Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN AKHIR

FORMULASI TEKNOLOGI SEMISOLID

“HANDSANITIZER GEL TRIKLOSAN DAN ALKOHOL 70% DENGAN


PEMBANDING HIDROGEN PEROKSIDA”

Oleh:

Indri Ilmiyatul Hasanah (19040059)

Lilik Nur Fitriani (19040072)

Miatuz Zaqia (19040081)

Muhammad Faiz Anwar (19040083)

Nailiyatul Hikmiyah (19040087)

19B Farmasi

PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS dr. SOEBANDI JEMBER

YAYASAN PENDIDIKAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL (JIS) 2021


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan upaya pencegahan berkelanjutan
yang didasarkan kesadaran diri pada semua masyarakat khususnya anggota keluarga agar
terhindar dari berbagai masalah kesehatan.. (Kemenkes, RI 2014). Mencuci tangan
merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi
(Potter & Perry, 2005) Penyakit yang memang sering terjadi adalah penyakit diare , pilek,
keracunan makanan,hepatitis,demam dan terinfeksi bakteri E.coli yang disebabkan kurangnya
perilaku cuci tangan setelah melakukan aktivitas. Menyentuh benda-benda yang di
permukaan nya terdapat kuman, sehingga kuman akan menempel pada tangan, ketika tidak
mencuci tangan, kuman dapat masuk ke dalam tubuh pada saat makan, atau menyentuh
hidung dan mulut. Kuman-kuman tersebut dengan mudahnya dapat menyebabkan penyakit
pada tubuh. Sehingga mungkin akan menyebakan sakit dan hal ini tentu dapat mengganggu
aktivitas.(Desy Ardiyati.,2021). Untuk menjaga tubuh kita dari kuman yang menyebabkan
penyakit diperlukannya handsanitizer dimana handsanitizer merupakan pengganti mencuci
tangan menggunakan air yang sering kali digunakan saat melakukan aktivitas yang tidak
memungkinkan adanya ketersediaan air.
Menurut penelitian WHO, 100 ribu anak Indonesia meninggal setiap tahunnya karena
diare. Data yang dirilis oleh Riskedas tahun 2007 menyebutkan diare termasuk salah satu dari
dua penyebab kematian terbanyak pada anak-anak, selain pneumonia. Kematian pada pada
anak umur 4-11 tahun yang disebabkan diare sebanyak 25,5% dan pneumonia15,5%.
Sebanyak 40 hingga 60 % diare pada anak terjadi akibat rotavirus. Biasanya virus masuk
mulut melalui tangan yang terkontaminasi kotoran akibat tidak mencuci tangan. Angka
kejadian diare berkisar 200-400 diantara 1000 penduduk di Indonesia setiap tahunya,
sebagian besar (70-80%) di antaranya berusia kurang dari 5 tahun (± 40 jutakejadian).
Kelompok ini setiap tahunya mengalami lebih dari satu kali kejadian diare. Sebagian dari
penderita (1- 2%) akan masuk kedalam dehidrasi dan tidak segera diatasi 50-60% di
antaranya dapat meninggal (Sudaryat , 2010 dalam Sari ). Data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) 2020 di Indonesia 1 dari 4 orang tidak memiliki fasilitas cuci tangan di rumahnya.
Jumlah ini 25% dari populasi atau 64 juta orang Indonesia tidak memiliki akses cuci tangan.

2
Salah satu alasan penggunaan bahan aktif triklosan dan etanol 70% yaitu Triklosan
merupakan agen antimikroba yang sudah digunakan menjadi antiseptik (Jones et al.
2000).Triclosan telah digunakan dengan aman banyak produk pembersih komersial dan
kebersihan pribadi untuk mencegah kontaminasi bakteri pada produk.Triclosan banyak
digunakan sebagai bahan antiseptik gel, yang dapat digunakan untuk membersihkan tangan
saat air tidak tersedia. (Russel dan McDonnel, 2000) Triklosan diterapkan dalam kisaran
konsentrasi antara 0,2-2% memiki aktivitas antimikroba. Pada konsentrasi tersebut triklosan
bersifat bakteriostatik.(Meilania,2007). Triklosan memiliki kemampuan Menghilangkam
MRSA secara efektif dari tangan setelah 30 detik. .(Meilania,2007). Triklosan efektif
untuk membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif dengan cara mempengaruhi
dinding sel mikroba sehingga integritas dinding sel bakteri terganggu dan menyebabkan sel
mengalami lisis.Triklosan relatif tidak toxic pada manusia tidak menimbulkan efek
karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. .(Meilania,2007). Dilihat dari efek samping
triklosan yaitu terjadinya iritasi kulit dan dermatitis kontak fotoalergik. Stabilitas Triclosan
tidak terurai dalam kondisi penyimpanan normal selama 9 tahun penyimpanan (informasi
dari COLIPA). Stabil di bawah kondisi penyimpanan yang direkomendasikan. Triklosan
dan alcohol 70 % umumnya digunakan dalam persiapan antiseptik dalam sediaan gel pada
tangan. Aktivitas alkohol dan triclosan dalam bentuk dosis dapat dinonaktifkan atau
ditingkatkan dengan bahan organic. Dibuktikan pada penelitian yang mengevaluasi
antiseptic dengan kandungan triclosan dan alcohol, hasil membuktikan bahwa triclosan dan
alcohol dapat menghilangkan mikroorganisme hingga 89 % dan etanol mampu membantu
ke efektifitasan dengan kosentrasi 46 %.(Isadiartuti, 2005)
Alkohol mempunyai aktivitas bakterisidal, bekerja terhadap berbagai jenis bakteri,
tetapi tidak terhadap virus dan jamur. Alkohol sebagai disinfektan hanya mempunyai
aktivitas bakterisidal saja, tetapi tidak terhadap virus dan jamur. Selain sebagai disinfektan,
alkohol dalam Hand sanitizer dapat membantu melarutkan triklosan. Menurut hasil
penelitian penelitian Rini (2018) bahwa antiseptik pada beberapa merk dengan kadar
alkohol 60-70% tanpa tambahan zat antibakteri lainnya memiliki sifat yang lebih polar,
sehingga diameter daya hambat yang dihasilkan lebih besar pada bakteri Staphylococcus
aureus. Solusi paling efektif mengandung 60 hingga 80% alkohol, menghasilkan dalam
efisiensi yang lebih rendah pada konsentrasi yang lebih tinggi. (Aminah Asngad.2018).
Hadsanitizer Kinerja yang baik dari pembersih tangan beralkohol terutama tergantung pada
persentase dan jenis alkohol, tetapi juga pada jumlah yang diterapkan pada tangan dan
kontak. Aktivitas antimikroba alkohol diwakili oleh kemampuannya dalam denaturasi

3
protein. Sebagai antiseptik alkohol memiliki kelebihan yang mudah menguap, sehingga
tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengering ketika diaplikasin ke tangan. Akan
tetapi ini juga menjadi kelemahan, karena efektivitasnya hanya jangka pendek, sehingga
bakteri hanya dapat dikurangi dalam waktu singkat setelah penggunaan antiseptik (Fadhilah,
2017). Alkohol memberikan rasa dingin di tangan dan agar gel hand sanitizer lebih cepat
kering pada saat digunakan.(Melisa,2013)
Digunakannya sediaan Gel Triclosan yaitu bahan antimikroba yang diterima secara
luas karena keamanan dan kemanjuran antimikrobanya. Triclosan telah menunjukkan
efektivitas dan kegunaan antimikroba spektrum luas yang segera, persisten, dalam pengaturan
perawatan kesehatan klinis. Ulasan ini menyoroti kegunaan dan efektivitas formulasi
triclosan untuk digunakan dalam cuci tangan frekuensi tinggi yang berisiko tinggi. Salah satu
keuntungan sediaan gel yaitu tidak lengket ketika digunakan, kemampuan penyebarannya
baik pada kulit ,efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit,
kemudahan pencuciannya dengan air yang baik (Voigt, 1994). Target dari pembuatan sediaan
dalam bentuk gel topical (hand sanitizer) yaitu pada permukaan telapak tangan. Hand
sanitizer juga memiliki kandungan humektan yang akan menjaga dari hilangnya air dalam
sediaan setelah pemakaian. Hubungan korelasi dengan pembuatan hand sanitizer karena
triklosan dan alcohol sebagai agen antiseptik diharapkan dapat bekerja dalam waktu 20-30
detik. Pada penggunaan gel, karena sifat tiksotropi yang dimiliki (ketika digunakan pada
telapak tangan atau digosokkan) akan berbentuk seperti cairan dan cepat mengering karena
ada alcohol yang dapat mempermudah kerja bahan aktif dalam waktu 20-30 detik).

1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa mampu merancang formula sediaan gel Triklosan dan alkohol 70%
dengan pembanding Hidrogen peroksida
1.2.2 Mahasiswa mampu membuat sediaan sediaan gel Triklosan dan alkohol 70%
dengan pembanding Hidrogen peroksida
1.2.3 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi sediaan gel Triklosan dan alkohol 70%
dengan pembanding Hidrogen peroksida

4
1.3 Dasar teori
1.3.1 Definisi Gel

Gel dapat didefinisikan sebagai sediaan semipadat yang terdiri dari suspensi yang
dibuat dari partikel organik kecil atau molekul organik besar, berpenetrasi oleh suatu cairan.
Gel adalah sistem semipadat yang pergerakan medium pendispersinya terbatas oleh sebuah
jalinan jaringan tiga dimensi dari partikel – partikel atau makromolekul yang terlarut pada
fase pendispersi (Allen et. al., 2002).
Menurut Farmakope Indonesia V (2014) sediaan gel kadang – kadang disebut jeli, adalah
sistem semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik kecil atau
molekul organik besar, yang terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari
jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel
Aluminium Hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi
relative besar, massa gel kadang – kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma
Bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat jika
dibiarkan dan dapat menjadi cair pada saat pengocokan.
Terdapat beberapa uji yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi kualitas dari sediaan gel
yang telah diformulasi. United States Pharmacopeia (USP) merekomendasikan beberapa uji
yaitu minimum pengisian, pH, viskositas, antimicrobial, dan kandungan alkohol pada
sediaan tertentu. Adapun uji lainnya yaitu uji homogenitas, uji karakter reologi, uji daya
lekat serta uji stabilitas (Gad, 2008) maupun uji extrudability, uji iritasi dan uji homogenitas
(Kaur dan Guleri, 2013).
Salah satu cara yang paling cepat serta akurat dalam memberikan gambaran mengenai
karakter suatu gel, serta untuk mengetahui bagaimana cara penanganan dan penyimpanannya
yaitu dengan pengukuran viskositas. Pengujian reologi merupakan bagian dari pengujian
viskositas yang digunakan untuk mengetahui karakter reologi suatu gel, yang mana
umumnya merupakan sistem non – Newtonian. Pada pengujian reologi gel menggunakan
viskometer dengan sistem cup dan bob serta sistem cone dan plate yang mana terdapat pada
alat viskometer. Viskometer tersebut mengukur gaya gesek yang ditimbulkan pada saat gel
mengalir, yang dipengaruhi oleh temperatur serta kecepatan putar pengukuran (Gad, 2008).
Gel memiliki sistem sistem disperse yang banyak tersusun dari air serta sangat rentan
terhadap terjadinya instabilitas fisik, kimia maupun mikroba. Pada umumnya instabilitas
fisik yang terjadi pada gel yaitu sineresis yang mana keluarnya medium dispersi dari sistem
akibat adanya kontraksi sistem polimer gel. Faktor perubahan pada suhu penyimpanan yang

5
ekstrim merupakan salah satu faktor utama yang terjadi pada sineresis yang dialami pada saat
cycling test. Adanya penurunan tekanan osmotik pada sistem serta perubahan bentuk
molekul dapat terjadi pada proses pembekuan saat cycling test. Molekul yang mengkerut ini
memaksa keluarnya medium dari sistem matriks (Gad, 2008). Pada konsentrasi gelling agent
yang rendah biasanya dapat terjadi sineresis. Sineresis menunjukkan adanya fenomena
ketidakstabilan secara termodinamika (Kaur dan Guleri, 2013).
A. Klasifikasi Gel
Gel dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu bagian pertama adalah klasifikasi
gel inorganik dan organik, dan bagian kedua adalah klasfikasi gel hidrogel dan organel.
Gel inorganik memiliki 2 fase sistem, sedangkan gel organik memiliki 1 fase sistem. Gel
hidrogel mengandung bahan terdispersi seperti koloid (terlarut dalam air), meliputi
hidrogel organik, natural dan gun sintetik dan hidrogel organik (Allen et al., 2002)
Hidrogel yaitu sistem hidrofilik yang utamanya terdiri dari 85 – 95% air atau campuran
aqueous – alcoholic dan gelling agent. Hidrogel memberikan efek yang dapat
mendinginkan karena adanya evaporasi pelarut. Hidrogel mudah untuk diaplikasikan serta
dapat memberi kelembaban secara instan. Sifat dari hidrogel yaitu kandungan airnya
relatif tinggi dan bersifat lembut, konsistensinya elastis sehingga kuat (Swarbick and
Boylan, 1992).
Hidrogel sangat cocok untuk penerapan pada kulit dengan fungsi kelenjar sebaseus
yang berlebihan. Setelah hidrogel kering akan meninggalkan suatu film tembus pandang
yang elastis serta daya lekat tinggi, tidak menyumbat pori kulit, dan mudah dicuci dengan
air (Voight, 1994).
Selain itu, menurut Lieberman et al., (1998) gel dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat
khas gel, yaitu :
a) Swelling yaitu kemampuan gel yang dapat mengembang. Alasannya dikarenakan
pada komponen pembentuk gel mampu mengarbsorbsi larutan sehingga meningkatkan
volume. Pelarut dapat berinteraski dengan gel akibat adanya penetrasi ke dalam gel.
Adanya ikatan silang antara polimer di dalam matriks menyebabkan pengembangan gel
kurang sempurna. Pengadukan yang terlalu cepat serta kuat pada proses pengembangan
akan merusak sistem rantai atau polimernya sehingga gel yang dihasilkan banyak
mengandung gelembung udara, tetapi jika dilakukan pengadukan yang terlalu rendah atau
kurang tepat dapat membentuk flokulasi pada sediaan gel.

6
b) Sineresis merupakan suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam
massa gel. Cairan yang terjerat di dalam akan keluar dan berada di atas permukaan
gel. Adanya tekanan elastik saat pembentukan gel dapat di akibatkan oleh kontraksi
yang berhubungan dengan fase relaksasi, pada saat terjadinya tekanan elastic maka
terbentuklah massa gel yang tegar. Akibat adanya perubahan pada ketegaran gel
menyebabkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan bergerak
ke atas permukaan. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sineresis pada saat
pembentukan antara lain pH (keasaman dan kebasaan yang tinggi), mekanik
(pengadukan dan tekanan), suhu (suhu tinggi menyebabkan denaturasi serta
keluarnya cairan), garam (kandungan garam yang tinggi dapat mempercepat
sineresis).
c) Pada pembentukan gel mengakibatkan terbentuknya struktur gel yang bermacam –
macam. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan ataupun deformasi dan
memiliki aliran viskoelastik.
B. Stabilitas Gel
Ketidak stabilitas gel pada kondisi normal menunjukkan perubahan rheology secara
irreversible sehingga menyebabkan hasil akhir yang tidak dapet diterima bila digunakan.
Khusus gel berbahan dasar polisakarida alam akan mudah mengalami degradasi
mikrobial. Maka perlu penambahan preservatif untuk mencegah serangan mikrobial.
Peningkatan suhu penyimpanan dapat menyebabkan efek yang berlawanan pada stabilitas
polimer sehingga menghasilkan viskositas yang berubah dari waktu ke waktu (Zatz and
Kushla,
1996).

C. Keuntungan Sediaan Gel

Menurut Voight (1994) terdapat beberapa keuntungan sediaan gel antara lain :

a. Kemampuan penyebaran pada kulit baik

b. Memberikan efek dingin, penguapan dari kulit lambat

c. Tidak adanya penghambatan fungsi rambut secara fisioligis

d. Kemudahan pencucian dengan air yang baik

7
1.3.2 Antiseptik

Antiseptik atau germisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan yang hidup seperti pada
permukaan kulit dan membran mukosa. Antiseptik berbeda dengan antibiotik dan disinfektan,
yaitu antibiotik digunakan untuk membunuh mikroorganisme di dalam tubuh, dan disinfektan
digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati. Hal ini disebabkan antiseptik
lebih aman diaplikasikan pada jaringan hidup daripada disinfektan. Namun, antiseptik yang
kuat dan dapat mengiritasi jaringan kemungkinan dapat dialih fungsikan menjadi disinfektan
contohnya adalah fenol yang dapat digunakan baik sebagai antiseptik maupun disinfektan.
Penggunaan antiseptik sangat direkomendasikan ketika terjadi epidemi penyakit karena dapat
memperlambat penyebaran penyakit.
Efektivitas antiseptik dalam membunuh mikroorganisme bergantung pada beberapa
faktor, misalnya konsentrasi dan lama paparan. Konsentrasi mempengaruhi adsorpsi atau
penyerapan komponen antiseptik. Pada konsentrasi rendah, beberapa antiseptik menghambat
fungsi biokimia membran bakteri, namun tidak akan membunuh bakteri tersebut. Ketika
konsentrasi antiseptik tersebut tinggi, komponen antiseptik akan berpenetrasi kedalam sel dan
menganggu fungsi normal seluler secara luas, termasuk menghambat biosintesis pembuatan
makromolekul dan persipitasi protein intraseluler dan asam nukleat (DNA atau RNA). Lama
paparan antiseptik dengan banyaknya kerusakan pada sel mikroorganisme berbanding lurus.
Mekanisme kerja antiseptik terhadap mikroorganisme berbeda-beda, misalnya dengan
mendehidrasi (mengeringkan) bakteri, mengoksidasi sel bakteri, mengkoagulasi
(menggumpalkan) cairan disekitar bakteri atau meracuni bakteri.

1.3.3 kulit

Kulit merupakan organ yang essensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan
kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis, dan sensitif, serta bervariasi pada
keadaan iklim, umur, seks, ras, dan lokasi tubuh (Wasitaatmadja, 1997). Kulit

8
merupakan suatu organ besar yang berlapislapis, kulit menutupi permukaan lebih dari
20.000 cm2 dan mempunyai bermacam-macam fungsi dan kegunaan (Lachman dkk.,
1994).
- Struktur kulit
1. Epidermis
Epidermis adalah lapisan kulit yang paling superfisial dan merupakan terdiri dari epitel
skuamosa berkeratin berlapis, yang bervariasi dalam ketebalan di berbagai bagian
tubuh. Dia paling tebal di telapak tangan dan telapak kaki. Tidak ada pembuluh darah
atau ujung saraf di
epidermis, tetapi lapisan yang lebih dalam bermandikan interstitial cairan dari dermis,
yang menyediakan oksigen dan nutrisi,
dan mengalir keluar sebagai getah bening.
Para ahli histologi membagi epidermis dari bagian terluar hingga kedalam menjadi 5
lapisan, yakni:
a. Lapisan Tanduk (Stratum corneum), sebagai lapisan yang paling atas. Stratum
korneum adalah lapisan paling luar epidermis yang disebut juga lapisan tanduk.
Stratum korneum merepresentasikan fase akhir diferensiasi kulit.
b. Lapisan Jernih (Stratum lusidum), disebut juga “lapisan barrier”. Stratum
lusidum terletak tepat di bawah stratum corneum, merupakan lapisan tipis, jernih,
mengandung eleidin, sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.
c. Lapisan Berbutir-butir (Stratum granulosum). Stratum granulosum tersusun
oleh sel-sel keratinoit yang terbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut.
d. Lapisan Malphigi (Stratum spinosum) yang selnya seperti berduri. 11 Lapisan
malphigi memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar dan oval.
Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Cairan limfe
masih ditemukan mengitari sel-sel dalam lapisan malphigi ini.
e. Lapisan Basal (Stratum germinativum) Lapisan basal adalah lapisan terbawah
epidermis. Di dalam stratum germinativum juga terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel
tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan
memberikannnya kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya (Tranggono dan
Latifah, 2007)
- Dermis
Dermisnya keras dan elastis. Itu terbentuk dari ikat jaringan dan matriks mengandung
serat kolagen interlaced dengan serat elastis. Pecahnya serat elastik terjadi ketika kulit

9
terlalu teregang, mengakibatkan striae permanen, atau peregangan tanda, yang
mungkin ditemukan pada kehamilan dan obesitas. Kolagen serat mengikat air dan
memberi kulit kekuatan tariknya, tetapi sebagai kemampuan ini menurun seiring
bertambahnya usia, kerutan berkembang. Fibroblas, Makrofag dan sel mast adalah sel
utama yang ditemukan di dermis. Di bawah lapisan terdalamnya terdapat jaringan
areolar dan berbagai jumlah jaringan adiposa (lemak). Kelenjar subkutan Ini terdiri
dari sel-sel epitel sekretori yang berasal dari jaringan yang sama dengan folikel
rambut. Mereka mengeluarkan berminyak substansi, sebum, ke dalam folikel rambut
dan hadir di kulit seluruh anggota tubuh kecuali telapak tangan dan telapak kaki.
Mereka paling banyak di kulit kulit kepala, wajah, aksila dan selangkangan. Di daerah
transisi dari satj jenis epitel superfisial yang lain, seperti bibir, kelopak mata, puting,
labia minora dan glans penis, ada sebaceous kelenjar yang tidak bergantung pada
folikel rambut, mensekresi sebum langsung ke permukaan.
- Fungsi Kulit
Kulit melakukan fungsi-fungsi berikut:
a) Perlindungan: Penghalang anatomis dari patogen dan kerusakan antara lingkungan
internal dan eksternal di pertahanan tubuh, sel-sel Langerhans di kulit adalah bagian
dari sistem imun adaptif.
b) Sensasi: Berisi berbagai ujung saraf yang bereaksi terhadap panas dan dingin,
sentuhan, tekanan, getaran, dan cedera jaringan, lihat sistem sensorik somato dan
haptics.
c) Pengaturan panas: Kulit mengandung suplai darah jauh lebih besar dari
persyaratannya yang memungkinkan kontrol yang tepat dari kehilangan energi secara
radiasi, konveksi dan konduksi. Melebar pembuluh darah meningkatkan perfusi dan
kehilangan panas, sementara pembuluh yang menyempit sangat mengurangi aliran
darah kulit dan menghemat panas.
d) Kontrol penguapan: Kulit memberikan relatif kering dan penghalang semi-
permeabel untuk kehilangan cairan. Kehilangan ini fungsi berkontribusi pada
kehilangan cairan besar-besaran pada luka bakar.
e) Estetika dan komunikasi: Orang lain melihat kulit kita dan dapat menilai suasana
hati, keadaan fisik, dan daya tarik kita.
f) Penyimpanan dan sintesis: Bertindak sebagai pusat penyimpanan lipid dan air,
serta sebagai sarana sintesis vitamin D dengan cara aksi UV pada bagian kulit
tertentu.

10
g) Tahan air: Kulit bertindak sebagai penghalang tahan air jadi nutrisi penting tidak
terbawa keluar dari tubuh

1.3.4 Rute penitrasi


a. Penetrasi Transappendageal Penetrasi melalui rute transappendageal adalah
penetrasi melalui kelenjarkelenjar dan folikel yang ada pada kulit (Swarbrick dan
Boylan, 1995). Pada penetrasi transappendageal akan membawa senyawa obat
melalui kelenjar keringat dan folikel rambut yang berhubungan dengan kelenjar
sebaseus. Rute transappendageal merupakan rute yang sedikit digunakan untuk
transport molekul obat, karena hanya mempunyai daerah 13 yang kecil (kurang
dari 0,1% dari total permukaan kulit). Rute ini berperan penting pada beberapa
senyawa polar dan molekul ion yang hampir tidak berpenetrasi melalui stratum
corneum(Moghimi et.al., 1999). Rute transappendageal dapat menghasilkan difusi
yang cepat dan segera setelah penggunaan obat karena dapat menghilangkan
waktu yang diperlukan oleh obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi melalui
transappendageal ini dapat terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick
dan Boylan, 1995).
b. Penetrasi Transpidermal Sebagian obat berpenetrasi melintasi stratum
corneum melalui ruang intraseluler dan ekstraseluler. Kulit normal jalur penetrasi obat
umumnya melalui epidermis (transpidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel
rambut maupun melewati kelenjar keringat (transappendageal). Prinsip masuknya
penetran ke dalam stratum corneum adalah adanya koefisien partisi dari
penetran.(Swarbrick dan Boylan, 1995).

a. Jalur Penetrasi Zat Melalui Kulit Ada 3 jalur masuknya zat melalui lipid di
stratum korneum, yaitu jalur interseluler, jalur transseluler dan jalurtransappendageal.
Dua faktor penentu utama transportasi zat melalui kulit adalah integritas stratum
korneum sebagai penghalang penetrasi dan interaksi yang terjadi antara pembawa zat
ataupun antara zat-kulit.
1. Jalur Interseluler atau Jalur Paraseluler Jalur interseluler yaitu zat berpenetrasi
melewati antar sel korneosit yaitu di domain lipid stratum korneum. Jalur ini dilewati
oleh hampir sebagian besar zat yang berukuran < 0,1 μm. Hal-hal yang berpengaruh
transportasi zat melalui jalur interseluler adalah karakteristik zat seperti ukuran
molekul, lipofilisitas, muatan, titik leleh dan variasi formula.

11
2. Jalur Intraseluler atau Jalur Transseluler Jalur intraseluler adalah jalur transportasi
melewati sel korneosit. Pada awalnya diperkirakan bahwa mekanisme difusi
intraseluler adalah jalur yang mendominasi untuk transport zat melalui kulit. Bukti
eksperimental 14 menunjukkan bahwa jalur transport utama melalui stratumkorneum
adalah melalui jalur interseluler.
3. Jalur Transappendageal Jalur transappendageal adalah jalur transportasi zat melalui
pori-pori folikel rambut atau melalui kelenjar sebasea. Jalur ini kurang signifikan
dalam transportasi zat karena mempunyai luas permukaan yang kecil yaitu hanya
sebesar 0,1% dari luas permukaan kulit (Murthy, 2011). Bahan yangdapat digunakan
sebagai peningkat penetrasi antara lain : air, sulfoksida, dansenyawa sejenis azone,
pyrolidones, asam-asam lemak, alkohol, dan glikol,surfaktan, urea, minyak atsiri,
terpen, dan fosfolipid (Swarbrick dan Boylan, 1995). Air dapat berfungsi sebagai
peningkat penetrasi karena air akan meningkatkan hidrasi pada jaringan kulit sehingga
akan meninggalkan penghantaran obat baik untuk obat-obat yang bersifat hidrofilik
maupun lipofilik. Air juga akanmempengaruhi kelarutan obat dalam stratum corneum
dan mempengaruhi partisi ke dalam membran (Williams dan Barry, 2004).

12
BAB II

PRAFORMULASI

2.1 FARMAKOLOGI BAHAN OBAT

2.1.1 Triklosan

2.1.1.1 Indikasi

Untuk mengurangi atau mencegah kontaminasi bakteri, Triclosan adalah agen


antimikroba dalam pengaturan klinis untuk desinfeksi, dan pencegahan penyebaran
dan pertumbuhan bakteri. (Welsch:145)

2.1.1.2 Mekanisme kerja

Mekanisme kerja triclosan adalah dengan mengikat sisi aktif enzim FabI (fatty acid
biosynthesis gene I), yang merupakan enzim penting untuk sintesis asam lemak dan
ketahanan bakteri (Heath dkk., 2000). Obat ini juga bekerja sebagai antiseptik dan
desinfektan, yakni membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada
permukaan kulit dan membran mukosa. (Martindale 36th,p.1665)

2.1.1.3 Peringatan dan perhatian

Triclosan tidak boleh digunakan sembarangan.

Berikut ini adalah hal-hal yang harus Anda perhatikan sebelum menggunakan
triclosan:

- Jangan menggunakan triclosan pada mata, kulit yang luka, atau kulit yang
pecah-pecah. Segera bilas dengan air bersih jika triclosan mengenai bagian
tersebut.
- Pasien dengan kondisi berikut, wajib berkonsultasi dengan dokter sebelum
menggunakan Triclosan :
- Pasien dengan riwayat alergi
- Kehamilan dan menyusui
- Hindari dengan kontak mata, hidung, dan mulut (Heath dkk., 2000)

13
2.1.1.4 Efek samping

Efek samping yang bisa terjadi setelah menggunakan produk yang mengandung
triclosan adalah peradangan pada kulit yang disebut dermatitis kontak. Hentikan
penggunaan produk jika muncul efek samping tersebut.(Wijaya,2013)
2.1.1.5 Kontra Indikasi
Hipersensitivitas

2.1.1.6 Interaksi Obat


- Beberapa obat, seperti insulin, dapat mengganggu sistem lipase tubuh.
- Heparin dalam dosis klinis menyebabkan peningkatan sementara lipolisis dalam
plasma.
- Minyak kedelai memiliki kandungan vitamin K1 alami. (Wijaya,2013)
2.1.1.7 Pemerian
Serbuk putih, kristal, halus. (Martindale 36th,p.1665)
2.1.1.8 Kelarutan
Praktis, tidak larut dalam air, larut dalam alkohol,dalam aseton, dan metil akohol,
sedikit larut dalam minyak bumi. (Martindale 36th,p.1665)
2.1.1.9 Stabilitas
-

2.1.1.10 Toksisitas

2.1.1.11 Farmakokinetik

- Penyerapan: triclosan dalam jumlah rendah dapat diserap melalui kulit dan dapat
masuk ke aliran darah. riclosan cepat diserap dan didistribusikan dalam tubuh
manusia.
Metabolisme : Triclosan rentan terhadap metabolisme fase II melalui enzim
sulfotransferase dan glukuronosiltransferase. Pada manusia, konjugat yang dihasilkan
diekskresikan terutama dalam urin.(Wijaya,2013)
Farmakodinamik
Aksi antiseptic dari triclosan yaitu beraksi ada membrane sitoplasma microbial dan
dengan demikian akan menyebabkan lysis pada mikroorganisme. Triclosan aktif

14
melawan bakteri gram-positif dan gram-negatif pada oral secara luas. Target utama
pada aktivitas antibakteri yaitu membrane sel bakteri. Konsentrasi tinggi pada
triclosan akan menyebabkan membrane bakteri rusak dan akhirnya lysis pada sel
bakteri.(Craig,2004)

2.1.1.12 Penyimpanan

Simpan pada suhu ruang, dalam wadah kedap udara. (Martindale 36th,p.1665)

2.1.2 Alkohol 70%

2.1.2.1 Indikasi

Dengan konsentrasi tepat, etanol dapat menembus membran sel bakteri atau virus dan
menghancurkannya (WHO,2020)

2.1.2.2 Mekanisme kerja

Dalam topikal digunakan dalam pengembangan sistem pengiriman obat transdermal


sebagai peningkat penetrasi (Rowe et all, 2009)

2.1.2.3 Peringatan dan perhatian

Mudah terbakar; hindarkan kulit yang terbuka; beberapa orang telah menderita luka
bakar berat sewaktu diatermi yang didahului pengolesan disinfektan kulit yang
mengandung alkohol. (PIONAS)

2.1.2.4 Efek samping

Efek samping sebagai stimulan (membuat jantung berdebar, memberi efek bahagia)
sekaligus depresan (memperlahan detak jantung, menenangkan, membuat ngantuk).
(kemenkes RI, 2018)

2.1.2.5 Kontra Indikasi

Gagal jantung, penyakit jantung koroner, riwayat stroke, hipertensi, psikosis, kelainan
kepribadian berat, risiko bunuh diri, hamil dan menyusui. (PIONAS)

2.1.2.6 Interaksi Obat

15
Interaksi antara obat-obatan tertentu dengan alkohol. Seringkali, hal ini bisa
menyebabkan kelelahan dan reaksi yang tertunda. Tak hanya itu, interaksi yang terjadi
juga dapat meningkatkan risiko timbulnya efek samping yang berbahaya (Rista, 2018)

2.1.2.7 Pemerian

Cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna; bau khas dan menyebabkan rasa
terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada
suhu 78º, mudah terbakar. (Kemenkes RI, 2020)

2.1.2.8 Kelarutan

Bercampur dengan air dan praktis bercampur dengan semua pelarut organik
(Kemenkes RI, 2020)

2.1.2.9 Stabilitas

Dapat disterilkan dengan autoklaf atau dengan penyaringan (Rowe et all, 2009)

2.1.2.10 Toksisitas

Konsentrasi alkohol yang mematikan umumnya diperkirakan 400-500mg/100mL.


(Rowe et all, 2009)
2.1.2.11 Farmakokinetik
Distribusi cepat, konsentrasi dalam jaringan lebih kurang sama dengan konsentrasi
plasma. Volume distribusi 0,71/kg (Edy ground, 2012)

2.1.2.12 Penyimpanan

Larutan etanol berair dapat disterilkan dengan autoklaf atau dengan penyaringan dan
harus disimpan dalam wadah kedap udara, di tempat yang sejuk. (Rowe et all, 2009)

PEMBANDING

2.1.4 Hidrogen Peroksida.

2.1.4.1 Indikasi

Disinfektan kulit, khususnya membersihkan dan menghilangkan bau luka dan ulkus.(BPOM
RI)

16
2.1.4.2 Mekanisme kerja

Hidrogen peroksida mempunyai mekanisme kerja merusak membran lipid mikroorganisme,


zat ini dengan cepat mengoksidasi komponen luar bakteri (Lukas, 2006). Adanya ion-ion
logam dalam sitoplasma sel mikroorganisme dapat menyebabkan terbentuknya radikal
superoksida (-O2) yang akan bereaksi dengan gugus bermuatan negatif dalam protein dan
menginaktifkan sistem enzim, Hidrogen peroksida (H2O2) mudah terurai membentuk air
(H2O) dan oksigen (O2) dan bersifat korosif. Hidrogen peroksida termasuk desinfektan
dengan High-Level Disinfection (HLD) yaitu dengan beberapa konsentrasi dapat efektif
membunuh bakteri, virus, maupun jamur dengan waktu kontak selama 30 menit
(PIDAC,2010). Hidrogen peroksida mampu mengalami banyak reaksi (misalnya,
penambahan molekul,substitusi, oksidasi dan reduksi). Ini adalah oksidan kuat dan dapat
membentuk radikal bebas denganpembelahan homolitik. Karbamid peroksida mengandung
sekitar 35% hidrogen peroksida danmembentuk hidrogen peroksida dan urea dalam larutan
cair. (Lukas, 2006)

2.1.4.3 Peringatan dan perhatian

Jangan menggunakan obat ini pada mata atau pada area kulit yang luas. Produk ini juga tidak
boleh digunakan untuk mengobati luka dalam, gigitan binatang, atau luka bakar berat. (
Nanda Rachmad,2020)

2.1.4.4 Efek samping

Menyebabkan kulit kemerahhan dan menimbulkan iritasi setelah menggunakan ini. Akan
tetapi efek tersebut akan menghilang setelah beberapa waktu.( Nanda Rachmad,2020)

2.1.4.5 Kontra Indikasi

Ada nya riwayat hipersensitivitas terhadap obat ini, juga digunakan pada luka yang dalam
atau pada rongga tubuh.(PIONAS)

2.1.4.6 Interaksi Obat

Interaksi obat dapat mengubah kinerja obat ini apabila digunakan secara
Bersamaan.(PIONAS)

2.1.4.7 Pemerian

17
Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, atau berbau seperti ozon.(Farmakope Indonesia,
Hal 700)

2.1.4.8 Kelarutan

Larut dengan baik didalam air. (Othmer, 1962 hal 41)

2.1.4.9 Stabilitas

Hidrogen peroksida relatif tidak stabil dan mengalami dekomposisi secara perlahan

dan melepaskan oksigen.(Rahmi Alma dkk)

2.1.4.10 Toksisitas

Tingkat keparahan pada saluran pencernaan (tertelan) bergantung pada tingkat konsentrasi
larutan. Selain itu terdapat resiko emboli udara. Telah dilaporkan terjadinya sejumlah
kematian. Pada kebanyakan kasus, paparan terjadi pada larutan dengan konsentrasi 30 sampai
40%. Seorang pria 84 tahun yang menelan 30 mL hidrogen peroksida 35% dilaporkan
mengalami infark serebral akibat embolisasi gas pada pembuluh serebral. Pada wanita 49
tahun yang menelan hidrogen peroksida 35% sebanyak 240 mL dilaporkan menyebabkan
kematian setelah 78 jam. Dilaporkan juga telah terjadi kematian pada anak dalam 10 jam
setelah menelan hidrogen peroksida 3% sebanyak 225 mL.(Sikernas,2011)

2.1.4.11 Farmakokinetik

Hidrogen peroksida adalah obat antiseptik ringan untuk mencegah infeksi kulit dari luka
gores, luka potong, dan luka bakar ringan. Obat ini juga sering dimasukkan ke dalam obat
kumur untuk membasmi kuman penyebab masalah gigi dan gusi, seperti sariawan dan radang
gusi (gingivitis). Pada pemberian topikal, hidrogen peroksida tidak diabsorpsi secara
sistemik. (Ramdhani,2004)

2.1.4.12Penyimpanan

Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya, dalam ruang dengan suhu

terkendali.(Farmakope Indonesia, Hal 701)

18
2.2 Alasan pemilihan bahan aktif
Salah satu alasan penggunaan bahan aktif triklosan dan etanol 70% yaitu Triklosan
merupakan agen antimikroba yang sudah digunakan menjadi antiseptik (Jones et al.
2000).Triclosan telah digunakan dengan aman banyak produk pembersih komersial dan
kebersihan pribadi untuk mencegah kontaminasi bakteri pada produk.Triclosan banyak
digunakan sebagai bahan antiseptik gel, yang dapat digunakan untuk membersihkan tangan
saat air tidak tersedia. (Russel dan McDonnel, 2000) Triklosan diterapkan dalam kisaran
konsentrasi antara 0,2-2% memiki aktivitas antimikroba. Pada konsentrasi tersebut triklosan
bersifat bakteriostatik.(Meilania,2007). Triklosan memiliki kemampuan Menghilangkam
MRSA secara efektif dari tangan setelah 30 detik. .(Meilania,2007). Triklosan efektif
untuk membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif dengan cara mempengaruhi
dinding sel mikroba sehingga integritas dinding sel bakteri terganggu dan menyebabkan sel
mengalami lisis.Triklosan relatif tidak toxic pada manusia tidak menimbulkan efek
karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. .(Meilania,2007). Dilihat dari efek samping
triklosan yaitu terjadinya iritasi kulit dan dermatitis kontak fotoalergik. Stabilitas Triclosan
tidak terurai dalam kondisi penyimpanan normal selama 9 tahun penyimpanan (informasi
dari COLIPA). Stabil di bawah kondisi penyimpanan yang direkomendasikan..

Berbeda dengan hydrogen peroksida,. Konsentrasi hidrogen peroksida yang biasa


digunakan sebgaai antiseptik yaitu 3%. (Suranto,adji.2007) . Hidrogen peroksida pada
kosentrasi 0,6-15% mampu menghilangkan bakteri dalam waktu 15-60
menit.(nursalam.2007).WHO memperbolehkan penggunaan hydrogen peroksida pada
konsentrasi 0,125 %, lebih dari konsentrasi tersebut hydrogen peroksida berifat korosif.
Bersifat oksidator sangat kuat yang sifatnya akan mengoksidasi logam, selain itu efek
samping iritasi yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk, sehingga penggunaan pada permukaan
kulit sangat berbahaya, menelan hidrogen peroksida dapat menyebabkan iritasi pada saluran
pencernaan dengan mual, muntah, hematemesis dan mulut berbusa,busa dapat menyumbat
saluran pernapasan atau menyebabkan aspirasi paru. Stabilitas Hidrogen peroksida relatif
tidak stabil dan mengalami dekomposisi secara perlahan dan melepaskan oksigen.(Rahmi
Alma dkk). . Stabilitas maksimum pada pH 3,5-4,5.

Alkohol mempunyai aktivitas bakterisidal, bekerja terhadap berbagai jenis bakteri,


tetapi tidak terhadap virus dan jamur. Akan tetapi karena merupakan pelarut organik maka
alkohol dapat melarutkan lapisan lemak dan sebum pada kulit, dimana lapisan tersebut
berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi mikroorganisme (Jones, 2003) Alkohol sebagai

19
disinfektan hanya mempunyai aktivitas bakterisidal saja, tetapi tidak terhadap virus dan
jamur. Selain sebagai disinfektan, alkohol dalam Hand sanitizer dapat membantu melarutkan
triklosan. Menurut hasil penelitian penelitian Rini (2018) bahwa antiseptik pada beberapa
merk dengan kadar alkohol 60-70% tanpa tambahan zat antibakteri lainnya memiliki sifat
yang lebih polar, sehingga diameter daya hambat yang dihasilkan lebih besar pada bakteri
Staphylococcus aureus. Solusi paling efektif mengandung 60 hingga 80% alkohol,
menghasilkan dalam efisiensi yang lebih rendah pada konsentrasi yang lebih tinggi. (Aminah
Asngad.2018). Hadsanitizer Kinerja yang baik dari pembersih tangan beralkohol terutama
tergantung pada persentase dan jenis alkohol, tetapi juga pada jumlah yang diterapkan pada
tangan dan kontak. Aktivitas antimikroba alkohol diwakili oleh kemampuannya
dalamdenaturasi protein. Sebagai antiseptik alkohol memiliki kelebihan yang mudah
menguap, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengering ketika diaplikasin
ke tangan. Akan tetapi ini juga menjadi kelemahan, karena efektivitasnya hanya jangka
pendek, sehingga bakteri hanya dapat dikurangi dalam waktu singkat setelah penggunaan
antiseptik (Fadhilah, 2017). .

2.3 Alasan pemilihan sediaan gel

Digunakannya sediaan Gel Triclosan yaitu bahan antimikroba yang diterima secara
luas karena keamanan dan kemanjuran antimikrobanya Triclosan telah menunjukkan
efektivitas dan kegunaan antimikroba spektrum luas yang segera, persisten, dalam pengaturan
perawatan kesehatan klinis. Ulasan ini menyoroti kegunaan dan efektivitas formulasi
triclosan untuk digunakan dalam cuci tangan frekuensi tinggi yang berisiko tinggi. Salah satu
keuntungan sediaan gel yaitu tidak lengket ketika digunakan, kemampuan penyebarannya
baik pada kulit ,efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit,
kemudahan pencuciannya dengan air yang baik (Voigt, 1994).. Antiseptik berupa hand
sanitizer biasanya digunakan sebagai pengganti air dan sabun, oleh karena itu memudahkan
dalam proses pencucian tangan. Target dari pembuatan sediaan dalam bentuk gel topical
(hand sanitizer) yaitu pada permukaan telapak tangan. Hand sanitizer juga memiliki
kandungan humektan untuk mencegah kulit menjadi kering akibat pemakaian alkohol,untuk
mencegah dehidrasi kulit dan eksipien membantu menstabilkan produk serta memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk penguapan alkohol, sehingga meningkatkan aktivitas
biosidalnya. Alkohol nantinya akan menguap, yang dibawa menguap tidak hanya alkohol
melainkan air dan air telah tercampur dengan triklosan . untuk menghindari bahan aktif
tersebut menguap dan mencegah kadar airnya berkurang yaitu dengan penambahan humektan

20
(Am J Infect Control. 2020). Hubungan korelasi dengan pembuatan hand sanitizer karena
triklosan dan alcohol sebagai agen antiseptik diharapkan dapat bekerja dalam waktu 20-30
detik. Pada penggunaan gel, karena sifat tiksotropi yang dimiliki (ketika digunakan pada
telapak tangan atau digosokkan) akan berbentuk seperti cairan dan cepat mengering karena
ada alcohol yang dapat mempermudah kerja bahan aktif dalam waktu 20-30 detik).
Dibuktikan pada penelitian yang mengevaluasi antiseptic dengan kandungan triclosan dan
alcohol, hasil membuktikan bahwa triclosan dan alcohol dapat menghilangkan
mikroorganisme hingga 89 % dan etanol mampu membantu ke efektifitasan dengan
kosentrasi 46 %.(Isadiartuti, 2005)
2.3.1 Alasan Pemilihan Bahan tambahan

Basis yang dipilih sebagai gelling agent adalah Carbopol 940 karena memiliki
kelebihan viskositas tinggi pada konsentrasi rendah, ketercampuran dengan banyak bahan
aktif, karakteristik organoleptis yang sangat baik, laju pelepasan yang baik mempunyai
stabilitas tinggi dan toksisitasnya rendah, sehingga dapat meningkatkan efektivitas
penggunaan gel sebagai antiseptik serta dapat larut di dalam air, dalam etanol (95%) dan
gliserin. Karbopol digunakan sebagai pembentuk gel transparan dengan konsentrasi 0,5%-
2,0% (Lieberman,2008) . Karbomer bersifat hidrofil, apabila dicampur dengan air akan
mengembang, kemudian terjadi proses hidrasi molekul air melalui pembentukan ikatan
hidrogen.Carbopol memiliki sifat asam sedangkan carbopol akan stabil pada pH basa ,
Karbomer bila direaksikan dengan air dalam suasana asam maka akan meningkatkan afinitas
terhadap zat aktif, sehingga zat aktif yang larut air akan sukar terpenetrasi ke dalam kulit.
Karbomer dipilih karena memiliki bentuk basis yang bening transparan dan dengan tekstur
yang baik, memikiki stabilitas yang baik seperti dapat mengikat air dengan cepat sedangkan
pelepasan cairan lambat, memiliki viskositas yang paling baik, tidak mengiritasi kulit,
memiliki karakteristik dan stabilitas fisik yang terbaik dalam formulasi gel dengan
konsentrasi gelling agent sebesar 0,5-2 % (Rowe et al., 2009) . Carbopol termasuk dalam
polimer sintesis. Carbopol merupakan gelling agen yang kuat , sehingga dibutuhkan
konsentrasi kecil untuk membentuk gel. Berbeda dengan CMC Na merupKn gelling agent
dari derivat selulosa , CMC Na sering digunakan karena menghasilkan gel yang berisfat
netral tetapi kerugiannya yaitu rentan terhdp degradasi. Pada pembuatan gel atau hand
sanitizer ini perlu adanya penyeimbang pH atau penambahan bahan bersifat basa yakni TEA.
Triethanolamin dipilih karena dapat memberikan suasana basa pada carbopol sehingga
membuat gel yang dihasilkan menjadi kental dan jernih. Penambahan TEA digunakan

21
sebagai agen penetral dari karbomer agar tidak mengiritasi kulit. Konsentrasi TEA menurut
HPE yaitu 2%-4% dimana dengan konsentrasi 2% sebegai alkalizing agent untuk carbopol
baik. Konsentrasi TEA tidak boleh melebihi 5%.Pada formulasi gel, TEA berfungsi sebagai
agen penetral pH dengan mengurangi tegangan permukaan dan meningkatkan kejernihan,
pada konsentrasi 2-4 % w/v (Rowe et al., 2009). Penambahan gliserin sebagai humektan
dimana bertujuan untuk mencegah kulit menjadi kering akibat pemakaian alkohol,untuk
mencegah dehidrasi kulit dan eksipien membantu menstabilkan produk serta memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk penguapan alkohol, sehingga meningkatkan aktivitas
biosidalnya. Alkohol nantinya akan menguap, yang dibawa menguap tidak hanya alkohol
melainkan air dan air telah tercampur dengan triklosan . untuk menghindari bahan aktif
tersebut menguap dan mencegah kadar airnya berkurang yaitu dengan penambahan humektan
(Am J Infect Control. 2020). Konsentrasi Gliserin menurut literur Handbooks Exipient yaitu
<30%. Gliserin dengan konsentrasi 10% dapat meningkatkan kehalusan dan kelembutan kulit
(Mitsui, 1997) konsetrasi tinnggi juga dapat menghapus kelembapan dari kulit,
menyebabkan kekeringan (Aulton dan taylor 2013) dan juga menyebabkan meningkatnya
viskositas. Konsentrasi gliserin yang dapat digunakan sebagai humektan dan emollient adalah
< 30% (Rowe et al., 2009). Bahan ini juga berfungsi sebagai levigating agent atau
mengurangi ukuran partikel dalam sediaan.untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme.
Metil paraben digunakan sebagai pengawet, dalam hal ini penambahan pengawet
dimaksudkan agar dapat mencegah mikroorganisme pada sediaan gel hand sanitizer. Dimana
konsentrasi metil paraben berdasarkan literatur HPE 0,02%-0,3%, sebagai bahan pengawat
atau preservatif, mencegah kontaminasi, perusakan dan pembusukan oleh bakteri atau fungi
dalam formulasi sediaan farmasetika, produk makanan dan kosmetik. Rentang pH berkisar
antara 4-8. Dalam sediaan topikal, konsentrasi metil paraben digunakan adalah 0,02-0,3%.
Bahan ini dapat larut pada air panas, etanol dan methanol (Rowe et al., 2009).

Jika dikaitkan dengan bahan aktif yang memiliki sifat fisika kimia (kelarutan) praktis
tidak larut dalam air, ditujukan hanya untuk pemakaian pada permukaan kulit sehingga tidak
terjadi penetrasi masuk ke dalam kulit.

2.4 Sifat Fisika Kimia

2.4.1 Bahan Aktif

22
2.4.1.1 Triklosan

Pemerian Putih Padat (Sweetman,2009)(Martindale 36th, p.1665)

Kelarutan : Praktis, tidak larut dalam air, larut dalam alkohol,dalam aseton, dan metil
akohol, sedikit larut dalam minyak bumi. (Sweetman,2009)(Martindale 36th, p.1665)

Nama kimia 5-Chloro-2-(2,4-dichlorophenoxy)phen

(Sweetman,2009)(Martindale 36th, p.1665)

Rumus molekul C12H7Cl3O2 (Sweetman,2009)(Martindale 36th, p.1665)

Berat molekul 289,54 g/mol ( Sweetman,2009)(Martindale 36th, p.1665)

Inkompabilitas -

Koefisien partisi (n-oktanol/air) log pow : 4,7 (Sweetman,2009)

2.4.1.2 Alkohol 70%

Pemerian Cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna; bau khas dan
menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah
dan mendidih pada suhu 78º, mudah terbakar. (FI IV, 537)

Kelarutan Bercampur dengan air dan praktis bercampur dengan semua pelarut
organik. (FI IV, 537)

Nama kimia Etil alkohol (FI IV, 537)

Rumus molekul : C2H6O (FI IV, 537)

Berat molekul 46,07 (FI IV, 537)

Inkompabilitas Dalam kondisi asam, larutan etanol dapat bereaksi keras dengan
bahan pengoksidasi. Campuran dengan alkali dapat menggelapkan warna karena

23
reaksi dengan jumlah sisa aldehida. Organik garam atau akasia dapat diendapkan dari
larutan atau dispersi berair. (Handbook of pharmaceutical excipient, 17)

Koefisien partisi

2.4.2 Bahan Tambahan

2.4.2.1 Carbopol 940

Pemerian : Karbomer berwarna putih, 'halus', asam, bubuk higroskopis

dengan sedikit bau yang khas.(Handbook of pharmaceutical excipient, hal 110)

Kelarutan : Dapat mengembang dalam air dan gliserin dan setelah netralisasi dalam
etanol (95%).(Handbook of pharmaceutical excipient, hal 112)

Nama kimia : Carbomer polymer

Rumus molekul : C3H4O2

Berat molekul : 104-400 g/mol (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 110)

Inkompabilitas : Karbomer berubah warna oleh resorsinol dan tidak sesuai dengan
fenol, polimer kationik, asam kuat, dan elektrolit tingkat tinggi.(Handbook of
pharmaceutical excipient, hal 112)

Stabilitas : Karbomer adalah bahan higroskopis yang stabil yang dapat dipanaskan
pada suhu di bawah 1040C hingga 2 jam tanpa mempengaruhi efisiensi
pengentalannya. Namun, paparan suhu yang berlebihan dapat menyebabkan
perubahan warna dan mengurangi stabilitas.( Handbook of pharmaceutical excipient,
hal 112)

Penyimpanan : Serbuk karbomer harus disimpan dalam wadah kedap udara, tahan
korosi dan terlindung dari kelembaban. Penggunaan wadah kaca, plastik, atau berlapis
resin dianjurkan untuk penyimpanan formulasi yang mengandung karbomer.
(Handbook of pharmaceutical excipient, hal 112)

Peringatan Dan Perhatian : Debu karbomer mengiritasi mata, selaput lendir, dan
saluran pernapasan. Jika terjadi kontak mata dengan debu karbomer, garam harus
digunakan untuk tujuan irigasi. Sarung tangan, pelindung mata, dan respirator debu

24
direkomendasikan selama penanganan. (Handbook of pharmaceutical excipient, hal
113)

Koefisien Partisi : -

2.4.2.2 TEA (Trietanolamin)

Pemerian : Cairan kental berwarna bening, tidak berwarna hingga kuning pucat yang
memiliki sedikit bau amoniak. (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 754)

Kelarutan : Dapat dicampur dengan aseton, methanol air, karbon tetraklorida


(Handbook of pharmaceutical excipient, hal 754)

Nama kimia :Trihydroxytriethylamina. (Handbook of pharmaceutical excipient, hal


754)

Rumus molekul : C6H15NO3 (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 754)

Berat molekul : 149,19 g/ml (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 754)

Inkompabilitas : Triethanolamine adalah amina tersier yang mengandung gugus


hidroksi; itu mampu menjalani reaksi khas amina tersier dan alkohol. Trietanolamin
akan bereaksi dengan asam mineral membentuk garam kristal dan ester. Dengan asam
lemak yang lebih tinggi, trietanolamin membentuk garam yang larut dalam air dan
memiliki karakteristik sabun. Trietanolamin juga akan bereaksi dengan tembaga
membentuk garam kompleks. Perubahan warna dan pengendapan dapat terjadi dengan
adanya garam logam berat. (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 755)

Stabilitas : Triethanolamine dapat berubah menjadi coklat pada paparan udara dan
cahaya Tingkat 85% triethanolamine cenderung bertingkat di bawah 15 0C;
homogeneity dapat dipulihkan dengan pemanasan dan pencampuran sebelum
digunakan. (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 754)

Penyimpanan : Triethanolamine harus disimpan dalam wadah kedap udara


terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. (Handbook of
pharmaceutical excipient, hal 754)

Peringatan Dan Perhatian : Triethanolamine dapat mengiritasi kulit, mata, dan


selaput lendir. Menghirup uap mungkin berbahaya. Pakaian pelindung, sarung tangan,

25
pelindung mata, dan respirator direkomendasikan. Idealnya, trietanolamin harus
ditangani dalam lemari asam. Pada pemanasan, trietanolamin membentuk asap nitrous
yang sangat beracun. Trietanolamin mudah terbakar. (Handbook of pharmaceutical
excipient, hal 755)

Koefisien partisi : -

2.4.2.3 Metil Paraben

Pemerian : Kristal tidak berwarna atau bubuk kristal putih. Ini tidak berbau atau
hampir tidak berbau dan memiliki sedikit rasa terbakar. (Handbook of pharmaceutical
excipient, hal 442)

Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam ethanol dan eter. (Handbook of
pharmaceutical excipient, hal 442)

Nama kimia : Metil-4-hidroksibenzoat. (Handbook of pharmaceutical excipient, hal


441)

Rumus molekul : C8H18O3 (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 441)

Berat molekul :152.15 g/ml. (Handbook of pharmaceutical excipient, hal 441)

Inkompabilitas : seperti bentonite, magnesium trisilikat, bedak, tragakan, natrium


alginat, minyak esensial, sorbitol,dan atropin,telah dilaporkan. Ini juga bereaksi
dengan berbagai gula dan alkohol gula terkait. (Handbook of pharmaceutical
excipient, hal 443)

Stabilitas : Larutan metilparaben dalam air pada pH 3–6 dapat disterilkan dengan
autoklaf pada suhu 1200C selama 20 menit, tanpa dekomposisi. (Handbook of
pharmaceutical excipient, hal 443)

Penyimpanan : Disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang sejuk dan
kering.(Handbook of pharmaceutical excipient, hal 443)

Peringatan Dan Perhatian : Pencegahan normal yang sesuai dengan keadaan dan
jumlah bahan yang ditangani. Methylparaben dapat mengiritasi kulit, mata, dan
selaput lendir, dan harus ditangani di lingkungan yang berventilasi baik. Pelindung

26
mata, sarung tangan, dan masker debu atau respirator direkomendasikan.(Handbook
of pharmaceutical excipient, hal 444)

Koefisien partisi : Log P 1, 96

2.4.2.4 Gliserin

Pemerian Cairan seperti sirop, tidak berwarna, tidak berbau, manis diikuti rasa
hangat,viskos, cairan yang higroskopis, memiliki rasa yang manis, kurang lebih 0,6
kali manisnya dari sukrosa. (Rowe, et al,283)

Kelarutan Gliserin praktis tidak larut dengan benzene, kloroform, dan minyak, larut
dengan etanol 95 %, methanol dan air. (Rowe, et al,283)

Nama kimia 1,2,3-triol propana (Rowe, et al,283)

Rumus molekul C3H8O3 (Rowe, et al,283)

Berat molekul : 92,09 (Rowe, et al,283)

Inkompabilitas Gliserin dapat meledak dengan kehadiran zat oksidator kuat seperti
kromium trioksida, kalium klorat, dan kalium permanganat. Dalam bentuk larutannya
proses oksidasi berlangsung lebih lambat dan terbentuk sejumlah produk hasil
oksidasi. Perubahan menjadi warna hitam apabila terjadi kontak dengan zinc oxide
atau basa bismut nitrat. Kontaminan besi bertanggung jawab atas terbentuknya
warna yang lebih gelap pada campuran yang mengandung fenol, salisilat, dan tanin.
Gliserin dapat membentuk kompleks dengan asam borat yaitu asam gliseborat, yang
lebih kuat dari asam borat.(US, Patent,1999)

Koefisien partisi Log P 2,94 (Rowe, et al,283)

2.4.2.5 Aquades

Pemerian cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa

Kelarutan Sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol (95%) P, dalam
3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserok P dab dalam 40 bagian minyak lemak,
mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Dicampur dengan kebanyakan pelarut
polar.

27
Nama kimia

Rumus molekul H2O (FI IV, 69)

Berat molekul 18.02 (Handbook of pharmaceutical excipient, 766)

Inkompabilitas Dalam formulasi farmasi, air dapat bereaksi dengan obat dan
eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis (penguraian dengan adanya air atau
kelembaban) pada suhu sekitar dan suhu tinggi (Handbook of pharmaceutical
excipient, 768)

Koefisien partisi

28
BAB III

FORMULASI SEDIAAN

3.1 Formula yang digunakan

R/ Triklosan 1%

Alkohol 70% 40%

Carbopol 940 0,5%

TEA 2%

Metil Paraben 0,2%

Gliserin 15%

Aquadest 8,7%

NO NAMA BAHAN KHASIAT PERSENTASE BERAT SOURCE


DALAM 1
KEMASAN
1. Triclosan Antiseptik 1% 0,5 gram WHO dan
Block,
2001
2. Alkohol 70% Anti septik 28% 14mL CDC,
2009
Cosolvent 12% 6mL
3. Carbopol 940 Gelling agent 0,5 % 0,25gram HPE ed. 6
4. TEA Alkalizing Agent 2% 1gram HPE ed. 6
5. Metil Paraben Pengawet 0,2% 0,1gram HPE ed. 6
6. Gliserin Humektan 15% 7,5mL HPE ed. 6
7. Aquadest pelarut 8,7% 4,35mL HPE ed. 6
TOTAL 50gram /mL

29
3.2 Penimbangan bahan

Dibuat sediaan 1 botol handsanitizer sebanyak 50ml

Triklosan

Alkohol 70% 40 mL (dibagi menjadi 2 keperluan) sebagai berikut


antiseptic

pelarut

Carbopol 940

TEA

Metil Paraben

Gliserin

Aquadest

Untuk 10 kemasan tiap bahan dikalikan 10

Triklosan
Alkohol 70%
6mlx10= 60mL
Carbopol 940
TEA
Metil Paraben
Gliserin
Aquadest

Aturan Pemakaian : Tuangkan pada telapak tangan, ratakan sampai ke sela jari,
gosok hingga kering. Gunakan sebelum makan atau setelah
beraktivitas

30
BAB 4

PROSEDUR KERJA

4.1 Alat dan Bahan

4.1.1 Alat

Mortir dan stamper


Beaker glass
Timbangan gram dan milligram
Gelas ukur
Pengaduk kaca
Kaca arloji
Obyek glass
Pipet tetes
pH meter
Viscometer Brookfield tipe Cone and Plate
Autoclave
Inkubator
Oven
Lampu spiritus.
Botol

4.1.2 Bahan

Triklosan
Alkohol 70%
Carbopol 940
TEA
Metil Paraben
Gliserin
Aquadest

31
4.1.3 Cara kerja

Menimbang bahan-bahan sesuai formulasi

Carbopol (1 gram)+ aquadest (10 ml)

Masukkan dalam mortir,


Kembangkan dan gerus
ad homogen

TEA

Masukkan dalam mortir Gerus ad menjadi basis

(berisi carbopol) gel

Metil paraben (0,2 gram) + alcohol (10 ml) + gliserin (15 gram)

Metil paraben dilarutkan


dalam alkohol yang telah
diukur, gerus ad larut
dalam cawan lain,
masukkan gliserin, gerus
ad homogen

Triclosan + alcohol

Larutkan triclosan dalam


alkohol ad larut
Aquadest
(dudapatkan gel)

32
Tambahkan Aquadest
sedikit demi sedikit dalam
mortir berisi campuran
bahan
Lakukan pengemasan dan pemberian etiket.
Terakhir, lakukan evaluasi sediaan

33
4.1.4 Evaluasi Sediaan Gel

1. Uji organoleptis

Bahan: Sampel Gel


Uji ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah suatu sediaan sudah
seseuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan uji ini merupakan uji awal
sediaan yang telah dibuat. Uji organoleptis meliputi bentuk sediaan, warna dan
bau. (Muharni.2008).
Organoleptis sediaan gel yang diharapkan :
- Bentuk sediaan : gel
- Warna : bening, jernih, dan tembus cahaya
- Bau : aroma yang acceptable
2. Uji pH
Uji pH dilakukan untuk mengukur pH (derajat keasaman) sediaan dan untuk
menguji apakah sediaan sudah memenuhi syarat pH yang sesuai dengan kondisi
pH kulit.
Alat : kertas indikator pH
Cara kerja :
1) Timbang 1 gram sediaan, larutkan dalam 10 ml akuades
2) Celupkan kertas indikator pH kedalam larutan
3) Keluarkan kertas, cocokkan perubahan warna kertas dengan standar ukuran
beberapa pH pada kemasan indikator pH (Muharni.2008).
pH sediaan yang memenuhi kriteria pH kulit yaitu dalam interval 4,5 – 6,5
(Tranggono dan Latifa, 2007). pH yang diharapkan adalah 6-8.

3. Daya Sebar ( depkes RI, 1979)


Alat : plat kaca, beban
Cara Kerja :
1) 0,5 gram sampel gel
2) Diletakkan hati-hati diatas kaca transparan
3) Biarkan melebar pada diameter tertentu
4) Tutup dengan kaca transparan tunggu 1 menit
5) Catat hasil diameter yang ditunjukkan
6) Beri beban sebesar 1 gram, 2 gram, 5 gram berturut-turut

34
7) Setiap pemberian beban ditunggu selama 1 menit
8) Catat hasil diameter yang ditunjukkan
Daya sebar yang diharapkan 5 – 7 cm

4. Homogenitas ( Depkes RI, 1979)


Bahan : Sampel Gel
Alat : kaca transparan
Cara Kerja :
1) Sampel ditimbang 0,1 gram
2) Oleskan pada kaca transparan
3) Amati Homogenitas yang diharapkan ditunjukkan dengan tidak adanya
butiran kasar cm (Garget al., 2002).
5. Uji daya lekat
Uji ini bertujuan untuk mengetahui lama perlekatan sediaan pada kulit.
Alat : plat kaca, beban
Cara kerja :
1) Timbang 0,25 gram sediaan
2) Letakkan pada kaca obyek, tutup dengan kaca obyek lain
3) Beri beban 1 kg selama 5 menit
4) Pasang gelas obyek pada alat uji (Miranti, 2009).
5) Tambahkan beban 80 gram pada alat uji
6) Catat waktu pelepasan sediaan dari gelas obyek (Muharni.2008).
6. Uji iritasi kulit
Tujuan : dapat mengidentifikasi kemungkinan adanya alergi pada kulit.
Cara kerja : Menggunakan metode micotine test and erythema dengan
penambahan sodium lauril sulfat. Metode ini dilakukan dengan methyl nicotine
yang merupakan vasodilator poten ditambahkan ke kulit lengan pada konsentrasi
1,4-13,7%. Efek dari vasodilator ini di\apat diamati dengan memperhatikan
erythema dan menggunakan Laser Droplet Velocimetry (LDV). Analisis yang
sama dapat dilakukan dengan menmabahkan sodium lauril sulfat pada kulit lengan
(Paye et al).

7. Uji stabilitas sediaan


Tujuan : mengukur kestabilan sediaan dalam kondisi lingkungan.

35
Car kerja : uji stabilitas sediaan dapat dilihat berdasarkan ada atau tidaknya
flokulasi, creaming dan coalescent. Pengujian proses ini dilakukan selama 1
minggu dengan menyimpan sediaan krim pada wadahnya, lalu amati setelah 1
minggu apakah terdapat perubahan pada sediaan, misalnya terpisahnya fase
minyak dengan air, mengendapnya bahan-bahan pada bagian bawah (Paye et al).

8. Uji penetapan kadar


Uji ini dilakukan untuk menetapkan kadar bhan aktif dalam sediaan.
Alat : spektrofotmeter uv-vis
Cara kerja :
1) Larutkan sebanyak 100 gram sediaan dalam 100ml buffer fosfat (pH 6,8)
2) Kocok labu yang telah berisikan larutan sediaan diatas tersebut selama 2 jam
menggunakan alat mechanical shaker.
3) Saring larutan, hitung kadar dengan alat spektrofotmetri pada panjang
gelombang 276nm menggunakan blanko buffer fosfat (pH 6,8)
9. Uji Konsistensi
Tujuan : Uji konsistensi dilakukan untuk mengetahui stabilitas sediaan gel
yang dibuat dengan cara mengamati perubahan konsistensi sediaan setelah
disentrifugasi
Cara kerja : Uji konsistensi dilakukan dengan cara mekanik menggunakan
sentrifugator dengan cara sediaan disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama
5 jam. Perubahan fisik diamati apakah terjadi pemisahan atau bleeding antara
bahan pembentuk gel dan pembawanya yaitu air dan pengujian hanya dilakukan
pada awal evaluasi (Djajadisastra, 2009).
10. Uji mikrobiologi
Tujuan : Mengetahui jumlah cemaran pada sediaan yang disebabkan oleh
mikroba, misalnya pada bakteri dan jamur.
11. Uji daya antisepetik
Tujuan : untuk mengetahui daya antiseptik sediaan gel
Metode : gunakan ibu jari tangan karena dianggap sudah dapat mewakili dan
diantara jari yang lain permukaannya paling luas sehingga dapat diukur dengan
ukuran yang sama. Kedua telapak tangan saling digosokan selama beberapa saat
agar mikroorganisme yang melekat pada permukaan telapak tangan menjadi
homogen

36
PEMBAHASAN

Pada praktikum teknologi sediaan semi solid dan likuid kali ini dilakukan bertujuan
untuk membuat formulasi handsanitizer gel triklosan dan alcohol 70 % dengan pembanding
hydrogen peroksida, mengetahui prosedur pembuatan, dan mengevaluasi sediaan gel. Hal
yang pertama kali dilakukan atau dipilih sebagai dasar pembuatan formulasi adalah
menghubungkan masalah yang terjadi dengan khasiat dari suatu bahan aktif.Sebelum
melakukan pembuatan sediaan, terlebih dahulu dilakukan pemilihan bahan aktif, pemilihan
bentuk sediaan termasuk basis atau pembawanya, dan bahan tambahan. Pemilihan bahan
aktif atau bahan obat triklosan karena merupakan agen antiseptik yang memiliki sebagian
besar sifat antibakteri (membunuh atau memperlambat pertumbuhan bakteri). Triklosan
diterapkan dalam kisaran konsentrasi antara 0,2-2% memiki aktivitas antimikroba. Pada
konsentrasi tersebut triklosan bersifat bakteriostatik.(Meilania,2007). Triklosan memiliki
kemampuan Menghilangkam MRSA secara efektif dari tangan setelah 30 detik.
.(Meilania,2007).Triklosan juga mempunyai efek membrane tropik yaitu mengganggu
stabilitas struktur membran yang mengakibatkan penurunan integritas fungsional membran
sel tanpa menginduksi terjadinya lisis sel tersebut. Triklosan dapat menghasilkan respon
positif lebih kuat yaitu kurang korosif. Hingga saat ini belum ada bukti yang menyatakan
bahwa triklosan mempunyai efek karsinogenik, mutagenik, maupun teratogenik. Triklosan
yang digunakan yaitu 1%. Menurut penelitian mahasiswa Ubaya vol.2 No. 1 2013.
Menyatakan bahwa konsentrasi triklosan jika dibuat Handsanitizer gel pada konsntrasi 0,5%
memiliki daya antiseptik 81,72% dan pada konsentrasi 1 % memiliki daya antiseptik 93,07
%. Dan pada konsentrasi 1,5% daya antiseptikum 62,94%, kemudian 2% memiliki daya
antiseptikum 64,5%. Sehingga dapat disimpulkan bahawa penggunaan triklosan 1% lebih
efektif. Pengkombinasi dengan alcohol 70% memberikan efek sinergis terhadap kerja
triklosan sebagai antiseptic yaitu membantu pelisisan sel bakteri yang tidak dapat dilakukan
oleh triklosan sehingga pemilihan alcohol sebagai pengkombinasi sangat baik. Penggunaan
alcohol juga membantu mempercepat pengeringan atau penguapan sehingga hand sanitizer
cepat kering saat digunakan tanpa perlu diangin-anginkan atau dibilas dengan air dan hasil
akhir yang dirasakan saat menggunakan hand sanitizer adalah dingin dan tidak lengket.
Mekanisme kerja triklosan dengan mengikat sisi aktif enzim FabI (fatty acid biosynthesis
gene I), yang merupakan enzim penting untuk sintesis asam lemak dan ketahanan bakteri
(Heath dkk., 2000). Menurut hasil penelitian penelitian Rini (2018) bahwa antiseptik pada
beberapa merk dengan kadar alkohol 60-70% tanpa tambahan zat antibakteri lainnya

37
memiliki sifat yang lebih polar, sehingga diameter daya hambat yang dihasilkan lebih besar
pada bakteri Staphylococcus aureus. Solusi paling efektif mengandung 60 hingga 80%
alkohol, menghasilkan dalam efisiensi yang lebih rendah pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Obat ini juga bekerja sebagai antiseptik dan desinfektan, yakni membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan kulit dan membran mukosa.
(Martindale 36th,p.1665).
Hal berbeda ditunjukkan oleh hydrogen peroksida, pada penggunaan hydrogen
peroksida sebagai agent desinfektan dan antiseptic memiliki efek samping yang sangat harus
diperhatikan. WHO memperbolehkan penggunaan hydrogen peroksida pada konsentrasi
0,125 %, lebih dari konsentrasi tersebut hydrogen peroksida berifat korosif. Bersifat oksidator
sangat kuat yang sifatnya akan mengoksidasi logam, selain itu efek samping iritasi yang
dirasakan seperti tertusuk-tusuk, sehingga penggunaan pada permukaan kulit sangat
berbahaya apabila tidak diperhatikan.
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pemilihan bentuk sediaan topical yang
didasari karena gel merupakan sediaan topical setengah padat, bersifat tiksotropi yaitu
menjadi cairan ketika digoyang dan kembali memadat jika dibiarkan tenang dan
pesudoplastik yaitu semakin tinggi atau besar kecepatan gesek maka viskositas akan
menurun. Keunggulan gel memiliki sifat tiksotropik dan pesudoplastik adalah semakin tinggi
atau besar diberikannya gaya seperti gesekan, gosokan, atau goyangan serta didukung dengan
lama waktu pemberian gaya maka gel akan memiliki viskositas yang menurun artinya gel
yang awalnya berbentuk seperti jelly akan berubah menjadi cairan sehingga cocok jika
digunakan sebagai dasar pembuatan handsanitizer. Dipilihnya sediaan dalam bentuk topical
karena bahan aktif triklosan merupakan agen antiseptik yang cocok jika dibuat dalam produk
hand sanitizer. Handsanitizer terdapat dua bentuk yaitu gel dan spray, alasan dipilihnya gel
yaitu memang keduanya sama-sama berfungsi untuk membersihkan atau menghilangkan
kuman pada tangan. tetapi dalam penelitian yang membandingkan antara sediaan gel dan
spray untuk antiseptic memberikan hasil bahwa berdasarkan diameter hambatnya, aktivitas
antimikroba sediaan gel lebih besar dibandingkan dengan sediaan spray. Penggunaan hand
sanitizer spray lebih boros karena akan cepat menguap di udara dan hand sanitizer jenis gel
sangat baik untuk menjaga tangan agar tetap bersih dan tidak kering (ada penambahan bahan
humektan) lebih lama sepanjang hari. Hal ini dikarenakan jenis gel lebih lama mengering
dibandingkan dengan spray, serta sebuah penelitian pada suatu perusahaan didapatkan bahwa
kondisi kulit serta toleransi terhadap produk untuk hand sanitizer berbasis gel ini lebih baik
secara signifikan.

38
Antiseptik berupa hand sanitizer biasanya digunakan sebagai pengganti air dan sabun,
oleh karena itu memudahkan dalam proses pencucian tangan apabila tidak ditemukan air dan
sabun. Target dari pembuatan sediaan dalam bentuk gel topical (hand sanitizer) yaitu pada
permukaan telapak tangan. Hand sanitizer juga memiliki kandungan humektan yang akan
menjaga dari hilangnya air dalam sediaan setelah pemakaian. Hubungan korelasi dengan
pembuatan hand sanitizer karena triklosan dan alcohol sebagai agen antiseptik diharapkan
dapat bekerja dalam waktu 20-30 detik. Sedangkan basis atau gelling agent yang digunakan
adalah carbopol yaitu carbopol 940 karena memiliki kelebihan viskositas tinggi pada
konsentrasi rendah, ketercampuran dengan banyak bahan aktif, karakteristik organoleptis
yang sangat baik, laju pelepasan yang baik mempunyai stabilitas tinggi dan toksisitasnya
rendah, sehingga dapat meningkatkan efektivitas penggunaan gel sebagai antiseptik serta
dapat larut di dalam air, dalam etanol (95%) dan gliserin. Carbopol memiliki sifat asam
sedangkan carbopol akan stabil pada pH basa sehingga pada pembuatan gel atau hand
sanitizer ini perlu adanya penyeimbang pH atau penambahan bahan bersifat basa yakni TEA.
Carbopol termasuk dalam polimer sintesis. Carbopol merupakan gelling agen yang kuat ,
sehingga dibutuhkan konsentrasi kecil untuk membentuk gel. Berbeda dengan CMC Na
merupKn gelling agent dari derivat selulosa , CMC Na sering digunakan karena
menghasilkan gel yang berisfat netral tetapi kerugiannya yaitu rentan terhadap degradasi.
Triethanolamin dipilih karena dapat memberikan suasana basa pada carbopol sehingga
membuat gel yang dihasilkan menjadi kental dan jernih. Jika dikatikan dengan bahan aktif
yang memiliki sifat fisika kimia (kelarutan) praktis tidak larut dalam air dan lipofil (dengan
Log P 4,86), ditujukan hanya untuk pemakaian pada permukaan kulit sehingga tidak terjadi
penetrasi masuk ke dalam kulit.
Penggunaan bahan tambahan dalam pembuatan formulasi sediaan juga amat sangat
diperhatikan. Bahan tambahan yang digunakan yaitu carbopol 940, TEA atau trietanolamin,
metil paraben, gliserin, dan aquadest. Pemilihan carbopol 940 seperti yang telah dibahas
sebelumnya bahwa berbahan carbopol memiliki banyak keuntungan, carbopol berperan
sebagai gelling agent. Penambahan gelling agent digunakan sebagai basis, pemilihan gelling
agent yang sesuai dengan karakteristik bahan aktif dan target kerja sediaan (hand sanitizer)
agar bahan aktif yang ditujukan untuk permukaan kulit lebih terikat dalam basis dan tidak
terpenetrasi dalam kulit. Penggunaan carbopol dengan konsentrasi 0,5% dipilih karena
carbopol efektif pada penggunaannya pada rentang konsentrasi 0,5-2%. TEA atau
trietanolamin 2% dipilih karena berfungsi sebagai alkalizing agent dimana fungsi dari
alkalizing agent yaitu menyeimbangkan pH agar carbopol menjadi stabil. Carbopol memiliki

39
sifat asam sedangkan carbopol akan stabil pada pH basa sehingga pada pembuatan gel atau
hand sanitizer ini perlu adanya penyeimbang pH atau penambahan bahan bersifat basa yakni
TEA. Triethanolamin dipilih karena dapat memberikan suasana basa pada carbopol sehingga
membuat gel yang dihasilkan menjadi kental dan jernih. Rentang konstrasi TEA ketika
digunakan tunggal yakni antara 2-4%. Metil paraben 0,3% digunakan berfungsi sebagau
bahan pengawet. Diberikannya bahan pengawet pada sediaan gel hand sanitizer karena dalam
sediaan mengandung air, dimana air merupakan tempat perkembang biakan mikroorganisme
yang sangat baik sehingga diharapkan dengan penambahan bahan pengawet sediaan akan
tetap stabil hingga digunakan oleh pasien. Rentang konsentrasi metil paraben digunakan
tunggal yaitu pada rentang 0,02-0,3%. Penggunaan gliserin 10% sebagai humektan karena
pada sediaan hand sanitizer mengandung alcohol dalam jumlah dan konsentrasi yang besar
sehingga apabila tidak ditambahkan humektan akan menjadi kering hingga terjadinya iritasi.
Humektan berkerja untuk mencegah kehilangan air sehingga kulit tetap terhidrasi, tetap
lembut, dan tidak menjadi kering pada penggunaan waktu yang lama. Rentang konsentrasi
atau kadar penambahan gliserin sebagai humektan yaitu kurang dari sama dengan 30%
dimana pada suatu penelitian menyebutkan bahwa gliserin efektif pada konsentrasi 10-20%.
Serta penggunaan aquadest 15,2% dari total 50% jumlah bahan pada sediaan, aquadest
berfungsi sebagai pelarut murni.
Setelah semua bahan telah dipertimbangkan dengan matang, maka selanjutnya
melakukan proses pembuatan sediaan gel hand sanitizer. Langkah pertama ialah menimbang
bahan sesuai formula yang telah ditentukan. Melakukan pembuatan gelling agent atau basis
gel, dimana carbopol dilarutkan terlebih dahulu dalam aquadest di dalam mortir dan diaduk
ad larut. masukkan TEA sebagai penyeimbang pH atau alkalizing agent dalam mortir yang
berisi larutan carbopol. Gerus atau aduk hingga menjadi basis gel yang solid. Langkah
berikutnya adalah mengambil cawan porselen lain, gunakan cawan tersebut untuk melarutkan
metil paraben dan alcohol. Apabila metil paraben telah melarut sempurna dengan alcohol,
masukkan gliserin dalam cawan yang sama berisi larutan metil paraben, kemudian aduk
hingga homogen atau larut. Masukkan campuran larutan dalam cawan porselen ke dalam
mortir berisi basis gel, lakukan penggerusan hingga homogen kemudian sisihkan terlebih
dahulu. Lakukan pencampuran triklosan dan alcohol pada cawan proselen yang berbeda,
ketika telah melarut masukkan dalam mortir berisi campuran bahan yang telah di campur
sebelumnya hingga homogen. Masukkan aquadest sedikit demi sedikit ke dalam mortir berisi
campuran semua bahan dengan dilakukan penggerusan terus menerus hingga homogen.
Langkah terakhir yakni lakukan pengemasan dan dari serangkaian prosedur dilanjutkan

40
dengan mengevalusi sediaan gel. Evaluasi sediaan gel antara lain, Uji Organoleptik untuk
mengetahui tekstur, bentuk ,warna, dan bau dari sediaaan. Dengan cara menggunakan indra
melihat, meraba, dan mencium sediaan gel tersebut. Uji Homogenitas untuk mengetahui
pencampuran masing-masing komponen dalam pembuatan gel tercampur merata. Uji
homogenitas dilakukan dengan cara sampel gel dioleskan pada sekeping kaca atau bahan
transparan lain yang cocok, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak
dan tidak terlihat butiran kasar. Uji Viskositas untuk menjamin kemudahan penggunaan atau
pengolesan sediaan gel. Uji viskositas pada gel dilakukan dengan cara sebanyak 100 mL gel
dimasukkan ke dalam wadah berbentuk tabung lalu dipasang spindle 64, spindle direndam
dalam sediaan uji. Viskometer dinyalakan dan dipastikan rotor dapat berputar pada kecepatan
60 rpm. Lalu diamati jarum penunjuk dari viskometer yang mengarah pada angka skala
viskositas, lalu dicatat dan dikalikan faktor 100. Uji Distribusi Ukuran Partikel Untuk
menentukan distribusi ukuran partikel pada sediaan gel. Dengan cara sebarkan sejumlah gel
yang membentuk lapisan tipis pada slide mikroskop, lalu lihat di bawah mikroskop. Suatu
partikel tidak dapat ditetapkan bila ukurannya mendekati sumber cahaya. Untuk cahaya putih,
suatu mikroskop bisa dapat mengukur partikel 0,4-0,5 mm. dengan lensa khusus dan sinar
UV, batas yang lebih rendah dapat diperluas sampai 0,1. Uji Kebocoran Tube untuk
memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilisasi (untuk sediaan yang harus steril) dan
volume serta kestabilan sediaan. pada sediaan gel dengan cara uji 10 tube sediaan dibersihkan
dan dikeringkan bail-baik bagian luarnya dengan kain penyerap. Kemudian tube diletakkan
secara horizontal di atas kain penyerap di dalam oven dengan suhu diatur pada kurang lebih
60, 3oC selama 8 jam. Uji isi minimum untuk mengetahui bobot dari isi terhadap bobot yang
tertera pada etiket. Uji penetapan pH untuk mengetahui kadar pH yang akan dibuat pada
sediaan gel. Uji Pelepasan bahan aktif untuk mengukur kecepatan pelepasan bahan aktif dari
sediaan gel Uji Difusi bahan aktif untuk mengetahui kecepatan difusi sediaan gel dengan cara
menguji difusi bahan aktif dari sediaan gel. Uji Stabilitas Untuk mengetahui stabilitas
sediaan gel. Dan yang terakhir adalah Uji efektifitas pengawet antimikroba Untuk
menunjukkan efektifitas pengawet antimikroba yang ditambahkan pada sediaan dosis ganda
yang dibuat dengan dasar atau bahan pembawa berair.

Mekanisme kerja antiseptik, Antiseptik sebagai zat kimia sangat berpengaruh


terhadap mikroba. Melalui unsur protein yang membentuk struktur seluler mikroba, yang
mengakibatkan rusaknya dinding sel. Adanya gangguan sistem enzim, terjadinya denaturasi

41
protein, dan rusaknya asam nukleat yang berakibat pada kemampuan sel melakukan replikasi
maupun sintesis enzim (Septiari, 2012).

42
DAFTAR PUSTAKA

Nurhajati, N. (2015). Perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) masyarakat desa samir dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat. Jurnal Publiciana, 8(1), 107-126.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Fundamentals of nursing. Mosby.

Nugraha, A. (2020). Pelatihan Pembuatan Hand Sanitizer Berstandar WHO Bagi Kelompok
Ibu Penerima Pkh Di Desa Jarisari Kecamatan Jenggawah. Majalah Ilmiah
Pelita Ilmu, 3(2), 152-169.

Ardiyati, D., Suwarni, L., & Ridha, A. (2021). Ketersediaan Handrub Meningkatkan
Kebiasaan Cuci Tangan Ibu Rumah Tangga. Jurnal Kesehatan Manarang,
7(1), 43-52.

SUGIANTO, W. J. (2016). GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG DIARE PADA


BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS MLATI II (Doctoral dissertation,
Poltekkes Kemenkes Yogykarta).

Selvaggi, G., Monstrey, S., Landuyt, K. V., Hamdi, M. O. U. S. T. A. P. H. A., & Blondeel,
P. H. (2003). The role of iodine in antisepsis and wound management: a
reappraisal. Acta chirurgica belgica, 103(3), 241-247.

Jing, J. L. J., Pei Yi, T., Bose, R. J., McCarthy, J. R., Tharmalingam, N., & Madheswaran, T.
(2020). Hand sanitizers: a review on formulation aspects, adverse effects, and
regulations. International journal of environmental research and public
health, 17(9), 3326.

Jones, E. (2003). The European miracle: environments, economies and geopolitics in the
history of Europe and Asia. Cambridge University Press.

Farid, N., Awaluddin, N., Hamzah, S., Yusuf, M., & Rahmania, R. (2020). FORMULATION
AND ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF HAND SANITIZER ETHANOL
EXTRACT OF BASIL (Ocimum Sanctum. L) AGAINST Escherichia coli dan
Streptococcus Aureus. Media Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar,
15(2), 228-237.

43
Ningsi, S., & Fadhilah, R. N. (2017). Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Jarak Pagar
(Jatropha curcas. Linn) Terhadap Jamur Penyebab Kutu Air. Jurnal farmasi
UIN Alauddin Makassar, 5(1), 46-51.

Aponno, J. V. (2014). Uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun jambu biji (Psidium
guajava Linn) terhadap penyembuhan luka yang terinfeksi bakteri
Staphylococcus Aureus pada kelinci (Orytolagus cuniculus). Pharmacon, 3(3).

Allen, B. L., & Höök, M. (2002). Isolation of a putative laminin binding protein from
Streptococcus anginosus. Microbial pathogenesis, 33(1), 23-31.

Gad, S. C. (Ed.). (2008). Pharmaceutical manufacturing handbook: production and


processes (Vol. 5). John Wiley & Sons.

Kaur, L. P., Sharma, S., & Guleri, T. K. (2013). Microencapsulation: A new era in noval
drug delivery. IJPRBS, 2(2), 456-468.

Swarbick, J., & Boylan, J. C. (1992). Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, jilid 15,
415.

Lieberman, H., Rieger, M., & Banker, G. S. (Eds.). (2020). Pharmaceutical dosage forms:
Disperse systems. CRC Press.

Kittipongpatana, O. S., Burapadaja, S., & Kittipongpatana, N. (2009). Carboxymethyl


mungbean starch as a new pharmaceutical gelling agent for topical
preparation. Drug development and industrial pharmacy, 35(1), 34-42.

Wasitaatmadja, S. M. (1997). Penuntun ilmu kosmetik medik. Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia, 3, 58-59.

WARDANI, L. P. (2009). Efek Penyembuhan Luka Bakar Gel Ekstrak Etanol Daun Sirih
(Piper betle) pada Kulit Punggung Kelinci (Doctoral dissertation,
Univerversitas Muhammadiyah Surakarta).

Tranggono, R. I., & Latifah, F. (2007). Buku pegangan ilmu pengetahuan kosmetik. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 3(47), 58-59.

Vytras, K., Swarbrick, J., & Boylan, J. C. (1995). Potentiometry. Encyclopedia of


Pharmaceutical Technology, 12, 347-388.

44
Moghimi, S. M. (1999). Re-establishing the long circulatory behaviour of poloxamine-
coated particles after repeated intravenous administration: applications in
cancer drug delivery and imaging. Biochimica et Biophysica Acta (BBA)-
General Subjects, 1472(1-2), 399-403.

Riswani, M. PENGARUH PENETRATION ENHANCER PROPILEN GLIKOL TERHADAP


KARAKTERISTIK FISIK DAN LAJU PENETRASI PATCH DISPERSI PADAT
MELOKSIKAM.

Marhamah, M., Ujiani, S., & Tuntun, M. (2019). Kemampuan Sabun Antiseptik Cair yang
Mengandung Triclosan yang Terdaftar di BPOM dalam Menghambat
Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. Jurnal Kesehatan, 10(1), 17-24.

Craig, S., Graesser, A., Sullins, J., & Gholson, B. (2004). Affect and learning: an exploratory
look into the role of affect in learning with AutoTutor. Journal of educational
media, 29(3), 241-250.

Rowe, R. C., Sheskey, P., & Quinn, M. (2009). Handbook of pharmaceutical excipients.
Libros Digitales-Pharmaceutical Press.

Lukáš, J., Fridrich, J., & Goljan, M. (2006, February). Detecting digital image forgeries using
sensor pattern noise. In Security, Steganography, and Watermarking of
Multimedia Contents VIII (Vol. 6072, p. 60720Y). International Society for
Optics and Photonics.

Selvaggi, G., Monstrey, S., Landuyt, K. V., Hamdi, M. O. U. S. T. A. P. H. A., & Blondeel,
P. H. (2003). The role of iodine in antisepsis and wound management: a
reappraisal. Acta chirurgica belgica, 103(3), 241-247.

Harmon‐Jones, E. (2003). Clarifying the emotive functions of asymmetrical frontal cortical


activity. Psychophysiology, 40(6), 838-848.

Aprilia, A. Y., Setiawan, F., & Nurdianti, L. (2021). FORMULASI DAN EVALUASI
EMULGEL ITRACONAZOL. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada: Jurnal
Ilmu-ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi, 21(1), 153-161.

Tranggono, R. I. Latifah. 2007. Buku pegangan ilmu pengetahuan kosmetik, 5-18.Depkes, R.


I. (1979). Farmakope Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Departemen

45
Kesehatan Republik Indonesia, 93-94.

Arikumalasari, J., Dewantara, I. G. N. A., & Wijayanti, N. P. A. D. (2013). Optimasi HPMC


sebagai gelling agent dalam formula gel ekstrak kulit buah manggis (Garcinia
mangostana L.). Jurnal Farmasi Udayana, 2(3), 279718.

Aprilia, A. Y., Setiawan, F., & Nurdianti, L. (2021). FORMULASI DAN EVALUASI
EMULGEL ITRACONAZOL. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada: Jurnal
Ilmu-ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi, 21(1), 153-161.

Bommarius, A. S., & Paye, M. F. (2013). Stabilizing biocatalysts. Chemical Society


Reviews, 42(15), 6534-6565.

Djajadisastra, J., Mun’im, A., & Dessy, N. P. (2009). Formulasi gel topikal dari ekstrak Nerii
folium dalam sediaan anti jerawat. Jurnal Farmasi Indonesia, 4(4), 210-216.

46
Lampiran

Brosur gel

47
Kemasan primer

Kemasan Sekunder

48

Anda mungkin juga menyukai