Anda di halaman 1dari 32

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA, SENI TRADISI DAN PENCIPTAAN

DRAMA HIKAYAT CANTOI

Lahirnya drama Hikayat Cantoi karya Sulaiman Juned tidak mungkin

lepas dari suatu proses pemikiran dan kontemplasi atau perenungan yang mendalam.

Pemikiran dan perenungan tersebut juga tidak lepas dari berbagai peristiwa yang ada di

sekitar kehidupannya. Catatan-catatan dari sebuah kesaksian yang menginspirasi itulah

yang terekam dan memungkinkan karya drama lahir.

Terkait dengan itu, Aristoteles meminjam istilah mimesis dari Plato, mengatakan

bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses

kreatif. Seorang seiman mengambil inspirasi dari alam sambil menciptakan sesuatu yang

baru. Dengan bermimesis seorang seniman menciptakan kembali sebuah “kenyataan”.1

Secara teoritik, seperti dikemukakan Aristoteles dalam risalahnya “poetics”

naskah lakon (drama) adalah peniruan perbuatan dan peristiwa. 2 Oleh karena itu, dalam

naskah lakon ada action, yang membayangkan manusia berbuat sesuatu, yang

mengakibatkan peristiwa tertentu; atau, ada peristiwa tertentu yang mendorong manusia

berbuat sesuatu.3

Dari pandangan tersebut, pembicaraan karya drama secara sosiologis tidak dapat

dipisahkan dengan konteks sosial budaya masyarakatnya atau pendukung lakon tersebut.
1
Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Jakarta: Kanisius, 1986), 32.
2
Richard Levin, Tragedy: Plays, Theory, and Criticism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.,
1960), 131-144, periksa dalam Bakdi Soemanto, Jagat Teater, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), 332.
3
Soemanto, 2001, 332.
Nur Sahid menyebutkan bahwa seberapa pun besarnya unsur imajinatif suatu drama,

namun ia tetap berkaitan dengan suatu nilai sosial dari masyarakat. Dapat dipastikan

bahwa seorang dramawan selalu memanfaatkan kehidupan di sekitarnya sebagai bahan

untuk karyanya. Dalam hal ini tidak ada karya seni manapun yang berfungsi dalam

situasi kosong.4

Bakdi Soemanto mendefinisikan drama sebagai bentuk seni yang

mengungkapkan cerita lewat dialog-dialog atau percakapan para tokoh. Definisi itu bisa

dimaksudkan sebagai pengertian action, sehingga drama itu sendiri merupakan

penggambaran dari action.5 Hal ini sesusai dengan pendapat Balthazar Verhagen dalam

Harymawan, drama adalah suatu kesenian menggerakan tubuh yang dimaksudkan untuk

melukiskan sifat dan sikap manusia.6

Drama sering dihubungkan dengan teater. Teater mempunyai makna yang luas

dibandingkan dengan drama, dan drama juga dimasukkan dalam pengertian teater.

Herman J. Waluyo menyebutkan teater itu bisa drama, gedung pertunjukan, panggung,

bisa juga sebagai bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak.7

Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa drama merupakan karya yang

disajikan berupa dialog atau percakapan para tokoh baik yang dipentaskan maupun

berupa teks naskah. Pengarang mengungkapkan permasalahan atau temanya dalam

drama melalui unsur strukturnya.

4
Nur Sahid, Sosiologi Teater (Yogyakarta: Prastista, 2008), 100.
5
Soemanto, 2001, 3.
6
RMA., Harymawan, Dramaturgi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), 2.
7
Herman J. Waluyo, Drama, Teori dan Pengajarannya (Yogyakarta: Hanindita, 1986), 2.
Sebagaimana diketahui drama mengangkat masalah kehidupan, sedangkan

kehidupan manusia merupakan suatu proses sosial atau suatu kenyataan sosial.

Kuntowijoyo melalui Sahid, mengungkapkan bahwa dapat dikatakan, sesuatu yang

dilakukan pengarang dalam karyanya bisa sebagai bentuk usaha menanggapi realitas di

sekitarnya, berkomunikasi dengan realitas dan menciptakan realitas dalam karyanya.8

Sebagaimana telah disebutkan bahwa drama merupakan hasil cipta seorang

pengarang dengan menggunakan manusia dan sekitarnya (masyarakat) sebagai sarana

untuk mengungkapkan ide-idenya. Di sini terlihat antara sosiologi dan drama

mempunyai objek yang sama, yaitu manusia dan masyarakat, perbedaanya terletak pada

pendekatannya. Sosiologi memfokuskan pada analisis ilmiah dan objektif, sadangkan

drama memfokuskan penghayatan melalui perasaan. Maka dari itu, sosiologi dan drama

mempunyai hubungan yang erat. Sosiologi mempelajari masalah sosial dalam

masyarakat, sedangkan drama merupakan media untuk mendokumentasi masalah-

masalah sosial.

Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa karya drama membicarakan

masalah kehidupan di masyarakat yang sedang terjadi. Melalui membaca atau menonton

karya drama akan mendapat informasi tentang keadaan sosial yang belum pernah

dialami, sehingga seseorang dapat mengetahui masalah-masalah sosial melalui karya

drama. Di samping itu, pengarang juga mengajak pembaca atau penonton untuk melihat,

merasakan, dan menghayati kehidupan di dunia ini seperti yang dirasakan pengarang

melalui karyanya.
8
Sahid, 2008, 100.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa dalam tinjauan

sosiologi drama terhadap drama Hikayat Cantoi khususnya dari sudut pandang struktural

genetik ada dua hal yang penting mendapat perhatian. Pertama, latar belakang sosial

budaya dan seni pertunjukan di Aceh. Kedua, latar belakang penciptaan drama Hikayat

Cantoi penting untuk diungkapkan.

2.1. Latar Belakang Sosial Budaya Aceh

Secara geografis Aceh berada pada posisi paling barat Nusantara Republik

Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra

Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah

tenggara dan selatan. Propinsi Aceh melintang dari barat laut ke tenggara, dan dibelah

menjadi dua oleh rangkaian bukit barisan. Sebelah barat penggunungan terletak daerah

sempit dengan hutan yang lebat, dipenuhi bukit dan daerah yang curam di tepi laut.

Daerah yang subur dan terhampar luas adalah daerah sebelah timur yang menjadi daerah

pertanian yang kaya hasil padi.9

Dapat dikatakan bahwa Literature yang secara gambalang bisa menjadi rujukan

mengenai asal-usul keberadaan masyarakat Aceh masih sangat terbatas. Namun, ditinjau

dari segi bahasa yang memiliki perbedaan dengan bahasa daerah di sekitarnya, dapat

diduga bahwa asal-usul suku bangsa Aceh telah mengalami banyak percampuran.

Dilihat dari berbagai aspek kehidupan, tampak ada pertautan antara masyarakat Aceh

9
Teuku Syamsuddin, “Kebudayaan Aceh” dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”,
ed.Koentjaraningrat (Jakarta: Djambatan, 2002), 229-247.
dengan kebudayaan Hindu, meskipun pengaruh kebudayaan tersebut hamper tidak

terlihat sama sekali semenjak zaman Kesultanan Islam.10 Sebagai contoh misalnya

penamaan kawasan seperti Indrapuri, Indra Patra, masih dapat ditemukan hingga

sekarang. Selain itu, upacara Peusijuek11 atau tepung tawar, atau upacara tolak bala,

yang dilakukan di pantai masih dapat ditemukan, yang dilakukan pada uroe rabu abeh

(hari rabu habis bulan safar) terutama di kawasan Aceh bagian Barat.

Penduduk Aceh dibagi menjadi penduduk pegunungan yaitu Gayo dan Alas, dan

penduduk pesisir pantai yang merupakan hasil berabad-abad dari perkawinan antar

Batak, Dravidian, India Selatan, Jawa, Arab, Cina dan Minangkabau yang kemudian

dikenal dengan Aceh.12

Pada sensus nasional terakhir tahun 2005 Aceh memiliki 4.031.589 penduduk.

Provinsi ini juga memiliki 23 kabupaten/kotamadya/kota administrative; (Simelue, Aceh

Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh

Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Luwes, Aceh Tamiang,

Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa,

Pidie Jaya, Subulussalam); 142 kecamatan wilayah dan 5596 gampong (desa). Jumlah

kabupaten dan kecamatan terus bertambah dengan terjadinya pemekaran wilayah-

wilayah.13

10
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Balai Pustaka 1991), 45-
47.
11
Peusijuek merupakan upacara selamatan (biasa dipergunakan dalam penyambutan tamu yang
diistimewakan, pengantin baru, pulang dari rantau, khitanan, masuk rumah baru, dll). Dalam perkembangannya proses
peusijuek kemudian menggunakan doa-doa secara Islam.
12
Syamsuddin, 2002, 229-247.
13
Lihat http//www.nad.go.id.
Provinsi ini menurut data sensus 2005, memiliki sekitar empat juta populasi dan

bermacam-macam hasil alam yang memiliki potensi untuk pengembangan ekonomi. Hal

ini dilihat dari tanah pertanian yang shbur untuk menanam rempah-rempah, lada dan

buah-buahan; hutan-hutan, perikanan dan perairan beserta minyak dan gas alam cair,

dengan banyak jenis mineral termasuk sebuah emas merah yang terkenal. Hingga kini

hutan-hutan berkisar 75 persen dari tanah dan 2.47 persen diolah oleh pemiliknya secara

sederhana. Ekonomi provinsi sangat berbasiskan pada pertanian, perikanan dan

pertambangan.

Aceh memang dikaruniai dengan berbagai macam keistimewaan dan kekayaan

alam, tragisnya juga mengundang pertikaian. Teristimewa adalah posisi geografisnya

yang strategis, terletak di persimpangan jalan laut yang ramai, yang menghubungkan

Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan. Tepat di persimpangan dua budaya besar dunia,

India, dan Cina. Mengingat posisi Aceh yang berada di ujung barat nusantara, negeri ini

juga menjadi gerbang pertama yang harus dilalui jamaan haji ketika berangkat ke tanah

suci melalui jalur laut. Maka negeri ini pun sempat memiliki julukan yang terkenal

sebagai Serambi Mekah.14

Untuk memahami masyarakat Aceh, perlu ditinjau sekilas sejarah yang selalu

dibanggakan masyarakatnya. Oleh karena posisi geografis yang amat strategis untuk

perdaganganm, Aceh pada zaman dahulu merupakan negeri yang cosmopolitan,

14
Sebagai contoh tulisan Nazaruddin Syamsuddin juga menggunakan istilah ini untuk menunjuk Aceh.
Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh
1945-1949 (Jakarta: UI-Press, 1999).
sehingga mereka banyak bersentuhan – dan juga bertikai – dengan berbagai bangsa di

dunia.

Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa keemasan pada pemerintahan

Sultan Iskandar Muda di abad ke-17. Aceh saat itu tidak hanya dikenal di bumi

Nusantara tetapi juga di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Mungkin hanya Aceh satu-

satunya kerajaan di bumi Nusantara yang pada tahun 1600an sudah menjalin hubungan

diplomatic dan perdagangan dengan Kerajaan Turki, Kerajaan Belanda dan Kerajaan

Inggris serta merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, bersama

dengan Kerajaan Isfahan (Iran), Kerajaan Maroko, Kerajaan Agra (India), dan Kerajaan

Turki. Pada tahun 1800an Aceh sudah mempunyai perwakilan diplomatic (duta besar) di

Turki, Penang dan Singapura.15

Pada umumnya struktur budaya masyarakat Aceh masih mengikuti pola yang

diatur oleh hokum adat. Susunan masyarakat adalah sebagai berikut: (1). Rakyat Biasa,

yang dalam istilah Aceh disebut ureung le (orang banyak). Disebut demikian karena

golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat

adat Aceh. (2). Hartawan, yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan

ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada atau kaya itulah terbentuknya

suatu golongan masyarakat yang karena keberadaannya, menjelma menjadi golongan

hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya

sebagai penyumbang-penyumbang dana. (3). Ulama/cendikiawan, umumnya berasal dari

kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol, sehingga disebut
15
A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh (Jakarta: Yayasan Obor, 2003), 21-30.
orang alim dengan gelar teungku. Kelompok ini cukup berperan dalam masalah-masalah

agama dan kemasyarakatan. (4). Kaum Bangsawan, termasuk didalamnya keturunan

Sultan Aceh yang bergelar “Tuanku” keturunan “Ulee baling” yang bergelar “Teuku”

(bagi laki-laki) dan “Cut” (bagi Perempuan).

Selain pembagian susunan masyarakat tersebut, sistem kesatuan masyarakat

Aceh merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang selanjutnya menjadi

suatu kelompok masyarakat yang disebut “Gampong” (Kampung). Oleh karena itu,

sistem sosial pada masyarakat Aceh pada hakikatnya bisa dikatakan sebagai berpedoman

pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi

pengaruh kepada keluarga lainnya. Dengan demikian, sistem sosial budaya dalam

masyarakat Aceh terlihat sangat solid karena tumpuannya adalah keluarga inti, dan

hubungan antara keluarga inti sangat erat dan saling mempengaruhi. Sebuah sistem yang

sederhana tapi sangat sulit untuk dipatahkan.

Selain itu, sejarah embuktikan bahwa di akhir tahun 1940an, masyarakat Aceh

memberi uang dan bantuan material ke pemerintah pusat yang baru ketika digabungkan

menjadi Republik Indonesia –bahkan menyumbangkan emas pribadi mereka untuk

pesawat nasional Indonesia pertama. Tapi menjadi bagian dari sebuah Negara post-

kolonial, dan dikekang dengan otonomi de facto berarti diatur secara sentralistik dari

Jakarta.

Akibatnya, dalam satu dasawarsa ketidakpuasan yang serius terus muncul. Ada

beberapa dinamika lingkaran klasik di sini (keputusan di buat di Jakarta, perpajakan

berlangsung di Jakarta, perjanjian politik terdapat di Jakarta). Kekuatiran terhadap antara


Islam yang akan musnah, elit local dan, ulama Islam Aceh yang berpengaruh

mendukung pemberontakan bersenjata dari tahun 1953 sampai awal 1960an. Sebagai

balasannya, presiden Sukarno kembali mengembalikan status provinsi Aceh dan

otonominya dalam hal agama dan budaya. Tetapi, ketika Suharto menggantikan Sukarno

janji otonomi sekali lagi di langgar. Akibatnya, karena pola dalam eksploitasi (dan

rampasan) hasil-hasil alam, kekecewaan yang terakumulasi lama terhadap pemerintah

pusat, pembangunan yang tidak seimbang, dan pendapatan yang hanya mengalir ke elit-

elit Jakarta maka terjadi pemberontakan. Pada tahun 1976 sebuah pemberontakan

pemisahan penuh dimulai, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang untuk

sebuah Negara merdeka. Hal ini bersamaan dengan perkembangan eksplorasi minyak

dan gas berbasis industry di utara dan timur provinsi.

2.2. Seni Tradisi Aceh yang Menginspirasi Drama Hikayat Cantoi.

Penelitian awal yang telah dilakukan dengan membaca naskah maupun melihat

dokumentasi pentas drama Hikayat Cantoi menunjukkan bahwa drama tersebut sangat

erat kaitannya dengan perkembangan seni pertunjukkan di Aceh. Baik berupa teater

tradisi maupun tarian-tarian selain sastra lisan di Aceh. Dalam hal ini, Sulaiman Juned

tidak saja belajar dari seni yang ada di wilayah pesisir Aceh, tetapi juga seni yang

berkembang di dataran tinggi Gayo. Tentu sangat beralasan, sebagaimana dapat dilihat

dari riwayat hidup Sulaiman Juned yang pada masa kecilnya hidup di wilayah dataran

tinggi Gayo (Takengon), maka kesenian Gayo agaknya juga sangat kental mengalir

dalam dirinya.
Berkait dengan itu, maka pengkaji merasa penting menjelaskan latar sosial

budaya Aceh sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Gambaran tentang latar

belakang seni pertunjukan di Aceh, baik teater tradisi, sastra lisan, maupun beberapa tari

yang berkembang di Aceh, yang kemudian menjadi bagian dalam pementasan drama

Hikayat Cantoi, juga penting untuk diuraikan.

2.2.1. Teater Monolog PMTOH

Salah satu teater monolog atau kesenian bertutur yang bersumber dari tradisi

lisan yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Aceh adalah PMTOH. Cara bercerita

gaya PMTOH ini pertama sekali dipopulerkan oleh Tgk. H. Adnan. Ia merupakan

tukang hikayat yang sangat popular sejak tahun 1960-an. Kabarnya, kelihaian dalam

berkisah membuat ia sering diundang dalam acara-acara atau pesta, baik pesta

perkawinan, sunat rasul, atau acara-acara kesenian lainnya. Ia juga dikenal sebagai

tukang cerita keliling dan tukang obat keliling.

Gaya berceita PMTOH ini dikenal dengan sebutan trobadur. Sebutan ini bermula

dari Prof. John Seger, arkeolog Amerika Serikat yang menjuluki Tgk. Adnan sebagai

trobadur. Seger menyematkan gelar tersebut kepada Adnan karena keunikan dan

kelihaiannya dalam memainkan cerita. Menurut Seger, sulit mencari tukang cerita yang

serupa dengan Adnan. Trobadur sendiri merupakan kesenian yang berasal dari Prancis,

diperkirakan telah ada sejak 1000 tahun lalu.16

16
Herman, “Yang Tersisa dari PMTOH (Melayat 2 Tahun Kepergian Tgk. H. Adnan PMTOH)”, Artikel
Budaya Harian Aceh, Banda Aceh, 15 Juli 2008.
Berkait dengan sebutan PMTOH di belakang nama Adnan, menurut seorang

muridnya, Agus Nuramal,17 melalui Herman, mengungkapkan bahwa Teungku Adnan

berkeliling membawa hikayat juga sambil menjual obat. Konon, ketika Adnan

berhikayat keliling, ia sering menggunakan sebuah mobi lintas Sumatera. Di samping

badan mobil itu bertuliskan PMTOH, pada kanan-kiri bagian depan mobil terdapat

terompet klakson. Terompet mobil ini selalu berbunyi saat melintasi gampong-gampong

di Aceh. Si supir sangat suka memainkan klakson mobil itu. Dari pengalaman ini, Adnan

kemudian meniru suara terompet mobil PMTOH itu sambil memencet hidungnya. Hal

ini sering dilakukan Adnan saat bermain hikayat. Dari asal nama mobil yang beroperasi

mulai tahun 1970-an inilah gelar PMTOH melekat pada dirinya, sehingga namanya lebih

dikenal dengan sebutan Teungku Haji Adnan PMTOH.18

Pendapat lainnya, ada yang mengatakan bahwa nama PMTOH diambil dari kata

poh tem, yaitu kata lain dari bercerita. Dalam tradisi Aceh, bercerita disebut juga dengan

peugah haba, meuhaba, poh haba, poh cakra, poh tem, cang panah, yang kemudian

menjadi sebuah nama salah satu kesenian bercerita di Aceh. Untuk jenis poh cakra, poh

tem, cang panah, biasanya dilekatkan pada bercerita yang membahas segala hal, sering

kali tidak jelas ujung pangkalnya. Dari kata poh tem itulaj dipelesetkan menjadi pem

toh/peng toh, yang kemudian diselaraskan bunyinya menjadi pe-em-toh. Terlepas dari

dua pendapat tersebut, intinya PMTOH adalah sebuah kesenian bertutur/bercerita. Hanya

saja, karena kisah yang diceritakan pada umumnya pernah terjadi pada zaman dahulu,

17
Agus Nurakmal, lulusan seni teater di Instute Kesenian Jakarta.
18
Herman, 2008, Harian Aceh, 15 Juli 2008.
atau dengan kata lain kisah yang diceritakan diyakini kejadiannya, masyarakat Aceh

menamakannya dengan”hikayat”. Hikayat sebagai sebutan, karena cerita yang ditulis

disusun dalam bentuk bait, bersajak, dan berirama (ciri-ciri hikayat dari segi bentuknya).

Selain tiu, ada kekuatan kata yang sulit dibantah kebenaran cerita itu, yakni ungkapan

“sahibul hikayat” yang menunjukkan seolah cerita itu memang pernah terjadi, lalu

dituturkan dari mulut ke mulut oleh masyarakat.19

Adnan PMTOH dalam melakukan monolog selalu menggunakan property atau

alat pertunjukkan yang sangat beragam. Seluruh alat peraga apapun bentuknya, baik

rambut palsu, topeng, gayung,dll, mampu dihidupkan untuk membangun dialog, maupun

suasana dalam bercerita. Inilah kelebihan yang dimiliki Adnan. Sekitar tahun 2005-2006

sebelum meninggal, Adnan kerap muncul membawa PMTOH dalam acara khusus di

stasiun TVRI Banda Aceh.

2.2.2. Hikayat

Budiman Sulaiman menjelaskan hikayat dalam bahasa Aceh diartikan sebagai

aslinya yaitu ‘kisah’ (cerita). Bukan saja dongeng duniawi, keagamaan, pelajaran

tentang adat, bahkan buku cerita yang ditulis dalam bentuk sajak (puisi) di sebut

hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh

karena dapat menjadi seni pertunjukan.20

19
Herman, 2008, Harian Aceh, 15 Juli 2008
20
Budiman Sulaiman, Kesusastraan Aceh (Banda Aceh: Unsyiah Press, 1988), 10.
Di masa lalu, hikayat Aceh pernah maju pesat dalam kehidupan masyarakat

Tanah rencong. Sebagai contoh, yang selalu tercatat dalam sejarah baik tertulis maupun

dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh adalah betapa hebatnya “magnit” hikayat prang

sabi yang dikarang ulama terkenal Tgk Chik Pante Kulu. Hikayat tersebut mampu

menggelorakan semangat perjuangan ketika berhadapan dengan kaphe-kaphe penjajah.

Dengan demikian, penjajah sangat benci saat mendengar dendang Hikayat Prang Sabi

yang keluar dari mulut ureueng Aceh.

Saat itu, hikayat begitu diminati seluruh lapisan masyarakat di Aceh. Bahkan,

orang tua tak segan-segan mendendangkan syair hikayat bernuansa agamis dan

perjuangan ketika meninabobokan anak-anak mereka. Selain itu, di meunasah ataupun

balee desa, para remaja di damping tokoh-tokoh tua di desa juga kerapkali belajar-

mengajar tentang hikayat, nazam, dan sastra Aceh lainnya.

Hikayat adalah jenis prosa sastra lama yang disusun dalam bentuk berbait,

bersajak, berirama (ciri hikayat Aceh). Isi atau kisah dalam hikayat meliputi berbagai

masalah kehidupan, seperti pelajaran-pelajaran tentang adat, masalah keagamaan,

roman-roman duniawi, masalah kemasyarakatan, dan sejumlah peristiwa lainnya. Selain

itu, hikayat juga bisa meliputi dongeng-dongeng, legenda, mitos, sage, maupun fable.

Hikayat dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Ia sudah ada sejak zaman dahulu

kala. Mulanya hikayat ini dimainkan atau bawa dalam bentuk lisan oleh ahli (pawing).

Karena itu, hikayat sering dikatakan sebagai seni tutur. Kemudian, setelah

berkembangnya sastra tulis, hikayat mulai dituliskan. Masa ini dimulai saat masuknya

Islam pertama ke Aceh, diperkirakan abad ke-8 Masehi.


2.2.3. Sebuku

M.J. Melalatoa dalam pengantar pada buku Sebuku Seni Meratap di Gayo, karya

LK Ara, menyebutkan bahwa kata sebuku yang kita jumpai dalam bahasa Gayo kira-kira

berarti ratap atau ratapan. Bersebuku artinya meratap, atau lebih jelasnya menangis

dengan ratapan dalam mengungkapkan rasa haru.21 Lebih lanjut Melalatoa menjelaskan

bahwa bersebuku ini terjadi pada saat adanya kematian dan dalam upacara perkawinan.

Kedua peristiwa ini mengandung unsur perpisahan, yaitu antara simati dengan yang

masih hidup, antara seorang yang pergi (karena kawin, dalam hal ini seorang gadis

mengikuti suaminya patrilokal) dan yang ditinggal.

Dalam kedua peristiwa ini sebuku itu selalu dilakukan oleh kaum wanita dan

sangat luculah kalau seorang laki-laki yang melakukannya. Pantanglah menangis bagi

seorang laki-laki, apalagi bercengeng-cengeng dengan ratapan. Sebaliknya sangat

menarik bila didendangkan oleh seorang wanita, terlebih dengan suara empuk dan lagu

yang merdu.

Pada kesempatan inilah yang merupakan yang terakhir baginya, untuk

mencurahkan perasaan sehabis-habisnya kepada seseorang di hadapan umum. Ia boleh

menangis berjam-jam di hadapan simpuh seseorang, ia boleh meratap sepuas-puasnya.

Memang dalam tangisannya ia berusaha menggugah perasaan orang yang dihadapinya,

sesuai dengan apa yang sedang dirasakannya.

21
LK Ara, Sebuku Seni Meratap di Gayo (Jakarta: Depdikbud, 1979), 11.
Jadi sama dengan seseorang yang sedang berdeklamasi dalam rangka

pengungkapan perasaan yang tersirat didalam sajak, syair, pantun (puisi) yang sedang

dibawakannya. Istimewanya dalam bersebuku ini, ia bertindak sebagai deklamator

dengan lagunya sendiri, sekaligus sebagai penyair yang mencipta pada saat itu juga.22

2.2.4. Seudati

T.A. Sakti dalam artikeln berjudul “Seudati Tarian Pahlawan”, menyebutkan

kata Seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain, yang berarti

kesaksian atau pengakuan.23 Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata Seudati

mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan

tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam.

Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Seudati

dibawakan dengan mengisahkan berbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat

tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama. Pada mulanya tarian

Seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya

menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau diperagakan

untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama.

Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat,

sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Ulama yang mengembangkan

agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang

22
LK Ara, 1979, 11-15.
23
T.A. Sakti, “Seudati: Tarian Pahlawan”, http://www.unsyiah.ac.id/ 13 Maret 2010.
dipakai dalam Seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Di antaranya istilah Syeh

yang berarti pemimpin, saman yang berarti delapan, dan syair yang berarti nyanyian.

Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari

satu orang pemimpin yang disebut syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang

pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakang yang

disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada dua orang penyanyi

sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.

Jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan

beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah

dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan.

Beberapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Ada

beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan

dan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan

kesombongan sekaligus kesatria.

Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari

oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, Seudati juga menjadi

pertunjukan hiburan untuk rakyat. Tari Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng,

Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian

berkembang ke desa Disoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh

Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari Kabupaten Pidie. Seudati termasuk salah satu

tari tradisional Aceh yang dilestarikan.


2.2.5. Guel

Yusra Habib Abdul Gani, dalam tulisannya berjudul “Falsafah Tari Guel”

mengungkapkan bahwa tari Guel itu adalah ‘Musium gerak tanpa bangunan’, tempat

menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah melupakannya dalam gerak tari Guel.

Ingin mengambarkan “aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudara sendiri,

jika dirasa perlu untuk itu. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah,

bukanlah satu-satunya peristiwa dalam peradaban orang Gayo. Kisah Merah Mege (anak

bungsu Muyang Mersa) membuktikan bahwa: ketika enam saudara kandungnya

menunaikan niat jahat dengan mengikat dan menjatuhkan adiknya ke dalam sumur tua

dalam rimba. Dengan kuasa Allah SWT, Merah Mege selamat dan tidak jadi mati. Motif

pembunuhan Merah Mege dan Bener Merie semata-mata karena khawatir kehilangan

pengaruh, kuasa, iri hati dan dengki.24

Gani, memberi pemaknaan terhadap berbagai gerak yang ada dalam tari Guel

sebagai berikut, gerak “munatap” menggambarkan eksistensi diri dan kesadaran, di

mana gajah putih yang enggan bergeming (bersimpuh) sadar sambil menatap realitas

yang asing. Eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah dirangsang oleh

Sengeda dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut tari Guel (“tari berirama”),

agar gajah putih bangkit bersaksi; merubah diam menjadi aksi; memecah kebekuan jiwa

agar larut dan menyatu dalam kemajemukan nilai-nilai; membangunkan kematian

menjadi hidup dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Pada tahap gerak

24
Yusra Habib Abdul Gani, Falsafah “Tari Guel”, Banda Aceh: Artikel Budaya Harian Serambi Indonesia,
21 Juni 2009.
“munatap”, yang dituntut hanya kesadaran diri, pengakuan dan pengenalan secara

menyeluruh. Hal ini berhubung langsung dengan karakteristik orang Gayo, pada

umumnya baru sadar dan beraksi setelah dirangsang terlebih dahulu.

Dalam gerak “redep”, bahu dan tangan bergerak lentur dan bervariasi. Jari-jemari

penari sesekali terbenam dalam lipatan “opoh ulen-ulen”. Tahap ini adalah proses

belajar, meniru dan berpikir. Di sini, gerak dan irama yang dimainkan lebih cepat, walau

tidak terlalu lama. Ini mengajarkan: berpikir dan gerak cepat jika mau dapat dan selamat.

Gerak “redep” lewat dan segera menuju ke gerak lain, yakni: gerak “ketibung”, 25 yang

ditandai dengan hentakan kedua kaki berkali-kali secara bergantian ke bumi;

mengangkat dan menurunkan atau memutar-mutar kedua tangan, dikombinasi dengan

sorotan mata yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, di mana manusia

berhadapan dengan dua pilihan; tuan atau budak; menguasai atau dikuasai (oenguasa

atau hamba).

Gerak “kepur nunguk”,26 yang mengepak-ngepakkan “opoh ulen-ulen”, sambil

berputar-putar, maju dan mundur. Gerakannya sangat agresif dan menantang. Tahap ini

menggambarkan proses klarifikasi masalah, yang menuntut semua anasir atau “debu-

debu” yang menodai supaya disingkirkan. Artinya: tangan siapa sih yang tidak kotor?

Tangan kita telah mengotori Negara, marwah bangsa, budaya dan bahasa. Hal ini

25
Kata: “ketibung” dalam bahasa Gayo, lazimnya dipakai bagi gadis-gadis yang mandi di kolam atau
sungai, membunyikan air dengan kedua tangannya; yang dalam tari ini diisyaratkan dengan variasi gerak tangan dan
kaki, sebagai refleksi dari gelora pikiran dan luahan jiwa. Itu pula alasannya, hingga dalam sastera Gayo, gejolak hati
kerap digambarkan dalam lirik: “berketibung iwanni jantung, berjunte iwanni ate” (“bergejolak dalam jantung,
bersemi dalam hati”), Gani, Harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
26
Kata: “kepur” dalam bahasa Gayo berarti mengusir debu-debu (kotoran) yang melekat pada kain atau
tikar dengan tangan, bukan dengan penyapu, Periksa Gani Artikel Budaya Harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
dimaksudkan bahwa tangan mempunyai konotasi kekuasaan yang bisa merubah,

memperbaiki atau menjahanamkan.

Gerak “seneng lintah” atau “sengker kalang”,27 yang geraknya menggelepar,

memiringkan tubuh bagaikan gerak burung elang yang mau menyambar mangsa. Inilah

gerak burung elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik dengan

memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi mangsa atau gerak lintah yang

meliuk-liuk dalam air yang berarti; masalah mesti di lihat bukan dari satu arah saja,

tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Gerak ini menggambarkan

tahap/peringkat aksi, cermat, konsentrasi dan terarah.

Gerak “cincang nangka” merupakan rangkaian terakhir, aksi memasukkan diri

kedalam kemajemukan. Hal ini bermakna bahwa individu larut dalam kebersamaan.

Melalui gerak tersebut yang dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan

perasaan dan emosi. Tahap ini menunjukkan bahwa apa pun masalah, mesti dislesaikan

dengan mengikut sertakan orang lain.28

2.2.6. Didong

Yusradi Usman Al-Gayoni, dalam artikelnya, “Didong: Sarana pembelajaran

dan Pemertahanan Bahasa Gayo”, menjelaskan bahwa Didong merupakan salah satu

kesenian tradisional yang terdapat pada masyarakat Gayo. Didong dimainkan dengan

perpaduan seni sastra, seni suara dan seni tari, yang merupakan hasil olah piker dan rasa

27
Kata “seneng” dan “sengker” dalam bahasa Gayo bermakna: melirik atau memantau dengan gerak miring.
Periksa Gani, Artikel Budaya Harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
28
Periksa Gani, harian Serambi Indonesia, 21 Juni 2009.
dari Ceh yang ada dalam kelompok Didong (grup atau kelompok Didong). Dalam

Didong, terdapat seorang Ceh (vokalis dalam Didong), apit (pendamping ceh) dan

penurung (pengikut saat refrain terjadi) yang terdiri dari 10 sampai 15 orang.29

Melalatoa, antropolog Universitas Indonesia mengkaitkan etimologi Didong ini

dengan beberapa kosa kata dalam bahasa Gayo seperti denang atau donang (dendang

dalam bahasa Indonesia). Namun, Didong memuat pengertian yang lebih luas (2001: 9).

Sali Gobal, dalam lirik lagu mendefinisikan Didong sebagai kesenian orang Gayo,

“Didong Didong Didong do Didong ni, Didong ko kin seni ni urang Gayo ni”. Artinya,

Didong Didong duh Didong, Didong kau seni orang Gayo.30

Garin Nugroho dalam pengantar berjudul “Didong Sebagai Perpustakaan Hidup”

mendefinisikan Didong sebagai perpustakaan hidup yang mampu menggambarkan

bagaimana komunitas Gayo berpikir, menanggapi, bereaksi dalam proses kebudayaan.

Lewat tradisi lisan Didong ini, bisa dibaca berbagai peristiwa kehidupan (banjir,

kebakaran, tanah longsor) yang menjadi penanda sejarah masyarakat tersebut. Didong

juga mendefinisikan hubungan-hubungan individu manusia Gayo dengan alamnya,

manusia lain dan perubahan di sekitarnya, termasuk proses politik itu sendiri. Lebih

penting lagi, Didong adalah refleksi manusia Gayo yang terbuka dengan perubahan

nilai-nilai kompetitifnya.31

Beberapa fungsi Didong menurut Melalatoa, yaitu (1) fungsi hiburan, (2) fungsi

pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetika, (3) pelestari budaya, (4) pencari
29
Yusra Usman Al-Gayoni, “Didong: Sarana Pembelajaran dan Pertahanan Bahasa Gayo” (Jakarta: Tabloid
Ara News, Edisi II Februari 2009)
30
M.J. Melalatoa, Pentas Kreativitas Gayo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 9.
31
Lihat Melalatoa, 2001, viii.
dana sosial, (5) sarana penerangan, (6) kritik dan control sosial, dan (7) wahana

mempertahankan struktur sosial.32

2.3. Pengarang dan Penciptaan Drama Hikayat Cantoi

Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Dalam pandangan struktural genetik,

--sebagaimana telah disinggung sebelumnya, individu bukanlah agen bebas dari

masyarakatnya. Aspirasi, pendapat, maupun pandangan individu, termasuk pengarang,

diikat oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Pengarang dengan demikian sebagai

subjek sekaligus kolektifitas atau subjek kolektif.

Pengarang sebagai individu dapat dipandang sebagai prosuk sosial dari

kelompok sosialnya. Sebagai produk sosial dari kelompok sosial tertentu, pengarang

dalam hidupnya cenderung mempresentasikan kelompok sosialnya. Karya drama yang

ditulis merupakan representase pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosialnya

di hadapan kelompok sosial yang lain. Kerja pengarang adalah kerja sosial sebagai

perwujudan subjek kolektif seorang pengarang. Pada kenyataanya, dalam masyarakat

juga terdapat banyak fakta kemanusiaan.

Fakta kemanusiaan adalah semua aktivitas manusia sebagai perwujudan makhluk

sosial. Terdapat hubungan antara subjek kolektif dengan fakta kemanusiaan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Goldmann menyatakan bahwa fakta

kemanusiaan memiliki arti karena merupakan respon dari subjek kolektif atau individual

pembangun suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi
32
Melalatoa, 2001, 57.
aspirasi subjek subjek itu. Dengan kata lain, merupakan usaha manusia mencapai

keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya.

Karya drama merupakan manivestasi fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh

subjek kolektif. Aspirasi pengarang dalam karyanya bukan semata-mata aspirasi

individual. Aspirasi pengarang adalah aspirasi yang mewakili kolektifitas kelompok

sosialnya. Kedudukan sosial pengarang dalam kelompok sosialnya kemudia menjadi

penting dan mempengaruhi karyanya.

Konsep subjek kolektif digunakan dalam penelitian untuk mengetahui latar

kehidupan sosial Sulaiman Juned. Sulaiman Juned sebagai pengarang jelas diikat oleh

kelompok sosial atau subjek kolektif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa drama

Hikayat Cantoi adalah ekspresi atau pantulan peristiwa-peristiwa dalam batin seorang

pencipta (pengarang) yang menanggapi dan merespon kehidupan masyarakat.

Karenanya, latar belakang penciptaan sebuah karya drama tidak dapat dilepaskan begitu

saja dari riwayat hidup atau biografi pengarangnya.

Hal di atas masih sering menjadi perdebatan atau polemic, ada tidaknya

pengarang di belakang karyanya. Banyak peneliti berpendapat tidak aka nada drama

tanpa adanya pengarang atau pencipta. Hal ini membenarkana segi-segi realitas pencipta

mempunyai peranan untuk mencari konteks atau hubungan dalam karya drama sebagai

salah satu cara meningkatkan kemampuan pemahaman terhadap karya drama dalam

suatu analisis.

Lepas dari yang menolak mengenai pengarang dalam menganalisis karyanya,

maka dalam pengkajian ini dipandang perlu untuk mengemukakan latar belakang
penciptaan drama Hikayat Cantoi. Tentu saja latar belakang yang mempunyai kaitan

dengan pengalaman-pengalaman Sulaiman Juned sebagai pencipta atau pengarang

sekaligus sutradara dalam pementasan.

Wiko Antoni dalam buku biografi Sulaiman Juned menguraikan bahwa Sulaiman

Juned, dilahirkan di gampong (desa) kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten

Pidie-Aceh, 12 Mei 1965. Pernah terkenal dengan nama pena; Soel’s J. Said Oesy.

Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih duduk di bangku SLTP, Soel kecil

berkenalan dengan guru bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 3

Takengon. Ibu guru tersebut bernama Siti Aisyah, Soel kecil di dalam buku catatan

Bahasa dan Sastra Indonesianya hanya berisi puisi karyanya. Suatu ketika, sang guru

meminta seluruh siswa mengumpulkan catatan Bahasa dan Sastra Indonesia, Soel mulai

berkeringat dingin sebab buku catatannya hanya berisi puisi. Pada minggu berikutnya,

Siti Aisyah masuk dengan memanggil Soel ke kantor, lalu menyerahkan bukucatatan

tersebut, ‘puisi-puisimu sudah ibu koreksi, silakan diketik dan kirim ke Koran-koran.

Alamat Koran sudah ibu tuliskan di bukumu’ tutur bu Guru, lalu puisi-puisi mulai

dikirim berkat alamat yang telah diberikan guru Siti Aisyah, setahun menunggu, puisi-

puisi mulai dimuat dan honor pertama sebesar RP. 1500. Dalam pergaulannya dengan

penyair-penyair besar Aceh dan nasional, seperti; Maskirbi, Hasyim KS, Hasbi Burman,

Nurgani Asyik, LK. Ara, Taufik Ismail, W.S. Rendra, Sapardi Joko Damono, Abdul

Hadi WM, Ahamadun Yosi Hefanda dll. Barulah tahu ternyata gurunya Siti Aisyah

adalah seorang penyair wanita Aceh. Inilah cerita awal mulai menulis.
Selanjutnya mungkin darah seni mengalir dari abua (abang dari ibu) bernama

Abdullah yang lebih dikenal dengan panggilan Syeh Lah Jarum Meueh seorang

pimpinan Seudati yang paling terkenal di Aceh. Lalu ketika diboyong oleh orangtua

merantau ke Takengon-Aceh Tengah, mulai suka menonton Didong (teater tutur dari

Aceh Tengah), dan Sandiwara Keliling Gelanggang Labu. Soel bahkan pernah terlibat

berlatih Didong dengan seniman besar Didong dari tanah Gayo To’et. Juga pernah

bermain Sandiwara Keliling gelanggang labu dengan Cut Maruhoi, Idawati. Pengalaman

empiric ini menumbuhkan jiwa seni di jiwanya. Di Sanggar Cempala Karya Banda Aceh

yang didirikannya pada tahun 1989.

Ia menyelesaikan pendidikan formal: SD Negeri Bies Penantanan Takengon,

Aceh Tengah (1979), SMP Negeri 3 Takengon, Aceh Tengah (1982), SMA Negeri

Beureunuen, Pidie-Aceh (1985), Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)

Padangpanjang (2002) diselesaikannya dengan predikat Cumlaude, lalu Program

Magister Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta-Jawa Tengah (2007) juga

lulus dengan prediket Cumlaude. Ketika masih berada di Aceh ia mengajar teater di

SMA Adi Darma Banda Aceh, SMA YPTP Banda Aceh, SMA Negeri 5 Banda Aceh.

Kini ia menjadi dosen tetap di Jurusan Teater STSI Padangpanjang-Sumatera

Barat. Dosen Ahli FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah

Sumatera Barat (1999-Sekarang), Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera

Barat (2000-Sekarang), Guru teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang (2007-Sekarang),

Guru bidang studi Pendidikan Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia (1998-2005).
Memperistri Iswanti Soepardi yang dinikahinya pada tanggal 7 Agustus 1995, di

Keutapang Dua-Banda Aceh, meminang seorang anak laki-laki yang lahir di

Beureunuen Pidie-NAD pada tanggal 17 Maret 2002. Kini menetap bersama di RT.XI

Kelurahan Guguk Malintang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Padangpanjang,

Sumatera Barat. Rumahnya sekaligus tempat “anak-anak Kuflet” berkumpul, berproses

kreatif-berpikir-diskusi dan membaca serta ‘berkelahi’ pikiran.

Sulaiman dalam aktivitas berteater dan berorganisasi terlihat sangat intens

setidaknya ia tercatat sebagai Pendiri/Pimpinan Sanggar Seni Cempaka Karya Banda

Aceh (1989), Bersama T. Yanuarsyah, Nurmaida Atmadja dan Din Saja mendirikan

Teater Kosong Banda Aceh (1993), bersama Din Saja mendirikan Teater Alam Banda

Aceh (1995), bersama M. Nurgani Asyik mendirikan Teater Peduli Banda Aceh (1995),

Ketua I IKASMA (Ikatan Alumni SMA Negeri Beureunuen), Ketua Komite Sastra

Dewan Kesenian Aceh (1998-2000), Ketua Bidang Humas Lembaga Seni Aceh (1995-

2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1990-1997), Ketua Bidang Pengkaderan

Federasi Teater Aceh (1991-1995).

Mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Langsa-Aceh (1995), Pertemuan

Sastrawan Nasional dan Nusantara IX di Kayutanam-Sumatera Barat (1997), Temu

Teater Indonesia di Pekan Baru (1997), Temu Jurnalistik Nasional di Universitas

Indonesia (1992), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Univ. Diponegoro (1989),

Temu Sastrawan Kampus di Universitas Cendrawasih Irian Jaya (1990), Temu

Sastrawan Kampus di Universitas Indonesia Jakarta (1991), Temu Sastrawan Sumatera


di Bengkulu (1992), Temu Sastrawan Sumatera di Jambi (1993), Temu Sastrawan

Sumatera di Lampung (1994), Temu Sastrawan Sumatera di Aceh (2004).

Menulis puisi, cerpen, esai, artikel budaya, reportase budaya, kolom dimuat di

media; Santunan, Serambi Indonesia, Atjeh Post, Peristiwa, Warta Unsyiah, Ar-Raniry

Post, Kalam, Aceh Ekpres, Ceurama, Rakyat Aceh, Aceh Kita (Aceh), Waspada,

Analisa,Dunia Wanita (Medan), Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang

Ekspres, Laga-laga, Majalah Saga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni (Sumatera

Barat), Riau Post (Riau), Independent (Jambi), Lampung Post (Lampung), Solo Post,

dan Jawa Post, Jurnal Dewa Ruci (Jawa Tengah), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta),

Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Kompas, Kawan Tempo, Seputar

Indonesia, Majalah Bahasa dan Sastra (Malaysia dan Brunei Darusssalam). Karyanya

juga terkumpul dalam Antologi: Podium (Aceh, 1990), Bunga Rampai Puisis Pariwisata

(Pustaka Komindo, Jakarta, 1991), HU (Teater Kuala, Aceh 1994), TTBBIJ (Medan,

1995), Ole-Ole (Cempala Karya, Aceh 1995), Teriak Merdeka (Fak. Hukum, 1995),

Surat (kuflet, Padangpanjang 1998), Dalam Beku Waktu (NGO-HAM Aceh, 2002),

Antologi Esai “Takdir-Takdir Fansuri (DKB, 2002), Tiga Drama Jambo (Kuflet

Padangpanjang, 2005), Mahaduka Aceh (Pusat Dok. HB. Jassin, Jakarta 2005), Syair

Tsunami (Pustaka Jaya, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (LAPENA, 2005), Remuk (ASA-

Japan, 2005), Aceh 8,9 Skala Ritcher lalu Tsunami (Jakarta, 2005), Surat: Merah Putih

(Kuflet, Padangpanjang 2007), Riwayat (Diknas, Jakarta, 2007) dapat Juara III Tingkat

Nasional di Jakarta. 181-4 Lalu Debu (Kuflet, Padangpanjang 2008).


Pernah terlibat sebagai pemusik dalam Desain Struktur Karya/Komposer Drs.

Wisnu Mintargo pentas di Gedung Teater Kecil STSI Surakarta, 1998, Signal Lima

Karya/Komposer IDN. Supenida, S.Skar, di Gedung Boestanoel Arifin Adam STSI

Padangpanjang (2001). Sebagai Skenografi; Marsinah/Ratna Sarumpaet, disutradarai Ika

Trisnawati (Kuflet, 2001), Mesin Hamlet disutradarai Arnaldoriko (Kuflet, 2002),

Orkestra Simarantang Karya/Komposer: Drs. Yoesbar Jailani (FKI III, Surabaya 2003).

Ia sudah memerankan tokoh 250 karakter, berawal dari actor tanpa dialog-aktor

pembantu berdialog-aktor utama, pentas keliling Aceh, Medan, Padang, Riau, Jambi,

Palembang, Lampung, Bengkulu, Solo, Yogyakarta, Surakarta, Bandung, Bali dan

Gorontalo serta TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. 150 kali tampil dalam layar

kaca/sebagai aktor dan sutradara serta penulis secenario baik di TVRI Stasiun Aceh,

Padang dan Nasional.

Soel semenjak dari Aceh sampai ke Padangpanjang mulai menyutradarai naskah

lakon; Desah Nafas Mahasiswa/Sulaiman Juned(CeKa-Taman Budaya Aceh, 1989),

Pulang/Sulaiman Juned (CeKa-Taman Budaya Aceh,1989), Warisan/Sulaiman Juned

(CeKa-Taman Budaya Aceh, 1990), ABU/B.Sularto (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1990),

Orang-Orang Marjinal/Sulaiman Juned (CeKa-Auditorium RRI Banda Aceh, 1991),

Pernikahan/Sulaiman Juned (CeKa-Auditorium MUI Aceh, 1991), Boss/YS.Rat (CeKa-

Taman Budaya Aceh, 1992), Eksperimentasi Belenggu/Nurgani Asyik (CeKa-Taman

Budaya, 1993), Nyanyian Angsa/Anton P.Chekov (CeKa, 1994), Si Pihir dan

Berudihe/NN (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1995), Hari Sudah Senja/Jarwansyah (CeKa-

Taman Budaya Aceh, 1996), Kemelut/Sulaiman Juned (CeKa, Riau, 1997),


Kemerdekaan/Wisran Hadi (Kuflet, Hoerijah Adam ASKI PadangPanjang, 1997/ INS

Kayutanam, Pertemuan Sastrawan Nusantara, 1997) Ikrar Para Penganggur/Sulaiman

Juned (Kuflet, 1998), Ambisi/Wolfman Kowict (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI

Padangpanjang, 1999), Raimah/Arzul Jamaan (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI

Padangpanjang, 1999), Selingkuh/Benny Yohanes (Kuflet, Taman Budaya Sumatera

Barat, 2000), Piramus dan Tisbi/William Shakeaspeare (Kuflet, Hoerijah Adam STSI

Padangpanjang, 2001), Jambo “Luka Tak Teraba”/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung

Teater Mursal Esten STSI Padangpanjang, 2001 dan Taman Budaya Sumatera Barat,

2002), Orang-Orang Rantai/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO, Sawahlunto

Sumatera Barat, 2002), Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2003),

Jambo Ayam Jantan/Sulaiman Juned (Kuflet, Hoerijah Adam STSI Padangpanjang,

2004), Marsinah/Ratna Sarumpaet (Kuflet, Taman Budaya Sumatera Barat, 2004),

Asalku Dari Hulu/Sulaiman Juned (Kuflet, Lapangan Sawahlunto, 2004),

Berkabung/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2004 dan Taman Budaya

Sumatera Barat, 2005), Sebut Saja namaku Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO

Sawahlunto, 2005), Teaterikal Puisi ‘Riwayat’/Sulaiman Juned (Kuflet, Taman Budaya

Surakarta Jawa Tengah, 2006), Hikayat Pak Leman/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung

TBO Sawahlunto, 2006, dan Gedung Teater Mursal Esten Padang Panjang, 2007),

Hikayat Cantoi/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung Teater Mursal Esten STSI Padang

Panjang, 2007 dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2008).

Sulaiman Juned telah menuliskan berbagai naskah teater dengan Latar sosial

kultural masyarakat Aceh dalam perspektif kekinian. Bagi Sulaiman Juned melihat Aceh
dari jauh sangat berbeda spirit dan emosional yang dirasakannya dibandingkan ketika

berada di kampong halaman sendiri. Jambo, sebagai ikon masyarakat pedesaan Aceh,

telah menginspirasinya melahirkan beberapa naskah. Misalnya: “Jambo, Luka Tak

Teraba” (2011), “Jambo Beranak Duri dalam Daging” (2002), “jambo Bunga Api-Bunga

Hujan” (2003), “Jambo Ayam Jantan” (2004), dan “Hikayat Cantoi: Sekali Cantoi Tetap

Cantoi” (2007) yang menggunakan jambo sebagai Setting utamanya. Naskah tersebur

sudah dipentaskan dalam berbagai festival di Sumatera Barat dan di daerah lainnya.

Khusus untuk naskah “Hikayat Cantoi”, telah dipentaskan 5 Agustus 2007 yang lalu,

sebagai tugas akhir penciptaan (untuk Magister Seni) di Program Pasca Sarjana Institut

Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Juga dipentaskan di Taman Budaya Sumatera Barat pada

6 Juni 2008 yang mendapat respon luar biasa dari seniman Sumatera Barat, maupun

masyarakat Aceh yang berada di Sumatera Barat. Lalu pertunjukan ini pula yang

rencana diusung untuk pertunjukan keliling pulau Jawa-Bali-Aceh- dan Sulawesi.

Selain naskah di atas, Sulaiman Juned juga telah menulis dan mementaskan

karya yang terinspirasi oleh sosial-kultural dan alam minangkabau, seperti “Orang-orang

Rantai” di Sawahlunto. Untuk menjaga kontuinitas eksistensi komunitas dan proses

kreativitas, di luar naskahnya sendiri, Sulaiman Juned bersama KSK juga mementaskan

karya-karya teaterawan Indonesia, seperti: “Kemerdekaan” (Wisran Hadi), “Selingkuh”

(Benny Yohanes), “Marsinah” (Ratna Sarumpaet), serta sejumlah teaterawan Sumatera

Barat. Bahkan bersama KSK juga di pentaskan karya-karya adaptasi dari naskah asing.

Misalnya: “Ambisi” (Wolfman Kovitch), “Seteru” (Sir Kenneth W. Goodman),


“Piramus dan Tysbi”, “Hamlet”, “Machbet”, “Romeo dan Juliet” (Willam

Sakeaspeare).33

Melihat aktivitas yang pernah dilakukan oleh Sulaiman Juned, menunjukkan

bahwa apa yang dikerjakan termasuk dalam menciptakan drama Hikayat Cantoi

merupakan hasil dari akumulasi pengalaman hidup dalam bermsayarakat, baik dalam

kehidupan masa kecil hingga dewasa, bahkan dalam lingkungan pekerjaannya sebagai

pekerja teater, dosen teater, jurnalis, maupun organisatoris.

Lebih khsusus, dalam melahirkan drama Hikayat Cantoi, Sulaiman Juned yang

memiliki pendidikan formal dalam bidang teater baik pada strakta I di STSI Padang

Panjang, maupun pada saat itu sebagai mahasiswa Pascasarjana STSI Surakarta,

dibarengi dengan kajian-kajian akademis. Penciptaan drama Hikayat Cantoi, yang

menjadi fokus pada bagian ini, di awali dengan serius melakukan riset lapangan, dan

kajian kepustakaan melalui dokumen-dokumen tertulis. Pengalaman riset di lapangan

menjadikan Sulaiman Juned mampu merekam lebih dekat kenyataan-kenyataan atau

peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi pada masa konflik Aceh. Pengalaman ini yang

kemudian menjadi tema dalam drama Hikayat Cantoi.

Selain itu, Sulaiman melakukan pendalaman terhadap beberapa jenis pertunjukan

tradisi di Aceh di antaranya; teater tutur Poh Tem, Peugah Haba atau Dongderia yang

dipopulerkan Teungku Adnan dengan sebutan PMTOH. Teater ini dimainkan satu orang

dalam bentuk monolog. Sulaiman kemudian membandingkan dengan monolog dalam

33
Wiko Antonio, Catatan “Perang” Seorang Seniman Aceh (Padang Panjang: Komunitas Seni Kuflet,
2008), 2-11.
teater modern Indonesia, dan menemukan beberapa perbedaan. Monolog yang lazim

dilakukan teater modern lebih banyak bersifat penuturan dengan melakukan movement

(gerak), sedangkan pada teater tutur PMTOH lebih kaya dengan ekspresi, karakter

tokoh, dan karakter bahasa dialog yang berubah-ubah. Begitu juga dengan penggunaan

alat/properti serta pergantian busana dalam setiap adegan, music vocal, tubuh, rapa’i dan

bantal dimainkan langsung oleh pemeran. Pemeran bermain dengan tekhnik duduk dan

tidak melakukan movement (gerak) atau blocking (perpindahan) dari satu tempat ke

tempat yang lain.

Hasil riset Sulaiman terhadap Teungku Adnan PMTOH dalam melakukan pentas

hanya bermain sendiri (monolog). Tetapi, Teungku Adnan mampu memunculkan

beribu-ribu tokoh (seolah-olah banyak sekali pemeran yang sedang berperan). Hal ini

dilakukannya lewat kemampuan suara (vokal), dan perubahan busanan tergantung peran

yang diperankan dalam hikayat (cerita). Teater tutur PMTOH lakonnya juga selalu

berangkat dari hikayat, seperti Hikayat Malem Dewa, Malem Dagang, Putroe Ijo, dll.

Berangkat dari temuan-temuan tersebut, Sulaiman terinspirasi untuk

mengembangkan proses kreatif berteater. Ia tidak lagi mengacu pada hikayat-hikayat

yang telah ada, sebagaimana dilakukan oleh Teungku Adnan PMTOH. Tetapi, Sulaiman

mengangkat cerita baru dari persoalan kekinian berupa konflik sosial politik yang terjadi

di Aceh. Dibarengi dengan konsepsi keilmuan dan kompetensi yang dimilikinya, ia

kemudia menggarap drama yang berbasis dari teater tutur Aceh PMTOH, dengan

mendapat sentuhan teater modern.


Sulaiman Juned dalam hal ini, tidak berangkat dari naskah hikayat namun

menuliskan naskah yang berjudul “Hikayat Cantoi” lalu dipentaskan dalam naskah

bahasa Indonesia. Dalam pementasan, Sulaiman juga mengawinkan konvensi (Aturan/

Hukum) teater modern terutama pada movement (pergerakan), dan blocking

(perpindahan) pemeran di atas pentas, dengan menggunakan gerakan imitasi dari tari

tradisional.

Lebih jauh lagi, dalam pentas dram Hikayat Cantoi, Sulaiman menggunakan

berbagai jenis seni pertunjukan lainnya, baik dalam music maupun gerak. Di antaranya:

kekayaan tubuh sebagai music (music perkusi tubuh), seperti: tepuk dada, paha, perut,

dan petik jari (Seudati), tepuk tangan (Didong), serta gerak tari Guel. Lewat pementasan

drama Hikayat Cantoi ini kemudian dapat ditangkap beberapa kebaruan-kebaruan yang

dapat memperkaya khasanah teater modern di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai