Anda di halaman 1dari 11

PILAR-PILAR EKONOMI ISLAM

1. Konsep Kepemilikan
a. Pendahuluan
Sebagai suatu sistem kehidupan universal dan komphehensif, Islam hadir dan
dipercaya oleh pemeluknya sebagai ajaran yang mengatur tentang segala bentuk
aktivitas manusia, termasuk masalah ekonomi. Salah satu bentuk aktivitas yang
berkaitan dengan masalah ekonomi adalah persoalan kepemilikan ( al-milkiyyah).
Islam senantiasa memberikan ruang dan kesempatan kepada manusia untuk
mengakses segala sumber kekayaan yang dianugerahkan-Nya di bumi ini, guna
memenuhi semua tuntutan kehidupan, memerangi kemiskinan, dan merealisasikan
kesejahteraan dalam semua sisi kehidupan manusia.
Secara historis, persoalan kepemilikan sebenarnya telah ada dan muncul sejak
adanya manusia pertama di muka bumi ini. ketika itu, makna kepemilikan tidak
lebih sekedar penggunaan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidupnya, karena
manusia belum berfikiran untuk menyimpan apa yang ia miliki. Hal ini
disebabkan karena penguni bumi saat itu masih sedikit, sedangkan kebutuhan
hidup sangat melimpah. Kepemilikan terhadap sesuatu pada saat itu, hanya
sekedar penggunaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan tuntutan kebutuhan
masyarakat, sedikit demi sedikit jumlah manusia mulai bertambah dan memenuhi
penjuru bumi. Ketika itu mulailah persaingan guna mencukupi kebutuhan
hidupnya, setiap orang ingin memnuhi kebutuhan hidupnya. Maka sejak ini mulai
pergeseran makna kepemilikan yang awalnya hanya penggunaan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, menjadi kewenangan dan kekuasaan, saat ini muncul istilah
kepemilikan (property), atau dikenal juga dengan “al-milkiyyah”.
Kepemilikan dalam syariat Islam adalah penguasaan terhadap sesuatu sesuai
dengan aturan hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak terhadap apa yang
ia miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum. Pada
prinsipnya Islam tidak membatasi bentuk dan macam usaha bagi seseorang. Hal
ini tergantung pada kemampuan, kecakapan dan keterampilan masing-masing,
asalkan dilakukan dengan wajar dan halal, artinya sah menurut hukum dan benar
menurut ukuran moral dan akal 9OS, Al-Baqarah [2]:188, An-Nisaa [4]:32) serta
tidak membahayakan bagi dirinya maupun orang lain.
Selain itu, setiap orang dituntut pula untuk menggunakan sebagian dari hak
miliknya untuk memenuhi kepentingan hidupnya baik perseoranag, kelompok
masyarakat maupun negara. Sebab Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi
(al-fardiyah), masyarat umum (al-jama’iyah) maupun kepemilikan negara al-
daulah), dan menjadikan sebagai dasar bangunan ekonomi. Namun demikian,
secara teologis kepemilikan hakiki berada di tangan Allah, sedangkan manusia
hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkan dalam bentuk amanah.
A. Pengertian Kepemilikan (al-Milkiyyah)
Kata “kepemilikan” dalam bahasa Indonesia termabil dari kata “milik”.
Ia merupakan kata serapan dari kata “al-milk” dalam bahasa Arab. Secara
etimologi kata “al-milk”yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab kata “al-
milk” berarti memelihara dan menguasai sesuatu secara bebas. Maksudnya
kepenguasan seseorang terhadap sesuatu harta (barang atau jasa) yang
memperbolehkannya untuk mengambil manfaat dengan segala cara yang
dibolehkan oleh syara’, sehingga orang lain tidka diperkenakan mengambil
manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai dengan
bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan. Misalnya, Ahmad memiliki
sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motorn itu dalam kekuasan dan
genggaman Ahmad. dia bebas untuk memanfaatkan dan orang lain tidak boleh
menghalangi dan merintanginya dalam menikmati sepeda motor yang
dimilikinya tersebut, kecuali setelah mendapat izin dari pemiliknya.

Sedangkan pengertian “kepemilikan” menurut istilah berbagai


ungkapan yang dikemukan oleh para ahli, namun secara esensial seluruh
defenisi itu pada prinsipnya sama. Misalnya Muhammad Mushthafa al-Salaby
mendefewnisikan al-Milk sebagai :
“Pengkhususan (keistimewaan)atas sesuatu benda yang menghalangi
orang lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya
melakukan tindakan secara langsung terhadap benda itu, selama tidak
ada halangan syara’ ”

Musthafa Ahmad Zarqa’ mendefenisikan al-Milkiyyah sebagai berikut:


“Kepemilikan adalah kekhususan (keistimewaan) yang bersifat
menghalangi (orang lain) yang syara’ memberikan kewenangan
kepada pemiliknya melakukan tindakan kecuali terhadap halangan”

Abdul Karim Zaidan mendefenisikan al-Milk sebagai berikut yaitu :


“Kepemilikan adalah Pengkhususan (keistimewaan) atas sesuatu
benda yang memungkinkan pemiliknya secara pribadi untuk
menggunakan atau melakukan suatu tindakan terhadap harta tersebut
tanpa ada sesuatu yang mencegah menurut syariat Islam”

Dari defenisi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa


kepemilikan merupakan kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu berupa
barang atau harta baik secara rill maupun secara hukum, yang memungkinkan
pemilik melakukan tindakan hukum, seperti jual beli, hibah, wakaf dan
sebaginya, sehingga dengan kekuasaan ini orang lain baik secara individual
maupun kelembagaan terhalang untuk memanfaatkan atau mempergunakan
barang tersebut. Pada prinsipnya atas dasar kepemilikan itu, seseoramg
mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam berbuat sesuatu atau tidka
bebruat sesuatu kecuali ada halangan tertentu yang diakui syara’.
Adapun maksud halangan syara’ di sini adalah sesuatu yang
membatasi kebebasan pemiliknya untuk mempergunakan atau
memanfaatkannya, karena disebabkan dua hal, yaitu:

1. Disebabkan karena pemiliknya dipandang tidak cakap secara hukum,


seperti anak kecil, safih (cacat mental) atau karena taflis (pailit).
2. Dimaksudkan karena untuk melindungi hak orang lain, seperti yang
berlaku pada harta bersama, dan halanagn yang dimaksudkan karena
untuk melindungi kepntingan ornag laim atua kepentingan masyarakat
umum.
B. Pandangan Islam Terhadap Kepemilikan

Islam memiliki suatu pandnagan yang khas mengenai maslaah


kepemilikan (property), yang berbda dengan pandangan kapitalisme dan
sosialisme. Harta benda menurut Islam, bukanlah milik pribadi (kapitalisme)
dan bukan pula milik bersama (sosialisme) melainkan milik Allah, sebab ia
dielaborasi dari Al-Quran dan Sunnah. Konsep kepemilikan dalam ajaran
Islam berangkat dari pandnagan bahwa manusia memiliki kecenderungan
dasar untuk memiliki sesuatu harta secara individual, tetapi juga
membutuhkan pihak lain dalam kehidupan sosialnya. Harta atau kekayaan
yang telah dianugerahkan-Nya di alam semesta ini, merupakan pemebrian dari
Allah kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya guna
kesejahteraan seluruh umat mansuia secara ekonomi, sesuai dengan kehendak
Allah AWT. Dia lah pencipta, pengatur dan pemilik segala yang ada di alams
emesta ini. penyataan ini disebutkan dalma firman-Nya dalam surat Al-
Maidah ayat 120:

“ Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang
diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Selain itu, Allah SWT memberikan wewenang pula kepada manusia


untuk menguasai (istikhlaf) hak milik tersebut, dan memberikan izin
kepemilikan pada orang tertentu yang sifatnya real. Allah SWT berfirman:

“Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang di


karuniakan-Nya kepadamu”. ( QS. An-Nuur : 33 )
Manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT.
Untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut. Sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya:

“Berimanlah kamu kepada Alllah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah


sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya...”(QS. Al-Hadiid : 7)

Seseorang yang memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima


titipan sebagia amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan
kehendakan pemilik-Nya, baik dalam pengembangan harta maupun
penggunannya. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa”pada mulanya”
manusialah yang berwenang menggunakan harta tersbeut secra proporsional
menjadi milik individu, milik kolektif dan milik negara, sesuai dengan tingkat
kepentingan dan urgensinya masing-masing melalui cara-cara yang
dibenarkan. Sebab sejak mula Allah SWT telah menetapkan bahwa harta yang
dianugerahkan-Nya adalah diperuntukkan untuk manusia di muka bumi, guna
memenuhi kepentingan.

Disamping itu, Islam telah mengatur dengan jelas bagaimana suatu hak
milik dapat diperoleh secara sah dan pantas. Sebaliknya, Islam melarang
perampasan atau perampokan atas suatu hak milik, sehingga menimbulkan
ketidakadilan(kedzaliman)atau penindasan aats suatu pihak dengan pihak
lainnya.

C. Sebab – Sebab Kepemilikan


Adapun maksud dengan sebab-sebab pemilik harta disini adalah sebab
yang menjadikan seseorang memiliki harta tersbeut, yang sebelumnya tidak
menjadi hak miliknya. Sebab pemilik harta itu telah dibatasi dengan batasan
yang telah dijelaskan oleh syara’. Menurut syari’at Islam setidaknya ada lima
sebab kepemilikan yang dijadikan sebagai sumber daya ekonomi, yaitu:
1. Bekerja (al’amal)
Kata bekerja wudujnya sangat luas, bermacam-macam jenisnya,
bentuknya pun beragam, serta hasilnya pun berbeda-beda, maka Allah
SWT tidak membiarkan “bekerja” tersebut secara mutlak. Allah SWT
juga tidak menetapkan “bekerja” tersebut dengan bentuk yang sangat
umum. Akan tetapi Allah telah menetapkan dalam bentuk kerja-kerja
tertentu yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan. Bentuk-
bentuk kerja yang diisyaratkan, sekaligus bisa dijadikan sebagi sebab
kepemilikan harta, antara lain:
a. Menghidupkan Tanah Mati (ibya’al-mawaat)
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemilknya, dan tidak
dimanfaatkan oleh seorang pun. Sedangkan yang dimaksudkan dengan
menghidupkannya adalah mengolahnya dengan menanaminya, baik
dengan tanaman maupun pepohonan atau dengan mendirikan
bangunan di atasnya. Dengan adanya usaha seseorang untuk
menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah
tersebut menajdi miliknya.
Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk tanah:
baik tanah dar al-Islam (negara Islam), ataupun tanah dar al-kufur
(negara kufur). Baik tanah tersebut berstatus u’syriyab (yang dikuasi
negara Islam tanpa melalui peperangan) ataupun kbarajiyab (yang
ditaklukkan Islam melalui peperangan). Kepemilikan atas tanah
tersbeut agar menjadi hak miliknya, maka tanah tersebut harus
dikelola selama tiga tahun secara terus-menerus sejak mulai dibuka.
Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun
berturut-turut sejak tanah itu dibuka, atau setelah dibuka malah
dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pemilikan orang
yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.

b. Menggali Kandungan Bumi


Yang termasuk kategori bekerja adalah menggali apa yang
terkandung di dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang
dibutuhkan oleh suatu komunitas(publik), atau disebut rikaz. Adapun
jika harta temuan hasil penggalian tersbeut merupakan hak seluruh
kaum muslimin, maka harta galian tersbeut merupakan hak milik
umum (collective property). Apabila harta tersbeut asli, namun tidak
dibutuhkan oleh suatu komunitas (publik), semisal ada seorang
pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan dari sana,
ataupun yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk (rikaz) juga
tidak termasuk (collective property), melainkan termasuk hak milik
individu (private property).

c. Berburu
Berburu temasuk dalam kategori bekerja. Misalnya berburu
ikanm mutiara, batu permata, bunga karang serta harta yang
diperbolehkan dari hasil buruan laut lainnya, maka harta tersebut
adalah hak milik orang yang memburunya, sebagaimana yang berlaku
dalam perburuan burung dan hewan-hewan yang lain. Demikian harta
yang diperoleh dari hasil buruan darat, maka harta tersebut adalah
milik orang yang memburunya.
d. Makelar ( samsarah )
Simsar (broker/pialang) adalah sebutan bagi orang yang bekerja
untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun
membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang
mencarikan (menunjukkan) orang lain. Makelar termasuk dalam
kategori bekerja yang bisa dipergunakan untuk memiliki harta, secara
sah menurut syara’

e. Bagi Hasil (Mudharabah)


Mudharabah adalah perseroan (kerjasama) anatar dua orang
dalam satu perdagangan. Dimana, modal (investasi) finansial dari satu
phak, sedangkan pihak lain memberikan tenaga (‘amal). Dalam sistem
ini, pihak pengelola memiliki bagian pada harta pihak lain karena
kerja yang dilakukannya. Sebab mudharabah bagi pihak pengelola
termasuk dalam kategori bekerja serta merupakan salah satu sebab
kepemilikan. Akan tetapi, mudharabah bagi pihak pemilik modal
(investor) tidak termasuk dalam kategori sebab kepemilikan,
melainkan merupakan salah satu sebab pengembangan kekayaan.

f. Kontrak Kerja (Ijarah)


Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga
para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut.
Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontak
tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta
pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ajiir. Sementara
ajiir ada kalanya bekerja untuk seseorang dalam jangka waktu
tertentu, seperti orang yang bekerja di laboraturium, kebun atau ladang
seseorang dengan honorarium tertentu, atau seperti pegawai negeri
atau swasta.

g. Paroan Kebun ( Musaqat )


Musaqat adalah seseorang menyerahkan pepohonan (kebun)
nya kepada orang lain agar ia menguruh dan merawatnya dengan
mendapatkan kompensasi berupa bagian dari hasil panennya. Dengan
demikian, musaqat termasuk dalam kategori bekerja yang telah
dinyatakan kebolehannya oleh syara’.
2. Pewarisan ( al-irts )
Yang termasuk dalam kategori sebab-sebab pemilikan harta adalah
pewarisan, yaitu pemindahan hak kepemilikan dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli warisannya, sehinga ahli warisnya menjadi sah untuk
memiliki harta warisan tersebut. Berdasarkan firman Allah SWT:

“Dan Allah Swt mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta


pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki0laki
sama dengan bagian dua orang anak permpuan; dan jika anak itu
semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan” (QS. An-Nisaa:11)

Dengan demikian , pewarisan adalah salah satu sebab pemilikan yang


diisyaratkan. Oleh karena itu, siapa saja yang menerima harta waris, maka
secara syara’ dia telah memilikinya. Jadi waris merupakan salah satu
sebab pemilikan yang telah diizinkan oleh syari’at Islam.

3. Pemberian harta negara kepada rakyat


Yang juga termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah
pemberian negara kepada rakyat yang diambilkan dari harta baitul maal,
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, atau memanfaatkan
kepemilikan. Mengenai pemenuhan hajat hidup adalah semisal memberi
mereka harta untuk menggarap tanah pertanian atau melunasi hutang-
hutang. Umar bin Khathab telah membantu rakyatnya untuk menggarap
tanah pertanian guna memenuhi hajat hidupnya, tanpa meminta imbalan.
Kemudian syara’ memberikan hak kepada mereka yang mempunyai
hutang berupa harta zakat. Mereka akan diberi dari bagian zakat tersebut
untuk melunasi hutang-hutang mereka.

4. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga


Yang termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan
individu, sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta
tertentu tanpa kompensasi harta atau tenaga apa pun. Dalam hal ini
mencakup lima hal:
1. Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang lain,
baik harta yang diperoleh karena hubungan ketika masih hidup, seperti
hibbah dan hadiah ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat.
2. Pemilikan harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan
yang menimpa seseorang, semisal diyat orang yang terbunuh dan diyat
luka karena dilukai orang.
3. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah
4. Luqathah (barang temuan)
5. Santunan yang diberikan kepada khalifah dan orang-orang yang
disamakan statusnya, yaitu sama-sama melaksanakan tugas-tugas
termasuk kompensasi kerja mereka, melainkan kompensasi dari
pengekangan diri mereka untuk melaksanakan tugas-tugas negara.

Dengan demikian, Islam melarang seorang muslim memperoleh barang


dan jasa dengan cara yang tidak diridhoi Allah Swt, seperti: judi, riba,
PSK, korupsi, mencuri, menipu dan perbuatan maksiat lainnya.

D. Klasifikasi Kepemilikan Dalam Islam


Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelasakan segala hal
yang berkaitan dengan masalah kepemilikan, tata cara mengelola dan
mengembangkan, serta cara mendistribusikan nya secara detail melalui
ketetapan hukum-hukumnya. Dalam hal ini, pembahasan hanya difokuskan
pada masalah kepemilikan. Menurut pandangan Islam dibedakan menjadi 3
kelompok, yaitu:
1. Kepemilikan Individu ( al-Milkiyat al-fardiyah/private property )
Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang ditentukan pada zat
ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkan untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaan nya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti
dibeli dari barang tersebut.
Kepemilikan individu tersebut adalah semisal hak milik seseorang atas
roti dan rumah. Maka, orang tersebut bisa saja memiliki roti untuk
dimakan, dijual serta diambil keuntungan dari harganya. Orang tersebut
juga boleh memiliki rumah untuk dihuni, dijual serta diambil keuntungan
dan harganya. Dimana, masing-masing roti dan rumah tersebut adalah zat.
Seandainya kepemilikan pribadi ini tidak diperbolehkan, maka
seseorang tidak akan dapat memiliki hasil usahanya. Untuk menetapkan
kepemilikan pribadi tersebut, ada beberapa hal yang diatur Islam, yaitu:
a. Mengatur tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan)
untuk dimiliki dan yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah
menentukan sesuatu dengan halal dan haram.
b. Mengatur tentang tata cara memperoleh harta yang diizinkan
(dibolehkan) dan yang tidak. Perolehan harta itu bisa melalui tata
cara bagaimana memperoleh harta dan tata cara mengembangkan
harta.

Kepemilikan di dalam Islam tidak hanya mengenai kepemilikan mata


uang semata, tetapi lebih dari itu seperti harta perolehan, harta
perdagangan, modal produksi, dan harta lainnya yang termasuk harta
pribadi.
2. Kepemilikan Umum ( al-milkiyyat al -‘ammah / public property )
Kepemilikan umum adalah izin al – syar’i kepada suatu komunitas
untuk bersama-sama memanfaatkan benda/barang. Sedangkan benda-
benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda
yang telah dinyatakan oleh al-syar’i sebagai benda-benda yang dimiliki
suatu komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasi oleh hanya
seorang saja. Karena milik umu, maka setiap individu dapat
memanfaatkannya, namun dilarang memilikinya. Setidaknya, benda-benda
yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis
yaitu:
a. Fasilitas dan Sarana Umum
Maksud fasilitas dan sarana umum adalah apa saja yang dianggap
sebagai kepentingan manusia secara umum. Benda ini tergolong ke
dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok
masyarakat, dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan
pepecahan dan persengketaan.
b. Sumber alam yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki
oleh individu secara perorangan. Meski sama-sama sebagai sarana
umum sebagaimana kepemilikan umum jenis pertama, akan tetapi
terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis
pertama, tabiat dan asal pembentukannya tidak menghalangi
seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara tabiat
dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk
memilikinya secara pribadi.
c. Barang tambang yang depositnya tidak terbatas
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja,
melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah
depostinya banyak atau tidak terbatas. Ini juga mencakup
kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan
bumi seperti garam, batu mulia, perak, besi, tembaga, minyak,
timah dan sejenisnya.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga
tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang.
Demikina juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan
kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya
tetapi penguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi
seluruh rakyat.

3. Kepemilikan Negara ( al- milkiyyat al-Dawlah/state propert )


Kepemilikan Negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak
seluruh kaum muslimin/rakyat, dan pengelolaannya menjadi wewenang
khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau
menghkususkannya kepada sebagian kaum muslimin/rakyat sesuai dengan
kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah/pemerintah ini adalah
adanya kekuasaan yang dimiliki pemerintah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak
dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum, namun terkadang
bisa tegolong dalam jenis harta kepemilikan individu. Maksudnya
kepemilikan negara pada dasarnya juga merupakan hak milik umum, tetapi
hak pengelolaanya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.
Dengan demikian pemerintah dalam hal ini memiliki hak untuk mengelola
hak milik ini, karena ia merupakan reresentasi kepentingan rakyat,
mengemban amanah masyarakat, atau bahkan pemerintah merupakan
intuisi kekhalifahan Allah di muka bumi.
Berikut ada beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis
kepemilikan negara menurut al-syari’, dan pemerintahan/khalifah berhak
mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya, yaitu:
1. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang
dengan orang kafir), fay’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa
perang) dan khumus.
2. Harta yang berasal dari kharaj ( hak kaum muslim atas tanah yang
diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak )
3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada
kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada
Islam )
4. Harta yang berasal dari pajak
5. Harta yang bersal dari ushur ( pajak penjualan yang diambil
pemerintah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan
pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya )
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa
waris.
7. Harta yang ditinggal orang-orang murtad
8. Harta yang diperoelh secara tidak sah para penguasa, pegawai
negara, harta yang di dapat tidak sejalan dengan syara’
9. Harta Lain milik negara yang tidak diperoleh dari badan usaha
milik negara /BUMN semisal padang pasir, gunung, pantai, laut
dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan semua bangunan
yang didirikan oleh negara dengan menggunakan harta bait al-
maal.s
Konsep Kepemilikan dalam Islam

Kepemilikan

Kepemilikan Individu Kepemilikan Umum Kepemilikan Negara


(Private Property) (Public Property) (State Property)

Harta yang dimiliki Harta yang Harta atau asset milik


individu atau kemanfaatannya Negara
beberapa individu dimiliki oleh semua
orang, tidak boleh (Baitul Maal)
(Syirkah) dikuasai oleh individu
atau Negara dalam
penjualan atau hibah

Islam mengakui fitrah manusia untuk mencintai harta dan miliknya. Harta yang ada di tangan
manusia hanyalah titipan dan amanat yang harus ditunaikan sesuai apa yang diinginkan sang
pemiliknya. Konsep harta dalam islam sangat komprehensif, dimana islam tidak hanya
mengatur bagaimana harta itu dapat diperoleh dengan cara yang halal, bagaimana harta dapat
dikembangkan, dan digunakan. Akan tetapi juga mengatur bagaimana agar harta itu dapat
berungsi mensejahterakan umat, yaitu dengan menggerakkan para pemilik untuk
mendistribusikan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Justru itu, islam mengakui adanya
kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Ketiga macam
kepemilikan tersebut diberi batasan wewenang sesuai dengan fungsinya masing-masing yang
pada intinya agar terjaga keseimbangan untuk menuju kesejahteraan baik individu,
masyarakat dan negara.

Anda mungkin juga menyukai