Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhamad Tofik Mubarok

Kelas : Pengantar Tasawuf – AFI 2A

NIM : 11200331000027

Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara kita mendekatkan diri kepada
Allah SWT.. Namun dalam perjalanannya tasawuf seringkali dianggap menyesatkan dan bertolak
belakang dengan ajaran Islam. Tasawuf adalah bid‟ah, mereka menganggap tasawuf adalah
ajaran yang mengada-adakan teori dan praktik yang sebenarnya tidak ada dalam Islam. Bahakan,
tasawuf seringkali disebut sebagai suatu aliran sesat yang menyesatkan, karena dianggap tidak
sesuai dengan syariat Islam, dan ingin mengancurkan Islam dari dalam.

Untuk menjawab segala tuduhan itu, para ahli tasawuf kemudian dengan segera
menujukan sumber-sumber dalil dari ajaran mereka, baik itu berupa ayat Al-Qur‟an maupun Al-
Hadits. Misalnya, Firman Allah Swt dalam Surah Al-A‟raf ayat 172, yang artinya sebagai
berikut.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan).”

Menurut Armyn Hasibuan (2017: 82), ayat ini mengandung nilai ketasawufan yang
diungkapkan baik secara implisit maupun eksplisit. Nilai ketasawufan dalam ayat ini secara
implisit bertema hakikat jati diri manusia, sedangkan secara eksplisit adalah peran manusia untuk
menepati janji dengan Allah dan dengan manusia di seluruh segmen kehidupannya. Menurutnya
ayat ini menunjukkan bahwa manusia pada hakikatnya sudah memiliki kontrak perjanjian
dengan Allah swt. dia mesti mengimani-Nya dan mentauhidkan-Nya yakni menomor satukan
Allah disemua hal. Inilah hakikatnya yang harus dipahami untuk lebih menumbuhkembangkan
akidah dan ibadah dalam diri seorang muslim.
Dalam ayat yang lain, Allah SWT. menegaskan bahwa di antara tugas Nabi adalah yang
terangkap dalam Surah Ali „Imran ayat 164, yang artinya,

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah
mengutus seorang Rasul (Muhammad) ditengah-tengah mereka dari kalangan mereka
sendiri; yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur‟an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun
sebelumnya, mereeka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Haidar Bagir (2019:55) berpendapat bahwa, makna penyucian hati disini tentunya terkait
dengan “pembersihan hati” atau tazkiyah al-nafs. Dari ayat inilah yang kemudian, para sufi
menegaskan pentingnya membersihkan jiwa bagi seorang muslim, yang menjadi landasan utama
bagi ajaran tasawuf.

Dalam ayat lain, Haidar Bagir (2019: 58) juga menunjukan ayat yang menceritakan
bahwa suatu ketika Nabi Saw. meminta kepada Khadijah untuk menumpukan bebrapa selimut
sekaligus untuk menutupi tubuhnya yang menggigil hebat.

“Wahai yang berselubung selimut, berjagalah dalam sebagian malammu meskipun


sedikit, atau setengah dari (malam), atau sebagian darinya atau tambahkan atasnya dan
bacalah Al-Qur‟an dengan bacaan yang benar”. (QS Al-Muzzammil [73]:1-4).

Menurutnya, pada kenyataannya, Al-Qur‟an justru secara spesifik menunjukan adanya


sekelompok orang dari kaum Muslim yang oleh para pendukung tasawuf dianggap menampilkan
potret para sufi yang sebenarnya. Hal ini ditegaskan dalam ayat berikutnya.

“Sesungguhnya Rabb-mu mengetahui engkau berjaga selama dua pertiga malam, atau
setengah dari itu. Engkau dan sekelompok orang yang bersamamu.”. (QS Al-Muzzammil [73]:
20).

Selanjutnya ayat yang lain mengajarkan:

“Dan sebutkan dalam dzikir nama Tuhanmu serta beribadahlah kamu kepada-Nya dengan
ibadah yang sebenar-benarnya.”. (QS Al-Muzzammil [73]:8).
Haidar Bagir kembali menegaskan, bahwa ibadah yang diaksud dalam ayat tersebut
adalah ibadah yang berlandaskan ihsan, yang juga diajarkan dalam tasawuf.

Setelah menukil beberapa ayat Al-Qur‟an, selanjutnya marilah kita coba untuk melihat
landasan ajaran tasawuf dalam perspektif hadis. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Alif.id
(menukil dari kitab Sabilus Salikin) ,menyebutkan bahwa umumnya yang dinyatakan sebagai
landasan dan dasar ajaran-ajaran tasawuf adalah hadis-hadis berikut;

“Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya”.(Ihyâ‟


„Ulûm al-Dîn, juz 4, halaman: 301)

“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunji, maka Aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku”.(Atsar al-Ahâdîts al-Dha‟îfah wa al-Maudhu‟ah fi al-„Aqîdah
Abd. Rahman Abd. al-Khaliq, juz 1, halaman: 15, Tafsîr al-Alusi, juz 19, halaman: 418)

“Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan


sunnat sebingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku
pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk
melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk
mengepal, dan kakinya yang dia pakai unluk berjalan, maka dengan-Ku lah dia
mendengar, melihat berbicara, berpikir, mengepal, dan berjalan,” (Jâmi‟ al-„Ulum wa al-
Hukum, juz 1, halaman: 365)

Hadis di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu sebagai sebuah
pertalian antara Makhluk dan Sang Khalik. Diri manusia dapat melebur dalam diri Tuhan, yang
selanjutnya dikenal dengan istilah fana‟, yaitu fana‟-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada
Tuhan sebagai yang dicintainya.

Menurut Imam Al-Ghazali (2017:x), mahabbah (cinta kepada Sang Khalik) merupakan
tingkatan maqam puncak dari tingkatan dalam tasawuf. Tidak ada lagi tingkatan setelah
mahabbah, selain hanya sekedar efek sampingnya saja seperti rindu (syauq), mesra (uns), dan
rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum
mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju kearah mahabbah, seperti
taubat, sabar, zuhud, wara, dan lainnya. Hal itu ditegaskan dalam hadis berikut ini;
“Berzuhudlah terhadap dunia maka Allâh akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang
ada di tangan orang lain maka mereka akan mencintaimu”, (Sunan Ibn Majjah, juz 3,
halaman :1373).

“Jika Allah mencintai seorang hamba. Maka Dia akan memanggil Jibril dan berkata,
„Sesungguhnya Aku mencintai fulan. Maka cintailah dia. „Dan Jibril pun mencintainya.
Kemudian Jibril berseru di langit dengan berkata, „Sesungguhnya Allah mencintai fulan,
Maka cintailah dia. „Dan penduduk langit pun mencintainya. Lalu dia akan diterima di
bumi.”.(HR. Bukhari)

Tasawuf sebagai sebuah ajaran yang bertolak dari Islam, begitu mementingkan aspek
cinta dalam setiap ajarannya. Tasawuf menunjukan kepada kita, betap Islam merupakan agama
cinta yang penuh kasih sayang, sekaligus rahmat bagi semesta alam. Untuk itulah sekiranya,
dalil-dalil di atas perlu dipahami tidak hanya sebatas literal semata, namun juga dengan
pemahaman dan rasa cinta yang menyeluruh terhadap Allah SWT. Karena dengan begitu, maka
dengan senantiasa, Allah SWT. pasti akan menunjukan kepada kita jalan yang lurus, jalan
seorang hamba yang mencintai Tuhannya.

Sumber :

Bagir, Haidar.Mengenal Tasawuf : Spriritualisme dalam Islam. Jakarta Selatan : Penerbit Noura
Book. Cet. II. 2019

Hasibuan, Amryn. Nilai Tasawuf dalam Al-Quran dan Hadis : Restorasi Pemikiran Dakwah.
HIKMAH, Volume 11 Nomor 1, Juni 2017, h. 75-98

https://alif.id/read/redaksi/sabilus-salikin-5-dasar-hadis-tarekat-b205100p/ dilihat pada tanggal


15 Maret 2021, pukul 3:07 WIB

AMP2 Community (Tim Penyusun). Potret Tasawuf Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits.
Jurusan Tasawuf Psikoterapi Fakultas Ushuluddin : Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung. 2017

Anda mungkin juga menyukai