Anda di halaman 1dari 21

Makalah

Islam Sains Modern dan Al-Quran

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Sains

Dosen Pengampu: Abdul Mujib, M.A.

Disusun oleh

1. Durorin Humairoh (22105064)


2. Siti Nur Aisiyah (22105069)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN) KEDIRI

i
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puja dan puji syukur kepa Allah Tuhan pemilik Alam Semesta ini
atas berkah,rahmat,dan taufik-nya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.

Tak lupa kami haturkan banyak terima kasih kepada Bapak Abdul Mujib, M.A.
Selaku dosen pengampu mata kuliah Islam dan Sains.

Pada kesempatan kali ini kami mendapatkan tugas untuk menyusun makalah yang
berjudul Islam Sains Modern dan Al-Qur’an. Pada makalah ini kami akan memaparkan mulai
dari proses penciptaan langit dan bumi,berkembangnya Alam Semesta menurut perspektif Al-
Quran,hingga adanya Sains Modern.

Harapan kami semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat untuk pembaca
dan dapat menambah wawasan untuk kita semua di dalam proses perkuliahan mata kuliah
Islam dan Sains. Kami sebagai penyusun juga sangat menyadari dalam penyusunan makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan,untuk itu kami memohon maaf atas kekurangan dalam
penyusunan makalah ini,sekiranya pembaca menemukan kesalahan maupun kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, kami memohon agar pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang dapat kami gunakan untuk memperbaiki kekurangan maupun kesalahan kami
dalam penyusunan makalah ini.

Kediri,15 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI ..................................................................................iii
BAB I ..................................................................................1
PENDAHULUAN ..................................................................................1
A. Latar Belakang ..................................................................................1
B. Rumusan masalah ..................................................................................1
C. Tujuan Masalah ..................................................................................2
BAB II ..................................................................................3
PEMBAHASAN ..................................................................................3
A. Penciptaan Langit dan Bumi..............................................................3
B. Orbit Bintang-Bintang........................................................................5
C. Berkembangnya Alam........................................................................7
D. Al-Quran dan Sains Modern..............................................................8
PENUTUP ..................................................................................17
KESIMPULAN.................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ajaran tentang ayat-ayat al-quran dan hadits-hadist terdapat sub bahasan salah
satunya penciptaan tentang langit dan bumi. Dari penjelasan tentang langit dan bumi, kita
bisa mengetahui betapa besarnya Keagungan dan kekuasaan Allah terhadap alam semesta ini.
Dari dulu perbincangan pendapat tentang penciptaan langit dan bumi menimbulkan
munculnya bebagai teori tentang proses terciptanya bumi dan langit ini. Salah satu teori yang
paling berpengaruh dan paling mendekati sampai sekarang adalah teori The Big Bang. Soal
penciptaan langit dan bumi al-quran juga membahasnya dalam enam ayat, ayat-ayat itu
menceritakan proses penciptaannnya, penghancurannya, dan pengembaliannya kebentuk
semula secara sempurna, indah, teliti, dan mengagumkan.
Para ahli astronomi menyatakan bahwa yang mengontrol perilaku benda-benda langit
setelah kehendak Allah adalah massa materi (mass of matter) dan energi (mass of energy)
yang berkumpul di dalam benda-benda itu. Jadi, yang membuat bumi menjadi planet yang
dingin, memiliki selimut gas (atmosfer) dan air (laut), dan baik untuk kehidupan manusia
adalah massa terebut. Yang dijelaskan dalam surat An-an’am ayat 1
“segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi,dan menjadikan gelap dan
terang. Namun,orang-orang kafir masih menyekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu.”

Al-Quran menggambarkan kedahsyatan langit yang paling rendah. Langit yang paling
rendah merupakan langit yang diatapi oleh Bima Sakti yang disebut-sebut para astronom
memiliki seratus miliar bintang. Karenanya, jumlah seluruh bintang tak dapat di bayangkan.
(Ahmad Mahmud Sulaiman: 2001: 40), Dengan demikian ayat-ayat tentang alam semesta
tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan informasi-informasi ilmiah. Allah
menginginkan proses pencarian pengetahuan dilakukan pengamatan, penelitian deduktif, dan
percobaan yang bisa dilakukan sepanjang zaman karena keterbatasan indra manusia dan
karakter dasar ilmu pengetahuan yg bersifat akumulatif. Didalam ayat-ayat al quran tentunya
mengandung beberapa fakta ilmiah tentang alam semesta yang tak bisa diperdebatkan karena
merupakan wahyu dari sang pencipta yang merupakan kebenaran mutlak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penciptaan langit dan Bumi?
2. Bagaimana perkembangan alam semesta dalam perspektif Al-Quran?

1
3. Bagaimana islam dan sains modern dalam perspektif Al-Qur’an?

C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui proses penciptaan langit dan bumi dalam perspektif Al-Quran.
2. Untuk mengetahui perkembangan alam semesta sesuai dengan perspektif Al-Qur’an.
3. Agar bisa memahami islam dan sains berdasarkan perspektif yang ada pada Al-Quran.

2
BAB II

PEMBAHASAN
Al-Qur’an secara ilmu kebahasaan berasal dari kata qaraa yaqrau quranan yang berarti
“bacaan atau yang dibaca”. Secara general AlQur’an didefenisikan sebagai sebuah kitab
yang berisi himpunan kalam Allah, suatu mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf yang
kemurniannya senantiasa terpelihara, dan membacanya merupakan amal ibadah (Bakar,
1991). Al-Qur’an juga merupakan pedoman hidup bagi manusia di dunia dan akhirat. Ilmu
atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan
mengingatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan
kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu- ilmu diperoleh
dari keterbatasannya (Ahmad, 2006). Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi
merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat
secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu.

A.Penciptaan Langit Dan Bumi


Alam semesta yang misterius, yang terdiri dari bintang, planet, nebula, komet, meteor
dan angkasa, begitu luas diameternya, sehingga luasnya hanya bisa diungkapkan dalam
angka-angka yang memukau imajinasi kita, itu pun tanpa mam[pu menggambarkan kesan
sebenarnya dari keluasan tersebut.
Al-Quran menggambarkan kedahsyatan langit yang paling rendah. Langit yang paling
rendah merupakan langit yang diatapi oleh Bima Sakti yang disebut-sebut para astronom
memiliki seratus miliar bintang. Karenanya, jumlah seluruh bintang tak dapat di bayangkan.
(Ahmad Mahmud Sulaiman: 2001: 40)
Al-Quran dan juga perjanjian-perjanjian lama berbicara tentangpenciptaan bumi. Keduannya
menyatakan bahwa penciptaan itu memakan waktu enam hari. Kata “Yaum” dalam bahasa
Ibrani dan Arab tidak meski berarti yang 24 jam itu, melainkan suatu kurun waktu yang tak
terbatas. Baik Injil maupun maupun quran juga menyebutkan hari yang lamanya 50.000 tahun
(Q.S. al-Ma’arij:4) Al-Quran adalah kitab petumjuk. Allah menurunkan nya untuk
menjelaskan kepada manusia hal-hal yang tidak bisa dimengerti oleh akal sehat manusia,

3
seperti esensi iman ritual ibadah serta landasan-landasan etis dan hukum yang berguna untuk
mengatur interaksi sosial di antara sesama manusia.
Al-Quran juga berbicara tentang segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Bahkan lebih
dari seribu ayat yang berbicara tentang hal tersebut untuk membuktikan kekuasaan, ilmu, dan
kebijaksanaan tak terbatas sang pencipta yang mampu menciptakan melenyapkan dan
mengembalikan kebentuk semula alam jaga raya ini.
Dengan demikian ayat-ayat tentang alam semesta tidak dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan informasi-informasi ilmiah. Allah menginginkan proses pencarian
pengetahuan dilakukan pengamatan, penelitian deduktif, dan percobaan yang bisa dilakukan
sepanjang zaman karena keterbatasan indra manusia dan karakter dasar ilmu pengetahuan yg
bersifat akumulatif. Didalam ayat-ayat al quran tentunya mengandung beberapa fakta ilmiah
tentang alam semesta yang tak bisa diperdebatkan karena merupakan wahyu dari sang
pencipta yang merupakan kebenaran mutlak.

Contoh dari enam ayat al-quran yang membahas tentang penciptaan langit dan bumi
diantaranya;
1. Lalu, Aku bersumpah dengan tempat beredar nya bintang-bintang. Dan,
sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui." (Al-
Waqi'ah 75-76).
2. "Dan, langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Kami benar-benar
meluaskannya. (Adz-Dzariyat: 47).
3. "Dan, apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dahulunya
menyatu, kemudian Kami pisahkan keduanya." (Al-Anbiya' 30).
4. "Kemudian, Dia menuju ke langit dan langit itu masih berupa asap." (Fushshilar: 11).
5. "Ingatlah) pada hari ketika langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-
lembaran kertas. Sebahgaimana kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
kami akan mengulanginya lagi. (suatu janji yang pasti Kami tepati. Sungguh, Kami
akan melaksanakannya "(Al-Anbiya' 104)
6. "Yattu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit (Ibrahim 48). (Dr. Nadiah Thayyarah: 2013: 328-329)

4
B.Orbit Bintang-Bintang

Sumpah dalam Al-Quran merupakan bentuk penarik perhatian orang-orang islam


secara khusus dan manusia secara umum terhadap isi sumpah. Pasalnya, Allah sama sekali
tidak perlu bersumpah untuk meyakin hamba-hamba nya. Bintang sendiri adalah gumpalan
gas yang bersifat membakar, menyala, dan menyinari dari dalam dirinya sendiri. Cahaya nya
akan terus menyala selama jutaan tahun tanpa padam, ini akibat dari interaksi atom-atom di
dalam bintang tersebut ini di kenal istilah "proses peleburan inti atom".

Mengapa Allah bersumpah atas nama orbit bintang-bintang, tidak dengan bintangbintang itu
sendiri? Orang arab pedalaman atau badui pada masa Rasulullah mendengar ikhwal sumpah
ini. Mereka pun berkata," Orbit bintang sangat besar sehingga layak di jadikan sumpah atas
namanya, juga karena tempatnya sangat jauh".

Bintang terdekat dengan kita berjarak sekitar 4 tahun 3 bulan cahaya. Satu tahun
cahaya sendiri kurang lebih setara dengan 9,5 triliun km. Di dalam galaxy kita saja telah di
temukan lebih dari satu triliun bintang yang serupa matahari. Di antariksa, terdapat lebih dari
200 miliar galaxy seperti galaxy kita. Sebagian jauh lebih besar dari pada bima sakti dan
sebagian lagi sedikit lebih kecil. Di sini kita bisa menemuka rahasia lebih besar terkait
dengan sumpah ini. Sebuah rahasia yang belum di ketahui oleh orang-orang terdahulu.
Jawaban dari pertanyaan di atas yang bisa di temukan oleh para ilmuan sejak beberapa tahun
belakangan adalah bahwa manusia dari permukaan bumi tidak mungkin bisa melihat bintang-
bintang secara langsung, tetapi mereka hanya bisa melihat orbit atau garis edar yang telah di
lalui bintang-bintang itu.

Para ilmuwan mengatakan bahwa bintang tedekat dengan kita selain matahari berjarak
4 tahun 3 bulan cahaya. Cahaya yang di pancarkannya akan sampai di kita setelah lebih dari
50 bulan. Pada saat cahaya itu sampai di kita, bintang itu telah bergerak ke tempat lain yang
sangat jauh.

Tidak hanya itu, ada pula bintang yang cahayanya di orbit masih bisa terlihat di
hamparan langit pada malam gelap gulita. Padahal, ilmu pengetahuan telah menetapkan
bahwa bintang itu sesungguhnya telah meledak ribuan tahun yang lalu dan kini sudah tiada
berwujud lagi. Ini merupakan salah satu rahmat Allah kepada kita. Pasalnya, kalau manusia
melihat bintang secara langsung, ia akan kehilangan penglihatannya. Inilah salah satu kilasan
Al-Quran yang menakjubkan, dan tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian, bintang-bintang

5
yang kita lihat pada malam gelap gulita hanyalah pancaran cahaya dari orbit yang telah di
lalui oleh bintang-bintang, bintang-bintang itu membiarkan cahayanya bergerak menuju kita
dari orbit yang telah dilaluinya itu.

Tidak hanya itu saja. Orbit bintang menunjukakan ruang dan waktu. Besarnya suatu orbit
menunjukkan adanya peningkatan waktu atau kematangan usia suatu bintang. Faktanya, ilmu
pengetahuan modern menetapkan bahwa orbit bintang-bintang, baik yang dekat maupun jauh
dari kita, selaras dengan usianya.

Ruang dan waktu merupakan sunatullah yang mengendalikan setiap ujung jagat raya, yaitu
melalui hukum-hukum gravitasi yang tersebar di antara benda-benda angkasa. Allah
berfirman,"Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap; dan jika
keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain Allah.
Sungguh,Dia maha penyantun lagi maha pengampun."(Fathir: 41).

Bagaimana mereka bisa menemukan kenyataan tersebut? Mereka menemukannya melalui


percobaan sederhana terhadap sumber cahaya yang dilihat dengan kaca prisma. Kaca prisma
itu menguraikan cahaya putih ketika berlangsung pembakaran olehnya menjadi tujuh
spektrum warna yang memiliki panjang gelombang sendiri-sendiri. Tujuh spektrum itu
adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Jika sumber cahaya bergerak
menjauhi kita, kumpulan warna itu akan beralih menjadi warna merah. Sebab, spektrum
warna merah adalah

yang paling pendek.

Jika sumber cahaya statis, kumpulan warna itu akan menampilkan tujuh spektrum warna
tersebut. Namun jika cahaya bergerak mendekati kita, kumpulan warna itu berubah menjadi
spektrum biru, kemudian ungu. Sebab, spektrum warna ungu adalah yang paling panjang
gelombangnya.

Oleh sebab itu, manusia tidak akan pernah bisa menemukan batas pinggir alam yang
bisa diamati. Pasalnya, setiap kali manusia mengembangkan peralatan astronominya, alam
pun berkembang, sehingga manusia perlu mengembangkan peralatannya lagi. Al-Quran
menggambarkan fakta ini dengan sangat detail, "Dan, langit Kami bangun dengan kekuasaan
(Kami) dan Kami benar-benar meluaskannya." (Adz-zariyat:47)(Dr. Nadiah Thayyarah:
2013: 330-334)

6
Al-Quran menyebutkan adanya bintang-bintang secara umum tanpa menunjuk
tempatnya secara khusus. Hal ini karena Al-Quran bukanlah kitab astronomi dan bukan pula
memberikan pelajaran tentang astronomi seperti telah diterangkan sebelumnya, melainkan ia
adalah Kitab Suci Tuhan untuk memberi petunjuk kepada manusia dalam kehidupan di dunia
ini. (Afzalur Rahman: 1992: 63)

C.Berkembangnya Alam

Benda padat itu tentunya memiliki intesitas energi sangat tinggi, di mana semua
hukum fisika terkumpul di dalamnya dan menjadikannya dalam kondisi yang sangat kritis.
Kemudian, benda padat itu meledak atas perintah Allah dan berubah menjadi gumpalan asap.

Dari gumpalan asap inilah Allah menciptakan bumi dan benda-benda angkasa yang
lain.Alam sekarang sedang berkembang. Jika kita ingin melihat asal-muasalnya, hendaknya
kita kembali ke masa lalu hingga kita menemukan materi yang pertama. Materi ini memiliki
intensitas energi yang sangat tinggi sehingga membuatnya krisis, materi pertama itu
kemudian meledak dan berubah menjadi gumpalan asap. Dari gumpalan asap inilah Allah
menciptakan pusaran yang mengumpulkan sejumlah materi dan energi di sekeliling pusat
gravitasi (pusaran). Kumpulan materi dan energi itu berakumulasi di dalam dirinya hingga
dengan kekuasaan-Nya terbentuk menjadi beberapa benda angkasa yang beraneka rupa. (Dr.
Nadiah Thayyarah: 2013: 334-335)

Inilah teori yang paling banyak diterima mengenai proses pertumbuhan jagat raya.
Teori ini dinamakan teori Ledakan Besar atau Dentuman Besar atau The Big Bang Theory.
Teori ini dikuatkan oleh fakta adanya perluasan alam semesta, stabilitas suhu panas yang
terhadap di ujung-ujung semesta yang sudah terpantau, distribusi unsur-unsur di permukaan
semesta yang sudah terpantau, dan gambar asap semesta yang terdapat di ujung-ujung
semesta yang sudah terpantau.

Al-Quran menggambarkan fakta ini melalui firman Allah,

dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi

itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga

7
beriman? (Al-Anbiya:30)

Kata ratqun (menyatu) dalam ayat di atas secara bahasa adalah antonim dari kata

fatqun (berpisah). Ratqun berarti berkumpul dan berakumulasi. Ini adalah gambaran yang

sangat teliti atas kondisi alam sewaktu masih berbentuk materi pertama, sebelum terjadi

ledakan bear. Alam dalam kondisi ini bisa dikategorikan berada pada periode masih bersatu.

Adapun fatqun berarti ledakan, persebaran, dan perpisahan. Alam setelah materi pertama
meledak hingga mengalami perluasan dikatakan berada pada periode pemisahan.

Teori Big Bang ini, yang oleh sains empiris dianggap sebagai fakta, hanya sebatas
teori saja. Petunjuk tentang hal ini telah ada di dalam Al-Quran sejak 1400 tahun yang lalu.
Hal ini menjadikan Al-Quran sebagai pelopor teori ini dan memberikan fondasi yang kukuh
bagi teori Big Bang sebagai suatu fakta karena adanya petunjuk di dalam Al-Quran. Atas
dasar itu, alam semesta pada mulanya adalah sebuah materi padat (periode masih ±bersatu),
lalu materi itu meledak (periode pemisahan), dan kemudian berubah menjadi gumpalan asap
(periode asap).

Para ilmuwan empiris menyatakan bahwa alam berubah menjadi gumpalan debu,
sedangkan Al-Quran mengatakan, " Kemudian, Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih
berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, ' Datanglah kami berdua
menurut perintah-ku dengan patuh atau terpaksa. ' Keduanya menjawab, Kami datang
dengan patuh'. " (Fushshilat: 11). (Dr. Nadiah Thayyarah: 2013: 335-336) 1

D.Al-quran dan Sains Modern

Para ilmuwan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam merespon sains
modern:

 Pertama, kelompok yang menganggap bahwa sains modern bersifat universal dan


netral dan semua sains tersebut dapat diketemukan dalam al-Qur’an. Kelompok ini disebut
kelompok Bucaillian, pengikut Maurice Bucaille, seorang ahli bedah Perancis dengan
bukunya yang sangat populer, The Bible, the Quran and Science;

1
https://media.neliti.com/media/publications/58071-ID-alam-semesta-dalam-persepektif-al-quran.pdf

8
 Kedua, kelompok yang berusaha untuk memunculkan persemakmuran sains di
negara-negara Islam, karena kelompok ini berpendapat, bahwa ketika sains berada dalam
masyarakat Islam, maka fungsinya akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam (lihat Sardar, 1988:167-171). Tokop-tokoh seperti
Ismail Raji Al-Farauqi, Naquib Al-Attas, Abdussalam dan kawan-kawan bisa diklasifikasikan
dalam kelompok ini, dengan konsep Islamisasi-nya. 

Ketiga, kelompok yang ingin membangun paradigma baru (epistemologi) Islam, yaitu


paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku. Paradigma pengetahuan memusatkan
perhatian pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam yang menyangkut pencarian bidang
tertentu; dan paradigma perilaku menentukan batasan-batasan etika di mana para ilmuwan
dapat dengan bebas bekerja (Sardar, 1988:102). Paradigma ini berangkat dari al-Qur’an, bukan
berakhir dengan al-Qur’an sebagaiman yang diterapkan oleh Bucaillisme (lihat, Sardar:169).
Kelompok ini diwakili oleh Fazlurrahman, Ziauddin Sardar dan kawan-kawan.

Upaya pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam memang bukan hal baru, melainkan
sudah dilakukan oleh ulama-ulama sejak dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif mereka
mengenai  ”apakah al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan atau hanya sebagai
petunjuk agama saja?” Dari sini lantas muncul dua kelompok. Kelompok pertama misalnya
seperti yang dikatakan Al-Ghazali (lihat Ihya’ Ulumuddin, jilid V : 1). Beliau mengatakan,
bahwa seluruh ilmu tercakup dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur’an adalah
penjelasan esensi-esensi, sifat–sifat dan perbuatan-Nya. al-Qur’an itu laksana lautan yang tak
bertepi, dan jika sekiranya lautan itu menjadi tinta untuk menjelaskan kata-kata Tuhanku,
niscaya lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir (lihat Al-Ghazali, 11329 H:
9, 32).

Imam As-Suyuti memiliki pandangan yang sama dengan mengatakan, bahwa al-
Qur’an itu mengandung seluruh ilmu-ilmu klasik dan modern. Kitab Allah itu mencakup
segala sesuatunya. Tidak ada bagian atau problem dasar suatu ilmu pun yang tidak
ditunjukkan di dalam al-Qur’an (As-Suyuthi, 1979, I: 1).

9
Kelompok kedua, seperti yang diwakili oleh As-Syatibi mengatakan, bahwa orang-orang salih
zaman dulu (para sahabat) tidak berbicara tentang bentuk-bentuk ilmu, padahal mereka lebih
memahami al-Qur’an (lihat Az-Zahabi, 1987: 485, 489, Quraish Shihab, 1992: 41).

Ulama’ masa kini yang tidak setuju dengan adanya konsep sains dalam al-Qur’an berpendapat,
bahwa al-Qur’an itu kitab petunjuk di dunia maupun di akhirat, bukan ensiklopedi sains.
Mencocok-cocokkan al-Qur’an dengan teori-teori sains yang tidak mapan (selalu berubah-
ubah) adalah sangat mengancam eksistensi al-Qur’an itu sendiri (Ghulsyani, 1991: 141).

Perbedaan ini juga akibat pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an dalam surat An-Nahl:
89:

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang berserah diri”.

            Dalam konteks ini saya sependapat dengan Mushthafa Al-Maraghi yang  berpendapat,
bahwa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip umum, artinya seseorang dapat menurunkan
seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin
diketahuinya dengan bantuan prinsip-prinsip tersebut. Dan kewajiban ilmuwan adalah
menjelaskan rincian-rincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakat. Adalah penting
menafsirkan makna ayat dalam sorotan sains. Tetapi juga tidak boleh berlebih-lebihan
menafsirkan fakta-fakta ilmiah dengan mencocok-cocokkan al-Qur’an. Bagaimana pun jika
makna lahiriah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiah yang telah mantap, kita
menafsirkan dengan bantuan fakta itu. (Ghulsyani, 1991: 143). Meski demikian, sebagaimana
yang dijelaskan Ghulsani (1991:144), bahwa walaupun al-Qur’an bukanlah merupakan
ensiklopedi sains, namun yang perlu diperhatikan ada pesan penting di dalam ayat-ayat yang
melibatkan fenomena, dan para ilmuwan Muslim harus memusatkan perhatiannya pada pesan
atau misi tersebut dari pada melibatkan diri pada aspek-aspek keajaiban al-Qur’an dalam
bidang sains.

Menurut Quraish Shihab (1992:41), membahas hubungan al-Qur’an dengan ilmu


pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran-kebenaran teori ilmiah,
melainkan pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan

10
kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. 
Menurut Shihab, mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting dari pada
menemukan teori ilmiah, karena tanpa mewujudkan iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang
menemukan teori tersebut akan mengalami nasib seperti  Galileo yang menjadi korban hasil
penemuannya (Shihab, 1992: 44). Jadi, kembali kepada penafsiran ayat al-Qur’an atau juga
Al-Hadis, sesungguhnya kita hendak mengatakan bahwa nas-nas itu memiliki perhatian besar
terhadap ilmu, bahwa agama (Islam) itu memiliki ruh, concern terhadap ilmu dan sikap
keilmuan. Dan seperti yang disebutkan oleh Kuntowijoyo (1991:329-331), bahwa kita ini
ingin membangun paradigma al-Qur’an dalam rangka memahami realitas dengan berusaha
semaksimal mungkin untuk menempatkan preposisi-preposisi al-Qur’an tetap sebagai “unsur
konstitutif” yang sangant berpengaruh. Ini yang terpenting.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju) karena
dua hal: pertama, karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan
keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu
pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar
mereka (Bandingkan dengan Ghallab: 121). Mengenai pergumulan dan akulturasi budaya
tersebut memang ditunjang oleh ajaran Islam itu sendiri yang inklusif, terbuka.

Dalam sejarahnya belum pernah ada agama yang  menaruh perhatian  sangat besar dan
lebih mulia terhadap ilmu kecuali Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan
agama yang lain adalah perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru
dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Oleh karena itu
ilmuwan pun mendapatka perlakuan yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan
kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan
mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur (untuk ini lihat
Abdul Halim Mahmud, 1979: 61-62).

            Dalam al-Qur’an, kata ‘ilm dan kata jadiannya disebutkan kurang lebih mencapai 800
kali. Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh al-
Qur’an al-Karim (lihat Fuad Abdul Baqi, tt.:469-481) melaporkan, bahwa kata ‘ilm (ilmu)
dalam al-Qur’an baik dalam bentuknya yang definitif (ma’rifat) maupun indefinitif (nakirah)
terdapat 80 kali, sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti
kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka menegetahui), ‘alim (sangat tahu) dan

11
seterusnya, disebutkan beratus-ratus kali. Kata ‘aql (akal) tidak terdapat dalam bentuk nomina,
kata benda (mashdar), tetapi yang ada adalah kata al-albab sebanyak 16 kali. Dan kata al-
nuha sebanyak 2 kali. Adapun kata yang berasal dari kata ‘aql itu sendiri berjumlah 49.
Kata fiqh (paham) muncul sebanyak 2 kali, kata hikmah (ilmu, filsafat) 20 kali, dan
kata burhan (argumentasi) sebanyak 20 kali. Belum termasuk kata-kata yang berkaitan
dengan ‘ilm atau fikr seperti kata unzuru (perhatikan, amatilah, lihatlah), yanzhurun (mereka
memperhatikan, mereka mengamati dan seterusnya) (Al-Qardhawi, 1986:1-2).

Selain itu, jika kita telaah kitab-kitab hadis, semuanya penuh dengan kata-
kata ‘ilm tersebut. Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih karya Al-Bukhari kita dapati 102 hadis.
Dalam Shahhih Muslim dan yang lain seperti al-Muwatha’, Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu
Daud, al-Nasai, Ibn Majah terdapat pula bab ilmu. Belum lagi kitab-kitab yang lain,
misalnya Al-Faturrabbani yang memuat sebanyak 81 hadis tentang ilmu, Majma’ az-
Zawaid memuat 84 halaman, al-Mustadrak karya An-Naisaburi memuat 44 halaman, al-
Targhib wa ‘l-Tarhib karya Al-Wundziri memuat 130 hadis sedangkan kitab Jam’ al Fawaid
Min Jami’ al-Ushul wa Majma’ al-Zawaid karya Sulaiman memuat 154 hadis tentang ilmu
tersebut (Al-Qardhawi, 1986, lihat juga Weinsink, al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits
al-Nabawi, Leiden, 1962: 312-339).

Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan pentingnya


membaca, menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru:

 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq: 1-5).

Sebagaimana yang dituturkan oleh Thanthawi Jauhari (1350 H: 217), bahwa


bertambahnya kemuliaan itu adalah karena ilmu, dan Allah adalah Zat yang menyebarkan dan
mengajarkan ilmu itu dengan pena. Tidakkah  menakjubkan, bahwa Nabi adalah
seorang ummi, sementara surat pertama kali yang diturunkan menyangkut masalah
“pengajaran” dan “pena”? Dan bagaimana kemudian Nabi itu memelihara ilmu dengan
menyuruh kepada para sahabat untuk mencatat dan menyebarluaskan kepada yang lain?
Bukankah perkembangan ilmu pengetahuan begitu meluas setelah keutusan Nabi?

12
Sebagian ahli tafsir berpendapat, ar-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan
“iqra” dalam ayat pertama itu berarti “belajar” dan “iqra” yan kedua berarti “mengajar”. Atau
yang pertama berarti “bacalah dalam shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar
shalatmu” (Binti Syathi’, 1968:20. Bandingkan  dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul
Halim Mahmud, 1979:55-56).

Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “qalam” adalah “tulisan”.


Karena tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan
maka tidaklah tegak persoalan agama dan dunia (Mahmud, 1979:23  lihat juga Abu Hayan, tt.:
492).

Dan tentang penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa Malaikat pun


diperintahkan untuk sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama
benda itu, jika kamu memang orang-orang yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-32).

Al-Qur’an juga menandaskan, bahwa tidaklah sama antara mereka yang mengetahui dengan
yang tidak mengetahui:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahuidengan orang-orang yang tidak


mengetaui?’. Sesungguhnya orang yang berakallah orang yang dapat menerima pelajaran”
(QS. Ak-Zumar: 9).

Dan perumpaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali
orang-orang yang berilmu” (QS. Al-Ankabut: 43).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”


(QS. Al-Fathir: 28).

Dan masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang mwenyinggung masalah yang berkaitan dengan
ilmu itu. Dalam Hadis Nabi juga  disebutkan antara lain:

13
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam” (HR. Ibn Majah).

 “Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali
(HR. Bukhari dan Muslim).

 “Carilah ilmu walau sampai di negeri Cina”.

Hadis di atas sanatnya dhaif tapi matannya populer (lihat catatan kaki Ihya’ Ulumuddin, 1975,
juz 1: 15).

“Kalimat hikmah (ilmu) itu bagaikan (barang) hilangnya orang Mukmin. Dimana pun orang
menemukan, maka ia lebih berhak atasnya”.

Hadis di atas sanadnya dhaif tapi maknanya shahih (Al-Qardhawi, 1989: 56).

“Wahai sekalian manusia belajarlah. Ilmu hanya diperoleh melalui belajar…(HR. Ibn Abi
‘Ashim dan At-Thabrani).

 “Para ulama’ itu adalah pewaris para Nabi (HR. Ibn Majjah).

Dan masih banyak lagi hadis yang menyebutkan tentang hal ini. Hanya di sini ada persoalan
yang cukup menjadi perhelatan pagi para ahli (ulama’). Persoalannya adalah, “ilmu yang
manakah yang wajib dicari atau diperoleh oleh setiap Muslim itu? Apakah ada bentuk ilmu
khusus, atau ada ilmu prioritas?”.

Dari sinilah lantas setiap kelompok mengklaim pendapatnya sendiri. Para ahli kalam
mengakui belajar ilmu kalam merupakan kewajiban yang dituntut (di-fardhukan), sedang ahli
fiqh juga demikian, bahwa ilmu yang diwajibkan adalah ilmu fiqh. Dan kelompok ahli tafsir
dan juga ahli hadis mengakui kewajiban yang ditentukan adalah tafsir dan hadis. Demikian
juga ahli tasawuf dan seterusnya. Dalam hal ini Al-Ghazali menghimpun sekitar 20 pendapat
yang berbicara tentang ilmu yang difardhukan ini (lihat Al-Ghazali, 1975, I: 15, lihat pula
Sunan Ibn Majjah, I: 98).

14
Al-Ghazali sendiri lalu involved terhadap penggolongan ilmu tersebut, sehingga ia sangat
populer dengan pembagiannya mengenai “ilmu agama dan non agama”, ilmu yang fardhu
‘ain dan fardhu kifayah”, “ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela” (Al-Ghazali, 1975: 28).

Sebagaimana yang dikutip oleh Mahdi Ghulsyani (1991: 43), Shadrudddin Syirazi dalam
komentarnya terhadap “wajib bagi setiap Muslim”, menuturkan:

1. Bahwa kata ilmu di sini mengandung makna yang luas dan umum (generik) yang
mencakup spektrum arti yang telah digunakan dalam sunnah Nabi. Hadis tersebut
bermksud untuk menetapkan bahwa tingkat ilmu apapun seorang Muslim harus
berjuang untuk mengembangkan lebih jauh;
2. Hadis tersebut mengisyaratkan makna bahwa seorang Muslim tidak akan pernah akan
keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu;
3. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam dirinya
sendiri; karena ilmu laksana cahaya yang selalu dibutuhkan. Ilmu dianggap tercela
karena akibat-akibat tercela yang dihasilkan.

            Banyak para ahli belakangan ini yang tidak sependapat dengan klasifikasi ilmu yang
dikhotomis yang dibuat oleh Al-Ghazali. Ghulsyani sendiri misalnya mengatakan, bahwa ilmu
yang wajib dicari oleh setiap Muslim adalah ilmu yang menyangkut posisi manusia pada hari
akhirat dan yang mengantarkan kepada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabi-
Nya, utusan-utusan-Nya, sifat-sifat-Nya, hari akhirat dan hal-hal yang menyebabkan dekat
dengan-Nya (Ghulsyani, 1991: 44).

Murthadha Muthahhari dengan benar telah menunjukkan, bahwa klafisikasi yang dikhotomis
itu bisa menyebabkan miskonsepsi, bahwa “ilmu non-agama” terpisah dari Islam dan nampak
tidak sesuai dengan keuniversalan agama Islam. Kelengkapan dan kesempurnaan Islam,
sebagai suatu agama menuntut agar setiap lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam
dianggap sebagai bagian dari kelompok “ilmu agama” (Ghulsyani, 1991:44 dan lihat juga
Ahmad Anwar Anees, 1991:77, Abdul Halim Mahmud, 1979: 47).

Dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Al-Qardhawi (1989: 99-100), bahwa ilmu yang wajib
dipelajari setiap Muslim adalah ilmu yang diperlukan dan yang dituntut oleh agama dan
dunianya. Persoalan apakah jenis ilmunya, adalah hal baru yang tidak membawa segi ibadah.

15
Yang penting sesungguhnya adalah essensinya, label dan nama bukanlah persoalan. Ghulsyani
(1991:44-46) dapat menunjukkan, bahwa konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya
yang generik dengan bukti al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai berikut ini:

“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. Al-Zumar: 9).

“Dia mengajarkan manusia apa yang belum ia ketahui” (QS. Al-‘Alaq: 5).

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama, kemudian mengemukakannya


kepada Malaikat dan berfirman: ‘sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu
memang orang yang benar”  (QS. Al-Baqarah:31).2

2
https://uin-malang.ac.id/r/131101/al-qu-an-dan-sains-modern.html

16
PENUTUP

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwasannya ayat-ayat tentang alam semesta tidak dimaksudkan


untuk memenuhi kebutuhan informasi-informasi ilmiah. Allah menginginkan proses
pencarian pengetahuan dilakukan pengamatan, penelitian deduktif, dan percobaan yang bisa
dilakukan sepanjang zaman karena keterbatasan indra manusia dan karakter dasar ilmu
pengetahuan yg bersifat akumulatif. Didalam ayat-ayat al quran tentunya mengandung
beberapa fakta ilmiah tentang alam semesta yang tak bisa diperdebatkan karena merupakan
wahyu dari sang pencipta yang merupakan kebenaran mutlak.

Dalam konteks ini saya juga sependapat dengan Mushthafa Al-Maraghi yang 
berpendapat, bahwa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip umum, artinya seseorang dapat
menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang
ingin diketahuinya dengan bantuan prinsip-prinsip tersebut. Dan kewajiban ilmuwan adalah
menjelaskan rincian-rincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakat. Adalah penting
menafsirkan makna ayat dalam sorotan sains. Tetapi juga tidak boleh berlebih-lebihan
menafsirkan fakta-fakta ilmiah dengan mencocok-cocokkan al-Qur’an. Bagaimana pun jika
makna lahiriah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiah yang telah mantap, kita
menafsirkan dengan bantuan fakta itu.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/58071-ID-alam-semesta-dalam-persepektif-
al-quran.pdf

https://uin-malang.ac.id/r/131101/al-qu-an-dan-sains-modern.html

18

Anda mungkin juga menyukai