lepas dari suatu proses pemikiran dan kontemplasi atau perenungan yang mendalam.
Pemikiran dan perenungan tersebut juga tidak lepas dari berbagai peristiwa yang ada di
Terkait dengan itu, Aristoteles meminjam istilah mimesis dari Plato, mengatakan
kreatif. Seorang seiman mengambil inspirasi dari alam sambil menciptakan sesuatu yang
naskah lakon (drama) adalah peniruan perbuatan dan peristiwa. 2 Oleh karena itu, dalam
naskah lakon ada action, yang membayangkan manusia berbuat sesuatu, yang
mengakibatkan peristiwa tertentu; atau, ada peristiwa tertentu yang mendorong manusia
berbuat sesuatu.3
Dari pandangan tersebut, pembicaraan karya drama secara sosiologis tidak dapat
dipisahkan dengan konteks sosial budaya masyarakatnya atau pendukung lakon tersebut.
1
Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Jakarta: Kanisius, 1986), 32.
2
Richard Levin, Tragedy: Plays, Theory, and Criticism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.,
1960), 131-144, periksa dalam Bakdi Soemanto, Jagat Teater, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), 332.
3
Soemanto, 2001, 332.
Nur Sahid menyebutkan bahwa seberapa pun besarnya unsur imajinatif suatu drama,
namun ia tetap berkaitan dengan suatu nilai sosial dari masyarakat. Dapat dipastikan
untuk karyanya. Dalam hal ini tidak ada karya seni manapun yang berfungsi dalam
situasi kosong.4
mengungkapkan cerita lewat dialog-dialog atau percakapan para tokoh. Definisi itu bisa
penggambaran dari action.5 Hal ini sesusai dengan pendapat Balthazar Verhagen dalam
Harymawan, drama adalah suatu kesenian menggerakan tubuh yang dimaksudkan untuk
Drama sering dihubungkan dengan teater. Teater mempunyai makna yang luas
dibandingkan dengan drama, dan drama juga dimasukkan dalam pengertian teater.
Herman J. Waluyo menyebutkan teater itu bisa drama, gedung pertunjukan, panggung,
bisa juga sebagai bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak.7
disajikan berupa dialog atau percakapan para tokoh baik yang dipentaskan maupun
4
Nur Sahid, Sosiologi Teater (Yogyakarta: Prastista, 2008), 100.
5
Soemanto, 2001, 3.
6
RMA., Harymawan, Dramaturgi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), 2.
7
Herman J. Waluyo, Drama, Teori dan Pengajarannya (Yogyakarta: Hanindita, 1986), 2.
Sebagaimana diketahui drama mengangkat masalah kehidupan, sedangkan
kehidupan manusia merupakan suatu proses sosial atau suatu kenyataan sosial.
dilakukan pengarang dalam karyanya bisa sebagai bentuk usaha menanggapi realitas di
mempunyai objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat, perbedaanya terletak pada
drama memfokuskan penghayatan melalui perasaan. Maka dari itu, sosiologi dan drama
masalah sosial.
masalah kehidupan di masyarakat yang sedang terjadi. Melalui membaca atau menonton
karya drama akan mendapat informasi tentang keadaan sosial yang belum pernah
drama. Di samping itu, pengarang juga mengajak pembaca atau penonton untuk melihat,
merasakan, dan menghayati kehidupan di dunia ini seperti yang dirasakan pengarang
melalui karyanya.
8
Sahid, 2008, 100.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa dalam tinjauan
sosiologi drama terhadap drama Hikayat Cantoi khususnya dari sudut pandang struktural
genetik ada dua hal yang penting mendapat perhatian. Pertama, latar belakang sosial
budaya dan seni pertunjukan di Aceh. Kedua, latar belakang penciptaan drama Hikayat
Secara geografis Aceh berada pada posisi paling barat Nusantara Republik
Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra
Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah
tenggara dan selatan. Propinsi Aceh melintang dari barat laut ke tenggara, dan dibelah
menjadi dua oleh rangkaian bukit barisan. Sebelah barat penggunungan terletak daerah
sempit dengan hutan yang lebat, dipenuhi bukit dan daerah yang curam di tepi laut.
Daerah yang subur dan terhampar luas adalah daerah sebelah timur yang menjadi daerah
Dapat dikatakan bahwa Literature yang secara gambalang bisa menjadi rujukan
mengenai asal-usul keberadaan masyarakat Aceh masih sangat terbatas. Namun, ditinjau
dari segi bahasa yang memiliki perbedaan dengan bahasa daerah di sekitarnya, dapat
diduga bahwa asal-usul suku bangsa Aceh telah mengalami banyak percampuran.
Dilihat dari berbagai aspek kehidupan, tampak ada pertautan antara masyarakat Aceh
9
Teuku Syamsuddin, “Kebudayaan Aceh” dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”,
ed.Koentjaraningrat (Jakarta: Djambatan, 2002), 229-247.
dengan kebudayaan Hindu, meskipun pengaruh kebudayaan tersebut hamper tidak
terlihat sama sekali semenjak zaman Kesultanan Islam.10 Sebagai contoh misalnya
penamaan kawasan seperti Indrapuri, Indra Patra, masih dapat ditemukan hingga
sekarang. Selain itu, upacara Peusijuek11 atau tepung tawar, atau upacara tolak bala,
yang dilakukan di pantai masih dapat ditemukan, yang dilakukan pada uroe rabu abeh
(hari rabu habis bulan safar) terutama di kawasan Aceh bagian Barat.
Penduduk Aceh dibagi menjadi penduduk pegunungan yaitu Gayo dan Alas, dan
penduduk pesisir pantai yang merupakan hasil berabad-abad dari perkawinan antar
Batak, Dravidian, India Selatan, Jawa, Arab, Cina dan Minangkabau yang kemudian
Pada sensus nasional terakhir tahun 2005 Aceh memiliki 4.031.589 penduduk.
Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh
Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Luwes, Aceh Tamiang,
Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa,
Pidie Jaya, Subulussalam); 142 kecamatan wilayah dan 5596 gampong (desa). Jumlah
wilayah.13
10
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Balai Pustaka 1991), 45-
47.
11
Peusijuek merupakan upacara selamatan (biasa dipergunakan dalam penyambutan tamu yang
diistimewakan, pengantin baru, pulang dari rantau, khitanan, masuk rumah baru, dll). Dalam perkembangannya proses
peusijuek kemudian menggunakan doa-doa secara Islam.
12
Syamsuddin, 2002, 229-247.
13
Lihat http//www.nad.go.id.
Provinsi ini menurut data sensus 2005, memiliki sekitar empat juta populasi dan
bermacam-macam hasil alam yang memiliki potensi untuk pengembangan ekonomi. Hal
ini dilihat dari tanah pertanian yang shbur untuk menanam rempah-rempah, lada dan
buah-buahan; hutan-hutan, perikanan dan perairan beserta minyak dan gas alam cair,
dengan banyak jenis mineral termasuk sebuah emas merah yang terkenal. Hingga kini
hutan-hutan berkisar 75 persen dari tanah dan 2.47 persen diolah oleh pemiliknya secara
pertambangan.
yang strategis, terletak di persimpangan jalan laut yang ramai, yang menghubungkan
Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan. Tepat di persimpangan dua budaya besar dunia,
India, dan Cina. Mengingat posisi Aceh yang berada di ujung barat nusantara, negeri ini
juga menjadi gerbang pertama yang harus dilalui jamaan haji ketika berangkat ke tanah
suci melalui jalur laut. Maka negeri ini pun sempat memiliki julukan yang terkenal
Untuk memahami masyarakat Aceh, perlu ditinjau sekilas sejarah yang selalu
dibanggakan masyarakatnya. Oleh karena posisi geografis yang amat strategis untuk
14
Sebagai contoh tulisan Nazaruddin Syamsuddin juga menggunakan istilah ini untuk menunjuk Aceh.
Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh
1945-1949 (Jakarta: UI-Press, 1999).
sehingga mereka banyak bersentuhan – dan juga bertikai – dengan berbagai bangsa di
dunia.
Sultan Iskandar Muda di abad ke-17. Aceh saat itu tidak hanya dikenal di bumi
Nusantara tetapi juga di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Mungkin hanya Aceh satu-
satunya kerajaan di bumi Nusantara yang pada tahun 1600an sudah menjalin hubungan
diplomatic dan perdagangan dengan Kerajaan Turki, Kerajaan Belanda dan Kerajaan
Inggris serta merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, bersama
dengan Kerajaan Isfahan (Iran), Kerajaan Maroko, Kerajaan Agra (India), dan Kerajaan
Turki. Pada tahun 1800an Aceh sudah mempunyai perwakilan diplomatic (duta besar) di
Pada umumnya struktur budaya masyarakat Aceh masih mengikuti pola yang
diatur oleh hokum adat. Susunan masyarakat adalah sebagai berikut: (1). Rakyat Biasa,
yang dalam istilah Aceh disebut ureung le (orang banyak). Disebut demikian karena
golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat
adat Aceh. (2). Hartawan, yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan
ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada atau kaya itulah terbentuknya
kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol, sehingga disebut
15
A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh (Jakarta: Yayasan Obor, 2003), 21-30.
orang alim dengan gelar teungku. Kelompok ini cukup berperan dalam masalah-masalah
Sultan Aceh yang bergelar “Tuanku” keturunan “Ulee baling” yang bergelar “Teuku”
Aceh merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang selanjutnya menjadi
suatu kelompok masyarakat yang disebut “Gampong” (Kampung). Oleh karena itu,
sistem sosial pada masyarakat Aceh pada hakikatnya bisa dikatakan sebagai berpedoman
pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi
pengaruh kepada keluarga lainnya. Dengan demikian, sistem sosial budaya dalam
masyarakat Aceh terlihat sangat solid karena tumpuannya adalah keluarga inti, dan
hubungan antara keluarga inti sangat erat dan saling mempengaruhi. Sebuah sistem yang
Selain itu, sejarah embuktikan bahwa di akhir tahun 1940an, masyarakat Aceh
memberi uang dan bantuan material ke pemerintah pusat yang baru ketika digabungkan
pesawat nasional Indonesia pertama. Tapi menjadi bagian dari sebuah Negara post-
kolonial, dan dikekang dengan otonomi de facto berarti diatur secara sentralistik dari
Jakarta.
Akibatnya, dalam satu dasawarsa ketidakpuasan yang serius terus muncul. Ada
mendukung pemberontakan bersenjata dari tahun 1953 sampai awal 1960an. Sebagai
otonominya dalam hal agama dan budaya. Tetapi, ketika Suharto menggantikan Sukarno
janji otonomi sekali lagi di langgar. Akibatnya, karena pola dalam eksploitasi (dan
pusat, pembangunan yang tidak seimbang, dan pendapatan yang hanya mengalir ke elit-
elit Jakarta maka terjadi pemberontakan. Pada tahun 1976 sebuah pemberontakan
pemisahan penuh dimulai, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang untuk
sebuah Negara merdeka. Hal ini bersamaan dengan perkembangan eksplorasi minyak
Penelitian awal yang telah dilakukan dengan membaca naskah maupun melihat
dokumentasi pentas drama Hikayat Cantoi menunjukkan bahwa drama tersebut sangat
erat kaitannya dengan perkembangan seni pertunjukkan di Aceh. Baik berupa teater
tradisi maupun tarian-tarian selain sastra lisan di Aceh. Dalam hal ini, Sulaiman Juned
tidak saja belajar dari seni yang ada di wilayah pesisir Aceh, tetapi juga seni yang
berkembang di dataran tinggi Gayo. Tentu sangat beralasan, sebagaimana dapat dilihat
dari riwayat hidup Sulaiman Juned yang pada masa kecilnya hidup di wilayah dataran
tinggi Gayo (Takengon), maka kesenian Gayo agaknya juga sangat kental mengalir
dalam dirinya.
Berkait dengan itu, maka pengkaji merasa penting menjelaskan latar sosial
budaya Aceh sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Gambaran tentang latar
belakang seni pertunjukan di Aceh, baik teater tradisi, sastra lisan, maupun beberapa tari
yang berkembang di Aceh, yang kemudian menjadi bagian dalam pementasan drama
Salah satu teater monolog atau kesenian bertutur yang bersumber dari tradisi
lisan yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Aceh adalah PMTOH. Cara bercerita
gaya PMTOH ini pertama sekali dipopulerkan oleh Tgk. H. Adnan. Ia merupakan
tukang hikayat yang sangat popular sejak tahun 1960-an. Kabarnya, kelihaian dalam
berkisah membuat ia sering diundang dalam acara-acara atau pesta, baik pesta
perkawinan, sunat rasul, atau acara-acara kesenian lainnya. Ia juga dikenal sebagai
Gaya berceita PMTOH ini dikenal dengan sebutan trobadur. Sebutan ini bermula
dari Prof. John Seger, arkeolog Amerika Serikat yang menjuluki Tgk. Adnan sebagai
trobadur. Seger menyematkan gelar tersebut kepada Adnan karena keunikan dan
kelihaiannya dalam memainkan cerita. Menurut Seger, sulit mencari tukang cerita yang
serupa dengan Adnan. Trobadur sendiri merupakan kesenian yang berasal dari Prancis,
16
Herman, “Yang Tersisa dari PMTOH (Melayat 2 Tahun Kepergian Tgk. H. Adnan PMTOH)”, Artikel
Budaya Harian Aceh, Banda Aceh, 15 Juli 2008.
Berkait dengan sebutan PMTOH di belakang nama Adnan, menurut seorang
berkeliling membawa hikayat juga sambil menjual obat. Konon, ketika Adnan
badan mobil itu bertuliskan PMTOH, pada kanan-kiri bagian depan mobil terdapat
terompet klakson. Terompet mobil ini selalu berbunyi saat melintasi gampong-gampong
di Aceh. Si supir sangat suka memainkan klakson mobil itu. Dari pengalaman ini, Adnan
kemudian meniru suara terompet mobil PMTOH itu sambil memencet hidungnya. Hal
ini sering dilakukan Adnan saat bermain hikayat. Dari asal nama mobil yang beroperasi
mulai tahun 1970-an inilah gelar PMTOH melekat pada dirinya, sehingga namanya lebih
Pendapat lainnya, ada yang mengatakan bahwa nama PMTOH diambil dari kata
poh tem, yaitu kata lain dari bercerita. Dalam tradisi Aceh, bercerita disebut juga dengan
peugah haba, meuhaba, poh haba, poh cakra, poh tem, cang panah, yang kemudian
menjadi sebuah nama salah satu kesenian bercerita di Aceh. Untuk jenis poh cakra, poh
tem, cang panah, biasanya dilekatkan pada bercerita yang membahas segala hal, sering
kali tidak jelas ujung pangkalnya. Dari kata poh tem itulaj dipelesetkan menjadi pem
toh/peng toh, yang kemudian diselaraskan bunyinya menjadi pe-em-toh. Terlepas dari
dua pendapat tersebut, intinya PMTOH adalah sebuah kesenian bertutur/bercerita. Hanya
saja, karena kisah yang diceritakan pada umumnya pernah terjadi pada zaman dahulu,
17
Agus Nurakmal, lulusan seni teater di Instute Kesenian Jakarta.
18
Herman, 2008, Harian Aceh, 15 Juli 2008.
atau dengan kata lain kisah yang diceritakan diyakini kejadiannya, masyarakat Aceh
disusun dalam bentuk bait, bersajak, dan berirama (ciri-ciri hikayat dari segi bentuknya).
Selain tiu, ada kekuatan kata yang sulit dibantah kebenaran cerita itu, yakni ungkapan
“sahibul hikayat” yang menunjukkan seolah cerita itu memang pernah terjadi, lalu
alat pertunjukkan yang sangat beragam. Seluruh alat peraga apapun bentuknya, baik
rambut palsu, topeng, gayung,dll, mampu dihidupkan untuk membangun dialog, maupun
suasana dalam bercerita. Inilah kelebihan yang dimiliki Adnan. Sekitar tahun 2005-2006
sebelum meninggal, Adnan kerap muncul membawa PMTOH dalam acara khusus di
2.2.2. Hikayat
aslinya yaitu ‘kisah’ (cerita). Bukan saja dongeng duniawi, keagamaan, pelajaran
tentang adat, bahkan buku cerita yang ditulis dalam bentuk sajak (puisi) di sebut
hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh
19
Herman, 2008, Harian Aceh, 15 Juli 2008
20
Budiman Sulaiman, Kesusastraan Aceh (Banda Aceh: Unsyiah Press, 1988), 10.
Di masa lalu, hikayat Aceh pernah maju pesat dalam kehidupan masyarakat
Tanah rencong. Sebagai contoh, yang selalu tercatat dalam sejarah baik tertulis maupun
dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh adalah betapa hebatnya “magnit” hikayat prang
sabi yang dikarang ulama terkenal Tgk Chik Pante Kulu. Hikayat tersebut mampu
Dengan demikian, penjajah sangat benci saat mendengar dendang Hikayat Prang Sabi
Saat itu, hikayat begitu diminati seluruh lapisan masyarakat di Aceh. Bahkan,
orang tua tak segan-segan mendendangkan syair hikayat bernuansa agamis dan
balee desa, para remaja di damping tokoh-tokoh tua di desa juga kerapkali belajar-
Hikayat adalah jenis prosa sastra lama yang disusun dalam bentuk berbait,
bersajak, berirama (ciri hikayat Aceh). Isi atau kisah dalam hikayat meliputi berbagai
itu, hikayat juga bisa meliputi dongeng-dongeng, legenda, mitos, sage, maupun fable.
Hikayat dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Ia sudah ada sejak zaman dahulu
kala. Mulanya hikayat ini dimainkan atau bawa dalam bentuk lisan oleh ahli (pawing).
Karena itu, hikayat sering dikatakan sebagai seni tutur. Kemudian, setelah
berkembangnya sastra tulis, hikayat mulai dituliskan. Masa ini dimulai saat masuknya
M.J. Melalatoa dalam pengantar pada buku Sebuku Seni Meratap di Gayo, karya
LK Ara, menyebutkan bahwa kata sebuku yang kita jumpai dalam bahasa Gayo kira-kira
berarti ratap atau ratapan. Bersebuku artinya meratap, atau lebih jelasnya menangis
dengan ratapan dalam mengungkapkan rasa haru.21 Lebih lanjut Melalatoa menjelaskan
bahwa bersebuku ini terjadi pada saat adanya kematian dan dalam upacara perkawinan.
Kedua peristiwa ini mengandung unsur perpisahan, yaitu antara simati dengan yang
masih hidup, antara seorang yang pergi (karena kawin, dalam hal ini seorang gadis
Dalam kedua peristiwa ini sebuku itu selalu dilakukan oleh kaum wanita dan
sangat luculah kalau seorang laki-laki yang melakukannya. Pantanglah menangis bagi
menarik bila didendangkan oleh seorang wanita, terlebih dengan suara empuk dan lagu
yang merdu.
21
LK Ara, Sebuku Seni Meratap di Gayo (Jakarta: Depdikbud, 1979), 11.
Jadi sama dengan seseorang yang sedang berdeklamasi dalam rangka
pengungkapan perasaan yang tersirat didalam sajak, syair, pantun (puisi) yang sedang
dengan lagunya sendiri, sekaligus sebagai penyair yang mencipta pada saat itu juga.22
2.2.4. Seudati
kata Seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain, yang berarti
kesaksian atau pengakuan.23 Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata Seudati
mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan
tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam.
Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Seudati
dibawakan dengan mengisahkan berbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat
tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama. Pada mulanya tarian
Seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya
untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama.
Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat,
agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang
22
LK Ara, 1979, 11-15.
23
T.A. Sakti, “Seudati: Tarian Pahlawan”, http://www.unsyiah.ac.id/ 13 Maret 2010.
dipakai dalam Seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Di antaranya istilah Syeh
yang berarti pemimpin, saman yang berarti delapan, dan syair yang berarti nyanyian.
Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari
satu orang pemimpin yang disebut syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang
pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakang yang
disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada dua orang penyanyi
Jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan
beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah
dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan.
Beberapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Ada
dan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan
Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari
oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, Seudati juga menjadi
pertunjukan hiburan untuk rakyat. Tari Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng,
Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian
berkembang ke desa Disoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh
Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari Kabupaten Pidie. Seudati termasuk salah satu
Yusra Habib Abdul Gani, dalam tulisannya berjudul “Falsafah Tari Guel”
mengungkapkan bahwa tari Guel itu adalah ‘Musium gerak tanpa bangunan’, tempat
menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah melupakannya dalam gerak tari Guel.
Ingin mengambarkan “aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudara sendiri,
jika dirasa perlu untuk itu. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah,
bukanlah satu-satunya peristiwa dalam peradaban orang Gayo. Kisah Merah Mege (anak
menunaikan niat jahat dengan mengikat dan menjatuhkan adiknya ke dalam sumur tua
dalam rimba. Dengan kuasa Allah SWT, Merah Mege selamat dan tidak jadi mati. Motif
pembunuhan Merah Mege dan Bener Merie semata-mata karena khawatir kehilangan
Gani, memberi pemaknaan terhadap berbagai gerak yang ada dalam tari Guel
mana gajah putih yang enggan bergeming (bersimpuh) sadar sambil menatap realitas
yang asing. Eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah dirangsang oleh
Sengeda dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut tari Guel (“tari berirama”),
agar gajah putih bangkit bersaksi; merubah diam menjadi aksi; memecah kebekuan jiwa
menjadi hidup dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Pada tahap gerak
24
Yusra Habib Abdul Gani, Falsafah “Tari Guel”, Banda Aceh: Artikel Budaya Harian Serambi Indonesia,
21 Juni 2009.
“munatap”, yang dituntut hanya kesadaran diri, pengakuan dan pengenalan secara
menyeluruh. Hal ini berhubung langsung dengan karakteristik orang Gayo, pada
Dalam gerak “redep”, bahu dan tangan bergerak lentur dan bervariasi. Jari-jemari
penari sesekali terbenam dalam lipatan “opoh ulen-ulen”. Tahap ini adalah proses
belajar, meniru dan berpikir. Di sini, gerak dan irama yang dimainkan lebih cepat, walau
tidak terlalu lama. Ini mengajarkan: berpikir dan gerak cepat jika mau dapat dan selamat.
Gerak “redep” lewat dan segera menuju ke gerak lain, yakni: gerak “ketibung”, 25 yang
sorotan mata yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, di mana manusia
berhadapan dengan dua pilihan; tuan atau budak; menguasai atau dikuasai (oenguasa
atau hamba).
berputar-putar, maju dan mundur. Gerakannya sangat agresif dan menantang. Tahap ini
menggambarkan proses klarifikasi masalah, yang menuntut semua anasir atau “debu-
debu” yang menodai supaya disingkirkan. Artinya: tangan siapa sih yang tidak kotor?
Tangan kita telah mengotori Negara, marwah bangsa, budaya dan bahasa. Hal ini
25
Kata: “ketibung” dalam bahasa Gayo, lazimnya dipakai bagi gadis-gadis yang mandi di kolam atau
sungai, membunyikan air dengan kedua tangannya; yang dalam tari ini diisyaratkan dengan variasi gerak tangan dan
kaki, sebagai refleksi dari gelora pikiran dan luahan jiwa. Itu pula alasannya, hingga dalam sastera Gayo, gejolak hati
kerap digambarkan dalam lirik: “berketibung iwanni jantung, berjunte iwanni ate” (“bergejolak dalam jantung,
bersemi dalam hati”), Gani, Harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
26
Kata: “kepur” dalam bahasa Gayo berarti mengusir debu-debu (kotoran) yang melekat pada kain atau
tikar dengan tangan, bukan dengan penyapu, Periksa Gani Artikel Budaya Harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
dimaksudkan bahwa tangan mempunyai konotasi kekuasaan yang bisa merubah,
memiringkan tubuh bagaikan gerak burung elang yang mau menyambar mangsa. Inilah
gerak burung elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik dengan
memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi mangsa atau gerak lintah yang
meliuk-liuk dalam air yang berarti; masalah mesti di lihat bukan dari satu arah saja,
tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Gerak ini menggambarkan
kedalam kemajemukan. Hal ini bermakna bahwa individu larut dalam kebersamaan.
Melalui gerak tersebut yang dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan
perasaan dan emosi. Tahap ini menunjukkan bahwa apa pun masalah, mesti dislesaikan
2.2.6. Didong
dan Pemertahanan Bahasa Gayo”, menjelaskan bahwa Didong merupakan salah satu
kesenian tradisional yang terdapat pada masyarakat Gayo. Didong dimainkan dengan
perpaduan seni sastra, seni suara dan seni tari, yang merupakan hasil olah piker dan rasa
27
Kata “seneng” dan “sengker” dalam bahasa Gayo bermakna: melirik atau memantau dengan gerak miring.
Periksa Gani, Artikel Budaya Harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
28
Periksa Gani, harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
dari Ceh yang ada dalam kelompok Didong (grup atau kelompok Didong). Dalam
Didong, terdapat seorang Ceh (vokalis dalam Didong), apit (pendamping ceh) dan
penurung (pengikut saat refrain terjadi) yang terdiri dari 10 sampai 15 orang.29
dengan beberapa kosa kata dalam bahasa Gayo seperti denang atau donang (dendang
dalam bahasa Indonesia). Namun, Didong memuat pengertian yang lebih luas (2001: 9).
Sali Gobal, dalam lirik lagu mendefinisikan Didong sebagai kesenian orang Gayo,
“Didong Didong Didong do Didong ni, Didong ko kin seni ni urang Gayo ni”. Artinya,
Lewat tradisi lisan Didong ini, bisa dibaca berbagai peristiwa kehidupan (banjir,
kebakaran, tanah longsor) yang menjadi penanda sejarah masyarakat tersebut. Didong
manusia lain dan perubahan di sekitarnya, termasuk proses politik itu sendiri. Lebih
penting lagi, Didong adalah refleksi manusia Gayo yang terbuka dengan perubahan
nilai-nilai kompetitifnya.31
Beberapa fungsi Didong menurut Melalatoa, yaitu (1) fungsi hiburan, (2) fungsi
pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetika, (3) pelestari budaya, (4) pencari
29
Yusra Usman Al-Gayoni, “Didong: Sarana Pembelajaran dan Pertahanan Bahasa Gayo” (Jakarta: Tabloid
Ara News, Edisi II Februari 2009)
30
M.J. Melalatoa, Pentas Kreativitas Gayo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 9.
31
Lihat Melalatoa, 2001, viii.
dana sosial, (5) sarana penerangan, (6) kritik dan control sosial, dan (7) wahana
kelompok sosialnya. Sebagai produk sosial dari kelompok sosial tertentu, pengarang
di hadapan kelompok sosial yang lain. Kerja pengarang adalah kerja sosial sebagai
kemanusiaan memiliki arti karena merupakan respon dari subjek kolektif atau individual
pembangun suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi
32
Melalatoa, 2001, 57.
aspirasi subjek subjek itu. Dengan kata lain, merupakan usaha manusia mencapai
kehidupan sosial Sulaiman Juned. Sulaiman Juned sebagai pengarang jelas diikat oleh
kelompok sosial atau subjek kolektif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa drama
Hikayat Cantoi adalah ekspresi atau pantulan peristiwa-peristiwa dalam batin seorang
Karenanya, latar belakang penciptaan sebuah karya drama tidak dapat dilepaskan begitu
Hal di atas masih sering menjadi perdebatan atau polemic, ada tidaknya
pengarang di belakang karyanya. Banyak peneliti berpendapat tidak aka nada drama
tanpa adanya pengarang atau pencipta. Hal ini membenarkana segi-segi realitas pencipta
mempunyai peranan untuk mencari konteks atau hubungan dalam karya drama sebagai
salah satu cara meningkatkan kemampuan pemahaman terhadap karya drama dalam
suatu analisis.
maka dalam pengkajian ini dipandang perlu untuk mengemukakan latar belakang
penciptaan drama Hikayat Cantoi. Tentu saja latar belakang yang mempunyai kaitan
Wiko Antoni dalam buku biografi Sulaiman Juned menguraikan bahwa Sulaiman
Juned, dilahirkan di gampong (desa) kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten
Pidie-Aceh, 12 Mei 1965. Pernah terkenal dengan nama pena; Soel’s J. Said Oesy.
Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih duduk di bangku SLTP, Soel kecil
berkenalan dengan guru bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 3
Takengon. Ibu guru tersebut bernama Siti Aisyah, Soel kecil di dalam buku catatan
Bahasa dan Sastra Indonesianya hanya berisi puisi karyanya. Suatu ketika, sang guru
meminta seluruh siswa mengumpulkan catatan Bahasa dan Sastra Indonesia, Soel mulai
berkeringat dingin sebab buku catatannya hanya berisi puisi. Pada minggu berikutnya,
Siti Aisyah masuk dengan memanggil Soel ke kantor, lalu menyerahkan bukucatatan
tersebut, ‘puisi-puisimu sudah ibu koreksi, silakan diketik dan kirim ke Koran-koran.
Alamat Koran sudah ibu tuliskan di bukumu’ tutur bu Guru, lalu puisi-puisi mulai
dikirim berkat alamat yang telah diberikan guru Siti Aisyah, setahun menunggu, puisi-
puisi mulai dimuat dan honor pertama sebesar RP. 1500. Dalam pergaulannya dengan
penyair-penyair besar Aceh dan nasional, seperti; Maskirbi, Hasyim KS, Hasbi Burman,
Nurgani Asyik, LK. Ara, Taufik Ismail, W.S. Rendra, Sapardi Joko Damono, Abdul
Hadi WM, Ahamadun Yosi Hefanda dll. Barulah tahu ternyata gurunya Siti Aisyah
adalah seorang penyair wanita Aceh. Inilah cerita awal mulai menulis.
Selanjutnya mungkin darah seni mengalir dari abua (abang dari ibu) bernama
Abdullah yang lebih dikenal dengan panggilan Syeh Lah Jarum Meueh seorang
pimpinan Seudati yang paling terkenal di Aceh. Lalu ketika diboyong oleh orangtua
merantau ke Takengon-Aceh Tengah, mulai suka menonton Didong (teater tutur dari
Aceh Tengah), dan Sandiwara Keliling Gelanggang Labu. Soel bahkan pernah terlibat
berlatih Didong dengan seniman besar Didong dari tanah Gayo To’et. Juga pernah
bermain Sandiwara Keliling gelanggang labu dengan Cut Maruhoi, Idawati. Pengalaman
empiric ini menumbuhkan jiwa seni di jiwanya. Di Sanggar Cempala Karya Banda Aceh
Aceh Tengah (1979), SMP Negeri 3 Takengon, Aceh Tengah (1982), SMA Negeri
Beureunuen, Pidie-Aceh (1985), Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Magister Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta-Jawa Tengah (2007) juga
lulus dengan prediket Cumlaude. Ketika masih berada di Aceh ia mengajar teater di
SMA Adi Darma Banda Aceh, SMA YPTP Banda Aceh, SMA Negeri 5 Banda Aceh.
Guru bidang studi Pendidikan Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia (1998-2005).
Memperistri Iswanti Soepardi yang dinikahinya pada tanggal 7 Agustus 1995, di
Beureunuen Pidie-NAD pada tanggal 17 Maret 2002. Kini menetap bersama di RT.XI
Aceh (1989), Bersama T. Yanuarsyah, Nurmaida Atmadja dan Din Saja mendirikan
Teater Kosong Banda Aceh (1993), bersama Din Saja mendirikan Teater Alam Banda
Aceh (1995), bersama M. Nurgani Asyik mendirikan Teater Peduli Banda Aceh (1995),
Ketua I IKASMA (Ikatan Alumni SMA Negeri Beureunuen), Ketua Komite Sastra
Dewan Kesenian Aceh (1998-2000), Ketua Bidang Humas Lembaga Seni Aceh (1995-
2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1990-1997), Ketua Bidang Pengkaderan
Menulis puisi, cerpen, esai, artikel budaya, reportase budaya, kolom dimuat di
media; Santunan, Serambi Indonesia, Atjeh Post, Peristiwa, Warta Unsyiah, Ar-Raniry
Post, Kalam, Aceh Ekpres, Ceurama, Rakyat Aceh, Aceh Kita (Aceh), Waspada,
Ekspres, Laga-laga, Majalah Saga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni (Sumatera
Barat), Riau Post (Riau), Independent (Jambi), Lampung Post (Lampung), Solo Post,
dan Jawa Post, Jurnal Dewa Ruci (Jawa Tengah), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta),
Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Kompas, Kawan Tempo, Seputar
Indonesia, Majalah Bahasa dan Sastra (Malaysia dan Brunei Darusssalam). Karyanya
juga terkumpul dalam Antologi: Podium (Aceh, 1990), Bunga Rampai Puisis Pariwisata
(Pustaka Komindo, Jakarta, 1991), HU (Teater Kuala, Aceh 1994), TTBBIJ (Medan,
1995), Ole-Ole (Cempala Karya, Aceh 1995), Teriak Merdeka (Fak. Hukum, 1995),
Surat (kuflet, Padangpanjang 1998), Dalam Beku Waktu (NGO-HAM Aceh, 2002),
Antologi Esai “Takdir-Takdir Fansuri (DKB, 2002), Tiga Drama Jambo (Kuflet
Padangpanjang, 2005), Mahaduka Aceh (Pusat Dok. HB. Jassin, Jakarta 2005), Syair
Tsunami (Pustaka Jaya, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (LAPENA, 2005), Remuk (ASA-
Japan, 2005), Aceh 8,9 Skala Ritcher lalu Tsunami (Jakarta, 2005), Surat: Merah Putih
(Kuflet, Padangpanjang 2007), Riwayat (Diknas, Jakarta, 2007) dapat Juara III Tingkat
Wisnu Mintargo pentas di Gedung Teater Kecil STSI Surakarta, 1998, Signal Lima
Orkestra Simarantang Karya/Komposer: Drs. Yoesbar Jailani (FKI III, Surabaya 2003).
Ia sudah memerankan tokoh 250 karakter, berawal dari actor tanpa dialog-aktor
pembantu berdialog-aktor utama, pentas keliling Aceh, Medan, Padang, Riau, Jambi,
Gorontalo serta TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. 150 kali tampil dalam layar
kaca/sebagai aktor dan sutradara serta penulis secenario baik di TVRI Stasiun Aceh,
Juned (Kuflet, 1998), Ambisi/Wolfman Kowict (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI
Barat, 2000), Piramus dan Tisbi/William Shakeaspeare (Kuflet, Hoerijah Adam STSI
Teater Mursal Esten STSI Padangpanjang, 2001 dan Taman Budaya Sumatera Barat,
Sumatera Barat, 2002), Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2003),
Berkabung/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2004 dan Taman Budaya
Sumatera Barat, 2005), Sebut Saja namaku Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO
Surakarta Jawa Tengah, 2006), Hikayat Pak Leman/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung
TBO Sawahlunto, 2006, dan Gedung Teater Mursal Esten Padang Panjang, 2007),
Hikayat Cantoi/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung Teater Mursal Esten STSI Padang
Sulaiman Juned telah menuliskan berbagai naskah teater dengan Latar sosial
kultural masyarakat Aceh dalam perspektif kekinian. Bagi Sulaiman Juned melihat Aceh
dari jauh sangat berbeda spirit dan emosional yang dirasakannya dibandingkan ketika
berada di kampong halaman sendiri. Jambo, sebagai ikon masyarakat pedesaan Aceh,
Teraba” (2011), “Jambo Beranak Duri dalam Daging” (2002), “jambo Bunga Api-Bunga
Hujan” (2003), “Jambo Ayam Jantan” (2004), dan “Hikayat Cantoi: Sekali Cantoi Tetap
Cantoi” (2007) yang menggunakan jambo sebagai Setting utamanya. Naskah tersebur
sudah dipentaskan dalam berbagai festival di Sumatera Barat dan di daerah lainnya.
Khusus untuk naskah “Hikayat Cantoi”, telah dipentaskan 5 Agustus 2007 yang lalu,
sebagai tugas akhir penciptaan (untuk Magister Seni) di Program Pasca Sarjana Institut
Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Juga dipentaskan di Taman Budaya Sumatera Barat pada
6 Juni 2008 yang mendapat respon luar biasa dari seniman Sumatera Barat, maupun
masyarakat Aceh yang berada di Sumatera Barat. Lalu pertunjukan ini pula yang
Selain naskah di atas, Sulaiman Juned juga telah menulis dan mementaskan
karya yang terinspirasi oleh sosial-kultural dan alam minangkabau, seperti “Orang-orang
kreativitas, di luar naskahnya sendiri, Sulaiman Juned bersama KSK juga mementaskan
Barat. Bahkan bersama KSK juga di pentaskan karya-karya adaptasi dari naskah asing.
Sakeaspeare).33
bahwa apa yang dikerjakan termasuk dalam menciptakan drama Hikayat Cantoi
merupakan hasil dari akumulasi pengalaman hidup dalam bermsayarakat, baik dalam
kehidupan masa kecil hingga dewasa, bahkan dalam lingkungan pekerjaannya sebagai
Lebih khsusus, dalam melahirkan drama Hikayat Cantoi, Sulaiman Juned yang
memiliki pendidikan formal dalam bidang teater baik pada strakta I di STSI Padang
Panjang, maupun pada saat itu sebagai mahasiswa Pascasarjana STSI Surakarta,
menjadi fokus pada bagian ini, di awali dengan serius melakukan riset lapangan, dan
peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi pada masa konflik Aceh. Pengalaman ini yang
tradisi di Aceh di antaranya; teater tutur Poh Tem, Peugah Haba atau Dongderia yang
dipopulerkan Teungku Adnan dengan sebutan PMTOH. Teater ini dimainkan satu orang
33
Wiko Antonio, Catatan “Perang” Seorang Seniman Aceh (Padang Panjang: Komunitas Seni Kuflet,
2008), 2-11.
teater modern Indonesia, dan menemukan beberapa perbedaan. Monolog yang lazim
dilakukan teater modern lebih banyak bersifat penuturan dengan melakukan movement
(gerak), sedangkan pada teater tutur PMTOH lebih kaya dengan ekspresi, karakter
tokoh, dan karakter bahasa dialog yang berubah-ubah. Begitu juga dengan penggunaan
alat/properti serta pergantian busana dalam setiap adegan, music vocal, tubuh, rapa’i dan
bantal dimainkan langsung oleh pemeran. Pemeran bermain dengan tekhnik duduk dan
tidak melakukan movement (gerak) atau blocking (perpindahan) dari satu tempat ke
Hasil riset Sulaiman terhadap Teungku Adnan PMTOH dalam melakukan pentas
beribu-ribu tokoh (seolah-olah banyak sekali pemeran yang sedang berperan). Hal ini
dilakukannya lewat kemampuan suara (vokal), dan perubahan busanan tergantung peran
yang diperankan dalam hikayat (cerita). Teater tutur PMTOH lakonnya juga selalu
berangkat dari hikayat, seperti Hikayat Malem Dewa, Malem Dagang, Putroe Ijo, dll.
yang telah ada, sebagaimana dilakukan oleh Teungku Adnan PMTOH. Tetapi, Sulaiman
mengangkat cerita baru dari persoalan kekinian berupa konflik sosial politik yang terjadi
kemudia menggarap drama yang berbasis dari teater tutur Aceh PMTOH, dengan
menuliskan naskah yang berjudul “Hikayat Cantoi” lalu dipentaskan dalam naskah
(perpindahan) pemeran di atas pentas, dengan menggunakan gerakan imitasi dari tari
tradisional.
Lebih jauh lagi, dalam pentas dram Hikayat Cantoi, Sulaiman menggunakan
berbagai jenis seni pertunjukan lainnya, baik dalam music maupun gerak. Di antaranya:
kekayaan tubuh sebagai music (music perkusi tubuh), seperti: tepuk dada, paha, perut,
dan petik jari (Seudati), tepuk tangan (Didong), serta gerak tari Guel. Lewat pementasan
drama Hikayat Cantoi ini kemudian dapat ditangkap beberapa kebaruan-kebaruan yang