Anda di halaman 1dari 2

Khotbah PA

Bacaan : Filipi 1: 27-30


Lagu-lagu KJ: KJ 178; KJ 26; KJ 439; KJ 395

Syalom bapa, mama dan basodara sekalian, minggu ini kita memasuki minggu sengsara ke IV.
Tema yang diberikan untuk kita renungkan dalam minggu ini adalah : “Belajar dari Penderitaan
untuk menghadirkan Transformasi.” Bicara soal penderitaan atau menderita, kata Menderita,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah menanggung sesuatu yang tidak
menyenangkan. Dengan demikian, tidak seorang pun ingin menderita. Setiap orang selalu
berupaya agar tidak sampai menanggung suatu penderitaan, sekecil apa pun itu. Namun pada
kenyataannya, banyak orang yang hidup menderita, baik itu karena miskin, sakit, atau sebab
lainnya.
Ada yang berpendapat, hidup adalah penderitaan. Artinya, setiap orang yang hidup harus siap
menderita. Dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang akan bisa melepaskan diri dari
penderitaan. Lalu, bagaimana caranya supaya manusia tidak menderita? Nikmati saja
penderitaan itu, bahkan mari kita menyukuri-nya.

Mengapa kita harus menyukuri penderitaan? Rasul Paulus memberi jawaban: Penderitaan
adalah anugerah yang dikaruniakanNya. Kalimat ini tentu aneh bagi kita yang hidup di zaman
modern ini. Betapa tidak. Selama ini, penderitaan telah menjadi musuh di jaman modern yang
sangat mengagungkan pemanjaan diri dan kenikmatan hidup. Penemuan teknologi makin
memudahkan manusia dalam kehidupan. Semua dibuat simpel, mudah dan harus
menyenangkan. Ini mengantarkan manusia pada sikap penolakan total terhadap penderitaan.
Penderitaan ditolak manusia zaman sekarang lantaran mereka berada dalam cengkeraman
egoisme. Dalam kungkungan egoisme ini, manusia akan menyambut dengan penuh antusias
kebahagiaan dan menolak mentah-mentah penderitaan. Egoisme membuat manusia menerima
hanya apa yang diinginkannya, bukan yang diinginkan orang lain, termasuk yang
dikehendakiTuhan. Ketika egoisme menguasai hati, kita pasti menolak segala sesuatu yang
tidak sesuai dengan keinginan. Jika sudah demikian, apakah kita masih tetap bisa bersyukur
apabila sesuatu yang terjadi dalam hidup tidak sesuai dengan keinginan? Barangkali tidak.
Malah kita justru protes pada Tuhan: Tuhan, mengapa ini terjadi pada diriku? Dan pada
puncaknya kita akan berkata, saya tidak rela!
Sifat egois membuat kita mencintai diri sendiri lebih dari segalanya sehingga kita tidak memiliki
sisa cinta untuk orang lain bahkan untuk Tuhan sekalipun sebagai sumber cinta. Egoisme yang
bercokol di hati kita membuat penderitaan menjadi musuh yang harus dienyahkan. Penolakan
atas penderitaan dimungkinkan pula oleh sifat materialisme yang merasuki dunia ini.
Kebahagiaan diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki. Kita merasa sangat menderita
jika tidak memiliki uang. Bila sebelumnya kita sungguh mencintai Tuhan, namun ketika
kemiskinan datang, kita tersentak, dan bertanya lantang, Tuhan,dimanakahEngkau?!

Umat Kristen memang hidup di tengah dunia yang penuh dengan penderitaan. Namun kita
1
tidak boleh menerima sikap penolakan atas penderitaan itu. Sebab bagi orang Kristen,
penderitaan merupakan anugerah. Bagaimana kita memahami keanehan ini? Dalam Filipi 1:
29-30 dikatakan: Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus,
melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu
kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentangaku.

Bagaimana kita dikatakan menerima anugerah ketika kita menderita? Hal ini baru bisa diterima
dan dimengerti apabila kita percaya kepada Kristus dan menerima-Nya sebagai Tuhan dan juru
selamat. Jadi kita harus mempunyai kesadaran utuh pada waktu kita menerima salibNya. Kita
harus mempunyai tanda tangan kontrak mengikuti dan berjalan pada jalanNya. Mengikuti
Yesus tidak bisa secara sepotong-sepotong. Kita harus mengikutiNya secara total dan utuh.
Mengikuti Kristus berarti siap menerima apa pun yang bakal diberikanNya. Kita harus tetap
bersyukur. Bahkan ketika Dia mengambil apa yang paling kita sayangi, kita harus tetap
bersyukur.

Sikap demikian hanya akan menjadi milik kita apabila kita mempunyai iman. Iman
memampukan kita untuk menerima apa yang dikerjakanNya sebagai suatu anugerah. Iman
pula yang memungkinkan kita untuk melihat apa yang tidak tertangkap mata di balik setiap
peristiwa yang kita alami. Apa itu iman? Ada yang bilang keyakinan. Semua orang memiliki
keyakinan. Keyakinan inilah yang menggerakkan orang untuk meraih cita-cita. Tapi iman tidak
sekadar keyakinan. Iman adalah Allah yang menyatakan diriNya kepada manusia dan
memampukan manusia merespon kepada Allah. Allah yang berbicara dimengerti oleh manusia
karena Allah memberi pengertian sehingga manusia mampu memberikan respon kepada Allah.

Iman yang sama pula memampukan kita untuk senantiasa bersyukur. Dan oleh karena
anugerah-Nya, kita bisa mengucap syukur atas segala sesuatu, termasuk penderitaan yang
sedang kita alami. Iman tidak diekspresikan dengan cara berpindah-pindah tempat ibadah
hanya karena di sana ada penghiburan semu: khotbah-khotbah yang memuaskan telinga.
Sementara, jika kita keluar dari tempat ibadah, kita masih merasakan beban/masalah yang
menindih. Saat iman kita belum berakar kuat, mungkin saja kita ikut berbakti, tetapi sebenarnya
semua itu merupakan upaya untuk menghindari rasa sakit yang berkepanjangan yang kita
sebut sebagai penderitaan. Ibadah kita jadikan tempat mengambil obat untuk mengusir
penderitaan. Dengan sikap seperti ini hampir dapat dipastikan bahwa kita tidak mungkin bisa
bersyukur kepada Tuhan. Kita hanya akan mengeluh minta pertolonganNya. Kalau itu yang
menjadi sikap mental dan gaya kekristenan kita, kita tidak akan mampu menerima penderitaan
sebagai kenyataan yang pahit dan sulit. Kita tidak akan mampu menerima penderitaan dari dan
oleh Kristus. Kita tidak akan bisa bersyukur atas anugerah penderitaan. Karena itu marilah kita
meminta kekuatan dari Tuhan yang telah lebih dulu menderita untuk kita, agar dapat bertahan
dalam penderitaan dan bahkan mensyukurinya. Amin

Anda mungkin juga menyukai