Anda di halaman 1dari 136

TUGAS KELOMPOK PSIKOLOGI EKSPERIMEN

“Review Jurnal”

Disusun Oleh :

1. Marsya Nurlita (1824090158)


2. Keysya Azzahra (1824090185)
3. Hanif Meliana Lutfi (1824090190)
4. Sonia Maratul H. (1824090211)
5. Syaharani Syahla (1824090214)
6. Dwi Ghina Syakuroh (1624090133)

Dosen Pengampu :
Adi Kristiawan, S.psi., MM

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y.A.I
2020
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PENDERITA DIABETES


MELLITUS TIPE 2 DENGAN MENGGUNAKAN GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY

IMPROVEMENT OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN PATIENTS WITH TYPE 2


DIABETES MELLITUS USING GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY

Rima Christine Sujana


Hepi Wahyuningsih
Qurotul Uyun
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
rima.sujana@yahoo.com

ABSTRACT

This study aims to determine the improvement of psychological well-being in patients with type 2 diabetes
mellitus using group positive psychotherapy. Subjects in this study were 12 patients with type 2 diabetes
mellitus (men and women) between the ages of 47-64 years, and divided into two groups, namely the
experimental group and the control group. This study uses a scale of psychological well-being (22-item),
which refers to the dimensions of psychological well-being by Ryff (1989). Quantitative data analysis using
parametric analysis techniques one-way repeated measures anova to see the differences in psychological
well-being of the experimental group after the subject therapy. The results show that there are differences
in psychological well-being in the experimental group after therapy, with a value of Wilks' Lambda =
0.153, p = 0.00 (p <0.01). The conclusion from this study that the group positive psychotherapy can
improve psychological well-being of people with type 2 diabetes mellitus.

Key words: Group Positive Psychotherapy, Psychological Well Being, Type 2 Diabetes Mellitus.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 dengan menggunakan group positive psychotherapy. Subjek dalam penelitian ini adalah 12
penderita diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan usia antara 47-64
tahun, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian
ini menggunakan skala kesejahteraan psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi
kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data kuantitatif menggunakan teknik analisis
parametrik one-way repeated measures anova untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis kelompok
eksperimen setelah subjek diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan kesejahteraan
psikologis pada kelompok eksperimen setelah diberikan terapi, dengan nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p=
0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis penderita diabetes mellitus tipe 2.

Kata Kunci: Psikoterapi Positif Kelompok, Kesejahteraan Psikologis, Diabetes Mellitus Tipe 2

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 215


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

Kesehatan merupakan hal penting nyakit yang paling kompleks dan menun-
dalam hidup manusia. Ketika terkena tut banyak perhatian maupun usaha
penyakit, maka seseorang mulai menya- dalam pengelolaannya dibandingkan
dari bahwa kesehatan mahal harganya. dengan penyakit kronis lainnya, karena
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Dae- penyakit diabetes tidak dapat diobati
rah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 namun hanya dapat dikelola (Kusuma-
diketahui bahwa pola penyakit pada dewi, 2011). Diabetes mellitus merupa-
semua golongan umur telah mulai kan kelompok penyakit metabolik
didominasi oleh penyakit-penyakit dege- dengan karakteristik hiperglikemia yang
neratif, terutama penyakit yang disebab- terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kan oleh kecelakaan, neoplasma, kardio- kerja insulin atau keduanya yang harus
vaskuler dan diabetes mellitus. Laporan dilakukan pengelolaan sehingga tidak
Survailans Terpadu Penyakit (STP) Pus- terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelo-
kesmas di Daerah Istimewa Yogyakarta laan diabetes mellitus meliputi edukasi,
pada tahun 2012 menunjukkan bahwa terapi gizi medis, latihan jasmani dan
penyakit diabetes mellitus (7.434 kasus) intervensi farmakologis yang dapat dibe-
masuk dalam urutan ke tiga dan ke lima rikan melalui edukasi terpadu (Yulishati,
dari distribusi 10 besar penyakit berbasis 2014).
STP Puskesmas (DepKes, 2013). Hayes dan Ross (Temane &
Diabetes mellitus disebut the great Wissing, 2006) mengemukakan bahwa
imitator karena diabetes mellitus ter- kesejahteraan psikologis dapat dipredikisi
masuk penyakit yang menyebabkan oleh kesehatan fisik yang baik. Apabila
komplikasi pada bagian tubuh yang jika kesehatan fisik berada dalam kondisi
penanganannya tidak dilakukan dapat rendah atau buruk, maka akan mening-
menyebabkan kematian (Sam, 2007). katkan perasaan sedih, patah semangat
Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit terhadap masa depan, merasa sangat
diabetes melitus dapat menyerang semua letih, serta mengalami penurunan
organ tubuh berupa komplikasi penyakit, kepercayaan diri dan disiplin diri. Dia-
seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan betes mellitus tipe 2 sangat erat kaitannya
jantung. Seseorang yang sudah dinyata- dengan gaya hidup penderita sebab
kan memiliki diabetes mellitus harus diabetes mellitus tipe 2 selain karena
melakukan pengobatan seumur hidup. faktor keturunan, penyebab utamanya
Diabetes mellitus merupakan pe- adalah gaya hidup mengenai makanan

216 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

yang dikonsumsi dan olahraga (Buckman dalikan lingkungan dan terus betumbuh
& McLaughlin, 1999). secara personal (Ryff, 1995). Kesehatan
Dikemukakan oleh Karlsen (2002) fisik mempengaruhi kesejahteraan psiko-
bahwa penyakit diabetes mellitus khusus- logis individu. Hal ini senada dengan
nya tipe 2 menuntut seseorang untuk faktor-faktor yang mempengaruhi kese-
melakukan perubahan dalam gaya hidup- jahteraan psikologis yang dikemukakan
nya terkait dengan diet dan olahraga oleh Mirowsky dan Ross (1999) yang
yang harus dilakukan serta melakukan meliputi emosi dan kesehatan serta
pengobatan oral secara ruti. Menurut fungsi fisik, pekerjaan, pernikahan, anak-
Jacobson (Karlsen, 2002), penyakit anak, kondisi masa lalu seseorang
diabetes mellitus memberikan pengaruh terutama pola asuh keluarga, dan faktor
pada kesejahteraan psikologis seseorang kepercayaan.
karena gejala dan perawatan yang Penelitian yang mendukung bahwa
memberatkan penderita serta komplikasi penyakit fisik mempengaruhi kesejahte-
yang dapat melemahkan dan bahkan raan psikologis seseorang antara lain
dapat mengancam jiwa seseorang. Psychological Well-Being pada Penyan-
Apabila tidak dilakukan kontrol yang dang Gagal Ginjal oleh Aini (2012).
tepat terhadap reaksi-reaksi psikologis Penelitian ini menggambarkan bahwa
atau respon-respon secara emosional, kondisi fisik yang terganggu membuat
khususnya ketika tidak ada hal yang mereka terbatas dalam melakukan
dapat dilakukan penderita untuk meng- aktivitas yang berhubungan dengan diri
ubah situasi, maka penderita cenderung sendiri maupun aktivitas sosial. Hal ini
mengalami ketidakmampuan penyesuai- terkait dengan aspek otonomi dan
an secara fisik dan kesejahteraan psiko- penguasaan lingkungan yang mereka
logis (Sarafino, 1997). lakukan. Penyandang gagal ginjal yang
Kesejahteraan psikologis merupa- mengarahkan aktivitas pada tujuan
kan pencapaian penuh dari potensi hidupnya dan memiliki keyakinan untuk
psikologis seseorang dan suatu keadaan mencapainya maka mereka mampu
ketika individu dapat menerima kekuatan mengembangkan diri secara personal.
dan kelemahan diri apa adanya, memiliki Hal ini menggambarkan bahwa penting
tujuan hidup, mengembangkan relasi bagi individu yang memiliki penyakit
yang positif dengan orang lain, menjadi fisik untuk tetap memiliki tujuan hidup,
pribadi yang mandiri, mampu mengen- aktivitas yang terarah dan keyakinan diri

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 217


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

sehingga mampu menemukan potensi teraan psikologis pada orang dengan HIV
diri dan terus mengembangkannya untuk AIDS (ODHA). Group Positive Psycho-
meraih kebahagiaan. therapy juga terbukti mampu meningkat-
Gambaran di atas seiring dengan kan kesejahteraan psikologis remaja yang
pendapat Papalia, Olds dan Feldman dilakukan oleh Wardiyah (2013). Demi-
(2009) yang mengemukakan bahwa kian pula Group Positive Psychotherapy
orang yang memiliki kesejahteraan yang dilakukan oleh Prabowo (2011)
psikologis yang baik adalah orang yang mampu meningkatkan Psychological
mampu merealisasikan potensi dirinya Well-Being Mahasiswa di Universitas
secara kontinu, mampu membentuk hu- YARSI. Penelitian yang dilakukan oleh
bungan yang hangat dengan orang lain, Hidayah (2014) membuktikan bahwa
memiliki kemandirian terhadap tekanan Group Positive Psychotherapy efektif
sosial, menerima diri apa adanya, untuk meningkatkan kesejahteraan psiko-
memiliki arti dalam hidup, serta mampu logis pada orang dengan HIV/ AIDS
mengontrol lingkungan eksternal. Kese- (ODHA) di Boyolali.
jahteraan psikologis memiliki peranan Beberapa penelitian sebelumnya
dalam pencegahan dan penyembuhan cukup banyak membuktikan group posi-
suatu penyakit sehingga dapat mening- tive psychotherapy efektif dan berpe-
katkan harapan hidup penderita (Vazques ngaruh signifikan untuk meningkatkan
dkk, 2009). kesejahteraan psikologis namun belum
Beberapa penelitian yang telah pernah ada yang meneliti pengaruhnya
dilakukan dan berhasil untuk meningkat- terhadap penderita Diabetes Mellitus.
kan kesejahteraan psikologis di antaranya Group positive psychotherapy adalah
yaitu Cognitive Behavior Therapy mam- suatu model terapi dengan pendekatan
pu meningkatkan kesejahteraan psikolo- kelompok yang menfokuskan upaya
gis remaja gay (Wardani, 2014), Konse- membangun hidup yang menyenangkan,
ling “Kebermaknaan Hidup” mampu hidup yang terikat kegiatan-kegiatan, dan
mempengaruhi kesejahteraan psikologis hidup yang bermakna.
difabel yang dilakukan oleh Perwitasari Menurut Parks-Sheiner (2009),
(2012), Dewi (2012) melakukan peneli- Group positive psychotherapy merupa-
tian yang membuktikan bahwa Pelatihan kan intervensi untuk mencapai target
Manajemen Distres Berbasis Mindfulness hidup yang menyenangkan, keterlibatan
(MDBM) dapat meningkatkan kesejah- dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup.

218 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

Group positive psychotherapy terdiri dari pada penelitian ini adalah kuasi ekspe-
beberapa teknik yaitu Tiga Hal Baik rimen. Partisipan yang diambil adalah
(Three Good Things), Pergunakan partisipan yang memenuhi salah satu
Kekuatanmu (Using Your Strenghts), atau dua kriteria sekaligus, yaitu masuk
Kunjungan Terimakasih (The Gratitude dalam kategori sedang, rendah, dan
Visit), Biografi (Obituary), Respon Aktif/ sangat rendah di dalam skala kesejah-
Konstruktif (Active-Constructive Respon- teraan psikologis. Pada penelitian ini
ding), Menikmati Kegiatan Sehari-hari metode eksperimen dilakukan dengan
(Savoring). Keenam teknik ini digunakan memberikan perlakuan berupa group
untuk mencapai tiga sasaran utama positive psychotherapy untuk melihat
dalam group positive psychotherapy peningkatan kesejahteraan psikologis
yaitu hidup yang menyenangkan, hidup pada penderita diabetes mellitus tipe 2.
terikat pada kesibukan, hidup yang
bermakna (Seligman, 2006). Subjek Penelitian
Oleh karena itu, peneliti ingin Populasi dalam penelitian ini
mengetahui peningkatan kesejahteraan adalah penderita diabetes mellitus tipe 2
psikologis pada penderita diabetes melli- yang berada di bawah wilayah kerja
tus tipe 2 dengan menggunakan group Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2,
positive psychotherapy. Hipotesis pada Sleman. Adapun kriteria subjek peneli-
penelitian ini adalah group positive tian adalah memiliki diagnosa penyakit
psychotherapy mampu meningkatkan diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau
kesejahteraan psikologis pada penderita perempuan berusia 47-64 tahun dengan
diabetes mellitus tipe 2 dan kelompok alasan bahwa penyakit diabetes mellitus
yang mendapatkan intervensi group posi- tipe 2 diderita antara usia pertengahan
tive psychotherapy lebih tinggi tingkat dan usia lanjut dengan serangan awal
kesejahteraan psikologis dibandingkan terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki
dengan kelompok yang tidak mendapat- kemampuan baca dan tulis, tidak sedang
kan group positive psychotherapy. mengikuti intervensi psikologis apapun,
memiliki skor kesejahteraan psikologis
METODE PENELITIAN dengan kategori sedang, rendah dan
sangat rendah, serta bersedia mengikuti
Desain Penelitian rangkaian penelitian dari prates hingga
Desain penelitian yang digunakan tindak lanjut.

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 219


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

Metode Pengumpulan Data bahwa koefisien korelasi sebesar 0,855.


Metode penelitian yang digunakan
dalam melakukan pengumpulan data Prosedur Penelitian
adalah dengan menggunakan observasi, Adapun prosedur penelitian pada
wawancara, dan skala kesejahteraan penelitian ini yaitu: Pertama, perijinan
psikologis. Skala yang digunakan meru- tempat untuk melakukan screening.
pakan skala yang dimodifikasi dari skala Kedua, screening menggunakan skala
yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti penelitian kepada orang dengan Diabetes
sebelumnya. Skala kesejahteraan psikolo- Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan
gis disusun berdasarkan dimensi-dimensi kategori sedang dan rendah serta
kesejahteran psikologis yang dikemuka- memenuhi kriteria dipilih menjadi subjek
kan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan penelitian. Data ini juga digunakan
diri, relasi positif dengan sesama, oto- sebagai prates. Ketiga, wawancara untuk
nomi, penguasaan lingkungan, tujuan menggali permasalahan dan pemberian
hidup, dan pertumbuhan pribadi. Informed Consent kepada subjek pene-
Skala kesejahteraan psikologis ini litian. Keempat, penentuan kelompok
terdiri atas 29 aitem favorable dan un- kontrol dan kelompok eksperimen. Ke-
favorable. Setiap pernyataan dalam skala lima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator,
kesejahteraan psikologis ini meminta serta observer. Kelima, pelaksanaan
respon dari subjek dengan memilih salah intervensi Group Positive Psychotherapy
satu alternatif jawaban yang telah dise- pada kelompok eksperimen dan
diakan. Skala ini disusun berdasarkan kelompok kontrol tidak mendapatkan
skala Likert yang terdiri atas 4 alternatif intervensi.
jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai
(S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak Teknik Analisis Data
sesuai (STS). Hasil uji coba skala Penelitian ini menggunakan bebe-
kesejahteraan psikologis menunjukkan rapa teknik analisis data. Teknik analisis
bahwa dari 29 butir pernyataan, 22 butir data parametrik yang digunakan adalah
dinyatakan sahih dan 7 butir dinyatakan one-way repeated measures anova , yaitu
gugur. Koefisien korelasi untuk skala teknik analisis untuk melihat apakah ada
yang sahih bergerak antara 0,319 hingga perubahan (prates-pascates-tindak lanjut)
0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala pada kelompok eksperimen. Selain itu
kesejahteraan psikologis menunjukkan dilakukan juga uji independent sample t-

220 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

test untuk membandingkan kelompok diketahui bahwa rata-rata skor pada


eksperimen dan kelompok kontrol. Ana- prates kelompok eksperimen sebesar
lisis dari variabel-variabel tersebut dilaku- 49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal
kan dengan program komputer SPSS ini berarti bahwa rata-rata skor pada
(Statistical Product and Service Solution) kelompok kontrol lebih tinggi dari
for windows. kelompok eksperimen. Sedangkan,
setelah terapi (pascates) diketahui bahwa
HASIL PENELITIAN rata-rata skor kelompok eksperimen lebih
tinggi dibanding kelompok control, yaitu
Jumlah subjek penelitian pada 58.33 berbanding 50.33. Hal ini juga
kelompok eksperimen sebanyak 6 pen- dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata
derita diabetes mellitus tipe 2, berjenis skor kelompok eksperimen (57.00) lebih
kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek tinggi dibanding rata-rata skor kelompok
yang masuk ke dalam kelompok eksperi- kontrol (49.33).
men merupakan anggota terapi yang Hasil uji normalitas dari skala
dilakukan selama 3 kali pertemuan. kesejahteraan psikologis diperoleh nilai
Penelitian ini melakukan pengukuran K-SZ = 0.631 dan p = 0.821 sehingga
sebanyak tiga kali, yaitu sebelum penyebaran data skala kesejahteraan
intervensi dilakukan (prates), setelah psikologis dapat dikatakan normal. Hasil
intervensi diberikan (pascates) dan 2 uji homogenitas pada kelompok ekspe-
minggu setelah intervensi diberikan rimen dan kelompok kontrol pada peneli-
(tindak lanjut). tian ini memperoleh nilai levene statistic
Hasil pengukuran pascates menun- = 0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai
jukkan semua kelompok eksperimen p>0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa
mengalami peningkatan skor kesejahte- proporsi kedua kelompok adalah
raan psikologis setelah diberikan inter- homogen.
vensi berupa group positive psycho- Pada tabel analisis statistik, nilai
therapy. Sedangkan pada kelompok Wilks’ Lambda = 0.153, p= 0.00
kontrol terdapat 1 subjek yang meng- (p<0.01) menunjukkan ada perubahan
alami peningkatan skor, 2 subjek yang secara sangat signifikan pada skor
mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek kesejahteraan psikologis kelompok ekpe-
yang mengalami penurunan skor. rimen dalam tiga kali pengukuran. Hal
Berdasarkan tabel analisis statistik, ini berarti bahwa terdapat perbedaan

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 221


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

yang signifikan antara skor prates dengan jahteraan psikologis pada penderita
pascates pada kelompok eksperimen, dan diabetes mellitus tipe 2.
juga terdapat perbedaan yang signifikan Group positive psychotherapy
antara skor prates dengan tindak lanjut disusun untuk mengarahkan subjek
pada kelompok eksperimen. Perbedaan penelitian pada kehidupan yang lebih
antara skor prates-pascates-tindak lanjut positif melalui beberapa teknik latihan,
yang dimaksud yaitu terjadi perubahan seperti perkenalan positif dan mengenali
skor prates-pascates yang semakin me- kekuatan diri, mampu menemukan tiga
ningkat berdasarkan nilai Mean kelom- hal baik setiap hari, kunjungan terima-
pok eksperimen dari 49.33 menjadi kasih melalui surat, savoring yang
58.33. Pada tindak lanjut diperoleh melatih subjek untuk lebih menikmati
Mean 57.00. Kedua Mean terlihat lebih kehidupannya dimulai dari rutinitas yang
tinggi jika dibandingkan dengan Mean ada, tanggapan aktif/konstruktif bertujuan
prates. Nilai Partial Eta Square pada baris untuk melatih subjek lebih positif dalam
diperoleh nilai 0.847, hal ini berarti berkomunikasi, dan pembuatan biografi
bahwa sumbangan efektif sebesar 84,7. yang membantu subjek mengarahkan
Ada perbedaan kesejahteraan psi- perilakunya sesuai tujuan hidup yang
kologis pada kelompok eksperimen dan ingin dicapai.
kelompok kontrol setelah terapi diberi- Ketika subjek mendapat diagnosis
kan, dengan nilai p=0.000 (p<0.01) diabetes mellitus yang pengelolaan
pada saat prates-pascates dan p=0.001 penyakitnya dengan minum obat seumur
(p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut. hidup, diet makanan dan sebagainya
cenderung membuat subjek merasa tidak
PEMBAHASAN lagi memiliki potensi dalam diri untuk
melakukan berbagai aktivitas positif.
Penelitian ini bertujuan untuk Pada awal pertemuan, subjek dihadapkan
mengetahui peningkatan kesejahteraan pada kegiatan perkenalan positif dan
psikologis pada penderita diabetes melli- mengenali kekuatan diri. Subjek yang
tus tipe 2 dengan menggunakan group mengalami kesulitan untuk melakukan
positive psychotherapy. Berdasarkan perkenalan positif dibantu oleh fasilitator
hasil analisis data yang telah dilakukan dan anggota kelompok untuk menemu-
diperoleh hasil bahwa group positive kan hal positif yang ada pada masing-
psychotherapy dapat meningkatkan kese- masing subjek. Hal ini didasarkan pada

222 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

asumsi bahwa perilaku patologis disebab- kepada Allah SWT adalah khusnudzon
kan oleh kurangnya kesadaran tentang (berbaik sangka atau berpikir positif)
potensi positif dalam diri individu kepada-Allah adalah Tuhan Yang Maha
(Magyar-Moe, 2009). Pengenalan potensi Pengasih dan Penyayang. Ketika sese-
positif ini seiring dengan pernyataan yang orang meyakini bahwa Allah mengasihi
tercantum dalam Al-Quran yaitu manusia seluruh makhluk-Nya dan menganuge-
diciptakan oleh Allah SWT dengan rahkan rezeki kepada semua makhluk-
struktur yang paling baik di antara Nya. Tidak peduli makhluk-Nya taat atau
makhluk Allah SWT yang lain. durhaka, muslim atau kafir. Bahkan,
Kesempurnaan unsur manusia disebutkan binatang dan tumbuh-tumbuhan pun
dalam firman Allah SWT yang artinya : dijamin rezekinya oleh Allah SWT maka
akan menimbulkan rasa optimis
“Sungguh, Kami telah menciptakan menjalani hidup.
manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4). “Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-
Pada sesi kekuatanku, subjek pene-
lah yang memberi rezkinya.” (Q.S.
litian dilatih untuk tetap fokus pada hal Hud: 6).
positif yang ada di dalam diri sehingga
tetap menumbuhkan semangat dan Mengenali potensi positif dan me-
optimisme. Ryan dan Deci (2001) lakukan aktivitas-aktivitas positif meng-
mengungkapkan bahwa optimisme mem- hadirkan kesejahteraan pada dirinya
beri kontribusi terhadap kesejahteraan (Salami, 2010). Hal ini seiring dengan
atau kebahagiaan individu. pernyataan yang dikemukakan Frederick-
son dan Joiner (2002) bahwa seseorang
“Allah tidak akan membebani yang memiliki sifat positif dan optimis
seseorang (hamba-Nya) melainkan berkorelasi positif dengan kesejahteraan
sesuai dengan kemampuannya (QS.
individu. Selain itu, sesi tiga hal baik,
Al-Baqarah: 286).
kunjungan terimakasih dan savoring
Menurut perspektif Islam, meng- mengajarkan subjek penelitian untuk
arahkan subjek penelitian pada kehidup- senantiasa lebih bersyukur terhadap
an yang lebih positif memiliki kesamaan kebaikan yang telah diterima setiap hari.
dengan berprasangka baik (khusnudzon).
Salah satu akhlak mahmudah (terpuji) “Dan jika kamu menghitung-hitung

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 223


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

nikmat Allah, niscaya kamu tak “Siapa yang tidak mensyukuri


dapat menentukan jumlahnya. manusia maka dia tidak mensyukuri
Sesungguhnya Allah benar-benar Allah (HR. Abu Daud dan At-
Maha Pengampun lagi Maha Turmuzi).
Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18).
Evaluasi dari keseluruhan rangkai-
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, an terapi menunjukkan bahwa semua
pasti Kami akan menambah (nikmat) subjek merasa senang karena mampu
kepadamu, dan jika kamu kufur
bertukar cerita, berkeluh kesah dan
(mengingkari nikmat-Ku), maka
sesungguhnya adzab-Ku sangat belajar dari anggota kelompok yang lain.
pedih” (QS. Ibrahim: 7). Subjek diminta untuk menceritakan situa-
si emosional dimana kondisi tersebut
Demikian pula dengan kegiatan membantu seseorang untuk meningkat-
tanggapan aktif/konstruktif yang melatih kan rasa syukur yang berpengaruh pada
subjek penelitian tetap menjaga hu- kondisi fisik dan psikologisnya. Menulis
bungan interpersonal dengan baik. Ketika dan atau membicarakan topik emosional
individu mampu menjalin hubungan ditemukan mempengaruhi fungsi imun
interpersonal dengan lingkungan secara termasuk perkembangan sel t-helper, dan
aktif maka menurut Ryff (1995) individu antibody (Pennebaker & Chung, 2007).
tersebut memiliki gambaran kesejahtera- Beberapa penelitan mendukung
an psikologis pada aspek hubungan bahwa interaksi dengan orang terdekat
positif dengan oranglain dan penguasaan yang dilakukan secara aktif dan kon-
terhadap lingkungan. Hal ini juga struktif dapat meningkatkan kebahagiaan,
merupakan wujud syukur kepada Allah. kepuasan, kepercayaan, keakraban dan
Manusia yang bersyukur kepada mengurangi konflik (Magyar-Moe, 2009).
manusia/makhluk lain adalah dia yang Group positive psychotherapy telah
memuji kebaikan serta membalasnya terbukti mampu meningkatkan kesejah-
dengan sesuatu yang lebih baik atau teraan psikologis penderita diabetes
lebih banyak dari apayang telah dilaku- mellitus tipe 2. Hal ini erat kaitannya
kan oleh yang disyukurinya itu. Syukur dengan optimisme subjek dalam
yang demikian dapat juga merupakan menghadapi penyakitnya. Seiring dengan
bagian dari syukur kepada Allah. Sebab, pendapat yang dikemukakan oleh
berdasarkan hadis Nabi SAW yang Vazques dkk (2009) bahwa kesejahteraan
artinya: psikologis memiliki peranan dalam

224 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

pencegahan dan penyembuhan suatu lebih efisien karena menawarkan banyak


penyakit sehingga dapat meningkatkan sudut pandang, perasaan senasib,
harapan hidup penderita. pengalaman terlibat dengan orang lain,
Penelitian ini didukung oleh penu- kesempatan belajar pengalaman-penga-
gasan-penugasan yang diberikan pada laman orang lain berdasarkan hasil men-
akhir setiap pertemuan, yang kemudian dengar dan mengobservasi, kesempatan
didiskusikan dalam kelompok. Tugas mendapat umpan balik sehingga akan
rumah memberikan kesempatan kepada memegang teguh komitmennya selama
subjek untuk dapat melatih dirinya terapi.
menerapkan teknik-teknik yang dipelajari Berdasarkan hasil kuantitatif setiap
di dalam kelompok kepada kehidupan subjek, ke enam subjek mengalami
sehari-hari. Kemudian diskusi tugas peningkatan kesejahteraan psikologis
rumah dapat memberikan umpan balik setelah mengikuti group positive psycho-
dan penguatan terhadap aktivitas positif therapy meskipun pada tahap tindak
yang telah dilakukan dengan baik oleh lanjut terjadi peningkatan dan penurunan
setiap subjek. yang beragam antar subjek. Hasil
Intervensi dalam penelitian ini penelitian ini mendukung penelitian ter-
dipengaruhi juga oleh rancangan inter- dahulu yang telah dilakukan oleh
vensi dalam bentuk kelompok. Pendekat- Hidayah (2014) yang menunjukkan
an kelompok dianggap memiliki manfaat bahwa ada pengaruh group positive
terapeutik terhadap kelompok, yaitu psychotherapy terhadap peningkatan
sebagai faktor dukungan, faktor keter- kesejahteraan psikologis pada orang
bukaan diri dan katarsis, faktor belajar dengan HIV/AIDS. Hal ini juga sesuai
kebijaksanaan atau kearifan dari anggota dengan penelitian Wardiyah pada tahun
kelompok lainnya, serta faktor-faktor 2013 membuktikan bahwa kesejahteraan
psikologis yang berkaitan dengan psikologis mampi ditingkatkan dengan
bagaimana menjalin hubungan dengan group positive psychotherapy. Penelitian
orang lain dan bagaimana memahami yang dilakukan oleh Prabowo (2011)
diri sendiri (Brabenden, Fallon, & Smolar, membuktikan hal yang sama bahwa
2004). Seiring dengan pendapat yang group positive psychotherapy mampu
dikemukakan oleh Jacobs dkk (2002) meningkatkan psychological well-being
bahwa keuntungan terapi yang meng- pada mahasiswa.
gunakan pendekatan kelompok yaitu Selain itu, perlu dilakukan sejum-

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 225


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

lah evaluasi. Modul intervensi tidak SIMPULAN & SARAN


melalui uji coba sebelumnya. Fasilitator
cenderung sering menambahkan pen- Simpulan
jelasan instruksi kepada subjek penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang
agar subjek mampu melaksanakan telah dilakukan maka dapat disimpulkan
instruksi dengan baik. Modul diterapkan bahwa group positive psychotherapy
secara runtut sesuai dengan rancangan dapat meningkatkan kesejahteraan psiko-
pelaksanaan meskipun terdapat modifi- logis pada penderita diabetes mellitus
kasi seperti diberikannyaa ice breaking tipe 2. Kelompok yang mendapatkan
ketika beberapa subjek terlihat bosan intervensi group positive psychotherapy
atau kurang konsentrasi ketika proses lebih tinggi tingkat kesejahteraan psiko-
terapi yang sebelumnya tidak dituliskan logis dibandingkan dengan kelompok
dalam modul terapi. yang tidak mendapatkan group positive
Evaluasi perubahan kesejahteraan psychotherapy.
psikologis subjek penelitian ini belum
melalui wawancara dengan caregiver. Saran
Peneliti melakukan evaluasi perubahan Untuk penelitian selanjutnya: (1)
kesejahteraan subjek melalui wawancara Penelitian ini menggunakan data dari
langsung dengan subjek, baik sebelum Puskesmas yang tidak memiliki komu-
maupun sesudah intervensi. Hasil nitas khusus penderita diabetes mellitus
evaluasi cenderung berpusat pada tipe 2 dan alamat lengkap. Jika peneliti
pengakuan subjek penelitian saja. selanjutnya menemukan keterbatasan
Penelitian ini menggunakan data data yang sama, peneliti menyarankan
dari Puskesmas yang tidak memiliki untuk menelusuri melalui kepala dusun
komunitas khusus penderita diabetes atau dukuh agar dapat mempermudah
mellitus tipe 2 dan alamat lengkap melakukan kunjungan rumah; (2) Alat
sehingga pengambilan data harus ukur ini bisa digunakan kembali oleh
dilakukan kunjungan ke rumah masing- penelitian selanjutnya dengan kriteria
masing subjek. subjek yang sama; (3) Peneliti menyaran-
kan untuk melakukan uji coba modul
sehingga penggunaan lembar kerja,
waktu dan bahasa instruksi dapat lebih
sesuai dengan karakteristik subjek; (4)

226 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat dang Gagal Ginjal. Jurnal


melakukan penelitian sejenis dengan Penelitian Psikologi, 4,(1), 35-45
memperhatikan berbagai variabel lain
Anantasari, M. L. (2004). Kesejahteraan
yang mempengaruhi kesejahteraan psiko-
Psikologis Orang Tua dan
logis penderita diabetes mellitus tipe 2, Perlakuan Salah terhadap Anak.
serta dapat mengembangkan group Tesis. Tidak diterbitkan. Yogya-
positive psychotherapy sebagai alternatif karta: Fakultas Psikologi Univer-
intervensi untuk kasus psikologis sitas Gadjah Mada
penyakit kronis lainnya.
Askandar, T. (1999). Diabetes Mellitus
Untuk subjek penelitian: (1) Subjek
Klasifikasi Diagnosis dan Terapi.
penelitian diharapkan dapat menerapkan Jakarta: PT Gramedia Pustaka
pengetahuan dan cara-cara meningkatkan Utama
kesejahteraan psikologis yang didapatkan
dari group positive psychotherapy dalam Baron, J. (1988). Thinking and Deciding.
New York: Cambridge University
kehidupan sehari-hari; (2) Subjek peneli-
Press
tian bisa meningkatkan kemampuan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar Bartram, D. & Boniwel, L. (2007). The
sehingga tidak banyak berdiam diri di Science of Happiness: Achieving
rumah, tidak jenuh dan tidak terfokus Sustained Psychological Well-
pada keterbatasan diri akan penyakit. Being. Positive Psychology in
Practice, 29, 478-482

DAFTAR PUSTAKA
Bradburn, N. M. 1969. The Structure of
Psycholgical Well Being. Chicago:
Abbott, R.A., Ploubidis, G.B., Huppert,
Aldine
F.A., Kuh, D., Wadsworth, M.E.J. &
Croudace, T.J. (2006). Psycho-
Buckman,Dr. Robert & McLaughlin,
metric Evaluation and Predictive
Chris. (1999). Apa yang seharusnya
Validity of Ryff’s Psychological
Anda ketahui tentang hidup
Well-Being Items in a UK Birth
dengan Diabetes. London:
Cohort Sample of Women. Health
Marshall Publishing Ltd
and Quality of Life Outcomes.
BioMed Central Ltd. 4: 76.
Compton, W.C. (2005). Introduction to
Positive Psychology. Singapore:
Aini, S. N., & Asiyah, S.N. (2013).
Thomson Wadsworth
Psychological Well Being Penyan-

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 227


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

DepKes. (2013). Riset Kesehatan Dasar from Thai Elders. Journal of


Indonesia Tahun 2013. Yogyakarta: Gerontologist, 44(5), 596-604
Departemen Kesehatan
Jacobs, E.E., Robert, L.M., & Riley, L.H.
Dewi, R.P. (2012). Pengaruh Pelatihan (2002). Group Counseling:
Manajemen Distres Berbasis Mind- Strategies and Skills. Canada: The
fulness (MDBM) terhadap Pening- Wadsworth Group, a division of
katan Kesejahteraan Psikologis Thompson Learning,Inc.
pada Orang dengan HIV/AIDS.
Tesis. Tidak diterbitkan. Yogya- Karlsen,B, Bru, E & Hanestad, R. (2002).
karta: Fakultas Psikologi Univer- Self-Reported PWB and Disease-
sitas Gadjah Mada Related Strains among Adults with
Diabetes. Psychological and
Eckhalm E.P. (1999). Masalah Kesehatan. Health. 17 (4), 459-473
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama Kartikasari, N.D. (2014). Hubungan
antara Religiusitas dengan Kesejah-
Feldman, R. S. (1997). Social Psychology. teraan Psikologis pada Penderita
New Jersey: Prentice Hall Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi.
Tidak diterbitkan. Surakarta: Fakul-
Frederickson, B.L. & Joiner, T. (2002). tas Psikologi Universitas Muham-
Positive Emotions Triger Upwardn madiyah
Spirals Toward Emotion Well
Being. Psychological Science, 13, Keyes, C.R. (2006). A Look at Children’s
172-175 Adjustment to Early Childhood
Programs. Early Childhood
Hidayah, N. (2014). Efektivitas Group Research & Practice, 8(2), 22-36
Positive Psychotherapy untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Psiko- Kusumadewi, M.D. (2011). Peran
logis pada Orang dengan HIV/AIDS Stressor Harian, Optimisme dan
(ODHA). Tesis. Tidak diterbitkan. Regulasi Diri terhadap Kualitas
Surakarta: Program Pendidikan Hidup Individu dengan Diabetes
Magister Psikologi Profesi Univer- Melitus Tipe 2. Psikoislamika
sitas Muhammadiyah Surakarta Jurnal Psikologi Islam, (8), 1, 43-62

Ingersoll-Dayton, B.S. (2004). Measuring Latifah,N. (2014). Kesejahteraan Psikolo-


Psychological Well-Being: Insight gis Pada Wanita Dewasa Muda
Yang Belum Menikah. Skripsi.

228 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Emotional Approach to Coping


Program Studi Bimbingan dan with Health Status dalam
Konseling Universitas Negeri Handbook of Emotions Second
Yogyakarta Edition. New York: The Guilford
Press.
Lopez S. J., & Snyder C. R. (2003). The
Measurement and Utility of Adult Mirowsky & Ross. (1999). Well-Being
Subjective Well-Being. Washington Across the Life Course. Cambridge:
DC: American Psychological Cambridge University Press
Association
Neugarten, B.L., Havighurst, R., & Tobin,
Lumantobing. (2008). Psikologi Kesehat- S. (1961). The Measurement of Life
an. Yogyakarta: Mitra Cendikia Satisfaction. Journal of Geronto-
logy. 16, 134-143
Magyar-Moe, J. L. (2009). Therapist's
Guide to Positive Psychological Notosoedirdjo dan Latipun. 2005.
Interventions. (1st Edition). Kesehatan Mental : Konsep dan
Academic Press, pp. 79-133y 151- Penerapan. Malang : UMM Press.
175
Nuryati, S. (2009). Gaya Hidup dan
Mambangsari, C.W. (2012). Pengaruh Status Gizi serta Hubungannya
Program Edukasi Perawatan Kaki dengan Hipertensi dan Diabetes
Berbasis Keluarga terhadap Pera- Melitus Pada Pria dan Wanita
watan Kaki pada Pasien Diabetes Dewasa di DKI Jakarta. Tesis. Tidak
Mellitus tipe 2. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Pasca
diterbitkan. Bandung: Program Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Pendidikan Magister Program Studi
Keperawatan Nussbaum, M.C., & Sen, A.K. (1993).
The Quality of Life. Oxford:
Martalena, B. P. (1999). Pengaturan Clarendon Press
Makanan Diabetes. Pusat Diabetes
Yogyakarta Papalia, Olds, Feldman. (2009). Human
Development. Jakarta: Salemba
Maulana, M. (2008). Mengenal Diabetes
Melitus. Jogjakarta: Katahati Park-Shiner, A.C. (2009). Positive
Psychotherapy: Building a Model
Miller, S.M. & Schnoll, R.A. (2000) When of Empirically Supported Self-Help.
Seeing Is Feeling: A Cognitive- Dissertation. Pennsylvania: Facul-

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 229


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

ties Psychology of the University Prabowo, A. & Yuniardi, M.S. (2011).


Pennsylvania Pengaruh Group Positive Psycho-
therapy terhadap Psychological
Pebriartati, S. (2011). Pelatihan Pemaafan Well Being Mahasiswa. Dipresen-
untuk Meningkatkan Kesejahteraan tasikan di Konferensi Nasional,
Psikologis Wanita Bercerai. Tesis. Universitas YARSI, 5 November
Tidak diterbitkan. Yogyakarta: 2011
Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis
Pengantar Terapan Mikro dan
Pennebaker, J.W., & Chung, C.K. (2007). Makro. Jakarta: Penerbit Erlangga
Expressive Writing: connections to
physical and mental health. The Purnomosidi, I. (2014). Hubungan Inten-
University of Texas at Austin sitas Olahraga terhadap Psycholo-
gical Well-Being. Skripsi. Tidak
Perkeni. (2002). Konsesus Pengelolaan diterbitkan. Yogyakarta: Program
Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Studi Psikologi Universitas Islam
Indonesia 2002. PB PERKENI. Indonesia

Perwitasari, F. (2012). Pengaruh Konse- Ryan, R. M & Deci, E.L. 2001. On


ling “Kebermaknaan Hidup” ter- Happines and Human Potentials: A
hadap Kesejahteraan Psikologis Review of Research on Hedonic
Difabel. Tesis. Tidak diterbitkan. and Eudaimonic Well-Being.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Annual Reviews, 52, 141-166
Universitas Gadjah Mada
Ryff, C.D. and Keyes, L.M. (1995). The
Peseschkian, N. And K. Triit. (1998). Structure of Psychological Well-
Positive Psychotherapy: Effective- Being revisited. Journal of
ness Study and Quality Assurance. Personality and Social Psychogy,
The european journal of 69 (4), 719-727
psychotherapy, counseling &
health, 1, 42-53 _________. (1995). Psychological well-
being in adult life. Current
Pouwer, F., Snoek, F. J., Ploeg, H. M., Directions in Psychological
Ader, H. J. & Heine, R. J. (2001). Science, 57(6), 99-104
Monitoring of Psychological Well-
being in Outpatients with Diabetes. _________. (1989). Happiness Is
Diabetes Care, 24 (11) 1929-1935 Everything, or Is It? Explorations on

230 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 .....

the Meaning of Psychological Well Academy of Applied Psychology,


Being. Journal of Personality and 35(2), 227-232
Social Psychology, 57 (6), 1069-
1081 Skovlund, S.E., & Peyrot, M. (2005). The
Diabetes Attitudes, Wishes, and
Salami, S. O. (2010). Emotional Needs (DAWN) program: A new
Intelligence, Self-Efficacy, Psycho- approach to improving outcomes
logical Well-Being And Students’ of diabetes care. Diabetes
Attitudes: Implivations For Quality Spectrum. 18(3), 136-142
Education. European Journal of
Educational Studie, 2(3), 247-257 Taylor, S. E. 2006. Health Psychology.
New York: McGraw-Hill
Sam, A.D.P. (2007). Epidemiologi DM Companies, Inc.
dan isu mutakhirnya. http://www.
newparadigmforpublichealth.htm. Temane, Q.M & Wissing, M. P. 2006.
Diakses 2 Mei 2015 The Role of Subjective Perception
of Health in The Dynamics of
Sarafino, E.P. 1997. Health Psycholoogy; Context and PWB. South African
Biopsychological Interactions. Journal of Psychology. 36 (3), 564-
Third Edition. USA: John Wiley & 581
Sons, Inc.
Tjokroprawiro, A. (2006). Hidup Sehat
Seligman, M.E.P., Rashid, T., & Parks, dan Bahagia Bersama Diabetes
A.C. (2006). Positive Psycho- Militus. Edisi kesembilan. Jakarta :
therapy. Journal of American Gramedia Pustaka
Psychologist, 61, 774-788
Vazquez, dkk. (2009). Psychological
Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell, Well-Being and Health. Contri-
D. T. (2002). Experimental and butions of Positive Psychology.
Quasi-Experimental Designs for Annuary of Clinical and Health
Generalized Causa Inference. Psychology, (5) 15-27
Boston: Houghton Mifflin
Company Wardani, A. (2014). Cognitive Behavior
Therapy untuk Meningkatkan
Singh, B., & Udainiya R. (2009). Self- Kesejahteraan Psikologis Remaja
Efficacy and Well-Being of Gay. Tesis. Tidak diterbitkan.
Adolescents. Journal of the Indian Medan: Fakultas Psikologi Univer-
sitas Sumatera Utara

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015 | 231


Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih & Qurotul Uyun

Wardiyah, Malahatul. (2013). Group webdata/docs/WHO_IDF_definitio


Positive Psychotherapy untuk n_diagnosis_of_diabetes.pdf
Meningkatkan Kesejahteraan Psiko- [diakses 7 April 2015].
logis Remaja. Jurnal Sains dan
Praktik Psikologi, 1 (2), 139-152 Yalom, I.D. & Leszcz, Molyn. (2005).
The theory and practice of group
Winasis, E. B. (2009). Hubungan antara psychotherapy. New York : Basic
Konsep Diri dengan Depresi pada Books
Penderita Diabetes Mellitus di
Puskesmas Pracimantoro I Wono- Yulishati. (2014). Efektifitas Edukasi Dia-
giri. Skripsi. Tidak diterbitkan. betes Terpadu Untuk Meningkat-
Surakarta: Universitas Muham- kan Efikasi Diri Pasien Diabetes
madiyah Surakarta Mellitus Tipe 2. Tesis. Tidak
diterbitkan. Sumatera Utara:
World Health Organization. Definition Fakultas Keperawatan Sumatera
and diagnosis of diabetes mellitus Utara. http://repository.usu.ac.id/
and intermediate hyperglycemia. handle/ 123456789/42401 Diakses
Amerika Serikat; 2006. Tersedia tanggal 8 April 2015
pada: URL: http://www.idf.org/

232 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 7 No. 2 Desember 2015


Nama : Marsya Nurlita
Nim : 1824090158

Judul Penelitian PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS


PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2
DENGAN MENGGUNAKAN GROUP POSITIVE
PSYCHOTHERAPY

“IMPROVEMENT OF PSYCHOLOGICAL WELL-


BEING IN PATIENTS WITH TYPE 2 DIABETES
MELLITUS USING GROUP POSITIVE
PSYCHOTHERAPY “

Jurnal Jurnal Intervensi Psikologi

Volume dan Tahun Vol. 7 No. 2 Desember 2015

Nama Peneliti Rima Christine Sujana, Hepi Wahyuningsih, Qurotul Uyun

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan


kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe
2 dengan menggunakan group positive psychotherapy.
Subjek dalam penelitian ini adalah 12 penderita diabetes
mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
dengan usia antara 47-64 tahun, dan terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Penelitian ini menggunakan skala kesejahteraan
psikologis (22 aitem) yang mengacu pada dimensi-dimensi.
kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Analisis data
kuantitatif menggunakan teknik analisis parametrik one-way
repeated measures anova untuk melihat perbedaan
kesejahteraan psikologis kelompok eksperimen setelah subjek
diberikan terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada
perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok
eksperimen setelah diberikan terapi, dengan nilai Wilks’
Lambda = 0.153, p= 0.00 (p<0.01). Kesimpulan dari
penelitian ini bahwa group positive psychotherapy dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis penderita diabetes
mellitus tipe 2

Pendahuluan
Teori / Latar
/ Definisi belakang
dari variabel Kesehatan
Definisi merupakan
yang dipakai di hal penting
penelitian ini dalam
adalah :hidup manusia.
masalah
yang terlibat Ketika terkena penyakit, maka seseorang mulai menyadari
Diabetes mellitus disebut the great imitator karena diabetes
bahwa kesehatan mahal harganya. Berdasarkan data Dinas
mellitus termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi
Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013
pada bagian tubuh yang jika penanganannya tidak dilakukan
diketahui bahwa pola penyakit pada semua golongan umur
dapat menyebabkan kematian (Sam, 2007). Menurut
telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif,
Tjokroprawiro (2006), penyakit diabetes melitus dapat
terutama penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan,
menyerang semua organ tubuh berupa komplikasi penyakit,
neoplasma, kardiovaskuler dan diabetes mellitus. Laporan
seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, dan jantung. Seseorang
Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di Daerah
yang sudah dinyatakan memiliki diabetes mellitus harus
Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa
melakukan pengobatan seumur hidup. Diabetes mellitus
penyakit diabetes mellitus (7.434 kasus) masuk dalam urutan
merupakan penyakit yang paling kompleks dan menuntut
ke tiga dan ke lima dari distribusi 10 besar penyakit berbasis
banyak perhatian maupun usaha dalam pengelolaannya
STP Puskesmas (DepKes, 2013). Diabetes mellitus disebut
dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, karena
the great imitator karena diabetes mellitus termasuk penyakit
penyakit diabetes tidak dapat diobati namun hanya dapat
yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang jika
dikelola (Kusumadewi, 2011). Pengelolaan diabetes mellitus
penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian
meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
(Sam, 2007). Menurut Tjokroprawiro (2006), penyakit
intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi
diabetes melitus dapat menyerang semua organ tubuh berupa
terpadu (Yulishati, 2014). Hayes dan Ross (Temane &
komplikasi penyakit, seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke,
Wissing, 2006) mengemukakan bahwa kesejahteraan
dan jantung. Seseorang yang sudah dinyatakan memiliki
psikologis dapat dipredikisi oleh kesehatan fisik yang baik.
diabetes mellitus harus melakukan pengobatan seumur hidup.
Dikemukakan oleh Karlsen (2002) bahwa penyakit diabetes
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang paling kompleks
mellitus khususnya tipe 2 menuntut seseorang untuk
dan menuntut banyak perhatian maupun usaha dalam
melakukan perubahan dalam gaya hidupnya terkait dengan
pengelolaannya dibandingkan dengan penyakit kronis
diet dan olahraga yang harus dilakukan serta melakukan
lainnya, karena penyakit diabetes tidak dapat diobati namun
pengobatan oral secara rutin. Kesehatan fisik mempengaruhi
hanya dapat dikelola (Kusumadewi, 2011). Diabetes mellitus
kesejahteraan psikologis individu. Hal ini senada dengan
merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang harus
dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi komplikasi
lebih lanjut. Pengelolaan diabetes mellitus meliputi edukasi,
faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
yang dikemukakan oleh Mirowsky dan Ross (1999) yang
meliputi emosi dan kesehatan serta fungsi fisik, pekerjaan,
pernikahan, anakanak, kondisi masa lalu seseorang terutama
pola asuh keluarga, dan faktor kepercayaan. Menurut Parks-
Sheiner (2009), Group positive psychotherapy merupakan
intervensi untuk mencapai target hidup yang menyenangkan,
keterlibatan dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup.

Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah group positive


psychotherapy mampu meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dan
kelompok yang mendapatkan intervensi group positive
psychotherapy lebih tinggi tingkat kesejahteraan psikologis
dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan
group positive psychotherapy.

Sampel / Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah penderita diabetes
mellitus tipe 2 yang berada di bawah wilayah kerja
Puskesmas Ngemplak 1 dan Ngemplak 2, Sleman. Adapun
kriteria subjek penelitian adalah memiliki diagnosa penyakit
diabetes mellitus tipe 2, laki-laki atau perempuan berusia 47-
64 tahun dengan alasan bahwa penyakit diabetes mellitus tipe
2 diderita antara usia pertengahan dan usia lanjut dengan
serangan awal terjadi setelah usia 40 tahun, memiliki
kemampuan baca dan tulis, tidak sedang mengikuti intervensi
psikologis apapun, memiliki skor kesejahteraan psikologis
dengan kategori sedang, rendah dan sangat rendah, serta
bersedia mengikuti rangkaian penelitian dari prates hingga
tindak lanjut.
Desain Penelitian / Rancangan Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
Eksperimen kuasi eksperimen. Partisipan yang diambil adalah partisipan
yang memenuhi salah satu atau dua kriteria sekaligus, yaitu
masuk dalam kategori sedang, rendah, dan sangat rendah di
dalam skala kesejahteraan psikologis. Pada penelitian ini
metode eksperimen dilakukan dengan memberikan perlakuan
berupa group positive psychotherapy untuk melihat
peningkatan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes
mellitus tipe 2.

Metode Pengambilan Data Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan


pengumpulan data adalah dengan menggunakan observasi,
wawancara, dan skala kesejahteraan psikologis. Skala yang
digunakan merupakan skala yang dimodifikasi dari skala
yang pernah ada dan dibuat oleh peneliti sebelumnya. Skala
kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan dimensi-
dimensi kesejahteran psikologis yang dikemukakan oleh Ryff
(1989), yaitu penerimaan diri, relasi positif dengan sesama,
otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan
pertumbuhan pribadi. Skala kesejahteraan psikologis ini
terdiri atas 29 aitem favorable dan unfavorable. Setiap
pernyataan dalam skala kesejahteraan psikologis ini meminta
respon dari subjek dengan memilih salah satu alternatif
jawaban yang telah disediakan. Skala ini disusun berdasarkan
skala Likert yang terdiri atas 4 alternatif jawaban, yaitu
sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat
tidak sesuai (STS). Hasil uji coba skala kesejahteraan
psikologis menunjukkan bahwa dari 29 butir pernyataan, 22
butir dinyatakan sahih dan 7 butir dinyatakan gugur.
Koefisien korelasi untuk skala yang sahih bergerak antara
0,319 hingga 0,682. Hasil uji coba reliabilitas skala
kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa koefisien
korelasi sebesar 0,855.
Pelaksanaan Penelitian Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini yaitu:
Pertama, perijinan tempat untuk melakukan screening.
Kedua, screening menggunakan skala penelitian kepada
orang dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Hasil skala dengan
kategori sedang dan rendah serta memenuhi kriteria dipilih
menjadi subjek penelitian. Data ini juga digunakan sebagai
prates. Ketiga, wawancara untuk menggali permasalahan dan
pemberian Informed Consent kepada subjek penelitian.
Keempat, penentuan kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen. Kelima, seleksi fasilitator dan ko-fasilitator,
serta observer. Kelima, pelaksanaan intervensi Group
Positive Psychotherapy pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi.

Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis data.
Teknik analisis data parametrik yang digunakan adalah one-
way repeated measures anova , yaitu teknik analisis untuk
melihat apakah ada perubahan (prates-pascates-tindak lanjut)
pada kelompok eksperimen. Selain itu dilakukan juga uji
independent sample test untuk membandingkan kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Analisis dari variabel-
variabel tersebut dilakukan dengan program komputer SPSS
(Statistical Product and Service Solution) for windows.
Hasil Penelitian Jumlah subjek penelitian pada kelompok eksperimen
sebanyak 6 penderita diabetes mellitus tipe 2, berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan. Subjek yang masuk ke
dalam kelompok eksperimen merupakan anggota terapi yang
dilakukan selama 3 kali pertemuan. Penelitian ini melakukan
pengukuran sebanyak tiga kali, yaitu sebelum intervensi
dilakukan (prates), setelah intervensi diberikan (pascates) dan
2 minggu setelah intervensi diberikan (tindak lanjut). Hasil
pengukuran pascates menunjukkan semua kelompok
eksperimen mengalami peningkatan skor kesejahteraan
psikologis setelah diberikan intervensi berupa group positive
psychotherapy. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 1
subjek yang mengalami peningkatan skor, 2 subjek yang
mendapatkan skor tetap, dan 3 subjek yang mengalami
penurunan skor. Berdasarkan tabel analisis statistik diketahui
bahwa rata-rata skor pada prates kelompok eksperimen
sebesar 49.33 dan kelompok kontrol 50.67. Hal ini berarti
bahwa rata-rata skor pada kelompok kontrol lebih tinggi dari
kelompok eksperimen. Sedangkan, setelah terapi (pascates)
diketahui bahwa rata-rata skor kelompok eksperimen lebih
tinggi dibanding kelompok control, yaitu 58.33 berbanding
50.33. Hal ini juga dialami pada tahap tindak lanjut, rata-rata
skor kelompok eksperimen (57.00) lebih tinggi dibanding
rata-rata skor kelompok kontrol (49.33). Hasil uji normalitas
dari skala kesejahteraan psikologis diperoleh nilai K-SZ =
0.631 dan p = 0.821 sehingga penyebaran data skala
kesejahteraan psikologis dapat dikatakan normal. Hasil uji
homogenitas pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol pada penelitian ini memperoleh nilai levene statistic =
0.833 dan nilai p = 0.383 berarti nilai p>0.05 sehingga dapat
dikatakan bahwa proporsi kedua kelompok adalah homogen.
Pada tabel analisis statistik, nilai Wilks’ Lambda = 0.153, p=
0.00 (p<0.01) menunjukkan ada perubahan secara sangat
signifikan pada skor kesejahteraan psikologis kelompok
ekperimen dalam tiga kali pengukuran. Hal ini berarti bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara skor prates dengan
pascates pada kelompok eksperimen, dan juga terdapat
perbedaan yang signifikan antara skor prates dengan tindak
lanjut pada kelompok eksperimen. Perbedaan antara skor
prates-pascates-tindak lanjut yang dimaksud yaitu terjadi
perubahan skor prates-pascates yang semakin meningkat
berdasarkan nilai Mean kelompok eksperimen dari 49.33
menjadi 58.33. Pada tindak lanjut diperoleh Mean 57.00.
Kedua Mean terlihat lebih tinggi jika dibandingkan dengan
Mean prates. Nilai Partial Eta Square pada baris diperoleh
nilai 0.847, hal ini berarti bahwa sumbangan efektif sebesar
84,7. Ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol setelah terapi diberikan,
dengan nilai p=0.000 (p<0.01) pada saat prates-pascates dan
p=0.001 (p<0.01) pada saat prates-tindak lanjut.

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat


disimpulkan bahwa group positive psychotherapy dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis pada penderita
diabetes mellitus tipe 2. Kelompok yang mendapatkan
intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat
kesejahteraan psikologis dibandingkan dengan kelompok
yang tidak mendapatkan group positive psychotherapy.

https://pdfs.semanticscholar.org/9e81/606d0720f0f786e5b38f96f7287386a90e1
8.pdf
EMPATHY CARE TRAINING UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU MEMAAFKAN
PADA REMAJA AKHIR

EMPATHY CARE TRAINING FOR INCREASE FORGIVENESS ON LAST-ADOLESCENSE

Rifka Annisa
Anggia K.E. Marettih
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru
Email: rifkaannisacha23@gmail.com

ABSTARCT

This study aimed to have know influence empathy care training for increase forgiveness on last-
adolescense. This research experiment is true experiment use two group pretest-posttest control group
design between subject. Subject of the research are 16 last-adolescence which 8 into experiment group
and 8 into control group. The data were collected by using forgiveness scale (Nashori, 2012). The result of
Mann Whitney U Test analiysis showed value Asymp. Sig. (2 tailed) 0,020 (p<0.05) with value Z score -
2.329. It is mean, empathy care training can increase forgiveness to last-adolescense. The result of
Wilcoxon Signed Rank Test on experiment group showed value Asymp. Sig. (1 tailed) 0,046 (p<0,05) it is
mean there is different at pretest-posttest score. Empathy care training can help last-adolescense increase
empathy that so able to describe reflect on position other people guilty also chosen to make a peace with
guilty individu and then can increase forgiveness.

Keyword: forgiveness, empathy care training, last-adolescense.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh empathy care training dalam meningkatkan
perilaku memaafkan pada remaja akhir. Jenis penelitian eksperimen murni dengan desain between subject
randomized two group pretest-posttest control group design. Subjek berjumlah 16 orang yang
dikelompokkan secara acak menjadi 8 orang kelompok eksperimen dan 8 orang kelompok kontrol. Data
penelitian dikumpulkan melalui skala perilaku memaafkan oleh Nashori (2012). Dari hasil analisis Mann
Whitney U Test di peroleh nilai Asymp. Sig. (2 tailed) sebesar 0,020 (p<0,05) dengan nilai Z Score sebesar
-2.329. Artinya, empathy care training dapat meningkatkan perilaku memaafkan pada remaja akhir. Dari
hasil analisis Wilcoxon Signed Rank Test pada kelompok eksperimen diperoleh nilai Asymp. Sig. (1 tailed)
sebesar 0,046 (p<0,05) yang artinya terdapat perbedaan antar skor prates dengan pascates pada kelompok
eksperimen. Empathy care training dapat membantu remaja meningkatkan empati sehingga mampu
membayangkan jika berada di posisi individu yang bersalah serta lebih memilih untuk berdamai dengan
individu yang bersalah sehingga dapat meningkatkan perilaku memaafkan pada remaja.

Kata kunci: Perilaku Memaafkan, Empati, Empathy Care Training, Remaja Akhir.

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 285


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

Dalam melakukan hubungan so- teman sebaya, dan menghadapi kondisi


sial, individu kadang-kadang berbuat serta harapan baru. Hal ini menyebab-
salah kepada individu lain. Pada sisi kan remaja mengalami kegagalan dalam
lain, individu tentu pernah mengalami menyelesaikan masalah yang dihadapi-
perlakuan dan situasi yang mengecewa- nya. Oleh sebab itu masa remaja sering
kan atau menyakitkan. Remaja adalah dikatakan sebagai usia bermasalah.
salah satu masa yang dilewati oleh Masalah-masalah yang terjadi pada
individu. Sebagai individu yang beranjak remaja sering menjadi masalah yang
dewasa, remaja juga melakukan interaksi sulit untuk diatasi juga dikarenakan para
dengan individu lain untuk melakukan remaja merasa mandiri dan memiliki
hubungan sosial demi kelangsungan teman sebaya yang lebih mengerti akan
dalam menyesuaikan diri dengan ling- dirinya sehingga mereka ingin mengatasi
kungan. masalahnya sendiri dan menolak ban-
Hurlock (2011) membagi masa tuan keluarga, orangtua dan guru.
remaja menjadi masa remaja awal dan Namun, hubungan pertemanan sebaya
remaja akhir, sedangkan pemisah antara ini tidak berlangsung lama dan harmo-
usia remaja awal dan akhir terletak pada nis, karena secara emosi setiap remaja
usia 17 tahun hingga usia awal dewasa memiliki sifat egosentris yang tinggi dan
ketika remaja sudah hampir memasuki ingin menang sendiri sehingga memicu
dunia kerja orang dewasa. Sementara terjadinya konflik selama periode masa
usia dewasa awal, menurut Hurlock, remaja. Tidak sedikit dari hubungan
berada pada usia 21 tahun, sehingga pertemanan remaja berakhir pada kon-
pada penelitian ini peneliti mengguna- flik, kekecewaan, ataupun menyakitkan
kan usia remaja akhir dengan batas usia hati.
dari 17 tahun hingga 21 tahun. Hurlock (2011) mengungkapkan
Hurlock (2011) menyatakan bah- sebagai pihak yang sudah beranjak ke
wa keadaan emosi remaja berada pada masa dewasa remaja dituntut memiliki
periode badai dan tekanan (storm and kemampuan untuk dapat mereduksi dan
stress), yaitu suatu masa di mana mengelola emosi, mampu menunjukkan
ketegangan emosi meninggi sebagai emosio yang stabil, dan mampu meng-
akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. gambarkan berbagai situasi dan rang-
Meningginya emosi remaja karena sangan yang dapat menimbulkan reaksi
remaja berada di bawah tekanan sosial, emosional. Salah satu caranya adalah

286 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

dengan membicarakan masalah atau per- kalanya memaafkan pada remaja sering
tikaian yang terjadi dengan individu lain, kali terjadi hanya sekedar memaafkan
sehingga remaja tidak lagi menyimpan dari mulut saja tanpa memaafkan setulus
perasaan sakit dari perasaan sendiri, hati. Hal ini karena periode dan kondisi
mampu melepaskan semua amarah, dan emosi remaja yang masih labil. Remaja
tidak lagi mempunyai perasaan untuk mudah marah dan mudah memaafkan
membalas semua sakit hati, sehingga juga, tetapi banyak remaja yang tidak
dapat membangun kembali relasi yang memahami makna memaafkan yang
baik dengan individu yang bersalah yang sebenarnya sehingga mudah kembali
ditunjukkan dengan perilaku memaaf- mengalami konflik.
kan. Berdasarkan American Psycholo-
Penyelesaian konflik antar pribadi gical Association (2006), diketahui me-
dan merajut hubungan yang telah retak maafkan adalah suatu proses tindakan
bukanlah hal yang sederhana. Memaaf- sebagai upaya yang dilakukan seseorang
kan merupakan cara yang efektif untuk untuk melibatkan diri dengan mengubah
mengatasi permasalahan antar individu emosi negatif dan menunjukkan perilaku
karena di dalam memaafkan melibatkan pengampunan dan tidak membalas kepa-
empat proses, yaitu pengetahuan, pema- da individu yang menyakiti. Perilaku
haman, memberikan kesempatan kepada memaafkan itu sendiri dapat dibedakan
individu yang bersalah untuk memper- dari melupakan, membalas orang lain
baikinya, dan berakhir pada memberikan dengan setimpal dengan perbuatannya
maaf (Hargrave, 1994). Memaafkan atau rekonsiliasi. McCullough, Rachal,
dapat diartikan sebagai suatu kondisi dan Worthington (1997) mengungkap-
saat remaja telah siap untuk menerima kan bahwa perilaku memaafkan adalah
dan melepaskan rasa sakit hati atau konsep dasar yang menghambat sese-
kekecewaan yang dialami. Hal ini ditan- orang untuk tetap mempertahankan per-
dai oleh adanya keikhlasan hati untuk musuhan maupun upaya balas dendam.
dapat melepaskan semua perasaan Perilaku memaafkan pada akhirnya akan
terluka, sakit hati, meninggalkan ke- meningkatkan motivasi pada diri sese-
marahan dan balas dendam, sehingga orang untuk melakukan konsiliasi yang
dapat mencapai suatu perdamaian dan bersifat lebih konstruktif bagi pihak yang
membina kembali hubungan dengan bertikai. Sementara itu Nashori (2012)
individu yang bersalah. Namun, ada mengungkapkan bahwa pemaafan (for-

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 287


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

giveness) adalah kesediaan untuk me- siliasi hubungan, (f) Motivasi kebaikan
ninggalkan hal-hal yang tidak menye- atau kemurahan hati, dan (g) Musya-
nangkan yang bersumber dari hubungan warah dengan pihak yang pernah jadi
interpersonal dengan orang lain dan pelaku.
menumbuhkembangkan pikiran, perasa- Dalam memaafkan idealnya sikap
an, dan hubungan interpersonal yang dan perasaan negatif digantikan oleh
positif dengan orang lain yang mela- sikap dan perasaan positif, namun pada
kukan pelanggaran secara tidak adil. kenyataannya hal ini tidak mudah di-
Nashori membagi pemaafan dalam tiga lakukan, apalagi secara cepat. Selalu ada
dimensi, yaitu emosi, kognisi, dan inter- persoalan psikologis di antara dua pihak
personal. Disebutkan oleh Nashori yang pernah mengalami keretakan hu-
(2011) dan Nashori, Iskandar, Setiono, bungan akibat suatu kesalahan. Oleh
dan Siswadi (2013), dimensi emosi meli- karena itu, memaafkan sejatinya bukan
puti indikator-indikator (a) Meninggal- melupakan kesalahan individu yang
kan perasaan marah, sakit hati, benci, (b) berbuat salah, tetapi membiarkan pera-
Mampu mengontrol emosi saat diperla- saan negatif menjadi sebuah pemaham-
kukan tidak menyenangkan, (c) Perasa- an untuk berubah ke perasaan positif
an iba dan kasih sayang terhadap pe- (Doverspike, 2001).
laku, dan (d) Perasaan nyaman ketika Untuk sampai kepada tahap peri-
berinteraksi dengan pelaku. Dimensi laku atau tindakan memaafkan, individu
kognisi meliputi indikator-indikator (a) melibatkan aspek kognitif dan afektif.
Meninggalkan penilaian negatif terhadap Salah satu aspek afektif dan kognitif yang
pelaku, (b) Memiliki penjelasan nalar berpengaruh terhadap perilaku memaaf-
atas perlakuan yang menyakitkan, (c) kan adalah empati. Berdasarkan hasil
Memiliki pandangan yang berimbang penelitian yang telah dilakukan oleh
terhadap pelaku. Selanjutnya, dimensi Kurniati (2009) ditemukan bahwa ter-
interpersonal meliputi indikator-indika- dapat hubungan yang positif signifikan
tor (a) Meninggalkan perilaku atau per- antara empati dan memaafkan. Studi
kataan yang menyakitkan terhadap pela- yang mengaitkan dimensi pengambilan
ku, (b) Meninggalkan keinginan balas sudut pandang dan kepedulian empatik
dendam, (c) Meninggalkan perilaku acuh menunjukkan korelasi yang signifikan
tak acuh, (d) Meninggalkan perilaku berarah positif dengan memaafkan.
menghindar, (e) Upaya konsiliasi/rekon- Menurut Carre, Stefaniak, Richard, Ben-

288 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

salah, dan D’Ambrosio (2013), empati liki hubungan yang signifikan dengan
merupakan kemampuan memahami kematangan emosi untuk prilaku pro-
pandangan dan perasaan orang lain serta sosial pada remaja. Kematangan emosi
kemampuan merasakan emosi dan yang dimaksud adalah remaja mampu
memahami penyebab terjadinya emosi mengelola emosi dengan baik yang
yang dirasakan orang lain. Melalui ditunjukkan tidak membalas rasa sakit
empati remaja dapat memahami, me- hati kepada individu yang telah
rasakan, menghayati orang lain karena menyakiti. Selain itu, berdasarkan hasil
dalam proses empati ini berlangsung penelitian yang dilakukan Untari (2014)
proses pengertian dan perasaan yang diketahui bahwa terdapat sumbangan
dinyatakan dalam bentuk hubungan efektif yang diberikan variabel empati
antar pribadi. Riess, Kelley, Bailey, terhadap sikap pemaaf. Hal ini membuk-
Dunn, dan Phillips (2011) mengemuka- tikan bahwa empati memengaruhi pe-
kan empati adalah kemampuan individu maafan pada remaja putri yang meng-
yang melibatkan proses kognitif dan alami kekerasan dalam berpacaran.
afektif yang memungkinkan individu Dalam penelitian ini, peneliti meng-
untuk menempatkan diri berada diposisi hubungkan empati dan perilaku me-
dan emosional orang lain. Kemampuan maafkan.
empati tersebut berupa respon emosio- Remaja yang memiliki kemam-
nal yang sangat menyerupai respon puan empati yang tinggi juga berarti
emosional orang lain tanpa individu memiliki kemampuan yang tinggi dalam
kehilangan kontrol dirinya (Taufik, memahami perasaan individu lain, ber-
2012). pikir dan merasakan keadaan individu
Pada remaja akhir, kemampuan lain. Kaitannya dengan perilaku memaaf-
empati merupakan kemampuan yang kan, remaja akhir yang memiliki empati
efektif dalam memaafkan atau memberi akan mampu memahami, merasakan,
maaf kepada orang lain yang telah mem- menghayati perasaan orang lain karena
buat luka, menyakiti, atau mengecewa- dalam proses empati ini berlangsung
kan. Hasil penelitian Asih dan Pratiwi proses pengertian dan perasaan yang di-
(2010) mengungkapkan bahwa empati nyatakan dalam bentuk hubungan antar
dapat mendorong individu khususnya pribadi. Hal tersebut akan mendorong
remaja untuk melakukan perilaku remaja dengan mudah untuk melepas-
prososial. Selain itu empati juga memi- kan rasa mengecewakan, menyakitkan,

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 289


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

dan perasaan luka yang disebabkan oleh merupakan perpaduan antara pengetahu-
individu lain yang berujung pada me- an biofisik dengan pengetahuan me-
maafkan atau memberi maaf. Karena ngenai perilaku orang lain. Emphaty care
remaja yang empati juga akan merasa- training berupa kegiatan pelatihan yang
kan keadaan individu yang menyakitinya berisi rangkaian sesi berupa pemberian
bila seandainya tidak dimaafkan. Dalam materi dan pengetahuan dengan metode
sikap empati remaja, juga dipengaruhi seminar. Selain pemberian materi terkait
oleh kesadaran individu untuk lebih empati dan perilaku memaafkan, dalam
memperbaiki hubungan yang telah pelatihan ini remaja akhir juga akan
rusak. bermain peran sehingga emosi remaja
Menurut Borba (Taufik 2012), akhir dapat terlibat langsung dan kognitif
setiap individu mempunyai kemampuan remaja dapat berfikir bagaimana hu-
yang berbeda-beda dalam berempati. bungan empati dengan perilaku memaaf-
Pada dasarnya empati muncul secara kan dan mengaplikasikannya dalam
alami sejak masih bayi, namun belum bentuk perilaku mudah memaafkan.
ada jaminan yang pasti bahwa Pelatihan ini mengacu pada aspek-aspek
kemampuan empati ini akan terus empati oleh Davis (1980), yaitu perspec-
berkembang dengan baik. Dengan tive taking, fantasy, emphatic concern,
begitu kemampuan pada empati juga and personal distress. Emphaty care
dapat ditingkatkan atau dikembangkan. training (selanjutnya disingkat ECT) ini
Jika remaja akhir memiliki kemampuan dilakukan dengan tujuan sebagai pelatih-
empati yang tinggi, maka hal itu juga an yang di dalamnya terdapat berbagai
akan meningkatkan perilaku memaafkan. kegiatan yang mengacu pada aspek-
Salah satu cara yang dapat aspek empati. Oleh karena itu, adanya
meningkatkan perilaku memaafkan pada ECT dapat membantu remaja akhir atau
remaja akhir adalah dengan Emphaty mahasiswa yang berada pada usia rema-
Care Training. Care dalam artian ja akhir untuk meningkatkan kemam-
penelitian ini adalah suatu sikap rasa puan empati sehingga akan berdampak
peduli, hormat, menghargai orang lain, dengan meningkatnya perilaku memaaf-
dan mengerti perasaan orang lain kan.
(ichapiiz.blogspot.com/2012). Tentu saja Dari penjelasan atau pemaparan
maksud dan arti care ini memiliki artian latar belakang yang telah diuraikan ECT
yang sama dengan empati, karena caring dinilai penting untuk membantu remaja

290 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

akhir dalam memahami kondisi atau kelompok pembanding (Latipun, 2004).


perasaan orang lain, menempatkan po- Desain penelitian yang digunakan dalam
sisi diri di posisi orang lain sehingga penelitian ini adalah between subject
mendorong remaja akhir untuk dapat randomized pretest-posttest control
memaafkan dengan tulus. Adanya ECT group design. Disebut desain between
ini diharapkan dapat meningkatkan subject karena pengaruh VB terhadap VT
kemampuan empati pada remaja akhir. diketahui dari perbedaan skor VT antara
Dengan begitu remaja akhir juga akan kelompok-kelompok subjek, sedangkan
dengan mudah menggantikan emosi Randomized dilakukan untuk membagi
negatif ke emosi positif kepada individu subjek ke dalam kelompok eksperimen
yang menyakitinya sehingga mampu dan kelompok kontrol dari sampel yang
memaafkan tidak hanya sekedar di mulut telah setara. Penelitian ini terdiri atas
saja tetapi dengan setulus hati untuk kelompok yang diberi perlakuan yaitu
mencapai kepuasan hidup. Untuk itu kelompok eksperimen dan kelompok
pada penelitian ini, penulis ingin melihat tanpa perlakuan yaitu kelompok kontrol.
pengaruh emphaty care training untuk Prates dilakukan sebelum mendapatkan
meningkatkan perilaku memaafkan pada perlakuan dan pascates dilakukan sete-
remaja akhir. lah mendapatkan perlakuan (Latipun,
Berdasarkan penjelasan di atas, 2004).
dapat dirumuskan hipotesis penelitian,
yaitu ada pengaruh emphaty care Subjek Penelitian
training dalam meningkatkan perilaku Populasi dalam penelitian ini
memaaafkan pada remaja akhir. adalah seluruh mahasiswa-mahasiswi
UIN Suska Riau yang berada pada
METODE PENELITIAN rentang usia remaja akhir. Adapun
kriteria yang akan menjadi populasi
Desain Eksperimen dalam penelitian ini adalah (a) Maha-
Penelitian ini menggunakan true siswa-mahasiswi yang berada pada usia
experiment (eksperimen murni). Diguna- remaja akhir berdasarkan Hurlock
kannya eksperimen murni dalam pene- (2011), yaitu usia 17-21 tahun, (b)
litian ini karena pengelompokan subjek Memiliki skor perilaku memaafkan yang
dilakukan secara random dan men- sedang hingga sangat rendah yang
jadikan kelompok kontrol sebagai ditunjukkan dari hasil skala perilaku

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 291


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

memaafkan dari Nashori (2012) melalui Nilai reliabilitas menunjukkan bahwa


screening, dan (c) Memiliki seorang atau skala perilaku memaafkan memiliki
lebih teman dekat yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas yang tinggi karena
tulisan essay calon subjek mendekati angka 1,00, yaitu 0,86
Subjek penelitian ini adalah calon sehingga dapat digunakan sebagai alat
subjek yang telah memenuhi kriteria ukur dalam penelitian ini. Sementara itu
sebagai subjek penelitian yang telah validasi modul eksperimen dilakukan
terjaring melalui proses screening. Dari oleh beberapa validator yang merupakan
23 orang calon subjek yang di screening, dosen yang berpengalaman dan ahli
ada 16 orang yang sesuai kriteria untuk dalam penelitian eksperimen. Selain itu,
menjadi subjek penelitian. Sebanyak 16 dalam penelitian ini peneliti melakukan
orang tersebut dibagi secara acak 8 validitas internal dan eksternal.
orang untuk kelompok eksperimen dan
8 orang untuk kelompok kontrol. Prosedur Intervensi
Empathy care training (ECT) ada-
Teknik Pengumpulan Data lah suatu bentuk kegiatan pelatihan em-
Dalam penelitian ini untuk meng- pati yang dirancang untuk meningkatkan
ukur perilaku memaafkan pada remaja empati pada remaja akhir. ECT dilaku-
akhir digunakan skala perilaku memaaf- kan dengan metode seminar yang di-
kan. Skala perilaku memaafkan yang dalamnya terdapat pemberian experien-
digunakan merupakan modifikasi dari ce sheet, penayangan film serta game.
skala Nashori (2012) yang disusun ber- ECT ini dirancang berdasarkan aspek-
dasarkan model skala likert dengan aspek empati oleh Davis (1980) yaitu
menggunakan empat alternatif pilihan perspective taking, fantasy, empathic
jawaban, yaitu SL (Selalu), SR (Sering), concern, dan personal distress.
KD (Kadang-kadang), TP (Tidak pernah). ECT merupakan pelatihan yang
Berdasarkan uji coba alat ukur bertujuan untuk meningkatkan empati
terhadap 272 orang subjek pada skala yang akan berpengaruh terhadap peri-
perilaku memaafkan dari 27 aitem laku memaafkan. Dalam penelitian ini
diperoleh 22 aitem yang sahih dan 5 sasaran dai ECT adalah remaja akhir.
aitem yang gugur dengan koefisien Empati dianggap sebagai komponen uta-
korelasi daya beda aitem > 0,30 dengan ma dalam memaafkan, karena memaaf-
bantuan komputasi program SPSS 18. kan erat kaitannya dengan prilaku pro-

292 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

sosial. Beberapa peneliti menetapkan menyakitkan, benteng diri untuk me-


bahwa di dalam ECT di dalamnya peri- nyembuhkan luka, mengetahui bagai-
laku prososial dan memahami perasaan mana memaafkan yang sesungguhnya.
individu lain. Adapun komponen dari Sesi ini berlangsung selama 30 menit.
ECT dengan menggunakan pendekatan Sesi II, yaitu think and fell, berisi
empati, yaitu (a) Pelatihan persepsi yang pembahasan mengenai perspective
melibatkan kognitif dan respon emosi taking. Output yang hendak dicapai
untuk menilai baik individu lain dan dalam sesi ini adalah kemampuan rema-
menjaga hubungan interpersonal. (b) ja akhir untuk berfikir dan merasakan di
Pelatihan mengenali dan fokus pada posisi orang lain. Komponen ini men-
perasaan orang lain, karena jika individu cakup: mengenali perasaan sendiri, me-
telah mampu mengenali perasaan sendi- ngenali perasaan orang lain, mengana-
ri akan dengan mudah bagi individu lisis kesalahan sendiri dan orang lain,
untuk mengenali dan memahami pera- menganalisis perasaan sendiri dan orang
saan orang lain. (c) Fokus pada per- lain. Sesi ini berlangsung selama 35
samaan antar perasaan sendiri dan menit.
perasaan orang lain. Pada komponen ini Sesi III, yaitu I and my own, berisi
pelatihan berfokus bagaimana individu pembahasan mengenai imagery. Sesi ini
mampu merasakan adanya perasaan untuk mencapai kemampuan remaja
yang sama antara dirinya dan individu akhir untuk mengubah diri secara ima-
yang telah menyakitinya, sehingga akan jinatif untuk memahami perasaan orang
sangat efektif untuk memunculkan lain, di dalamnya mencakup: Meng-
empati. andaikan karakter imajinasi dengan diri
ECT terdiri atas 5 sesi, yaitu sendiri, kontrol emosi, dan kesadaran
knowing, think and fell, I and my own, I diri. Sesi ini diberikan selama 35 menit.
care to other, dan personal distress. Sesi Sesi IV, yaitu I care to other, berisi
I, yaitu knowing, berisi pengenalan ECT pembahasan mengenai empathic con-
dan perilaku memaafkan. Dalam sesi ini cern. Output yang hendak dicapai dalam
output yang hendak dicapai adalah sesi ini adalah Kemampuan remaja akhir
Remaja akhir dituntut untuk mampu untuk memiliki perasaan simpati kepada
mengenali semua hal-hal yang berkaian orang lain. Aspek ini juga mencakup:
dengan perilaku memaafkan. Termasuk Komunikasi interpersonal, sikap prihatin,
menge-nai mengetahui perasaan terluka/

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 293


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

sikap simpati. Sesi ini diberikan selama eksperimen dan kelompok kontrol. Ana-
30 menit. lisis data dalam penelitian ini meng-
Sesi V, yaitu personal distress, gunakan program SPSS (Statistical of
berisi pembahasan mengenai kecemasan Package for Social Science) 18 for
individu pada diri sendiri terhadap hu- windows. Selain itu, untuk melihat
bungan interpersonalnya dengan indivi- perbedaan kedua kelompok pada
du yang bersalah. Output yang hendak pengukuran prates-pascates dalam pene-
dicapai dalam sesi ini adalah kemam- litian ini digunakan analisis Wilcoxon
puan remaja akhir untuk menghadapi Signed Rank Test. Sumber data analisis
kecemasan yang berorientasi pada diri Wilcoxon Signed Ranks Test adalah skor
sendiri terhadap kualitas interpersonal. prates dan pascates kelompok ekspe-
Di dalam aspek ini mencakup: Menge- rimen dan kelompok kontrol.
lola emosi dan mengelola perasaan. Sesi
ini berlangsung selama 30 menit. HASIL PENELITIAN
Pada setiap sesi, subjek diminta
untuk merefleksikan kembali apa yang Sebelum dilakukannya analisis sta-
telah diberikan oleh fasilitator dengan tistik terkait proses pengukuran hasil
menuliskannya ke dalam kertas yang eksperimen yang telah dilakukan, dibu-
telah disediakan. Selain itu, subjek juga tuhkan acuan normatif yang akan memu-
diminta untuk bermain game yang telah dahkan pengguna memahami hasil
dirancang peneliti bertujuan sebagai pengukuran (Azwar, 2013). Untuk
aplikasi dari materi yang akan atau telah memudahkan hasil pengukuran, peneliti
diberikan oleh fasilitator. membuat kategorisasi pada skala peri-
laku memaafkan. Tujuan kategorisasi
Teknik Analisis Data adalah untuk menempatkan individu ke
Teknik analisis data yang diguna- dalam kelompok-kelompok yang posisi-
kan untuk menguji hipotesis dalam nya berjenjang menurut suatu kontinum
penelitian ini adalah teknik analisis berdasarkan atribut yang diukur (Azwar,
independent sample t-test dengan teknik 2013). Pengkategorisasian sama dengan
Mann-Whitney U Test. Mann-whitney U memberikan ranking dari skor yang
Test bertujuan untuk melihat analisis tertinggi hingga ke terendah, melalui
dua kelompok yang independen. ranking dapat membantu peneliti untuk
Analisis dilakukan pada kelompok membedakan skor tiap subjek (Field,

294 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

2009). Pengkategorisasian subjek peneli- sedang, tinggi, dan sangat tinggi dengan
tian dikelompokkan menjadi lima kate- ketentuan sebagai berikut:
gorisasi, yaitu sangat rendah, rendah,

Tabel 1. Norma Kategorisasi


Kategori Norma Interval
Sangat Rendah X ≤ µ - 1,5 SD 22-39
Rendah µ - 1,5 SD < X ≤ µ - 0,5 SD 40-50
Sedang µ - 0,5 SD < X ≤ µ + 0,5 SD 51-60
Tinggi µ + 0,5 SD < X ≤ µ + 1,5 SD 61-70
Sangat Tinggi X > µ + 1,5 SD 72-88
Keterangan : µ = mean
SD = standar deviasi

Pada skala perilaku memaafkan lah (88 + 22) : 2 = 55, dan standar
terdapat 22 aitem dengan skor 1-4, deviasinya adalah (88 – 22) : 6 = 11.
sehingga nilai terendah (minimal) adalah Berikut dinamika perubahan skor peri-
1 x 22 = 22, sedangkan nilai tertinggi laku memaafkan subjek pada peng-
(maksimal) adalah 4 x 22 = 88, range- ukuran prates-pascates:
nya adalah 88 – 22 = 44, meannya ada-

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 295


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

Tabel 2. Dinamika Skor Perilaku memaafkan Prates-Pascates

Inisial Kelompok Skor Skor kategori keterangan


kategori
Prates Pascates
AR 45 Rendah 50 Rendah Meningkat
SH 43 Rendah 49 Rendah Meningkat
MS 44 Rendah 49 Rendah Meningkat
N Kelompok 58 Sedang 60 Sedang Meningkat
IH Eksperimen 70 tinggi 76 Sangat tinggi Meningkat
RH 55 Sedang 69 Tinggi Meningkat
RWE 79 Tinggi 70 Tinggi Menurun
SS 58 Sedang 71 Tinggi Meningkat
OES 60 Sedang 61 Tinggi Meningkat
IP 65 Tinggi 59 Sedang Menurun
RK 48 Rendah 53 Sedang Meningkat
NP Kelompok 56 Sedang 53 Sedang Menurun
PRA Kontrol 51 Sedang 48 Rendah Menurun
SPO 61 Tinggi 55 Sedang Menurun
RN 54 Sedang 55 Sedang Meningkat
LN 62 Tinggi 59 Sedang Menurun

Berdasarkan hasil prates-pascates memaafkan, yaitu IP, NP, PRA, SPO, dan
pada tabel 2 terlihat bahwa dari 8 orang LN.
subjek kelompok eksperimen terdapat 7
orang mengalami peningkatan skor Hasil Uji Hipotesis
perilaku memaafkan, yaitu AR, SH, MS, Perbedaan perilaku memaafkan
N, IH, RH, SS dan terdapat 1 orang dari kelompok eksperimen dan kelom-
yang mengalami penurunan skor pok kontrol dapat terlihat dari hasil uji
perilaku memaafkan yaitu RWE. Pada beda wilcoxon signed rank test. Pada
kelompok kontrol terdapat 3 orang kelompok eksperimen didapat nilai
subjek yang mengalami peningkatan signifikansi (one-tailed) sebesar 0,046
skor perilaku memaafkan, yaitu OES, RK, (p<0,05) yang artinya terdapat per-
RN dan terdapat 5 orang yang bedaan perilaku memaafkan pada subjek
mengalami penurunan skor perilaku antara sebelum dan sesudah diberi

296 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

perlakuan. Sedangkan pada kelom-pok menjadi 0,01 yang berarti p < 0,05
kontrol didapat nilai signifikansi (one- artinya hipotesis penelitian ini diterima.
tailed) sebesar 0,102 (p>0,05) yang Hal ini menunjukkan bahwa ada
artinya tidak terdapat perbedaan perilaku pengaruh Empathy Care Training untuk
memaafkan pada subjek antara prates meningkatkan perilaku memaafkan pada
dan pascates. remaja akhir.
Analisis data yang digunakan da-
lam penelitian ini adalah analisis statistik PEMBAHASAN
non parametrik mann whitney u test.
Mann-Whitney U Test adalah analisis Berdasarkan analisis Mann-Whit-
statistik non parametrik untuk memban- ney U Test, ada pengaruh empathy care
dingkan dua kelompok yang berbeda training dalam meningkatkan perilaku
dengan kondisi pengukuran yang ber- memaafkan pada remaja akhir. Empathy
beda, serta melihat signifikansi rerata care training memberikan pengaruh
perbedaan peringkat posisi dari dua positif bagi subjek untuk meningkatkan
kelompok (Field, 2009). Sumber data perilaku memaafkan. Empathy care
untuk analisis didapatkan melalui gain training dapat melatih subjek memahami
score. Gain score diperoleh dari selisih perasaan orang lain dan memandang
hasil antara skor pascates dengan prates. dari sudut pandang orang lain serta
Gain score yang diinput ke dalam SPSS menempatkan diri di posisi orang lain.
adalah gain score kedua kelompok. Kemampuan empati dapat membantu
Berdasarkan uji hipotesis mann subjek untuk memaafkan atau berdamai
whitney u test diperoleh hasil signifi- dengan individu yang telah menyakiti
kansi (two tailed) sebesar 0,020. yang akan berdampak pada kesejah-
Penelitian ini menggunakan pengujian teraan psikologis. Hal ini didukung oleh
satu sisi (one-tailed). Field (2009) me- hasil penelitian Norton (2009) bahwa
ngatakan bahwa jika menggunakan empati merupakan salah satu konstruk
pengujian one-tailed maka nilai signi- prososial, yang apabila terjadi pening-
fikansinya dibagi 2. Berdasarkan hasil katan pada empati akan berdampak pada
dari perhitungan Mann-Whitney Test, peningkatan pemaafan. Dalam empathy
nilai Z yang diperoleh sebesar -2.329 care training individu diberikan pelatih-
dengan p value Asymp. Sig 2 tailed an yang akan menumbuhkan kemam-
0,020 (Sig 0,020:2 = 0,01) sehingga puan empati. Kemampuan empati pada

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 297


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

individu tersebut akan berpengaruh tive taking, fantasy, empathic concern,


terhadap perilaku memaafkan individu. dan personal distress di mana empat
Proses kognitif dan afektif yang ada aspek empati ini melewati proses
dalam empati akan berakhir pada proses kognitif dan afektif. Dari proses kognitif
psikomotorik berupa perilaku memaaf- dan afektif ini akan berakhir pada proses
kan. psikomotorik berupa respon memaafkan.
Penelitian Witvliet, Ludwig, dan McCullough, Rachal, dan Wor-
Van der Laan (2001) memfokuskan pada thington (1997) mengungkapkan bahwa
salah satu aspek empati yang melibatkan kognitif dan afektif adalah komponen
kognitif, yaitu perspective taking, empati yang mendasar untuk individu mampu
berpengaruh pada respon memaafkan- berempati yang akan berdampak pada
tidak memaafkan atas pengalaman yang memaafkan. Proses kognitif diawali
menyakitkan bagi seorang individu. dengan aspek empati perspective taking
Selain itu, Exline (2008) dalam pene- dan fantasy. Perspective taking berarti
litiannya menjelaskan bahwa ketika membayangkan dan menempatkan diri
perspective taking dan empati dalam di posisi orang lain, mengambil sudut
konteks prososial ada dalam diri pandang orang lain secara spontan,
individu, empati akan menjadi sebuah memprediksikan dan mengintrepetasikan
faktor yang menyeluruh terhadap perilaku orang lain dari apa yang dialami
pemaafan individu. Dalam penelitian orang lain, kemampuan tersebut me-
ini, perspective taking berarti memahami libatkan daya kognisi subjek. Ketika
apa yang dirasakan orang lain, me- subjek mencoba membayangkan dan
libatkan kognitif untuk memikirkan dari menempatkan di posisi orang lain,
sudut pandang orang lain serta mem- proses berfikir individu akan berperan.
bayangkan jika berada di posisi orang Fantasy juga melibatkan proses kognitif,
lain, jika subjek memiliki keterampilan di mana subjek dituntut untuk mema-
tersebut akan berpengaruh terhadap hami perasaan orang lain, memahami
subjek untuk memaafkan individu yang apa yang dialami orang lain dengan
telah meyakitinya sekalipun yang berfikir walaupun melalui media yang
menyakitinya adalah teman terdekat atau tidak dilihat secara langsung. Kemam-
sahabat. Empathy care training melibat- puan daya kognitif subjek akan
kan empat aspek yang ada dalam empati memengaruhi individu untuk melakukan
berdasarkan Davis (1980), yaitu perspec- perpective taking dan fantasy.

298 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

Kognitif mengacu bahwa subjek dimulai dari subjek berfikir tentang ke-
tidak hanya berfikir pertikaian antar salahan teman atau sahabatnya, mema-
sahabat terjadi karena pelaku, tetapi juga hami perasaan teman yang bersalah,
dirinya mungkin saja juga dapat bersimpati kepada teman atau sahabat
menyebakan terjadi retaknya suatu serta mampu mengelola emosi terhadap
hubungan persahabatan. Setelah berfikir teman atau sahabat. Tentu saja proses
atau melewati proses kognitif, subjek tersebut adalah bagian dari proses
akan mulai menggunakan afek atau meningkatkan empati. Adanya pening-
perasaan yang berorientasi pada orang katan kemampuan empati pada subjek
lain, dalam aspek empati disebut akan berdampak pada peningkatan
empathic concern. Setelah subjek perilaku memaafkan pada subjek. Hal ini
mencoba menempatkan diri di posisi didorong oleh hasil penelitian Tai Mui
orang lain, membayangkan dan mema- (2002) yang menunjukkan bahwa ketika
hami perasaan orang lain dengan berfikir individu mendapatkan penjelasan ter-
akan muncul rasa simpati dalam afek hadap kesalahan-kesalahan orang lain
subjek. Afektif mengacu pada subjek yang berbuat salah, maka emosi negatif
mencoba mengerti dan bersimpati individu akan berubah menjadi rasa
dengan teman atau sahabat yang telah prihatin, sehingga individu akan men-
menyakitinya. Selain itu subjek juga coba memahami dan berfikiran positif
akan mampu mengelola emosi yang terhadap kesalahan orang lain dan men-
berlebihan terhadap teman atau sahabat dorong individu untuk memaafkan orang
yang telah menyakitinya. Hal ini terjadi lain yang telah berbuat salah.
karena adanya pemahaman dari diri Peningkatan perilaku memaafkan
subjek terhadap orang yang telah pada subjek terlihat dari skor prates dan
menyakitinya melalui proses kognitif pascates. Secara garis besar, subjek yang
sehingga subjek dapat memiliki rasa diberi perlakuan empathy care training
simpati dan mengelola emosi terhadap mengalami peningkatan perilaku me-
teman atau sahabat yang telah maafkan. Hal ini karena subjek diberi
mengecewakan atau mengkhianati. perlakuan berupa pelatihan meningkat-
Kemampuan empati melalui pro- kan empati yang berdampak meningkat-
ses kognitif dan afektif akan mendorong nya perilaku memaafkan pada subjek.
subjek untuk dapat memaafkan. Muncul- Peningkatan perilaku memaafkan terlihat
nya perilaku memaafkan pada subjek

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 299


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

dari peningkatan hasil pascates, terdapat akhir. Peningkatan skor perilaku me-
peningkatan rerata sebesar 5,25. maafkan terlihat dari pengukuran akhir
Pada kelompok kontrol, meskipun yaitu pascates serta signifkansi dari
tidak diberi perlakuan dari delapan analisis data yang yang dilakukan.
orang subjek terdapat tiga orang yang
mengalami peningkatan perilaku me- Saran
maafkan yang ditunjukkan melalui hasil Ada sejumlah saran yang dapat
skor pascates. Namun, secara keseluruh- diberikan. Pertama: saran untuk remaja
an dan hasil rerata prates-pascates akhir. Setelah mengikuti pelatihan ini
kelompok kontrol mengalami penurun- diharapkan pada remaja akhir agar dapat
an. meningkatkan kemampuan empati deng-
Peningkatan skor perilaku me- an cara-cara seperti meningkatkan kepe-
maafkan dapat dilihat dari hasil peng- dulian serta mampu menerima dan me-
ukuran pascates. Dengan melihat per- mahami kesalahan individu lain. Ha-
bandingan hasil mean prates dan pasca- rapannya jika suatu saat kembali meng-
tes bahwa mean hasil pascates lebih alami peristiwa yang menyakitkan oleh
tinggi dari prates ini membuktikan bah- teman atau sahabat, subjek mampu me-
wa empathy care training dapat mening- maafkan dengan tulus karena mengambil
katkan perilaku memaafkan pada subjek. dan berfikir dari sudut pandang orang
Hal ini berarti peningkatan empati dapat lain dapat membantu untuk memaafkan.
pula meningkatkan perilaku memaafkan Kedua: saran untuk instansi pen-
pada subjek. Sementara itu, peningkatan didikan dan Psikolog. Instansi pendi-
empati dapat terlihat dari hasil rang- dikan diharapkan dapat bekerja sama
kuman evaluasi, lembar kerja subjek, dengan Psikolog agar dapat memberikan
dan analisis deskriptif catatan lapangan. pelatihan meningkatkan empati, karena
mahasiswa yang berada pada rentang
SIMPULAN DAN SARAN usia remaja akhir sangat rentan dengan
pengalaman yang menyakitkan, sehingga
Simpulan jika remaja merasakan pengalaman yang
Berdasarkan hasil penelitian yang menyakitkan dengan teman sebaya da-
telah dilakukan dapat disimpulkan bah- pat mengatasi dan menyelesaikan kon-
wa empathy care training dapat mening- flik teman sebaya dengan memaafkan.
katkan perilaku memaafkan pada remaja

300 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

Ketiga: saran bagi peneliti selan- Jurnal Psikologi Univesitas Muria


jutnya. Bagi peneliti selanjutnya ada Kudus, Vol. 1, No. 1, 33-43
bebarapa saran yang diajukan terkait
Carre, A., Stefaniak, N., Richard, C.B.,
penelitian ini. (a) Peneliti harus lebih
Bensalah, L., & D’Ambrosio F.
mengerti mengenai prosedur dalam
(2013). The Basic empathy scale in
penelitian eksperimen. (b) Bagi peneliti
adults (BES-A): factor structure of a
selanjutnya disarankan sebaiknya dapat
revised form. Psychological Asses-
melakukan kontrol yang lebih ketat lagi
ment, 25 (3), 679-691.
terhadap kemungkinan variabel extro-
nous yang muncul yang dapat meng-
Davis, M.H. (1980). A Multidimensional
ganggu pelaksanaan pelatihan. (c) Bagi
approach to individual differences
peneliti selanjutya disarankan untuk
in empathy. Catalog of Selected
melakukan screening observer untuk
Documents in Psychology.
melihat kesetaraan observer dalam
mengamati dan menilai perilaku subjek Doverspike, W.F. (2001). How to forgive
ketika dilaksanakannya eksperimen others: A Key to Emotional Health.
dengan melakukan inter rater sesama
observer untuk menguji reliabilitas Exline, J. J., Baumeister, R. F., Zell, A. L.,

obervasi sehingga seluruh observer Kraft, A. J., & Witvliet, C. V. O.

memiliki persepsi yang sama terhadap (2008). Not so innocent: Does

perilaku yang diamati. seeing one's own capability for


wrongdoing predict forgiveness?

DAFTAR PUSTAKA Journal of Personality and Social


Psychology, 94(3), abstract.

American Psychological Asociation.


Field, A. (2009). Discovering statistic
(2006). A Handbook forgiveness a
using SPSS third edition. London:
sampling of research result.
Sage Publications Ltd.
Washington DC: Author.
Hargrave, T.D. (1994). Families and
Asih, G.Y., Pratiwi, M.M.S. (2010).
forgiveness: A Theoretical and
Perilaku prososial ditinjau dari
therapeutic framework. The Family
empati dan kematangan emosi.
Journal, 2 (4), 339-348.

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 301


Rifka Annisa & Anggia K.E. Marettih

Hurlock, E.B. (2011). Psikologi perkem- Bandung: Program Doktor Ilmu


bangan suatu pendekatan sepan- Psikologi Universitas Padjadjaran.
jang rentang kehidupan. Jakarta:
Nashori, H.F., Iskandar, Z., Setiono, K.,
Erlangga.
& Siswadi, A.G.P. (2013).
Http://ichapiiz.blogspot.com/2012/12/tat Pemaafan pada enis Jawa ditinjau
a-nilai-perawat. Diakses pada tang- dari faktor-faktor demografi. Jurnal
gal 27 September 2016 pukul Pemikiran dan Penelitian
22.46 WIB Psikologi. 18 (2), 119-128.

Kurniati, N. M. T. (2009). Memaafkan: Norton, L. (2009). The Effects of


kaitannya dengan empati dan empathy-building and elevation on
pengelolaan emosi. Jurnal pro- forgiveness. Distinguished Major
ceeding PESAT (Psikologi, ekono- Thesis. University of Virginia
mi, sastra, arsitektur, dan sipil)
Riess, H., Kelley, J.M., Bailey, R.W.,
Universitas Gunadarma, 3, A16-
Dunn, E.J., & Phillips, M. (2011).
A24.
Empathy training for resident
Latipun (2004). Psikologi eksperimen psysicians: A randomized control-
edisi kedua. Malang: UMM Press led trial of a neuriscience-informed
curriculum. Journal of General
McCullough, M.E., Rachal, K.C.,
Internal Medicine, 26 (1)
Worthington, E.L. (1997). Inter-
personal forgiving in close rela- Tai Mui (2002). Effect of reminding past
tionship. Journal of Personality transgression on forgiveness. In
and Social psychology, 73(2), 321- Partial Fulfillment of Thesis in
336. Psychology. The University of
Hongkong.
Nashori, H. F. (2011). Meningkatkan
kualitas hidup dengan pemaafan. Taufik (2012). Empati pendekatan
UNISIA Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, psikologi sosial. Jakarta: Rajawali
33, 214-226. Press.

Nashori, H. F. (2012). Pemaafan pada Untari, P. 9 2014). Hubungan antara


etnis Jawa warga Kota Yogyakarta. empati dengan sikap pemaaf pada

302 | Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016


Empathy Care Training Untuk Meningkatkan Perilaku Memaafkan Pada Remaja Akhir

remaja putri yang mengalami forgiveness or harboring grudges:


kekerasan dalam berpacaran. Implications for emotion, physio-
Ejournal Psikologi. logy, and health. Psychological
Science, 12 (2), 117-123.
Witvliet, C. v., Ludwig, T. E., & Vander
Laan, K. L. (2001). Granting

Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8 No. 2 Desember 2016 | 303


Nama : Keysya Azzahra

NIM : 1824090185

Judul Penelitian EMPATHY CARE TRAINING UNTUK


MENINGKATKAN PERILAKU MEMAAFKAN PADA
REMAJA AKHIR

Nama Peneliti Rifka Annisa, Anggia K.E. Marettih

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh


empathy care training dalam meningkatkan perilaku
memaafkan pada remaja akhir. Jenis penelitian eksperimen
murni dengan desain between subject randomized two
group pretest-posttest control group design. Subjek
berjumlah 16 orang yang dikelompokkan secara acak
menjadi 8 orang kelompok eksperimen dan 8 orang
kelompok kontrol. Data

penelitian dikumpulkan melalui skala perilaku memaafkan


oleh Nashori (2012). Dari hasil analisis Mann Whitney U
Test di peroleh nilai Asymp. Sig. (2 tailed) sebesar 0,020
(p<0,05) dengan nilai Z Score sebesar -2.329. Artinya,
empathy care training dapat meningkatkan perilaku
memaafkan pada remaja akhir. Dari hasil analisis Wilcoxon
Signed Rank Test pada kelompok eksperimen diperoleh
nilai Asymp. Sig. (1 tailed) sebesar 0,046 (p<0,05) yang
artinya terdapat perbedaan antar skor prates dengan pascates
pada kelompok eksperimen. Empathy care training dapat
membantu remaja meningkatkan empati sehingga mampu
membayangkan jika berada di posisi individu yang bersalah
serta lebih memilih untuk berdamai dengan individu yang
bersalah sehingga dapat meningkatkan perilaku memaafkan
pada remaja.

Pendahuluan/Latar bekalang Dalam melakukan hubungan sosial, individu kadang-


masalah kadang berbuat salah kepada individu lain. Pada sisi lain,
individu tentu pernah mengalami perlakuan dan situasi yang
mengecewakan atau menyakitkan. Remaja adalah salah satu
masa yang dilewati oleh individu. Sebagai individu yang
beranjak dewasa, remaja juga melakukan interaksi dengan
individu lain untuk melakukan hubungan sosial demi
kelangsungandalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Hurlock (2011) membagi masa remaja menjadi masa


remaja awal dan remaja akhir, sedangkan pemisah antara
usia remaja awal dan akhir terletak pada usia 17 tahun
hingga usia awal dewasa ketika remaja sudah hampir
memasuki dunia kerja orang dewasa. Sementara usia
dewasa awal, menurut Hurlock, berada pada usia 21 tahun,
sehingga pada penelitian ini peneliti menggunakan usia
remaja akhir dengan batas usia

dari 17 tahun hingga 21 tahun.

Hurlock (2011) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja


berada pada periode badai dan tekanan (storm and stress),
yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Meningginya emosi remaja karena remaja berada di bawah
tekanan sosial, teman sebaya, dan menghadapi kondisi serta
harapan baru. Hal ini menyebabkan remaja mengalami
kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Oleh sebab itu masa remaja sering dikatakan sebagai usia
bermasalah. Masalah-masalah yang terjadi pada remaja
sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi juga
dikarenakan para remaja merasa mandiri dan memiliki
teman sebaya yang lebih mengerti akan dirinya sehingga
mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak
bantuan keluarga, orangtua dan guru. Namun, hubungan
pertemanan sebaya ini tidak berlangsung lama dan
harmonis, karena secara emosi setiap remaja memiliki sifat
egosentris yang tinggi dan ingin menang sendiri sehingga
memicu terjadinya konflik selama periode masa remaja.
Tidak sedikit dari hubungan pertemanan remaja berakhir
pada konflik, kekecewaan, ataupun menyakitkan hati.

Hurlock (2011) mengungkapkan sebagai pihak yang


sudah beranjak ke masa dewasa remaja dituntut memiliki
kemampuan untuk dapat mereduksi dan mengelola emosi,
mampu menunjukkan emosio yang stabil, dan mampu
menggambarkan berbagai situasi dan rangsangan yang
dapat menimbulkan reaksi emosional. Salah satu caranya
adalah dengan membicarakan masalah atau pertikaian yang
terjadi dengan individu lain, sehingga remaja tidak lagi
menyimpan perasaan sakit dari perasaan sendiri, mampu
melepaskan semua amarah, dan tidak lagi mempunyai
perasaan untuk membalas semua sakit hati, sehingga dapat
membangun kembali relasi yang baik dengan individu yang
bersalah yang ditunjukkan dengan perilaku memaafkan.

Penyelesaian konflik antar pribadi dan merajut hubungan


yang telah retak bukanlah hal yang sederhana. Memaafkan
merupakan cara yang efektif untuk mengatasi permasalahan
antar individu karena di dalam memaafkan melibatkan
empat proses, yaitu pengetahuan, pemahaman, memberikan
kesempatan kepada individu yang bersalah untuk
memperbaikinya, dan berakhir pada memberikan maaf
(Hargrave, 1994). Memaafkan dapat diartikan sebagai suatu
kondisi saat remaja telah siap untuk menerima dan
melepaskan rasa sakit hati ataukekecewaan yang dialami.
Hal ini ditandai oleh adanya keikhlasan hati untuk dapat
melepaskan semua perasaan terluka, sakit hati,
meninggalkan kemarahan dan balas dendam, sehingga dapat
mencapai suatu perdamaian dan membina kembali
hubungan dengan individu yang bersalah. Namun, ada
kalanya memaafkan pada remaja sering kali terjadi hanya
sekedar memaafkan dari mulut saja tanpa memaafkan
setulus hati. Hal ini karena periode dan kondisi emosi
remaja yang masih labil. Remaja mudah marah dan mudah
memaafkan juga, tetapi banyak remaja yang tidak

memahami makna memaafkan yang sebenarnya sehingga


mudah kembali mengalami konflik.

Berdasarkan American Psychological Association (2006),


diketahui memaafkan adalah suatu proses tindakan sebagai
upaya yang dilakukan seseorang untuk melibatkan diri
dengan mengubah emosi negatif dan menunjukkan perilaku
pengampunan dan tidak membalas kepada individu yang
menyakiti. Perilaku memaafkan itu sendiri dapat dibedakan
dari melupakan, membalas orang lain dengan setimpal
dengan perbuatannya atau rekonsiliasi. McCullough,
Rachal,

dan Worthington (1997) mengungkapkan bahwa perilaku


memaafkan adalah konsep dasar yang menghambat
seseorang

untuk tetap mempertahankan permusuhan maupun upaya


balas dendam. Perilaku memaafkan pada akhirnya akan
meningkatkan motivasi pada diri seseorang untuk
melakukan konsiliasi yang bersifat lebih konstruktif bagi
pihak yang bertikai. Sementara itu Nashori (2012)
mengungkapkan bahwa pemaafan (forgiveness) adalah
kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak
menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal
dengan orang lain dan menumbuhkembangkan pikiran,
perasaan, dan hubungan interpersonal yang positif dengan
orang lain yang melakukan

pelanggaran secara tidak adil. Nashori membagi pemaafan


dalam tiga dimensi, yaitu emosi, kognisi, dan interpersonal.
Disebutkan oleh Nashori (2011) dan Nashori, Iskandar,
Setiono, dan Siswadi (2013), dimensi emosi meliputi
indikator-indikator (a) Meninggalkan perasaan marah, sakit
hati, benci, (b) Mampu mengontrol emosi saat diperlakukan
tidak menyenangkan, (c) Perasaan iba dan kasih sayang
terhadap pelaku, dan (d) Perasaan nyaman ketika
berinteraksi dengan pelaku. Dimensi kognisi meliputi
indikator-indikator (a) Meninggalkan penilaian negatif
terhadap pelaku, (b) Memiliki penjelasan nalar atas
perlakuan yang menyakitkan, (c) Memiliki pandangan yang
berimbang terhadap pelaku. Selanjutnya, dimensi
interpersonal meliputi indikator-indikator (a) Meninggalkan
perilaku atau perkataan yang menyakitkan terhadap pelaku,
(b) Meninggalkan keinginan balas dendam, (c)
Meninggalkan perilaku acuh tak acuh, (d) Meninggalkan
perilaku menghindar, (e) Upaya konsiliasi/rekonsiliasi
hubungan, (f) Motivasi kebaikan atau kemurahan hati, dan
(g) Musyawarah dengan pihak yang pernah jadi pelaku.

Dalam memaafkan idealnya sikap dan perasaan negatif


digantikan oleh sikap dan perasaan positif, namun pada
kenyataannya hal ini tidak mudah dilakukan, apalagi secara
cepat. Selalu ada persoalan psikologis di antara dua pihak
yang pernah mengalami keretakan hubungan akibat suatu
kesalahan. Oleh karena itu, memaafkan sejatinya bukan
melupakan kesalahan individu yang berbuat salah, tetapi
membiarkan perasaan negatif menjadi sebuah pemahaman
untuk berubah ke perasaan positif (Doverspike, 2001).

Untuk sampai kepada tahap perilaku atau tindakan


memaafkan, individu melibatkan aspek kognitif dan afektif.
Salah satu aspek afektif dan kognitif yang berpengaruh
terhadap perilaku memaafkan adalah empati. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Kurniati (2009)
ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan
antara empati dan memaafkan. Studi yang mengaitkan
dimensi pengambilan sudut pandang dan kepedulian
empatik

menunjukkan korelasi yang signifikan berarah positif


dengan memaafkan. Menurut Carre, Stefaniak, Richard,
Bensalah, dan D’Ambrosio (2013), empati merupakan
kemampuan memahami pandangan dan perasaan orang lain
serta kemampuan merasakan emosi dan memahami
penyebab terjadinya emosi yang dirasakan orang lain.
Melalui empati remaja dapat memahami, merasakan,
menghayati orang lain karena dalam proses empati ini
berlangsung proses pengertian dan perasaan yang
dinyatakan dalam bentuk hubungan antar pribadi. Riess,
Kelley, Bailey, Dunn, dan Phillips (2011) mengemukakan
empati adalah kemampuan individu yang melibatkan proses
kognitif dan afektif yang memungkinkan individu untuk
menempatkan diri berada diposisi dan emosional orang lain.
Kemampuan empati tersebut berupa respon emosional yang
sangat menyerupai respon emosional orang lain tanpa
individu kehilangan kontrol dirinya (Taufik, 2012).

Pada remaja akhir, kemampuan empati merupakan


kemampuan yang efektif dalam memaafkan atau memberi
maaf kepada orang lain yang telah membuat luka,
menyakiti, atau mengecewakan. Hasil penelitian Asih dan
Pratiwi (2010) mengungkapkan bahwa empati dapat
mendorong individu khususnya remaja untuk melakukan
perilaku prososial. Selain itu empati juga memiliki
hubungan yang signifikan dengan kematangan emosi untuk
prilaku prososial pada remaja. Kematangan emosi yang
dimaksud adalah remaja mampu mengelola emosi dengan
baik yang ditunjukkan tidak membalas rasa sakit hati
kepada individu yang telah menyakiti. Selain itu,
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Untari (2014)
diketahui bahwa terdapat sumbangan

efektif yang diberikan variabel empati terhadap sikap


pemaaf. Hal ini membuktikan bahwa empati memengaruhi
pemaafan pada remaja putri yang mengalami kekerasan
dalam berpacaran. Dalam penelitian ini, peneliti
menghubungkan empati dan perilaku memaafkan.

Remaja yang memiliki kemampuan empati yang tinggi


juga berarti memiliki kemampuan yang tinggi dalam
memahami perasaan individu lain, berpikir dan merasakan
keadaan individu lain. Kaitannya dengan perilaku
memaafkan, remaja akhir yang memiliki empati akan
mampu memahami, merasakan, menghayati perasaan orang
lain karena dalam proses empati ini berlangsung proses
pengertian dan perasaan yang dinyatakan dalam bentuk
hubungan antar pribadi. Hal tersebut akan mendorong
remaja dengan mudah untuk melepaskan rasa
mengecewakan, menyakitkan, dan perasaan luka yang
disebabkan oleh individu lain yang berujung pada
memaafkan atau memberi maaf. Karena remaja yang empati
juga akan merasakan keadaan individu yang menyakitinya
bila seandainya tidak dimaafkan. Dalam sikap empati
remaja, juga dipengaruhi oleh kesadaran individu untuk
lebih memperbaiki hubungan yang telah rusak.

Menurut Borba (Taufik 2012),setiap individu mempunyai


kemampuan yang berbeda-beda dalam berempati. Pada
dasarnya empati muncul secara alami sejak masih bayi,
namun belum ada jaminan yang pasti bahwa kemampuan
empati ini akan terus berkembang dengan baik. Dengan
begitu kemampuan pada empati juga dapat ditingkatkan
atau dikembangkan. Jika remaja akhir memiliki kemampuan
empati yang tinggi, maka hal itu juga akan meningkatkan
perilaku memaafkan.

Salah satu cara yang dapat meningkatkan perilaku


memaafkan pada remaja akhir adalah dengan Emphaty Care
Training. Care dalam artian penelitian ini adalah suatu sikap
rasa peduli, hormat, menghargai orang lain, dan mengerti
perasaan orang lain (ichapiiz.blogspot.com/2012). Tentu
saja

maksud dan arti care ini memiliki artian yang sama dengan
empati, karena caring merupakan perpaduan antara
pengetahuan biofisik dengan pengetahuan mengenai
perilaku orang lain. Emphaty care training berupa kegiatan
pelatihan yang berisi rangkaian sesi berupa pemberian
materi dan pengetahuan dengan metode seminar. Selain
pemberian materi terkait empati dan perilaku memaafkan,
dalam pelatihan ini remaja akhir juga akan bermain peran
sehingga emosi remaja akhir dapat terlibat langsung dan
kognitif remaja dapat berfikir bagaimana hubungan empati
dengan perilaku memaafkan dan mengaplikasikannya dalam
bentuk perilaku mudah memaafkan. Pelatihan ini mengacu
pada aspek-aspek empati oleh Davis (1980), yaitu
perspective taking, fantasy, emphatic concern, and personal
distress. Emphaty care training (selanjutnya disingkat ECT)
ini dilakukan dengan tujuan sebagai pelatihan yang di
dalamnya terdapat berbagai kegiatan yang mengacu pada
aspekaspek empati. Oleh karena itu, adanya ECT dapat
membantu remaja akhir atau mahasiswa yang berada pada
usia remaja akhir untuk meningkatkan kemampuan empati
sehingga akan berdampak dengan meningkatnya perilaku
memaafkan.

Dari penjelasan atau pemaparan latar belakang yang telah


diuraikan ECT dinilai penting untuk membantu remaja
akhir dalam memahami kondisi atau perasaan orang lain,
menempatkan posisi diri di posisi orang lain sehingga
mendorong remaja akhir untuk dapat memaafkan dengan
tulus. Adanya ECT ini diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan empati pada remaja akhir. Dengan begitu
remaja akhir juga akan dengan mudah menggantikan emosi
negatif ke emosi positif kepada individu yang menyakitinya
sehingga mampu memaafkan tidak hanya sekedar di mulut
saja tetapi dengan setulus hati untuk mencapai kepuasan
hidup. Untuk itu pada penelitian ini, penulis ingin melihat
pengaruh emphaty care training untuk meningkatkan
perilaku memaafkan pada remaja akhir.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan


hipotesis penelitian, yaitu ada pengaruh emphaty care
training dalam meningkatkan perilaku memaaafkan pada
remaja akhir.
Teori/Definisi dari variable Definisi yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
yang terlibat
Remaja adalah salah satu masa yang dilewati oleh individu.
Sebagai individu yang beranjak dewasa, remaja juga
melakukan interaksi dengan individu lain untuk melakukan
hubungan sosial demi kelangsungandalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan.

Hurlock (2011) membagi masa remaja menjadi masa remaja


awal dan remaja akhir, sedangkan pemisah antara usia
remaja awal dan akhir terletak pada usia 17 tahun hingga
usia awal dewasa ketika remaja sudah hampir memasuki
dunia kerja orang dewasa. Sementara usia dewasa awal,
menurut Hurlock, berada pada usia 21 tahun, sehingga pada
penelitian ini peneliti menggunakan usia remaja akhir
dengan batas usia dari 17 tahun hingga 21 tahun.

Hurlock (2011) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja


berada pada periode badai dan tekanan (storm and stress),
yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Meningginya emosi remaja karena remaja berada di bawah
tekanan sosial, teman sebaya, dan menghadapi kondisi serta
harapan baru. Hal ini menyebabkan remaja mengalami
kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Oleh sebab itu masa remaja sering dikatakan sebagai usia
bermasalah. Masalah-masalah yang terjadi pada remaja
sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi juga
dikarenakan para remaja merasa mandiri dan memiliki
teman sebaya yang lebih mengerti akan dirinya sehingga
mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak
bantuan keluarga, orangtua dan guru. Namun, hubungan
pertemanan sebaya ini tidak berlangsung lama dan
harmonis, karena secara emosi setiap remaja memiliki sifat
egosentris yang tinggi dan ingin menang sendiri sehingga
memicu terjadinya konflik selama periode masa remaja.
Tidak sedikit dari hubungan pertemanan remaja berakhir
pada konflik, kekecewaan, ataupun menyakitkan hati.
Hurlock (2011) mengungkapkan sebagai pihak yang sudah
beranjak ke masa dewasa remaja dituntut memiliki
kemampuan untuk dapat mereduksi dan mengelola emosi,
mampu menunjukkan emosio yang stabil, dan mampu
menggambarkan berbagai situasi dan rangsangan yang
dapat menimbulkan reaksi emosional. Salah satu caranya
adalah dengan membicarakan masalah atau pertikaian yang
terjadi dengan individu lain, sehingga remaja tidak lagi
menyimpan perasaan sakit dari perasaan sendiri, mampu
melepaskan semua amarah, dan tidak lagi mempunyai
perasaan untuk membalas semua sakit hati, sehingga dapat
membangun kembali relasi yang baik dengan individu yang
bersalah yang ditunjukkan dengan perilaku memaafkan.

Berdasarkan American Psychological Association


(2006), diketahui memaafkan adalah suatu proses tindakan
sebagai upaya yang dilakukan seseorang untuk melibatkan
diri dengan mengubah emosi negatif dan menunjukkan
perilaku pengampunan dan tidak membalas kepada individu
yang menyakiti. Perilaku memaafkan itu sendiri dapat
dibedakan dari melupakan, membalas orang lain dengan
setimpal dengan perbuatannya atau rekonsiliasi.

McCullough, Rachal, dan Worthington (1997)


mengungkapkan bahwa perilaku memaafkan adalah konsep
dasar yang menghambat seseorang untuk tetap
mempertahankan permusuhan maupun upaya balas dendam.

Emphaty care training berupa kegiatan pelatihan yang berisi


rangkaian sesi berupa pemberian materi dan pengetahuan
dengan metode seminar. Selain pemberian materi terkait
empati dan perilaku memaafkan, dalam pelatihan ini remaja
akhir juga akan bermain peran sehingga emosi remaja akhir
dapat terlibat langsung dan kognitif remaja dapat berfikir
bagaimana hubungan empati dengan perilaku memaafkan
dan mengaplikasikannya dalam bentuk perilaku mudah
memaafkan.

Hipotesis hipotesis penelitian, yaitu ada pengaruh emphaty care


training dalam meningkatkan perilaku memaaafkan pada
remaja akhir.

Sample/Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa-


mahasiswi UIN Suska Riau yang berada pada rentang usia
remaja akhir. Adapun kriteria yang akan menjadi populasi
dalam penelitian ini adalah (a) Mahasiswa- mahasiswi yang
berada pada usia remaja akhir berdasarkan Hurlock (2011),
yaitu usia 17-21 tahun, (b) Memiliki skor perilaku
memaafkan yang sedang hingga sangat rendah yang
ditunjukkan dari hasil skala perilaku memaafkan dari
Nashori (2012) melalui screening, dan (c) Memiliki seorang
atau lebih teman dekat yang dapat dilihat dari tulisan essay
calon subjek.

Subjek penelitian ini adalah calon subjek yang telah


memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian yang telah
terjaring melalui proses screening. Dari 23 orang calon
subjek yang di screening, ada 16 orang yang sesuai kriteria
untuk menjadi subjek penelitian. Sebanyak 16 orang
tersebut dibagi secara acak 8 orang untuk kelompok
eksperimen dan 8 orang untuk kelompok kontrol.
Desain penelitian/Rancangan Penelitian ini menggunakan true experiment (eksperimen
eksperimen murni). Digunakannya eksperimen murni dalam penelitian

ini karena pengelompokan subjek dilakukan secara random


dan menjadikan kelompok kontrol sebagai kelompok
pembanding (Latipun, 2004). Desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah between subject
randomized pretest-posttest control group design. Disebut
desain between subject karena pengaruh VB terhadap VT
diketahui dari perbedaan skor VT antara kelompok-
kelompok subjek, sedangkan Randomized dilakukan untuk
membagi subjek ke dalam kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol dari sampel yang telah setara. Penelitian
ini terdiri atas kelompok yang diberi perlakuan yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok tanpa perlakuan yaitu
kelompok kontrol. Prates dilakukan sebelum mendapatkan
perlakuan dan pascates dilakukan setelah mendapatkan
perlakuan (Latipun,2004).

Metode pengambilan data Dalam penelitian digunakan skala perilaku memaafkan.


Skala perilaku memaafkan yang digunakan merupakan
modifikasi dari skala Nashori (2012) yang disusun
berdasarkan model skala likert dengan menggunakan empat
alternatif pilihan jawaban, yaitu SL (Selalu), SR (Sering),
KD (Kadang-kadang), TP (Tidak pernah).

Berdasarkan uji coba alat ukur terhadap 272 orang subjek


pada skala perilaku memaafkan dari 27 aitem diperoleh 22
aitem yang sahih dan 5 aitem yang gugur dengan koefisien
korelasi daya beda aitem > 0,30 dengan bantuan komputasi
program SPSS 18. Nilai reliabilitas menunjukkan bahwa
skala perilaku memaafkan memiliki koefisien reliabilitas
yang tinggi karena mendekati angka 1,00, yaitu 0,86
sehingga dapat digunakan sebagai alat ukur dalam
penelitian ini. Sementara itu validasi modul eksperimen
dilakukan oleh beberapa validator yang merupakan dosen
yang berpengalaman dan ahli dalam penelitian eksperimen.
Selain itu, dalam penelitian ini peneliti melakukan validitas
internal dan eksternal.

Pelaksanaan penelitian Adapun pelaksanaan penelitian, sebagai berikut:

Sesi I, yaitu knowing, berisi pengenalan ECT dan perilaku


memaafkan. Dalam sesi ini output yang hendak dicapai
adalah Remaja akhir dituntut untuk mampu mengenali
semua hal-hal yang berkaian dengan perilaku memaafkan.
Termasuk menge-nai mengetahui perasaan terluka/
menyakitkan, benteng diri untuk menyembuhkan luka,
mengetahui bagaimana memaafkan yang sesungguhnya.
Sesi ini berlangsung selama 30 menit.

Sesi II, yaitu think and fell, berisi pembahasan mengenai


perspective taking. Output yang hendak dicapai dalam sesi
ini adalah kemampuan remaja akhir untuk berfikir dan
merasakan di posisi orang lain. Komponen ini mencakup:

mengenali perasaan sendiri, mengenali perasaan orang lain,


menganalisis kesalahan sendiri dan orang lain, menganalisis
perasaan sendiri dan orang lain. Sesi ini berlangsung selama
35 menit.

Sesi III, yaitu I and my own, berisi pembahasan mengenai


imagery. Sesi ini untuk mencapai kemampuan remaja akhir
untuk mengubah diri secara imajinatif untuk memahami
perasaan orang lain, di dalamnya mencakup: Mengandaikan
karakter imajinasi dengan diri sendiri, kontrol emosi, dan
kesadaran diri. Sesi ini diberikan selama 35 menit.

Sesi IV, yaitu I care to other, berisi pembahasan mengenai


empathic concern. Output yang hendak dicapai dalam sesi
ini adalah Kemampuan remaja akhir untuk memiliki
perasaan simpati kepada orang lain. Aspek ini juga
mencakup: Komunikasi interpersonal, sikap prihatin, sikap
simpati. Sesi ini diberikan selama 30 menit.

Sesi V, yaitu personal distress, berisi pembahasan mengenai


kecemasan individu pada diri sendiri terhadap hubungan
interpersonalnya dengan individu yang bersalah. Output
yang hendak dicapai dalam sesi ini adalah kemampuan
remaja akhir untuk menghadapi kecemasan yang
berorientasi pada diri sendiri terhadap kualitas
interpersonal. Di dalam aspek ini mencakup: Mengelola
emosi dan mengelola perasaan.

Sesi ini berlangsung selama 30 menit. Pada setiap sesi,


subjek diminta untuk merefleksikan kembali apa yang telah
diberikan oleh fasilitator dengan menuliskannya ke dalam
kertas yang telah disediakan. Selain itu, subjek juga diminta
untuk bermain game yang telah dirancang peneliti bertujuan
sebagai aplikasi dari materi yang akan atau telah diberikan
oleh fasilitator.
JURNAL PSIKOLOGI
VOLUME 38, NO. 1, JUNI 2011: 92 – 107

Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional


Terhadap Penurunan Depresi pada
Mahasiswa Tahun Pertama
Theresia Genduk Susilowati1
Nida Ul Hasanat2

Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada

Abstract

In the first year, college students will get the stressful events which related to leave
parents and friends, also the transition of educational system and new home stay. The stressful
events can cause negative of cognitive and emotional responses to college students. Therefore,
it can cause depression on college student self. This research aims to test the effect writing
about emotional experiences therapy on reducing depression for the first year college students.
Research design uses two matched groups design. Subjects (N=12) were divided into
experimental group (n=6) or control group (n=6). The experimental group was instructed to
write about emotional experiences in four writing sessions lasting ± 30 minutes. Outcomes
were measured at pretest, posttest, and follow up by Mixed ANOVA Design. Between Group
ANOVA indicated the groups differed significantly on depression (F=25.88, p=.001). Within
Group ANOVA indicated that experimental group reported significantly reduced depression
at pretest, posttest, and follow up (F=33.72, p=.001). Post hoc test revealed that the repeat
experimental group reported significantly reduced depression at pretest-posttest (p=.003),
posttest-follow up (p>0,33), and pretest-follow up (p<0,01). This result indicated that writing
about emotional experience therapy can reduce depression for first year college students.
Keywords: writing about emotional experiences therapy, depression, first year college students

Memasuki1 pendidikan tinggi merupa- orang tua, perpisahan dengan sahabat,


kan masa transisi dari pendidikan sekolah perpindahan tempat tinggal, perubahan sis-
menengah ke pendidikan tinggi. Masa tran- tem pendidikan, dan pertentangan sistem
sisi ini merupakan periode yang menekan nilai (Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990).
bagi mahasiswa karena dihadapkan de- Selain itu, mahasiswa yang sedang berada
ngan situasi-situasi dan tuntutan baru pada masa remaja juga dapat dihadapkan
(Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, & dengan kejadian-kejadian menekan lainnya
Zakalik, 2005). seperti konflik hubungan dengan pacar,
Kejadian-kejadian menekan yang dia- rendahnya prestasi akademik, konflik de-
lami mahasiswa adalah perpisahan dengan ngan orang tua atau teman sebaya (Blau,
1996), dan masalah keuangan (Furr, Conell,
Westefeld, dan Jenkins, 2001).
1
Korespondesi dengan penulis dapat dilakukan Pada tahun pertama kuliah, mahasiswa
melalui: tgenduks@yahoo.com
2 Atau dengan menghubungi: nida@ugm.ac.id
dituntut untuk mengatasi semua masalah

92
TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

dan konflik yang dialami serta melakukan negatif tersebut dapat mengantarai mun-
penyesuaian terhadap lingkungan baru. culnya depresi ketika individu mengalami
Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi kejadian-kejadian yang menekan dengan
permasalahan dan melakukan penyesuaian cara menginterpretasikan dan memberikan
terhadap kejadian-kejadian yang menekan pandangan yang negatif terhadap kejadian-
tersebut akan memicu timbulnya depresi kejadian yang menekan (Beck, 1985; Dowd,
dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988; 2004).
Mazure, 1998; Rey, 1995). Dari penjelasan di atas, depresi meru-
Menurut pandangan kognitif, reaksi pakan suatu gangguan emosional atau
emosi muncul ketika individu menghadapi perasaan. Depresi yang dibiarkan terus
situasi tertentu. Reaksi emosi seseorang berlanjut akan berdampak buruk pada
ditentukan oleh bagaimana individu meng- individu yang mengalaminya sehingga
interpretasikan pengalaman-pengalaman- perlu adanya intervensi untuk mengata-
nya terhadap situasi tersebut (Beck, 1985; sinya. Beberapa intervensi telah dilakukan
Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap untuk mengatasi atau menurunkan sim-
situasi menekan yang dihadapi akan tom-simtom depresi. Salah satu intervensi
menentukan kualitas dan intensitas reaksi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen atau menurunkan simtom-simtom depresi
(2005) dalam penelitiannya menemukan adalah Terapi Menulis Ekspresif atau
bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat Menulis Pengalaman Emosional (Lepore,
memunculkan reaksi emosi yang negatif 1997; Purwandari, 2004; Sloan & Marx,
pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran 2004).
tersebut adalah menyalahkan diri sendiri, Metode menulis ekspresif atau menulis
menyalahkan orang lain dan lingkungan, pengalaman emosional telah menjadi kajian
ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemi- yang menarik pada dua dekade belakangan
kiran negatif tersebut menurunkan peni- ini. Menurut Poerwadarminta (1976), me-
laian positif dan penerimaan akan situasi nulis adalah suatu aktivitas melahirkan
yang dihadapi. Selain itu, pemikiran-pemi- pikiran dan perasaan dengan tulisan.
kiran negatif tersebut berhubungan dengan Menulis berbeda dengan berbicara. Menu-
depresi. lis memiliki suatu kekuatan tersendiri kare-
Reaksi emosi juga melibatkan dua sis- na menulis adalah suatu bentuk eksplorasi
tem afektif, yaitu afek positif dan afek dan ekspresi area pemikiran, emosi dan
negatif. Berkaitan dengan sistem afektif spiritual yang dapat dijadikan sebagai
tersebut, depresi melibatkan rendahnya suatu sarana untuk berkomunikasi dengan
afek positif dan tingginya afek negatif diri sendiri dan mengembangkan suatu
(Clark, Watson, & Mineka, 1994). pemikiran serta kesadaran akan suatu
Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger & peristiwa (Bolton, 2004).
Padesky, 1995) mengemukakan bahwa Terapi Menulis adalah suatu aktivitas
depresi ditandai dengan pandangan negatif menulis yang mencerminkan refleksi dan
mengenai diri sendiri, dunia, dan masa ekspresi klien baik itu karena inisiatif sen-
depan. Individu dapat mengalami depresi diri atau sugesti dari seorang terapis atau
karena ia memiliki skema kognitif yang peneliti (Wright, 2004). Pusat dari terapi
negatif. Skema kognitif ini dikembangkan menulis lebih pada proses selama menulis
dari masa kanak-kanak atau remaja dan daripada hasil dari menulis itu sendiri
bersifat disfungsional. Skema kognitif yang sehingga penting bahwa menulis adalah

JURNAL PSIKOLOGI 93
SUSILOWATI & HASANAT

suatu aktivitas yang personal, bebas kritik, laman Emosional untuk menurunkan
dan bebas dari aturan bahasa seperti tata simtom-simtom depresi pada mahasiswa
bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton, sebelum menghadapi ujian. Penurunan
2004). Oleh karena itu, menulis dapat simtom-simtom depresi tersebut dapat
disebut sebagai bentuk terapi yang meng- terjadi karena diantarai oleh menurunnya
gunakan teknik sederhana, murah, dan tingkat emosional negatif yang diakibatkan
tidak membutuhkan umpan balik (Penne- oleh pikiran-pikiran yang mengganggu
baker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007). (instrusive thoughts).
Dalam seting klinis, Terapi Menulis Penga- Efektivitas menulis pengalaman emo-
laman Emosional atau Menulis Ekspresif sional untuk menurunkan depresi telah
dapat diartikan sebagai suatu terapi de- dibuktikan oleh penelitian Purwandari
ngan aktivitas menulis mengenai pikiran (2004) pada remaja yang mengalami
dan perasaan yang mendalam terhadap rehabilitasi NAPZA. Purwandari menge-
pengalaman-pengalaman yang berkaitan mukakan bahwa pemikiran positif terjadi
dengan kejadian-kejadian yang menekan karena adanya penurunan bias memori
atau bersifat traumatik (Pennebaker, 1997; otobiografi. Memori otobiografi adalah
Pennebaker & Chung, 2007). muatan emosi peristiwa-peristiwa yang
Lepore et al. (2002) dalam kajiannya pernah dilalui remaja, baik yang bersifat
menunjukkan bahwa menulis ekspresif menyenangkan (positif) atau menyedihkan
atau menulis mengenai pengalaman-penga- (negatif). Pada saat remaja mengalami
laman emosional dapat memfasilitasi regu- depresi, mereka akan mengalami distorsi
lasi emosi melalui tiga mekanisme, yaitu: kognitif sehingga mengalami bias karena
(a) mengarahkan perhatian, (b) memfasili- perasaan-perasaan negatif saja yang dii-
tasi habituasi (pembiasaan), dan (c) mem- ngat. Pemikiran positif dapat terjadi setelah
bantu restrukturisasi kognitif. satu minggu intervensi menulis penga-
Pennebaker et al. (1990) dalam pene- laman emosional dilaksanakan. Dari pene-
litiannya menunjukkan bahwa masa tran- litian tersebut dapat diketahui bahwa
sisi yang dialami mahasiswa baru meng- pemikiran positif yang paling besar terjadi
akibatkan mahasiswa mengalami mood pada subjek dengan tingkat depresi berat.
negatif dan hambatan untuk melakukan Penelitian lain mengenai menulis
penyesuaian psikologis sampai akhir pengalaman emosional dan depresi juga
semester pertama. Mahasiswa seringkali dilakukan oleh Sloan dan Marx (2004) pada
menghadapi konflik dan perasaan takut subjek yang mengalami simtom-simtom
berkaitan dengan meninggalkan rumah, Post Traumatic Stress Disorder dengan meng-
perubahan peraturan, dan memasuki per- gunakan metode eksperimen. Menulis
kuliahan. Dengan menuliskan pikiran dan pengalaman emosional berlangsung selama
perasaan mengenai pengalaman minggu tiga sesi menulis selama tiga hari berturut-
pertama kuliah, mahasiswa memperoleh turut dan setiap sesi berlangsung selama 20
perubahan persepsi, perasaan, dan kese- menit. Selain itu, follow up dilakukan pada
hatan. minggu ke dua dan ke empat. Penelitian
Penelitian mengenai efektivitas terapi Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa
untuk menurunkan simtom-simtom de- menulis pengalaman emosional secara
presi pada mahasiswa telah dilakukan oleh klinis dapat menurunkan simtom-simtom
Lepore (1997). Lepore menggunakan Terapi depresi. Subjek dalam kelompok menulis
Menulis Ekspresif atau Menulis Penga- pengalaman emosional melaporkan menu-

94 JURNAL PSIKOLOGI
TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

runnya simtom-simtom depresi setelah me- yang digunakan adalah skala BDI yang
nulis pengalaman emosional dan follow up. telah diadaptasi ke dalam bahasa Indo-
Pada penelitian ini, peneliti ingin meli- nesia. Uji validitas dan reliabilitas skala
hat pengaruh menulis pengalaman emo- adaptasi BDI telah dilakukan oleh Ret-
sional terhadap penurunan depresi pada nowati dengan subjek mahasiswa baru
mahasiswa tahun pertama. Hipotesis yang (Susilowati, 2008). Dari uji validitas,
diajukan adalah Terapi Menulis Pengala- skala BDI sahih pada koefisien korelasi
man Emosional dapat menurunkan depresi sebesar 0,1936 sampai 0,6317 pada taraf
pada mahasiswa tahun pertama. signifikansi 5 persen dan dari uji relia-
bilitas menggunakan tehnik analisis
Depresi pada mahasiswa tahun perta-
Hoyt diperoleh koefisien keandalan
ma dapat menurun karena adanya restruk-
sebesar 0,844.
turisasi kognitif yang difasilitasi oleh me-
nulis pengalaman emosional. Restrukturi- Beck Depression Inventory terdiri dari 21
sasi kognitif dapat dilakukan dengan me- aitem yang mengambarkan simtom-
ngevaluasi pikiran-pikiran negatif terhadap simtom depresi, yaitu simtom afektif,
stresor. Dengan melakukan evaluasi, akan simtom kognitif, simtom motivasional,
terjadi perubahan kognitif mahasiswa da- dan simtom vegetatif-fisik. Skor total
lam memandang diri sendiri dan ling- dihitung dengan cara menjumlahkan
kungan berkaitan dengan stresor atau seluruh skor yang diperoleh untuk
perubahan reaksi emosi mereka terhadap masing-masing aitem. Skor total yang
stresor. didapatkan dari skala ini adalah antara
0 sampai 63. Subjek yang dinyatakan
depresi dalam penelitian ini adalah sub-
Metode jek yang mengikuti klasifikasi Burns
(1988) yaitu dengan skor total 17 ke
Subjek
atas.
Subjek dalam penelitian ini adalah 12
2. The Positive and Negative Affect Schedule
mahasiswa tahun pertama Fakultas Psiko-
(PANAS)
logi Universitas Gadjah Mada dengan ren-
tang usia 18-19 tahun. Karakteristik subjek The Positive and Negative Affect Schedule
adalah mahasiswa tahun pertama yang (PANAS) merupakan skala untuk
berasal dari luar daerah Yogyakarta dan mengukur perasaan positif dan negatif.
tinggal tidak bersama orang tua atau Masing-masing skala perasaan positif
tinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi dan perasaan negatif terdiri dari 10
berdasarkan hasil skrining yang menunjuk- aitem. Skala ini menggunakan format
kan skor depresi lebih dari 17 berdasarkan jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1
Beck Depression Inventory (BDI) (hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3
(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5
Alat atau materi (hampir selalu). Skor skala didapatkan
dengan menjumlahkan 10 aitem untuk
Alat atau materi yang diberikan merefleksikan lebih tinggi perasaan
pada subjek dalam penelitian ini adalah: positif atau perasaan negatif.
1. Beck Depression Inventory (BDI) Pada penelitian ini, skala PANAS yang
Beck Depression Inventory merupakan digunakan adalah PANAS yang telah
skala untuk mengukur tingkat depresi diterjemahkan ke dalam bahasa Indo-
subjek. Pada penelitian ini, skala BDI nesia. Pada uji reliabilitas dan validitas

JURNAL PSIKOLOGI 95
SUSILOWATI & HASANAT

10 aitem perasaan negatif dan 10 aitem dikan Universitas Sanata Dharma. Uji
perasaan positif adaptasi yang dilaku- validitas 16 aitem pemikiran negatif
kan peneliti terhadap 60 orang maha- dan 20 aitem pemikiran positif, dite-
siswa tahun pertama Fakultas Kegu- mukan 15 aitem pemikiran negatif
ruan dan Ilmu Pendidikan Universitas sahih dengan korelasi aitem total
Sanata Dharma ditemukan korelasi sebesar 0,321-0,720 dan 19 aitem pemi-
aitem total sebesar 0,207-0,707 untuk kiran positif sahih dengan korelasi
perasaan negatif dan 0,237-0,630 untuk aitem total sebesar 0,260-0,674 dengan
perasaan positif. Dari uji reliabilitas aitem yang gugur adalah 10 dan 33. Uji
diperoleh koefisien alfa Cronbach sebe- reliabilitas ditemukan koefisien reliabi-
sar 0,788 untuk perasaan negatif dan litas Alfa Cronbach sebesar 0,863 untuk
0,775 untuk perasaan positif. pemikiran negatif dan 0,854 untuk
3. Cognitive-Emotion Regulation Question- pemikiran positif.
naire (CERQ). 4. Lembar kesediaan menjadi subjek pene-
Cognitive-Emotion Regulation Question- litian (informed consent).
naire (CERQ) digunakan untuk menge- Lembar kesediaan subjek berisi penje-
tahui pemikiran seseorang pada saat lasan tentang penelitian, perjanjian
atau setelah mengalami kejadian yang tentang pelaksanaan terapi, ketentuan,
mengancam atau menekan. manfaat, konsekuensi, jaminan keraha-
Cognitive-Emotion Regulation Question- siaan identitas, dan komitmen untuk
naire (CERQ) terdiri dari sembilan subs- mengikuti seluruh tahapan terapi.
kala yaitu menyalahkan diri sendiri, 5. Modul menulis pengalaman emosional
menyalahkan orang lain dan lingkung- Modul menulis pengalaman emosional
an, ruminasi (seringkali berpikir ten- disusun oleh peneliti sebagai panduan
tang perasaan yang berkaitan dengan dalam pelaksanaan terapi.
kejadian-kejadian negatif), katastrofi
6. Buku harian
(pikiran pada teror yang dirasakan),
menyusun persfektif, memusatkan pi- Buku harian ini disusun oleh peneliti
kiran pada hal positif, menilai adanya sebagai media untuk menulis penga-
hal yang positif, menerima situasi, dan laman emosional oleh subjek. Setiap
menyusun rencana (Garnefski et al., subjek diminta untuk menulis penga-
2002). laman emosionalnya pada buku harian
selama 4 kali pertemuan. Setiap sesi
Masing-masing sub skala dalam CERQ
menulis berdurasi kurang lebih selama
terdiri dari 4 aitem dengan format
30 menit.
jawaban 5 point skala Likert yaitu 1
(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 Validitas buku harian ini ditentukan
(kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 berdasarkan validitas tampang (face
(hampir selalu). validity) dengan mengacu pada format
penampilan. Validitas tampang ditentu-
Penelitian ini menggunakan Skala
kan berdasarkan profesional judgment
CERQ yang telah diterjemahkan ke da-
bahwa buku ini layak digunakan seba-
lam bahasa Indonesia. Pada penelitian
gai alat intervensi. Buku harian dengan
ini, uji reliabilitas dan validitas terha-
desain dan tata letak yang baik dapat
dap 60 mahasiswa tahun pertama
memotivasi subjek untuk menulis de-
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendi-
ngan baik (Kaloeti, 2007).

96 JURNAL PSIKOLOGI
TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

7. Lembar Kerja (Worksheet) - X : Tanpa perlakuan


Y2 : Postest
Lembar kerja ini berisi pernyataan ten-
Y3 : Follow up satu minggu setelah semua sesi
tang hal-hal yang didapatkan oleh
terapi dilakukan
subjek selama menulis pengalaman
emosional. Pernyataan yang diberikan Gambar 1. Rancangan eksperimen
dalam lembar kerja ini adalah:
a. Tema kejadian yang dituliskan
Prosedur Penelitian
b. Emosi-emosi yang muncul selama
menulis Secara garis besar prosedur penelitian
c. Emosi yang dirasakan setelah me- yang dilakukan adalah sebagai berikut:
nulis 1. Melakukan uji coba modul. Uji kelayak-
d. Hal-hal yang didapatkan selama an modul telah dilakukan dengan
menulis melakukan simulasi sebanyak empat
8. Alat tulis kali simulasi terhadap lima mahasiswa
yaitu pada tanggal 15 Mei 2009 seba-
Alat tulis berupa pulpen yang diberikan
nyak dua kali uji coba dan 26 Mei 2009
kepada subjek.
sebanyak dua kali uji coba.
Rancangan eksperimen 2. Melakukan uji coba PANAS dan CERQ
pada tanggal 11-15 Mei 2009.
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah two matched group design. Pengu- 3. Melakukan skrining subjek berdasarkan
kuran dalam penelitian ini menggunakan kriteria yang telah dibuat oleh peneliti
desain pretest, posttest, dan follow up. Subjek yaitu pada tanggal 22 Mei 2009. Skrin-
diberikan pretest sebelum pelaksanaan ing dilakukan pada 100 mahasiswa
tritmen dengan skala BDI, PANAS, dan semester II tahun pertama Fakultas
CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan Psikologi Universitas Gajah Mada. Ber-
tritmen dilakukan posttest dengan meng- dasarkan skrining yang dilakukan
gunakan skala yang sama sebagai evaluasi didapatkan 24 mahasiswa yang sesuai
hasil tritmen, sehingga akan terlihat perbe- dengan kriteria yang ditetapkan.
daannya sebelum dan sesudah dilakukan 4. Peneliti membagi 24 mahasiswa terse-
tritmen. Selanjutnya rentang waktu satu but menjadi dua kelompok, 12 maha-
minggu setelah semua sesi tritmen berakhir siswa untuk kelompok eksperimen dan
dan dilakukan posttest, akan dilakukan 12 mahasiswa untuk kelompok kontrol
follow up untuk melihat efektivitas tritmen dengan matched skor depresi.
lebih lanjut. 5. Meminta persetujuan subjek untuk
mengikuti penelitian dilakukan dengan
Post Follow penandatanganan lembar persetujuan
Pre test Perlakuan
test up menjadi subjek atau informed consent
KE Y1 X Y2 Y3 pada tanggal 29 Mei 2009 untuk kelom-
KK Y1 -X Y2 Y3 pok eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk
Keterangan: kelompok kontrol. Pada tahap ini,
KE : Kelompok eksperimen yang mendapat mahasiswa yang bersedia mengikuti
perlakuan menulis pengalaman emosional penelitian adalah 9 untuk kelompok
KK : Kelompok kontrol eksperimen dan 10 untuk kelompok
Y1 : Pretest kontrol.
X : Perlakuan menulis pengalaman emosional

JURNAL PSIKOLOGI 97
SUSILOWATI & HASANAT

6. Pemberian pretest yaitu berupa PANAS pemikiran subjek setelah mengikuti


dan CERQ pada 3 Juni 2009. Terapi Menulis Pengalaman Emosional.
7. Proses terapi dimulai pada tanggal 3 11. Melakukan analisis kualitatif yaitu de-
sampai 10 Juni 2009. Pada pelaksanaan ngan analisis naratif berdasarkan cerita
terapi, subjek yang datang pada hari yang ditulis untuk mengetahui dina-
pertama terapi adalah enam subjek dan mika yang terjadi dalam Terapi Menulis
tiga subjek lainnya menyatakan meng- Pengalaman Emosional.
undurkan diri. Sebelum memulai tera-
pi, subjek terlebih dahulu diberikan
Hasil
informasi mengenai hal–hal yang ber-
hubungan dengan proses terapi seperti Pada penelitian ini, analisis dilakukan
aturan yang harus ditaati bersama dan dalam dua cara, yaitu analisis kuantitatif
kegiatan yang dilakukan selama empat dan analisis kualitatif.
kali pertemuan. Subjek diberikan terapi
berupa menulis pengalaman emosional Analisis Kuantitatif
dengan menggunakan buku harian.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan
Terapi dilakukan selama empat kali
membandingkan skor pretest, posttest, dan
pertemuan yaitu pada tanggal 3, 5, 8,
follow up hasil pengukuran skala Beck
dan 10 Juni 2009. Sebelum menulis,
Depression Inventory (BDI) dengan meng-
subjek diberikan instruksi terlebih da-
gunakan Design Anava Campuran yang
hulu. Observer dilibatkan sebagai peng-
terdiri Anava Antar Kelompok dan Anava
amat dalam setiap proses intervensi
Amatan Ulang.
dengan panduan lembar observasi.
Hasil Anava Amatan Antar Kelompok
8. Pemberian posttest berupa BDI, PANAS,
Depresi antara Kelompok Eksperimen dan
dan CERQ dilakukan pada tanggal 10
Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F
Juni 2009. Untuk kelompok eksperimen,
hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang
posttest diberikan pada akhir pertemuan
berarti ada perbedaan yang signifikan an-
ke empat. Posttest ini diikuti oleh enam
tara kelompok eksperimen dengan kelom-
subjek dari kelompok eksperimen dan
pok kontrol.
enam subjek dari kelompok kontrol.
Empat subjek dalam kelompok kontrol Tabel 1
gugur karena tidak bersedia mengikuti Rerata Skor Depresi pada Kelompok
posttest. Eksperimen dan Kelompok Kontrol
9. Follow up berupa pemberian BDI, Rerata
PANAS, dan CERQ dilakukan setelah Kelompok Rerata Rerata
follow
satu minggu pemberian terapi menulis Penelitian pretest posttest
up
pengalaman emosional pada buku
Kelompok
harian yaitu pada tanggal 17 Juni 2009. 18,17 9 5,5
Eksperimen
Pada tahap follow up diikuti oleh enam
Kelompok
mahasiswa dari kelompok eksperimen 18,33 17,83 15,83
kontrol
dan enam mahasiswa dari kelompok
kontrol.
Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa ada
10. Melakukan analisis kuantitatif, yaitu
penurunan depresi pada kelompok eks-
untuk melihat apakah ada penurunan
perimen dan kelompok kontrol. Penurunan
depresi dan perubahan emosi serta

98 JURNAL PSIKOLOGI
TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

depresi terjadi lebih banyak pada kelom- dan follow up pada kelompok eksperimen
pok eksperimen dibandingkan dengan dan kelompok kontrol.
kelompok kontrol. Hasil anava amatan antar kelompok
Dari pengujian Anava Amatan Ulang pemikiran pada kelompok eksperimen dan
untuk mengetahui penurunan depresi kelompok kontrol menunjukkan bahwa
pretest, posttest, dan follow up pada subjek pada pemikiran positif dihasilkan nilai
kelompok eksperimendiketahui nilai F F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) yang berarti
hitung=33,72 dan p=0,001 (p<0,05) yang tidak ada perbedaan yang signifikan peru-
berarti ada perbedaan depresi pada setiap bahan pemikiran positif pada kelompok
pengukuran pretest, posttest, dan follow up. eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini
Hal ini menunjukkan adanya penurunan menunjukkan bahwa peningkatan pemi-
depresi pada setiap pengukuran. kiran positif pada kelompok eksperimen
Untuk mengetahui perbedaan depresi tidak menunjukkan perbedaan yang signi-
pada pretest, posttest, dan follow up dilaku- fikan dengan kelompok kontrol. Demikian
kan pengujian Post Hoc. Hasil pengujian pula dengan pemikiran negatif yang meng-
Post Hoc memperlihatkan adanya penu- hasilkan nilai F=0,551 dan p=0,475 (p>0,05).
runan yang signifikan depresi subjek antara Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang
pretest, posttest, dan follow up. Pada peng- signifikan perubahan pemikiran negatif
ukuran pretest dan posttest terdapat perbe- pada kelompok eksperimen dan kelompok
daan dengan p=0,003 (p<0,05) dan pada kontrol. Dengan demikian, penurunan
pengukuran posttest dan follow up dengan pemikiran negatif pada kelompok ekspe-
p=0,033 (p<0,05). Pada pengukuran pretest rimen tidak menunjukkan perbedaan yang
dan follow up dengan p=0,001 (p<0,05). signifikan dengan kelompok kontrol. De-
ngan demikian, dapat disimpulkan bahwa
Selanjutnya juga dilakukan analisis
menulis pengalaman emosional kurang
dengan Anava Campuran untuk menge-
efektif untuk meningkatkan pemikiran
tahui perbedaan perubahan pemikiran dan
positif dan menurunkan pemikiran negatif
emosi pada setiap kelompok dan pada
pada subjek.
setiap pengukuran.
Hasil anava amatan ulang pemikiran
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui
positif dan negatif pada kelompok eks-
adanya perubahan berupa peningkatan
perimen menunjukkan bahwa terdapt nilai
maupun penurunan skor pretest, posttest,

Tabel 2
Rerata Pemikiran Positif, Pemikiran Negatif, Emosi Positif, dan Emosi Negatif
Rerata Rerata Rerata
Variabel Kelompok Penelitian
pretest posttest follow up
Pemikiran Positif Kelompok Eksperimen 74,50 75,83 77,50
Kelompok kontrol 70,67 69,50 71,67
Pemikiran Kelompok Eksperimen 41,83 41,00 39,33
Negatif Kelompok kontrol 43,33 42,83 44,67
Emosi Positif Kelompok Eksperimen 34,67 34,33 36,33
Kelompok kontrol 34,17 34,33 34,50
Emosi Negatif Kelompok Eksperimen 29,17 27,00 24,00
Kelompok kontrol 29,50 29,00 27,67

JURNAL PSIKOLOGI 99
SUSILOWATI & HASANAT

F=3,16 dan p=0,106 (p>0,05) untuk pemi- dengan teman lawan jenis, konflik dengan
kiran positif dan F=0,551 dan p=0,475 teman sebaya, konflik dengan pacar, kon-
(p>0,05) untuk pemikiran negatif. Hal ini flik dengan orang tua, konflik dengan
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pemilik kost, permasalahan yang berhu-
yang signifikan pemikiran positif maupun bungan dengan aktivitas akademik di
pemikiran negatif pada pengukuran pretest, kampus, dan kurangnya dukungan sosial
posttest, dan follow up. yang diterimanya. Selain itu, menulis
Hasil anava amatan antar kelompok pengalaman emosional juga dapat menjadi
emosi positif dan emosi negatif pada sarana bagi subjek untuk mengekspresikan
kelompok eksperimen dan kelompok kon- emosi-emosi yang dirasakan berkaitan
trol memperlihatkan nilai F=0,171 dan dengan kejadian yang dialami oleh subjek.
p=0,688 (p>0,05) untuk emosi positif dan Dari analisis naratif yang telah dike-
F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05) untuk emosi mukakan juga dapat dilihat bahwa per-
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak masalahan-permasalahan yang dialami
ada perbedaan yang signifikan perubahan subjek dapat menimbulkan perasaan sedih,
emosi positif dan negatif pada kelompok putus asa, tidak berminat untuk melakukan
eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan
demikian, dapat disimpulkan bahwa me- diri sendiri, dan menyalahkan orang lain.
nulis pengalaman emosional kurang efektif Semua simtom – simtom ini merupakan
untuk meningkatkan emosi positif dan simtom dari depresi.
mengurangi emosi negatif pada diri subjek. Dari analisi juga dapat diketahui bah-
Dari hasil Anava Amatan Ulang pada wa terapi menulis pengalaman emosional
kelompok eksperimen didapatkan nilai dapat memfasilitasi subjek untuk mengem-
F=0,171 dan p=0,688 (p>0,05) untuk emosi bangkan pemikiran-pemikiran tertentu ber-
positif dan F=0,797 dan p=0,393 (p>0,05) kaitan dengan kejadian-kejadian yang
untuk emosi negatif yang berarti tidak ada dialami. Dengan menulis, subjek dapat
perbedaan yang signifikan emosi positif mengembangkan pemikiran untuk meneri-
maupun emosi negatif pada pengukuran ma situasi yang ada, memusatkan pemi-
pretest, posttest, dan follow up. Hal ini kiran pada hal-hal yang positif dan menilai
menunjukkan bahwa peningkatan emosi hal-hal positif dari kejadian yang dialami.
positif dan penurunan emosi negatif pada Selain itu, menulis pengalaman emosional
setiap pengukuran tidak signifikan. juga mendorong subjek untuk memperoleh
suatu pemahaman atau insight, mengem-
Analisis Kualitatif bangkan motivasi dalam diri sendiri, serta
mendorong munculnya rasa optimis de-
Analisis kualitatif dilakukan dengan
ngan mengembangkan harapan–harapan
analisis naratif dengan sistem koding dari
dan keyakinan.
cerita yang dituliskan subjek pada buku
harian dan jawaban yang diberikan subjek Dari lembar kerja subjek dapat dike-
pada lembar kerja setelah menulis penga- tahui bahwa selama menulis pengalaman
laman emosional. Dari analisis naratif ini, emosional, subjek mengalami emosi-emosi
akan diketahui dinamika subjek dalam yang sama dengan ketika subjek menga-
menghadapi kejadian-kejadian menekan. lami kejadian-kejadian yang dituliskan.
Ketika menuliskan pengalaman yang tidak
Dalam penelitian ini, topik-topik yang
menyenangkan, subjek merasakan emosi-
dituliskan oleh subjek adalah topik menge-
emosi negatif seperti sedih, marah, jijik,
nai konflik dengan diri sendiri, konflik

100 JURNAL PSIKOLOGI


TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

takut, menyesal, dan benci. Sebaliknya, depresi segera setelah terapi selesai. Pada
subjek yang menuliskan pengalaman yang satu minggu setelah terapi selesai (follow
menyenangkan akan merasakan emosi- up), penurunan depresi kembali terjadi
emosi positif, seperti senang, bahagia, dan pada 4 subjek penelitian (66,6%).
lucu. Dari pengukuran emosi dapat dilihat
Emosi–emosi yang dirasakan tersebut bahwa 3 subjek (50%) mengalami penu-
pada umumnya masih terasa pada saat runan emosi positif pada posttest namun 4
setelah sesi menulis. Akan tetapi, para sub- subjek (83%) mengalami peningkatan emo-
jek mengemukakan bahwa setelah menulis si positif pada follow up. Hasil penelitian ini
pengalaman emosional mereka merasa lega mendukung hasil penelitian yang dilaku-
karena telah mengemukakan emosi-emosi kan oleh Pennebaker et al. (1990); Shiffield
dan pemikirannya. et al. (2002); dan Paez, Velasco, & Gonzalez
(1999) bahwa terjadi penurunan emosi
positif pada postest dan peningkatan emosi
Diskusi
positif pada follow up. Akan tetapi, pada
Berdasarkan pelaksanaan Terapi penelitian ini penurunan emosi positif ini
Menulis Pengalaman Emosional diperoleh tidak disertai dengan peningkatan emosi
hasil bahwa Terapi Menulis Pengalaman negatif melainkan disertai penurunan
Emosional pada penelitian ini terbukti emosi negatif sebesar 66% pada posttest dan
dapat menurunkan depresi pada maha- 83% pada follow up.
siswa tahun pertama. Penurunan depresi Hal yang berbeda dialami oleh subjek
terjadi segera setelah pelaksanaan seluruh ketika menuliskan pengalaman-pengala-
terapi (posttest) dan pada satu minggu man yang menyenangkan seperti pergi ke
setelah pelaksanaan terapi selesai (follow suatu tempat bersama teman-teman atau
up). Hasil penelitian ini mendukung hasil ayah dan pertemuan dengan teman atau
penelitian yang telah dilakukan Lepore sahabat. Dengan menuliskan pengalaman-
(1997) bahwa penurunan depresi terjadi pengalaman yang positif atau menyenang-
pada akhir terapi menulis pengalaman kan maka subjek akan mengalami pening-
emosional dan Sloan dan Marx (2004) yang katan emosi-emosi positif setelah menulis
mengemukakan penurunan depresi terjadi pengalaman emosional (Burton & King,
pada posttest dan follow up. Akan tetapi, hal 2004).
ini tidak sama dengan hasil penelitian yang
Pada penelitian ini, ditemukan tidak
dikemukakan oleh Purwandari (2004) yang
adanya perbedaan emosi positif yang sig-
mengemukakan bahwa penurunan depresi
nifikan antara kelompok eksperimen de-
hanya terjadi pada tindak lanjut (follow up)
ngan kelompok kontrol pada pengukuran
atau satu minggu setelah Terapi Menulis
posttest dan follow up. Demikian juga
Pengalaman Emosional selesai.
dengan perubahan emosi negatif yang me-
Berdasarkan skor BDI, sebelum meng- nunjukkan tidak adanya perbedaan emosi
ikuti Terapi Menulis Pengalaman Emo- negatif yang signifikan antara kelompok
sional, tingkat depresi subjek termasuk eksperimen dan kontrol. Hal ini kemung-
sedang. Setelah mengikuti Terapi Menulis kinan karena (1) Pada saat menulis penga-
Pengalaman Emosional, tingkat depresi laman emosional, beberapa subjek cende-
subjek menurun ke depresi ringan sampai rung menuliskan pengalaman-pengalaman
normal. Pada penelitian ini terlihat bahwa yang menyenangkan daripada menuliskan
semua subjek mengalami penurunan pengalaman-pengalaman tentang kejadian

JURNAL PSIKOLOGI 101


SUSILOWATI & HASANAT

yang menekan dan permasalah-permasa- lis pengalaman emosional merupakan sua-


lahannya. Menulis pengalaman emosional tu aktivitas yang melibatkan suatu usaha
yang menyenangkan dapat meningkatkan mengorganisasi, mengintegrasi, dan meng-
emosi positif jangka pendek (Burton & analisis suatu masalah untuk mengem-
King, 2004; Pennebaker & Chung, 2007). bangkan suatu solusi.
Namun, menulis pengalaman emosional Dari analisis kualitatif dengan sistem
yang menyenangkan kurang memfasilitasi koding berdasarkan cerita yang dibuat dan
subjek untuk menguasai permasalahan- lembar kerja dapat dilihat bahwa Terapi
permasalahan yang terjadi di lingkungan- Menulis Pengalaman Emosional dapat
nya dibandingkan dengan menulis penga- memfasilitasi subjek untuk mengembang-
laman-pengalaman yang menekan (Lyubo- kan pemikiran-pemikiran yang positif dari
mirsky, Sousa, & Dickerhoof, 2006). Disam- kejadian-kejadian menekan yang dialami-
ping itu, subjek yang menuliskan penga- nya. Pemikiran-pemikiran positif terhadap
laman-pengalaman yang menyenangkan kejadian-kejadian menekan ini dapat mun-
cenderung untuk menghindari kejadian- cul karena adanya restrukturisasi atau
kejadian yang menekan sehingga masih perubahan kognitif selama menulis penga-
mengalami pikiran-pikiran yang meng- laman emosional. Restrukturisai kognitif
ganggu (Lepore,1997). (2) Ketika subjek ini dapat memfasilitasi perubahan pemi-
melakukan posttest dan follow up subjek kiran dan emosi yang dirasakan dengan
berada dalam kondisi dihadapkan oleh mengevaluasi stresor-stresor yang ada
banyak tugas akademik dan mempersiap- (Lepore, 2002; Sloan, Marx, & Epstein,
kan diri untuk menghadapi ujian akhir 2005). Namun, penelitian ini menunjukkan
semester. Kondisi ini membuat beberapa bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
subjek seringkali mengalami emosi-emosi pemikiran positif antara kelompok ekspe-
negatif namun tidak mempengaruhi terja- rimen dengan kelompok kontrol. Demikian
dinya depresi dalam diri subjek. juga dengan pemikiran negatif yang
Pada penelitian ini, subjek juga menge- menunjukkan tidak ada perbedaan yang
mukakan bahwa dengan menulis penga- signifikan pemikiran negatif antara kelom-
laman emosional pada buku harian, subjek pok eksperimen maupun kelompok kon-
dapat memberikan pendapat secara spon- trol.
tan terhadap hal-hal yang dituliskan, Secara teoritis, dengan menulis penga-
evaluasi pada diri sendiri, pertimbangan laman emosional akan terjadi proses kog-
untuk melakukan sesuatu, dan mendapat- nitif sehingga terjadi peningkatan pemi-
kan suatu pemahaman (insight). Pemaham- kiran-pemikiran positif (Paez, et al.,1999).
an (insight) ini dapat terjadi karena adanya Namun, penelitian ini kurang memfasilitasi
proses kognitif selama menulis. Dengan subjek untuk mengembangkan pemikiran-
menulis, subjek menghadirkan kembali pemikiran positif. Hal ini kemungkinan
peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian dikarenakan: (1) dalam setiap pertemuan,
melakukan penilaian kembali peristiwa- subjek menuliskan topik yang berbeda-
peristiwa tersebut sehingga terjadi dialog beda ketika menulis sehingga kurang mem-
internal dalam diri subjek. Dalam dialog berikan penilaian terhadap kejadian-keja-
internal tersebut, subjek akan memperoleh dian yang menekan secara menyeluruh dan
insight dan kesadaran (Burns, 1988; perubahan atau restrukturisasi kognitif
Purwandari, 2004). Hal ini juga mendu- belum begitu nampak pada subjek (Paez, et
kung pendapat Singer (2004) bahwa menu- al., 1999; Sloan et al., 2005). (2) Berkaitan

102 JURNAL PSIKOLOGI


TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

dengan pelaksanaan terapi, pelaksanaan akhir semester, (2) beberapa subjek meno-
terapi selama empat hari dirasa kurang lak untuk mengikuti terapi.
untuk memfasilitasi perubahan kognitif
pada diri subjek. (3) Berkaitan dengan alat Keterbatasan dalam Penelitian ini
ukur perubahan kognitif atau CERQ,
Keterbatasan dalam penelitian ini
kemungkinan alat ukur ini tidak sesuai
adalah tidak adanya randomized assignment
dengan budaya Indonesia.
terhadap subjek pada kelompok eksperi-
Dari sesi sharing dalam setiap perte- men dan kelompok kontrol setelah dila-
muan didapatkan bahwa menulis penga- kukan matched skor subjek. Oleh karena itu,
laman emosional lebih bermanfaat ketika penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
subjek berada dalam emosi negatif seperti Quasi Experiment yaitu eksperimen yang
sedih, marah, dan kecewa. Dalam keadaan disertai dengan pemberian tritmen, pengu-
emosi negatif, subjek dapat menuliskan kuran outcome, dan unit eksperimental
pengalaman-pengalamannya dengan lebih namun tidak menggunakan random assign-
cepat, lebih panjang, dan lebih ekspresif. ment untuk menciptakan perbandingan
Dari proses terapi juga terlihat bahwa perubahan akibat tritmen. Tidak adanya
durasi waktu untuk menulis selama 30 randomized assignment tersebut dapat meng-
menit dirasa kurang untuk menuliskan ancam validitas internal penelitian karena
semua pemikiran dan emosi mengenai randomized assignment berfungsi untuk (1)
kejadian-kejadian yang dituliskan sehingga menggambarkan sampel dapat mewakili
subjek kurang dapat menuliskan penga- populasi, (2) menggambarkan sampel da-
lamannya secara tuntas. Selain itu, adanya pat diperbandingkan satu sama lain, (3)
jarak hari dari pertemuan 1 ke pertemuan 2 mengurangi bias perbedaan antar kelom-
mengakibatkan subjek berada dalam pok. Perbandingan pada kelompok yang
suasana hati yang berbeda sehingga subjek nonekuivalen yang ditujukan pada perbe-
mengalami kesulitan untuk melanjutkan daan masing-masing kelompok lebih terja-
pengalaman yang telah dituliskan dan di karena berbagai cara daripada pengaruh
ingin dilanjutkan pada hari sebelumnya tritmen yang dilakukan (Cook & Campbell,
serta kesulitan untuk mencari tema cerita 1979).
yang baru.
Pelaksanaan terapi secara terjadwal Kelemahan dalam Penelitian ini
membuat subjek harus menuliskan penga- Ada beberapa kelemahan dalam pene-
laman emosionalnya pada waktu yang litian ini, yaitu:
telah ditentukan dengan kondisi suasana
1. Subjek pada penelitian ini mengguna-
hati yang belum tentu ingin menulis. Oleh
kan subjek mahasiswa tahun pertama
karena itu, subjek seringkali kesulitan
pada semester II sehingga subjek telah
untuk mencari tema-tema cerita untuk
melakukan penyesuaian terhadap per-
dituliskan.
masalahan-permasalahan yang dihada-
Pada penelitian ini, pemberian terapi pi berkaitan dengan masa transisi. Ada
pada subjek waiting list atau kelompok kemungkinan apabila menggunakan
kontrol setelah pelaksanaan terapi pada subjek mahasiswa tahun pertama
kelompok eksperimen belum dapat dilak- semester I akan memperoleh hasil yang
sanakan karena (1) pelaksanaan terapi berbeda.
bertepatan dengan waktu ujian dan libur

JURNAL PSIKOLOGI 103


SUSILOWATI & HASANAT

2. Instruksi pada modul menulis penga- subjek berada pada kategori depresi
laman emosional kurang dapat meng- ringan dan normal.
arahkan subjek untuk mengemukakan 2. Penurunan depresi terjadi karena me-
pengalaman-pengalaman pada keja- nulis pengalaman emosional memfasi-
dian-kejadian yang menekan dalam litasi subjek untuk mengevaluasi,
kehidupannya sehingga terkadang sub- menganalisis, dan menilai kembali
jek cenderung menuliskan pengalaman kejadian-kejadian menekan yang diala-
yang bersifat menyenangkan atau minya sehingga subjek mendapatkan
netral. suatu pemahaman, mengembangkan
3. Waktu menulis 30 menit dirasa kurang suatu solusi, memotivasi diri, menerima
untuk menulis pengalaman emosional keadaan yang ada, belajar dari apa
yang dirasakan sehingga subjek kurang yang dialami, memusatkan pemikiran
dapat mengemukakan perasaan dan pada hal-hal yang positif, dan menilai
pemikirannya secara tuntas. hal-hal positif dari suatu kejadian.
4. Adanya jarak hari pertemuan untuk
menulis pengalaman emosional menga- Saran
kibatkan subjek mengalami suasana
hati yang berbeda-beda pada setiap Berdasarkan hasil dan proses terapi
pertemuan sehingga subjek mengalami yang dilaksanakan maka saran yang dia-
kesulitan untuk melanjutkan menulis- jukan adalah sebagai berikut:
kan pengalaman dari pertemuan sebe- 1. Untuk kalangan profesional,
lumnya.
Terapi ini disarankan menjadi salah
5. Pelaksanaan Terapi Menulis Penga- satu program bagi mahasiswa baru se-
laman Emosional secara terjadwal pada bagai sarana bantu diri untuk meng-
waktu tertentu mengakibatkan subjek atasi depresi.
harus menulis pengalaman emosional
2. Kepada peneliti selanjutnya
pada kondisi saat itu juga baik itu
sedang berminat untuk menulis a. Pada penelitian berikutnya perlu
ataupun tidak. untuk menggunakan mahasiswa ba-
ru semester pertama untuk menda-
patkan perbandingan hasil efekti-
Kesimpulan vitas Terapi Menulis Pengalaman
Emosional pada mahasiswa semes-
Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal
ter pertama dan ke dua.
yang sangat memperngaruhi pelaksanaan
terapi, didapatkan beberapa hal sebagai b. Pada penelitian berikutnya instruksi
berikut: dalam Terapi Menulis Pengalaman
Emosional lebih ditekankan untuk
1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis
menuliskan pengalaman-pengalam-
Pengalaman Emosional merupakan
an negatif seperti pengalaman yang
sarana bantu diri yang terbukti efektif
membuat sedih atau marah.
menurunkan depresi pada mahasiswa
tahun pertama. Simtom-simtom dan c. Pada penelitian selanjutnya perlu
tingkat depresi pada semua subjek untuk memperpanjang durasi wak-
mengalami penurunan. Sebelum meng- tu menulis. Hal ini bertujuan untuk
ikuti terapi subjek berada pada kategori memberikan kesempatan bagi sub-
sedang dan setelah mengikuti terapi jek untuk mengemukakan semua

104 JURNAL PSIKOLOGI


TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

emosi dan pemikiran-pemikiran Writing in Counselling and Therapy (h. 1-


yang muncul ketika menulis secara 3). New York: Brunner Routledge.
tuntas. Burns, D.D. (1988). Feeling good: The new
d. Disarankan hari pelaksanaan yang mood therapy [Terapi kognitif: Pende-
berlangsung secara berturut-turut. katan baru bagi penanganan depresi]
Hal ini dimaksudkan agar subjek Jakarta: Erlangga.
masih mempunyai ingatan dan sua-
Burton, C.M. & King, L. A. (2004). The
sana hati yang sama untuk melan-
health benefits of writing about inten-
jutkan topik tulisannya pada perte-
sely positive experiences. Journal of
muan sebelumnya. Dengan demi-
Research in Personality, 38, 150-163.
kian, subjek dapat mengemukakan
semua pemikirannya secara menye- Cook, T. D. & Campbell, D. T. (1979). Quasi
luruh. experimentation: Design and analysis
issues for field settings. Illinois: Hough-
e. Disarankan pelaksanaan Terapi
ton Mifflin.
Menulis Pengalaman Emosional di-
lakukan secara individu di rumah. Clark, L.A., Watson, D., & Mineka, S.
Hal ini dimaksudkan agar subjek (1994). Temperament, personality, and
menulis ketika ia benar-benar da- the mood and anxiety disorder. Journal
lam kondisi berminat untuk menu- of Abnormal Psychology, 103, 103-116.
lis. Dowd, E. T. (2004). Depression: Theory,
assesment, and new directions in
Kepustakaan practice. International Journal of Clinical
and Health Psychology, 413-423.
Antony, A. (2004). Therapy online: The
Duffy, K.G. & Atwater, E. (2002). Psychology
therapeutic relationship in typed text. for living: Adjustment, growth, and
Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago,
behavior today (7th ed.) New Jersey: Pren-
& J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An
tice Hall.
Introductory Handbook of Writing in
Counselling and Therapy (h. 133-141). Fisher, S. (1988). Leaving home: Home-
New York: Brunner Routledge. sickness and the psychological effects
of change and transition. Dalam S.
Beck, A. T. (1985). Depression: Causes and
Fisher & J. Reason (Ed.), Handbook of life
treatment. Philadelphia: University of
stress, cognition, and health (h. 41-59).
Pennsylvania Press. England: Wiley.
Blau, G.M. (1996). Adolescent suicide and
Furr, S.R., Mc Connel, G.N., Westefeld, J.S.,
depression. Dalam B. M. Blau & & Jenkins J.M. (2001). Suicide and
Thomas P. Gultotta (Ed.), Adolescent
depression among college students: A
dysfunctional behavior: Causes, inter- decade later. Professional Psychology:
ventions, and prevention (h. 187 – 205). Research and Practice, 32, 97-100.
London: Sage Publications.
Greenberger, D. & Padesky, C.A. (1995).
Bolton, G. (2004). Introduction: Writing Mind over mood: Change how you feel by
cures. Dalam G. Bolton, S. Howlett, C.
changing the way you think. New York:
Lago, & J. K. Wright (Ed.) Writing The Guilford Press.
Cures: An Introductory Handbook of

JURNAL PSIKOLOGI 105


SUSILOWATI & HASANAT

Lazarus, R. S., (1991). Emotion and adap- Pennebaker, J. W., & Chung, C.K. (2007).
tation. New York: Oxford University Expressive writing, emotional uphea-
Press. vals, and health. In H. Friedman and R.
Lepore, S. J. (1997). Expressive writing Silver (Ed.), Handbook of Health Psy-
moderates the relation between intru- chology (h. 263 – 284). New York:
sive thoughts and depressive symp- Oxford University Press.
toms. Journal of Personality and Social Pennebaker, J.W., Colder, M., & Sharp, L.K.
Psychology, 73, 1030-1037. (1990). Accelerating the coping process.
Lepore, S.J. Greenberg, M.A., Bruno, M., & Journal of Personality and Social Psy-
Smyth, J.M., (2002). Expressive writting chology, 58, 528-537.
and health: Self-regulation of emotion Poerwadarminto, W. J. S. (1976). Kamus
related experience, physiology, and Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
behavior. Dalam Lepore & Smyth.The Pustaka
writing cure: How expressive writing Purwandari, E. (2004), Pengaruh menulis
promotes health and emotional well-being. pengalaman emosional terhadap memori
Washington, DC: American Psycholo- otobiografi dan depresi pada remaja yang
gical Association press. Diunduh 13 menjalani rehabilitasi napza. Tesis tidak
Agustus 2008, dari http://www.faculty. diterbitkan, Fakultas Psikologi Univer-
tc.columbia.edu/ sitas Gadjah Mada Yogyakarta Indo-
upload/sl2201/Writing_Cure_Ch_6.pdf nesia.
Lyubomirsky, S., Sousa, L., & Dickerhoof, Rey, J. (2002). More than just the Blues:
R., (2006). The cost and benefits of Understanding serious teenage problems.
writing, talking, and thinking about New South Wales: Simon and Schuster.
life’s triumphs and defeats. Journal of
Personality and Social Psychology, 90, Sheffield, D., Duncan, E., Thomson, K., &
692-708. Johal, S. S. (2002). Written emotional
expression and well-being: Result from
Martin, R.C., & Dahlen, E. R. (2005). Cog- a home-based study. The Australasian
nitive emotion regulation in prediction Journal of Disaster and Trauma Studies,
of depression, anxiety, stress, and 2001. Diunduh 4 February 2008, dari
anger. Personality & Individual Diffe- http://www.massey.ac.nz/~trauma/issu
rences, 39, 1249-1260. es/2002-1/sheffield.htm
Mazure, M.M. (1998). Life stressors as risk Singer, J. A. (2004). Narrative identity and
factors in depression. Clinical Psycho- meaning making across the adult
logy: Science and Practice, 5 , 291-313. lifespan: An introduction. Journal of
Paez, D., Velasco, C., & Gonzales, J.E. (1999) Personality, 72, 437-459.
Expressive writing and the role of Sloan, D. M., & Marx, B. P. (2004). A closer
alexythimia as dispositional deficit in examination of the structured written
self-disclosure and psychological disclosure procedure. Journal of Con-
health. Jornal of Personality anf Social sulting and Clinical Psychology, 72, 165-
Psychology, 77, 630-641. 175.
Pennebaker, J. W. (1997). Writing about Sloan D. M., Marx, B.P., & Epstein, E.M.
emotional experiences as a therapeutic (2005). Further examination of the
process. Psychological Science, 8, 162-166 exposure model underlying the efficacy

106 JURNAL PSIKOLOGI


TERAPI MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA

of written emotional disclosure. Journal College Students: A longitudinal study.


of Consulting and Clinical Psychology, 73, Journal of Counseling Psychology, 52, 602-
549-554. 614.
Susilowati, L. (2008). Pelatihan berpikir positif Wright, J. K. (2004). The passion of science,
untuk mengelola depresi pada penyandang the precision of poetry: therapeutic
cacat tubuh. Tesis tidak diterbitkan. writing-a review of the literature.
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago,
Mada Yogyakarta Indonesia. & J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An
Wei, M., Russell, D. W., & Zakalik, R. A. Introductory Handbook of Writing in
(2005). Adult attachment, sosial self – Counselling and Therapy (h. 7-17). New
efficacy, self-disclosure, loneliness, and York: Brunner Routledge.
subsequent depression for Freshman

JURNAL PSIKOLOGI 107


Nama : Hanif Meliana Lutfi

Nim : 1824090190

Judul Penelitian
Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman Emosional Terhadap
Penurunan Depresi pada Mahasiswa Tahun Pertama

Nama Peneliti 1. Theresia Genduk Susilowati


2. Nida Ul Hasanat
Abstrak
Di tahun pertama, mahasiswa akan mendapatkan
pengalaman stres terkait cutiorang tua dan teman, juga
transisi sistem pendidikan dan home stay baru. Yang
membuat stresperistiwa dapat menyebabkan respon kognitif
dan emosional yang negatif kepada mahasiswa. Karena itu,
Hal tersebut dapat menyebabkan depresi pada diri
mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh penulisan tentang terapi pengalaman emosional
untuk mengurangi depresi bagi mahasiswa tahun pertama.
Desain penelitian menggunakan desain two matched group.
Subjek (N = 12) dibagi menjadi kelompok eksperimen (n =
6) atau kelompok kontrol (n = 6). Kelompok eksperimental
di instruksikan menulis tentang pengalaman emosional
dalam empat sesi menulis yang berlangsung ± 30 menit.
Hasil diukur pada pretest, post test, dan tindak lanjut
dengan Desain ANOVA Campuran. Antar Grup ANOVA
menunjukkan kelompok berbeda secara signifikan pada
depresi (F = 25,88, p = 0,001). Dalam Kelompok ANOVA
menunjukkan bahwa kelompok eksperimen melaporkan
depresi yang berkurang secara signifikan pada pretest,
posttest, dan follow up (F = 33,72, p = 0,001). Tes post hoc
mengungkapkan bahwa pengulangan kelompok eksperimen
melaporkan penurunan depresi secara signifikan pada
pretest-posttest (p = 0,003),posttest follow up (p> 0,33),
dan pretest follow up (p <0,01). Hasil ini menunjukkan
tulisan itu tentang terapi pengalaman emosional dapat
mengurangi depresi bagi mahasiswa tahun pertama.

Pendahuluan/latar belakang
masalah Memasuki 1 pendidikan tinggi merupakan masa transisi
dari pendidikan sekolah menengah ke pendidikan tinggi.
Masa transisi ini merupakan periode yang menekan bagi
mahasiswa karena dihadapkan dengan situasi-situasi dan
tuntutan baru (Duffy & Atwater, 2002; Wei, Russell, &
Zakalik, 2005). Kejadian-kejadian menekan yang dialami
mahasiswa adalah perpisahan denganorang tua, perpisahan
dengan sahabat, perpindahan tempat tinggal, perubahan
sistem pendidikan, dan pertentangan sistem nilai
(Pennebaker, Colder, & Sharp, 1990). Selain itu,
mahasiswa yang sedang berada pada masa remaja juga
dapat dihadapkan dengan kejadian-kejadian menekan
lainnya seperti konflik hubungan dengan pacar, rendahnya
prestasi akademik, konflik dengan orang tua atau teman
sebaya (Blau, 1996), dan masalah keuangan (Furr, Conell,
Westefeld, dan Jenkins, 2001). Pada tahun pertama kuliah,
mahasiswa dituntut untuk mengatasi semua masalahdan
konflik yang dialami serta melakukan penyesuaian terhadap
lingkungan baru. Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi
permasalahan dan melakukan penyesuaian terhadap
kejadian-kejadian yang menekan tersebut akan memicu
timbulnya depresi dalam diri mahasiswa (Fisher, 1988;
Mazure, 1998; Rey, 1995). Menurut pandangan kognitif,
reaksi emosi muncul ketika individu menghadapi situasi
tertentu. Reaksi emosi seseorang ditentukan oleh
bagaimana individu menginterpretasikan pengalaman-
pengalamannya terhadap situasi tersebut (Beck, 1985;
Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap situasi menekan
yang dihadapi akan menentukan kualitas dan intensitas
reaksi emosi (Lazarus, 1991). Martin dan Dahlen (2005)
dalam penelitiannya menemukan bahwa pemikiran-
pemikiran negatif dapat memunculkan reaksi emosi yang
negatif pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran tersebut
adalah menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain
dan lingkungan, ruminasi, dan katastrofi. Keempat
pemikiran negatif tersebut menurunkan penilaian positif
dan penerimaan akan situasi yang dihadapi. Selain itu,
pemikiran-pemikiran negatif tersebut berhubungan dengan
depresi. Reaksi emosi juga melibatkan dua sistem afektif,
yaitu afek positif dan afek negatif. Berkaitan dengan sistem
afektif tersebut, depresi melibatkan rendahnya afek positif
dan tingginya afek negatif (Clark, Watson, & Mineka,
1994). Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger & Padesky,
1995) mengemukakan bahwa depresi ditandai dengan
pandangan negatif mengenai diri sendiri, dunia, dan masa
depan. Individu dapat mengalami depresi karena ia
memiliki skema kognitif yang negatif. Skema kognitif ini
dikembangkan dari masa kanak-kanak atau remaja dan
bersifat disfungsional. Skema kognitif yang negatif tersebut
dapat mengantarai munculnya depresi ketika individu
mengalami kejadian-kejadian yang menekan dengan cara
menginterpretasikan dan memberikan pandangan yang
negatif terhadap kejadiankejadian yang menekan (Beck,
1985; Dowd, 2004). Dari penjelasan di atas, depresi
merupakan suatu gangguan emosional atau perasaan.
Depresi yang dibiarkan terus berlanjut akan berdampak
buruk pada individu yang mengalaminya sehingga perlu
adanya intervensi untuk mengatasinya. Beberapa intervensi
telah dilakukan untuk mengatasi atau menurunkan simtom-
simtom depresi. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan
untuk mengatasi atau menurunkan simtom-simtom depresi
adalah Terapi Menulis Ekspresif atau Menulis Pengalaman
Emosional (Lepore, 1997; Purwandari, 2004; Sloan &
Marx, 2004).

Teori/definisi dari variable


yang terlibat Penelitian mengenai efektivitas terapi untuk menurunkan
simtom-simtom depresi pada mahasiswa telah dilakukan
oleh Lepore (1997). Lepore menggunakan Terapi Menulis
Ekspresif atau Menulis Pengalaman Emosional untuk
menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa
sebelum menghadapi ujian. Penurunan simtom-simtom
depresi tersebut dapat terjadi karena diantarai oleh
menurunnya tingkat emosional negatif yang diakibatkan
oleh pikiran-pikiran yang mengganggu (instrusive
thoughts). Efektivitas menulis pengalaman emosional untuk
menurunkan depresi telah dibuktikan oleh penelitian
Purwandari (2004) pada remaja yang mengalami
rehabilitasi NAPZA. Purwandari mengemukakan bahwa
pemikiran positif terjadi karena adanya penurunan bias
memori otobiografi. Memori otobiografi adalah muatan
emosi peristiwa-peristiwa yang pernah dilalui remaja, baik
yang bersifat menyenangkan (positif) atau menyedihkan
(negatif). Pada saat remaja mengalami depresi, mereka akan
mengalami distorsi kognitif sehingga mengalami bias
karena perasaan-perasaan negatif saja yang diingat.
Pemikiran positif dapat terjadi setelah satu minggu
intervensi menulis pengalaman emosional dilaksanakan.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran
positif yang paling besar terjadi pada subjek dengan tingkat
depresi berat. Penelitian lain mengenai menulis pengalaman
emosional dan depresi juga dilakukan oleh Sloan dan Marx
(2004) pada subjek yang mengalami simtom-simtom Post
Traumatic Stress Disorder dengan menggunakan metode
eksperimen. Menulis pengalaman emosional berlangsung
selama tiga sesi menulis selama tiga hari berturutturut dan
setiap sesi berlangsung selama 20 menit. Selain itu, follow
up dilakukan pada minggu ke dua dan ke empat. Penelitian
Sloan dan Marx ini menunjukkan bahwa menulis
pengalaman emosional secara klinis dapat menurunkan
simtom-simtom depresi. Subjek dalam kelompok menulis
pengalaman emosional melaporkan menu- TERAPI
MENULIS PENGALAMAN EMOSIONAL PADA
MAHASISWA JURNAL PSIKOLOGI 95 runnya simtom-
simtom depresi setelah menulis pengalaman emosional dan
follow up. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat
pengaruh menulis pengalaman emosional terhadap
penurunan depresi pada mahasiswa tahun pertama.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah Terapi Menulis
Pengalaman Emosional dapatmenurunkan depresipada
mahasiswa tahun pertama.

Sampel/subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 12mahasiswa
tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
dengan rentang usia 18-19 tahun. Karakteristik
subjekadalah mahasiswa tahun pertama yangberasal dari
luar daerah Yogyakarta dantinggal tidak bersama orang tua
atautinggal di kos atau asrama. Subjek diseleksi
berdasarkan hasil skrining yang menunjukkan skor depresi
lebih dari 17 berdasarkanBeck Depression Inventory (BDI)

Desain
Penelitian/Rancangan Rancangan penelitian yang digunakanadalah two
Eksperimen matched group design. Pengukuran dalam penelitian ini
menggunakandesain pretest, posttest, dan follow up.
Subjekdiberikan pretest sebelum pelaksanaantritmen
dengan skala BDI, PANAS, dan

CERQ. Kemudian setelah pelaksanaan tritmen dilakukan


posttest dengan menggunakan skala yang sama sebagai
evaluasihasil tritmen, sehingga akan terlihat perbedaannya
sebelum dan sesudah dilakukantritmen. Selanjutnya rentang
waktu satu minggu setelah semua sesi tritmen berakhir dan
dilakukan posttest, akan dilakukan follow up untuk melihat
efektivitas tritmen lebih lanjut.

Pelaksanaan Penelitian
Secara garis besar prosedur penelitian yang dilakukan
adalah sebagai berikut:

1. Melakukan uji coba modul. Uji kelayakan


modul telah dilakukan dengan melakukan
simulasi sebanyak empat kali simulasi
terhadap lima mahasiswa yaitu pada tanggal
15 Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba dan
26 Mei 2009 sebanyak dua kali uji coba.

2. Melakukan uji coba PANAS dan CERQ


pada tanggal 11-15 Mei 2009.

3. Melakukan skrining subjek berdasarkan


kriteria yang telah dibuat oleh peneliti yaitu
pada tanggal 22 Mei 2009. Skrining
dilakukan pada 100 mahasiswa semester II
tahun pertama Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada. Berdasarkan
skrining yang dilakukan didapatkan 24
mahasiswa yang sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan.

4. Peneliti membagi 24 mahasiswa tersebut


menjadi dua kelompok, 12 mahasiswa untuk
kelompok eksperimen dan 12 mahasiswa
untuk kelompok kontrol dengan matched
skor depresi.

5. Meminta persetujuan subjek untuk


mengikuti penelitian dilakukan dengan
penandatanganan lembar persetujuan
menjadi subjek atau informed consent pada
tanggal 29 Mei 2009 untuk kelompok
eksperimen dan 3 Juni 2009 untuk kelompok
kontrol. Pada tahap ini, mahasiswa yang
bersedia mengikuti penelitian adalah 9 untuk
kelompok eksperimen dan 10 untuk
kelompok kontrol. SUSILOWATI &
HASANAT 98 JURNAL PSIKOLOGI

6. Pemberian pretest yaitu berupa PANAS dan


CERQ pada 3 Juni 2009.

7. Proses terapi dimulai pada tanggal 3 sampai


10 Juni 2009. Pada pelaksanaan terapi,
subjek yang datang pada hari pertama terapi
adalah enam subjek dan tiga subjek lainnya
menyatakan mengundurkan diri. Sebelum
memulai terapi, subjek terlebih dahulu
diberikan informasi mengenai hal–hal yang
berhubungan dengan proses terapi seperti
aturan yang harus ditaati bersama dan
kegiatan yang dilakukan selama empat kali
pertemuan. Subjek diberikan terapi berupa
menulis pengalaman emosional dengan
menggunakan buku harian. Terapi dilakukan
selama empat kali pertemuan yaitu pada
tanggal 3, 5, 8, dan 10 Juni 2009. Sebelum
menulis, subjek diberikan instruksi terlebih
dahulu. Observer dilibatkan sebagai
pengamat dalam setiap proses intervensi
dengan panduan lembar observasi.

8. Pemberian posttest berupa BDI, PANAS,


dan CERQ dilakukan pada tanggal 10 Juni
2009. Untuk kelompok eksperimen, posttest
diberikan pada akhir pertemuan ke empat.
Posttest ini diikuti oleh enam subjek dari
kelompok eksperimen dan enam subjek dari
kelompok kontrol. Empat subjek dalam
kelompok kontrol gugur karena tidak
bersedia mengikuti posttest.

9. Follow up berupa pemberian BDI, PANAS,


dan CERQ dilakukan setelah satu minggu
pemberian terapi menulis pengalaman
emosional pada buku harian yaitu pada
tanggal 17 Juni 2009. Pada tahap follow up
diikuti oleh enam mahasiswa dari kelompok
eksperimen dan enam mahasiswa dari
kelompok kontrol.

10. Melakukan analisis kuantitatif, yaitu untuk


melihat apakah ada penurunan depresi dan
perubahan emosi serta pemikiran subjek
setelah mengikuti Terapi Menulis
Pengalaman Emosional.

11. Melakukan analisis kualitatif yaitu dengan


analisis naratif berdasarkan cerita yang
ditulis untuk mengetahui dinamika yang
terjadi dalam Terapi Menulis Pengalaman
Emosional.

Metode Analisis Data


Melakukan analisis kuantitatif, yaituuntuk melihat
apakah ada penurunandepresi dan perubahan emosi serta
pemikiran subjek setelah mengikutiTerapi Menulis
Pengalaman Emosional.

Melakukan analisis kualitatif yaitu dengan analisis


naratif berdasarkan cerita yang ditulis untuk mengetahui
dinamika yang terjadi dalam Terapi Menulis Pengalaman
Emosional.

Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, analisis dilakukan dalam dua cara, yaitu
analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis
Kuantitatif Pengujian hipotesis dilakukan dengan
membandingkan skor pretest, posttest, dan follow up hasil
pengukuran skala Beck Depression Inventory (BDI) dengan
menggunakan Design Anava Campuran yang terdiri Anava
Antar Kelompok dan Anava Amatan Ulang. Hasil Anava
Amatan Antar Kelompok Depresi antara Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol menunjukkan nilai F
hitung=25,88 dan p=0,001 (p<0,05), yang berarti ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen
dengan kelompok control. memperlihatkan bahwa ada
penurunan depresi pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Penurunan depresi terjadi lebih banyak
pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Dari pengujian Anava Amatan Ulang untuk
mengetahui penurunan depresi pretest, posttest, dan follow
up pada subjek kelompok eksperimendiketahui nilai F
hitung=33,72 dan p=0,001 (p0,05) yang berarti tidak ada
perbedaan yang signifikan perubahan pemikiran positif
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan pemikiran positif pada
kelompok eksperimen tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dengan kelompok kontrol. Demikian pula dengan
pemikiran negatif yang menghasilkan nilai F=0,551 dan
p=0,475 (p>0,05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang
signifikan perubahan pemikiran negatif pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian,
penurunan pemikiran negatif pada kelompok eksperimen
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan
kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa menulis pengalaman emosional kurang efektif untuk
meningkatkan pemikiran positif dan menurunkan pemikiran
negatif pada subjek. Hasil anava amatan ulang pemikiran
positif dan negatif pada kelompok eksperimen
menunjukkan bahwa terdapt nilai. F=3,16 dan p=0,106
(p>0,05) untuk pemikiran positif dan F=0,551 dan p=0,475
(p>0,05) untuk pemikiran negatif. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pemikiran
positif maupun pemikiran negatif pada pengukuran pretest,
posttest, dan follow up. Hasil anava amatan antar kelompok
emosi positif dan emosi negatif pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol memperlihatkan nilai F=0,171 dan
p=0,688 (p>0,05) untuk emosi positif dan F=0,797 dan
p=0,393 (p>0,05) untuk emosi negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
perubahan emosi positif dan negatif pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa menulis pengalaman emosional kurang
efektif untuk meningkatkan emosi positif dan mengurangi
emosi negatif pada diri subjek. Dari hasil Anava Amatan
Ulang pada kelompok eksperimen didapatkan nilai F=0,171
dan p=0,688 (p>0,05) untuk emosi positif dan F=0,797 dan
p=0,393 (p>0,05) untuk emosi negatif yang berarti tidak
ada perbedaan yang signifikan emosi positif maupun emosi
negatif pada pengukuran pretest, posttest, dan follow up.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan emosi positif dan
penurunan emosi negatif pada setiap pengukuran tidak
signifikan. Analisis Kualitatif Analisis kualitatif dilakukan
dengan analisis naratif dengan sistem koding dari cerita
yang dituliskan subjek pada buku harian dan jawaban yang
diberikan subjek pada lembar kerja setelah menulis
pengalaman emosional. Dari analisis naratif ini, akan
diketahui dinamika subjek dalam menghadapi kejadian-
kejadian menekan. Dalam penelitian ini, topik-topik yang
dituliskan oleh subjek adalah topik mengenai konflik
dengan diri sendiri, konflik dengan teman lawan jenis,
konflik dengan teman sebaya, konflik dengan pacar, konflik
dengan orang tua, konflik dengan pemilik kost,
permasalahan yang berhubungan dengan aktivitas akademik
di kampus, dan kurangnya dukungan sosial yang
diterimanya. Selain itu, menulis pengalaman emosional
juga dapat menjadi sarana bagi subjek untuk
mengekspresikan emosi-emosi yang dirasakan berkaitan
dengan kejadian yang dialami oleh subjek. Dari analisis
naratif yang telah dikemukakan juga dapat dilihat bahwa
permasalahan-permasalahan yang dialami subjek dapat
menimbulkan perasaan sedih, putus asa, tidak berminat
untuk melakukan aktivitas, perasaan bersalah, menyalahkan
diri sendiri, dan menyalahkan orang lain. Semua simtom –
simtom ini merupakan simtom dari depresi. Dari analisi
juga dapat diketahui bahwa terapi menulis pengalaman
emosional dapat memfasilitasi subjek untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran tertentu berkaitan
dengan kejadian-kejadian yang dialami. Dengan menulis,
subjek dapat mengembangkan pemikiran untuk menerima
situasi yang ada, memusatkan pemikiran pada hal-hal yang
positif dan menilai hal-hal positif dari kejadian yang
dialami. Selain itu, menulis pengalaman emosional juga
mendorong subjek untuk memperoleh suatu pemahaman
atau insight, mengembangkan motivasi dalam diri sendiri,
serta mendorong munculnya rasa optimis dengan
mengembangkan harapan–harapan dan keyakinan. Dari
lembar kerja subjek dapat diketahui bahwa selama menulis
pengalaman emosional, subjek mengalami emosi-emosi
yang sama dengan ketika subjek mengalami kejadian-
kejadian yang dituliskan. Ketika menuliskan pengalaman
yang tidak menyenangkan, subjek merasakan emosiemosi
negatif seperti sedih, marah, jijik, TERAPI MENULIS
PENGALAMAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA
JURNAL PSIKOLOGI 101 takut, menyesal, dan benci.
Sebaliknya, subjek yang menuliskan pengalaman yang
menyenangkan akan merasakan emosiemosi positif, seperti
senang, bahagia, dan lucu. Emosi–emosi yang dirasakan
tersebut pada umumnya masih terasa pada saat setelah sesi
menulis. Akan tetapi, para subjek mengemukakan bahwa
setelah menulis pengalaman emosional mereka merasa lega
karena telah mengemukakan emosi-emosi dan
pemikirannya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil, proses, dan hal-hal yang sangat
memperngaruhi pelaksanaan terapi, didapatkan beberapa
hal sebagai berikut:

1. Pada penelitian ini, Terapi Menulis


Pengalaman Emosional merupakan sarana
bantu diri yang terbukti efektif menurunkan
depresi pada mahasiswa tahun pertama.
Simtom-simtom dan tingkat depresi pada
semua subjek mengalami penurunan.
Sebelum mengikuti terapi subjek berada
pada kategori sedang dan setelah mengikuti
terapi subjek berada pada kategori depresi
ringan dan normal.

2. Penurunan depresi terjadi karena menulis


pengalaman emosional memfasilitasi subjek
untuk mengevaluasi, menganalisis, dan
menilai kembali kejadian-kejadian menekan
yang dialaminya sehingga subjek
mendapatkan suatu pemahaman,
mengembangkan suatu solusi, memotivasi
diri, menerima keadaan yang ada, belajar
dari apa yang dialami, memusatkan
pemikiran pada hal-hal yang positif, dan
menilai hal-hal positif dari suatu kejadian.

www.media.neliti.com
EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN ........Hijriyati Cucuani, Linda Aryani, Anggia Kargenti E.M, Ahyani Radhiani Fitri

Efektivitas Metode Pembelajaran Terhadap Prestasi Belajar Psikologi


Eksperimen Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Suska Riau

Hijriyati Cucuani
Linda Aryani
Anggia Kargenti Evanurul Marettih
Ahyani Radhiani Fitri
Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran terhadap prestasi
belajar Psikologi Eksperimen pada mahasiswa Fakultas PsikologiUIN Suska Riau. Penelitian
ini menggunakan metode eksperimen. Pengumpulan data dilakukan melalui tes prestasi
belajar Psikologi Eksperimen dan SPM. Teknik analisa data yang digunakan adalah one-way
anova. Hasil analisa data menunjukkan terdapat pengaruh metode pembelajaran dengan
prestasi belajar Psikologi Eksperimen pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Suska, yang
ditunjukkan dengan F sebesar 10.759, p= 0.000 (p<0.05). Dari tiga metode pembelajaran yang
diberikan (ceramah, diskusi, belajar mandiri), berdasarkan gain score perbandingan skor
pretest dan posttest dapat dilihat bahwa metoda Diskusi adalah yang paling efektif
meningkatkan prestasi belajar Psikologi Eksperimen pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN
Suska Riau.

Kata Kunci : metode pembelajaran, prestasi belajar

Abstract

The objective of this study was to assess the learning method efectiveness on learning
achievement of Psychology Faculty at Suska Riau University's student. This study used
experimental method. Data was conducted with experimental psychology achievement
learning test and Standard Progressive Matrics. Data was analysed with one-way anova.The
results showed there was fully influencing learning method effectiveness on achievement
learning of Experimental Psychology Class at Psychology Faculty, Suska Riau Islamic State
University's student (F= 10.759, p= 0.000, p<0.05). Among gain score between pretest and
posttest from three learning methods which were conducted (traditional, self study, and group
discussion), the findings of this study suggested that group discussion was the best learning
method to increase learning achievement among the student of Experimental Psychology
Class at Psychology Faculty, Suska Riau Universitys.

Keywords: learning method, learning achievement


Pendahuluan antisipasi dengan bekal pengetahuan nilai
dan keterampilan yang sesuai dengan
Usaha penyelenggaraan sistem kebutuhan hidupnya. Hal ini menandakan
pengajaran nasional tidak terlepas dari peran bahwa pendidik sebagai tenaga pengajar
metode pengajaran yang dilakukan oleh diharapkan memiliki metode untuk meng-
tenaga pengajar. Tenaga pengajar menurut himpun pengetahuan dengan memberikan
Mochtar (dalam Bastian, 2002) diharapkan pemahaman yang benar, penuh dan aplikatif.
tidak hanya memikirkan tentang pendidikan Gagne (dalam Pribadi, 2009)
namun juga keadaan situasional dan mengemukakan pembelajaran adalah
membekali anak didik untuk menangkap serangkaian aktivitas yang sengaja dicipta-
berbagai jenis makna kehidupan. Anak kan dengan maksud untuk memudahkan
didik diharapkan memiliki kemampuan terjadinya proses belajar. Pembelajaran
Jurnal Psikologi , Volume 8 Nomor 2, Desember 2012

merupakan pengembangan dan penyam- eksperimen yang dalam waktu dekat ini telah
paian informasi dan kegiatan yang diciptakan mendapatkan beberapa tambahan sarana
untuk memfasilitasi pencapaian tujuan yang dan prasarana penunjang integrasi pada
spesifik (Smith& Ragan dalam Pribadi, 2009). mata kuliah Psikologi eksperimen belum
Pencapaian tujuan pembelajaran menghasilkan banyak karya penelitian
tersebut dapat dilakukan bila metode eksperimen, dan 5) Mata kuliah Psikologi
pengajaran terpadu antara pengetahuan Eksperimen merupakan syarat kelulusan bagi
yang dipahami mahasiswa, penerapan proses penulisan proposal penelitian Skripsi
aplikatif melalui penelitian dan penerapan Mahasiswa, namun seringkali kurang
dalam kehidupan. Metode mengajar yang mendapatkan fokus perhatian mahasiswa
komprehensif dan menjembatani hal tersebut dengan alasan sekedar lulus karena tidak
adalah ceramah, diskusi terarah maupun akan melakukan penelitian dengan metode
belajar mandiri. Ketiga metode tersebut Eksperimen. Setidaknya empat alasan perlu
dapat diterapkan secara langsung dalam diteliti lebih lanjut jawabannya dalam suatu
matakuliah psikologi eksperimen yang kajian mengenai metode pembelajaran yang
menerapkan pemahaman teori dan penelitian manakah yang mampu secara efektif
eksperimental sehingga hasilnya dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa
diterapkan langsung oleh mahasiswa. untuk mempelajari mata kuliah Psikologi
Mahasiswa mendapatkan pengetahuan Eksperimen. Penelitian ini diharapkan
melalui belajar mandiri, diskusi kelompok mampu meneruskan dan mengelaborasi
terarah maupun ceramah dari tenaga tradisi Ilmu Psikologi yang lahir dari
pengajar. penelitian Eksperimental dalam telaah
Pemahaman teori dan penelitian perilaku manusia sebagaimana yang telah
eksperimental dilakukan untuk pencapaian dirintis oleh Wilhelm Wundt. Berdasarkan
kompetensi keterampilan pembelajaran kajian diatas, penelitian ini mengambil judul:
secara intelektual dan motorik. Keterampilan Efektivitas Metode Pembelajaran terhadap
motorik merupakan eksekusi atau pelak- Prestasi Belajar Psikologi Eksperimen pada
sanaan suatu tindakan untuk pencapaian Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Sultan
hasil tertentu sedangkan keterampilan Syarif Kasim Riau.
intelektual merupakan keterampilan yang Menurut Tarmudji (1994), metode
diperoleh oleh siswa untuk melaksanakan mengajar ceramah adalah sebuah cara
aktivitas kognitif yang bersifat unik (Gagne memberikan penjelasan-penjelasan lisan
dalam Pribadi, 2009). kepada peserta untuk menyampaikan
Integrasi matakuliah psikologi eks- materi, sedangkan peranan peserta dalam
perimen diharapkan mampu mewadahi teori, metode ceramah ialah mendengarkan
penelitian dan praktek suatu metode yang dengan teliti serta mencatat pokok-pokok
dipahami oleh mahasiswa. Fakta di lapangan penting yang dikemukakan oleh penyaji
yang ada berdasarkan pengamatan awal materi (penceramah).
peneliti selama empat tahun pelaksanaan Suryosubroto (1997), berpendapat
mata kuliah psikologi Eksperimen adalah: metode mengajar ceramah adalah pene-
1). Nilai mata kuliah psikologi Eksperimen rangan dan penuturan secara lisan oleh guru
menyumbang hasil yang kurang memuaskan terhadap kelasnya, sedangkan peranan
pada lamanya kelulusan dengan asumsi siswa yaitu mendengarkan dena teliti serta
masih banyaknya mahasiswa yang meng- mencatat pokok-pokok yang dikemukakan
ulang mata kuliah tersebut pada dua oleh guru.
semester, 2) masih minimnya penelitian Jadi dapat disimpulkan bahwa
eksperimen yang dilakukan oleh civitas metode mengajar ceramah adalah penyam-
akademika Psikologi UIN SUSKA Riau paian yang diberikan guru kepada siswa
dengan beberapa alasan yaitu eksperimen melalui bahasa lisan di mana siswa mencatat
rumit, mahal, susah, berjangka waktu lama, pokok pelajaran yang disampaikan oleh guru.
dan alasan yang kurang mendukung lainnya, Menurut Suryosubroto (1997) Metode
3) Kesinam-bungan antara pelaksanaan teori Mengajar Diskusi adalah suatu cara
dan penelitian eksperimen berupa praktikum penyajian bahan pelajaran di mana guru
eksperimen belum jelas terlihat dalam suatu memberi kesempatan kepada para siswa
keunikan orisinalitas penelitian eksperimen, (kelompok-kelompok siswa) untuk meng-
4) Proses aktivitas di Laboratorium Psikologi adakan perbincangan ilmiah guna mengum-
99
EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN ........Hijriyati Cucuani, Linda Aryani, Anggia Kargenti E.M, Ahyani Radhiani Fitri

pulkan pendapat, memebuat kesimpulan siswa yang telah mengikuti proses pem-
atau menyusun berbagai alternative belajaran atau pendidikan yang biasanya
pemecahan atas susuatu masalah. ditunjukkan dengan nilai.
Syah (2002), mengatakan metode Mata kuliah Psikologi eksperimen
mengajar diskusi ialah metode mengajar merupakan salah satu mata kuliah wajib
yang sangat erat hubungannya dengan dalam fakultas Psikologi UIN Suska Riau.
belajar memecahkan masalah (problem Dengan diberikannya mata kuliah ini
solving). Pribadi (2009) mengemukakan diharapkan mahasiswa dapat melakukan
diskusi dilakukan dengan cara membahas penelitian dengan metode atau teknis
masalah atau topik penting untuk mem- eksperimen pada saat skripsi jika mereka
peroleh pemahaman atau pengetahuan. berminat. Namun kenyataannya, dari ratusan
Setiap peserta diskusi dapat memberikan mahasiswa yang melakukan skripsi, yang
opini terhadap masalah atau topik yang melakukannya dengan metode eksperimen
didiskusikan. tergolong sedikit sekali. Banyak mahasiswa
Berdasarkan pendapat diatas dapat yang mengatakan bahwa penelitian dengan
disimpulkan bahwa metode mengajar diskusi metoda eksperimen adalah sulit dan
adalah percakapan yang dilakukan oleh guru memakan waktu lama dalam penyelesaian-
dengan siswa dan siswa antar siswa untuk nya. Kesulitan yang dialami oleh beberapa
bertukar pikiran atau pendapat dalam proses siswa tampaknya dikarenakan pemahaman
belajar mengajar guna melatih keterampilan yang kurang mengenai metode eksperimen.
dalam memecahkan berbagai persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
Konsep belajar mandiri adalah belajar jumlah mahasiswa yang mendapatkan nilai
secara berinisiatif, dengan ataupun tanpa yang kurang memuaskan (mendapatkan nilai
bantuan orang lain. Heinich, dkk (dalam E-C) pada saat mengambil matakuliah
Pribadi, 2009) mengemukakan bahwa psikologi eksperimen. Materi dari matakuliah
pembelajaran mandiri menggunakan paket Psikologi Eksperimen memang cukup detail
bahan ajara pada sistem pembelajaran dan memuat eksperimen, sehingga jika
jarak jauh. Pada penelitian ini pelaksanaan mahasiswa kurang serius, tidak memahami
pembelajaran mandiri dikombinasikan atau tidak memiliki minat untuk mengikuti
dengan pembelajaran dikelas atau tatap perkuliahan Psikologi Eksperimen sulit untuk
muka dengan kegiatan dosen memberikan mendapatkan nilai yang memuaskan. Oleh
umpan balik atas proses belajar mandiri karena itu, para pengajar melakukan upaya-
yang dilakukan dirumah. Umpan balik yang upaya agar meningkatkan prestasi belajar
diberikan merupakan informasi yang di- mahasiswa pada matakuliah Psikologi
perlukan untuk meningkatkan efektivitas Eksperimen.
proses dalam sebuah pembelajaran (Pribadi, Menurut Shobur (2003) prestasi
2009). belajar terdiri dari dua faktor, yaitu faktor
Prestasi belajar adalah kemampuan- dari dalam diri mahasiswa (endogen) dan
kemampuan yang diperoleh siswa setelah faktor dari luar diri mahasiswa (eksogen).
mereka menerima pengalaman belajar Salah satu faktor dari luar yaitu sekolah,
(Sudjana, 2004). Djamarah (1994) meng- termasuk guru atau pengajar dengan
ungkapkan pretasi belajar adalah penilaian metode pembelajaran di dalamnya. Oleh
pendidikan tentang kemajuan siswa dalam karena itu metode pembelajaran yang
segala hal yang dipelajari di sekolah digunakan oleh dosen harus diperhatikan,
yang berhubungan dengan pengetahuan, guna meningkatkan prestasi belajar psikologi
kecakapan, atau keterampilan yang di- Eksperimen mahasiswa. Adapun metoda
nyatakan sesudah penilaian dilakukan. yang bisa digunakan antara lain metode
Prestasi belajar merupakan hasil dari proses ceramah, diskusi dan belajar mandiri.
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa di Sternberg dan Swerling (1996)
sekolah setelah melalui beberapa tahapan, menyatakan bahwa, pada intinya metode
dan prestasi belajar ini diperoleh setelah yang digunakan adalah efektif tergantung
siswa menyelesaikan proses belajar meng- dari tujuan penggunaannya. Metoda cera-
ajar selama satu semester yang biasanya mah baik dilakukan untuk memperkenalkan
berbentuk nilai angka. informasi baru dan menuntut perhatian
Dengan demikian dapat disimpulkan mahasiswa tanpa perlu interaksi yang
bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar intensif. Metoda diskusi baik dilakukan untuk
100
Jurnal Psikologi , Volume 8 Nomor 2, Desember 2012

perkuliahan yang jika sudah ada sedikit anggap sebagai efek atau akibat dari
ataupun banyak informasi mengenai materi perlakuan yang diberikan.
tersebut didapatkan mahasiswa sebelumnya
dan menuntut interaksi sesama mahasiswa Variabel Penelitian
dan dosen serta ingin menstimulasi berfikir Penelitian ini terdiri atas satu variabel
kritis mahasiswa. Sedangkan metode bebas dan satu variable terikat, adapun
belajar mandiri digunakan untuk memahami variable-variabel tersebut adalah :
informasi baru, melihat sejauh mana Variabel Bebas : Metode Pembelajaran.
kemampuan pemahaman mahasiswa dan Manipulasi pada Variabel Bebas:
membangkitkan motivasi dari dalam diri untuk 1: Metode Pembelajaran ceramah
mandiri dalam belajar. Garis besar dari materi 2: Metode pembelajaran mandiri
psikologi eksperimen sebenarnya sudah 3: Metode diskusi
didapatkan mahasiswa saat belajar dalam Variabel terikat:Prestasi Belajar
matakuliah metodelogi penelitian. Oleh
sebab itu peniliti menduga diantara ketiga Desain Penelitian
metoda tersebut metoda diskusilah yang Penelitian ini menggunakan desain
paling efektif. Randomized Blocked One Way Anova. Teknik
Hipotesis yang diajukan dalam ini memiliki teknik control tambahan dengan
penelitian ini adalah : a. Hipotesis mayor yaitu dilakukannya blocking dan randomisasi
ada pengaruh metode pembelajaran (Seniati, Yulianto, Setiadi, 2005). Dalam
terhadap prestasi belajar psikologi eks- penelitian ini, di setiap akhir tatap muka
perimen pada mahasiswa psikologi UIN mahasiswa diberikan kuis untuk melihat
Suska Riau, b. Hipotesis minor yaitu metode sebaran nilai yang diinginkan.
pembelajaran diskusi paling efektif untuk
meningkatkan prestasi belajar psikologi Subyek
eksperimen pada mahasiswa psikologi UIN Subyek pada mahasiswa penelitian
Suska Riau. ini adalah seluruh mahasiswa fakultas
Psikologi UIN Suska Riau semester VI
Metode Penelitian yang mengambil mata kuliah Psikologi
Eksperimen, yaitu VI A, VI B, VI C, VID, dan VI
Penelitian ini adalah penelitian eks- E. Teknik pengambilan sampel dilakukan
perimen yaitu penelitian yang memberikan secara purposive sampling dengan kriteria
perlakuan kepada subyek untuk melihat tingkat inteligensi berada pada kategori agak
seberapa besar efek perlakuan terhadap rendah sampai dengan agak tinggi. Dari hasil
variable terikat, dan untuk melihat efek SPM mahasiswa dari kelima kelas diperoleh
perbandingan perlakuan (Latipun, 1999). gambaran subjek sebagai berikut:
Perbedaan hasil pengukuran di-

Tabel 1. Data Mahasiswa

Jumlah Mahasiswa

No Metoda
Katagori Inteligensi ?

1 Ceramah Agak rendah 6


Sedang 7
Agak tinggi 7
Total 20
2 Focus Group discussion Agak Rendah 4
Sedang 15
Agak tinggi 1
Total 20
3 Belajar mandiri Agak rendah 4
Sedang 13
Agak tinggi 6
Total 25

101
EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN ........Hijriyati Cucuani, Linda Aryani, Anggia Kargenti E.M, Ahyani Radhiani Fitri

Teknik Analisa Data berbeda sesuai dengan metode pem-


Analisis statistik yang digunakan belajaran masing-masing.
untuk menguji hipotesis di atas adalah
dengan Anova satu jalur atau disebut pula Hasil
anavar satu jalan yang dianalisis dengan
meng-gunakan bantuan program SPSS 17.0. Uji Asumsi
Menurut Seniati, Yulianto dan Setiadi (2009), Uji ini dimaksudkan untuk melihat
desain anavar satu jalan digunakan pada apakah data yang dimiliki memenuhi
penelitian eksperimental yang memiliki persyaratan, yaitu uji normalitas dan
sebuah variabel bebas, namun variasinya homogenitas. Berdasarkan uji normalitas,
lebih dari dua macam. Pada disain anavar, dengan menggunakan rumus Skewness/
variasi-variasi dalam sebuah variabel bebas std.error of skewness didapatkan hasil -0,56
akan diperbandingkan dalam waktu yang untuk data pretest dan -1,13 untuk data
bersamaan. Trihendardi (2005) meng- posttest. Selain itu, dengan menggunakan
ungkapkan bahwa analisis anova satu jalur rumus kurtosis/std.error of kurtosis
(one-way anova) digunakan untuk menentu- didapatkan hasil -0,43 untuk data pretest dan
kan apakah rata-rata dua atau lebih kelompok -1,46 untuk data posttest. Dengan demikian,
(variabel dependen) berbeda secara nyata. tampak bahwa data pretest dan posttest
Analisis ini memiliki asumsi bahwa kelompok dalam penelitian ini normal (berada diantara -
yang dianalisis memiliki varian yang sama. 2 sampai dengan 2). Berdasarkan hasil dari
uji homegenitas didapatkan bahwa data
Prosedur Penelitian homogen dengan p=0.001 (p<0.05).
1. Penentuan subyek dilakukan secara
purposive sampling Uji Hipotesa
2. Di awal pertemuan subyek diberikan tes Berdasarkan analisis menggunakan
tertulis dan SPM yang bertujuan untuk anova satu jalur didapatkan hasil bahwa ada
menyamakan baseline. pengaruh metoda pembelajaran dengan
prestasi belajar Psikologi Eksperimen pada
3. Selanjutnya subyek diminta untuk
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
menandatangani kontrak penelitian yang Islam Negeri Suska Riau, dengan F sebesar
berisi kesediaan subyek dalam meng- 10.759, p= 0.000 (p<0.05). artinya metode
ikuti aturan main dalam kelas psikologi pembelajaran yang diberikan mempengaruhi
eksperimen. prestasi belajar psikologi eksperimen
4. Subyek diberikan pre test dan pos test mahasiswa psikologi Universitas Islam
pada awal dan akhir perkuliahan pada Negeri Suska Riau. Selain itu, berdasarkan
pertemuan ke IV post hoc test didapatkan hasil seperti yang
tampak pada tabel.2 di bawah ini:
5. Untuk selanjutnya selama 4 kali berturut-
turut subyek diberikan perlakuan yang

Tabel 2 : Hasil Perbandingan antar Metode Belajar

Berdasarkan mean dari ketiga metode dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
belajar; ceramah, diskusi dan belajar mandiri
diketahui bahwa mean belajar dengan
metode diskusi paling tinggi diantara yang
lainnya, M= 33.8. untuk lebih lengkap

102
Jurnal Psikologi , Volume 8 Nomor 2, Desember 2012

Tabel 3 : Deskripsi Data Penelitian

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data meningkat, dapat mempertinggi prestasi


dengan menggunakan Anova satu jalur atau kepribadian individu seperti semangat,
disebut pula anavar satu jalan yang dianalisis toleransi, siswa demokratis, kritis dalam
dengan menggunakan bantuan program berpikir, tekun dan sabar
SPSS 17.0 diperoleh angka F sebesar Uji perbedaan antara metode cera-
10.759, p= 0.000 (p<0.05). Hal ini mah dan mandiri menunjukkan bahwa ada
menunjukkan bahwa metode pembelajaran perbedaan prestasi belajar psikologi eks-
yang diberikan mempengaruhi prestasi perimen pada mahasiswa UIN Suska Riau.
belajar psikologi eksperimen mahasiswa Metode ceramah lebih efektif untuk mening-
psikologi Universitas Islam Negeri Suska katkan prestasi belajar dibandingkan dengan
Riau, artinya hipotesis diterima. metode belajar mandiri. Hal ini sejalan
Berdasarkan uji perbedaan disimpu- dengan pendapat Tarmudji (1994) yang
lkan bahwa Tidak ada perbedaan prestasi mengatakan bahwa dengan metode ceramah
belajar psikologi eksperimen pada maha ketertiban kelas mudah di jaga dan mudah
siswa Fakultas Psikologi UIN Suska Riau menguasai kelas, melatih peserta untuk
yang menggunakan metode ceramah menggunakan pendengarannya dengan baik
dengan diskusi, hal ini dapat dilihat dari hasil serta menangkap dan menyimpulkan
deskriptif yang menunjukkan bahwa tidak ada ceramah dengan cepat dan tepat, materi bisa
perbedaan mean prestasi belajar dilihat dari sampai kepada seluruh siswa dengan
metode ceramah dan diskusi merata.
Selanjutnya pada uji perbedaan Dari hasil penelitian diantara tiga
antara metode diskusi dan belajar mandiri metode pembelajaran, metode belajar
menunjukkan bahwa ada perbedaan prestasi mandiri memperoleh hasil yang paling
belajar psikologi eksperimen pada maha rendah hal ini disebabkan karena metode
siswa Fakultas Psikologi UIN Suska Riau jarang dipergunakan oleh pengajar di kelas,
yang menggunakan metode diskusi dengan sehingga maha siswa tidak terbiasa. Pada
belajar mandiri. Metode diskusi lebih umumnya mahasiswa datang ke kampus
efektif dibandingkan dengan belajar mandiri. t anpa ada persiapan untuk mengikuti
Hasil ini sejalan dengan pendapat yang perkuliahan, walaupun sebelumnya dosen
dikemukakan oleh Suryosubroto (1997) telah mem-berikan referensi pada setiap
yang menjelaskan bahwa metode diskusi tatap muka.
melibatkan semua siswa secara langsung
dalam proses belajar, setiap siswa dapat Penutup
menguji tingkat pengetahuan dan penguasa-
an bahan pelajarannya masing-masing, Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpul-
metode diskusi juga dapat menumbuhkan kan bahwa :
dan mengembangkan cara berpikir dan sifat 1. Hipotesa diterima artinya ada pengaruh
ilmiah. metode pembelajaran terhadap prestasi
Alipandie (1984), mengatakan bahwa belajar psikologi eksperimen mahasiswa
dengan metode belajar diskusi suasana
Psikologi UIN Suska Riau
kelas menjadi hidup sebab siswa-siswa
sepenuhnya mengarahkan perhatian dan 2. Metode pembelajaran diskusi adalah
pikirannya kepada masalah yang sedang metode pembelajaran yang paling efektif
didiskusikan, adanya partisipasi siswa baik untuk meningkatkan prestasi belajar,
perorangan maupun seluruh kelas lebih dibandingkan dengan metode ceramah
103
EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN ........Hijriyati Cucuani, Linda Aryani, Anggia Kargenti E.M, Ahyani Radhiani Fitri

dan pembelajaran mandiri.

Daftar Pustaka

Alipandie, I, 1984, Didaktik Metodik


Pendidikan Umum. Surabaya : Usaha
Nasional.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B.N.
(2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta:
PT Indeks Kelompok Gramedia.
Bastian, A.R. (2002). Reformasi Pendidikan.
Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Prestasi
Belajar dan Kompetensi Guru.
Surabaya: Usaha Nasional.
Latipun, 1996. Psikologi Eksperimen.
Melang: UMM Press
Roestiyah, (1989), Didaktik Metodik, PT. Bina
Aksara, Jakarta.
Seniati, Yulianto, Setiadi, 2005. Psikologi
Eksperimen. Jakarta: PT. Indeks
Shobur, Alex, 2004. Psikologi Umum.
Bandung: Pustaka Setia
Stenberg, R.J., Swerling L.S., 1996. Teaching
for Thinking. Washington: American
Psychological Association.
Sudjana, Nana, 2004. Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Suryosubroto, B. 1997. Proses belajar
mengajar di Sekolah. Jakarta : Rineka
Cipta.
Syah Muhibbin, (2002). Psikologi pendidikan
dengan Pendekatan Baru. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Tri Hendardi, Cornelius, 2005. Step by Step
SPSS 13 Analisis Data Statistik.
Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Tarmudji, T. 1994. Metode Dan Media
penyajian Materi. Yogyakarta : Liberty.

104
NAMA: Sonia Maratul Hasanah

NIM: 1824090211

Jurnal Jurnal Psikologi

Volume dan Tahun Volume 8 Nomor 2, Desember 2012

Nama Peneliti Hijriyati Cucuani

Linda Aryani

Anggia Kargenti Evanurul Marettih

Ahyani Radhiani Fitri

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas


metode pembelajaran terhadap prestasi belajar Psikologi
Eksperimen pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN
Suska Riau. Penelitian ini menggunakan metode
eksperimen. Pengumpulan data dilakukan melalui tes
prestasi belajar Psikologi Eksperimen dan SPM. Teknik
analisa data yang digunakan adalah one-way anova.
Hasil analisa data menunjukkan terdapat pengaruh
metode pembelajaran dengan prestasi belajar Psikologi
Eksperimen pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN
Suska, yang ditunjukkan dengan F sebesar 10.759, p=
0.000 (p<0.05). Dari tiga metode pembelajaran yang
diberikan (ceramah, diskusi, belajar mandiri),
berdasarkan gain score perbandingan skor pretest dan
posttest dapat dilihat bahwa metoda Diskusi adalah
yang paling efektif meningkatkan prestasi belajar
Psikologi Eksperimen pada mahasiswa Fakultas
Psikologi UIN Suska Riau.
Pendahuluan/Latar belakang masalah Usaha penyelenggaraan sistem pengajaran nasional
tidak terlepas dari peran metode pengajaran yang
dilakukan oleh tenaga pengajar. Tenaga pengajar
menurut Mochtar (dalam Bastian, 2002) diharapkan
tidak hanya memikirkan tentang pendidikan namun juga
keadaan situasional dan membekali anak didik untuk
menangkap berbagai jenis makna kehidupan. Anak
didik diharapkan memiliki kemampuan antisipasi
dengan bekal pengetahuan nila dan keterampilan yang
sesuai dengar kebutuhan hidupnya. Hal ini menandakan
bahwa pendidik sebagai tenaga pengajar diharapkan
memiliki metode untuk meng himpun pengetahuan
dengan memberikan pemahaman yang benar, penuh dan
aplikatif.

Gagne (dalam Pribadi, 2009) mengemukakan


pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja
dicipta kan dengan maksud untuk memudahkan
terjadinya proses belajar. Pembelajaran merupakan
pengembangan dan penyam paian informasi dan
kegiatan yang diciptakan untuk memfasilitasi
pencapaian tujuan yang spesifik (Smith& Ragan dalam
Pribadi, 2009).

Pencapaian tujuan pembelajaran tersebut dapat


dilakukan bila metode pengajaran terpadu antara
pengetahuan yang dipahami mahasiswa, penerapan
aplikatif melalui penelitian dan penerapan dalam
kehidupan. Metode mengajar yang komprehensif dan
menjembatani hal tersebut adalah ceramah, diskusi
terarah maupun belajar mandiri. Ketiga metode tersebut
dapat diterapkan secara langsung dalam matakuliah
psikologi eksperimen yang menerapkan pemahaman
teori dan penelitian eksperimental sehingga hasilnya
dapat diterapkan langsung oleh mahasiswa. Mahasiswa
mendapatkan pengetahuan melalui belajar mandiri,
diskusi kelompok terarah maupun ceramah dari tenaga
pengajar

Pemahaman teori dan penelitian eksperimental


dilakukan untuk pencapaian kompetensi keterampilan
pembelajaran secara intelektual dan motorik.
Keterampilan motorik merupakan eksekusi atau pelak
sanaan suatu tindakan untuk pencapaian hasil tertentu
sedangkan keterampilan intelektual merupakan
keterampilan yang diperoleh oleh siswa untuk
melaksanakan aktivitas kognitif yang bersifat unik
(Gagne dalam Pribadi, 2009).

Integrasi matakuliah psikologi eksperimen diharapkan


mampu mewadahi teori, penelitian dan praktek suatu
metode yang dipahami oleh mahasiswa. Fakta di
lapangan yang ada berdasarkan pengamatan awal
peneliti selama empat tahun pelaksanaan mata kuliah
psikologi Eksperimen adalah: 1). Nilai mata kuliah
psikologi Eksperimen menyumbang hasil yang kurang
memuaskan pada lamanya kelulusan dengan asumsi
masih banyaknya mahasiswa yang meng ulang mata
kuliah tersebut pada dua semester, 2) masih minimnya
penelitian eksperimen yang dilakukan oleh civitas
akademika Psikologi UIN SUSKA Riau dengan
beberapa alasan yaitu eksperimen rumit, mahal, susah,
berjangka waktu lama, dan alasan yang kurang
mendukung lainnya. 3) Kesinambungan antara
pelaksanaan teori dan penelitian eksperimen berupa
praktikum eksperimen belum jelas terlihat dalam suatu
keunikan orisinalitas penelitian eksperimen, 4) Proses
aktivitas di Laboratorium Psikologi eksperimen yang
dalam waktu dekat ini telah mendapatkan beberapa
tambahan sarana dan prasarana penunjang integrasi
pada mata kuliah Psikologi eksperimen belum
menghasilkan banyak karya penelitian eksperimen, dan
5) Mata kuliah Psikologi Eksperimen merupakan syarat
kelulusan bagi proses penulisan proposal penelitian
Skripsi Mahasiswa, namun seringkali kurang
mendapatkan fokus perhatian mahasiswa dengan alasan
sekedar lulus karena tidak akan melakukan penelitian
dengan metode Eksperimen. Setidaknya empat alasan
perlu diteliti lebih lanjut jawabannya dalam suatu kajian
mengenai metode pembelajaran yang manakah yang
mampu secara efektif meningkatkan prestasi belajar
mahasiswa untuk mempelajari mata kuliah Psikologi
Eksperimen. Penelitian ini diharapkan mampu
meneruskan dan mengelaborasi tradisi Ilmu Psikologi
yang lahir dari penelitian Eksperimental dalam telaah
perilaku manusia sebagaimana yang telah dirintis oleh
Wilhelm Wundt. Berdasarkan kajian diatas, penelitian
ini mengambil judul: Efektivitas Metode Pembelajaran
terhadap prestasi belajar psikologi lintas eksperimen
pada mahasiswa fakultas psikologi UIN Sultan Syarif
Kasim Riau.

Menurut Tarmudji (1994), metode mengajar ceramah


adalah sebuah cara memberikan penjelasan-penjelasan
lisan kepada peserta untuk menyampaikan materi,
sedangkan peranan peserta dalam metode ceramah ialah
mendengarkan dengan teliti serta mencatat pokok-
pokok penting yang dikemukakan oleh penyaji materi
(penceramah).

Suryosubroto (1997), berpendapat metode mengajar


ceramah adalah pene rangan dan penuturan secara lisan
oleh guru terhadap kelasnya, sedangkan peranan siswa
yaitu mendengarkan dena teliti serta mencatat pokok-
pokok yang dikemukakan oleh guru.

Jadi dapat disimpulkan bahwa metode mengajar


ceramah adalah penyam paian yang diberikan guru
kepada siswa melalui bahasa lisan di mana siswa
mencatat pokok pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Menurut Suryosubroto (1997) Metode Mengajar


Diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran di
mana guru memberi kesempatan kepada para siswa
(kelompok-kelompok siswa) untuk mengadakan
perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat,
membuat kesimpulan atau menyusun berbagai
alternative pemecahan atas suatu masalah.

Syah (2002), mengatakan metode mengajar diskusi


ialah metode mengajar yang sangat erat hubungannya
dengan belajar memecahkan masalah (problem solving).
Pribadi (2009) mengemukakan diskusi dilakukan
dengan cara membahas masalah atau topik penting
untuk mem peroleh pemahaman atau pengetahuan.
Setiap peserta diskusi dapat memberikan opini terhadap
masalah atau topik yang didiskusikan.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa


metode mengajar diskusi adalah percakapan yang
dilakukan oleh guru dengan siswa dan siswa antar siswa
untuk bertukar pikiran atau pendapat dalam proses
belajar mengajar guna melatih keterampilan dalam
memecahkan berbagai persoalan.

Konsep belajar mandiri adalah belajar secara


berinisiatif, dengan ataupun tanpa bantuan orang lain.
Heinich. dkk (dalam Pribadi, 2009) mengemukakan
bahwa pembelajaran mandiri menggunakan paket bahan
ajara pada sistem pembelajaran jarak jauh, Pada
penelitian ini pelaksanaan pembelajaran mandiri
dikombinasikan dengan pembelajaran dikelas atau tatap
muka dengan kegiatan dosen memberikan umpan balik
atas proses belajar mandiri yang dilakukan dirumah.
Umpan balik yang diberikan merupakan informasi yang
di perlukan untuk meningkatkan efektivitas proses
dalam sebuah pembelajaran (Pribadi, 2009).

Prestasi belajar adalah kemampuan kemampuan yang


diperoleh siswa setelah mereka menerima pengalaman
belajar (Sudjana, 2004). Djamarah (1994) meng
ungkapkan pretasi belajar adalah penilaian pendidikan
tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang
dipelajari di sekolah yang berhubungan dengan
pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan yang di
nyatakan sesudah penilaian dilakukan. Prestasi belajar
merupakan hasil dari proses pembelajaran yang
dilakukan oleh siswa di sekolah setelah melalui
beberapa tahapan, dan prestasi belajar ini diperoleh
setelah siswa menyelesaikan proses belajar meng ajar
selama satu semester yang biasanya berbentuk nilai
angka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi


belajar adalah hasil belajar siswa yang telah mengikuti
proses pem belajaran atau pendidikan yang biasanya
ditunjukkan dengan nilai.

Mata kuliah Psikologi eksperimen merupakan salah satu


mata kuliah wajib dalam fakultas Psikologi UIN Suska
Riau. Dengan diberikannya mata kuliah ini diharapkan
mahasiswa dapat melakukan penelitian dengan metode
atau teknis eksperimen pada saat skripsi jika mereka
berminat. Namun kenyataannya, dari ratusan mahasiswa
yang melakukan skripsi, yang melakukannya dengan
metode eksperimen tergolong sedikit sekali. Banyak
mahasiswa yang mengatakan bahwa penelitian dengan
metoda eksperimen adalah sulit dan memakan waktu
lama dalam penyelesaian nya. Kesulitan yang dialami
oleh beberapa siswa tampaknya dikarenakan
pemahaman yang kurang mengenai metode eksperimen.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah
mahasiswa yang mendapatkan nilai yang kurang
memuaskan (mendapatkan nilai E-C) pada saat
mengambil matakuliah psikologi eksperimen: Materi
dari matakuliah Psikologi Eksperimen memang cukup
detail dan memuat eksperimen, sehingga jika
mahasiswa kurang serius, tidak memahami atau tidak
memiliki minat untuk mengikuti perkuliahan Psikologi
Eksperimen sulit untuk mendapatkan nilai yang
memuaskan. Oleh karena itu, para pengajar melakukan
upaya upaya agar meningkatkan prestasi belajar
mahasiswa pada matakuliah Psikologi Eksperimen.

Menurut Shobur (2003) prestasi belajar terdiri dari dua


faktor, yaitu faktor dari dalam diri mahasiswa (endogen)
dan faktor dari luar diri mahasiswa (eksogen). Salah
satu faktor dari luar yaitu sekolah, termasuk guru atau
pengajar dengan metode pembelajaran di dalamnya.
Oleh karena itu metode pembelajaran yang digunakan
oleh dosen harus diperhatikan, guna meningkatkan
prestasi belajar psikologi Eksperimen mahasiswa.
Adapun metoda yang bisa digunakan antara lain metode
ceramah, diskusi dan belajar mandiri.
Sternberg dan Swerling (1996) menyatakan bahwa,
pada intinya metode yang digunakan adalah efektif
tergantung dari tujuan penggunaannya. Metoda cera
mah baik dilakukan untuk memperkenalkan informasi
baru dan menuntut perhatian mahasiswa tanpa perlu
interaksi yang intensif. Metode diskusi baik dilakukan
untuk perkuliahan yang jika sudah ada sedikit ataupun
banyak informasi mengenai materi tersebut didapatkan
mahasiswa sebelumnya dan menuntut interaksi sesama
mahasiswa dan dosen serta ingin menstimulasi berfikir
kritis mahasiswa. Sedangkan metode belajar mandiri
digunakan untuk memahami informasi baru, melihat
sejauh mana kemampuan pemahaman mahasiswa dan
membangkitkan motivasi dari dalam diri untuk mandiri
dalam belajar. Garis besar dari materi psikologi
eksperimen sebenarnya sudah didapatkan mahasiswa
saat belajar dalam matakuliah metodelogi penelitian.
Oleh sebab itu peniliti menduga diantara ketiga metoda
tersebut metoda diskusilah yang paling efektif.
Teori/definisi dari variable yang terlibat Definisi dari variable yang terlibat:

Prestasi belajar adalah kemampuan kemampuan yang


diperoleh siswa setelah mereka menerima pengalaman
belajar (Sudjana, 2004). Djamarah (1994) meng
ungkapkan pretasi belajar adalah penilaian pendidikan
tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang
dipelajari di sekolah yang berhubungan dengan
pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan yang di
nyatakan sesudah penilaian dilakukan. Prestasi belajar
merupakan hasil dari proses pembelajaran yang
dilakukan oleh siswa di sekolah setelah melalui
beberapa tahapan, dan prestasi belajar ini diperoleh
setelah siswa menyelesaikan proses belajar meng ajar
selama satu semester yang biasanya berbentuk nilai
angka.

Menurut Tarmudji (1994), metode mengajar ceramah


adalah sebuah cara memberikan penjelasan-penjelasan
lisan kepada peserta untuk menyampaikan materi,
sedangkan peranan peserta dalam metode ceramah ialah
mendengarkan dengan teliti serta mencatat pokok-
pokok penting yang dikemukakan oleh penyaji materi
(penceramah).

Suryosubroto (1997), berpendapat metode mengajar


ceramah adalah pene rangan dan penuturan secara lisan
oleh guru terhadap kelasnya, sedangkan peranan siswa
yaitu mendengarkan dena teliti serta mencatat pokok-
pokok yang dikemukakan oleh guru.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

a. Hipotesis mayor yaitu ada pengaruh metode


pembelajaran terhadap prestasi belajar psikologi eks
perimen pada mahasiswa psikologi UIN Suska Riau

b. Hipotesis minor yaitu metode pembelajaran diskusi


paling efektif untuk meningkatkan prestasi belajar
psikologi eksperimen pada mahasiswa psikologi UIN
Suska Riau.

Sampel/subjek penelitian Subyek pada mahasiswa penelitian ini adalah seluruh


mahasiswa fakultas Psikologi UIN Suska Riau semester
VI yang mengambil mata kuliah Psikologi Eksperimen,
yaitu VIA, VIB, VIC, VID, dan VI E. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling dengan kriteria tingkat inteligensi berada pada
kategori agak rendah sampai dengan agak tinggi.

Desain Penelitian/Rancangan Eksperimen Penelitian ini menggunakan desain Randomized Blocked


One Way Anova. Teknik ini memiliki teknik control
tambahan dengan dilakukannya blocking dan
randomisasi (Seniati, Yulianto, Setiadi, 2005). Dalam
penelitian ini, di setiap akhir tatap muka mahasiswa
diberikan kuis untuk melihat sebaran nilai yang
diinginkan.

Metode Pengambilan Data Penelitian ini adalah penelitian eks perimen yaitu
penelitian yang memberikan perlakuan kepada subyek
untuk melihat seberapa besar efek perlakuan terhadap
variable terikat, dan untuk melihat efek perbandingan
perlakuan (Latipun, 1999). Perbedaan hasil pengukuran
dianggap sebagai efek atau akibat dari perlakuan yang
diberikan.
Pelaksanaan Penelitian Adapun Prosedur Penelitian

1. Penentuan subyek dilakukan secara purposive


sampling

2. Di awal pertemuan subyek diberikan tes tertulis dan


SPM yang bertujuan untuk menyamakan baseline.

3. Selanjutnya subyek diminta untuk menandatangani


kontrak penelitian yang berisi kesediaan subyek dalam
meng ikuti aturan main dalam kelas psikologi
eksperimen.

4. Subyek diberikan pre test dan pos test pada awal dan
akhir perkuliahan pada pertemuan ke IV 5. Untuk
selanjutnya selama 4 kali berturut turut subyek
diberikan perlakuan yang berbeda sesuai dengan metode
pembelajaran masing-masing

Metode Analisis Data Metode Analisis statistik yang digunakan untuk menguji
hipotesis di atas adalah dengan Anova satu jalur atau
disebut pula anavar satu jalan yang dianalisis dengan
meng-gunakan bantuan program SPSS 17.0. Menurut
Seniati, Yulianto dan Setiadi (2009), desain anavar satu
jalan digunakan pada penelitian eksperimental yang
memiliki sebuah variabel bebas, namun variasinya lebih
dari dua macam. Pada disain anavar, variasi-variasi
dalam sebuah variabel bebas akan diperbandingkan
dalam waktu yang bersamaan. Trihendardi (2005) meng
ungkapkan bahwa analisis anova satu jalur (one-way
anova) digunakan untuk menentu kan apakah rata-rata
dua atau lebih kelompok (variabel dependen) berbeda
secara nyata. Analisis ini memiliki asumsi bahwa
kelompok yang dianalisis memiliki varian yang sama.
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan
Anova satu jalur atau disebut pula anavar satu jalan
yang dianalisis dengan menggunakan bantuan program
SPSS 17.0 diperoleh angka F sebesar 10.759, p= 0.000
(p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa metode
pembelajaran yang diberikan mempengaruhi prestasi
belajar psikologi eksperimen mahasiswa psikologi
Universitas Islam Negeri Suska Riau, artinya hipotesis
diterima. Berdasarkan uji perbedaan disimpu Ikan
bahwa Tidak ada perbedaan prestasi belajar psikologi
eksperimen pada maha siswa Fakultas Psikologi UIN
Suska Riau yang menggunakan metode ceramah dengan
diskusi, hal ini dapat dilihat dari hasil deskriptif yang
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan mean prestasi
belajar dilihat dari metode ceramah dan diskusi

Selanjutnya pada uji perbedaan antara metode diskusi


dan belajar mandiri menunjukkan bahwa ada perbedaan
prestasi belajar psikologi eksperimen pada maha siswa
Fakultas Psikologi UIN Suska Riau yang menggunakan
metode diskusi dengan belajar mandiri. Metode diskusi
lebih efektif dibandingkan dengan belajar mandiri. Hasil
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Suryosubroto (1997) yang menjelaskan bahwa metode
diskusi melibatkan semua siswa secara langsung dalam
proses belajar, setiap siswa dapat menguji tingkat
pengetahuan dan penguasa an bahan pelajarannya
masing-masing, metode diskusi juga dapat
menumbuhkan dan mengembangkan cara berpikir dan
sifat ilmiah.

Alipandie (1984), mengatakan bahwa dengan metode


belajar diskusi suasana kelas menjadi hidup sebab
siswa-siswa sepenuhnya mengarahkan perhatian dan
pikirannya kepada masalah yang sedang didiskusikan,
adanya partisipasi siswa baik perorangan maupun
seluruh kelas lebih meningkat, dapat mempertinggi
prestasi kepribadian individu seperti semangat,
toleransi, siswa demokratis, kritis dalam berpikir, tekun
dan sabar

Uji perbedaan antara metode ceramah dan mandiri


menunjukkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar
psikologi eks perimen pada mahasiswa UIN Suska
Riau. Metode ceramah lebih efektif untuk mening
katkan prestasi belajar dibandingkan dengan metode
belajar mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat
Tarmudji (1994) yang mengatakan bahwa dengan
metode ceramah ketertiban kelas mudah di jaga dan
mudah menguasai kelas, melatih peserta untuk
menggunakan pendengarannya dengan baik serta
menangkap dan menyimpulkan ceramah dengan cepat
dan tepat, materi bisa sampai kepada seluruh siswa
dengan merata.

Dari hasil penelitian diantara tiga metode pembelajaran,


metode belajar mandiri memperoleh hasil yang paling
rendah hal ini disebabkan karena metode jarang
dipergunakan oleh pengajar di kelas, sehingga maha
siswa tidak terbiasa. Pada umumnya mahasiswa datang
ke kampus tanpa ada persiapan untuk mengikuti
perkuliahan, walaupun sebelumnya dosen telah
memberikan referensi pada setiap tatap muka.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Hipotesa diterima artinya ada pengaruh metode


pembelajaran terhadap prestasi belajar psikologi
eksperimen mahasiswa Psikologi UIN Suska Riau

2. Metode pembelajaran diskusi adalah metode


pembelajaran yang paling efektif untuk meningkatkan
prestasi belajar, dibandingkan dengan metode ceramah
dan pembelajaran mandiri

http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/psikologi/article/download/192/178
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

MENURUNKAN TINGKAT STRES KERJA


PADA KARYAWAN MELALUI MUSIK

Intan Putri Dastia Lidyansyah


Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
lidyansyahintan@gmail.com
Stres kerja merupakan bentuk dari ketidak seimbangan antara fisik dan
psikis yang dapat menimbulkan kerugian bagi individu maupun organisasi
yang terkait. Mendengarkan musik klasik Mozart merupakan salah satu cara
untuk menurunkan tingkat stres kerja karyawan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perbedaan tingkat stres kerja karyawan antara sebelum
dan sesudah diberikan perlakuan musik. Desain yang digunakan adalah One
Group Pre and Posttest Design. Alat ukur yang digunakan adalah skala
stres kerja. Subjek penelitian berjumlah 5 orang. Hasil penelitian
menunjukkan nilai Z = -2.032 dan nilai p = 0.042 dimana hasil tersebut
menyatakan bahwa terdapat perbedaan skor stres kerja sebelum dan sesudah
perilaku mendengarkan musik.
Katakunci: Stres kerja, musik

Work stress is a form of imbalance between the physical and the psychic that
can cause harm to individuals and organizations involved. Listening to
Mozart classical music is one way to reduce employee stress levels. This
study aims to determine the difference between the stress levels of
employees before and after the treatment of music. Design used was One
Group Pre and Posttest Design. Measuring instruments used were work
stress scale. Subjects numbered 5 people. The results show the value of Z =
-2032 and p value = 0.042 where the results suggests that there is a
difference of work stress scores before and after the music listening
behavior.

Keyword: Work stress, music

62
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

Perkembangan ekonomi yang semakin hari berkembang pesat menyebabkan banyaknya


persaingan antar perusahaan untuk menjadi yang terbaik, sehingga banyak perusahaan
yang menuntut karyawan atau karyawati untuk memiliki keahlian khusus dan mampu
mengikuti perkembangan teknologi. Jika perusahaan tidak mampu mengikuti
perkembangan ekonomi maka banyak kemungkinan perusahaan akan mengalami krisis
yang berkepanjangan, kebangkrutan, perampingan perusahaan dan banyaknya karyawan
yang akan di PHK. Hal ini mungkin saja karena kesalahan sistem dalam bekerja yang
tidak dapat mengikuti perkembangan ekonomi tersebut. Sehingga banyak perusahaan
yang menganjurkan untuk memperketat sistem kerja karyawan agar perusahaan mudah
untuk mengontrol sistem kerja perusahaan dan sirkulasi persaingan perusahaan.
Demikian pula jika banyak di antara karyawan di dalam organisasi mengalami stres
kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu. Hal inilah yang
sering menyebabkan para karyawan mengalami tekanan dan ketidakpastian dalam
bekerja sehingga memicu terjadinya stres kerja. Stres kerja merupakan ancaman yang
sering dihadapi oleh berbagai macam organisasi pada saat ini. Stres kerja ini bukan
hanya merugikan individu saja, namun organisasi yang terkait juga akan mengalami hal
ini. Beberapa studi terakhir menyimpulkan bahwa setiap tahunnya kasus stres kerja di
Indonesia meningkat dengan cepat dan berpotensi menimbulkan dampak sosial,
emosional, psikologis dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan
(Almasitoh, 2011). Oleh karena itu apabila pekerja terlalu banyak mendapatkan
tekanan maka pekerja tidak akan bisa bekerja secara efektif dan efisien. Apabila hal
tersebut terjadi, itu tidak hanya berakibat negatif bagi pekerja saja. Namun secara
otomatis perusahaan atau organisasi yang terkait juga akan mengalami kerugian akan
hal itu karena pekerja tidak dapat bekerja secara optimal pada tempatnya bekerja.
Sehingga untuk menurunkan tingkat stres kerja pada karyawan perusahaan melakukan
suatu tindakan di tempat kerja, agar para karyawan tidak bosan, tetap semangat dan
tidak mengalami kemunduran dalam bekerja.
Banyak hal yang dilakukan perusahaaan yaitu misalnya dengan mengadakan pelatihan,
memberikan ESQ, outbond dan rekreasi. Akan tetapi hal tersebut hanya dapat dilakukan
dalam kurun waktu tertentu saja, sehingga perusahaan mengambil langkah untuk
pemberian tindakan yang setiap hari dapat dilakukan tanpa mengganggu jam kerja
karyawan, dalam hal ini dapat dilakukan setiap hari misalnya dengan cara mengajarkan
relaksasi untuk menenangkan diri. Relaksasi yang digunakan yang sudah teruji
keefektifannya untuk mengurangi stres kerja adalah mendengarkan musik. Karena
setiap orang suka mendengarkan musik dari berbagai genre musik, hal ini dapat
dilakukan secara individu maupun kelompok.
Mendengarkan musik dapat dilakukan pada saat bekerja berlangsung, akan tetapi hal ini
dapat dilakukan dengan pengecualian tidak menganggu proses bekerja, dapat dilakukan
juga pada waktu istirahat. Banyak genre musik yang digemari tetapi pada sebuah
penelitian yang sudah teruji keefektifannya yaitu musik yang dapat memberikan
ketenangan dan kedamaian adalah tempo yang lebih lambat. Musik dengan tempo
lambat tersebut dapat ditemukan dalam semua genre, salah satunya adalah musik klasik
(Prawitasari, 2012). Banyak penelitian yang menggunakan musik klasik yang
menemuan keberhasilan. Pada penelitian sebelumnya menurut Don Campbell

63
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

menyatakan bahwa musik klasik dapat memberikan rangsangan, yang nantinya


menghasilkan efek mental dan fisik, yaitu antara lain dapat menutupi bunyi dan
perasaan yang tidak menyatakan. Music musik dapat memperlambat dan
menyeimbangkan gelombang otak, musik mempengaruhi pernafasan, musik
mempengaruhi denyut jantung, nadi dan tekanan darah. Musik mempengaruhi
ketegangan otot dan memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh, musik mempengaruhi
suhu badan, musik dapat mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stres. Selain
itu musik mengubah persepsi kita tentang ruang, musik mengubah persepsi kita akan
waktu, serta musik meningkatkan daya tahan tubuh(Setyaningsih & Muis, 2002).
Menurut Smith (2008) pada penelitian mengenai efek musik tunggalrelaksasi sesi pada
tingkat kecemasan orang dewasa di lingkungan kerja.Stres dan kecemasan adalah umum
di antara banyak karyawan yang dihasilkan dariberbeda pekerjaan dan psikososial
termasuk tekanan kerjaprotokol, pertemuan tenggat waktu dan target, hubungan dengan
rekan dan penyelesaian konflik.
Sejumlah studi sebelumnya telah menunjukkan efek menguntungkan dari
mendengarkan musik pada produktivitas kerja, seperti yang dilakukan oleh Fox tahun
1971, Kirkpatrick tahun 1943, dan Wokoun, 1969. Hasil studi tersebut menunjukkan
perbedaan individual harus diperhitungkan saat menyelidiki efek musik mendengarkan
pada kecemasan karyawan dan tugas kerja. Perbedaan individu adalah faktor penting
dalam studi pra-test post-test kelompok kontrol dilakukan dengan 33 pengendali lalu
lintas udara dari Asosiasi Federal Aviation di Longmont, Colorado (Lesiuk, 1992).
Dari hasil riset menggunakan medium musik yang dilakukan di Bali menyebutkan
bahwa gerakan-gerakan ritmis dapat memengaruhi pengembangan keterampilan
motorik kasar (mobilitas, ketangkasan, keseimbangan, koordinasi) seperti halnya pola-
pola pernafasan dan relaksasi otot (Djohan, 2006). Para ahli percaya bahwa musik dapat
memperkuat serta memotivasi gerakan atau latihan terstruktur yang dibutuhkan dalam
proses rehabilitasi fisik tertentu. Keterlibatan musik dapat memberikan keringan dari
rasa sakit, ketidaknyamanan dan kecemasan yang berasosiasi dengan gangguan fisik.
Penelitian lain yang mengaitkan musik dengan aspek-aspek psikologis adalah Sloboda,
yang secara ekplisit mengungkapkan bahwa musik memiliki fungsi untuk
meningkatkan, mengubah emosi dan aspek spiritual. Sloboda mencontohkan, musik
banyak digunakan ketika seseorang melakukan pekerjaan di rumah, belajar,
mengendarai mobil atau beristirahat. Musik juga dikaitkan dengan aktivitas dan
membawa efek psikologis. Dari hasil penelitian Sloboda menemukan bahwa musik
berkaitan erat dengan perubahan suasana hati dan dapat menimbulkan ketenangan.
Karena banyak diperoleh hasil penelitian sebelumnya mengenai menggunakan musik
dapat menurunkan stres kerja yang sudah teruji dan musik klasik Mozart itu sendiri
mampu memberikan rangsangan dan meningkatkan produktivitas kerja maka peneliti
melakukan penelitian dengan memberikan musik sebagai cara untuk menurunkan
tingkat stres kerja pada karyawan(Djohan, 2010) .
Dari uraian tersebut rumusan masalahnya, yaitu apakah ada penurunan tingkat stres
kerja karyawan antara sebelum dan sesudah diberikan musik?Tujuan utama dari
penelitian adalah untuk mengetahui penurunan tingkat stres kerja karyawan antara

64
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

sebelum dan sesudah diberikan perlakuan musik.Manfaat dari penelitian ini diharapkan
dapat membantu karyawan untuk mengurangi tingkat stres kerja karyawan agar tidak
terfikirkan untuk menunda pekerjaan, tidak berfikir untuk keluar dari pekerjaan dan
lebih semangat menjalankan tugas yang didapat.

Stres Kerja
Menurut Gibson stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu ‘stringere’,
yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan sebuah
kondisi susah atau penderitaan yang menunjukkan paksaan, tekanan, ketegangan atau
usaha yang kuat, diutamakan ditunjukkan pada individual, organ individual atau
kekuatan mental seseorang. Menurut Fraser, stres timbul setiap kali karena adanya
perubahan dalam keseimbangan sebuah kompleksitas anata manusia-mesin dan
lingkungan (Anoraga, 2009).
Stres kerja yang dikemukan oleh Szilagyi adalah pengalaman yang bersifat internal
yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang
akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain. Stress kerja
merupakan satu faktor yang menentukan naik turunnya kinerja karyawan (Febriani,
2012).

Faktor yang memengaruhi stress kerja menurut Cooper secara perinci menemukan
bahwa ada 5 macam faktor pekerjaan yang menyebabkan stress, yaitu (1) faktor-faktor
intrinsik dalam pekerjaan (tuntutan fisik dan tugas); (2) pengembangan karier (kepastian
pekerjaan dan ketimpangan status ); (3) hubungan dalam pekerjaan (hubungan antar
tenaga kerja); (4) struktur organisasi; (5) iklim organisasi (Tunjungsari, 2011).
Gejala-gejala stres kerja yang biasanya timbul menurut Robbins (1996) dibagi menjadi
tiga, yaitu (1) gejala fisiologis, stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme,
meningkatkan laju detak jantung dan pernafasan, meningkatkan tekanan darah,
menimbulkan sakit kepala serta menyebabkan serangan jantung; (2) gejala psikologis,
stres dapat menyebabkan ketidakpuasan. Stres muncul dalam keadaan psikologis lain,
misalanya: ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan dan suka menunda-
nunda; (3) gejala perilaku, gejala stres yang dikaitkan dengan perilaku mencakup
perubahan dalam produktivitas, absensi dan tingkat keluarnya karyawan, perubahan
dalam kebiasaan makan, meningkatnya merokok dan konsumsi alkohol, bicara cepat
gelisah dan gangguan tidur

Musik
Pengertian dari musik klasik menurut Nainggolan musik dapat menenangkan atau
memberi semangat dan yang jelas musik berperan dalam memengaruhi perasaan dan
emosi. Musik klasik Mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun yang lalu dan
diciptakan Wolgang Amadeus Mozart. Dibandingkan musik klasik lainnya, melodi dan
frekuensi yang tinggi pada musik klasik Mozart mampu merangsang dan
memberdayakan kreatifitas. Namun, tidak berarti karya komposer klasik lainnya tidak
dapat digunakan. Salah satunya adalah penggunaan musik oleh ilmuwan dari Timur
Tengah, Al-Farabi.

65
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

Di dalam bukunya, Great Book About Music Al-Farabi mengatakan bahwa musik
membuat rasa tenang atau nyaman, sebagai pendidikan moral, mengendalikan emosi,
pengembangan spiritual, dan menyembuhkan gangguan psikosomatik (Griffin,
2006).Musik kini telah banyak berkembang, mulai dari klasik sampai musik pop.
Masing-masing genre memiliki fungsi dan manfaatnya. Merrit menyebutkan manfaat
musik, antara lain:
1. Efek Mozart, adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan sebuah musik
yang dapat meningkatkan inteligensi seseorang
2. Refreshing, pada saat pikiran seseorang sedang kacau atau jenuh, dengan
mendengarkan musik walaupun sejenak, terbukti dapat menenangkan dan
menyegarkan pikiran kembali
3. Motivasi, adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan feeling tertentu. Motivasi
ini dapat memunculkan semangat dan segala kegiatan bisa dilakukan.
4. Perkembangan kepribadian, kepribadian seseorang diketahui mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh jenis musik yang didengarnya selama masa perkembangan
5. Terapi, terapi musik dapat menawarkan stimulus dan aktivitas yang memanfaatkan
gaya belajar dan area-area di dalamnya yang dianjurkan dalam pendekatan kognitif,
menyediakan lingkungan yang terstruktur untuk interaksisosial dan generalisasi
tujuan bahasa dan bicara, serta menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan
memotivasi untuk belajar (Djohan, 2006).

Musik yang dapat memberikan ketenangan dan kedamaian adalah musik dengan tempo
yang lebih lambat. Musik dengan tempo lambat tersebut dapat ditemukan dalam semua
genre, salah satunya adalah musik klasik (Djohan, 2010).

Hipotesis
Ada perbedaan tingkat stres kerja karyawan antara sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan musik

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalahOne Group Pre and Posttest Design.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang dikaji, yaitu: variabel bebas berupa
musik dan variabel terikat berupa stres kerja. Musik adalah suatu metode yang
dilakukan dengan cara mendengarkan musik yang berguna untuk menenangkan atau
memberi semangat dan musik berperan dalam memengaruhi perasaan dan emosi.Stres
kerja adalah suatu kondisi pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya
ketidakseimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat dari faktor lingkungan
eksternal, organisasi atau orang lain.

Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah karyawan di PT. Graha Kanindo Syariah pusat yang
berjumlah 5 orang yang akan diberi skala stres kerja sebagai pengukuran awal (pre-
test). Subjek diperoleh dengan teknik purposive sampling yaitu suatu bentuk teknik

66
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

pemilihan subjek sesuai dengan karakteristik yang dikehendaki oleh peneliti yaitu
karakteristik yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan yang memiliki
tingkat stres kerja tingkat sedang - tinggi berdasarkan alat ukur stres kerja.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah musik dan variabel terikat berupa stres kerja.
Musik adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara mendengarkan musik yang
berguna untuk menenangkan atau memberi semangat dan musik berperan dalam
memengaruhi perasaan dan emosi.Stres kerja adalah suatu kondisi pengalaman yang
bersifat internal yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis dalam
diri seseorang akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain.

Metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyebar skala stres kerja yang
diadaptasi dari Febriani (2012). Dengan judul penelitian “Faktor Dominan Pemicu Stres
Kerja Pada Karyawan Bagian Produksi”. Skala stres kerja tersebut terdapat 35 item
yang sudah dinyatakan valid, skala tersebut terdiri dari tiga aspek gejala stres kerja yaitu
gejala fisiologi, gejala psikologi dan gejala perilaku. Dalam skala ini juga terbagi dibagi
menjadi dua pernyataan yaitu pernyataan favorable (sependapat atau sesuai dengan
pernyataan yang diajukan) dan unfavorable (kurang sependapat atau kurang sesuai
dengan pernyataan yang diajukan). Nilai validitas skala stres kerja dan nilai reliabilitas
dengan menggunakan rumus alpha cronbach yang diperoleh adalah:

Tabel 1. Indeks Validitas Skala Gejala Stres Kerja


Aspek Gejala Stres Kerja Indeks Validitas
Gejala Fisiologis 0.483-0.723
Gejala Psikologis 0.312-0.648
Gejala Perilaku 0.420-0.673

Table 1 menunjukkan indeks validitas dari skala gejala stres kerja. Dari uji validitas
dapat diketahui bahwa tiga aspeknya yaitu gejala fisiologis dengan indeks validitas
0,483-0,723, aspek psikologis indeks validitasnya 0,312-0,648, dan aspek perilaku
indeks validitasnya 0,402-0,673. Hasil uji validitas tersebut menunjukkan item skala
gejala stres kerja valid.

Tabel 2. Indeks Reliabilitas Skala Gejala Stres Kerja


Aspek Gejala Stres Kerja Alpha
Gejala Fisiologis 0.825
Gejala Psikologis 0.848
Gejala Perilaku 0.841

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa reliabilitas skala gejala stress kerja dibagi
menjadi beberapa aspek, yaitu gejala fisiologis dengan indeks reliabilitas 0,825, aspek
psikologis indeks reliabilitasnya 0,848, dan aspek perilaku indeks reliabilitasnya 0,841.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa skala gejala stress kerja reliabel dan dapat
digunakan dalam penelitian.

67
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

Prosedur dan Analisa Data Penelitian


Prosedur penelitian diawali dengan menyusun instrumen skala stres kerja. Kemudian
membuat modul eksperimen dan menentukan subjek penelitian yaitu karyawan di
perusahaan PT. Graha Kanindo Syariah. Tahap selanjutnya yaitu pelaksanaan penelitian
dimulai dengan penyebaran skala stres kerja kepada subjek penelitian yang berjumlah 5
orang. Dari hasil penyebaran skala kemudian dilakukan penskoringan. Proses perlakuan
pada subjek penelitian dilakukan pada tanggal 20 Mei 2013, 21 Mei 2013 dan 22 Mei
2013. Proses perlakuan dilaksanakan pada hari senin - rabu, pukul 08.00 – 08.30 WIB.
Proses perlakuan dilaksanakan diruang rapat karyawan.Tahap terakhir yaitu
memberikan kembali skala stres kerja kepada seluruh karyawan, untuk mengetahui
apakah ada perubahan atau tidak setelah diberikan perlakuan. Tahap analisis dilakukan
dengan memasukkan data dan menganalisis hasil melalui statistik uji Wilcoxon Signed
Rank untuk mengetahui hasil perbedaan sebelum perlakuan dilakukan dan setelah
perlakuan dilakukan.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui deskripsi subjek sebagaimana tabel berikut.

Tabel 3.Deskripsi Subjek Penelitian Keseluruhan


Jenis Tingkat Stres Keja
Subjek Usia Pendidikan
Kelamin Pre-test Kategori Post-test Kategori
1 33 thn Perempuan S1 93 Sedang 89 Sedang
2 28 thn Perempuan S1 93 Sedang 87 Sedang
3 27 thn Laki-laki S1 93 Sedang 88 Sedang
4 35 thn Perempuan S1 92 Sedang 81 Sedang
5 32 thn Laki-laki S1 92 Sedang 88 Sedang

Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa kelima subjek penelitian memiliki rentang
usia mulai dari 27 tahun sampai 35 tahun, jenis kelamin perempuan sebanyak 3 orang
dan laki-laki 2 orang. Dari hasil pre-tes dan post-tes diketahui bahwa kategori tingkat
stres kerja pada saat pre-test dalam kategori sedang, begitu juga pada saat post-tes
dalam kategori sedang, namun skor yang dihasilkan terjadi perubahan antara pre dengan
post-test.

Berikut merupakan grafik skor tingkat stres kerja secara keseluruhan, adapun hasilnya
dapat diketahui pada grafik dibawah ini:
95
90
85 Sebelum
80 Sesudah
75
subjek 1 subjek 2 subjek 3 subjek 4 subjek 5

Grafik1. Keseluruhan Skor Tingkat Stres Kerja

68
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

Berikut merupakan skor tingkat stres kerja subjek pada saat proses pemberian
perlakuan, adapun hasilnya dapat diketahui pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Tingkat Stres Kerja Pada Saat Sebelum dan Sesudah Diberikan Perlaku -
an Per-hari
Subjek Hari Tingkat Stres Kerja
Sebelum Kategori Sesudah Kategori
Perlakuan Perlakuan
1 1 95 Sangat Tinggi 85 Tinggi
2 80 Tinggi 75 Sedang
3 75 Sedang 50 Sangat Rendah
2 1 90 Sangat Tinggi 85 Tinggi
2 85 Tinggi 75 Sedang
3 75 Sedang 55 Sangat Rendah
3 1 95 Sangat Tinggi 80 Tinggi
2 90 Sangat Tinggi 80 Tinggi
3 80 Tinggi 65 Rendah
4 1 90 Sangat Tinggi 85 Tinggi
2 90 Sangat Tinggi 80 Tinggi
3 80 Tinggi 55 Sangat Rendah
5 1 85 Tinggi 80 Tinggi
2 80 Tinggi 70 Sedang
3 70 Sedang 45 Sangat Rendah

Berikut ini merupakan skor stres kerja subjek yang didapatkan berdasarkan skala “Stres
Kerja” melalui analisis uji Wilcoxon Signed Rank, adapun hasilnya dapat diketahui pada
tabel berikut:

Tabel 5. Deskriptif Uji Wilcoxon Signed Rank Data Pre-test dan Post-test

Rerata Skor Stres Kerja


N Z P
Pre-test Post-test
5 92,60 86,60 -2,032 0,042

Berdasarkan analisis uji Wilcoxon (Z) diperoleh nilai sebesar -2,032. Nilai ini
diprediksikan memiliki tingkat kesalahan (sig/p) sebesar 0,042. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan skor stres kerja yang signifikan sesudah diberikan
perlakuan yaitu nilai p < 0,05, dengan demikian musik dapat menurunkan tingkat stres
kerja karyawan.Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa
hipotesis yang diajukan dalam penelitian dapat diterima yaitu ada perbedaan tingkat
stres kerja karyawan antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan musik.

69
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat stres kerja pada karyawan PT.
Graha Kanindo Syariah setelah diberikan perlakuan musik, dimana setelah diuji secara
statistik diperoleh nilai Z = -2.032 dan nilai p = 0.042, hal ini menunjukkan bahwa nilai
p < 0.05, yang berarti secara signifikan terdapat perbedaan skor sebelum diberi
perlakuan dan sesudah diberi perlakuan.
Pada saat pemberian perlakuan pada karyawan yang memiliki tingkat stres kerja,
banyak faktor yang menyebabkan muncul stres kerja yang terjadi pada karyawan di
perusahaan ini, salah satunya menumpuknya pekerjaan yang dituntut untuk
menyelesaikan sesuai deadline yang diberikan. Hal ini berkaitan sesuai dengan teori
yang dikemukan oleh Cooper yang menyatakan ada lima faktor pekerjaan yang
menyebabkan stres kerja yaitu faktor instrinsik dalam pekerjaan (tuntutan fisik dan
tugas), pengembangan karir (kepastian pekerjaan), hubungan dalam pekerjaan
(hubungan antar tenaga kerja), struktur organisasi dan iklim organisasi (Tunjungsari,
2011). Perlakuan dilakukan pada waktu pagi hari sebelum para karyawan melakukan
aktifitas karena memberikan ketenangan sebelum memulai bekerja. Selain itu diarapkan
perlakuan ini dapat menstabilkan suasana hati ketika memulai bekerja dan proses
perlakuan dilakukan di pagi hari. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengganggu waktu
bekerja para karyawan dan seluruh karyawan masih berada di kantor. Perlakuan ini
dilakukan sebanyak tiga kali dalam waktu tiga hari berturut-turut. Perlakuan yang
diberikan oleh peneliti diberikan kepada lima orang yang sudah terpilih.
Pada saat proses perlakuan berlangsung yaitu mendengarkan musik klasik Mozart. Jika
ditinjau secara teoritik mendengarkan musik adalah salah satu metode relaksasi
penurunan stres kerja yang memiliki beberapa manfaat menurut Merrit yaitu efek
Mozart, adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan sebuah musik yang
dapat meningkatkan inteligensi seseorang, refreshing pada saat pikiran seseorang
sedang kacau atau jenuh, dengan mendengarkan musik walaupun sejenak, terbukti dapat
menenangkan dan menyegarkan pikiran kembali (Djohan, 2006). Motivasi adalah hal
yang hanya bisa dilahirkan dengan feeling tertentu. Motivasi ini dapat memunculkan
semangat dan segala kegiatan bisa dilakukan. Perkembangan kepribadian seseorang
diketahui mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jenis musik yang didengarnya selama
masa perkembangan dan terapi.
Terapi musik dapat menawarkan stimulus dan aktivitas yang memanfaatkan gaya
belajar dan area-area di dalamnya yang dianjurkan dalam pendekatan kognitif,
menyediakan lingkungan yang terstruktur untuk interaksisosial dan generalisasi tujuan
bahasa dan bicara, serta menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan memotivasi
untuk belajar (Djohan, 2010). Terlihat para subjek menikmati musik yang diberikan, hal
ini diperkuat oleh hasil observasi Peneliti, dimana terlihat beberapa subjek yang
mendengarkan musik dengan menggerakkan kepala, jari, bahkan kaki sesuai dengan
irama musik yang diberikan. Dalam proses perlakuan ini pula ada salah satu subjek
yang kurang serius mengikuti proses perlakuan ini, hal ini dilihat dari bentuk perilaku
yang muncul pada subjek tersebut, misalnya menahan tertawa ketika musik sedang
diperdengarkan, tertidur dan menguap.

70
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

Peneliti juga memberikan self report diawal perlakuan. Hal ini untuk mengetahui
kondisi awal stres kerja subjek dengan cara subjek mengisikan rata-rata angka tingkat
stres kerja yang dialami sebelum perlakuan dan memberikan self report kembali setelah
perlakuan, hal ini berguna untuk mengetahui kondisi tingkat stres kerja sebelum dan
sesudah diberikan perlakuan.
Dari hasil pengisian self report terlihat ketika sebelum diberi perlakuan pada hari
pertama seluruh subjek pada saat sebelum diberikan perlakuan, tingkat stres kerja pada
keempat subjek berada pada kategori sangat tinggi dan satu subjek berada pada pada
kategori tinggi dan ketika selesai diberi perlakuan keempat subjek yang berada pada
kategori sangat tinggi mengalami perubahan menjadi tinggi, sedangkan satu subjek
yang berda pada kategori tinggi tidak mengalami perubahan secara kategori akan tetapi
ada sedikiti penurunan jika dilihat dari hasil nilai nominalnya.
Pada hari kedua sebelum perlakuan ada tiga subjek yang mengalami tingkat stres kerja
berada pada kategori tinggi dan dua subjek yang lain kembali pada tingkat semula pada
saat sebelum diberi perlakuan pada saat sesi pertama yaitu masuk dalam kategori sangat
tinggi. Setelah diberikan perlakuan diperoleh hasil yang berbeda- beda pada setiap
subjek yaitu ada dua subjek yang semula sebelum diberi perlakuan berada pada
kategori sangat tinggi menjadi tinggi meskipun secara nilai nominalnya ada penurunan
tingkat stres kerja, adapula dua subjek yang lain pada saat sebelum diberikan perlakuan
berada pada kategori tinggi menjadi sedang, akan tetapi ada satu subjek yang jika
ditinjau dari nilai kategori tetap sama berada pada kategori tinggi, meskipun secara nilai
nominal ada penurunan tingkat stres kerja pada karywan tersebut.
Pada hari ketiga, ada dua subjek yang berada kategori tinggi sebelum diberi perlakuan
dan tiga yang lain berada pada kategori sedang. Hasil yang diperoleh setelah diberikan
perlakuan diperoleh tiga subjek yang pada mula sebelum diberikan perlakuan berada
pada kategori sedang menjadi sangat rendah, satu subjek yang pada mulanya berada
pada kategori tinggi menjadi rendah dan ada satu subjek yang mengalami penurunan
yang cukup drastis yaitu pada saat sebelum diberi perlakuan berada padan kategori
tinggi menjadi sangat rendah setelah diberikan perlakuan berupa mendengarkan musik.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan musik klasik Mozart karena musik ini selain
mampu memberikan ketenangan tetapi juga dapat meningkatkan intelegensi seseorang.
Hal ini pula sesuai dengan pernyataan Andreana bahwa dibandingkan dengan musik
klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada musik klasik Mozart mampu
merangsang dan memperdayakan kreatifitas. Sehingga pada penelitian ini bentuk
perlakuan yang diberikan berupa memperdengarkan musik klasik Mozart dapat menjadi
salah satu cara untuk menurunkan tingkat stres kerja karyawan (Lesiuk, 2005).
Dari kelima subjek tersebut ada perbedaan penurunan stres kerja pada saat menerapkan
perlakuan berupa mendengarkan musik. Pada saat proses perlakuan ada yang cepat
untuk menurunkan stres kerja dan ada yang lambat dalam menurunkan stres kerja yang
dialami. Hal ini terjadi karena pada saat mendengarkan musik beberapa subjek terlihat
menikmati musik tersebut dan adapula beberapa subjek juga yang membutuhkan
beberapa waktu untuk dapat menikmati musik yang sedang diperdengarkan tersebut.
Hal tersebut dapat diketahui selain hasil observasi juga adanya interaksi diskusi bersama

71
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

setelah diberikan perlakuan. Saat proses interaksi antara peneliti dan karyawan banyak
data yang diperoleh, misalnya subjek yang dapat dengan cepat menurunkan tingkat stres
kerja dengan mendengarkan musik klasik Mozart karena menurut subjek musik yang
diperdengarkan bisa memberikan ketenangan sebelum dimulai bekerja sehingga
memberikan semangat ketika akan memulai bekerja. Dalam hal tersebut bisa terjadi
karena secara teoritik stres kerja merupakan pengalaman yang bersifat internal yang
menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat
dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain (Wijono, 2010). Ketika
subjek mampu untuk menurunkan tingkat stres kerja tersebut, subjek dapat menurunkan
tingkat stres kerja yang dialami.
Dengan menerapkan metode mendengarkan musik secara terus menerus akan
mengurangi stres kerja, dapat meningkatkan semangat, dapat mengurangi kejenuhan
dalam bekerja dan memotivasi kerja kembali. Salah satu cara untuk mengurangi tingkat
stres kerja ini menggunakan musik, untuk membuktikan hal tersebut, maka dilakukan
eksperimen ini. Musik sendiri mampu menurunkan tingkat stres kerja karyawan karena
musik dapat memberikan ketenangan, memberi semangat dan berperan dalam
mempengaruhi emosi dan perasaan. Hal ini sesuai penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh Sloboda mengungkapkan bahwa musik memiliki fungsi untuk meningkatkan dan
mengubah emosi, sekaligus menemukan bahwa musik juga berkaitan erat dengan
perubahan suasana hati dan dapat menimbulkan ketenangan(Djohan, 2010). Musik juga
mampu membantu meregangkan otot-otot atau syaraf-syaraf otak yang tegang menjadi
lebih tenang, hal ini pula berkaitan pula dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Don Campbell menyatakan bahwa musik mampu memberikan rangsangan yang
menghasilkan pada efek mental dan fisik, menyeimbangkan gelombang otak dan dapat
mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stres(Setyaningsih & Muis, 2002).

Adapun keterbatasan dari penelitian yang dialami oleh peneliti adalah keterbatasan
subjek karena pada perlakuan berlangsung perusahaan tidak dapat mengumpulkan
seluruh karyawannya dan perusahaan hanya dapat mengijinkan subjek yang akan
digunakan di induk perusahaan saja. Hal ini mengakibatkan kurang bervariasinya
subjek. Penelitian hanya dapat dilakukan pagi hari sebelum para karyawan melakukan
pekerjaannya masing-masing karena tidak semua karyawan bekerja di dalam kantor,
yang mana beberapa karyawan memiliki jobdesdiluar kantor untuk mencari nasabah.
Meskipun penelitian ini sempat mengalami kendala tetapi proses pemberian perlakuan
dapat berjalan lancar dan menunjukkan hasil adanya penurunan tingkat stres kerja
karyawan pada saat sebelum dan sesudah diberi perlakuan, yang mana pada saat
sebelum diberikan perlakuan subjek mengalami tingkat stres kerja dalam kategori
sedang dan sesudah diberi perlakuan subjek menunjukkan adanya penurunan tingkat
stres kerja.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI


Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan skor yang
signifikan ketika sebelum dan sesudah diberi perlakuan mendengarkan musik klasik
Mozart dapat menurunkan tingkat stres kerja karyawan. Dari hasil analisis uji Wilcoxon
(Z) diperoleh nilai sebesar -2.032 dan nilai tingkat kesalahan (sig/p) sebesar 0,042,

72
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

karena nilai p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat stres kerja
karyawan sebelum dan menurun sesudah diberi perlakuan berupa musik. Sehingga pada
penelitian ini menunjukkan bahwa musik dapat menurunkan tingkat stres kerja secara
signifikan.
Implikasi dari penelitian, yaitu terkait dengan instansidapat menggunakan metode
mendengarkan musik ini pada akan memulai bekerja maupun saat istirahat dengan cara
bersama-sama dapat dilakukan dengan cara menyalakan musik dengan menggunakan
penegras suara yang terletak disetiap sudut agar setiap sudut ruangan kerja dapat
mendengarkan, sehingga hal ini berguna untuk mengembalikan semangat karyawan
untuk memulai pekerjaannya kembali. Karyawan dapat menggunakan metode
mendengarkan musik untuk mengurangi tingkat stres kerja, baik pada saat bekerja
maupun istirahat. Hal ini dikarenakan musik dapat dijadikan sebagai salah satu referensi
untuk relaksasi, refreshing, memberikan ketenangan dan dapat memunculkan semangat
dalam bekerja.Bagi peneliti selanjutnya disarankan terkait pemberian perlakuan
mendengarkan musik klasik Mozart untuk mengurangi tingkat stres kerja dapat
memberikan musik dengan genre musik yang lebih bervariasi.

REFERENSI
Almasitoh, U, H. (2011). Stres kerja ditinjau dari konflik peran ganda dan dukungan
sosial pada perawat. Psikoislamika - Jurnal Psikologi Islam, 8, (1), 63 – 82.
Anoraga, P. (2009). Psikologi kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Djohan. (2006). Terapi musik, teori dan aplikasi: mengenal terapi musik. Yogyakarta:
Galangpress.
Djohan. (2010). Respons emosi musikal. Bandung: Lubuk Agung.
Febriani, I. (2012). Faktor dominan pemicu stres kerja pada karyawan bagian produksi.
Skripsi, Program Sarjana UMM, Malang.
Griffin, M. (2006). Background music and the learning environment: borrowing from
other disciplines. University of Adelaide: Research Project Submitted for the
Degree of Master of Educational Studies School of Education.
Latipun. (2010). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press.
Lesiuk, T. (1992). The effect of music listening on work performance. Canada:
University of Windsor. Journal Psychology of Music, 33, (2), 173 – 191.
Prawitasari, J.K. (2012). Psikologi terapan, melintas batas displin ilmu: musik dalam
psikologi kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Erlangga.
Robbins, Stephen, P. (1996). Perilaku organisasi (1 thed). Jakarta: Prenhallindo.
Setyaningsih, D & Muis, T. (2002). Pengaruh penerapan kombinasi musik klasik dan
latihan relaksasi untuk menurunkan stres pada siswa kelas XI IPA 2 SMA intensif

73
ISSN: 2301-8267
Vol. 02, No.01, Januari 2014

taruna pembangunan Surabaya.Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Negeri


Surabaya. Di akses dari www.google.com, pada tanggal 16 Oktober 2012.
Smith, M. (2008). The effect of a single music relaxation session on state anxiety levels
of adults in a workplace. Brisbane: The University of Queensland. Australian
Journal of Music Theraphy 19, (3), 26-32.
Tunjungsari, P. (2011). Pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja karyawan pada
kantor pusat PT. Pos Indonesia (PERSERO) Bandung. Skripsi, Program Sarjana
Universitas Komputer Indonesia.

74
Nama : Syaharani Syahla Azzura

NIM : 1824090214

1. Judul Penelitian Menurunkan Tingkat Stress Kerja Pada Karyawan Melalui Musik

2. Nama Peneliti Intan Putri Dastia Lidyansyah

3. Abstrak Stres kerja merupakan bentuk dari ketidakseimbangan antara fisik


dan psikis yang dapat menimbulkan kerugian bagi individu
maupun organisasi yang terkait. Mendengarkan musik klasik
Mozart merupakan salah satu cara untuk menurunkan tingkat stres
kerja karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan tingkat stres kerja karyawan antara sebelum dan
sesudah diberikan perlakuan musik. Desain yang digunakan
adalah One Group Pre and Posttest Design. Alat ukur yang
digunakan adalah skala stres kerja. Subjek penelitian berjumlah 5
orang. Hasil penelitian menunjukkan nilai Z = -2.032 dan nilai p =
0.042 dimana hasil tersebut menyatakan bahwa terdapat
perbedaan skor stres kerja sebelum dan sesudah perilaku
mendengarkan musik.
4. Pendahuluan /latar Perkembangan ekonomi yang semakin hari berkembang pesat
belakang menyebabkan banyaknya persaingan antar perusahaan untuk
menjadi yang terbaik, sehingga banyak perusahaan yang menuntut
karyawan atau karyawati untuk memiliki keahlian khusus dan
mampu mengikuti perkembangan teknologi. Jika perusahaan tidak
mampu mengikuti perkembangan ekonomi maka banyak
kemungkinan perusahaan akan mengalami krisis yang
berkepanjangan, kebangkrutan, perampingan perusahaan dan
banyaknya karyawan yang akan di PHK. Hal ini mungkin saja
karena kesalahan sistem dalam bekerja yang tidak dapat
mengikuti perkembangan ekonomi tersebut. Sehingga banyak
perusahaan yang menganjurkan untuk memperketat sistem kerja
karyawan agar perusahaan mudah untuk mengontrol sistem kerja
perusahaan dan sirkulasi persaingan perusahaan.

Demikian pula jika banyak di antara karyawan di dalam


organisasi mengalami stress kerja, maka produktivitas dan
kesehatan organisasi itu akan terganggu. Hal inilah yang sering
menyebabkan para karyawan mengalami tekanan dan
ketidakpastian dalam bekerja sehingga memicu terjadinya stres
kerja. Stres kerja merupakan ancaman yang sering dihadapi oleh
berbagai macam organisasi pada saat ini. Stres kerja ini bukan
hanya merugikan individu saja, namun organisasi yang terkait
juga akan mengalami hal ini. Beberapa studi terakhir
menyimpulkan bahwa setiap tahunnya kasus stres kerja di
Indonesia meningkat dengan cepat dan berpotensi menimbulkan
dampak sosial, emosional, psikologis dan masalah-masalah yang
berhubungan dengan kesehatan (Almasitoh, 2011). Oleh karena
itu apabila pekerja terlalu banyak mendapatkan tekanan maka
pekerja tidak akan bisa bekerja secara efektif dan efisien. Apabila
hal tersebut terjadi, itu tidak hanya berakibat negatif bagi pekerja
saja. Namun secara otomatis perusahaan atau organisasi yang
terkait juga akan mengalami kerugian akan hal itu karena pekerja
tidak dapat bekerja secara optimal pada tempatnya bekerja.
Sehingga untuk menurunkan tingkat stres kerja pada karyawan
perusahaan melakukan suatu tindakan di tempat kerja, agar para
karyawan tidak bosan, tetap semangat dan tidak mengalami
5. Teori / definisi dari Stres Kerja
variable yang terlibat
Menurut Gibson stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin,
yaitu ‘stringere’, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw
tight). Definisi ini menjelaskan sebuah kondisi susah atau
penderitaan yang menunjukkan paksaan, tekanan, ketegangan atau
usaha yang kuat, diutamakan ditunjukkan pada individual, organ
individual atau kekuatan mental seseorang. Menurut Fraser, stres
timbul setiap kali karena adanya perubahan dalam keseimbangan
sebuah kompleksitas anata manusia-mesin dan lingkungan
(Anoraga, 2009). Stres kerja yang dikemukan oleh Szilagyi adalah
pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya
ketidak seimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat
dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain. Stress
kerja merupakan satu faktor yang menentukan naik turunnya
kinerja karyawan (Febriani,2012). Faktor yang memengaruhi
stress kerja menurut Cooper secara perinci menemukan bahwa ada
5 macam faktor pekerjaan yang menyebabkan stress, yaitu (1)
faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan (tuntutan fisik dan tugas);
(2) pengembangan karier (kepastian pekerjaan dan ketimpangan
status ); (3) hubungan dalam pekerjaan (hubungan antar tenaga
kerja); (4) struktur organisasi; (5) iklim organisasi (Tunjungsari,
2011). Gejala-gejala stres kerja yang biasanya timbul menurut
Robbins (1996) dibagi menjadi tiga, yaitu (1) gejala fisiologis,
stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme,
meningkatkan laju detak jantung dan pernafasan, meningkatkan
tekanan darah, menimbulkan sakit kepala serta menyebabkan
serangan jantung; (2) gejala psikologis, stres dapat menyebabkan
ketidakpuasan. Stres muncul dalam keadaan psikologis lain,
misalanya: ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan dan
suka menunda-nunda; (3) gejala perilaku, gejala stres yang
dikaitkan dengan perilaku mencakup perubahan dalam
produktivitas, absensi dan tingkat keluarnya karyawan, perubahan
dalam kebiasaan makan, meningkatnya merokok dan konsumsi
alkohol, bicara cepat gelisah dan gangguan tidur

Musik
6. Hipotesis Ada perbedaan tingkat stres kerja karyawan antara sebelum dan
sesudah diberikan perlakuan music

7. Sampel / subjek Subjek penelitian ini adalah karyawan di PT. Graha Kanindo
penelitian
Syariah pusat yang berjumlah 5 orang yang akan diberi skala stres
kerja sebagai pengukuran awal (pre-test). Subjek diperoleh
dengan teknik purposive sampling yaitu suatu bentuk teknik
pemilihan subjek sesuai dengan karakteristik yang dikehendaki
oleh peneliti yaitu karakteristik yang digunakan dalam penelitian
ini adalah karyawan yang memiliki tingkat stres kerja tingkat
sedang - tinggi berdasarkan alat ukur stres kerja.

8. Desain Penelitian / Rancangan eksperimen yang digunakan adalah One Group Pre
Rancangan Eksperimen and Posttest Design. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel
yang dikaji, yaitu: variabel bebas berupa musik dan variabel
terikat berupa stres kerja. Musik adalah suatu metode yang
dilakukan dengan cara mendengarkan musik yang berguna untuk
menenangkan atau memberi semangat dan musik berperan dalam
memengaruhi perasaan dan emosi.Stres kerja adalah suatu kondisi
pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya
ketidakseimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat
dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain.

9. Metode Pengambilan Metode pengambilan data dilakukan dengan cara menyebar skala
Data
stres kerja yang diadaptasi dari Febriani (2012). Dengan judul
penelitian “Faktor Dominan Pemicu Stres Kerja Pada Karyawan
Bagian Produksi”. Skala stres kerja tersebut terdapat 35 item yang
sudah dinyatakan valid, skala tersebut terdiri dari tiga aspek gejala
stres kerja yaitu gejala fisiologi, gejala psikologi dan gejala
perilaku. Dalam skala ini juga terbagi dibagi menjadi dua
pernyataan yaitu pernyataan favorable (sependapat atau sesuai
dengan pernyataan yang diajukan) dan unfavorable (kurang
sependapat atau kurang sesuai dengan pernyataan yang diajukan).
Nilai validitas skala stres kerja dan nilai reliabilitas dengan
menggunakan rumus alpha cronbach

10. Pelaksanaan pelaksanaan penelitian dimulai dengan penyebaran skala stres


Penelitian
kerja kepada subjek penelitian yang berjumlah 5 orang. Dari hasil
penyebaran skala kemudian dilakukan penskoringan. Proses
perlakuan pada subjek penelitian dilakukan pada tanggal 20 Mei
2013, 21 Mei 2013 dan 22 Mei 2013. Proses perlakuan
dilaksanakan pada hari senin - rabu, pukul 08.00 – 08.30 WIB.
Proses perlakuan dilaksanakan diruang rapat karyawan.Tahap
terakhir yaitu memberikan kembali skala stres kerja kepada
seluruh karyawan, untuk mengetahui apakah ada perubahan atau
tidak setelah diberikan perlakuan.

11. Metode Analisis Data Tahap analisis data dilakukan dengan memasukkan data dan
menganalisis hasil melalui statistik uji Wilcoxon SignedRank
untuk mengetahui hasil perbedaan sebelum perlakuan dilakukan
dan setelah perlakuan dilakukan.

12. Hasil Penelitian Hasil dari penelitian dijelaskan bahwa kelima subjek penelitian
memiliki rentang usia mulai dari 27 tahun sampai 35 tahun, jenis
kelamin perempuan sebanyak 3 orang dan laki-laki 2 orang. Dari
hasil pre-tes dan post-tes diketahui bahwa kategori tingkat stres
kerja pada saat pre-test dalam kategori sedang, begitu juga pada
saat post-tes dalam kategori sedang, namun skor yang dihasilkan
terjadi perubahan antara pre dengan

post-test. Berdasarkan analisis uji Wilcoxon (Z) diperoleh nilai


sebesar -2,032. Nilai ini diprediksikan memiliki tingkat kesalahan
(sig/p) sebesar 0,042. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan skor stres kerja yang signifikan sesudah diberikan
perlakuan yaitu nilai p < 0,05, dengan demikian musik dapat
menurunkan tingkat stress kerja karyawan.Berdasarkan analisis
yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang
diajukan dalam penelitian dapat diterima yaitu ada perbedaan
tingkat stres kerja karyawan antara sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan musik.

13. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat


perbedaan skor yang signifikan ketika sebelum dan sesudah diberi
perlakuan mendengarkan musik klasik Mozart dapat menurunkan
tingkat stres kerja karyawan. Dari hasil analisis uji Wilcoxon (Z)
diperoleh nilai sebesar -2.032 dan nilai tingkat kesalahan (sig/p)
sebesar 0,042, karena nilai p < 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan tingkat stres kerja karyawan sebelum dan
menurun sesudah diberi perlakuan berupa musik. Sehingga pada
penelitian ini menunjukkan bahwa musik dapat menurunkan
tingkat stres kerja secara signifikan. Implikasi dari penelitian,
yaitu terkait dengan instansidapat menggunakan metode
mendengarkan musik ini pada akan memulai bekerja maupun saat
istirahat dengan cara bersama-sama dapat dilakukan dengan cara
menyalakan musik dengan menggunakan penegras suara yang
terletak disetiap sudut agar setiap sudut ruangan kerja dapat
mendengarkan, sehingga hal ini berguna untuk mengembalikan
semangat karyawan untuk memulai pekerjaannya kembali.
Karyawan dapat menggunakan metode mendengarkan musik
untuk mengurangi tingkat stres kerja, baik pada saat bekerja
maupun istirahat. Hal ini dikarenakan musik dapat dijadikan
sebagai salah satu referensi untuk relaksasi, refreshing,
memberikan ketenangan dan dapat memunculkan semangat dalam
bekerja.Bagi peneliti selanjutnya disarankan terkait pemberian
perlakuan mendengarkan musik klasik Mozart untuk mengurangi
tingkat stres kerja dapat memberikan musik dengan genre musik
yang lebih bervariasi.

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/view/1770
International Journal of Clinical and Health Psychology (2013) 13, 1−8
Publicación cuatrimestral / Four-monthly publication ISSN 1697-2600

Vol. 13 - Nº 1
Volumen 13, Número 1
Enero - 2013

Volume 13, Number 1

International Journal
January - 2013

International Journal of Clinical and Health Psychology


International Journal of

of Clinical and Health Psychology


Clinical and Health
Psychology

Director / Editor:
Juan Carlos Sierra

Directores Asociados / Associate Editors:


Stephen N. Haynes
Michael W. Eysenck
Gualberto Buela-Casal

www.elsevier.es/ijchp

2013
ORIGINAL ARTICLE

Effects of a self-regulation intervention on exercise are moderated


by depressive symptoms: A quasi-experimental study

Sarah Pompa,*, Lena Fleiga, Ralf Schwarzera, Sonia Lippkeb

a
 Freie Universität Berlin, Germany
b
 Jacobs University Bremen, Germany

Received May 2, 2012; accepted October 30, 2012

KEYWORDS Abstract  This study investigated whether a computer-based self-regulation intervention


Physical exercise; increases physical exercise in individuals with or without depressive symptoms. A total of
Depression; 361 individuals in orthopedic rehabilitation, 36 of them with depressive symptoms, were
Self-regulation recruited in Germany. In a quasi- experimental study, individuals were allocated to either a
intervention; computer-based self-regulation intervention or an online questionnaire. Exercise was measured
Rehabilitation; at the beginning of rehabilitation and six weeks after rehabilitation. Depressive symptoms were
Quasi-experimental assessed at the end of rehabilitation. An analysis of covariance was conducted, controlling for
design exercise baseline, sex, and phase of assessment. A main effect for depressive symptoms
(p = .005) and intervention group (p = .011), as well as a marginal interaction of intervention x
depressive symptoms were found (p = .076). Results indicate that the self-regulation exercise
intervention in an orthopedic rehabilitation setting seem to be only effective in non-depressed
individuals. Future research should examine how health behavior change programs can be
designed more effectively for individuals with depressive symptoms.
© 2012 Asociación Española de Psicología Conductual. Published by Elsevier España, S.L.
All rights reserved.

PALABRAS CLAVE Resumen  Este estudio investigó si una intervención de autorregulación por computadora in-
Ejercicio físico; crementa el ejercicio físico en pacientes con o sin síntomas depresivos. Fueron reclutados en
Depresión; Alemania un total de 361 pacientes de rehabilitación ortopédica, 36 de los cuales tenían sínto-
Intervención de mas depresivos. En un estudio cuasi experimental los individuos fueron asignados a una inter-
autorregulación; vención de autorregulación o a un cuestionario en línea. Se midió la cantidad de ejercicio al
Rehabilitación; principio de la rehabilitación y seis semanas después de la misma. Los síntomas depresivos fue-
Cuasi-experimento ron valorados al final de la rehabilitación. Se llevó a cabo un análisis de covarianza, controlando
el ejercicio en la línea base, el sexo y la fase de evaluación. Se encontro tanto un efecto princi-

*Corresponding author at: Health Psychology, Freie University Berlin, Habelschwerdter Allee 45 (PF 10), 14195 Berlin, Germany.
E-mail address: sarah.pomp@fu-berlin.de (S. Pomp).

1697-2600/$ - see front matter © 2012 Asociación Española de Psicología Conductual. Published by Elsevier España, S.L. All rights reserved.
2 S. Pomp et al.

pal para los síntomas depresivos (p = 0,005) y para la intervención grupal (p = 0,011) sí como una
interacción marginal de intervención x síntomas depresivos (p = 0,076). Los resultados indican
que la intervención de autorregulación en ejercicio físico dentro del contexto de rehabilitación
fue efectiva solamente en individuos no deprimidos. Investigaciones futuras deberían examinar
cómo pueden ser diseñados programas de cambio de conducta más efectivos para individuos con
síntomas depresivos.
© 2012 Asociación Española de Psicología Conductual. Publicado por Elsevier España, S.L.
Todos los derechos reservados.

Regular exercise is required for a long-term recovery of the 2005; Ziegelmann, Luszczynska, Lippke, & Schwarzer; 2007)
physical condition of orthopedic rehabilitation patients. and intervention studies (Knittle, Maes, & De Gucht, 2010;
Nevertheless, a high percentage of patients fail to maintain Latimer, Ginis, & Arbour, 2006; Lippke et al., 2004b;
prescribed exercise levels after discharge from rehabilitation Sniehotta et al., 2005) have proven the beneficial effects of
(e.g., Reuter, Ziegelmann, Lippke, & Schwarzer, 2009). these strategies to uphold regular exercise. However, some
Some interventions targeting self-regulation techniques interventions targeting self-regulatory strategies failed to
(i.e., action planning) have been successful in promoting enhance exercise behavior (Huisman et al., 2009; Sniehotta,
exercise among orthopedic patients after rehabilitation Gorski, & Araujo-Soares, 2010). This raises the question for
(e.g., Lippke, Ziegelmann, & Schwarzer, 2004b). However, potential moderators. Studying moderators reveals whether
some self-regulation interventions have failed too (e.g., intervention effects are associated with third variables,
Huisman et al., 2009). One reason for a lack of effectiveness e.g., with characteristics of participants.
of a self-regulation intervention might be that not everyone
benefits from such interventions, e.g. individuals suffering
from depressive symptoms. A conflict of resources? Why depressive
Individuals dealing with medical health concerns often symptoms may interfere with exercise-related
report depressive symptoms (e.g., Bardwell & Fiorentino, self-regulation
2012) and have difficulties with adherence to physical
exercise (Burgos-Garrido, Gurpegui, & Jurado, 2011). A large A theoretical framework that might explain an interference
number of individuals with orthopedic health problems of depressive symptoms with self-regulation processes is the
experience depressive symptoms (Nickision, Boards, & Kay, strength and energy model (Baumeister, Muraven, & Tice,
2009; Riddle, Wade, & Jiranek, 2010). Suffering from 2000; Hagger, Wood, Stiff, & Chatzisarantis, 2010). Within
depressive symptoms is associated with sadness and loss of this paradigm, self-regulation is assumed to be a global
joviality (Watson, Clark, & Stasik, 2011). Previous research energy that is utilized on self-regulated tasks across
has also shown that depressive symptoms interfere with different domains of actions. Self-regulation is
self-regulation processes regarding the engagement in conceptualized as a limited source. If the energy is used up
exercise (Pomp, Lippke, Fleig, & Schwarzer, 2010). Common a person reaches a state of ego-depletion. Strong usage of
self-regulation interventions to promote physical exercise self-regulation in one action domain can cause self-
do not consider these difficulties of individuals experiencing regulation failure in other domains. The regulation of
depressive symptoms. As a consequence, these individuals negative affect (i.e., regulation of depressive symptoms) as
might not benefit from such an intervention in the same well as symptoms of stress and fatigue demand lots of self-
way as individuals without depressive symptoms do. regulation energy and thus facilitate ego-depletion (Hagger
Therefore, this study investigates whether an exercise self- et al., 2010; Tice & Bratslavsky, 2000). If individuals with
regulation intervention is as effective in individuals who depressive symptoms have depleted resources then they
report depressive symptoms in those reporting no might struggle to adopt self-regulation strategies regarding
symptoms. exercise behavior. Common self-regulation interventions do
not consider the parallel management of depressive
symptoms and health behavior (Detweiler-Bedell, Friedman,
Self-regulation interventions promote Leventhal, Miller, & Leventhal, 2008) and are therefore not
post-rehabilitation exercise tailored to the particular situation of individuals dealing
with depressive symptoms. Differential effects of such self-
Self-regulation is defined as any effort an organism regulation interventions in individuals with and without
undertakes to alter its own response (Carver & Scheier, depressive symptoms might therefore be likely.
1998) and refers to a process in which individuals try to
exert control over their own thoughts, feelings, impulses,
and performances. Self-regulatory strategies that foster Aims
exercise are goal setting, action planning and action control
(Michie et al., 2011). Observational studies (Conner, The objective of this study was to investigate whether a
Sandberg, & Norman, 2010; Sniehotta, Scholz, & Schwarzer, computer-based self-regulation intervention during
Effects of a self-regulation intervention on exercise are moderated by depressive symptoms 3

rehabilitation is effective in promoting post-rehabilitation intervention or an online questionnaire only (see Fig. 1).
exercise in patients with and without depressive symptoms. The uneven sample size of the control and the intervention
We expected that the effectiveness of the intervention is group is due to a two-phase recruitment of the control-
moderated by depressive symptoms, i.e., that individuals group. In a first phase, a pilot sample was recruited. All
without depressive symptoms respond better to the participants of the pilot sample filled out the online
intervention (i.e., have a higher increase in behavior after questionnaire only. In the second phase, individuals were
rehabilitation) in comparison to those screened positive on randomly assigned to the intervention or control group by
depressive symptoms. a computer algorithm. Participants of the pilot sample were
compared to participants who were randomized to the
control group during the main trial by using analyses of
Method variance (ANOVAs) for continuous measures, and χ2-tests for
categorical measures. Differences between the groups were
Participants and procedure found on physical exercise T1 and educational background.
Individuals of the randomized control group sample reported
Study participants were recruited at the onset of their higher levels of physical exercise at T1 (M randomized control group =
rehabilitation in two orthopedic rehabilitation clinics in 235.90, M pilot sample control group = 93.60; t (54) = −3.8; p ≤ .001) and
Germany. The regular clinic program comprised a complex were less likely to have a high school degree (n randomized control
regimen of medical and physiotherapeutic therapies. A self- group = 28, n pilot sample control group = 210; χ (1) = 4.60; p ≤ .05) than
2

regulatory online intervention was provided to prepare individuals in the pilot sample control group. The groups did
rehabilitation patients to perform exercise on a regular not differ with regard to sex, age, depressive symptoms,
basis after discharge. Trained project workers informed the occupational status, and partner status. To increase power,
patient about the study and patients were asked to sign an the pilot sample and the randomized control group were
informed consent. Participants were assigned to an merged into one control group in the present study. Thereby,
intervention or control group and received either an online a quasi-experimental design was applied. However, to
questionnaire followed by a computer-based exercise consider differences between the two groups phase of

Assessed for eligibility


N = 746 Not eligable
n = 107 (14,3%)
Refused to participate
n = 25 (3.4%)
Enrollment
n = 614
Refused to participate
n = 33 (5.2%)
Informed con sent
n = 581

Control group at the on set of rehabilitation Intervention at the on set of rehabilitation


n = 303 recruited in pilot phase n = 227
n = 51 recruited in randomization phase Intervention recelved
n = 227

Intervention at the end of of rehabilitation


Control group at the of rehabilitation n = 173
n = 279 Intervention recelved
n = 173

Control group 6 weeks after rehabilitation Intervention group 6 weeks after rehabilitation
n = 233 n = 135

(n = 4 excluded due to missing value (n = 3 excluded due to missing value


on depression items) on depression items)

Analysed Analysed
n = 229 n = 132

Figure 1  Flowchart of participants progress through the study phases.


Note. aExcluded as inclusion criteria were not met (i.e., being capable of exercising on their own, able to fill out a computer-based
questionnaire, being not too handicapped to write and having sufficient literacy); brefused to participate and did not show up at the
appointment; crefused to participate due to time constraints, concerns regarding protection of data privacy, and other reasons not
communicated to study assistant.
4 S. Pomp et al.

assessment was included as a covariate in the main higher were categorized as patients with depressive
analysis. symptoms. Löwe, Kroenke, and Gräfe (2005) found the
The questionnaire or/and the intervention were provided PHQ-2 to have a sensitivity of 79% and a specificity of 86%
at the beginning (Time 1; T1) and at the end of their rehabi- for any depressive disorder.
litation stay (Time 2; T2). About six weeks after rehabilita- Physical exercise considering the effort of exercise was
tion (Time 3; T3), individuals were contacted a third time measured at the beginning of the rehabilitation stay and
and assessments were conducted via Computer-Assisted six weeks after rehabilitation with a modified version of
Telephone Interviews (CATI). Ethical approval was granted the Godin Leisure-Time Exercise Questionnaire (GLTEQ;
by the Ethics Commission of the German Psychological Asso- Godin & Shephard, 1985; Plotnikoff et al., 2007). At T1
ciation. rehabilitation patients were asked how much exercise they
At T1, 581 patients participated in the study. At the end of had performed prior to rehabilitation. Six weeks after
the rehabilitation (T2), 440 patients (75.70% of T1) took rehabilitation (T3), exercise in the last four weeks was
part, and a total of 63.30% of the baseline sample assessed. Each time, participants indicated how often per
participated in the assessment at T3. A total of 7 individuals week and how long per session they performed moderate
were excluded due to missing values on the depression and strenuous physical exercise. Total physical exercise
items. The longitudinal sample (T1, T2, T3) consisted of was the number of sessions per week multiplied by minutes
361 individuals (see Fig. 1). per session. The scale has been used in a rehabilitation
Mean age of the longitudinal sample was 48.40 years (SD = setting before (Lippke, Ziegelmann, and Schwarzer,
10; age range: 21-76 years), and the sample consisted of 2004a).
more women (64.80%) than men. Of all participants, 73.40%
were living with a partner, and 66.80% reported to have a Analytic procedure
high school degree.
Out of the final sample, n = 325 (90%) scored negative and To test the effect of the intervention and depressive
n = 36 (10%) scored positive on depressive symptoms. symptoms, as well as the interaction of intervention and
The control group comprised 207 individuals without depressive symptoms on physical exercise T3, an analysis of
depressive symptoms and 22 (10.60% of the control group) covariance (ANCOVA) with the covariates exercise T1, sex,
with depressive symptoms. In the intervention group, and phase of assessment was conducted.
118 were screened negative on depressive symptoms and
14 were screened positive (11.90% of the intervention
group). Results

The self-regulation intervention Randomization check


The online intervention consisted of two units that were Participants in the intervention group reported significantly
delivered at the beginning and end of the rehabilitation higher levels of physical exercise prior to rehabilitation than
stay. Within both units, individuals were prompted to participants in the control group (M control group = 111.50;
generate up to five post-rehabilitation exercise ideas (e.g., M intervention group = 173.20; t (359) = −4.10; p ≤ .001). The groups
swimming, running), as well as to form up to five post- did not differ with regard to age, gender, occupational
rehabilitation action plans (e.g., Prestwich, Lawton, & status, high school degree, partner status, and depressive
Conner, 2003). Additionally, the second intervention symptoms (p’s > .05).
addressed the volitional strategy of action control. A diary
to self-monitor one’s home-based physical exercise was Attrition analysis
handed out to participants (e.g., Sniehotta et al., 2005).
On average, participants in the intervention group spent The original sample at T1 (N = 581) differed from the
36.10 minutes (SD = 10.10) on the questionnaire and longitudinal sample at T3 (N = 361) with regard to age (M T1
the intervention at T1 and 20.30 minutes (SD = 19.50) sample = 48.30; M longitudinal sample = 45.90; t (399) = −2.80; p = .01).
with the program and the questionnaire at T2. Thus, individuals who continued the participation in the
study were younger than those who dropped out. No
Measures differences were found with regard to gender, occupational
status, high school degree, and partner status (p’s > .05)
Depressive symptoms were measured at the end of between the T1 and the T3 sample. Samples did not differ
rehabilitation (T2) by the 2-item version of the Patient with regard to depressive symptoms at T2 or physical
Health Questionnaire (PHQ-2; Kroenke, Spitzer, & Williams, exercise prior to rehabilitation (p’s > .05).
2003). The PHQ-2 assesses the frequency of depressed
mood and anhedonia over the past two weeks. The two Preliminary results
items were “Have you often been bothered by feeling
down, depressed, or hopeless?” and “Have you often been Means of exercise T1 and exercise T3 are depicted in Table 1.
bothered by little interest or pleasure in doing things?”. Overall, individuals without depressive symptoms increased
Responses ranged from “not at all” (0), “on some days” their levels of exercise, in particular individuals in the
(1), “more than half of the days” (2), and “nearly every intervention group. Individuals with depressive symptoms
day” (3). Responses were aggregated, and, according to rather decreased their level of exercise within the control
Kroenke et al. (2003), those who had a score of three and and intervention group.
Effects of a self-regulation intervention on exercise are moderated by depressive symptoms 5

Table 1  Physical exercise means and SDs in 361 individuals in orthopedic rehabilitation.

Exercise T1 Exercise T3 n

Mean (SD) Mean (SD)

Intervention Group
  Non-depressive individuals 170.72 (140) 245.11 (165.09) 118
  Depressive individuals 183.70 (151.50) 127.40 (164) 14
  Total 172.10 (140.43) 232.63 (168.31) 132
Control Group
  Non-depressive individuals 108.40 (130) 148.80 (135.60) 207
  Depressive individuals 140.80 (179.30) 126.70 (158.10) 22
Total 111.50 (135.30) 146.70 (137.70) 229
  Total
  Non-depressive individuals 131.04 (136.67) 178.09 (153.92) 325
  Depressive individuals 157.50 (168.10) 127 (158.08) 36
SD = standard deviation.
Note. Statistics are reported in the text below. T1 = Time 1; T3 = Time 3.

Main effects and interaction effect 240

The ANCOVA (covariates: exercise prior to rehabilitation, 220


Physical exercise in minutes/week

sex, phase of assessment) revealed two significant main


effect and a marginal significant interaction effect:
200
Depressive symptoms (F (1, 354) = 8.10; p = .005; partial η² =
.02) and the intervention condition (F (1, 354) = 6.50; p = .011; Depressive
partial η² = .02) predicted exercise T3 significantly. However, 180
results also revealed a marginal significant interaction of Non-depressive
intervention x depressive symptoms (F (1, 354) = 3.20; p = .076; 160
η² = .01). Figure 2 illustrates that individuals without
depressive symptoms in the intervention group reported 140
higher levels of exercise compared to individuals with
depressive symptoms in the intervention group. Additionally
to the main effects and the interaction effect, the covariates 120
exercise prior to rehabilitation (F (1, 354) = 20.30; p ≤ .001; T1 T3
η² = .05) and phase of assessments (F (1, 354) = 5.30; p = .021;
Figure 2  Means of physical exercise T1 and T3 are depicted
η² = .02) predicted exercise after rehabilitation.
for individuals with and without depressive symptoms in the
intervention group.
Note. Individuals without depressive symptoms in the
Discussion intervention group increased their levels of exercise 6 weeks
after rehabilitation, whereas individuals with depressive
This study aimed to investigate whether a common
symptoms did not.
computer-based self-regulation intervention during
orthopedic rehabilitation is effective in promoting exercise
after rehabilitation in individuals with or without depressive
symptoms. We hypothesized that depressive symptoms replicating this negative link with regard to post-
moderate the effectiveness of the self-regulation inter- rehabilitation exercise in a sample of orthopedic patients.
vention, i.e., that a common self-regulation intervention is As regular exercise training is essential for the physical
more effective in increasing exercise in individuals without rehabilitation of individuals with orthopedic health problems
depressive symptoms than in individuals with depressive and depressive symptoms are highly prevalent in this target
symptoms. group, it is important to consider that depressive symptoms
might interfere with the engagement in exercise after
Depressive symptoms moderate the effectiveness rehabilitation.
of an exercise self-regulation intervention Findings of our study indicate that a self-regulation
intervention is effective to enhanced post-rehabilitation
The overall (in the intervention and control group) negative exercise. Targeted self-regulatory strategies in the present
effect of depressive symptoms on exercise is in line with intervention were to generate exercise ideas (i.e., exercise
previous meta-analytic findings (Roshanaei-Moghaddam, goals), make detailed action plans (when, where, and how
Katon, & Russo, 2009). Our study adds to these findings by will I exercise), and to monitor one’s own behavior with the
6 S. Pomp et al.

help of an exercise diary. The main effect of the treatment depression management when promoting health behavior
is in line with previous studies demonstrating the benefit of and vice versa, treatments might become synergistic
self-regulation interventions to increase exercise (Latimer (Detweiler-Bedell et al., 2008). However, research on
et al. 2006; Lippke et al., 2004b; Sniehotta et al., 2005). integrated approaches for the promotion of exercise in
However, individuals with depressive symptoms in the individuals with comorbid depressive symptoms is required.
intervention group did not increase their exercise levels six
weeks after rehabilitation. They exercised less than Outlook
individuals without depressive symptoms in the intervention
group. This is in line with the assumption that individuals Advantages of exercise are twofold in particular for
with depressive symptoms might have fewer capabilities to individuals experiencing depressive symptoms: exercise
implement health behavior due to depleted self-regulatory fosters physical health and also alleviates depressive
resources (Hagger et al., 2010; Tice & Bratslavsky, 2000). symptoms (Conn, 2010). Therefore, these individuals should
One might assume that individuals with depressive symptoms not be neglected when designing exercise promotion
planned less, had difficulties setting realistic plans, or did programs for rehabilitation patients. Future research needs
not adhere to their plans. Individuals dealing with depressive to focus on the development and evaluation of appropriate
symptoms might have also not self-monitored their exercise exercise programs for rehabilitation patients with depressive
behavior with the help of a diary. Further, our intervention symptoms. One focus might be set on integrated approaches
asked individuals to set up to five exercise ideas and make that address exercise behavior and depressive symptoms.
up to five exercise plans. The intervention might have been Moreover, exercise programs could be more tailored to the
overwhelming for individuals with depressive symptoms. particular situation of individuals experiencing depressive
Less ambitious goals might avoid frustration and thus symptoms (e.g., by considering fewer self-regulatory
produce more positive feelings in individuals with depressive resources in these individuals). Further, studies need to test
symptoms (Conn, 2010). Goal achievement was found to whether some health behavior change strategies are
have a positive effect on depressive symptoms (Scholz, superior to others in increasing exercise in individuals with
Knoll, Sniehotta, & Schwarzer, 2006). A decrease of depressive symptoms (self-regulatory strategies vs. more
depressive symptoms and the positive experiences of goal external strategies). Future research might also evaluate
attainment might later enhance the likelihood to engage in effects regarding different modes (computer vs. face-to-
exercise. Thus, interventions that prompt the generation of face) and intensities (frequency of contacts) of exercise
fewer goals or plans might be more appropriate for programs for individuals with depressive symptoms. By
individuals with depressive symptoms. Further, one could addressing these questions, more appropriate interventions
presume that external strategies (e.g., social support, social to support individuals suffering from depressive symptoms
control) are more beneficial for individuals with depressive to engage in exercise may be developed.
symptoms to increase their exercise. Such strategies might
require less self-regulatory effort and thus consider depleted Limitations
resources. However, studies on these questions are missing.
One might also question whether the mode of our Some limitations need to be addressed. First, the interaction
intervention was suitable to support participants suffering effect was only marginal significant. Replications of the
from depressive symptoms. Although, there is some evidence findings in similar samples are required. Second,
for the effectiveness of computer-based intervention in the participation rates of individuals with depressive symptoms
field of psychotherapy (Proudfoot, 2004), most computer- were low in our study compared to actual prevalence of
delivered treatments fail to address non-specific treatment depressive symptoms in orthopedic rehabilitation. The
factors (e.g., empathy). Such non-specific factors contribute relatively low rate of participants with depressive symptoms
to the effects of face-to-face psychotherapy to a valuable in this study might have resulted from two aspects.
degree (Proudfoot, 2004). Exercise interventions for A screening instrument rather than a clinical diagnosis was
individuals with depressive symptoms might also benefit used to identify individuals with depressive symptoms.
from such non-specific factors. Additionally, individuals with Moreover, the study participation was optional for medical
depressive symptoms may benefit from more regular rehabilitation patients and individuals with depressive
contact. Our intervention was delivered only twice during symptoms might have been less likely to participate. An
rehabilitation. Interventions with frequent contacts were increase of the participation rate of individuals dealing with
found to be more effective at fostering exercise maintenance depressive symptoms in future studies is desirable. Third,
in individuals than interventions with fewer contacts the assessment of self-regulation energy (i.e., ego depletion)
(Fjeldsoe, Neuhaus, Winkler, & Eakin, 2011). Particularly would be helpful to strengthen theoretical assumptions.
individuals suffering from depressive symptoms might Thus, future studies need to replicate the findings and
benefit from weekly reminders and booster sessions include measures of ego-depletion.
(Hampel, Graef, Krohn-Grimberghe, & Tlach, 2009). Finally,
individuals experiencing depressive symptoms might benefit
from additional psychotherapeutic support, e.g., cognitive Conclusion
behavior therapy (Hollon, Stewart & Strunk, 2006).
Integrated approaches that address the management of The self-regulation intervention seemed effective in
depressive symptoms and health behaviors, rather than an increasing post-rehabilitation exercise among individuals
exercise intervention alone, might be advantageous for without depressive symptoms, but not among participants
individuals with depressive symptoms. By considering with depressive symptoms. Thus, a self-regulation exercise
Effects of a self-regulation intervention on exercise are moderated by depressive symptoms 7

intervention which is not tailored to the needs of individuals Kroenke, K., Spitzer, R. L., & Williams, J.B. (2003). The patient
suffering from depressive symptoms might not be effective in health questionnaire-2: Validity of a two-item depression
increasing post-rehabilitation exercise in this target group. screener. Medical Care, 41, 1284-1294.
Latimer, A. E., Ginis, K. A., & Arbour, K. P. (2006). The efficacy of an
If we want to support individuals with depressive
implementation intention intervention for promoting physical
symptoms to engage in regular exercise, research is required
activity among individuals with spinal cord injury: A randomized
to clarify how exercise programs for individuals with controlled trial. Rehabilitation Psychology, 51, 273-280.
depressive symptoms can be designed effectively. Future Lippke, S., Ziegelmann, J. P., & Schwarzer, R. (2004a). Behavioral
research might compare the effectiveness of different intentions and action plans promote physical exercise: A longitu-
health behavior change techniques that are most beneficial dinal study with orthopedic rehabilitation patients. Journal of
for individuals with depressive symptoms. Moreover, Sport and Exercise Psychology, 26, 470-483.
integrated approaches that address the management of Lippke, S., Ziegelmann, J. P., & Schwarzer, R. (2004b). Initiation
health behavior and depressive symptoms in concert, i.e., and maintenance of physical exercise: Stage-specific effects of
by integrating exercise programs and cognitive behavior a planning intervention. Research in Sports Medicine, 12, 221-
therapy, might be considered in the future. 240.
Löwe, B., Kroenke, K., & Gräfe, K. (2005). Detecting and monitor-
ing depression with a 2-item questionnaire (PHQ 2). Journal of
Psychosomatic Research, 58, 163-171.
References
Michie, S., Ashford, S., Sniehotta, F. F., Dombrowski, S. U., Bishop,
A., & French, D. P. (2011). A refined taxonomy of behaviour
Bardwell, W. A., & Fiorentino, L. (2012). Risk factors for depression change techniques to help people change their physical activity
in breast cancer survivors: An update. International Journal of and healthy eating behaviours: The CALO-RE taxonomy. Psycho-
Clinical and Health Psychology, 12, 311-331. logy and Health, 26, 1479-1498.
Baumeister, R. F., Muraven, M., & Tice, D. M. (2000). Ego depletion:
Nickision, R. S., Boards, T. N., & Kay, P. R. (2009). Post-operative
A resource model of volition, self-regulation, and controlled
anxiety and depression level in orthopoedic surgery: A study of
processing. Psychological Bulletin, 18, 130-150.
56 patients undergoing hip or knee arthoplastry, Journal of Eval-
Burgos-Garrido, E., Gurpegui, M., & Jurado, D. (2011). Personality
uation in Clinical Practice, 15, 307-310.
traits and adherence to physical activity in patients attending a
Plotnikoff, R. C., Lippke, S., Reinbold-Matthews, M., Courneya, K.
primary health centre. International Journal of Clinical and
S., Karunamuni, N., Sigal, R. J., & Birkett, N. (2007). Assessing
Health Psychology, 11, 539-547.
the validity of a stage measure on physical activity in a popula-
Carver, C. S., & Scheier, M. F. (1998). On the self-regulation of be-
tion-based sample of individuals with type 1 or type 2 diabetes.
havior. New York: Cambridge University Press.
Measurement in Physical Education and Exercise Science, 11,
Conn, V. S. (2010). Depressive symptom outcome of physical activi-
73-91.
ty interventions: Meta-analysis findings. Annals of Behavioral
Pomp, S., Lippke, S., Fleig, L., & Schwarzer, R. (2010). Synergistic
Medicine, 39, 128-138.
effects of intention and depression on action control: Longitudi-
Conner, M., Sandberg, T., & Norman, P. (2010). Using action plan-
nal predictors of exercise after rehabilitation. Mental Health
ning to promote exercise behavior. Annals of Behavioral Medici-
and Physical Activity, 2, 78-84.
ne, 40, 65-76.
Detweiler-Bedell, J. B., Friedman, M. A., Leventhal, H., Miller, I. Prestwich, A., Lawton, R., & Conner, M. (2003). The use of imple-
W., & Leventhal, E. A. (2008). Integrating co-morbid depression mentation intentions and decisional balance sheet in promoting
and chronic physical disease management: identifying and resol- exercise behavior. Psychology and Health, 18, 707-721.
ving failures in self-regulation. Clinical Psychological Review, Proudfoot, J. G. (2004). Computer-based treatment for anxiety and
28, 1426-1446. depression: Is it feasible? Is it effective? Neuroscience and
Fjeldsoe, B., Neuhaus, M., Winkler, E., & Eakin, E. (2011). Systematic Biobehavioral Reviews, 28, 353-363.
review of maintenance of behavior change following physical ac- Reuter, T., Ziegelmann, J. P., Lippke, S., & Schwarzer, R. (2009).
tivity and dietary interventions. Health Psychology, 30, 99-109. Long-term relations between intentions, planning, and exercise:
Godin, G., & Shephard, R.J. (1985). A simple method to assess exer- A 3-year longitudinal study after orthopedic rehabilitation. Re-
cise behavior in the community. Canadian Journal of Applied habilitation Psychology, 54, 363-371.
Sport Science, 10, 141-146. Riddle, D. L., Wade, J. B., & Jiranek, W. A. (2010). Major depres-
Hagger, M. S., Wood, C., Stiff, C., & Chatzisarantis, N. L. (2010). sion, generalized anxiety disorder, and panic disorder in patients
Ego depletion and the strength model of self-control: A meta- scheduled for knee arthroplasty. The Journal of Arthroplasty,
analysis. Psychological Bulletin, 136, 495-525. 25, 581-588.
Hampel, P., Graef, T., Krohn-Grimberghe, B., & Tlach, L. (2009). Roshanaei-Moghaddam, B., Katon, W. J., & Russo, J. (2009). The
Effects of gender and cognitive-behavioral management of de- longitudinal effects of depression on physical activity. General
pressive symptoms on rehabilitation outcome among inpatient Hospital Psychiatry, 31, 306-315.
orthopedic patients with chronic low back pain: A 1 year longitu- Scholz, U., Knoll, N., Sniehotta, F. F., & Schwarzer, R. (2006). Phys-
dinal study. European Spine Journal, 18, 1867-1880. ical activity and depressive symptoms in cardiac rehabilitation:
Hollon, S. T., Stewart, M. O., & Strunk, D. (2006). Enduring effects Long-term effects of a self-management intervention. Social
for cognitive behavior therapy in the treatment of depression Science and Medicine, 62, 3109-3120.
and anxiety. Annual Review of Psychology, 57, 285-315. Sniehotta, F. F., Gorski, C., & Araujo-Soares, V. (2010). Adoption of
Huisman, S., De Gucht, V., Maes, S., Schroevers, M., Chatrou, M., & community-based cardiac rehabilitation programs and physical
Haak, H. (2009). Self-regulation and weight reduction in pa- activity following phase III cardiac rehabilitation in Scotland:
tients with type 2 diabetes: A pilot intervention study. Patient A prospective and predictive study. Psychology and Health, 25,
Education Counseling, 75, 84-90. 839-854.
Knittle, K., Maes, S., & De Gucht, V. (2010). Psychological interven- Sniehotta, F. F., Scholz, U., & Schwarzer, R. (2005). Bridging the
tions for rheumatoid arthritis: Examining the role of self-regula- intention-behavior gap: Planning, self-efficacy, and action con-
tion with a systematic review and meta-analysis of randomized trol in the adoption and maintenance of physical exercise. Psy-
controlled trials. Arthritis Care and Research, 62, 1460-1472. chology and Health, 20, 143-160.
8 S. Pomp et al.

Sniehotta, F. F., Scholz, U., Schwarzer, R., Fuhrmann, B., Kiwus, U., Watson, D., Clark, A. C., & Stasik, S. M. (2011). Emotions and the
& Völler, H. (2005). Long-term effects of two psychological in- emotional disorders: A quantitative hierarchical perspective. In-
terventions on physical exercise and self-regulation following ternational Journal of Clinical and Health Psychology, 11, 429-
coronary rehabilitation. International Journal of Behavioral 442.
Medicine, 12, 244-255. Ziegelmann, J. P., Luszczynska, A., Lippke, S., & Schwarzer, R.
Tice, D. M., & Bratslavsky E. (2000). Giving in to feel good: The (2007). Are goal intentions or implementation intentions better
place of emotion regulation in the context of general self-con- predictors of health behavior? A longitudinal study in orthopedic
trol. Psychological Inquiry, 11, 149-159. rehabilitation. Rehabilitation Psychology, 52, 97-102.
Nama : Dwi Ghina Syakuroh
Nim : 1624090133

Judul “Effects of a self-regulation intervention on exercise are moderated by


Penelitian depressive symptoms: A quasi-experimental study”

“Efek intervensi pengaturan diri pada olahraga dimoderasi oleh gejala


depresi: Sebuah studi eksperimental semu"

Jurnal Original Jurnal -

Volume dan 13 (2013) 1-8


Tahun
Sarah Pompa,*, Lena Fleiga, Ralf Schwarzera, Sonia Lippkeb a Freie
Nama
Peneliti Universität Berlin, Germany b Jacobs University Bremen, Germany

Penerbit Elsilvier Doyma

Abstrak Pada penelitian ini dibahas mengenai apakah self - regulation berbasis
komputer dapat meningkatkan latihan fisik pada individu dengan atau tanpa
gejala depresi. Perekrutan peserta penelitian ini di lakukan pada dua klinik
rehabilitasi ortopedi di Jerman. Metode yang digunakan adalah
menggunakan kuisioner online ukuran sampel tidak merata dari kontrol dan
kelompok intervensi. Hasil menunjukkan bahwa intervensi latihan
pengaturan diri dalam pengaturan rehabilitasi ortopedi tampaknya hanya
efektif pada individu yang tidak depresi. Penelitian masa depan harus
memeriksa bagaimana program perubahan perilaku kesehatan dapat
dirancang lebih efektif untuk individu dengan gejala depresi. Karena sering
kali terjadi pengabaian terhadap kualitas latihan pasien depresi.
Pengaturan diri (Self-regulation) didefinisikan sebagai upaya apa
Pendahuluan
/ Latar pun yang dilakukan oleh suatu organisme untuk mengubah responsnya
belakang sendiri. (Carver & Scheier, 1998) dan mengacu pada suatu proses di mana
masalah
individu mencoba untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dorongan, dan
penampilan mereka sendiri. Strategi pengaturan diri yang mendorong
latihan adalah penetapan tujuan, perencanaan tindakan dan kontrol
tindakan (Michie et al., 2011).
Self regulation ini merupakan teori yang dikemukakan oleh tokoh
psikologi,Albert Bandura. Semakin efektif seseorang dalam
mengembangkan perencanaan strategi pengelolaan diri (personal),
perilaku, dan lingkungannya maka semakin tinggi tingkat regulasi diri (self
regulation) tersebut. Proses self regulation dilakukan agar seseorang atau
individu dapat mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai
suatu tujuan yang diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan
fisik, kognitif, social, pengendalian emosi yang baik sehimgga membawa
seseorang kepada self regulation yang baik.
Menurut Schunk dan Zimmerman (dalam Ropp, 1999) menyatakan

bahwa self regulation mencakup tiga aspek :

a. Metakognisi

Metakognisi menurut Schunk & Zimmerman (dalam Ropp, 1999)

adalah kemampuan individu dalam merencanakan,

mengorganisasikan atau mengatur, menginstruksikan diri,

memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.

b. Motivasi

Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999) mengatakan bahwa

motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu

yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi

yang dimiliki dalam aktivitas belajar. motivasi merupakan fungsi

dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan

perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu.

c. Perilaku

Perilaku menurut Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999)

merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan

memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang


Teori / Definisi yang dipakai di penelitian ini adalah :
Definisi dari
variabel yang Kerangka teoritis yang mungkin menjelaskan gangguan gejala depresi
terlibat dengan proses pengaturan diri adalah model kekuatan dan energi
(Baumeister, Muraven, & Tice, 2000; Hagger, Wood, Stiff, & Chatzisarantis,
2010). Dalam paradigma ini, pengaturan diri diasumsikan sebagai energi
global yang digunakan pada tugas yang diatur sendiri di berbagai domain
tindakan. Pengaturan diri dikonseptualisasikan sebagai sumber terbatas. Jika
energi digunakan seseorang mencapai keadaan deplesi ego. Penggunaan self-
regulation yang kuat dalam satu domain aksi dapat menyebabkan kegagalan
pengaturan diri di domain lain. Pengaturan pengaruh negatif (yaitu,
pengaturan gejala depresi) serta gejala stres dan kelelahan menuntut banyak
energi pengaturan diri dan dengan demikian memfasilitasi deplesi-ego
(Hagger et al., 2010; Tice & Bratslavsky, 2000).

Pengaturan diri didefinisikan sebagai upaya apa pun yang dilakukan


oleh suatu organisme untuk mengubah responsnya sendiri (Carver & Scheier,
1998) dan mengacu pada suatu proses di mana individu mencoba untuk
mengendalikan pikiran, perasaan, dorongan, dan penampilan mereka sendiri.
Strategi pengaturan diri yang mendorong latihan adalah penetapan tujuan,
perencanaan tindakan dan kontrol tindakan (Michie et al., 2011). Studi
observasional (Conner, Sandberg, & Norman, 2010; Sniehotta, Scholz, &
Schwarzer, 2005; Ziegelmann, Luszczynska, Lippke, & Schwarzer; 2007)
dan studi intervensi (Knittle, Maes, & De Gucht, 2010; Latimer, Ginis, &
Arbour, 2006; Lippke et al., 2004b; Sniehotta et al., 2005) telah membuktikan
efek menguntungkan dari strategi ini untuk menjunjung olahraga. Namun,
beberapa intervensi yang menargetkan strategi pengaturan diri gagal untuk
meningkatkan perilaku latihan (Huisman et al., 2009; Sniehotta, Gorski, &
Araujo-Soares, 2010). Jika individu dengan gejala depresi telah kehabisan
sumber daya maka mereka mungkin berjuang untuk mengadopsi strategi
pengaturan diri mengenai perilaku latihan. Intervensi pengaturan diri yang
umum tidak mempertimbangkan manajemen paralel dari gejala depresi dan
perilaku kesehatan (Detweiler-Bedell, Friedman, Leventhal, Miller, &
Leventhal, 2008) dan karena itu tidak disesuaikan dengan situasi khusus
individu yang berurusan dengan gejala depresi. Efek diferensial dari
intervensi selfregulation seperti pada individu dengan dan tanpa gejala
depresi mungkin bisa terjadi
Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah intervensi selfregulation latihan
sama efektifnya pada individu yang melaporkan gejala depresi pada mereka
yang tidak melaporkan gejala. kelompok intervensi melaporkan tingkat
latihan fisik yang secara signifikan lebih tinggi sebelum rehabilitasi dari pada
peserta dalam kelompok kontrol oleh sebuah algoritma komputer..

Sampel / Populasi dalam penelitian ini adalah . Pilot direkrut dan individu secara acak
Subjek
Penelitian

Desain Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain quasi-
Penelitian / eksperimental.
Rancangan
Eksperimen

Metode Metode yang digunakan adalah menggunakan kuisioner online ukuran


Pengambilan sampel tidak merata dari kontrol dan kelompok intervensi.
Data
Peserta penelitian direkrut pada awal rehabilitasi mereka di dua klinik
rehabilitasi ortopedi di Jerman. Program klinik reguler terdiri dari rejimen
terapi medis dan fisioterapi yang kompleks. Intervensi online selfregulatory
disediakan untuk mempersiapkan pasien rehabilitasi untuk melakukan
latihan secara teratur setelah pulang. Pekerja proyek yang terlatih memberi
tahu pasien tentang penelitian dan pasien diminta untuk menandatangani
informed consent. Peserta ditugaskan untuk kelompok intervensi atau
kontrol dan menerima kuesioner online yang diikuti dengan latihan berbasis
computer intervensi atau kuesioner online saja (lihat Gambar 1). Ukuran
sampel yang tidak merata dari kontrol dan kelompok intervensi adalah
karena perekrutan dua fase dari kelompok kontrol. Pada fase pertama,
sampel pilot direkrut. Semua peserta sampel pilot mengisi kuesioner online
saja. Pada fase kedua, individu secara acak ditugaskan untuk intervensi atau
kelompok kontrol oleh sebuah algoritma komputer. Peserta sampel
percontohan dibandingkan dengan peserta yang diacak ke kelompok kontrol
selama percobaan utama dengan menggunakan analisis varians (ANOVA)
untuk pengukuran berkelanjutan, dan χ2-tes untuk tindakan kategorikal.
Perbedaan antara kelompok ditemukan pada latihan fisik T1 dan latar
belakang pendidikan. Individu dari kelompok sampel kelompok kontrol
yang diacak melaporkan tingkat latihan fisik yang lebih tinggi pada T1
(kelompok kontrol acak M = 235,90, kelompok kontrol sampel percontohan
M = 93,60; t (54) = −3,8; p ≤ 0,001) dan lebih kecil kemungkinannya untuk
memiliki tingkat sekolah menengah (n kelompok kontrol acak = 28, n
kelompok kontrol sampel percontohan = 210; χ2 (1) = 4.60; p ≤ .05)
daripada individu dalam kelompok kontrol sampel percontohan. Kelompok-
kelompok tidak berbeda dalam hal jenis kelamin, usia, gejala depresi, status
pekerjaan, dan status pasangan. Untuk meningkatkan daya, sampel pilot dan
kelompok kontrol acak digabung menjadi satu kelompok kontrol dalam
penelitian ini. Dengan demikian, desain quasi-eksperimental diterapkan.
Namun, untuk mempertimbangkan perbedaan antara kedua fase grup
tersebut.

Pada Gambar 1 Diagram alur kemajuan peserta melalui fase studi. Catatan.
A Excluded sebagai kriteria inklusi tidak terpenuhi (yaitu mampu
melakukan sendiri, dapat mengisi kuesioner berbasis komputer, tidak terlalu
cacat untuk menulis dan memiliki literasi yang cukup); disalahgunakan
untuk berpartisipasi dan tidak muncul pada saat pengangkatan; Dicekik
untuk berpartisipasi karena keterbatasan waktu, kekhawatiran tentang
perlindungan privasi data, dan alasan lain yang tidak dikomunikasikan
kepada asisten studi.

Penilaian dimasukkan sebagai kovariat dalam analisis utama.


Kuesioner atau / dan intervensi diberikan di awal (Waktu 1; T1) dan
pada akhir masa rehabilitasi mereka (Waktu 2; T2). Sekitar enam
minggu setelah rehabilitasi (Waktu 3; T3), individu dihubungi untuk
ketiga kalinya dan penilaian dilakukan melalui Wawancara Telepon
Dibantu Komputer (CATI). Persetujuan etis diberikan oleh Komisi
Etika Asosiasi Psikologi Jerman. Pada T1, 581 pasien berpartisipasi
dalam penelitian ini. Pada akhir rehabilitasi (T2), 440 pasien (75,70%
T1) mengambil bagian, dan total 63,30% dari sampel awal
berpartisipasi dalam penilaian di T3. Sebanyak 7 individu dikeluarkan
karena nilai-nilai yang hilang pada item depresi. Sampel longitudinal
(T1, T2, T3) terdiri dari 361 individu (lihat Gbr. 1). Usia rata-rata dari
sampel longitudinal adalah 48,40 tahun (SD = 10; rentang usia: 21-76
tahun), dan sampel terdiri dari lebih banyak wanita (64,80%) daripada
pria. Dari semua peserta, 73,40% tinggal bersama pasangan, dan
66,80% dilaporkan memiliki gelar sekolah menengah. Dari sampel
akhir, n = 325 (90%) mendapat nilai negatif dan n = 36 (10%)
mendapat skor positif pada gejala depresi.Kelompok kontrol terdiri
dari 207 orang tanpa gejala depresi dan 22 (10,60% dari kelompok
kontrol) dengan gejala depresi. Di kelompok intervensi, 118 disaring
negatif pada gejala depresi dan 14 diskrining positif (11,90% dari
kelompok intervensi).

Pelaksanaan Adapun prosedur penelitian pada penelitian ini yaitu: Pada fase pertama,
Penelitian sampel pilot direkrut. Semua peserta sampel pilot mengisi kuesioner online
saja. Pada fase kedua, individu secara acak ditugaskan untuk intervensi atau
kelompok kontrol oleh sebuah algoritma komputer. Peserta sampel
percontohan dibandingkan dengan peserta yang diacak ke kelompok kontrol
selama percobaan utama dengan menggunakan analisis varians (ANOVA)
untuk pengukuran berkelanjutan, dan χ2-tes untuk tindakan kategorikal.

Metode Penelitian ini menggunakan Peserta sampel percontohan dibandingkan


Analisis Data dengan peserta yang diacak ke kelompok kontrol selama percobaan utama
dengan menggunakan analisis varians (ANOVA). Metode yang digunakan
adalah menggunakan kuisioner online ukuran sampel tidak merata dari
kontrol dan kelompok intervensi
Hasil Pemeriksaan acak
Penelitian

Peserta dalam kelompok intervensi melaporkan tingkat


latihan fisik yang secara signifikan lebih tinggi sebelum
rehabilitasi dari pada peserta dalam kelompok kontrol (kelompok
kontrol M = 111,50;

Kelompok intervensi M = 173,20; t (359) =


−4.10; p ≤ .001). Kelompok-kelompok tidak berbeda
dalam hal usia, jenis kelamin, status pekerjaan,
tingkat sekolah menengah, status mitra, dan
gejala depresi (p>> 0,05).

Analisis attrisi

Sampel asli pada T1 (N = 581) berbeda dari


sampel longitudinal pada T3 (N = 361) berkenaan
dengan usia (M T1 sampel = 48,30; M sampel
longitudinal = 45,90; t (399) = −2.80; p =. 01).
Dengan demikian, individu yang melanjutkan
partisipasi dalam penelitian lebih muda daripada
mereka yang putus sekolah. Tidak ada perbedaan
yang ditemukan berkenaan dengan jenis kelamin,
status pekerjaan, tingkat sekolah menengah, dan
status mitra (p>> 0,05) antara sampel T1 dan T3.
Sampel tidak berbeda sehubungan dengan gejala
depresi pada T2 atau latihan fisik sebelum
rehabilitasi (p> 0,05).
Hasil awal

Sarana latihan T1 dan latihan T3 digambarkan pada Tabel


1. Secara keseluruhan, individu tanpa gejala depresi
meningkatkan tingkat latihan mereka, khususnya individu dalam
kelompok intervensi. Individu dengan gejala depresi agak
menurun tingkat latihan mereka dalam kelompok kontrol dan
intervensi.

Pada gambar 2, Sarana latihan fisik T1 dan T3


digambarkan untuk individu dengan dan tanpa gejala depresi
pada kelompok intervensi. Catatan. Individu tanpa gejala depresi
pada kelompok intervensi meningkatkan tingkat latihan mereka 6
minggu setelah rehabilitasi, sedangkan individu dengan gejala
depresi tidak.

Kesimpulan Intervensi pengaturan diri tampak efektif dalam meningkatkan latihan pasca-
rehabilitasi di antara individu tanpa gejala depresi, tetapi tidak di antara
peserta dengan gejala depresi. Dengan demikian, intervensi latihan regulasi
diri yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan individu yang menderita gejala
depresi mungkin tidak efektif dalam meningkatkan latihan pasca-rehabilitasi
dalam kelompok sasaran ini. Jika kita ingin mendukung individu dengan
gejala depresi untuk terlibat dalam olahraga teratur, penelitian diperlukan
untuk memperjelas bagaimana program latihan untuk individu dengan gejala
depresi dapat dirancang secara efektif. Penelitian masa depan mungkin
membandingkan efektivitas teknik perubahan perilaku kesehatan yang
berbeda yang paling bermanfaat bagi individu dengan gejala depresi. Selain
itu, pendekatan terpadu yang membahas pengelolaan perilaku kesehatan dan
gejala depresi dalam konser, yaitu dengan mengintegrasikan program latihan
dan terapi perilaku kognitif, dapat dipertimbangkan di masa depan..

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/psikologi/article/download/192/178&ved=2ahUKEwi82oOdrLbtAhVR
WX0KHdKuBF8QFjABegQIAxAL&usg=AOvVaw3m6P0se1K-x5hpZJNcUr-H

Anda mungkin juga menyukai