Secara khusus saya ingin melihat dari pribadi Paulus yang menjadi inspirasi dan
teladan ketika berada di dalam situasi sulit kerena ia mampu mengambil arti penting dan
positif dari penderitaan yang sedang dialami. Melalui II Korintus 12 mampu menjawab
pertanyaan bagaimana orang percaya memahami makna dan menyikapi peneritaan
terkhususnya Covid-19. Dengan berfokus pada II Korintus 12:9”……cukuplah kasih
karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna……”.
Ini merupakan jawaban Yesus atas penderitaan yang dialami oleh Paulus. Dengan jawaban
ini, sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa penderitaan itu bukanlah akibat dari dosa
namun secara implisit digambarkan sebagai sarana yang dipakai Tuhan untuk menyatakan
kuasa-Nya. Seperti contoh-contoh dalam Alkitab: kematian Lazarus (Yoh. 11:14),
penderitaan seorang buta sejak lahir (Yoh. 9:1), penderitaan yang dialami Paulus (2Kor.
12:9). Dalam konteks ini, Tuhan tidak melihat kebelakang tentang asal-usul pendertiaan
namun Ia melihat kedepan apa yang harus dilakukan agar kuasa Tuhan harus dinyatakan.
Kuasa dari Tuhan sungguh terbukti dalam pribadi setiap orang yang percaya dan
menaruh harapan hanya kepada-Nya termasuk dalam konteks ini adalah pribadi Paulus.
Kuasa Tuhan sangat bermakna dalam hidup Paulus ketika menghadapi berbagai masalah
hidup, hal ini terbukti dengan perkataan Paulus “sebab itu terlebih suka aku bermegah atas
kelemahanku supaya kuasa Kristus turun menaungi aku”. Berdasarkan pernyataan Paulus ini,
ada beberapa makna kuasa dalam penderitaan Paulus:
Dalam kelemahan Paulus ada makna dari kuasa Tuhan.
Dalam bacaan ini mau menyatakan bahwa kesusahan yang dialami oleh Paulus
sungguh hebat. Walaupun Tuhan mengijinkan segala kesukaran dan kesulitan menimpa
dirinya namun tangan Tuhan selalu menuntun dan menaunginya dalam perjalanannya, Tuhan
tidak pernah meninggalkan dirinya dalam kesesakan. Apa yang dilakukan oleh Paulus dalam
menanggapi kesusahan yang dideritanya adalah dengan senang dan rela yang menunjukkan
bahwa dalam penderitaannnya ia selalu mengandalkan kuasa kasih karunia Allah yang
memberi kekuatan kepadanya.
Memandang penderitaan sebagai duri dalam daging atau masalah komunitas gerejawi
yang mesti diselesaikan untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Pandangan ini menjadi alternatif
untuk mendekati problem karena mengupayakan suatu perubahan struktural atau sistematik
dalam masyarakat, menemukan jawaban atas penderitaan secara luas dengan menyentuh
berbagai ranah sosial masyarakat dan bukan hanya dengan pendekatan personal. Harapannya
ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada.
Teologi eskatologi.
Dalam hal ini dunia dipandang sebagai tempat penghayatan nilai-nilai, sedangkan
pengharapan eskatologis akan Kerajaan Allah merupakan motif untuk mencari keadilan,
perdamaian, pembebasan atas penderitaan di dunia.
Victor Frankl (1984) menjelaskan bahwa seorang manusia akan bahagia bila ia telah
mengerti makna dalam kehidupannya. Ketika dikaitkan dengan wabah Covid-19, boleh
dikatakan bahwa manusia sebaiknya berpikir dan memaknai sisi positif dari hadirnya wabah
tersebut bukannya selalu mengeluh dan mempersalahkan orang lain. Kurang lebih selama
adanya pandemi ini alampun mulai memulihkan diri, seluruh manusia dapat bersatu padu dan
saling menumbuhkan rasa saling peduli satu dengan yang lainnya sehingga tumbuhnya cinta
kasih yang mungkin dalam waktu belakangan ini manusia mengedepankan kebencian dan
konflik. Seperti di teliti oleh NAZA, Polusi mulai berkurang dari bumi, sehingga bumi
memiliki waktu untuk dapat memperbaiki dirinya sehingga dapat menjadi tempat yang lebih
baik untuk ditinggali. Ataupun setiap manusia akan menjadi lebih sadar akan esensi dari
kehidupan, sehingga setelahnya dapat berperilaku dengan lebih baik. Dari hal-hal tersebut
maka manusia akan berada dalam kondisi tenang dan awas adalam menghadapi wabah ini.
Selain itu manusia juga akan lebih siap dan kuat dalam menghadapi peristiwa traumatis
lainnya di masa depan.