgor kulit kembali cepat
A : Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang + Dispepsia + DM tipe 2 terkontrol + HHD
P : IVFD Ringer Laktat 20 tpm
New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
Metformin tab 3x500mg
ISDN tab 3x5mg
Atorvastatin tab 1x20mg
Bisoprolol tab 1x2,5mg
Captopril tab 3x6,25mg
CPG tab 1x75mg

Selasa, 03 Maret 2020


S : mencret (+) >2 kali, mual disertai muntah (+) >1kali. Nyeri ulu hati (+)
O : vital sign :
TD=130/90 mmHg GDS = 135 mg/dL
HR=80x/menit
RR=20x/menit
T= 36,3

PF :
Mata = KA(-/-), SI (-/-), mata cekung (-/-)
Abdomen = supel, NTE (+), timpani, BU (+) N
Ekstremitas = turgor kulit kembali cepat
A : Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang + Dispepsia + DM tipe 2 terkontrol + HHD
P : IVFD Ringer Laktat 20 tpm
New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
Metformin tab 3x500mg
ISDN tab 3x5mg
Atorvastatin tab 1x20mg
Bisoprolol tab 1x2,5mg
Captopril tab 3x6,25mg
CPG tab 1x75mg

Rabu, 04 Maret 2020


S : mencret (+) berkurang , mual disertai muntah (+) berkurang. Nyeri ulu hati (-)
O : vital sign :
TD=130/80 mmHg GDS = 195 mg/dL
HR=78x/menit
RR=20x/menit
T= 36,5
PF :
Mata = KA(-/-), SI (-/-), mata cekung (-/-)
Abdomen = supel, NTE (+), timpani, BU (+) N
Ekstremitas = turgor kulit kembali cepat

A : Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang + Dispepsia + DM tipe 2 terkontrol + HHD


P : IVFD Ringer Laktat 20 tpm
New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
Metformin tab 3x500mg
ISDN tab 3x5mg
Atorvastatin tab 1x20mg
Bisoprolol tab 1x2,5mg
Captopril tab 3x6,25mg
CPG tab 1x75mg

Kamis, 05 Maret 2020


S : mencret (-), mual disertai muntah (-). Nyeri ulu hati (-)
O : vital sign :
TD=130/80 mmHg GDS =126 mg/dL
HR=78x/menit
RR=20x/menit
T= 36,8
PF :
Mata = KA(-/-), SI (-/-), mata cekung (-/-)
Abdomen = supel, NTE (+), timpani, BU (+) N
Ekstremitas = turgor kulit kembali cepat
A : Diare Akut dengan dehidrasi ringan-sedang +Dispepsia + DM tipe 2 terkontrol + HHD
P : IVFD Ringer Laktat 20 tpm
New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB cair
Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam
Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam
Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan
Metformin tab 3x500mg
ISDN tab 3x5mg
Atorvastatin tab 1x20mg
Bisoprolol tab 1x2,5mg
Captopril tab 3x6,25mg
CPG tab 1x75mg

Pasien boleh dipulangkan.


Terapi pulang :
1. Novorapid SC 10-10-10 unit
2. Metformin tab 3x500mg
3. Omeprazole tab 2x20mg
4. Cefixime tab 2x200mg
5. Captopril tab 3x62,5mg
6. Atorvastatin tab 1x20mg
7. CPG tab 1x75mg
8. Bisoprolol tab 1x2,5mg
9. ISDN tab 1x5mg
10. Spironolakton tab 1x25mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diare
3.1.1 Definisi
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih
cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Sementara untuk bayi
dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan
rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam. (Juffrie, 2010).
Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Sedangkan menurut Boyle (2000), diare adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang
hebat. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3
tahun, yang volume tinjanya sudah sama dengan orang dewasa, volume >200 g/kg/24 jam
disebut diare. Frekuensi dan konsistensi bukan merupakan indikator untuk volume tinja.

3.1.2 Epidemiologi
Diare akut merupakan penyebab serius dari mortalitas dan morbiditas di seluruh
5 3
dunia. Telah terjadi 2,5 juta kematian tiap tahunnya terkait dengan diare. Diare sendiri
merupakan penyebab kematian tersering ketujuh di negara berkembang, setelah penyakit
jantung iskemik, stroke, HIV AIDS, masalah perinatal dan penyakit paru obstruktif
5
kronik.
Sebuah survei di Amerika Serikat tentang diare akut, menunjukkan kasus diare
berkembang pada masing-masing individu sebanyak 0,72 kali dan menghasilkan 200 juta
5
kasus penyakit tiap tahunnya. Dari penelitian ini, didapatkan dari 41 juta kasus diare akut
yang berobat, terdapat 6,6 juta kasus yang melakukan tes tinja untuk penegakan
5
diagnosisnya, dan terdapat 3,6 juta kasus yang harus dirawat di rumah sakit.

Data dari World Gastroenterology Organisation 2008, menyebutkan diare

merupakan masalah kesehatan serius, bahkan di nega


ra maju walaupun tidak memiliki
angka mortalitas yang tinggi, namun meningkatkan angka rawat inap dan biaya
6
kesehatan.
6
Tabel 1. Epidemiologi diare di negara maju dan negara berkembang

Kejadian tiap Estimasi kasus diare Rawat inap Kematian


tahun akut
Amerika serikat 375 juta kasus 900.000 kasus 6.000 kasus
Negara 1,5 juta kasus 1,5-2 juta
berkembang kasus terutama
pada anak < 5
tahun

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara


berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih
7
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
7
dari tahun 2000 sampai 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000
insidensi penyakit diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000
penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi
7
411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi. Pada
tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239
7
orang. Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang,
dengan kematian 100 orang, sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan
7
dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang
Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi

NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,2%). Beberapa provinsi mempunyai

prevalensi diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Tenggara, Gor 7


ontalo, Papua Barat dan Papua).
3.1.3 Etiologi3,6
Etiologi Diare Akut
A. Infeksi
Di negara berkembang, penyebab tersering adalah infeksi, dengan prevalensi
infeksi bakteri dan parasit yang lebih tinggi daripada infeksi virus, terutama pada
puncak musim kemarau.
1. Bakteri:
a. Escherichia coli tersebar di seluruh negara, namun tipe enterohemorrhagic
E. coli lebih banyak menjadi penyebab diare di negara maju. Golongan ini
terdiri dari:
a. Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
b. Enterotoxigenic E. coli (EPEC)
c. Enteroinvasive E. coli (EIEC)
d. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
b. Campilobacter
Infeksi asimtomatik sering terjadi di negara berkembang. Diare dengan

infeksi
Campilobacter memilki ciri tinja yang cair, dan berlendir darah pada kasus
serius.Infeksi Campilobacter sering terjadi pada daerah pertenakan, dimana faktor
risiko terjadinya adalah kotoran hewan peternakan itu sendiri.
Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas,

anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makanan yang

terkontaminasi seperti daging ayam dan air. Kadang-kadang infeksi dapat

menyebar melalui kontak langsung


person to person. C.jejuni mungkin
menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar.
c. Shigella spesies
Diare akut dengan infeksi jenis bakteri ini sebanyak 160 juta kasus per

tahunnya di negara berkembang, terutama pada anak.

 S. sonnei menyebabkan diare ringan.


 S. flexneri menyebabkan diare endemik dengan tingkat diare berat dan
persisten.
 S. dysenteriae type 1 (Sd1) jenis serotoip yang menghasilkan Shiga
toxin yang menyebabkan diare endemik berat pada beberapa wilayah
seperti Asia, Afrika, dan Amerika tengah
Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon,
menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk
kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk :smooth lipopolysaccharide
cell-wall antigen yang mempunyai aktifitas endotoksin serta membantu proses
invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan
neurotoksik dan mungkin menimbulkan watery diarrhea.
d. Vibrio cholerae
Infeksi kolera banyak terjadi di negara berkembang. Ciri tinja cair, tidak
berwarnaa, dan bercampur lendir merupakan ciri khusus diare infeksi kolera.V.
Cholerae grup O1 dan O139 cepat menyebabkan kehilangan cairan dan
berujung kepada syok hipovolemik dan kematian. Keluhan penyerta
biasanyaadalah mual dan muntah.
Air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan

kolera. Penularan melalui


person to person jarang terjadi.V.cholerae melekat
dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan menghasilkan enterotoksin
yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heat-labile
toxin (LT) dari ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain yang
mempunyai karakteristik tersendiri, seperti accessory cholera enterotoxin
(ACE) dan zonular occludens toxin (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan
sekresi cairan kedalam lumen usus.
e. Salmonella
Semua serotip Salmonella bersifat p
atogen terhadap manusia. Gejala
berupa demam lebih dari seminggu, keluhan buang air besar berupa konstipasi
maupun diare. Binatang merupakan reservoir infeksi dan manusia sebagai
perantara. Mual, muntah biasa terjadi. Morfologi tinja bisa beragam dimulai dari
tinja cair sampai berlendir dan berdarah.

2. Virus
Infeksi virus terkait diare menjadi predominan pada musim dingin ataupun pada
musim hujan baik pada negara maju mapun negar berkembang.

a. Rotavirus
Penyebab satu dari pertiga kasus diare yang butuh dirawat. Penyebab dari

500.000 kematian setiap tahunnya.

b. Human calcivirus (HuCVs)


Virus kedua terbanyak sebagai penyebab diare setelah rotavirus.Dikenal dengan

istilah “Norwalk-like viruses” dan “Sapporo-like viruses”.

c. Adenovirus
Kebanyakan adenovirus menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan, namun

terdapat beberapa kasus pada beberapa stereotip menyebabkan gastroenterittis.

3. Protozoa
a. Giardia lamblia.
Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogenesis masih belum

jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorpsi dan metabolisme asam empedu.

Transmisi melalui 2
fecal-oral route. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh
umur, status nutrisi,endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas
yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan
atau tanpa malabsorpsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi
wabah dalam 5 – 8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang
disertai mual, nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai
malabsorpsi dengan faty stools,nyeri perut dan kembung.
b. Entamoeba histolytica.
Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi,namun penyebarannya di seluruh
dunia. Insiden nya meningkat dengan bertambahnya umur,dan terbanyak pada
laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infeksi asimtomatik yang disebabkan oleh
E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat
berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant.

c. Cryptosporidium
Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 – 15% dari kasus diare
pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik pada
anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe
watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan
gangguan sistim kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS,
cryptosporidiosis merupakan reemerging disease dengan diare yang lebih
berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.

4. Helminths
a. Strongyloides stercoralis
Kelainan pada mucosa usus akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan
diare.
b. Schistosoma spp
Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk

intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan perdarahan usus.

c. Capilaria philippinensis
Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunu, menyebabkan inflamasi

dan atrofi vili dengan gejala klinis


watery diarrhea dan nyeri abdomen.
d. Trichuris trichuria
Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan appendiks. Infeksi berat dapat

menimbulkan
bloody diarrhea dan nyeri abdomen.

Tabel 2. Penyebab Infeksi Diare Akut pada Dewasa 3

Bakteri Virus Parasit


Diarrheagenic Escherichia Rotavirus Protozoa
coli Norovirus Cryptosporidium
Campylobacter jejuni (calicivirus) parvum
Vibrio cholerae O1 Adenovirus Giardia intestinalis
V. cholerae O139 (serotype Microsporida
Shigella species 40/41) Entamoeba histolytica
V. parahaemolyticus Astrovirus Isospora belli
Bacteroides fragilis Cytomegalovirus Cyclospora
C. coli cayetanensis
C. upsaliensis Dientamoeba fragilis
Nontyphoidal Salmonellae Blastocystis hominis
Clostridium difficile Helminths
Yersinia enterocolitica Strongyloides
Y. pseudotuberculosis stercoralis
Angiostrongylus
costaricensis
Schistosoma mansoni,
S. japonicum

B. Non-Infeksi8,9
1. Gangguan fungsional usus , diare menjadi gejala dari iritable bowel syndrome .
2. Kelainan/penyakit usus, pada beberapa kelainan, seperti inflammatory bowel
disease, kolitis ulserativa, maupun chrons disease mempunyai manifestasi klinis
berupa diare.
3. Intoleransi makanan dan sensitivitas, contoh pada kasus orang-orang yang tidak
bisa mengonsumsi laktosa yaitu glukosa pada produk susu ataupun orang-orang
yang tidak bisa mengonsumsi gula pengganti dalam jumlah yang banyak.
4. Reaksi obat-obatan, beberapa obat dari golongan antibiotik, anti-kanker, maupun
antasida dapat menyebabkan diare.
5. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomidapat menyebabkan diare
disebabkan pasase makanan yang lebih cepat.

3.1.4 Patogenesis5,9,10
Diare disebabkan oleh suatu maupun lebih dari patomekanisme berikut: 1)
Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik ; 2) Sekresi cairan dan
elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik ; 3) Malabsorpsi asam empedu, malabsorpsi
lemak ; 4) defek pertukaran anion/ transport elektrolit aktif di enterosit ; 5) Motilitas dan
waktu transit usus abnormal ; 6) Gangguan permeabilitas usus ; 7) Inflamasi dinding usus,
disebut usus inflamatorik meliputi enteritis dan kolitis ; 8) Infeksi dinding usus disebut diare
infeksi. 9) Diare Psikogenik

Diare Osmotik
Diare osmotik yaitu tipe diare dengan mekanisme peningkatan tekanan osmotik
intralumen dari suatu usus halus. Diare jenis ini disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang
hiperosmotik seperti MgSO4, golongan antasida, malabsorpsi umum dan defek dalam
absorpsi mukosa usus misal pada defisiensi disakaridase, ataupun laktosa intoleransi
menyebabkan fermentasi oleh bakteri usus dan menjadi bahan yang bersifat hiperosmotik.

Diare Sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnyasekresi air dan elektrolit dari usus,
menurunnya absorpsi. Diare ini memiliki khas yaitu tinja dengan volume yang banyak sekali
disertai perut keram dengan atau tanpa demam. Diare tipe ini tetap berlangsung walaupun
dipuasakan. Penyebab dari diare tipe ini adalah infeksi Vibrio cholerae, Escherichia coli,
reseksi ileum.
Diare yang disebabkan oleh toksin kolera secara langsung menstimulasi sekresi
elektrolit dan cairan yang berlebihan dari kripta ileum dan kolon. Jumlah ciaran bisa
mencapai 10 sampai 12 liter per hari, dimana kolon biasanya hanya dapat merearbsorbsi
maksimum sampai 8 liter per hari.

Malabsorpsi Asam Empedu dan Lemak


Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/ produksi micelle empedu dan
penyakit-penyakit saluran bilier dan hati.

Defek Sistem Pertukaran Anion/ Transpor Elektrolit Aktif di Enterosit


Diare ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+ K+ ATPase di
enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal.Diare jenis sekretorik juga menunjukkan
kelainan elektrolit, dengan ditemukannya ion natrium dan kalium di dalam feses.

Motilitias dan Waktu Transit Usus Abnormal


Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga
menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus.Penyebab gangguan ini antara lain:
diabetes melitus, pasca vagotomi, hipertiroid.

Gangguan Permeabilitas Usus


Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya
kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus.

Inflamasi Dinding Usus (Diare Inflamatorik)


Diare tipe ini disebabkan adanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi,
sehingga terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam
lumen, gangguan absorpsi air-elektrolit. Penyebabnya bisa dari infeksi seperti Shigella
maupun noninfeksi seperti kolitis ulseratif.
Enteritis yang merupakan peradangan yang biasanya terjadi pada traktus intestinalis,
terutama usus besar dan pada ujung distal ileum. Mukosa menjadi teriritasi dan kecepatan
sekresinya menjadi sangat tinggi dan motilitas dinding usus meningkat. Hal ini
menyebabkan sejumlah cairan mendorong agen infeksi tersapu ke arah anus.dan pada saat
yang sama terdapat gerakan yang kuat mendorong cairan ini ke depan.
Pada kasus kolitis ulserativa yang telah terjadi peradangan dan ulserasi yang meluas
pada usus besar, motilitas dari kolon begitu besar, sehingga pergerakan massa terjadi terus
menerus, dimana pada keadaan normal pergerakan terjadi dalam rentang 10 sampai 30
menit.

Diare Infeksi
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare.Dari sudut kelainan
usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif (tidak merusak mukosa) dan invasif (merusak
mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri
tersebut yang disebut diare toksigenik seperti kuman V. cholerae.
Patogenesis yang berperan adalah faktor kausal dan faktor pejamu. Faktor pejamu
adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat
menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor imunitas seperti keasaman lambung, motilitas
usus, dan mikroflora usus. Faktor kausal yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel
mukosa, kemampuan produksi toksin.

Diare Psikogenik
Diare yang terjadi saat seseorang merasa tegang, disebabkan oleh stimulasi
berlebihan dari sistem saraf parasimpatis sehingga mengaktifkan motilitas dan sekresi
mukus yang berlebihan pada kolon distal.

3.1.5 Manifestasi Klinis6,8,9


Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik tergantung penyebab
penyakit dasarnya.Keluhan diare berlangsung kurang dari 15 hari. Diare karena penyakit
usus halus biasanya berjumlah banyak, diare air, dan sering berhubungan dengan
malabsorpsi, dan dehidrasi sering didapatkan.
Diare karena kelainan kolon seringkali berhubungan dengan tinja berjumlah kecil, tapi
sering, bercampur darah, dan ada sensasi ingin ke belakang. Pasien dengan diare akut
infektif datang dengan gejala khas yaitu: nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja
yang sering, bisa air, malabsorpsif, atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik.

Tabel 3. Manifestasi Klinis tergantung Patogen Penyebab8


Patogen Demam Nyeri Perut Mual dan Tinja Berdarah
Muntah
Bakteri
Campilobacter Umum Terjadi Umum terjadi Umum terjadi Ada
Clostridium Ada Ada Tidak umum Ada
defficile terjadi
Salmonella Umum terjadi Umum terjadi Umum terjadi Ada
Shiga-Toxin Tidak umum Umum terjadi Ada Umum terjadi
Escherichia coli terjadi
Shigella Umum terjadi Umum terjadi Umum terjadi Ada
Vibrio Bervariasi Bervariasi Bervariasi Bervariasi
Yernisia Umum terjadi Umum terjadi Ada Ada
Parasit
Cryptosporidium Bervariasi Bervariasi Ada Tidak umum
terjadi
Cyclospora Bervariasi Bervariasi Ada Tidak umum
terjadi
Entamoeba Ada Ada Bervariasi Bervariasi
histolytica
Giardia Tidak umum Sering Ada Tidak umum
terjadi terjadi
Virus
Norovius Bervariasi Umum terjadi Umum terjadi Tidak umum
terjadi

Muntah
Pasien diare akut banyak yang mengalami muntah.Muntah merupakan gejala dengan presentasi
besar dalam diare akut.2 Gejala muntah yang terjadi bisa menjadi kecurigaan penyebab diare
adalah bakteri karena virus maupun toksinbakteri yang tertelan lewat makanan (keracunan
makanan.2
Keracunan makanan yang terjadi dapat diinduksi oleh bakteri seperti jenis Clostridium
perfringens maupun Staphylococcus aureus.2

Diare cair
Tinja dengan dengan penurunan konsistensi, bisa menjadi semisolid, lembek maupun cair
tanpa adanya darah.3 Diare ini biasa bisa sembuh sendiri. Diare ini bisa juga dikaitkan dengan
jenis diare yang diinduksi oleh enterotoksin, seperti golongan Vibrio, Enterotxigenic E. coli,
Enteropatogenic E. coli.2

Diare berdarah
Diare dimana secara makroskopis terlihat darah yang bercampur dengan tinja. Secara
mikroskopis, terlihat banyak sel darah merah dan sel darah putih. Diare berdarah mencerminkan
kolitis bakteri yang berat, yang disebabkan oleh patogen yang invasif seperti Shigella,
Salmonella, Yersinia, Campilobacter jejuni, Enteroinvasive E.coli, Enterohemorragic E. coli,
Entamoeba histolitica.5
Dehidrasi
Diare dapat menyebabkan dehidrasi.8 Kehilangan cairan dan elektrolit selama dehidrasi
dapat mempengaruhi aktivitas otot dan fungsi organ dalam tubuh. Dehidrasi sangat berbahaya
untuk anak-anak, orang lanjut usia maupun orang dengan sistem imun yang lemah.8
Gejala dehidrasi pada orang dewasa:8
 Haus
 Penurunan jumlah urin dari biasa
 Urin berwarna pekat
 Kulit kering
 Lelah
 Pusing
 Kepala terasa ringan
 Turgor kulit menurun

Derajat dehidrasi:9
1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB)
Gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak, pasien belum jatuh dalam presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8 % BB)
Turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat
dan dalam.
3. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10 % BB)
Tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot
kaku, dan sianosis.

3.1.6 Diagnosis
Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis dari diare akut dapat menggunakan beberapa kombinasi
dari manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan lain-lain. Adanya
gejala klasik diare berupa peningkatan frekuensi tidak kurang dari tiga kali dalam sehari,
peningkatan volume dan konsistensi cair yang ditemukan melalui anamnesis yang cermat
merupakan patokan diagnosis. 1
Anamnesis yang cermat dapat membantu ke arah mana diare akut yang terjadi pada
pasien.2

Tabel 4. Petunjuk DiagnosisDiare Akut2


Riwayat Patogen Potensial/ Etiologi
Tidak demam, nyeri perut dengan diare berdarah Shiga toxin Escherichia coli
Tinja berdarah Salmonella, Shigella, Yersinia,
campilobacter, Clostridium
defficile, Entamoeba
histolitica, Shiga toxin E. Coli
Riwayat berkemah, mengonsumsi air yang tidak Giardia
bersih
Mengonsumsi makanan yang terkontaminasi
Nasi goreng Bacillus cereus
Daging sapi mentah atau biji kecambah Shiga toxin E. Coli
Susu mentah Salmonella, Campilobacter,
Shiga toxin E. Coli
Makanan laut, terutama kerang mentah atau Vibrio cholerae, Vibrio
setengah matang haemoliticus
Daging sapi, babi, ungas yang setengah matang Staphylococcus
aureus,Clostridium
perfringens, salmonella,
Listeria, Shia toxin E. coli,
Camplilobacter, Yersinia, B.
Cereus
Paparan ke tempat kesehatan Rotavirus, Giardia,
Cryptosporidium, Shigella
Kontak seksual fekal-oral Shigella, Salmonella,
Campilobacter, Protozoa
Imunosupresi,Imunodefisiensi Cryptosporidium, Microsporida,
Isospora, Cytomegalovirus,
Mycobacterium avium-
intracellulare complex,
Listeria

Kondisi medis terkait diare Endokrin: Hipertiroid,


insufisiensi adrenokortikal
tumor karsinoid, kanker tiroid
medular
Gastrointestinal: kolitis ulseratif,
Crohn disease, irritable bowel
syndrome, celiac disease,
Intoleransi laktosa, kolitis
iskemik, kanker kolorektal,
short bowel syndrome,
malabsorpsi, gastrinoma,
VIPoma, sumbatan usus
Lain:Appendisitis,divertikulitis,
Imunodefisiensi,infeksi
sitemik, amyloidosis, adneksitis
Terapi medis terkait diare Antibiotik Spektrum luas,
laksatif, kemoterapi, terapi
radiasi pelvis,kolkisin
Jarang terjadi: golongan PPI,
manitol,NSAID, litium, agen
penurun kolesterol
Diare persisten dengan penurunan berat badan Giardia, cyclospora,
cryptosporidium
Kehamilan Listeria
Riwayat penggunaan antibiotik C. defficile
Praktik seksua anal dengan atau tanpa nyeri Herpes simpleks,
rektal/ proktitis Chlamydia,Gonorrhea,
Syphllis
Nyeri rektal atau proktitis Campilobacter, Salmonella,
Shigella, E. histolitica, C.
Difficile, Giardia
Tinja seperti air cucian beras Vibrio cholerae
Beberapa orang dengan onset akut dan paparan Keracunan makanan
makanan Onset 6 jam: Staphylococcus,
B. Cereus
Onset dalam 8-16 jam:C.
Perfringens type A
Riwayat bepergian Enterotoxigenic E. coli
Patogen lain bisa ada,
disebabkan oleh sumber air
yang terkontaminasi, makanan
yang tidak bersih

Pemeriksaan fisik
9
Pada pasien dewasa yang terkena diare, sangat penting untuk menilai tanda dehidrasi.
Pemeriksaan yang dilakukan termasuk denyut nadi, tekanan darah, , turgor kulit, mukosa kering,
kelopak mata yang cekung dan capillary refill.3 Pemeriksaan abdomen wajib diperiksa untuk
setiap pasien.3 Palpasi superfisial maupun dalam dikerjakan hati-hati untuk menyingkirkan tanda
peritonitis, walaupun nyeri lepas minimal ada pada palpasi dalam pasien dengan disentri. 2
Pemonitoran pasien bisa dipertimbangkan, pada beberapa kasus yang membutuhkan pembedahan
seperti appendisitis, diverticulitis, adneksitis, pankreatitis, maupun kolitis yang iskemik bisa
ditandai dengan diare akut pada awalnya.2
Pada akut diare, perut yang keras (defence muscular) dan nyeri lepas seharusnya tidak
ada.2 Jika tanda ini ada, pemeriksaan dan investigasi lebih lanjut harus dilakukan. Pemeriksaan
colok dubur seharusnya menjadi pemeriksaan awal untuk menilai darah, mukosa rektum, dan
konsistensi feses.2

Pemeriksaan Tinja (Mikroskopik)


Pemeriksaan mikroskopik tinja seharusnya dilakukan pada setiap kasus. 4 Dalam
kenyataannya, pemeriksaan ini mungkin tidak selalu dapat dipraktikkan, mengingatkan
penegakan kausa pasti dari diare termasuk mahal, dan kebanyakan kasus diare yang tidak berat
tidak butuh pemeriksaan tinja. Pemeriksaan ini haruslah dilakukan pada pasien dengan risiko
tinggi dimana identifikasi patogen menjadi penting. Di sisi lain, terdapat kriteria pemeriksaan
seperti: diare dengan demam tidak kurang dari 38,5 0 C, riwayat perawatan di rumah sakit
dengan pemakaian antibiotik, pasien dengan dehidrasi, kecurigaan kolera dan disentri.
Pemeriksaan tinja harus dilakukan cepat setelah tinja sampel tinja dikumpulkan. Pemeriksaan
mikroskopik membutuhkan 4 jam maksimal untuk dilakukan, sedangkan kultur dengan medium
memiliki waktu 12 jam untuk pemeriksaan yang standar .mengingat diare akut hanya ditegakkan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.5
Deteksi mikroskopik sel darah merah dan sel darah putih lebih dari 20 per lapangan
pandang besar merupakan nilai prediksi positif awal pada kasus-kasus diare berdarah. 4 Pada
kasus diare berdarah yang bersifat kasar, pemeriksaan tinja dapt membedakan penyebab antara
patogen Shigella atau Amoeba.4
Pasien yang telah mendapat pengobatan antibiotik dalam 3 bulan sebelumnya atau
mengalami diare di rumah sakit sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin clostridium
defficile.9

Pemeriksaan laboratorium
Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare yang berlangsung
lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan darah
tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum,
ureum dan kreatinin.9
Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang
normal atau limfositosis.9 Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang
invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan leukosit muda. Sedangkan, pada
kasus salmonellosis, bisa terjadi neutropenia.9
Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan
mineral dalam tubuh.9

Tes Berpuasa
Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada intoleransi maupun alergi makanan yang
menyebabkan pasien mengalami diare.8 Pemeriksa akan menganjurkan pasien menghindari
makanan tertentu yang mengandung karbohidrat, laktosa, padi-padian, ataupun bahan makanan
lain untuk melihat apakah ada perbaikan diare terhadap perubahan diet.8
Sigmoidoskopi/ kolonoskopi
Pada pasien dengan kasus diare berdarah dengan pengobatan antibiotik empiris tapi tidak
mengalami perbaikan penggunaan sigmoidoskopi maupun kolonoskopi seharusnya dilakukan.4
Pada pasien AIDS yang mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena
kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma di daerah kolon. Biopsi mukosa sebaiknya
dilakukan jika mukosa terlihat inflamasi berat.9

3.1.7 Tatalaksana
a. Rehidrasi
Tatalaksana awal untuk akut diare adalah rehidrasi, dan sebaiknya diberikan melalui
oral.3 Bila keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai
dengan minuman ringan, sari sup buah,ataupun keripik asin.8 Bila pasien kehilangan
cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena
atau rehidrasi oral dengan cairan istonotik yang mengandung elektrolit dan gula pati
harus diberikan.2 Akumulasi cairan yang hilang (dihitung dari selisih berat badan pasien
normal dan saat sekarang sakit diare) harus dipertimbangkan. 2 Kemudian, fokus
diarahkan kepada banyaknya cairan hilang yang sedang berlangsung, kemudian baru
terapi cairan maintenance.2 Cairan rehidrasi oral dapat diberikan, pada tahun 2002 WHO
sudah mengeluarkan cairan dehidrasi oral baru dengan osmolaritas yang lebih rendah
sehingga dapat menurunkan frekuensi diare, mual muntah, kemungkinan pasien jatuh ke
fase syok tanpa menyebabkan hiponatremia bila dibandingkan dengan cairan dehidrasi
oral yang sebelumnya.2 Komposisi cairan rehidrasi oral baru ini bisa dibuat sendiri
dengan satu liter air, setengah sendok teh garam, dan enam sendok teh gula.2

Cairan intravena yang diberikan seperti ringer laktat diberikan 50 ─ 200


ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi.9 Prinsip menentukan jumlah
cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. 8
Macam-macam pemberian cairan:

 Berat jenis plasma dengan rumus:


Kebutuhan cairan: BJ plasma -1,025 x berat badan x 4ml
0,001
 Metode Pierce berdasarkan klinis:
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5 % x berat badan (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8 % x berat badan (kg)
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10 % x berat badan (kg)
 Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis9
Kebutuhan cairan = skor x 10 % x KgBB x 1 liter
15

Tabel 5. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi 9

Klinis Skor

Rasa haus/ muntah 1

Tekanan darah sistolik 60-90 1

mmHg

Tekanan darah sistolik < 60 2

mmHg

Frekuensi nadi . 120 kali/menit 1

Kesadaran apatis 1

Kesadaran somnolen, stupor, 2

atau koma

Frekuensi napas > 30 1

kali/menit

Fasies Cholerica 2

Vox Cholerica 2

Turgor kulit menurun 1

Washer’s woman hand 1

Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2

Umur 50-60 tahun -1

Umur > 60 tahun -2

Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral
(sebanyak mungkin sedikit demi sedikit).9 Bila skor lebih atau sama 3 disertai syok
diberikan cairan per intravena.9
b.Pemberian Makanan
Pemberian makanan dari awal membuktikan menurunkan permeabilitas usus yang
disebabkan oleh infeksi, menurunkan durasi penyakit, dan memperbaiki gizi pasien.2 Hal
ini sangat penting, mengingat faktor komorbid status nutrisi yang buruk yang sering
mendasari kasus diare akut pada negara-negara berkembang.2
Walaupun diet BRAT (banana, rice, apple juice,toast) yang terdiri dari : pisang,
beras, jus apel, roti tawar serta menghindari konsumsi produk susu direkomendasikan,
namun data pendukung terhadap intervensi ini masih terbatas.2 Perintah untuk membatasi
pasien makan makanan keras dalam 24 jam, juga tidak terlalu berpengaruh terhadap
penyakit diare itu sendiri.2
c.Obat Antidiare
Obat antimotilitas seperti loperamid terbukti menurunkan gejala diare dan
penyembuhan secara klinis dalam 24 sampai 48 jam dengan disertai pemberian antibiotik
pada kasus tertentu seperti traveler’s diarrhea. Loperamid merupakan opiat sintetik yang
bekerja pada otot polos usus yang menyebabkan perlambatan dari gerakan usus sehingga
memberikan waktu lebih untuk rearbsorbsi air dan elektrolit. 5 Pemberian loperamid
dimulai dari 4mg kemudian dilanjutkan 2 mg setiap kali diare dengan dosis maksimum 8
mg sehari.5Loperamid memiliki beberapa kontraindikasi pemberian, yaitu pada kasus
diare berlendir darah, pada pasien dengan sistem imun menurun, risiko sepsis maupun
orang lanjut usia dengan penyakit paru kronik. 1
Pemberian loperamid dikombinasikan dengan simetikon terbukti dengan cepat
mengurangi gejala pada kasus-kasus diare akut nonspesifik dengan tuntas.1

d. Antibiotik
Kebanyakan kasus diare akut dapat sembuh sendiri, sehingga penggunaan antibiotik
rutin tidak direkomendasikan pada kasus diare ringan. Penggunaan antibiotik yang
berlebihan justru menyebabkan resistensi, dapat membunuh flora normal usus,
memperpanjang durasi penyakit (pada Clostridium defficile) dan tentunya meningkatkan
biaya pengobatan.2
Indikasi pemberian antibiotik adalah diare akibat infeksi kolera, demam tifoid
maupun paratifoid, shigelosis, diare pada pasien defisiensi imun, dan terkait infeksi
protozoa. 1
Antibiotik golongan florokuinolon merupakan golongan antibiotik yang sering
digunakan untuk diare infeksi pada dewasa. Pada sebuah studi kasus kontrol
perbandingan penggunaan plasebo dan ciprofloxacin terhadap kasus diare, penggunaan
florokuinolon terbukti efektif menurunkan durasi diare pada pasien diare berat.5
Kasus diare terkait dengan perjalanan juga diberikan obat antibiotik. Studi
membuktikan tiga jenis obat berikut efektif menanggulangi kasus diare terkait
perjalanan, yaitu: rifaximin 200 mg selama 3 hari, golongan florokuinolon selama 3 hari,
dan azitromisin dosis 500 mg sehari sekali selama 3 hari.Azitromisin bahkan dapat
digunakan pada kasus diare yang sudah resisten terhadap ciprofloxacin.5
e. Agen antimikroba spesifik1

 Rifaksimin
Antibiotik jenis ini efektif mengurangi diare yang disebakan oleh bakteri
enteropatogen yang noninvasif, yang tidak disertai demam maupun gejala
disentri.
 Azitromisin
Antibiotik jenis ini menyerang semua jenis bakteri enteropatogen yang
menyebabkan diare termasuk pada kasus Campylobacter yang resisten terhadap
ciprofloxacin maupun kasus Shigella.
 Nitazoksanida
Nitazoksanida tergolong efektif dan terbukti untuk pengobatan protozoa seperti
giardia dan kriptospora Obat ini juga mampu membunuh bakteri Clostridium
defficile sehingga diare dan kolitis terkait organisme ini dengan efektif mampu
disembuhkan.
f. Probiotik
Probiotik mempunyai manfaat berupa menstimulasi sistem imun dan berkompetisi
pada binding site di sel epitel usus. Walaupun banyak jenis spesies yang tergolong
probiotik, namun butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek probiotik dengan
strain yang lebih spesifik lagi yang efektif pada kasus diare dewasa.1,5
g. Suplementasi Seng
Penelitian pada anak menyarankan suplementasi seng (20 mg sehari selama 10
hari) sangat bermanfaat untuk penyembuhan dan pencegahan diare akut, khususnya pada
negara berkembang.Penelitian ini juga butuh dievaluasi, tentang pemakaian suplementasi
seng pada populasi dewasa.5

3.2 Dispepsia
3.2.1 Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian
atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut
yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, rasa kembung pada saluran cerna bagian atas, mual, muntah, dan sendawa.11

3.2.2 Epidemiologi

Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya
masalah pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling
umum ditemukan. Dialami sekitar 13% - 40% populasi di dunia setiap tahun. Dispepsia
diperkirakan diderita sekitar 15-40% warga Indonesia. Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Survei yang dilakukan Ari F. Syam dari
FKUI (2001) menemukan bahwa dari 93 pasien yang diteliti, hampir 50% diantaranya
mengalami dispepsia. Survei yang dilakukan pada masyarakat Jakarta pada tahun 2006
oleh Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI yang melibatkan 1645 responden
mendapatkan pasien dengan sindrom dispepsia mencapai angka 60%.12

3.2.3 Klasifikasi
Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu dll) dan
kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis
struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain,kelompok terakhir ini disebut sebagai
dispepsia fungsional.13

Dispepsia berdasarkan gejala klinis menurut Sudoyo (2009) dibagi atas :


1. Dispepsia akibat gangguan motilitas.
Pada dispepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling menonjol adalah
perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah makan, cepat merasa kenyang disertai
sendawa.
2. Dispepsia akibat tukak.
Pasien tukak peptik memberikan ciri-ciri keluhan seperti nyeri ulu hati, rasa tidak
nyaman (discomfort) disertai muntah. Pada tukak duodenum rasa sakit timbul waktu
pasien merasa lapar, rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit
hilang setalah makan dan minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR).
Rasa sakit tukak gaster timbul setelah makan, rasa sakit tukak gaster berada sebelah
kiri dan rasa sakit tukak duodenum berada disebelah kanan garis tengah perut. Rasa
sakit bermula pada satu titik (pointing sign) akhirnya difus bisa menjalar ke
punggung. Ini disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami komplikasi
berupa penetrasi tukak ke organ pancreas.
3. Dispepsia akibat refluks.
Pada dispepsia akibat refluks keluhan yang menonjol berupa perasaan nyeri ulu hati
dan rasa seperti terbakar, harus disingkirkan adanya penyakit kardiologis.

4. Dispepsia tidak spesifik.


Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/epigastric, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakan.
Menurut konsensus Roma III dispepsia fungsional dibagi dua seperti yang tertera
pada Tabel 1 yaitu sindrom Distress Post-prandial (SDP) dan Sindrom nyeri epigastric
(SNE).14 Adanya batasan waktu dalam penegakan dignostik dispepsia fungsional
ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab organik. Sesuai
dengan hal tersebut maka dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat
kronik.13 Perlu juga ditekankan bahwa dispepsia dalam tatalaksana harus dibedakan
antara yang belum diinvestigasi (uninvestigated dyspepsia) dan yang telah diinvestigasi
(investigated dyspepsia). Di mana pada yang telah diinvestigasi istilah dispepsia harus
diikuti dengan penyebabnya. Misalnya, dispepsia karena ulkus lambung, sedang bila
tidak ditemukan adanya kelainan organik yang mendasari atau menjelaskan keluhan
dispepsia, maka dispepsia ini disebut sebagai dispepsia fungsional.15

Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Roma III.14

1. Sindrom Distress Post-prandial (SDP)


Memenuhi salah satu atau kedua syarat berikut :

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, makanan dengan porsi biasa, terjadi
beberapa kali dalam seminggu.

b. Rasa cepat kenyang yang menyebabkan tidak dapat menghabiskan makanan, terjadi
dalam beberapa kali dalam seminggu.

Kriteria suportif:

a. Kembung di perut bagian atas, mual atau bersendawa setelah makan.


b. Dapat terjadi bersamaan dengan Sindrom nyeri epigastrik.

2. Sindrom nyeri epigastrik (SNE)

Memenuhi semua syarat berikut :


a. Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium, intensitas moderat, setidaknya sekali dalam
seminggu

b. Nyeri intermiten

c. Tidak tergeneralisasi atau terlokalisasi ke area lain abdomen.

d. Tidak membaik setelah defekasi atau buang gas.

e. Tidak memenuhi kriteria batu empedu atau kelainan Sfingter Oddi.

Kriteria suportif :

a. Nyeri seperti terbakar, tapi bukan di daerah retrosternal.

b. Nyeri diinduksi atau diredakan dengan makanan, namun dapat terjadi selama puasa.

c. Dapat terjadi bersamaan dengan Sindrom distress post-prandial.

3.2.4 Etiologi

Penyebab terjadinya dispepsia tergantung dari klasifikasinya sendiri. Penyebab


dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak,
keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier.
Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.

Esofago – gastro – duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID,


keganasan
Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik

Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan,


Disfungsi sfinkter Oddi
Pankreas Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,
kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Tabel 3. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional.16


1. Hipersensitivitas visceral

a. Meningkatnya persepsi distensi

b. Gangguan persepsi asam

c. Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik

2. Gangguan motilitas

a. Hipomotilitas antral post prandial

b. Menurunnya relaksasi fundus gaster

c. Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung

d. Refluks gastro-esofageal

e. Refluks duodeno-gaster

3. Perubahan sekresi asam

a. Hiperasiditas

4. Infeksi kuman Helicobacter pylori

5. Stress

6. Gangguan dan kelainan psikologis

7. Predisposisi genetic
Beberapa obat yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia terlihat pada Tabel 4. Pada umumnya
adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga
menyebabkan gastritis.16

Tabel 4. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia.16


Obat-obatan yang dapat
menyebabkan keluhan
dyspepsia
1. Acarbose
2. Aspirin
3. Colchicine
4. Digitalis
5. Estrogen
6. Gemfibrozil
7. Glukokortioid
8. Preparat besi
9. Levodopa
10. Narkotik
11. Niasin
12. Nitrat
13. Orlistat
14. Potassium klorida
15. Quinidine
16. Sildenafil
17. Teofilin

3.2.5 Patofisiologi Dispepsia

A. Dispepsia Fungsional

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi
Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Abdullah dan
Gunawan (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum
sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang
dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini:17
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan
lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang
rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang
lebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.

B. Dispepsia Organik
1. OAINS

Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme.


Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk
prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensive mukosa
lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal.
Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif,
sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan
sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung sehingga kemampuan faktor defensif
terganggu. Sawar mukosa lambung sangat penting untuk perlindungan lambung dan
duodenum. Pada pengguna aspirin terjadi perubahan kualitatif mucus lambung yang
dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin.18

2. Ulkus Peptikum

Ulkus peptikum merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa esophagus,


lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai dibawah epitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi. Menurut definisi, ulkus
peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna baik di jaringan mukosa, sub
mukosa hingga lapisan otot yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus,
lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal juga jejunum. Tukak terjadi bila terjadi
gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam, pepsin atau faktor-faktor lainnya)
dengan faktor defensive (mucus, bikarbonat, aliran darah dan PG), bisa faktor agresif
meningkat atau faktor defensive menurun.15
3.2.6 Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan atau gejala yang
dominan menjadi tiga tipe yakni:19
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus - like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility - like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu
tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat
memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala
lain meliputi nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika
dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap
pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka
penderita harus menjalani pemeriksaan. Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat kita
bedakan dengan sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai
tanda peringatan (alarm symptoms) seperti yang tertera pada Tabel 5 berikut.19

Tabel 5. Alarm symptom sakit perut berulang karena kelainan organik.19


Alarm symptoms sakit perut berulang
karena kelainan organic
1. Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilicus
2. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
3. Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
4. Nyeri timbul tiba – tiba
5. Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
6. Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
7. Disertai perdarahan saluran cerna
8. Terdapat disuria
9. Berhubungan dengan menstruasi
10. Terdapat gangguan tumbuh kembang
11. Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
12. Terjadi pada usia < 4 tahun
13. Terdapat organomegali
14. Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
15. Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

3.2.7 Diagnosis Dispepsia

Dalam menegakkan diagnosis dispepsia menurut Perkumpulan Gastroenterologi


Indonesia (2014), dibutuhkan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang akurat dan
pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi penyakit organik/ struktural/ metabolik.
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional.
Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus gastritis erosif, gastritis, duodenitis dan
proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma lll. Kriteria Roma
lll belurn divalidasi di lndonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk
mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma lll dengan penambahan gejala berupa
kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia
fungsional.11
Dispepsia menurut kriteria Roma lll adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih
gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:11
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium
3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
4. Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma lll
membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan
postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat
tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia. Alur diagnosis dispepsia
tertera pada Gambar 2.11
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra-
lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan adanya
rangsang peritoneal/peritonitis.tumpuan pemeriksaan fisik tertuju pada bagian abdomen.
Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia yang jelas, dan lebam. Auskultasi akan bunyi
usus dan karakteristik motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan
tenderness, nyeri, pembesaran organ dan timpani. Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan
takikardi atau nadi yang tidak regular.19 Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh
lainnya. Perlu ditanyakan perubahan tertentu yang dirasakan oleh pasien, perhatikan
keadaan umum dan kesadaran pasien. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung.
Perkusi paru untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan
terhadap ekstremitas, adakah edema perifer dan dirasakan adalah akral hangat atau
dingin. Lakukan juga pemeriksaan terhadap kelenjar limfa.19
Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya sesuai indikasi atau untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk dispepsia terbagi pada
beberapa bagian:19
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-
tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada
pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga
menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga
suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon),
dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan
menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan. Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan
contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di
bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
3. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp, urea breath test,
dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
Pemeriksaan laboratorium lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan
penyebab organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronik, diabetes mellitus, dan
yang lainnya. Pada dispepsia fungsiaonal biasanya hasil laboratorium dalam batas
normal. USG abdomen dibeberapa senter di Eropa digunakan untuk melihat waktu
pengosongan lambung dengan cara mengukur besar proksimal dari lambung, pada pasien
dispepsia lebih kecil dibandingkan dengan bukan dispepsia. Endoskopi dilakukan untuk
memastikan penyebab dari dispepsia itu sendiri (Rani, 2011). Urea breath test merupakan
pemeriksaan penunjang yang digunakan jika kita mencurigai penyebab dari dispepsianya
adalah karena infeksi Helicobacter pylori. Urea breath test saat ini sudah menjadi gold
standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test yang ada antara lain CO,
breath analyzer. Syarat untuk melakukan pemeriksaan Hp,yaitu harus bebas antibiotik
dan PPI (proton-pumpinhibitor) selama 2 minggu.11

Diagnosis Banding Dispepsia

Beberapa diagnosis banding dispepsia menurut Abdullah (2012) seperti yang tertera pada Tabel
6.

Tabel 6. Diagnosis Banding Dispepsia.17


3.2.8 Tata Laksana Dispepsia

Tata lakana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan
faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan
sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil
investigasi.11

1. Dispepsia belum diinvestigasi


Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4
minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemerikaan adanya Hp. Untuk daerah dan
etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan
lebih awal 4. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung
(PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor
Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan
ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya.
Masih ditunggu pengembanganobat baru yang bekerja melalui down-regulation proton
pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPl, yaitu DLBS
24114. Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat diterapkan
pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.11
Test and treat dilakukan pada:11
a. Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan
gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda
bahaya.
b. Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah
diperiksa.
c. Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
d. Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik
dan defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada:11
a. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
b. Anak-anak dengan dispepsia fungsional

2. Dispepsia yang telah diinvestigasi


Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik,
melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau
tanpa pemerikaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional.Setelah
investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia
ditemukan GERD sebagai kelainannya.11
2.1. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi
dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam
kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik duodenitis,
ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan4. Pada ulkus peptikum (ulkus
gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPl,
misalnya rabeprazole 2x20 mg/ lansoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor,
misalnya rebamipide 3x100 mg.11
2.2. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi
dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan prokinetik
seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat
memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal
ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dispepsia fungsional.11 Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid
oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan obat-obatan
antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia fungsional masih terbatas.
Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang
signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1
dipandingkan placebo.11 Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan
norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo. Gangguan
psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin
merupakan faktor penting dalam .respon terhadap terapi antidepresan pada pasien
dispepsia fungsional.11

3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp


Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap gejala dispepsia.
Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta (2010) didapatkan bahwa terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada
mayoritas pasien dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81%
penernuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT.
Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp
dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7 hari lebih baik
dari terapi selama 5 hari.11

3.2.9 Komplikasi Dispepsia


1. Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal merupakan komplikasi paling umum yang sering terjadi. Hal
ini terjadi pada ± 15% pasien dan lebih sering pada individu > 60 tahun. Insiden yang
lebih tinggi pada orang tua kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan
NSAID dalam kelompok ini.
2. Perforasi
Kejadianperforasi pada orang tuatampaknya meningkat sekunder untuk peningkatan
penggunaan NSAID. Penetrasi adalah bentuk perforasi ulkus dimana terdapat terowongan
ke organ yang berdekatan. Ulkus duodenum cenderung menembus ke posterior pankreas
sehingga menyebabkan pankreatitis. Sedangkan ulkus gaster cenderung menembus ke
dalam hati lobus kiri.
3. Gastric Outlet Obstruksi
Terjadi pada 1-2% pasien. Seorang pasien mungkinmemiliki obstruksi relatif sekunder
untuk ulkus terkait peradangan dan edema diwilayah peripyloric. Proses ini sering
sembuh dengan penyembuhan ulkus. Sebuah obstruksi, tetap mekanik sekunder untuk
pembentukan bekas luka di daerah peripyloric juga mungkin terjadi. Yang terakhir ini
memerlukan intervensi endoskopi atau bedah. Tanda dan gejala obstruksi mekanik relatif
dapat berkembang secara diam-diam. Diagnosis obstruksi onset baru yaitu cepat kenyang,
mual, muntah, sakit perut peningkatan postprandial dan penurunan berat badan.20

3.2.10 Prognosis Dispepsia

Dispepsia fungsional memiliki prognosis baik jika dilakukan pemeriksaan klinis


dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik.13 Menurut Abdullah dan
Gunawan (2012) mengemukakan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis
kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik.
Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia
fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama
yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami
depresi dan gangguan psikiatris.17

3.3 Hypertension Heart Disease (HHD)


3.3.1 Definisi dan Klasifikasi

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015,


penyakit jantung hipertensi merupakan sejumlah kondisi kelainan klinis atau
struktural jantung (yang dapat terjadi pada ventrikel kiri, atirum kiri dan arteri
koroner) karena disebabkan oleh hipertensi arterial.Kelainan tersebut dapat
berkembang menjadi gagal jantung yang ditandai dengan adanya hipertrofi ventrikel
kiri.
Menurut González et al, 2018 penyakit jantung hipertensi didefinisikan
dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri atau disfungsi sistolik dan diastolik pada
ventrikel kiri dengan manifestasi klinis seperti aritmia dan gagal jantung simtomatis
yang muncul pada pasien hipertensi.

Menurut Zipes et al 2019, penyakit Jantung Hipertensi dikalsifikasikan


berdasarkan beratnya komplikasi yang terjadi.

1. Kelas 1 : Disfungsi diastolik Subklinis berdasarkan pemeriksaan echocardiografi


tanpa hipertrofi ventrikel kiri / Pasien asimtomatis dengan relaksasi abnormal atau
kekakuan ventrikel kiri berdasarkan pemeriksaan Doppler echocardiografi. Sering
ditemukan pada pasien hipertensi usia >65 tahun
2. Kelas 2 : Hipertrofi Ventrikel Kiri
2A : dengan kapasitas fungsional yang normal
2B : dengan kapasitas fungsional yang abnormal
3. Kelas 3 : Gagal jantung dengan reduced EF ; contoh: disfungsi sistolik
4. Kelas 4 : Gagal jantung dengan preserved EF ; contoh: disfungsi diastolik

Gambar 1. Klasifikasi Penyakit Jantung Hipertensi


(Sumber: Zipes, et al. 2019)

3.2.2 Etiologi

Penyakit jantung hipertensi disebabkan oleh hipertensi kronik yang meningkatkan


beban kerja jantung dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan
penebalan otot jantung terutama di ventrikel kiri (Hipertrofi Ventrikel Kiri) karena
jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah.
Penebalan otot jantung yang terjadi dapat mengganggu fungsi sistolik dan diastolik pada
jantung.

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi adalah usia,
jenis kelamin, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi garam (> 3 g/hari), kurangnya
aktifitas fisik, konsumsi alkohol, penyakit komorbid (diabetes melitus, CKD), faktor
genetik, dan faktor lingkungan (Tackling et al, 2019; González et al, 2018)

3.3.3 Epidemiologi

Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling umum di


seluruh dunia.Penyakit kardiovaskular menyumbang hamper mendekati 40% kematian di
Negara maju dan sekitar 28% di Negara miskin dan berkembang. Menurut data dari studi
Framingham, 90% orang yang berumur diatas 55 tahun akan mengalami hipertensi
selama masa hidupnya. Hal ini menggambarkan masalah kesehatan publik karena
hipertensi dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular, seperti gagal
jantung kongestif.

Peningkatan tekanan darah salah satunya dipengaruhi oleh usia, peningkatan ini
paling banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan sebelum usia menopause (<55
tahun), tetapi prevalensinya meningkat saat perempuan sudah memasuki usia menopause.
Pada studi Meta-analisis menunjukkan hubungan antara peningkatan tekanan darah
dengan risiko penyakit kardiovaskular yang meningkat karena usia.
 Pada pasien usia 45-54 th 36,1% laki-laki dan 33,2% perempuan
 Pada pasien usia 55-64 th 57,6% laki-laki dan 55,5% perempuan
 Pada pasien usia 65-74 th 63,6% laki-laki dan 65,8 % perempuan
 Pada pasien>75 th 73,4% laki-laki dan 81,2% perempuan

Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan hipertensi diderita oleh
26,5 % penduduk Indonesia usia ≥18 tahun, namun meningkat pada tahun 2018 menjadi
34,1%. Berdasarkan sebaran, wilayah yang tinggi populasi hipertensi adalah Kalimantan
Selatan (44,1%) dan wilayah yang rendah populasi hipertensi adalah Papua (22,2%).
3.3.4 Patofisiologi
Terdapat empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi, antara lain :
1. Volume intravascular
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem
kardiovaskular yang mana patofisiologinya adalah multifaktor. Menurut Kaplan,
hipertensi banyak melibatkan faktor generik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi
hemodinamik. Tekanan darah tinggi merupakan hasil interaksi antara curah
jantung/cardiac output (CO) dan tahanan total perifer/ total peripheral resistance (TPR).
Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekana darah dari
waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi vasodilatasi atau
vasokonstriksi. Bila asupan NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi
garam keluar bersama urin juga akan meningkat. Akan tetapi, jika upaya mengeskresi
garam melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O sehingga
volume intravaskular meningkat. Pada gilirannya curah jantung/cardiac output juga akan
meningkat. Akibatnya, terjadi ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah
akan meningkat. Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara
berangsur curah jantung akan kembali turun menjadi normal kembali akibat adanya
autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR
vasokonstriksi maka tekanan darah akan meningkat.

Gambar 2. Patogenesis hipertensi


2. Kendali Saraf Autonom
Persarafan autonom dibagi menjadi dua macam yaitu sistem saraf simpatis yang
menstimulasi saraf viseral melalui neurotransmiter : katekolamin, epinefrin maupun
dopamin dan sistem saraf parasimpatis yang menghambat stimulasi saraf simpatis.

Gambar 3. Faktor penyebab aktivasi sistem saraf simpatis

Regulasi saraf simpatis dan parasimpatis berlangsung independen tidak dipengaruhi


oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi secara otomatis mengikuti siklus sirkadian.
Terdapat beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak serta dinding
vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1,α2,β1 dan β2. Selain itu, juga terdapat
beberapa pengaruh lingkungan misalnya genetik, stres kejiwaan, rokok dan sebagainya
yang akan menyebabkan terjadinya aktivasi saraf simpatis berupa kenaikan katekolamin
dan nor epinefrin (NE). Selanjutnya, neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut
jantung lalu diikuti dengan kenaikan curah jantung sehingga tekanan darah akan
meningkat. Peningkatan neurotransmiter NE memiliki efek negatif terhadap jantung,
sebab di jantung terdapat reseptor α1,β1,β2 yang akan memicu terjadinya kerusakan
miokard, hipertrofi dan aritmia dengan akibat progresifitas dari hipertensi aterosklerosis.
Karena pada dinding pembuluh darah juga terdapat reseptor α1, maka bila NE meningkat
hal tersebut akan memicu vasokonstriksi sehingga hipertensi aterosklerosis juga semakin
progresif. Selanjutnya, bila NE kadarnya tidak pernah normal maka sindrom hipertensi
aterosklerosis juga akan berlanjut makin progresif menuju kerusakan organ target/target
organ damage (TOD).
3. Sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA)
Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron merupakan salah satu mekanisme yang
berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungsi endotel, inflamasi dan remodeling
pembuluh darah juga hipertensi. Renin yang diproduksi oleh sel juxtaglomerulus ginjal
akan berikatan dengan angiotensinogen yang diproduksi oleh hati, menghasilkan
angiotensin I (AT I). Selanjutnya, oleh angiotensin converting enzyme (ACE) yang
terdapat di paru, jantung dan pembuluh darah , AT I akan diubah menjadi angiotensin II
(AT II). Setelah itu, angiotensin II (AT II) akan bekerja pada reseptor-reseptornya yaitu
T1, AT2, AT3 dan AT4. Faktor-faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem
RAA. Tekanan darah semakin meningkat, hipertensi aterosklerosis semakin progresif.

Gambar 4. Sistem renin angiotensin aldosteron

4. Dinding vaskular pembuluh darah


Hipertensi dapat dimulai dengan adanya disfungsi endotel, lalu berlanjut menjadi
disfungsi vaskular lalu berakhir dengan TOD. Progresivitas sindrom aterosklerosis ini dimulai
dengan adanya faktor risiko yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah
semakin berubah, hipertensi semakin meningkat serta vaskular berubah, dinding pembuluh
darah semakin menebal dan berakhir dengan kejadian kardiovaskular.
Terdapatnya faktor risiko tersebut yang apabila bergabung dengan dengan faktor risiko
lokal seperti faktor genetik maka vaskular biologi akan berubah menjadi makin tebal karena
mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan remodelling, antara lain akibat inflamasi,
vasokonstriksi, trombosis dan ruptur plak/erosi.

Gambar 5. Patofisiologi Komplikasi Hipertensi

Hipertensi kronik dapat menyebabkan komplikasi ke beberapa organ target seperti pada tabel
berikut :
Organ Target Manifestasi
Jantung  Hipertrofi Ventrikel Kiri
 Gagal jantung
 Iskemik jantung dan infark
Cerebrovaskular  Stroke
Aorta dan Vaskular perifer  Aneurisma aorta dan/atau diseksi
aorta
Ginjal  Nefroskelrosis
 Gagal Ginjal
Retina  Papiledema
 Arterial Narrowing

Pada jantung terjadi hipertrofi ventrikel kiri karena kompensasi jantung menghadapi
tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan
konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari
gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi
eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling
melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan
terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik).
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi akibat respons dari miosit yang terstimulasi karena
peningkatan tekanan sistemik. Stimulasi kaskade intraselular mengaktifkan ekspresi gen dan
mendorong sintesis protein sehingga meningkatkan kandungan protein, ukuran kardiomiosit dan
mengaktifkan sarkomer yang menyebabkan meregangnya kardiomiosit. Selain itu mekanisme
humoral lokal juga teraktivasi seperti sekresi hormon katekolamin dan angiotensin II yang
dilepaskan pada keadaan tekanan tinggi dapat memainkan peran dalam mengaktifkan ekspresi
gen yang menyebabkan hipertrofi kardiomiosit melalui reseptor membran yang spesifik.
Gambar 6. Patofisiologi Myocardial Remodelling pada Jantung karena Hipertensi

Hipertrofi ventrikel kiri, iskemia miokard, dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor
utama kerusakan miosit pada hipertensi. Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark
jantung, dll) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard akibat dari hipertrofi ventrikel kiri. Peningkatan afterload sekunder
karena hipertensi mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri dan transmural,
menghambat aliran darah koroner saat diastol. Selanjutnya, pada pasien dengan hipertensi,
mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner epikardial, mengalami disfungsi dan tidak dapat
mengkompensasi peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen. Perkembangan dan
progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit jantung koroner, adalah kerusakan arteri terus-
menerus karena peningkatan tekanan darah. Tekanan yang terus-menerus mengakibatkan
disfungsi endotel, dan menyebabkan kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator nitrit
oxide. Penurunan kadar nitrit oxide menyebabkan dan mempercepat proses arteriosklerosis dan
penumpukan plak.

3.3.5 Gejala Klinis


Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:
 Peningkatan tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa melayang (dizzy), dan
impoten
 Penyakit jantung/vaskular hipertensi seperti cepat capek, sesak napas, sakit dada (iskemia
miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya
adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina, transient
cerebral ischemic.
 Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria,dan kelemahan otot
pada aldosteronism primer; peningkatan BB dengan emosi yang labi pada sindrom
Cushing. Phaeocromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala,
palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri.

3.3.6 Diagnosis

A. Anamnesis

Pemeriksaan awal pasien hipertensi harus menyertakan riwayat lengkap dan


pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko
penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi,
mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa
gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.

Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat
dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap sebagai
gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada pasien dengan
hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di
regio oksipital.
Gejala nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan darah
antara lain adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-
gejala didapati, mereka umum berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau
dengan manifestasi hipertensi sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang
harus diselidiki dalam perolehan riwayat dari pasien hipertensif.

Riwayat Relevan Pasien


Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam merokok, diabetes,
inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan; kelemahan
otot; palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku mendengkur, somnolens siang
hari; gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme; penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan
tekanan darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien; angina, infark
miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain
(Kasper et al, 2015)

B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum, tinggi, berat badan dan
memperhatikan keadaan khusus, seperti: Cushing, Phaeocromositoma, perkembangan tidak
proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada koartasio aorta.
Pengukuran tekanan darah harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi
terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Sebelum
pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan selama 5 menit dalam kondisi hening
dan dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang nyaman. Bagian tengah cuff harus
berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus setara dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar
lengan. Penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2 mmHg/detik)
penting untuk diperhatikan.
Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari sekurang-kurangnya dua ketukan
suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik adalah titik di mana suara Korotkoff
regular terakhir didengar. Dalam praktik saat ini, diagnosis hipertensi umumnya dilandasi
oleh pengukuran dalam kondisi duduk di tempat praktik.
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis,
menggunakan tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat pembacaan
setiap 15-30 menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik tidaklah sering
digunakan secara rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi pasien yang dicurigai
mengalami white coat hypertension. JNC 7 juga telah merekomendasikan pengawasan
ambulatorik untuk resistensi terhadap penanganan, hipotensi simptomatik, kegagalan
otonom, dan hipertensi episodik.
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk menilai
hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Hipertropi ventrikel kiri dapat
terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal yang menguat, bertahan, dan bertempat di
lateral. Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang
ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau sistolik)
dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop
ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat
akibat dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan S4 ditemukan bersama disebut summation gallop.
Paru perlu diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau ronkhi
kering. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, lien, ginjal,
dan ascites. Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus (renal artey stenosis). Areteri
radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis harus diraba. Tekanan darah di betis harus
diukur minimal sekali pada hipertensi usia muda (kurang dari 30 tahun) (Panggabean, 2014).

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium awal:


 Elektrokardiografi : didapatkan Hipertrofi Ventrikel Kiri
 Foto thorax : didapatkan Kardiomegali
 Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, silinder
 Darah lengkap: leukosit, hemoglobin, hematokrit, trombosit
 Elektrolit darah: kalium
 Ureum/kreatinin
 Gula darah puasa
 Total kolesterol

Apabila keuangan tidak menjadi kendala, maka diperlukan pemeriksaan :


 Ekokardiografi
Ekokardiografi dilakukan karena dapat menemukan hipertrofi ventrikel kiri lebih dini dan
lebih spesifik. Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah:
- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
- Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan fungsi sistolik
atau diastolik)
Ekokardiografi doopler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik (gangguan fungsi
relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal, atau tipe restriktif)
 Troponin, CK-MB atau NT-proBNP
 Kalsium dan fosfor
 Trigliserida, HDL, LDL
 TSH

3.3.7 Tatalaksana
1. Non Farmakologis

Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi dan dapat
mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat memperlambat ataupun mencegah
kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1, namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi
obat pada pasien dengan HMOD atau risiko tinggi kardiovaskular.Pola hidup sehat telah terbukti
menurunkan tekanan darah yaitu :
a. Pembatasan konsumsi garam
Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan hipertensi. Konsumsi garam
berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan prevalensi hipertensi.
Rekomendasi penggunaan atrium (Na) sebaiknya tidak lebih dari 2 gram/hari (setara
dengan 5-6 gram NaCl perhari atau 1 sendok teh garam dapur). Sebaiknya menghindari
makanan dengan kandungan tinggi garam.
b. Perubahan pola makan
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang mengandung
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah lemak, gandum, ikan,
dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta membatasi asupan daging
merah dan asam lemak jenuh.
c. Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal
Terdapat peningkatan prevalensi obesitas dewasa di Indonesia dari 14,8% berdasarkan
data Riskesdas 2013, menjadi 21,8% dari data Riskesdas 2018.

Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m2), dan

mentargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2) dengan lingkar pinggang <90
cm (laki-laki) dan<80 cm (perempuan).
d. Olahraga teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi,
sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. Olahraga teratur dengan
intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan TD lebih kecil dibandingkan
dengan latihan intensitas sedang atau tinggi, sehingga pasien hipertensi disarankan untuk
berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobic dinamik berintensitas sedang (seperti:
berjalan, joging, bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.
e. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko vascular dan kanker, sehingga status merokok harus
ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang merokok harus
diedukasi untuk berhenti merokok.

2. Farmakologis
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan
menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa
prinsip dan algoritma terapi telah dikembangkan untuk memberikan rekomendasi praktis
pengobatan hipertensi, yaitu:
A. Bila memungkinkan berikan dosis obat tunggal, pada pasien hipertensi derajat 1 dengan
risiko rendah (TDS < 150 mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dan
berisiko sangat tinggi, pasien dengan usia lanjut ( ≤ 80 tahun) atau ringkih.
B. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua obat.
C. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS blocker (Renin angiotensin
system blocker) yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau diuretic.
D. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEI atau ARB) , CCB,
dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
E. Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten, kecuali ada
kontraindikasi.
F. Kombinasi dua obat penghambat RAS tidak direkomendasikan
G. Lakukan pemantauan efek samping obat dengan teratur.

Salah satu pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa adalah nilai atau
ambang tekanan darah. Target tekanan darah yang dicapai setelah pemberian obat
antihipertensi ditentukan berdasarkan usia dan dengan atau tanpa adanya penyakit penyerta.
Selain itu perlu juga dipertimbangkan hal lain seperti harga obat, efek samping obat serta
frekuensi dan dosis obat agar mencapai target terapi yang efektif dan efisien.

Ambang Batas TD untuk Inisiasi Obat


Gambar 7. Alur Panduan Insiasi Terapi Obat sesuai dengan Klasifikasi Hipertensi

Target tekanan darah berdasarkan usia dan penyakit penyerta


Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan hipertensi saat ini
adalah dengan menggunakan terapi kombinasi pada sebagian besar pasien, untuk mencapai
tekanan darah sesuai target. Bila memungkinkan dalam bentuk single pill combination (SPC),
untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.

Gambar 8. Strategi Penatalaksnaan Hipertensi dan Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi
Menurun

Jangan menggunakan CCB non-dihidropiridin (yaitu verapamil ataudiltiazem).

Ket :ACEi = angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB = angiotensin receptor blocker;


CCB = calcium channel blocker; MRA = mineralocorticoid receptor antagonist.
a
Pertimbangkanangiotensin receptor/neprilysin inhibitordaripadaACEiatau ARB sesuai
ESC Heart Failure Guidelines.
b
Diuretik yang dimaksudadalahthiazide/thiazide-like diuretic.Pertimbangkanloop diuretic
sebagaiobatpilihan lain padapasien edema.
c
MRA (spironolaktonataueplerenon).

Gambar 9. StrategiPengobatanHipertensidanFibrilasi Atrial

Ket :ACEi = angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB = angiotensin receptor blocker;


CCB = calcium channel blocker; CHA2DS2-VASc = Cardiac failure, Hypertension,
Age >75 (doubled), Diabetes, Stroke (doubled) – Vascular disease, Age 65-74 and Sex
category (female); DHP dihidropiridin.
a
CCB non-DHP (yaitu verapamil ataudiltiazem).
Gambar 10. StrategiPengobatanHipertensidanPenyakitArteriKoroner
Ket : ACEi= angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB = angiotensin receptor blocker;
CCB = calcium channel blocker; CVD = cardiovascular disease; MI = myocardial
infarction, BB=beta bloker

Pasien hipertensi dengan gagal jantung, baik heart failure reduced ejection fraction
(HFrEF) maupun heart failure preserved ejection fraction (HFpEF), terapi antihipertensi harus
dipertimbangkan bila TD ≥ 140/90 mmHg. Pada pasien HFrEF obat antihipertensi yang
dianjurkan terdiri ACEi atau ARB dan beta bloker dan diuretik dan/atau jika diperlukan
ditambah antagonis reseptor mineralkortikoid. CCB golongan dihidropiridin dapat ditambahkan
bila target tekanan darah belum tercapai. Pada pasien HFpEF, nilai batas TD dimulainya terapi
dan target TD sama dengan HFrEF.
Pada semua pasien dengan LVH:
a. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah dengan penghambat RAS dikombinasikan dengan
CCB atau diuretic.
b. TDS harus diturunkan hingga sekitar 120-130 mmHg.

Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama, sendiri atau
dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat pompa Na +/Cl- di
tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium. Dalam jangka panjang,
mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide bersifat aman, memiliki efikasi tinggi,
dan murah serta mengurangi kejadian klinis. Mereka memberikan efek penurunan-tekanan darah
tambahan ketika dikombinasikan dengan beta blocker, ACE inhibitor, atau penyekat reseptor
angiotensin. Sebaliknya, penambahan diuretik terhadap penyekat kanal kalsium adalah kurang
efektif.
Dosis biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25 hingga 50 mg/hari. Karena
peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia, resistansi insulin, peningkatan
kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua diuretik hemat kalium, amiloride
dan triamterene, bekerja dengan menghambat kanal natrium epitel di nefron distal. Agen-agen ini
adalah agen antihipertensif yang lemah namun dapat digunakan dalam kombinasi dengan
thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia. Target farmakologis utama untuk diuretik loop
adalah kotransporter Na+-K+-2Cl- di lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya
dicadangkan bagi pasien hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin
serum refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema karena alasan-
alasan lain seperti penatalaksanaan dengan vasodilator yang poten, seperti monoxidil.
Penyekat sistem renin-angiotensin
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan
mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor angiotensin II menyediakan
blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek angiotensin II pada reseptor AT2 yang tidak
tersekat dapat menambah efek hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini adalah agen antihipertensif
yang efektif yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dalam kombinasi dengan diuretik,
antagonis kalsium, dan agen-agen penyekat alfa.
Efek samping ACE inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara lain adalah
insufisiensi ginjal fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan lesi stenotik
pada arteri renalis. Kondisi-kondisi predisposisi tambahan terhadap insufisiensi ginjal yang
diinduksi oleh agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan penggunaan obat-obat
antiinflamasi non steroid.
Batuk kering terjadi pada ~15% pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang
mengkonsumsi ACE inhibitor. Angioedema paling sering terjadi pada individu yang berasal dari
Asia dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding orang Kaukasia.
Hiperkalemia yang disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek samping yang kadang terjadi
baik pada penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor angiotensin.

Antagonis aldosteron
Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan sendiri atau
dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang terutama efektif pada pasien
dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi resistan, dan aldosteronisme primer. Pada
pasien dengan CHF, spironolakton dosis rendah mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah
sakit karena gagal jantung ketika diberikan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional
dengan ACE inhibitor, digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton berikatan dengan
reseptor progesteron dan androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia, impotensi, dan
abnormalitas menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh agen yang lebih baru, eplerenone,
yang merupakan antagonis aldosteron selektif. Eplerenone baru-baru ini disetujui di US untuk
penatalaksanaan hipertensi.

Beta blocker
Beta blocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada pasien
dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya gejala angina. Obat ini
akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan
kronotropik negatif. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian
diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Beta blocker juga menghambat pelepasan renin
di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung. Beta blocker cardioselective (β1) lebih
banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas simpatomimetik intrinsik.
Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah
jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme lain yang
diajukan mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah adalah efek pada sistem
saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif pada pasien hipertensif
dengan takikardia, dan potensi hipotensi mereka dikuatkan oleh pemberian bersama diuretik.
Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta blocker secara selektif menghambat
reseptor 1 jantung dan kurang memiliki pengaruh pada reseptor 2 pada sel-sel otot polos bronkus
dan vaskular; namun tampak tidak terdapat perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker
kardio selektif dan non kardio selektif.
Beta blocker tertentu memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah jelas
apakah aktivitas ini memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung. Beta blocker
tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian kematian mendadak
(sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium rekuren. Pada pasien dengan
CHF, beta blocker telah dibuktikan mengurangi risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas.
Carvedilol dan labetalol menyekat kedua reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider.
Keuntungan potensial dari penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan
hipertensi masih perlu ditentukan.

Penyekat adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah melalui
penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif yang efektif, yang
digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan agen-agen lain. Namun dalam
uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa tidak terbukti mengurangi morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular ataupun menyediakan perlindungan terhadap CHF sebesar kelas-kelas
agen antihipertensif lain. Agen-agen ini juga efektif dalam menangani gejala tractus urinarius
bawah pada pria dengan hipertropi prostat. Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan dengan
reseptor postsinaptik dan presinaptik dan terutama digunakan untuk penatalaksanaan pasien
dengan pheokromositoma.

Agen-agen simpatolitik
Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi perifer dengan
menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada pasien dengan neuropati otonom
yang memiliki variasi tekanan darah yang luas karena denervasi baroreseptor. Kerugian agen ini
antara lain somnolens, mulut kering, dan hipertensi rebound saat penghentian. Simpatolitik
perifer mengurangi resistansi perifer dan konstriksi vena melalui pengosongan cadangan
norepinefrin ujung saraf. Walaupun merupakan agen antihipertensif yang potensial efektif,
kegunaan mereka dibatasi oleh hipotensi orthostatik, disfungsi seksual, dan berbagai interaksi
obat.
Penyekat kanal kalsium
Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui penyekatan L-channel, yang
mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi. Kelompok ini terdiri dari bermacam agen
yang termasuk dalam tiga kelas berikut: phenylalkylamine (verapamil), benzothiazepine
(diltiazem), dan 1,4-dihydropyridine (mirip-nifedipine). Digunakan sendiri atau dalam kombinasi
dengan agen-agen lain (ACE inhibitor, beta blocker, 1-adrenergic blocker), antagonis kalsium
secara efektif mengurangi tekanan darah; namun, apakah penambahan diuretik terhadap
penyekat kalsium menghasilkan penurunan lebih lanjut pada tekanan darah adalah tidak jelas.
Efek samping sepertiflushing, sakit kepala, dan edema dengan penggunaan dihydropyridine
berhubungan dengan potensi mereka sebagai dilator arteriol; edema disebabkan peningkatan
gradien tekanan transkapiler, dan bukan karena retensi garam dan cairan.

Vasodilator Langsung
Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak dianggap sebagai agen lini
pertama namun mereka paling efektif ketika ditambahkan dalam kombinasi yang menyertakan
diuterik dan beta blocker. Hydralazine adalah vasodilator direk yang poten yang memiliki efek
antioksidan dan penambah NO, dan minoxidil merupakan agen yang amat poten dan sering
digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang refrakter terhadap semua obat lain.
Hydralazine dapat menyebabkan sindrom mirip-lupus, dan efek samping minoxidil antara lain
adalah hipertrikosis dan efusi perikardial (Kasper et al, 2015).

Efek Samping Obat Anti Hipertensi


3.3.8 Prognosis
Penyakit Jantung Hipertensi merupakan penyakit kronik progesif yang dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular yang mematikan. Prognosis keseluruhan
penyakit jantung hipertensi bervariasi tergantung pada berbagai faktor salah satunya
manifestasi spesifik dari penyakitnya dan penyakit komorbid lainnya. Manifestasi
spesifik dari HHD seperti gagal jantung atau atrial fibrilasi dapat menyebabkan
peningkatan risiko kematian. Tetapi, dengan pengobatan hipertensi dapat mengurangi
kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa  obat-
obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat
mengatasi  hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien
dengan gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit
jantung hipertensi adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian mendadak.

3.3.9 Komplikasi
Hipertensi berkepanjangan dengan pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan
gagal ginjal (sistolik dan diastolik). Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik menyebabkan
peningkatan permintaan oksigen pada miokardium yang membuat munculnya gejala
angina ataupun iskemik jantung. Hipertrofi juga dapat menyebabkan gangguan pada
kelistrikan jantung yang bisa menyebabkan munculnya atrial fibrilasi.
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan keluhan diare sejak 1 hari SMRS sebanyak lebih dari 3 kali dengan
volume sekitar ¼ - ½ gelas setiap kali BAB, dengan kotoran encer kekuningan tanpa lendir dan
darah. Hal ini sesuai dengan definisi diare, dimana diare adalah peningkatan pengeluaran tinja
dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali
dalam 24 jam. Menurut definisi lain, diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. 2 hari SMRS, pasien mengaku mengonsumsi
buah durian dalam jumlah yang banyak. Menurut etiologi diare dibagi menjadi 2, yaitu infeksi
dan non-infeksi. Pada pasien ini etiologi yang paling mungkin adalah non-infeksi yaitu
intoleransi makanan. Pasien juga mengeluhkan nyeri perut yang hilang timbul dikatakan seperti
melilit terutama saat akan BAB dan terkadang seperti terasa menyesak di ulu hati. Pasien juga
mengeluhkan mual disertai muntah sebanyak 1 kali dengan dengan volume sekitar ¼ gelas tiap
muntah, berisi sisa makanan dan air, tanpa darah maupun lendir. Pasien dengan diare akut
infektif datang dengan gejala khas yaitu: nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang
sering, bisa air, malabsorpsif, atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik. Selain itu,
pasien memiliki riwayat DM dan HHD sejak 3 tahun terakhir dan rutin mengonsumsi obat-
obatan. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi adalah usia, jenis
kelamin, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi garam (> 3 g/hari), kurangnya aktifitas fisik,
konsumsi alkohol, penyakit komorbid (diabetes melitus, CKD), faktor genetik, dan faktor
lingkungan. Pasien memiliki riwayat maag sejak 1 tahun terakhir. Penyebab terjadinya dispepsia
tergantung dari klasifikasinya sendiri. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus
peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik,
dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab
organik. Pada pasien ini dispepsia bisa terjadi karena adanya penyakit sistemik yang
mendasarinya yaitu DM dan HHD atau juga bisa disebabkan oleh faktor stress pekerjaan dimana
pasien merupakan pegawai negeri sipil.

Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum sadar penuh, yang lainnya dalam
batas normal, ditemukan tanda-tanda dehidrasi ringan pada pasien. Pada pemeriksaan fisik
khusus dada, abdomen, ekstremitas dalam batas normal. Pada pasien dewasa yang terkena diare,
sangat penting untuk menilai tanda dehidrasi.9 Pemeriksaan yang dilakukan termasuk denyut
nadi, tekanan darah, turgor kulit, mukosa kering, kelopak mata yang cekung dan capillary refill.3
Adapun derajat dehidrasi: Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB) dengan gambaran klinisnya
turgor kurang, suara serak, pasien belum jatuh dalam presyok sedangkan dehidrasi sedang
(hilang cairan 5-8 % BB) dengan gambaran klinisnya turgor buruk, suara serak, pasien jatuh
dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam. Pemeriksaan abdomen wajib
diperiksa untuk setiap pasien.3 Palpasi superfisial maupun dalam dikerjakan hati-hati untuk
menyingkirkan tanda peritonitis, walaupun nyeri lepas minimal ada pada palpasi dalam pasien
dengan disentri.2
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil darah rutin yaitu leukositosis. Pada pasien
yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare yang berlangsung lebih dari beberapa
hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan darah tepi lengkap
(hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum, ureum dan
kreatinin.9 Pasien dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit
yang normal atau limfositosis.9 Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang
invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan leukosit muda. Sedangkan, pada
kasus salmonellosis, bisa terjadi neutropenia.9 Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa
adanya kekurangan volume cairan dan mineral dalam tubuh.9 Selain itu, ditemukan peningkatan
kadar SGOT dan SGPT dari hasil pemeriksaan kimia darah. SGOT-SGPT yang berada sedikit
diatas normal tak selalu menunjukkan seseorang sedang sakit. Bisa saja peningkatan itu terjadi
bukan akibat gangguan pada liver. Kadar SGOT-SGPT juga gampang naik turun. Mungkin saja
saat diperiksa, kadarnya sedang tinggi. Namun setelah itu, dia kembali normal. Pada orang lain,
mungkin saat diperiksa, kadarnya sedang normal, padahal biasanya justru tinggi. Karena itu, satu
kali pemeriksaan saja sebenarnya belum bisa dijadikan dalil untuk membuat kesimpulan.
(Widjaja, 2009. Jtpt unimus pdf). Dari hasil pemeriksaan EKG ditemukan gambaran ST depresi
di lead V2-V6, I dan aVL. Hal ini menunjukkan adanya infark miokard akut dengan elevasi ST
(ST elevation myocardial infarction =STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner
akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan
elevasi ST.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu IVFD Ringer Laktat loading 500cc (1 kolf)
dilanjutkan IVFD Ringer Laktat 20 tpm. Tujuan terapi adalah rehidrasi. Tatalaksana awal untuk
akut diare adalah rehidrasi, dan sebaiknya diberikan melalui oral. 3 Bila keadaan umum baik tidak
dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari sup
buah,ataupun keripik asin.8 Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi,
penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan istonotik
yang mengandung elektrolit dan gula pati harus diberikan. 2 New Diatabs 2-1-1 tab tiap BAB
cair. Obat antimotilitas terbukti menurunkan gejala diare dan penyembuhan secara klinis dalam
24 sampai 48 jam dengan disertai pemberian antibiotik pada kasus tertentu seperti traveler’s
diarrhea. Injeksi omeprazol 1 amp/12 jam dimana obat yang dipergunakan dapat berupa antasida
dan antisekresi asam lambung (PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau
H2-Receptor Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana
pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya.
Injeksi metoklopramid 10mg/8 jam, penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon,
cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien
dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai
salah satu patofisiologi dispepsia fungsional4. Injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam dimana tujuan
terapi adalah pemberian antibiotik dengan spektrum luas karena adanya tanda infeksi yaitu
peningkatan leukosit namun belum diketahui etiologinya. Novorapid 10-10-10 unit per-subkutan,
untuk mengontrol kadar gula darah agar tetap stabil yang dikombinasikan dengan metformin tab
3x500mg. Pemberian ISDN tab 3x5mg, atorvastatin tab 1x20mg, bisoprolol tab 1x2,5mg,
captopril tab 3x6,25mg dan CPG tab 1x75mg yang bertujuan untuk pengontrolan tekanan darah
dan kadar kolesterol tetap stabil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chamberlain Jeffrey L. Acute Diarrhea in Adults.N Engl J Med2014; 2,26-7.


2. Barr Windy, Smith Andrew.Acute Diarrhea in Adults. Lawrence Family Medicine
Residency 2013; 1-5.
3. Farthing M., Salam M., Lindberg G. Acute Diarrhea in Adult and Childern: A global
Perspective. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines2012; 3-8.
4. Dupont Hebert L.Acute Infectious Diarrhea in Immunocompetent Adults. N Engl J Med2014;2-4.
5. Caeiro Juan Pablo, Dupont Hebert L. Diarrhea in Adults.N Engl J Med 2014:1-2,5-8.
6. Farthing M, Lindberg G. Acute Diarrhea. World Gastroenterology Organisation Practice
Guidelines2008; 2-3,5-7.
7. Agtini Magdarina Destri, Soenarto Sri Suparyati.Situasi Diare di Indonesia. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia 2011;4-5.
8. National Digestive Diseases Information Clearinghouse.Diarrhea. American College
Gastroenterology 2011; 1-4.
9. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Irus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing 2009;352-5.
10. Guyton ArthurC, Hall John E.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta: EGC 2007;864.
11. Simadibrata, M.K., Dadang, M., Abdullah, M., et al. 2014. KONSENSUS NASIONAL:
Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Helicobacter pylori. Perkumpulan Gastoenterologi
Indonesia.
12. Harahap, Y. 2009. Karakteristik penderita dispepsia rawat inap di RS Martha Friska Medan
Tahun 2007. Edisi 2010. (online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14681/1/10E00274.pdf. Diakses tanggal 20
Maret 2020.
13. Sudoyo, A.W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing. Hal: 516-
517 dan 529-533.
14. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta : Media
Aesculapius. Hal: 591-595.
15. Rani, A.A., Simadibrata, K.M., Syam, A.F. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta:
InternaPublishing. Hal: 131-142.
16. Laksono, R.D. 2011. Dispepsia. USU. (online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23015/4/Chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 21
Maret 2020.
17. Abdulah, M. dan Gunawan, J. 2012. Dispepsia. Jakarta : Divisi Gastroenterologi Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 39 (9) : 647-651.
18. Glenda, N.L. 2006. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC. Hal 417-
419.
19. Indra, I. 2013. Dispepsia. USU. (online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38021/4/chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 23
Maret 2020.
20. Valle, J.D. 2011. Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. In Fauci, A.S., et al.
HARRISON’S Principles of Internal Medicine 18th edition Volume 2. USA : McGraw-Hill.
21. Gonzales, A. et al. 2018. Myocardial Remodelling in Hypertension. Sumber:
https://www.ahajournals.org/journal/hyp Diakses pada tanggal 20 Maret 2020.
22. Kasper, D. et al. 2019. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 19. New York : Mc
Graw Hill.
23. Lilly, L. 2016. Pathophysiology of Heart Disease.Edisi 6. Philadelphia :Wolters Kluwer.
24. Lukito, A. et al. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI).
25. Panggabean, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Penyakit Jantung Hipertensi. Edisi VI
jilid I.Jakarta : Interna Publishing.
26. Tackling, G. dan Borhade, M. 2019. Hypertensive Heart Disease.Sumber :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539800/ NCBI Bookshelf. Diakses pada tanggal 20
Maret 2020.
27. Waty, M. dan Hasan, H. 2013. Prevalensi Penyakit Jantung Hipertensi pada Pasien Gagal
Jantung Kongestif di RSUP H. Adam Malik. E-Journal FK USU. 1(1) :1-5.
28. Yogiantoro, M. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Pendekatan Klinis Hipertensi. Edisi VI
jilid I.Jakarta : Interna Publishing.
29. Zipes, et al. 2019. Braunwald’s Heart Disease : Hypertension Heart Disease. Edisi 11.
Philadelphia : Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai