Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

TRANSAKSI KARTU KREDIT DAN PERSAINGAN USAHA


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perikatan Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Umi Rohmah, M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok 12 HKI 5A
1. Muhammad Nibros Hammam (192121026)
2. Latifah Dwi Cahyani (192121027)
3. Fitri Yuli Astuti (192121028)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini dapat selesai. Dengan adanya makalah ini, kami berharap
semoga makalah ini mampu menambah wawasan serta pengalaman ilmu bagi para pembaca.
Dan semoga kedepannya kami bisa memperbaiki bentuk maupun isi dari makalah ini
sehingga menjadi makalah yang memiliki wawasan yang luas dan lebih baik lagi.
Masih banyak kekurangan ilmu maupun pengalaman dari kami. Maka dari itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bisa membantu untuk kami dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah kami ini.

Surakarta, 23 Oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4

BAB II PEMBAHASAN 5
A. Akad Credit Card 5
B. Persaingan Praktik Usaha

BAB III PENUTUP 13


A. Kesimpulan 16
B. Kritik dan Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari kehidupan
bermasyarakat yang selalu melakukan kontak dengan manusia lainnya dalam bentuk
muamalah. Hubungan antar sesama manusia dalam hal muamalah yakni dalam
kegiatan ekonomi, baik dalam hal jual beli, sewa menyewa, akad, hutang piutang dan
segala macam transaksi.
Pada zaman dahulu, transaksi dilakukan dengan cara barter yaitu menukarkan
satu barang dengan barang lainnya. Namun dalam pelaksanannya dinilai kurang
efektif karena sangat sulit menemukan barang yang diinginkan oleh pihak-pihak yang
akan melakukan barter. Kemudian sistem pembayaran berubah dan muncul uang
sebagai perantara pertukaran yang efesien dan efektif. Seiring perjalanan waktu,
ternyata uang memiliki hambatan dalam penggunaannya. Penggunaan uang dalam
jumlah besar membawa resiko ketika transaksi dilakukan melalui jarak tempuh yang
jauh, yaitu resiko perampokan, pencurian, dan pemalsuan. Akibatnya penggunaan
uang tunai semakin berkurang, sehingga lahirlah kartu kredit (credit card).
Penggunaan kartu kredit dirasa lebih aman dan praktis dengan berbagai fungsinya
sejalan dengan bertambahnya kebutuhan transasi di era modern ini. Di Indonesia
sendiri penggunaan kartu kredit terdapat dua konsep yakni kartu kredit konvensiona
dan kartu kredit syariah. Namun perkembangan kartu kredit syariah ini mengalami
pro dan kontra di masyarakat dan muncul perdebatan mengenai hal tersebut terlebih
jika ditinjau dari hukum islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Akad Credit Card?
2. Bagaimana Persaingan Praktik Usaha?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Akad Credit Card ditinjau dari hukum Islam.
2. Untuk mengetahui Persaingan Praktik Usaha ditinjau dari hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akad Credit Card


Credit Card (bahasa Inggris) atau biasa disebut kartu kredit, dimana dalam
kamus bahasa Indonesia kartu berarti kertas tebal yang berbentuk segi empat dan
kredit adalah pinjaman. Sedangkan dalam bahasa Arab kartu kredit sering disebut
dengan bithaqah I’timan atau bithaqah al-iqrad. Bithaqah dalam kamus bahasa Arab
artinya kertas/kartu, i’timan berarti kondisi aman dan saling percaya, dan iqrad berarti
peminjaman. Dalam Islamic Finance kartu kredit dikenal dengan istilah Islamic card
atau syariah card yang berarti kartu kredit syariah.1
Yang dimaksud syariah card, menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
54/DSB-MUI/X/2006 tentang Syari’ah Card, bahwa syari’ah card adalah kartu yang
berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah
ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan kartu kredit atau credit
card adalah kartu plastic yang diterbitkan oleh suatu institusi (bank atau otoritas
keuangan) yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran atas transaksi barang atau
jasa atau menjamin keabsahan cek yang dikeluarkan disamping untuk melakukan
penarikan tunai. Sedangkan menurut Abdullah al-Muslih dan Shaleh ash-Shawi, kartu
kredit diartikan dengan kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang
dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-
barang serta pelayanan tertentu secara utang2
Sedangkan definisi kartu kredit menurut Pasal 1 Ayat 4 Peraturan Bank
Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No.
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu
yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari
status kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan pembelanjaan dan/atau untuk melakukan
penarikan tunai, di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih
dahulu oleh penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan
pembayaran

1
Habib Masyhudi, Akad-Akad Dalam Kartu Kredit Syariah Perspektif Hukum Islam, Jurnal Studi
Islam: MIYAH, Vol 14 No 01, 2018, hal. 56
2
Hengki Firmanda, Syari’ah Card (Kartu Kredit Syariah) Ditinjau Dari Asas Utilitas dan Maslahah,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4 No 2, 2014, hal. 260
pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card)
ataupun dengan pembayaran secara angsuran.3 Pengertian yang lebih rinci dari kartu
kredit ini adalah uang plastik yang diterbitkan oleh suatu instansi yang
memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atas transaksi yang
dilakukannya dan pembayarannya dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar
sejumlah bunga (finance charge) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan.4
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kartu kredit syariah
adalah jenis kartu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual beli
barang atau jasa, dimana pelunasan atau pembayarannya dapat dilakukan sekaligus
atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu, dan hubungan hukum antara
para pihak berdasarkan prinsip syariah. Kartu kredit dapat dibagi menjadi tiga bagian
yakni kartu kreidt yang dibayar dengan angsuran (credit card), kartu kredit temporal
tanpa bunga (charge cards), dan kartu eceran (retail card).5
Walaupun berdasarkan pengertian syariah card diatas yang berfungsi sebagai
kartu kredit, tetapi para syariah card tidak memberlakukan bunga yang identik dengan
riba. Syariah card menggunakan mekanisme akad yang berdasarkan prinsip syariah.
Akad yang digunakan dalam syariah card adalah akad kafalah, qardh dan ijarah.6
1. Akad Kafalah
Kafalah menurut bahasa berarti dhaman (jaminan). Kafalah adalah perjanjian
memberikan penjaminan atau penanggungan. Menurut ahli fiqh madzab Hanafi
kafalah yakni penggabungan tanggungan seorang kafil (pihak penjamin) dengan
tanggungan ashil (orang yang ditanggung) untuk memenuhi tuntutan dirinya atau
uang, atau barang, atau suatu perkerjaan. Dalam hal ini penerbit kartu adalah
pemberi jaminan (kafil), bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua
kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan
Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit
Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah)
sedangkan yang dijamin disebut makful.7

3
Ibid, hal 261
4
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal. 124
5
Habib Masyhudi, Akad-Akad Dalam Kartu Kredit Syariah Perspektif Hukum Islam, Jurnal Studi
Islam: MIYAH, Vol 14 No 01, 2018, hal. 58
6
Ahmad Ifham Slihin, 2008, Ini Lho, Bank Syari’ah, Jakarta: PT Grafindio Media Pratama, hal. 231
7
Edy Santoso, Syariah Card dan Aplikasinya pada Produk Dirham Card di Bank Danamon Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Skripsi, 2008, hal. 27-29
Dasar hukum dari akad kafilah ini adalah QS. Yusuf ayat 72, yang artinya
“Penyeru-penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta
dan aku menjamin terhadapnya.” Dan juga terdapat dalam Hadits Riwayat
Bukhari.
Adapun rukun dan syarat kafalah yakni:8
a. Kafil, yaitu orang yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan makful bihi
(orang yang ditanggung). Kafil disebut juga dengan dhamin (orang yang
menjamin), za’im (penanggung jawab), hamil (orang yang menanggung
beban), dan qabil (orang yang menerima tanggungan). Syarat kafil yakni
harus baligh, berakal, berwenang penuh atas urusan hartanya dan rela dengan
adanya kafalah.
b. Ashil atau makful anhu, orang yang berutang yang akan ditanggung. Seorang
ashil tidak disyaratkan balig, hadir dan rela dengan adanya kafalah. Bahkan
ashil berlaku pada anak kecil, orang gila dan yang tidak hadir.
c. Makful lahu, yakni orang yang memberikan utang. Pihak penjamin
disyaratkan untuk mengenalnya, agar jaminan tidak menjadi kemudharatan.
d. Makful bihi, yakni orang, barang atau pekerjaan yang wajib dilaksanakan oleh
makful anhu (orang yang ditanggung)
Kemudian ada beberapa macam kafalah antara lain:9
a. Kafalah dengan jiwa
Yakni biasa disebut dengan jaminan muka yaitu komitmen kafil untuk
menghadiri orang yang ditanggung kepada makful lahu. Misalnya; sah apabila
seseorang mengatakan, “Aku sebagai penjamin” atau “Aku sebagai
penanggung” dan lainnya. Hal ini boleh dilakukan bila mengenai perkara
yayng berhubungan dengan hak manusia. Dalam hal ini, orang yang dijamin
tidak diharuskan mengetahui perkara tersebut, karena kafalah menyangkut
badan, bukan harta. Kemudian kafil dinyatakan lepas tanggung jawabnya jika
orang yang ia tanggung meningga dunia. Tetapi kedudukan itu digantikan
oleh ahli warisnya dalam hal tuntutan mengenai menghadirkan orang yang ia
jamin tersebut.
b. Kafalah dengan harta
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, Jakarta: Penapundi Aksara, 2006, hal. 303
9
Ibid, hal.29
Yakni komitmen kafil atas kewajibannnya untuk menjaminnya berupa harta.
Ada tiga macam yakni
1) Kafalah bid-dain yaitu komitmen kewajiban pembayaran utang yanag
menjadi tanggungan orang lain. Misal, dalam perkara utang, bahwa utang
tersebut benar adanya pada saat terjadinya transaksi jaminan, seperti
utang qiradh, upah dan mahar. Dan jika tidak, maka tidak sah. Kemudian
jika status barang tidak dketahui maka tidak sah jaminan barang yang
tidak diketahui karena hal itu merupakan gharar. Apabila seorang
mengatakan “Aku jamin untukmu apapun yang ada pada tanggungan si
Fulan”, tetapi mereka sama-sama tidak mengetahui jumlah barangnya,
maka hal itu tidak sah.
2) Kafalah dengan barang atau kafalah dengan penyerahan, yaitu komitmen
untuk menyerahkan barang tertentu yang ada ditangan orang lain.
Misalnya, mengembalikan barang yang dirampas oleh pelaku ghasab dan
menyerahkan barang jualan kepada si pembeli. Apabila berbentuk
pinjaman (ariyah) dan titipan (wadi’ah), maka kafalah tidak sah.
3) Kafalah bid-darak (penyusulan), yakni barang jualan yang diketahui
adanya bahaya karena telah adaya transaksi penjualan barang. Jadi ia
sebagai jaminan untuk hak si pembeli kepada si penjual, apabila barang
yang dijua terdapat orang yang lebih berhak. Misanya, jika terbukti
bahwa barang yang dijua adaah milik orang lain yang bukan milik
penjual awal atau barang itu adalah barang gadaian.
2. Akad Qardh
Menurut bahasa, kata qardh berarti pinjaman, bantuan. Qardh adalah
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau
dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Qardh disebut juga
dengan kredit/kredo berarti meminjamkan uang ataupun barang atas dasar
kepercayaan. Dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) dan
pemegang kartu sebagai peminjam (muqtaridh).10 Dasar hukum akad qardh ini
adalah QS. Al- Maidah ayat 2, yang artinya “…Dan tolong-menolonglah kamu
dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran…”. Dan dalam QS. Al-Hadid ayat 11
“Siapakah yang mau
10
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 109
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang
banyak”.11 Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
a. Muqridh/kreditur (pemilik barang/yang memberikan pinjaman), seorang
muqridh harus mampu mengembalikan pinjaman, karena dalam iqradh tidak
sah wali meminjamkan harta orang di bawah perwaliannya.
b. Muqtaridh/card holder (peminjam), harus mengetahui keadaan kreditur, tidak
melakukan penipuan dan meminjam sesuai kebutuhan.
c. Qardh (objek/barang yang dipinjamkan)
d. Ijab qobul, Dua hal yang harus terwujud dalam akad credit card ketika terjadi
kesepakatan, dimana pihak bank sebagai issuer bank yang melakukan ijab dan
kabul dilakukan oleh card holder ketika ia menggunakan kartunya dengan
membubuhkan tanda tangan sebagai tanda setuju. Yang dimaksud pinjaman
dalam akad credit card adalah dana yang diberikan kepada card holder sesuai
jumlah nilai yang dibutuhkan.12
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi dalam qardh adalah:13
a. Orang yang melakukan akad (muqridh dan muqtaridh) harus baligh dan
berakal.
b. Muqridh dan mutaridh memberikan pinjaman/hutang dengan sukarela bukan
dengan paksaan
c. Qardh (barang yang dipinjamkan) harus berupa maal muaqawwim (harta yang
menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi).
d. Ijab qobul harus dilakukan dengan jelas, sebagaimana akad dalam jual beli
3. Akad Ijarah
Secara bahasa, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti gaji, ongkos
kerja, upah, uang jasa. Dalam syariat Islam ijarah adalah jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan kompensasi. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna
atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.14 Penerbit kartu dalam akad ini
adalah penyedia

11
Edy Santoso, Syariah Card dan Aplikasinya pada Produk Dirham Card di Bank Danamon Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Skripsi, 2008, hal. 35
12
Aditia Ananda Putra, Konsep Kredit Card Dalam Pandangan Islam, At-Tasyri’, Vol 6 No 2, 2015,
hal. 165
13
Irdlon Sahil, Penerapan Akad Qardh Pada Kartu Kredit, Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman, Vol
3 No 1, 2020, hal. 56-57
14
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 117
jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Landasan syar’i
diperbolehkannya akad ijarah yakni QS.Al-Baqarah ayat 233 yang artinya “Dan
jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu memberi pembayaran dengan cara yang patut. Bertaqwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” Serta
Hadits Riwayat Ibnu Majah “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda,
berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”15
Adapun rukun dan syarat ijarah yakni:
a. Mu’ajjir yakni pihak pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu.
b. Musta’jir yaitu pihak yang menyewa.
c. Ma’jur yakni sesuatu yang diambil manfaatnya
d. Ajrah atau ujrah yaitu jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat
tersebut.
Akad ijarah dianggap sah setelah ijab qabul dilakukan dengan lafadz sewa
atau lafadz lain yang menunjukkan makna sama. Kedua pihak yang melakukan
akad disyaratkan memiliki kemampuan dan balig. Jadi, jika akad anak kecil meski
sudah tamyis dinyatakan tidak sah jika belum balig.
Ketiga akad diatas adalah akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit
syariah. Hukum islam memperbolehkan menggunakan ketiga akad tersebut, selama
sesuai dengan syariah.
Selain itu, sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 54/DSN-
MUI/X/2006 tentang Syariah Card memberikan ketentuan akad. Adapun batasan-
batasan kartu kredit syariah (Dhawabith wa Hudud) antara lain:16
1) Tidak menimbulkan riba
2) Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
3) Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain
menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
4) Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi
pada waktunya.
5) Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.

15
Edy Santoso, Syariah Card dan Aplikasinya pada Produk Dirham Card di Bank Danamon Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Skripsi, 2008, hal.33-34
16
Aditia Ananda Putra, Konsep Kredit Card Dalam Pandangan Islam, At-Tasyri’, Vol 6 No 2, 2015,
hal 167-168
Selain itu, ada Ketentuan Fee antara lain:
1) Iuran keanggotaan (membership fee), yakni Penerbit Kartu berhak menerima
iuran keanggotaan (rusum al-'udhwiyah) termasuk perpanjangan masa
keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin
penggunaan fasilitas kartu.
2) Merchant, yakni fee Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari
harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas
perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
3) Fee penarikan uang tunai, Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang
tunai (rusum sahb alnuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas
yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
4) Fee Kafalah, yakni Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu
atas pemberian Kafalah.
5) Semua bentuk fee tersebut di atas (1 sd 4) harus ditetapkan pada saat akad
aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.
Ketentuan Ta'widh dan Denda17
1) Ta'widh, penerbit kartu dapat mengenakan ta'widh, yaitu ganti rugi terhadap
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan
pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
2) Denda keterlambatan (late charge), penerbit kartu dapat mengenakan denda
keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Mekanisme Aplikasi Kartu Kredit Syariah
1) Permohonan Penerbitan Kartu Kredit, pertama Nasabah (Card Holder)
mengajukan permohonan kartu dengan memenuhi peraturan yang telah
ditentukan, yaitu mengisi formulir permohonan kartu kredit, menyerahkan foto
copi bukti diri (KTP) dan menyerahkan slip gaji atau surat ketarangan
penghasilan.
2) Bank atau lembaga keuangan setelah menyetuji permohonan nasabah, sebelum
menerbitkan kartu kredit, pihak bank atau lembaga keuangan mensurve atau
meneliti langsung ke alamat calon pemegang kartu kredit (nasabah-card holder)

17
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Banking Cards Syariah Kartu Kredit Dalam Perspektif Fiqih.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006. Hal.50
atau cukup lewat telpon bahkan ada yang langsung diterbitkan kartu kreditnya
karena nasabah dipandang sudah bonafit dalam kemampuan finansial.
3) Jika sudah terpenuhi persyaratan yang dimaksud, pihak nasabah mendapatkan
kartu kredit dari Bank tersebut dengan kesepakatan segala biaya yang harus
dikeluarkan ketika kartu kredit tersebut akan digunakan, semisal fee tahunan
(membership fee), merchant fee, fee penarikan tunai, fee kafalah dan fee
sebagai denda keterlambatan terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan
akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang
telah jartuh tempo.18
Mekanisme Penggunaan Kartu Kredit19
1) Berbelanja di Merchant (Grand Mall atau Swalayan)
Pertama, ketika melakukan transaksi pembelian barang, pemegang kartu cukup
menunjukkan atau menyodorkan kartu kreditnya kepada pihak merchant. Pihak
Merchant menggesekan kartu tersebut pada sales draft dan muncul draf rincian
nominal belanja yang kemudian pemegang kartu untuk menanda tanganinya
dan pemegang kartu mendapatkan salinan draf tersebut. Kedua, Pihak Merchant
akan menagihkan kepada Bank Penerbit Kartu atau lembaga keuangan
berdasarkan bukti transaksi antara pemegang kartu dengan merchant. Ketiga,
Bank penerbit kartu atau lembaga keuangan akan membayar kembali kepada
merchant sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati. Keempat, Pihak
Bank atau lembaga keuangan akan menagih ke pemegang kartu berdasarkan
bukti transaksi pembelian sampai batas waktu yang ditentukan. Kelima,
Pemegang kartu akan membayar sejumlah nominal yang tertera dalam surat
tagihan sampai batas waktu yang ditentukan dan apabila terjadi keterlambatan,
maka pemegang kartu akan dikenai denda yang besar sesuai dengan ketentuan
Bank Penerbit Kartu.
2) Penarikan uang Tunai di ATM Bank Penerbit Kartu atau Bank Lain (ATM
Bersama)
Pemegang Kartu Kredit dapat mengambil uang tunai di berbagai ATM yang
tersebar di semua Negara, dengan prosedur cukup memasukkan kartu kreditnya
di mesin ATM dengan mengetik PIN Kartu Kredit dan memilih menu
penarikan tunai dengan jumlah menurut keinginan pemegang kartu. Dalam
tenggang atau

16
18
Kholidin, Muhammad. Kartu Kredit Perspektif Hukum Islam. Surakarta: FAI, 2003, hal.22
19
Ibid, hal. 50

17
tempo satu bulan, pihak Bank Penerbit Kartu melakukan penagihan dengan
mengirim surat tagihan yang berisi rincian nominal tarik tunai dan besar fee
atas jasa penggunaan ATM Bank penerbit kartu atau Bank Lain yang tergabung
dalam ATM Bersama. Pemegang kartu akan membayar sesuai dengan nominal
tarik tunai ditambah nominal fee atas jasa pelayanan penggunakan ATM yang
dapat dikategorikan sebagai fee ijarah.

B. Persaingan Praktik Usaha


Persaingan Praktik Usaha berasal dari tiga kata yaitu persaingan, praktik, dan
usaha. Persaingan atau competation dapat diartikan dengan suatu proses sosial dimana
individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, untuk mencari keuntungan
melalui bidang-bidang kehidupan yang pada masa tertentu menjadi pusat perhatian
umum.20 Praktik adalah suatu tindakan yang belum otomatis terwujud dalam suatu
tindakan (behavior).21
Usaha adalah suatu tindakan pertukaran barang, jasa atau uang yang saling
menguntungkan atau memberi manfaat. Usaha terjadi karena adanya ketergantungan
antara individu, adanya peluang internasional, usaha untuk mempertahankan dan
meningkatkan standar hidup dan sebagainya.
Persaingan praktik usaha dalam aspek hukum persaingan bisnis biasa dikenal
dengan istilah persaingan usaha. Persaingan usaha adalah suatu perseteruan pelaku
usaha yang secara independen berusaha mendapatkan konsumen dengan menawarkan
barang atau jasa dengan kualitas yang baik dan dengan harga yang baik pula. Dalam
kamus manajemen persaingan usaha terdiri dari :Persaingan sehat (healty
competition) adalah persaingan antara perusahaan-perusahaan atau pelaku usaha yang
diyakini tidak akan menuruti atau melakukan tindakan yang tidak layak dan
cenderung mengedepankan etika-etika bisnis. Persaingan gorek leher (cut throat
competition) adalah bentuk persaingan yang tidak sehat, dimana perebutan pasar
terjadi antara beberapa pihak yang melakukan usaha yang mengarah pada
menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan. 22

20
Dwi Juliana “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Persaingan Usaha Pedagang Gula Merah dan
Implikasinya Bagi Pedagang Lokal Di Desa Tugondeng Kec. Herlang Kab. Bulukumba”. Skripsi. Makassar :
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 2018. Hal. 22
21
http://repository.uinmus.ac.id Diakded pada 22 Oktober 2021 pukul 10.15 WIB.
22
Dwi Juliana “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Persaingan Usaha Pedagang Gula Merah dan
Implikasinya Bagi Pedagang Lokal Di Desa Tugondeng Kec. Herlang Kab. Bulukumba”. Skripsi. Makassar :
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 2018. hal 23

18
Menurut pandangan islam persaingan usaha yang sehat memiliki unsur dasar
kepercayaan, kepercayaan diciptakan dari kejujuran. Kejujuran merupakan suatu
kualitas yang paling sulit dicapai dari karakter yang ada didunia perbisnissan. Bisnis
yang berhasil dalam masa panjang akan cenderung membangun semua hubungan
dengan mutu , kejujuran dan berinteraksi dengan orang-orang yang jujur dalam
melaksanakan strategi bisnis. Jika bisnis tidak didasari dengan rasa saling percaya
maka tidak akan terlaksana. Akan tetapi dunia bisnis juga melarang untuk terlalu
cepat percaya karena hal tersebut dapat menimbulkan penipuan.
Dalam ajaran Islam siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-
satunya penjual atau pembeli, asalkan dia tidak melakukan ikhtikar (mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal) dengan cara menjual lebih sedikit barang
untuk harga yang lebih tinggi atau dalam istilah ekonominya monopoly’s rent. Islam
juga mengajarkan untuk berperilaku baik dan simpatik serta islam juga menganjurkan
kita untuk menjaga diri dari sikap pembohong dan pemanfaatan konsumen, selain itu
juga mementingkan pada peningkatan hubungan jangka panjang dengan para
pelanggannya, bukan profit orientied. Sehingga profinya lebih banyak. Persaingan
usaha yang sehat juga harus terbuka dan adil dalam menjalankan bisnis.
Ajaran islam juga mengajarkan untuk memuliakan mitra bisnis yaitu dengan
cara pertama memberikan simpati dan empati. Kedua, memuliakan Pelanggan Atau
Mitra Bisnis Sebagai Saudara. Ketiga, menawarkan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Keempat, menawarkan barang dan jasa yang berkualitas.23
Persaingan praktik usaha yang tidak sehat sangat dilarang oleh islam dan
negara, adapun larangan tersebut diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perjanjian adalah
sesuatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis,
hal tersebut diatur dalam ketentuan pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999.
Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian yang
memiliki dampak tidak baik dalam persaingan pasar. Perjanjian-perjanjian tersebut

23
Abdul Latif, “Etika Persaingan Dalam Usaha Menurut Pandangan Islam” Jurnal Unida Gontor Vol.
3 No. 2 2017. Hal. 163-168
seperti perjanjian oligopoli, penetapan harga, pemboikotan, kartel, dan lain
sebagainya.24
Secara acontratio perjanjian dapat diartikan sebagai kegiatan. Definisi kegiatan
menurut UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu tindakan atau perbuatan hukkum sepihak
yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa adanya
keterkaitan hukum secara langsung dengan pelaku usahanya. Dari penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa kegiatan adalah suatu tindakan, suatu usaha, suatu aktivitas,
atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sepihak oleh satu pelaaku usaha atau
kelompok pelaku usaha.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang dalam hubungan antara pelaku
usaha di bidang ekonomi menurut UU No. 5 Tahn 1999 adalah suatu kegiatan yang
bersifat monopoli, monopsoni, dan sebaginya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilarang
guna untuk memberikan batasan-batasan terhadap kegiatan apa saja yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh para pelaku usaha, sehingga kepentingan antara pelaku
usaha dapat berjalan dengan kondusif dan akan tercipta pasar yang kompetitif.25

24
Sudiarto, “ Pengantar Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”. (Jakarta : Kencana. 2021), hal. 1-2
25
Ibid., hal. 51-52
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Kartu kredit sering
disebut dengan credit card atau bithaqah i’timan terdapat beberapa macam akad,
meliputi Akad kafalah; Akad qardh; dan Akad ijarah yang semuanya memiliki
landasan syar’i Al□Qur’an dan As-Sunnah. Secara umum, batasan kartu kredit
syariah diperbolehkan selama tidak menimbulkan riba; tidak digunakan untuk
transaksi yang tidak sesuai dengan syariah; tidak mendorong pengeluaran yang
berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan;
Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada
waktunya; dan tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
Mekanisme aplikasi kartu kredit syari’ah terdiri dari permohonan penerbitan kartu
kredit dan penggunaan kartu kredit yang telah diatur oleh pihak penerbit kartu kredit.
Persaingan usaha adalah suatu perseteruan pelaku usaha yang secara
independen berusaha mendapatkan konsumen dengan menawarkan barang atau jasa
dengan kualitas yang baik dan dengan harga yang baik pula. Dalam kamus
manajemen persaingan usaha terdiri dari :Persaingan sehat (healty competition) dan
Persaingan gorek leher (cut throat competition). Dalam ajaran Islam siapapun boleh
berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual atau pembeli, asalkan dia tidak
melakukan ikhtikar (mengambil keuntungan di atas keuntungan normal) dengan cara
menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi atau dalam istilah
ekonominya monopoly’s rent. Islam juga mengajarkan untuk berperilaku baik dan
simpatik serta islam juga menganjurkan kita untuk menjaga diri dari sikap
pembohong dan pemanfaatan konsumen.

B. Kritik dan Saran


Kami sebagai penyusun mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang
telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan kami. Tentu saja ilmu yang kami
miliki masih sangat terbatas. Untuk itu mohon dimaklumi terkait teknis penulisan
yang salah, atau materi yang kurang lengkap. Kami selalu menunggu kritik dan saran
yang membangun bagi kami. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ifham Slihin, , Ini Lho, Bank Syari’ah, (Jakarta : PT Grafindio Media Pratama, 2008)
Dewi, Gemala, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media), 2005
Firmanda, Hengki, Syari’ah Card (Kartu Kredit Syariah) Ditinjau Dari Asas Utilitas dan
Maslahah, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4 No 2, 2014.
http://repository.uinmus.ac.id Diakded pada 22 Oktober 2021 pukul 10.15 WIB.
Juliana, Dwi“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Persaingan Usaha Pedagang Gula Merah
dan Implikasinya Bagi Pedagang Lokal Di Desa Tugondeng Kec. Herlang Kab.
Bulukumba”. Skripsi. Makassar : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 2018.
Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
Kholidin, Muhammad. Kartu Kredit Perspektif Hukum Islam. Surakarta: FAI, 2003.
Latif, Abdul, “Etika Persaingan Dalam Usaha Menurut Pandangan Islam” Jurnal Unida
Gontor Vol. 3 No. 2 2017.
Masyhudi, Habib, Akad-Akad Dalam Kartu Kredit Syariah Perspektif Hukum Islam, Jurnal
Studi Islam: MIYAH, Vol 14 No 01, 2018.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
Putra, Aditia Ananda, Konsep Kredit Card Dalam Pandangan Islam, At-Tasyri’, Vol 6 No 2,
2015.
Sahil, Irdlon, Penerapan Akad Qardh Pada Kartu Kredit, Mukammil: Jurnal Kajian
Keislaman, Vol 3 No 1, 2020.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, Jakarta: Penapundi Aksara, 2006.
Sudiarto, “ Pengantar Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”. (Jakarta : Kencana. 2021)
Sulaiman, Abdul Wahab Ibrahim Abu, Banking Cards Syariah Kartu Kredit Dalam Perspektif
Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006.

Anda mungkin juga menyukai