Anda di halaman 1dari 9

1.

Definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan


komplikasi diare pada anak

Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang
berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air
besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih
bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak
tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya
perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare
yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi
cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan
ini sudah dapat disebut diare.

Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak
memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana
kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-
hal tersebut, beberapa faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk
dijangkiti diare antara lain : gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung,
menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.

Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare
pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus
pada usus halus. Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang
villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel
epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum
matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat
mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang
tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi
hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar
usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak
sempurna.

Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang
mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti
transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam
amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai
enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan
demikian infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan
rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks,
terutama laktosa.

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan
pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis
terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare
oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel
mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat
masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri
ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.

Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume,
konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume dan
frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir.
Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang
menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak.

Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat ke
Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat
imunisasinya.
2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung
dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi:
kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-
ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata,
bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.

Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang
lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.

Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu
dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan
menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 16.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian
dijumlahkan.
Nilai: 0 – 2 = Ringan 3 – 6 = Sedang 7 – 12 = Berat

3. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya
pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui
atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat.
Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran
kemih.

Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut :

Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika.

Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.

Tinja :

Pemeriksaan makroskopik:

Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare
meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus
atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh
infeksi diluar saluran gastrointestinal.

Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang
menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau
parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya
bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat pada
permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang
berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan
Strongyloides.

Pemeriksaan mikroskopik:

Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi


tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit
dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon.
Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman
yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y.
enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides.
Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit
mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya, pasien yang
terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal. Parasit yang
menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah banyak.
Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali terdapat
riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen,
diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai
menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan
strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau
yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna
bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum
adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan
protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista
ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat membantu untuk
menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista
sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan
konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir selalu positif pada
disentri amuba akut dan amubiasis hati.

Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, diare
dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita
immunocompromised.

Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus,


Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur
laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada salah
satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat berguna
untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu dalam
menegakkan diagnosis pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab
inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium
pendahuluan.

TATALAKSANA

1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru


Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Oralit baru dengan low
osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu
mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga
30%.

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu
makan anak. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan
elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang
mempercepat pembersihan patogen dari usus.

Dosis zinc untuk anak-anak:

Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari


Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari
diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit.
Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air
matang atau oralit

3. ASI dan makanan tetap diteruskan


sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat untuk mencegah
kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang.

4. Antibiotik selektif
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya
diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile
yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan.

5. Nasihat kepada orang tua

Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang, makan atau minum sedikit,
sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari
Komplikasi

Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya


membutuhkan pengobatan khusus.

Gangguan Elektrolit

Hipernatremia

Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala
yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan
kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema
otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling
aman.

Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline – 5%
dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa koreksi.
Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan rumatan, bila
sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk
rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10
mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya
pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap
BAB, sampai diare berhenti.

Hiponatremia

Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit
garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak
dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif
untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau
Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan
0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16
jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.

Hiperkalemia

Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium
glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10 menit dengan monitor detak
jantung.

Hipokalemia

Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika kalium
2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka
diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 –
kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam
berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan
aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan
menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah
diare berhenti.

Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral


Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran
tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat
minum, kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan
tersebut mungkin penderita harus diberikan cairan intravena.

Kejang

Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum
atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena :
hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia,
kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi.

2. Definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan


komplikasi kejang demam

Definisi

Kejang demam jalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Mengenal definisi kejang
demam ini masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis
besarnya hampir sama. Menurut Consensus Stat ment on Febrile Seizures, kejang demam
adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis
kejang de mam ialah 38°C atau lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu kejang sering
tidak diketahui.

Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal, atau
multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam). Kejang demam sederhana ialah
kejang demam yang bukan kompleks. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang
timbul pada lebih dari satu episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi
lebih dari satu kall. Sebanyak 2-5% anak anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah
mengalami kejang disertai demain.

Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan
perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu
yang paling tinggi, kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi sudah dapat
menyebabkan kejang. Bila kejang telah terjadi pada demam yang tidak tinggi, anak
mempunyai risiko tinggi untuk berulangnya kejang.

Kejang demam sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4
tahun, terbanyak di antara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam
pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 ta hun. Biasanya setelah
berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih
dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara
dominan autosomal sederhana. Banyak pasien kejang demam yang orangtua atau saudara
kandungnya menderita penyakit yang sama. Faktor prenatal dan perinatal dapat berperan
dalam kejang demam.

TATALAKSANA

Pada tata laksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:

1. Pengobatan fase akut

2. Mencari dan mengobati penyebab

3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pengobatan Fase Akut

Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang
ketat dibuka, dan pasien dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas
harus bebas agar oksigenisasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur,
diberikan oksigen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital seperti kesadaran,
suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jan tung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan
dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik Diazepam adalah pilihan utama
dengan pemberian secara intravena atau intrarektal.

Mencari dan Mengobati Penyebab

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,


terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter
melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang di curigal mengalami meningitis atau bila
kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas,
sehingga pungsi lumbal harus di lakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan
dianjurkan pada pasien beru mur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu
dilakukan untuk mencari penyebab.

Pengobatan Profilaksis

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila
sering berulang menyebabkan kerusakan otak yang menetap.

Anda mungkin juga menyukai