Anda di halaman 1dari 15

Makalah Geografi Agama

PENCIPTAAN BUMI MENURUT ISLAM

Di Susun Oleh:

Kelompok 4

Salwa Khaira (1706101040027)

Ryan Ilham (1706101040039)

Rizky Trimunandar (1706101040049)

Dosen Pembimbing:

Drs. Abdul Wahab Abdi., M.Si

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM, BANDA ACEH

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah pada mata kuliah Geografi Agama dengan
judul “Pembentukan Bumi Menurut Islam”. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen
pembimbing dalam mata kuliah ini yaitu Bapak Drs. Abdul Wahab Abdi., M.Si.
Dalam penyusunan tugas dan materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan teman-teman yang telah memberikan dukungan moril sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini. Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehinng tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.

Banda Aceh, 20 November 2020

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Alam semesta, dalam sudut pandang tauhid dan konsepsi Islam adalah merupakan
ciptaan Allah SWT., dan diurus pula oleh kehendak dan perintah-Nya. Jika Allah sekejap saja
tidak memberikan perhatian, maka seluruh alam semesta akan binasa seketika. Alam semesta
ini tidak diciptakan dengan sia-sia atau bukan untuk senda-gurau. Sistem yang ada pada alam
semseta adalah sistem yang paling baik dan paling sempurna. Sistem ini memanifestasikan
keadilan dan kebenaran, dan didasarkan pada serangkaian sebab dan akibat. Di mana setiap
akibat merupakan konsekuensi logis dari sebab, dan setiap sebab melahirkan akibat yang
khusus. Takdir Allah mewujudkan sesuatu melalui sebab khususnya saja, dan serangkaian
sebablah yang merupakan takdir Allah untuk sesuatu.
Seiring berkembangnya waktu dan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan juga
sains. Sistem-sistem yang disebutkan di atas sebagai sistem yang terbaik dalam keberaturan
alam semesta – termasuk penciptaan alam semesta itu sendiri – mulai dapat dipahami dan
diuraikan. Dengan ditemukannya penemuan-penemuan mutakhir tentang alam semesta
membuat sebagian orang mulai abai terhadap Kuasa Tuhan dan sebagian lagi menjadi semakin
takjub dengan ke-Maha Kuasa- an Dia yang Maha Besar.
Terlepas dari semakin tambah beriman atau ingkarnya seseorang kepada Tuhan Yang
Maha Esa dengan ditemukannya fakta-fakta sains dalam alam semesta, al-Quran sebagai Kitab
yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. 14 abad yang lalu ternyata
sudah memuat informasi-informasi tentang alam semesta baik itu terkait penciptaannya atau
pemeliharaan alam semesta. Memang, dalam al-Qur’an tidak dimuat secara rinci tentang
bagaimana alam semesta ini terwujud, kapan dan bagaimana selanjutnya ia berjalan tanpa
terjadi benturan antar satu planet dengan planet lainnya atau satu bintang dengan bintang
lainnya. Hal itu bukan berarti al-Qur’an memuat informasi yang tidak jelas, melainkan karena
memang al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan yang harus merinci detail demi detailnya
penciptaan alam semesta ini.
Planet bumi adalah satu dari sekian banyak planet yang ada di alam semesta, dan ia pun
tak luput dari al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an banyak sekali disebutkan tentang bumi dan
diantaranya terdapat informasi tentang bumi, dan belakangan apa yang terdapat dalam al-
Qur’an ini dapat dibuktikan secara sains murni. Karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
terkait dengan bumi dalam pandangan sains al-Qur’an dan sains murni dengan harapan semoga
apa yang ada dalam pembahasan ini dapat semakin menambah keimanan kita terhadap Allah
SWT., Tuhan Semesta alam yang Maha Besar dan Maha Kuasa.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dijelaskan diatas, maka bagaimana
pembentukan bumi bila dilihat menurut pandangan Islam?

1.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui bagaimana pembentukan bumi menurut Islam dan refleksinya
dengan sains murni.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Pencipataan Bumi
2.1.1 Masa Pencipataan Bumi
Penemu teori astronomi kontemporer berpendapat bahwa bumi termasuk benda langit
(jism samawi), artinya bumi merupakan subordinat matahari, atau termasuk satelit matahari
yang mengelilingi matahari dengan jarak yang berlainan dengan planet lainnya. Hal ini
kemudian mereka sebut dengan istilah “tata surya”. Dalam sistem tata surya, bumi adalah
termasuk planet ketiga, dan meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, usia bumi diperkirakan
4,6 miliar tahun. Berjarak sekitar 150 juta km dari matahari dan memiliki massa sekitar 5,9736
x 1024 Kg. Planet berbentuk bulat ini memiliki radius ± 6.370 km.
Terkait dengan bumi ini, di dalam al-Qur’an, Allah telah menjelaskan tahap atau masa
penciptaan langit dan bumi.

Artinya: “Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari
padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka Apakah kamu
tidak memperhatikan?.” (QS. Al-Sajadah [32]: 4)

Artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi
dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah
Rabb semesta alam’”. (QS. Fushshilat [41]: 9)

Tafsir dari enam masa (sebagian menafsirinya dengan hari) pada ayat pertama di atas
mengalami beberapa dinamika. Sayyid Quthb lebih memberi penegasan bahwa enam hari yang
dimaksud dalam al-Qur’an tersebut adalah masih dalam perkara gaib yang tidak mungkin
diketahui secara pasti. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada upaya dalam menafsiri ayat
tersebut.
Sebelum berkembangnya pengetahuan seperti saat ini, ada yang menafsiri bahwa hari
tersebut adalah layaknya hari yang kita alami. Salah satu argumen yang diajukan dalam tafsiran
ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nasâiy, diterima dari Abi Hurairah dengan sanadnya:
“Bahwa Allah menciptakan semua langit dan bumi dan segala apa yang ada di antara keduanya
dalam masa enam hari dan di hari ketujuh Tuhan bersemayam ke atas ‘Arsy. Tanah diciptakan
hari Sabtu, gunung-gunung hari Ahad, pohon-pohon kayu hari Senin, barang-narang yang
buruk hari Selasa, Nur (cahaya) pada hari Rabu, bintang-bintang pada hari kamis, dan Adam
diciptakan pada hari Jum’at sesudah waktu Asar, dan Adam itu dijadikan dari kulit bumi, ada
tanah merah da nada tanah hitam, ada tanah bagus dan ada tanah busuk. Lantaran itu maka
terjadi anak-anak Adam ada yang baik da nada yang buruk.” Namun, hadits ini dikritik oleh
Imam al-Bukhariy dalam “at-Tarikh al-Kabîr”.
Setelah ilmu pengetahuan mulai berkembang, penafsiran yang menyatakan bahwa hari
yang dimaksud dalam penciptaan langit dan bumi adalah sama halnya dengan hari di bumi
tidak dipakai lagi oleh para penafsir yang datang belakangan. Orang sudah dapat memahamkan
bahwa enam hari tersebut hanyalah menurut ilmu Allah. Terkait dengan ini, Hamka
mengomentari sebagai berikut: “Apakah yang sehari itu 1000 tahun? Sebagai yang akan
disebutkan pada ayat ke 5 sesudah ini? Ataukah sehari itu 50.000 tahun sebagai tersebut pada
ayat ke-70, Al-Ma’ârij? Atau lebih dari itu? Benar-benar Tuhanlah yang tahu. Maka lebih
baiklah kita terima bunyi ayat dengan langsung tidak memakai “kaifa” (betapa), karena masih
banyak rahasia alam ini akan tetap tertutup bagi manusia.”
Setidaknya, terdapat dua pesan yang terkandung dalam pernyataan Hamka tersebut.
Pertama, bahwa kita sebagai manusia tidaklah mempunyai wewenang untuk memutlakkan
penafsiran kita akan firman-Nya, karena keterbatasan yang tidak bisa dilepaskan dari diri
manusia yang tak akan mungkin mampu membatasi Dia dan juga firman-Nya yang tak terbatas.
Kedua, meskipun terbatas bukan berarti kita hanya diam saja meyakini apa yang disebutkan
dalam al-Qur’an tanpa berusaha mengungkap rahasia-rahasia yang terkandung di dalam al-
Qur’an.
Kemudian dalam ayat lainnya, penciptaan bumi diperinci lagi dalam 2 hari (QS.
Fushshilat [41]: 9). Hamka lebih memaknai ayat ini lebih menekankan betapa kuasanya Allah
yang telah menciptakan bumi dalam dua hari saja dan menegaskan bahwa tak sepatutnya
mengadakan sekutu bagi Allah yang dalam penciptaan bumi ini hanya dua hari saja.
Kemudian Hamka melanjutkan tafsirannya atas ayat selanjutnya dari Surat yang sama
(QS. Fushshilat [41]: 10). Bahwa “Dan Dia menjadikan padanya gunung-gunung pengokoh di
atasnya” mempunyai maksud bahwa di bumi ini juga diciptakan gunung-gunung yang tinggi.
Gunung ini sebagai penghambat angin dan laksana katalisator pembagi strom listrik agar
jangan langsung saja, serta sebagai penampung hujan supaya dia mengalir dengan teratur dari
puncak gunung itu membelah bumi tempat air lalu menjadi sungai. Artinya membuat bumi ini
bisa didiami dan tempat tinggal tetap bagi manusia, dengan menentukan kadarnya, seperti yang
disebutkan dalam QS. Al-Mukminun [40]: 64.
Maka, bumi ini bukanlah semata-mata dijadikan saja, namun oleh Allah bumi ini
dipersiapkan sedemikian rupa untuk manusia yang dijadikan khalifah-Nya. Dipersiapkan pula
di dalamnya kadar makananuntukm manusia dan untuk semua makhluk bernyawa yang hidup
di permukaan bumi. Semuanya sudah ditaksirkan dan kita artikan sudah dikadarkan. Kemudian
maksud dari “Di dalam empat hari” ialah bahwa jumlah masa menciptakan bumi adalah dua
hari dan ditambah dengan persiapan penampungan segala makhluk yang bernyawa tadi
disediakan dua hari pula, jadi berjumlah dalam masa empat hari.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata yaum/hari dalam penggunaan bahasa Arab
tidak selalu harus dipahami dalam pengertian 24 jam. Ia bahkan digunakan untuk menunjukkan
satuan waktu bagi selesainya kegiatan, baik pendek maupun panjang. Karenanya, kata yaum
dalam dua ayat di atas bisa bermakna lebih dari 24 jam ukuran hari di bumi atau mungkin
kurang. Terkait dengan penciptaan bumi ini, sebagian kemudian ada yang memaknai hari
dalam penciptaan bumi dan juga alam semesta sebagai suatu masa. Seperti yang digunakan
oleh Agus Haryo yang mengartikan yaum dengan pemaknaan masa dan bukannya hari.
Baik itu dua hari atau dua masa, kedua pemaknaan itu tidak ada yang salah karena
keduanya memiliki dasar yang dipakai. Adapun pemkanaan dua masa ini memiliki kaitan
dengan fakta sains yang ditemukan terkait dengan penciptaan bumi. Agus Haryo memaparkan
fakta sains tersebut sebagai berikut. “Semua proses pembentukan bumi tersebut telah dimulai
sejak 4,5 miliar tahun yang lalu”.
Pada masa 3,5 miliar tahun lalu planet bumi masih dipenuhi lautan dan masih dihujani
meteor. Pulau-pulau vulkanis baru terbentuk disertai aktivitas-aktivitas vulkanis yang terus
terjadi terus-menerus memenuhi permukaan bumi dan benua-benua masih sangat kecil. Udara
sangat panas dan tidak mengandung oksigen. Kurang lebih sejak 3,5 miliar tahun lalu planet
bumi mulai mengalami pendinginan. Bumi harus ‘bersendawa’ untuk mengeluarkan gas CO2
agar bisa bereaksi dengan unsur-unsur kimia lainnya, seperti H2O, O2, S, CO2, N2, Ne, He,
CH4, Kr dan Ar. Tujuan aktivitas tersebut adalah untuk mengurangi tekanan yang meningkat
dalam interior planet bumi.
Setelah bersendawa terus menerus melalui lubang magma di muka bumi, gunung-
gunung berapi muncul satu per satu dan aktif bersamaan. Pada saat itulah bumi mengeluarkan
gas-gas dari dalam perutnya. Semua aktivitas sendawa tersebut ternyata demi menciptakan
sebuah tekanan 1,37 juta atmosfer dalam inti bumi dan mempertahankan temperaturnya
setinggi 3700 derajat celcius. Kondisi tersebut sangat dibutuhkan agar planet ini daoat
mendukung kehadiran sebuah kehidupan dengan harmonis.
Reaksi gas-gas yang dikeluarkan oleh aktivitas gunung berapi selama kurang lebih
puluhan hingga ratusan juta tahun, menjadi sebuah reaksi berantai biokimia dan biofisika pada
planet bumi ini. Inilah yang dimaksud dengan masa kedua oleh Allah SWT. dalam penciptaan
bumi, yaitu masa ketika embrio kehidupan terwujud. Pada masa ini reaksi berantai gas-gas
yang dimuntahkan oleh gunung-gunung api menyediakan bahan makanan bagi sebuah
lingkungan embrio kehidupan.

2.1.2 Penghamparan Bumi


Al-Qur’an menyebut kata “hampar” untuk konteks bumi sebanyak 10 kali, yaitu dalam
QS. Al-Baqarah ayat 22, QS.Al-Hijr ayat 19, QH. Thâ Hâ ayat 53, QS. Qâf ayat 7, QS. Al-
Dzâriyât ayat 48, Nûh ayat 19, Al-Naba’ ayat 6, Al-Nâzi’ât ayat 30, Al-Ghâsyiyah ayat 20 dan
Al-Syams ayat 6.tentunya, penyebutan kata “hampar” berulang-ulang merupakan ungkapan
untuk manusia yang berakal.
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu
bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)

Terkait dengan ayat di atas, al-Thabari mengutip beberapa pendapat/tafsiran dari apa
yang dimaksud dengan “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan”, diantaranya ialah
Musa bin Harun al-Hamdani yang menceritakan kepadanya (al-Thabari): Amru bin Hamad
menceritakan kepada kami, katanya: Asbath menceritakan kepada kami dari as-Suddi tentang
berita yang disebutkannya dari Malik, dan dari Abu Shalih ibnu Abbas, dan dari Murrah al-
Hamdani, dari Mas’ud dan dari sejumlah sahabat Rasulullah SAW.: “Dialah yang menjadikan
bumi sebagai hamparan” yaitu hamparan sebagai tempat jalan kaki dan tempat tinggal.
Keterangan ini juga sesuai dengan riwayat Bisyr bin Mu’adz al-Aqadi yang memaknai
hamparan sebagai tempat tinggal, dan dari riwayat al-Mutsanna bin Ibrahim yang
mengartikannya dengan tempat tinggal.
Meskipun ayat di atas telah mendapatkan penjelasan dari Rasulullah bukan berarti
sudah tidak tidak ada kemungkinan baginya untuk dicari makna yang lebih dari itu.
Belakangan, Geologi telah membuktikan bahwa memang kita hidup di atas lembaran atau
lempengan benua (lithosphere/crust) yang telah mendingin dan ter-hampar. Bentuk lempengan
ini bagaikan hamparan karpet yang bergerak-gerak di atas cairan bubur padat panas
(upper/shalle mantle) yang temperatur intinya kurang lebih 3700° C dengan tekanannya
mencapai 1,37 juta Atm.
Kemudian dari dua informasi di atas, yakni dari Hadits nabi dan juga penemuan
Geologi dapat didapatkan satu titik temu. Bahwa bumi ini dihamparkan ialah untuk tempat
tinggal makhluk hidup, di mana hamparan ini berupa lempengan yang telah membeku dari
yang awalnya adalah meleleh. Tentunya tidak akan ada kehidupan di atas bumi jika tidak ada
proses pendinginan lempengan tersebut. Lebih dari itu, penghamparan bumi ini oleh Sayyid
Quthb dimaknai sebagai pemberian aneka warna kemudahan dalam kehidupan manusia di
muka bumi, dan menunjukkan bahwa bumi ini memang disediakan bagi mereka untuk menjadi
tempat tinggal yang menyenangkan dan tempat berlindung yang melindungi bagaikan
hamparan.

2.1.3 Lapisan Bumi


Beberapa hal tentang bumi ternyata telah termuat dalam al-Qur’an yang diturunkan 14
abad yang lalu, dan yang menakjubkan adalah informasi yang termuat dalam al-Qur’an ini
sesuai dengan temuan-temuan sains mutakhir. Maka patutkah kemudian kita mengingkari Dia
yang Maha Benar ini? Bukti kebenaran yang selanjutnya adalah terkait dengan unsur bumi
yang terdiri dari tujuh lapis. Berikut informasi yang termuat dalam al-Qur’an:

Artinya: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah
Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Thalaq [65]:
12)
Hamka di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Fakhruz Razi menyalinkan dari
sesoeorang sebuah tafsir tentang tujuh lapis langit tersebut yang dalam tafsiran tersebut
dikomentarinya sebagai tafsiran yang tidak bisa diterima oleh akal. Karena dalam tafsir
dongeng itu dikatakan bahwa langit pertama adalah gelombang awan menutup penglihatan.
Langit kelima perak, langit keenam perak, dan langit ketujuh adalah intan. Di mana jarak antara
satu langit dengan langit lainnya adalah 500 tahun perjalanan dengan tebal masing-masing
langit 500 tahun perjalanan.
Kemudian terkait dengan bumi yang disebutkan dalam ayat tersebut juga terdiri dari
tujuh lapis. Terdapat beberapa riwayat tafsir, di mana riwayat itu hanya sekedar pengetahuan
yang ada saat itu, diantaranya ada yang mengatakan memang bumi itu tujuh banyaknya dan
tiap-tiap bumi ada Nabinya sendiri. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bumi hanya satu,
tetapi terbagi menjadi tujuh lapisan: Dasarnya terbagi tiga, pertama inti bumi, yang kedua atau
di tengah tanah semata, ketiga tanah terbuka yangmana pada bagian inilah hidup segala
kehidupan.
Akan tetapi, Hamka kemudian mengingatkan bahwa tafsiran yang ada itu tidaklah
sesuatu yang mutlak. Bertambah usaha dan ikhtiar manusia menyelidiki alam ini, dengan
berbagai kemajuan alat-alat penyelidik disertai dengan ketekunan, maka akan terungkap betapa
besar dan luasnya malakûtis samâwâti wal-ardhi (Kerajaan yang meliputi langit dan bumi).
Seperti yang telah disampaikan di awal-awal bahwa al-Qur’an bukanlah kitab ilmu
pengetahuan yang memuat detail teori-teori di dalamnya. Meskipun demikian, bukan berarti ia
(al-Qur’an) sama sekali terlepas dari hal-hal terkait ilmu pengetahuan dan sains. Apa yang
dikemukakan Hamka adalah upaya menyadarkan betapa luasnya kandungan al-Qur’an jika ia
didekati dengan berbagai sudut pandang.
Fakta sains menyebutkan bahwa ternyata bumi yang kita tempati ini berlapis-lapis
mulai dari kerak bumi terluar sampai intinya yang padat. Dan belakangan juga ditemukan fakta
bahwa bumi terdiri dari tujuh lapisan, di mana setiap lapisnya memiliki karakteristik dan tugas
masing-masing. Demikian pula dengan dengan langit yang memiliki tujuh lapis atmosfer.
Ketujuh lapis bumi tersebut ialah: Lithosphere/crust (0-60 km), Upper/shallow
mantle/astenosfer (60-400 km), Transition Region (400-650 km), Lower mantle (650-2700
km), Discontinuity (gutenburg) (2700-2890 km), Outer core (2890-5150 km) dan Inner core
(5150-6378 km).
Namun, sebelum sampai kepada kesimpulan tujuh lapis bumi, perlu diketahui bahwa
secara garis besar, struktur bumi dibagi menjadi tiga:
1) Kerak bumi
Kerak bumi adalah lapisan terluar dari bumi yang bersebelahan dengan mantel bumi
yang memiliki ketebalan 85 km. kerak bumi ini dapat bergerak pada pergerakan
tektonik lempeng. Inilah yang menyebabkan gempa bumi yang disebabkan adanya
pergeseran lempeng ini. Kerak bumi memiliki beberapa unsur kimia diantaranya:
Oxygen (O2) 45,5%; Silicon (Si) 27,2%; Aluminium (Al) 8,3%; Iron (Fe) 6,2%;
Calcium (Ca) 4,66%; Magnesium (Mg) 2,76%; Sodium (Na) 2,27%; Potassium (K)
1,84%; Titanium (Ti) 0,63%; dan lain-lain 1 %.
2) Mantel bumi
Mantel bumi terletak di antara kerak dan inti bumi yang tersusun atas batuan-batuan
yang mengandung magnesium dan silicon. Suhu yang terdapat pada mantel bumi bagian
atas sekitar 1.300° C-1.500° C dan suhu pada bagian dalam matel sekitar 1.500° C-
3.000° C.
3) Inti bumi
Berdasarkan sifat material pembentukannya, inti bumi terdiri dari lapisan litosfer,
astenosfer, mesosfer, inti bumi bagian luar (outer core) dan inti bumi bagian dalam
(inner core). Inti bumi bagian luar melindungi inti bumi bagian dalam. Susunan inti
bumi bagian luar adalah nikel cair dengan suhu 3.900° C. Adapun inti bumi bagian
dalam tersusun atas besi dan nikel yang pada dengan suhu mencapai 4.800° C.

Demikianlah fakta sains menyebutkan bahwa struktur bumi terdiri dari tiga bagian,
yang dari ketiga bagian itu dapat diperoleh kesimpulan bahwa bumi ini terdiri dari tujuh lapis.
Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Allah SWT. dalam al-Qur’an (QS. Al-Thalaq [65]:
12).

2.2 Refleksi Penciptaan Bumi dalam Sains dan Al-Qur’an


Menarik memperhatikan penilaian Zainal Abidin Bagir tentang pandangan Golshani
terkait tentang al-Qur’an. Di mana al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber ilmu.
Golshani tidak menganggap ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber langsung teori-teori ilmiah,
yang dapat digunakan untuk mendukung atau mengkritik teori ilmiah secara langsung. Sebagai
sumber ilmu, al-Qur’an berada pada level filosofis/metafisis, bukan pada level teori-teori sain.
Al-Qur’an bisa memberikan prinsip-prinsip umum dalam pengkajian ilmiah (misalnya, tentang
keteraturan alam; hukum sebab-akibat). Atau ketika menyebutkan fenomena-fenomena alam, ia
memberikan motivasi kuat bagi pembacanya untuk mengamati dan memahami alam, tanpa
berbicara cukup terperinci atau bahkan “teknis” mengenai fenomena-fenomena tersebut.
Karena pembacaan yang terlalu teknis justru akan mengaburkan pesan-pesan al-Qur’an.
Jika kita perhatikan, dari ayat-ayat penciptaan bumi seperti yang telah di bahas di atas.
Ditemukan bahwa tafsiran dari satu ayat, dapat berbeda dari masa ke masa. Kembali
mengulang apa yang dinyatakan oleh Hamka, bahwa seiring dengan semakin berkembangnya
ilmu pengetahuan, maka akan semakin nyata akan kekuasaan Allah SWT. Semisal pada istilah
penghamparan bumi, sebelum berkembangnya ilmu pengetahun dengan berbagai alat (dalam
istilah Hamka) penyelidiknya diambil kesimpulan bahwa bumi ini datar, karena ia terhampar.
Namun setelah ditemukan ilmu astronomi, barulah terungkap bahwa bumi ini bukannya datar
namu ia berbentuk elips. Sekilas kemudian nampak adanya ketidakcocokan antara apa yang
terkandung dalam al-Qur’an dengan temuan ilmiah. Namun pada akhirnya, dengan berbagai
penelitian-penelitian diperoleh kesimpulan bahwa memang bumi ini yang meskipun berbentuk
elips, ternyata kehidupan yang ada di bumi adalah berdiri di atas lempengan yang teribaratkan
seperti karpet yang menghampar.
Inilah kenapa disebutkan bahwa al-Qur’an adalah sumber ilmu yang di dalamnya
memuat teori-teori umum. Sehingga, al-Qur’an senantiasa relevan dari masa ke masa. Ia bukan
sesuatu yang terlalu canggih, juga tidak terlalu kuno. Bisa kita bayangkan jika ternyata al-
Qur’an memuat informasi tentang penciptaan bumi seperti apa yang ditemukan oleh sains saat
ini, dengan berbagai macam kompleksitasnya kepada masyarakat yang hidup pada abad ketujuh
Masehi, di mana ilmu pengetahuan dan sains belum berkembang begitu pesat. Tentu ia (al-
Qur’an) akan semakin sulit diterima.
Dinamika tafsir al-Qur’an (khususnya ayat-ayat tentang semesta) tidak berhenti pada
penemuan ilmiah saat ini saja. Ke depan, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, al-Qur’an
akan tetap terbuka lebar untuk dicari kandungan-kandungan terdalamnya. Ia senantiasa mampu
berkomunikasi dengan berbagai zaman. Karenanya, tidak seharusnya kita menyatakan apa yang
nampak saat ini sebagai titik akhir dari apa yang ungkapkan al-Qur’an, karena itu sama halnya
dengan membatasi al-Qur’an. Padahal al-Qur’an ini tidak lain adalah firman-Nya yang Maha
Tak Terbatas.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bumi merupakan satu dari sekian banyak planet yang ada di alam semesta yang sering
disebut sebagai planet kehidupan. Penyebutan ini bukan tanpa sebab, karena faktanya memang
di bumilah hidup berbagai makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan juga manusia. Dalam
sistem tata surya, bumi adalah termasuk planet ketiga, dan meskipun tidak dapat diketahui
secara pasti, usia bumi diperkirakan 4,6 miliar tahun.
Bumi, sebagai tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya ternyata tidak luput
dari al-Qur’an yang diturunkan ke bumi turun pada kurun 14 abad yang lalu. Semisal, dalam
penciptaan bumi, kemudian pemeliharaan bumi dan bahkan sampai pada struktur susunan bumi
– begitu pun dengan langit – ada dalam al-Qur’an. Meskipun memang tidak memuat secara
terperinci, namun tidak dapat dibantah bahwa informasi yang ada dalam al-Qur’an – seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan dan sains – telah terbukti secara ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2020. Sejarah Penciptaan Bumi dalam Al Qur’an. Di akses dari


https://dalamislam.com/dasar-islam/sejarah-penciptaan-bumi-dalam-al-quran. Pada 20
November 2020.

Admin. 2019. Sejarah Penciptaan Bumi dalam Al Qur’an. Di akses dari


https://umma.id/post/sejarah-penciptaan-bumi-dalam-al-quran-375139?lang=id. Pada 20
November 2020.

Singgih, Muhammad. 2015. Bagaimana Allah Menciptakan Langit Dan Bumi?. Diakses dari
https://muslim.or.id/25618-bagaimana-allah-menciptakan-langit-dan-bumi.htm. Pada 20
November 2020.

Zacky, Muzakkil. 2014. Penciptaan Bumi dalam Al-Qur'an dan Sains. Diakses dari
http://www.muzakkilanam.com/2014/12/penciptaan-bumi-dalam-al-quran-dan
sains.html. Pada 20 November 2020

Anda mungkin juga menyukai