Disusun oleh :
IAIN SURAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala RahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikiran.
Dan kami harap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Penyusun
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah segala sesuatu selain AllahSWT.
Oleh karenanya, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputisegala sesuatu
yang ada dan berada diantara keduanya.
A. ‘Abdu/ Mu’abbid
Kedudukan manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar adalah sebagai hamba
yang harus beribadah kepada Allah swt. Hal ini biasanya didasarkan pada petunjuk ayat yang
berbunyi:
Artinya: Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah
(ibadah) kepada-Ku. (Q.S. Az-Zariyat ayat 56)
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Yang diberikan potensi untuk
mengembangkan diri dan kemanusiaannya. Potensi-potensi itu merupakan modal dasar bagi
manusia dalam menjalankan tanggungjawab kemanusiaannya (Nuryamin, 2018). Mulai dari
manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang yang mengakui bahwa diluar
dirinya ada kekuasaan transendental.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama
sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba manusia mengasumsikannya lewat mitos yang
melahirkan agama animisme dan dinamisme Meskipun dengan pemikiran dan kondisi yang
cukup sederhana, manusia dahulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih
berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengatahui hakikat zat
yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara
ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh nenek moyang mereka.
B. Khalifah
Manusia diberi status yang terhormat yaitu sebagai khalifah Allah di muka bumi, lengkap
dengan kerangka dan program kerjanya. Secara simbolis fungsi dan kerangka kerja itu
dinyatakan Allah pada proses penciptaan Adam as, sebagai mana difirmankan Allah swt yang
berbunyi:
Artinya : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Q. S. Al-
Baqarah ayat 30)
Kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi
isyarat tentang perlunya sikap moral atau etik yang harus ditegakkan dalam melaksanakan
fungsi ke khalifahannya itu. M Quraish Shihab misalnya mengatakan bahwa hubungan antar
manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya bukan merupakan
hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi
hubungan kebersamaan dalam ketundukkan kepada Allah swt. karena kalaupun manusia
mampu mengelolah (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang
dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
C. Al- Basyar
Setidaknya ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia, yaitu:
al-basyar, al-insan, dan al-nas. Meskipun ketiga kata tersebut menunjuk pada makna manusia,
namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat
dilihat pada uraian berikut ini: Kosa kata al- basyar dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 37
kali yang 25 kali di antaranya mengacu kepada arti yang berkaitan dengan kebutuhan primer
manusia (makan, minum dan seks), termasuk para nabi dan rasul. Sedangkan 13 kata lainnya
digunakan dalam hubungannya dengan masalah orang muslim dan orang kafir, baik berupa
ungkapan-ungkapan orang kafir, tentang pengingkaran mereka terhadap status kenabian para
utusan Tuhan berdasarkan alasan bahwa para nabi itu adalah manusia biasa seperti halnya
mereka juga, atau hubungannya dengan pernyataan firman Tuhan bagi rasul-Nya yang
mempunyai sifat-sifat (basyariyah) manusia. Diantaranya ayat-ayat yang mengungkapkan
pengertian dimaksud antara lain terlihat pada penolakan umat nabi Nuh yang ingkar terhadap
ajakannya agar menyembah Tuhan, karena nabi Nuh dalam pandangan mereka (secara fisik)
adalah manusia biasa, sama seperti mereka. Kasus yang sama juga diungkapkan dalam
berbagai surat dalam al-Qur’an, contohnya dalam surat al-Syu’ara/26: 154: “Kamu tidak lain
melainkan manusia seperti kami, maka datangkanlah suatu mukjizat, jika kamu memang
termasuk orang-orang yang benar”. Berdasarkan pada ungkapan ayat-ayat di atas, dapat
dipahami bahwa kata al-basyar menunjuk pada aspek realitas manusia sebagai pribadi dan
sekaligus sebagai makhluk biologis, atau dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian
lahiriahnya. Secara bahasa kata al-basyar terdiri dari kata “ba’, syin dan ra”, yang berarti
“sesuatu yang tampak baik dan indah” atau “bergembira, menggembirakan, atau
menguliti/mengupas (buah)”, atau memperhatikan dan mengurus sesuatu”.
Kata insan ada yang berasal dari kata anasa, al-uns atau anisa, dan nasiya. Berasal dari kata
anasa yang berarti melihat, mengetahui, dan minta izin, terlihat bahwa kata insan dikaitkan
dengan aspek utama kemanusiaan, yaitu kemampuan penalaran yang dengannya manusia
mampu mengamati, mencermati, menangkap, mengidentifikasi, mengelompokkan, dan
menganalisis berbagai kasus dan kondisi dalam berbagai realitas yang dihadapinya dengan
cara membuat hubungan antar fakta dan informasi dalam berbagai realitas yang ada menuju
pengambilan suatu kesimpulan dan atau keputusan yang akan menjadi pelajaran atau hikmah
yang berguna bagi kehidupannya. Kata alnaas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali,
yang dengan jelas menunjuk kepada pengertian manusia sebagai keturunan Adam as.
Al-naas dalam konteks ini dipandang dari aspeknya sebagai makhluk sosial. Al-Qur’an
sendiri dalam hal ini dengan tegas memerikan informasi bahwa penciptaan manusia menjadi
berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk bergaul dan berhubungan antar sesamanya, saling
membantu dalam melaksanakan kebajikan, saling menasehati agar sama-sama berpegang
pada kebenaran atas dasar kesabaran, dan menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan
manusia hanya mungkin terwujud bila mereka mampu membina hubungan antar sesamanya.
Sedangkan kata al-ins dan al-insan, keduanya berasal dari satu akar kata, yaitu hamzah, nun
dan sin. Kata anasa dalam arti melihat, misalnya terlihat pada (Q.S An-Nur ayat 27)
Artinya : Hai orang-orang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Kedudukan Masyarakat Dalam Perspektif Pendidikan Islam
Masyarakat menurut Islam mempunyai sikap dan ciri tertentu yang dapat
membedakannya dari masyarakat lain, mulai dari dasar pembentukannya dan karakteristiknya
(Latifah, 2015). Komunitas masyarakat tersebut dapat dilihat pada komunitas yang ditampilkan
pada zaman Rasulullah SAW. Kehidupan komunitas masyarakat dalam Islam menerapkan
ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan seperti dalam bidang akidah, ibadah, akhlaq,
undang-undang dan sistem pemerintahan.
Menurut Mustafa Abd. Al-Wahid, dasar-dasar pembentukan masyarakat Islam adalah sebadai
berikut:
1. Persaudaraan
Masyarakat yang di bina atas dasar persaudaraan yang menyeluruh, dan diikat oleh kesatuan
keyakinan yaitu tidak ada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad
adalah Rasul-Nya. Masyarakat Islam bersifat universal dan tidak terikat oleh perbedaan
bangsa atau bahasa, ataupun warna kulit. Hal ini sesuai dengan firmen Allah SWT, “semua
ummat yang beriman itu bersaudara, dan oleh karena itu harus saling berbuat kebaikan antar
sesamanya”. (QS. al-Hujurat: 10). Persaudaraan model Islam ini berbeda dengan
persaudaraan Arab di Zaman jahiliyah yang berdasarkan ‘ashobiyah atau kabilah tertentu.
2. Kasih Sayang
Masyarakat Islam dibina atas dasar rasa kasih sayang antara satu sama lain. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW,”tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
3. Persamaan
Masyarakai Islam mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Adapun yang membedakannya
hanyalah Tak ada perbedaan dihadapan Allah dan orang ‘ajam, kecuali dengan taqwanya.
4. Kebebasan
Masyarakat Islam dibina untuk mempunyai kebebasan atau kemerdekaan. Hal ini merupakan
hak asasi setiap manusia. Dalam Islam tak ada paksaan dalam beragama (la ikraaha fi al-Din).
Hal ini bukan berarti orang Islam bebas tidak beragama. Umat Islam dituntut agar
melaksanakan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
5. Keadilan sosial
Masyarakat Islam dibina atas dasar berkeadilan sosial, yaitu keadilan yang merata bagi
seluruh ummat. Islam sangat menekankan keadilan, yaitu meletakkan sesuatu pada proporsi
yang semestinya sesuai dengan aturan Ilahi. Allah menganjurkan agar setiap muslim berlaku
adil walaupun terhadap dirinya sendiri. Keadilan dalam Islam meliputi hal-hal yang bersifat
material dan spiritual.
Dengan dasar di atas, Rasulullah SAW mampu membina ummat-nya secara bijak. Bahkan,
beliau memberi contoh keteladanan dalam semua aspek kehidupannya. Dengan pendekatan
tersebut, menjadikan kepemimpinannya sukses dalam mengantarkan ummat sebagai
masyarakat yang madani. Hal ini terbukti setelah beliau membina masyarakat bertahun-tahun,
masyarakat lain pun sangat menghargainya dan tidak memandang enteng masyarakat Islam.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya wawasan Al-Quran, dasar pembentukan masyarakat
Islam antara lain:
a. Manusia adalah makhluk sosial yang secara fitrah ingin bersama dan membutuhkan
orang lain sepanjang hidupnya.
Kata “alaq dalam surat al-‘alaq bukan saja bermakna segumpal darah atau sesuatu yang
menempel di dinding rahim, tetapi juga dipahami sebagai diciptakan dinding dalam keadaan
tergantung pada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri.
Karena Allah SWT menciptakan manusia memang tidak sama antara satu dengan yang
lainnya. Manusia berbeda kecerdasannya, kemampuannya, status sosialnya dan perbedaan
lainnya.
Dalam Islam anggota masyarakat mempunyai persamaan dalam hak dan kewajiban, Islam
tidak mengenal kasta dan pemberian hak-hak istimewa kepada seseorang atau kelpmpok.
Kemuliaan seseorang dalam masyarakat Islam hanyalah karena ketakwaannya kepada Allah
SWT. Adanya perbedaan itu tidaklah menyebabkan perbedaan dalam kedudukan sosial. Hal
ini merupakan dasar yang sangat kuat dan tidak dapat dimungkiri telah memberikan
kontribusi kepada perkembangan hak-hak asasi manusia dalam masyarakat Internasional.
Secara umum karakteristik masyarakat Islam mempunyai tiga ciri, yaitu kembali kepada
Allah, mengutamakan ketaqwaan, dan saling menghormati sesama anggota masyarakat.
Karakteristik masyarakat yang diinginkan Islam terlihat dari dua buah piagam yaitu Piagam
Madinah dan Piagam Kairo.
1. Piagam Madinah
Konsepsi dasar yang tertuang dalm piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad adalah
merupakan pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan
menjamin hak-hak sesama masyarakat tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Piagam
Madinah (Mitsaqul Madinah) yang dideklarsi oleh Rasulullah tahun 622 M, merupakan
kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang berlakuk bagi masyarakat Madinah yang
dipimpin Nabi Muhammad SAW.
1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku dan bangsa.
2. Hubungan antara komunitas Muslim dan Non Muslim didasarkan pada prinsip-prinsip:
· Saling menasehati.
fungsinya masing-masing dalam masyarakat. Ada yang menjadi peminpin dan ada yang
dipimpin.
2. Deklarasi Kairo
Dalam pandangan negara-negara Islam, HAM Barat tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
telah ditetapkan Allah SWT. Karenanya negara-negara Islam yang tergabung dalam
Organization of The Islamic Conference (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990
mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syari’at Islam.
Bila dikaitkan masyarakat dengan pendidikan Islam sebenarnya manusia semenjak lahir
sudah mempunyai naluri hidup bersama. Untuk itu, manusia disebut sebagai makhluk homo
sosious. Sekurang-kurangnya ada hasrat yang kuat dalam diri manusia , yaitu: manusia ingin
menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain di sekelilingnya dan ingin menjadi satu
dengan lingkungan alam sekitarnya. Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan
kedua lingkungan tersebut, manusia harus menggunakan fikiran, perasaan, dan kemauannya,
dan harus senantiasa hidup dengan sesamanya. Untuk itu, manusia dituntut menyempurnakan
dan memperluas sikap, tindak-tanduknya agar tercapai kedamaian dengan lingkungannya.
Disinilah peran pendidikan Islam. Bagaimana usaha pendidikan Islam bisa mewadahi hasrat
dan kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kehidupan masyarakat yang harmonis, damai
dan makmur.
Ishlah al-‘Ailah: perbaikan keluarga. Pernikahan diaur dengan secermat-cermatnya. Hak dan
kewajiban suami istri dijelaskan. Demikian pula hak dan kewajiban anak serta hak dan
kewajiban pembantu jika ada. Semua yang ada kaitannya dengan keluarga mempunyai hak
dan kewajiban masing-masing.
4. Ishlah al-Adah: memperbaii adat istiadat bangsa Arab jahiliyah yang terkenal buas dan
kejam, seperti mengubur anak-anak mereka yang perempuan hidup-hidup karena dianggap
menurunkan derajat. Islam menegaskan bahwa manusia itu sangat mahal dan tidak boleh
dibinasakan kecuali dengan hak .
Dalam persfektif filsafat pendidikan Islam, proses saling belajar yang dapat berlaku di
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat merupakan perjalanan
kebudayaan manusia dalam mencerdaskan dirinya, meningkatkan kesadarannya sebagai
makhluk yang berbudi luhur, makhluk yang belajar memahami keinginan manusia yang
beragam.
Masyarakat adalah cermin bagi kehidupan manusia, secara filosofis belajar yang paling
sempurna adalah belajar dari kehidupan masyarakat, sebagaimana Rasullullah SAW.
menyarankan untuk belajar dari kehidupan pasar karena di pasar ada kejujuran, kebohongan,
kegembiraan, kepedihan, dsb. Belajarlah pada kejujuran karena dengan itu modal masuk
surga.
Tujuan utama dalam pendidikan Islam, yang diperoleh anak didik di bangku sekolah adalah
agar dapat dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat. Belajar ilmu pengetahuan bertujuan
membentuk akhlak yang mulia sehingga dengan akhlak yang mulia akan terbangun
masyarakat yang berakhlak mulia karena kemuliaaan masyarakat berawal dari kemuliaan
akhlak individu yang membangunnya.
Hal tersebut menggambarkan bahwa konsep masyarakat dalam islam berawal dari 4 kondisi
social yang menjadi faktor pendukungnya, yaitu:
· Telah terjadi perpecahan karena adanya perbedaan kepentingan individual dan kelempok
· Muncul tokoh manusia atau rosul yang membawa risalah dengan sumber ajaran yang
berasal sesuatu yang diyakini (Tuhan) yang bermaksud mendamaikan manusia.
· Kunci dari perdamaian manusia adalah interaksi atau silaturrahim sebagai puncak keasatuan
dalam keragaman, karena adanya keragaman maka kehidupan manusia menjadi fungsional.
Dengan pandangan di atas, kedudukan masyarakat dalam filsafat pendidikan Islam dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Masyarakat adalah sebagai guru bagi semua manusia yang memiliki kemauan mangambil
pelajaran dari setiap yang terjadi di dalamnya.
c. Masyarakat adalah tujuan bagi semua anak didik yang telah belajar di berbagai lingkungan.
f. Masyarakat adalah etika dan estetika pendidikan karena norma-norma individu berproses
menjadi norma sosial dan norma sosial yang disepakati dalam masyarakat merupakan puncak
astetika kehidupan. Tanpa ada norma sosial yang disepakati, sesungguhnya kehidupna tidak
indah
Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang
bahani (materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak
matahari.
Ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya
dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Ilmu psikologi
menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang
itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl:
12).
Kata ilmu berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu ‘ilm yang berarti pengetahuan dan
kemudian arti tersebut berkembang menjadi ilmu pengetahuan. Kata ilm itu sendiri diserap
dalam bahasa Indonesia menjadi kata ilmu atau yang merujuk pada ilmu pengetahuan.
Dalam sudut pandang Islam, ilmu sendiri diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan ijtihad atau hasil pemilkiran mendalam para ulama dan ilmuwan muslim yang
didasarkan pada Alqur’an dan hadits. Alqur’an dan hadits adalah pedoman hidup manusia
dan di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang universal. Allah bahkan menurunkan ayat
pertama yang berbunyi “Bacalah” sedangkan kita mengetahui bahwa membaca adalah
aktifitas utama dalam kegiatan ilmiah. Kata ilmu itu sendiri disebut sebanyak 105 kali dalam
alQur’ān dan kata asalnya disebut sebanyak 744 kali.
Masa keemasan umat islam terjadi pada masa kelam masyarakat barat dimana ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat dikalangan umat muslim. Pada saat itu islam telah
memperluas wilayah hingga Eropa. Pada masa keemasan tersebut banyak ilmuwan muslim
yang melalukan riset dan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosofi para
ilmuwan Yunani.
2. Ibnu Sina (980-1037) yang menulis buku-buku kedokteran yang diberi judul Al qonun
atau the Canon of Medicine yang kini menjadi standar dalam ilmu kedokteran di
Eropa.
3. Al-Khawarizmi atau Algorismus yang menulis buku Aljabar pada tahun 825 M, dan
merupakan buku standar ilmu matematika selama beberapa abad di Eropa. Ia juga
yang menemukan penggunaan angka desimal yang menggantikan angka romawi di
Eropa.
6. Jabir ibn hayyan dan Al biruni yang merupakan ilmuwan di bidang kimia.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas di wilayah Eropa sudah berlangsung sejak abad
ke-12 M dan menimbulkan gerakan kebangkitan atau masa renaisance. Masyarakat barat
mulai mengadopsi ilmu yang telah dikembangkan ilmu pada masa itu dan meskipun akhirnya
islam terusir dari Spanyol.
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari
banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan
mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus
menuntut ilmu.
Didalam Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780 kali , ini
bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat kental dengan
nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama
Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut ;
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya
terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al –sunah mengajak kaum muslim untuk
mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat tinggi
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an yang artinya: Allah meninggikan beberapa derajat
(tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi
ilmupengetahuan). dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan
menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan
menjadi pendorong untuk menuntut Ilmu, dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat
dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah
bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan firman Allah: sesungguhnya
yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama (orang berilmu).
Disamping ayat–ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat
istimewa, al-Qur’an juga mendorong umat Islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu,
dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah
ilmu ,menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal menekeankan pentingnya membaca ,
sebagaimana terlihat dari firman Allah yang pertama diturunkan yaitu surat Al-Alaq yang
artinya:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
kamu dari segummpal darah. Bacalah,dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar
(manusia ) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahui.
Ayat –ayat trersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat Islam untuk tidak
pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan
Allah akan tetap terjaga, yang berarti juga rasa takut kepada Allah akan menjiwai seluruh
aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh, dengan demikian nampak bahwa
keimanan yang dibarengi denga ilmu akan membuahkan amal ,sehingga Nurcholis Madjd
menyebutkan bahwa keimanan dan amal perbuatan membentuk segi tiga pola hidup yang
kukuh ini seolah menengahi antara iman dan amal .
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk itu marilah kita pelajari diri kita ini sebagai manusia, Siapa diri kita ini? Dari
mana asalnya? Apa tujuan kita diciptakan? Apa kedudukan kita di dunia ini? Dan yang paling
penting adalah bagaimana kita menempuh kehidupan di dunia ini supaya selamat di dunia
dan akhirat nanti?
Jadi kalau diibaratkan mobil maka jasmani ini adalah Body mobil sedangkan Ruh
sebagai Accu yang sifatnya hanyalah sebagai yang menghidupkan saja dan Jiwa adalah sopir
atau yang mengendalikan mobilnya dimana dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan
dari pada mobil itu sendiri.
Jadi Disini jelaslah bahwa yang dikatakan manusia itu adalah Jiwanya dimana dialah
yang bertanggung jawab atas perbuataNnya. Tapi banyak pengertian manusia menurut ilmu
ilmu duniawi maupun secara Islam. maka akan kami bahas lebih lanjut lagi.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan
psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-
unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka
seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan
rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain
itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan.
Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama
dengan manusia lainnya.
Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam
berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam
kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada
dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain.
BAB III
Kesimpulan
GAGASAN, S. (2012, Oktober Selasa). Kedudukan Alam Semesta dan Manusia dalam
Filsafat Islam. Dipetik September 5, 2019