Anda di halaman 1dari 48

koNseP dasaR cOr puLmonaLe

Diposkan oleh _Ly_`s pageS di Rabu, Januari 21, 2009

BAB I

KONSEP DASAR

1. DEFINISI

Cor Pulmonal (CP) adalah suatu keadaan di mana terdapat hipertrofi dan atau dilatasi dari

ventrikel kanan sebagai akibat dari hipertensi (arteri) pulmonal yang disebabkan oleh penyakit

intrinsik dari parenkim paru, dinding thoraks maupun vaskuler paru. Karena itu untuk

mendiagnosa CP maka harus disingkirkan adanya stenosis Mitral, Kelainan Jantung Bawaan atau

Gagal Jantung Kiri yang juga menyebabkan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan. CP dapat

bersifat akut akibat adanya emboli paru yang pasif, dapat juga bersifat kronis. (Yogiarto,M dan

Baktiyasa,B : 2003).

Ini adalah penyakit jantung karena peningkatan tekanan darah dalam pembuluh- pembuluh nadi

paru. Penyakit jantung pulmonal terkadang timbul sekunder dengan penyakit paru- paru seperti

emfisema, silicosis atau fibrosis pulmonal, yaitu darah dialirkan lewat paru- paru dengan sulit.

(F. Knight, John : 1995)

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI

3. ETIOLOGI
Etiologi dari CP secara garis besar dapat dibagi menjadi sebagai berikut :

A. Penyakit Parenkim Paru, Penyakit Paru Obstruktif Menahun (merupakan penyebab

tersering CP kronis), Bronki Ektasis, Sistik Fibrosis, penyakit Paru Restriktif,

Pneumokoniosis, Sarcoidosis.

B. Kelainan Dinding Thoraks dan otot pernapasan, Kiposkoliosis, Amiotrofik Lateral

Sclerosis, Miastenia Gravis.

C. Sindroma Pickwikian dan Sleep Opnea.

D. Penyakit Vaskuler Paru, Emboli paru berulang atau emboli paru pasif, emboli paru yang

masih pasif merupakan penyebab tersering dari CP akut sedangkat emboli paru berulang

dapat menyebabkan CP Kronis, Hipertensi Pulmonal primer, Anemia sel sabit,

Schistosomiosis, Skleroderma.

4. MANIFESTASI UMUM

Istilah ”cor pulmonale” menggambarkan hipertrofi ventrikel kanan yang akhirnya

menyebabkan gagal jantung karena penyakit paru dan hipoksia yang menyertai. Gambaran

klinisnya tergantung pada penyakit primernya juga pengaruhnya terhadap jantung.

Cor pulmanale terutama disebabkan oleh penyakit paru obstruksi kronis. Penyebab lainnya

yang jarang adalah pneumokoniosis, fibrosis paru, kifoskoliosis, hipertensi pulmonal primer,

emboli paru berulang baik subklinis maupun klinis, sindrom Pickwickian, schitosomiasis, dan

infiltrasi kapiler paru obliteratif atau infiltrasi limfatik dari metastase karsinoma.
Gejala- gejala pokok penyakit paru- paru muncul, termasuk batuk- batuk dengan dahak,

sesak nafas, bengek, pembesaran jantung, dan gagal jantung.

5. MANIFESTASI KLINIS

Informasi yang didapat bisa berbeda-beda antarasatu penderita yang satu dengan yang lain

tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan CP.

M CP akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang didapatkan

batuk-batuk, dan hemoptisis.

M CP dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).

M CP dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan jika beraktifitas

(exertional syncope).

M CP dengan kelainan jantung kiri : sesak napas, ortopnea, paroxymal nocturnal dyspnea.

M CP dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta cepat lelah.

M Gejala predominan cor pulmonale yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit

parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi,

kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan,

gejala - gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga

muncul.
M Tanda- tanda cor pulmonale misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel

kanan menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau epigastrium

prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen.

M Gejala- gejala tambahan ialah:

F Sianosis

F Kurang tanggap/ bingung

F Mata menonjol

Berdasarkan stadium :

1. Stadium kompensata diagnosa agar sukar:

F Batuk- batuk berdahak,

F Sesak nafas waktu kerja,

F Bunyi P2 mengeras (tanda tekanan sirkulasi kecil meninggi),

F Pulsasi- pulsasi dio epigastrium (tanda hipertrofi ventrikel kanan)

2. Stadium dekompensata:

F TVJ meninggi,

F Desah sistole SI5 kanan (insufisiensi tricuspidal relatif)


F Hepar membesar

F Edema

F Asites

6. PATOFISIOLOGI

© Cor Pulmonal Acut

Pada emboli paru yang pasif terjadi obstruksi akut yang luas pada pembuluh darah

paru. Akibatnya adalah :

o Tahanan Vaskuler paru meningkat

o Hipoksia akibat pertukaran gas di tengah kapiler – alveolar yang terganggu hipoksia

tersebut akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah arteri paru.

Tahanan vaskuler paru yang meningkat dan vasokontriksi menyebabkan tekanan

pembukuh darah arteri paru meningkat (hipertensi pulmonal).

Hipertensi pulmonal yang terjadi secara akut tidak memberikan waktu yang cukup

bagi ventrikel kanan untuk berkompensasi, sehingga terjadilah kegagalan jantung kanan

akut. Gagal jantung kanan mulai terjadi jika tekanan arteri pulmonalis meningkat tiba-

tiba melebihi 40-45 mmHg. Gagal jantung kanan akut ditandai dengan sesak napas kebal

yang terjadi secara tiba-tiba, curah jantung menurun (low output state) sampai syok, JVP

meningkat, liver yang membengkak dan nyeri, dan bising insufisiensi trikuspidalis.
© Cor Pulmonal Kronis

Seperti yang telah disebutkan, PPOM adalah penyebab tersering CP kronis (lebih dari

50% kasus). Pada penyakit paru kronis maka akan terjadi penurunan vaskuler bed paru,

hipoksia, dan hiperkapnia/asidosis respiratorik. Hipoksia dapat mengakibatkan

penyempitan pembuluh darah arteri paru, demikian asidosis respiratorik. Di samping itu

hipoksia akan menimbulkan polisitemia sehingga viskositas darah akan meningkat.

Viskositas darah yang meningkat ini pada akhirnya juga akan meningkatkan tekanan

pembuluh darah arteri paru akan meningkat. Jadi adanya penurunan vaskuler bed,

hiposia, dan hiperkapnia akan meningkatkan tekanan darah (arteri pulmonal), hal ini

disebut hipertensi pulmonal. Adanya hipertensi pulmonal menyebabkan beban tekanan

pada ventrikel kanan, sehingga ventrikel kanan melakukan mekanisme kompensasi

berupa hipertrofi dan dilatasi. Jiks mekanisme kompensasi ini gagal maka terjadilah gagal

jantung kanan.

Penya

kit paru kronis

Hipoksia

penurunan Vaskular bed asidosis dan hiperkapnia


Polisitemia Hipertensi pulmonal Hipertrofi dan dilatasi Ventrikel

kanan

Cor Pulmonal

Compensata Cor

Pulmonal Decompensenta

7. KOMPLIKASI

a. Emfisema

b. Gagal jantung kanan

c. Gagal jantung kiri

d. Hipertensi pulmonal primer

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

J PEMERIKSAAN EKG

F Biasanya menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan dan abnormalitas atrium kanan.

Sering pula didapatkan aritmia ventrikuler dan atau supra ventrikuler. Poor

progression of R pada sandapan prekordial merupakan tanda yang seringkali

disalahartikan sebagai infark miokard lama.


F EKG menunjukkan deviasi aksis ke kanan dan gelombang P lancip. Gelombang S

dalam tampak pada lead V6. deviasi aksis kekanan dan voltase rendah dapat tampak

pada pasien dengan emfisema paru. Hipertrofi ventrikel kanan jarang kecuali pada ”

hipertensi pulmonal primer”. EKG sering menunjukkan infark miokard. Gelombang

Q dapat muncul pada lead II, III, dan aVF karena posisi ventrikel jantung., tetapi

gelombang Q ini jarang dalam atau dangkal, seperti pada infark miokard. Aritmia

supraventrikuler sering muncul tetapi non spesifik.

F Adanya hipertfofi atrium, ventrikel kanan atau kedua- duanya.

J PEMERIKSAAN FOTO THORAKS

Tanda yang serimg didapatkan adalah :

1. kelainan pada parenkim paru, pleura maupun dinding thorak tergantung penyakit

dasarnya.

2. Pelebaran trunkus pulmonalis pada daerah hilus disertai penurunan gambaran

vaskuler paru drastis di daerah perifer, sehingga menimbulkan gambaran pohon

gundul (pruned tree).

3. Pembesaran ventrikel kanan.

4. Pelebaran Vena Cava Superior.

5. Jika ada emphysema maka diafragma agak rendah, conus pulmonalis melebar

J PEMERIKSAAN LABORATORIUM
F Pada penderita CP pemeriksaan fungsi paru menunjukkan kelainan restriktif atau

obstruksi berat (atau gabungan keduanya). Pemeriksaan AGD dapat menunjukkan

adanya hipoksia dan atau hiperkapnia/asidosis respiratorik. Pada beberapa penderita

CP AGDnya normal pada saat istirahat, tetapi pada saat istirahat, tetapi pada saat

beraktifitas pemeriksaan AGDnya menunjukkan adanya hipoksiaberat disertai

hiperkapnia, hal ini membuktikan bahwa etiologi sesak napasnya adalah kelainan

paru. Pada penderita CP dengan hipoksia yang bermakna (saturasi oksigen arterial £

90%) seringkali menderita polisitemia.

F Polisitemia (hemoglobin dan eritrosit meninggi) akibat PPOM (Penyakit Paru

Obstruksi Menahun). Saturasi oksigen kurang dari 85%; PCO 2 dapat meningkat

atau normal.

F Faal paru menurun, yaitu:

S F.V.C. berkurang (N = 5,80 L)

S F. E. V1 berkurang (N = 4,32 L)

F Analisa gas darah:

S PO2 kurang dari 6o mmHg

S PCO2 lebih besar dari 49 mmHg

F pH darah rendah

F Waktu sirkulasi stadium dekompensata akan memanjang


J PEMERIKSAAN EKOKARDIOGRAFI

Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis CP. Tetapi pada penderita CP dengan

PPOM sebagai penyakit dasarnya, seringkali sulit untuk mendapatkan gambar

ekokardiografi tampak adanya pembesaran (dilatasi) ventrikel kanan, tanpa adanya

kelainan struktur pada jantung kiri. Pada pemeriksaan M mode, katup pulmonal

menunjukkan tanda hipertensi pulmonal. Pemeriksaan ekokardiografi dengan Doopler

dan atau dengan Color Mapping dapat ditunjukkan adanya regurgitasi trikuspidalis dan

katup pulmonal.

J RONTGEN DADA

Radiografi dada menyingkirkan ada tidaknya penyakit parenkim paru dan ventrikel kanan

dan arteri pulmonalis yang menonjol atau membesar.

J PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Tes fungsi paru biasanya dapat mengkonfirmasi penyakit paru yang mendasari.

Ekokardiogram diharapkan menunjukkan ukuran dan fungsi ventrikel kiri normal tetapi

ventrikel kanan dilatasi. Scan paru perfusi jarang memberikan manfaat, jika negatif

dapat untuk menyingkirkan emboli paru, suatu penyebab cor pulmonale yang cukup

sering. Angiografi pulmoner merupakan metode diagnosis yang paling spesifik untuk

adanya emboli paru, tetapiu cara ini meningkatkan risiko jika dilakukan pada pasien

dengan hipertensi pulmonal.

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
F Terapi ditujukan pada proses- proses paru yang menyebabkan gagal jantung kanan.

Pemberian oksigen, pembatasan garam dan cairan, dan diuretik tetap dilakukan;

digitalis tidak diperlukan untuk gagal jantung kanan kecuali jika ada fibrilasi atrial.

F Istirahat

F Atasi infeksi saluran nafas

F Memperbaiki ventilasi

F Bronkodilator

F Aspirasi sekret bronkus

F O2 (1- 3 1/m)

F Jika dekompensasi diberikan; digitalis, diuretik, dan diet yang rendah garam. Pemberian

digitalis harus berhti- hati, karena dalam keadaan hipoksia, dan kalium yang rendah

mudah terjadi, sehingga mudah terjadi asidosis respiratorik dan alkalosis metabolik,

dan bahaya intoksikasi lebih besar.

F Antibiotik sering diberikan, dan dalam keadaan terpaksa juga diberikan oksigen dengan

alat pernafasan khusus supaya oksigen cukup didalam darah.

Read more: http://sely-biru.blogspot.com/2009/01/konsep-dasar-cor-


pulmonale.html#ixzz1AWdDOybJ
Browse » Home » ASKEP DALAM » Askep PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)

Askep PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)

Download Askep Kapuk Online Update ASKEP DALAM Saluran Nafas tentang Askep PPOK

(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)

BAB I

KONSEP DASAR

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif, artinya

penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke

tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor

berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan

atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi,

genetik dan perubahan cuaca.


Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang memugkinkan

adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar paru seperti sinusitis

dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin

lebih cepat terjadi. Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-faktor

tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.


Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis

kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan

dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.

Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi paru

berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya penyempitan saluran

napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu.

BAB II

TINJAUAN TEORI

I. DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk

sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi

terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang

membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema

paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)?.


Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan

Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah "Chronic obstructive airway disease " dan

"ChronicObstructive Lung Diseases (COLD)"

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Anatomi fisiologi Paru-paru

Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung

(gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan

endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi

pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya

gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :

1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus

media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.

2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap

lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.


Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5

(lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah

segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen

pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang

bernama lobulus.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi pembuluh-

pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah

bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini

disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya

antara 0,2 - 0,3 mm.

Letak paru-paru.

Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada ba-

gian tengah iiu tcrdapal lampuk paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan terletak jantung.

Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):

1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus

paru-paru.

2. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan

normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan

juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura),

menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak.

Pembuluh darah pada paru

Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal ventrikel kiri,

Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil

dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran

melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri

bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah

pulmonal yang relatif kekurangan oksigen.

Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah

yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh

saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan

kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan

udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler.


Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan sejajar

dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah

mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis

dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai

persediaan darah ganda.

Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya.

Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-

dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi

paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,

2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l

Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter

3. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita

bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 - 18 x/menit, Anak-

anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan

tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah

cepat dan sebaliknya.


Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas dengan tiba-

tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar

bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin. Pengeluaran

napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam hal ini udara keluar dari

hidung dan mulut

III. KLASIFIKASI

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut;

Bronkitis kronik

Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak,

sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun

berturut-turut.

Etiologi

Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :

1. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.

2. Alergi

3. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll


Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat

tubuh, yaitu :

1. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun

pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah

terjadi.

2. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat

menyerang dinding bronchus.

3. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding

bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus sehingga

drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri

Patofisiologi

Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai

eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus,

seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis

kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1

tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.


Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi

(terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan

menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.

Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :

1. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan

meningkatkan produksi mukus.

2. Mukus lebih kental

3. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh

karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan

kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan

menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat.

4. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal)

dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus

yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran

udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar,

tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.

5. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama

selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian

distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia

dan asidosis.
6. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul,

dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai

PaCO2.

7. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia

(overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang

hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.

8. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan

FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya

menuju penyakit cor pulmonal dan CHF

Emfisema paru

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang

ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis,

yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan

kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka

keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation".

Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu:

1. Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan

saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung

alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.

Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.

2. Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada

posisi istirahat normal selama ekspirasi.

3. Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk

suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray.

4. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi

secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas

Tipe Emfisema

Terdapat tiga tipe dari emfisema :

1. Emfisema Centriolobular. Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan

bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus

tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa.


2. Emfisema Panlobular (Panacinar). Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan

biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar

emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.

3. Emfisema Paraseptal. Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan

isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab

dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi

enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi

pulmoner, seringkali Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.

Patofisiologi

Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana

akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari

perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya

destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan

elastisitas recoil.

Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs)

dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan

ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja
nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan

pertukaran oksigen dan karbon dioksida.

Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi

oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai

dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan

dengan bronchitis kronis dan merokok

Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang

trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai

penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme

Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang mungkin disebabkan oleh

berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan,
atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah

yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe

IV. ETIOLOGI

Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang

terdapat pada penderita antara lain:

1. Merokok sigaret yang berlangsung lama

2. Polusi udara

3. Infeksi peru berulang

4. Umur

5. Jenis kelamin

6. Ras

7. Defisiensi alfa-1 antitripsin

8. Defisiensi anti oksidan

Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat

dan faktor merokok dianggap yang paling dominan


V. PATOFISIOLOGI

Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas

jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan

kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.

Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat

oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya

dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh

berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.

Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga

menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi

obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal

fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi

banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping).

Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya

obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan
pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun

perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).

VI. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:

1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).

2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

1. Kelemahan badan

2. Batuk

3. Sesak napas

4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi

5. Mengi atau wheeze

6. Ekspirasi yang memanjang

7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut

8. Penggunaan otot bantu pernapasan

9. Suara napas melemah


10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal

11. Edema kaki, asites dan jari tabuh

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan radiologist

Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel,

keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus

yang menebal.

2. Corak paru yang bertambah

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:

3. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula.

Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.

4. Corakan paru yang bertambah.

5. Pemeriksaan faal paru


Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan

KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM

(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate),

kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih

jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas

kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli

untuk difusi berkurang.

2. Analisis gas darah

Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi

vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik

merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi

umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan

merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

3. Pemeriksaan EKG

Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor

pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.

Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering

terdapat RBBB inkomplet.

4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.

5. Laboratorium darah lengkap


VIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi

juga fase kronik.

2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.

3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,

menghindari polusi udara.

2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak

perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab

infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.

4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid

untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.

5. Pengobatan simtomatik.

6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran

lambat 1 - 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.

2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling

efektif.

3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran

jasmani.

4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali

mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)

1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara

2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :

1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi

Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka

digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin

(amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya

adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase

Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada

pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan

membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari

selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda

pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.


2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia

dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2

3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.

4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya

golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan

salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam

dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.

3. Terapi jangka panjang di lakukan :

1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari

dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.

2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien

maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi

faal paru.

3. Fisioterapi

4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik

5. Mukolitik dan ekspektoran

6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan

PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)

Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk

itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

IX. KOMPLIKASI
1. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan

nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,

penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.

2. Asidosis Respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara

lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

3. Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan

rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan

meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

4. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi

terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan

dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami

masalah ini.

5. Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.

6. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini

sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher

seringkali terlihat.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK

Dari seluruh dampak di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif

baik bio, psiko, sosial dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari pengkajian sampai evaluasi.

Pengkajian

Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit

sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat

kesehatan dari proses penyakit:

1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?

2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?

3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?

4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?

5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?


6. Riwayat merokok?

7. Obat yang dipakai setiap hari?

8. Obat yang dipakai pada serangan akut?

9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?

Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:

1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?

2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?

3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?

4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?

5. Barrel chest?

6. Apakah tampak sianosis?

7. Apakah ada batuk?

8. Apakah ada edema perifer?

9. Apakah vena leher tampak membesar?

10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?

11. Bagaimana status sensorium pasien?

12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?

13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :

1. Chest X-Ray :

Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang

udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan


bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi

(asthma)

2. Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea,

menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,

memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal :

bronchodilator.

3. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada

emfisema.

4. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema

5. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas

vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.

6. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan

PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali

menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan

sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).

7. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps

bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus

(bronchitis)

8. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil

(asthma).

9. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada

emfisema primer.
10. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,

pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.

11. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia

(bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema),

axis QRS vertikal (emfisema)

12. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan,

mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.

14. Palpasi:

1. Palpasi pengurangan pengembangan dada?

2. Adakah fremitus taktil menurun?

15. Perkusi:

1. Adakah hiperesonansi pada perkusi?

2. Diafragma bergerak hanya sedikit?

16. Auskultasi:

1. Adakah suara wheezing yang nyaring?

2. Adakah suara ronkhi?

3. Vokal fremitus nomal atau menurun?

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:


1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan

produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi

bronkopulmonal.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan

iritan jalan napas.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan

kebutuhan oksigen.

5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.

7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya

pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap

kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi,

tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.

10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui

sumber informasi.

Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:

1. Gagal/insufisiensi pernapasan

2. Hipoksemia

3. Atelektasis
4. Pneumonia

5. Pneumotoraks

6. Hipertensi paru

7. Gagal jantung kanan

Intervensi Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan

produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi

bronkopulmonal.

1. Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien

2. Intervensi keperawatan:

1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.

2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan

diafragmatik dan batuk.

3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau

IPPB

4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan

malam hari sesuai yang diharuskan.

5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol,

suhu yang ekstrim, dan asap.


6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada

dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum,

kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada,

keletihan.

7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.

8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap

influenzae dan streptococcus pneumoniae.

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi

dan iritan jalan napas.

1. Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien

2. Intervensi:

1. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir

dirapatkan.

2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.

Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan

tingkat toleransi pasien.

3. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika

diharuskan.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi

1. Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas

2. Intervensi keperawatan:

1. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .

2. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.


3. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan

waspada kemungkinan efek sampingnya.

4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu

mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.

5. Pantau pemberian oksigen.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan

kebutuhan oksigen.

1. Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas

yang mungkin.

2. Intervensi keperawatan:

1. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.

2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3

menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.

3. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan

treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti

berjalan perlahan.

4. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan

berdasarkan pada status fungsi dasar.

5. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program

latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.

6. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama

menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.


7. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring

lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.

8. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien

melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan

istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.

9. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu

diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,

kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.

1. Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

2. Intervensi keperawatan:

1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan

makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

2. Auskultasi bunyi usus

3. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.

4. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.

5. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.

6. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.

7. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.

1. Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi

2. Intervensi keperawatan:

1. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.


2. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga

untuk melakukan tindakan tersebut.

3. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.

4. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.

5. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan

upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

1. Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri

2. Intervensi:

1. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas

seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.

2. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat,

istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea

berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.

3. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.

8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap

kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

1. Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan

2. Intervensi keperawatan:

1. Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada

perawat.

2. Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.


3. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami

sesak.

9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi,

tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.

1. Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.

2. Intervensi keperawatan:

1. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang

ditujukan pada pasien.

2. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala

3. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.

4. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.

5. Tingkatkan harga diri klien.

6. Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat

menumpuk.

10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui

sumber informasi.

1. Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya.

2. Intervensi keperawatan:

1. Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek;

ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.

2. Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang

sumber-sumber kelompok.
DAFTAR PUSTAKA

1. Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.

2. Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta:

Balai penerbit FKUI

3. Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made

Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC

4. Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin

Asih, edisi 6, Jakarta: EGC

5. G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.

6. Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page :

346-379.

7. Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging,

second edition, Churchil Livingstone, page :122.

8. Harrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.

9. Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta8.20003,

hal :1347-1353.

10. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal : 480-482.

11. Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan,

alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung,

Bandung.
12. Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.

13. Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-

993.

14. Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC

15. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI

16. Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih

bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC 15.

17. Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai