Anda di halaman 1dari 66

.

RRPENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF


TERHADAP STRES PADA PENDERITA DIABETES
MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS CAILE KABUPATEN
BULUKUMBA

SKRIPSI

Oleh :
FITRIYAH MURSYIDAH
NIM. A.18.10.022

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PANRITA HUSADA BULUKUMBA
2022
i
ABSTRAK

Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Stres Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba Tahun 2022. Fitriyah Mursyidah1, Fatmawati2,
Haerati3.

Latar belakang: data dari puskesmas caile Bulukumba ditemukan yang mengalami diabetes
akibat tingkat stres dengan jumlah penderita pada tahun 2021 sebanyak 1091 jiwa berdasarkan
fenomena yang ada bahwa pasien dengan penyakit DM mengalami stres karena faktor makanan,
penyakit berjangka lama (kronis), kesenjagan ekonomi serta kejadian buruk di kehidupan sehari-
hari. Terapi relaksasi otot progresif adalah terapi yang memusatkan perhatian pasien saat otot
dilemaskan dan di bandingkan ketika otot dalam kondisi tegang dengan melakukan teknik
relaksasi untuk mendapatkan perasaan rileks.
Tujuan: untuk di identifikasi pengaruh relaksasi otot progresif terhadap stres pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba.
Metode penelitian: penelitian ini menggunakan desain pre-experimen menggunakan rancangan
one grup pretest and posttest desaign. Sampel peneliti ini sebanyak 30 responden yang diambil
dengan metode pourposive sampling. Kuosioner DASS 42 digunakan untuk menilai tingkat stres.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji paired samples test. Hasil analisis
menggunakan uji paired samples test dengan tingkat kepercayaan (∝= 0,05).
Hasil: hasil analisis menggunakan uji paired samples statistics dengan ingka kepercayaan ( ∝=
0,05). Berdasarkan hasil uji ini, didapatkan nilai p adalah 0,000, dengan demikian p <0,000< 0,05).
Kesimpulan dan saran: kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh relaksasi otot
progresif terhadap stres pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Caile Kabupaten
Bulukumba dan diharapkan peneliti selanjutnya dapat memberikan kontribusi dalam menangani
stres dengan melakukan terapi relaksasi progresif dan para responden untuk selalu bisa mengatasi
stres yang dialaminya.

Kata kunci: stres, relaksasi otot

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Diabetes Mellitus (DM) adalah salah satu penyakit kronis yang

sering ditemukan di abad ke-21. DM adalah kumpulan gejala yang timbul

diakibatkan oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat

kekurangan hormon insulin secara absolut atau relatif. Jumlah penderita

DM di Indonesia mencapai 8,4 juta dan diprediksikan jumlah ini akan

meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia adalah negara

keenam dengan jumlah penderita DM terbanyak didunia (World health

organization dan WHO) (Supriati et al., 2017).

Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 jumlah

penderita DM secara global terjadi peningkatan setiap tahunnya,

penyebabnya antara lain peningkatan jumlah populasi, usia, obesitas, dan

kurangnya aktivitas fisik. Diperkirakan 578,4 juta penduduk dengan

diabetes pada tahun 2030 dibandingkan 463 juta di tahun 2019 dan tahun

2045 jumlahnya akan meningkat menjadi 700,2 juta. Kasus DM secara

global meningkat hampir dua kali lipat. Hal ini menandakan adanya

kenaikan faktor risiko berat badan yang berlebih atau obesitas. Dalam 10

tahun terakhir, prevalensi DM mengalami kenaikan secara drastis terutama

pada negara dengan tingkat penghasilan rendah dan menengah,

dibandingkan negara dengan tingkat penghasilan tinggi (Milita et al.,

2021).

viii
DM terbagi menjadi 2 tipe yaitu tipe I dan tipe II. Individu yang

menderita DM tipe I memerlukan suplai insulin dari luar (eksogen

insulin), seperti injeksi untuk mempertahankan hidup. Tanpa insulin

pasien akan mengalami diabetik ketoasidosis, kondisi yang mengancam

kehidupan yang dihasilkan dari asidosis metabolik. Individu dengan DM

tipe II resisten terhadap insulin, suatu kondisi dimana tubuh atau jaringan

tubuh tidak berespon terhadap aksi dari insulin. Sehingga individu tersebut

hanya selalu menjaga pola makan, mencegah terjadinya hipoglikemi atau

hiperglikemi dan hal tersebut akan berlangsung secara terus menerus

sepanjang hidupnya (Derek et al., 2017).

Penderita DM tipe II harus mengalami banyak perubahan dalam

hidupnya, mulai dari olahraga, kontrol gula darah, minum obat dan

pembatasan diet yang harus dilakukan secara rutin sepanjang hidupnya.

Perubahan hidup yang mendadak membuat penderita DM menunjukkan

beberapa reaksi psikologis yang negatif seperti marah, merasa tidak

berguna, kecemasan yang meningkat dan stres (Nurul Aeni, 2013).

Pengalaman stres klien sebelum dan selama terapi berpengaruh

terhadap keterlibatan terapi. Tingkat stres telah dikaitkan dengan

rendahnya tingkat keterlibatan dan kesulitan membentuk aliansi terapeutik

yang kuat dan kemudian berpengaruh terhadap tingginya tingkat drop out

terapi pada populasi yang mengalaami stres (Nurul Aeni, 2013).

Stres dapat di cegah ataupun dikurangi melalui pengelolahan yang

baik. Menurut teori self care dari Orem, Self Care Defisit merupakan

bagian penting dalam perawatan secara umum dimana segala perencanaan

ix
keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan. Keperawatan

dibutuhkan seseorang pada saat tidak mampu atau terbatas untuk

melakukan self care secara terus menerus. Pasien yang mengalami stres

akibat penyakit DM memerlukan bantuan dari perawat (Nurul Aeni,

2013).

DM dan stres merupakan dua hal yang saling mempengaruhi baik

secara langsung maupun tidak langsung. Hidup dengan diabetes setiap hari

dapat membuat klien DM tipe 2 merasa kecil hati, stres atau bahkan

depresi. Dampak psikologis dari penyakit diabetes mulai dirasakan oleh

penderita sejak awal terdiagnosis dokter dan penyakit tersebut telah

berlangsung beberapa bulan atau lebih dari satu tahun. Penderita mulai

mengalami perubahan psikis diantaranya adalah stres pada dirinya sendiri

yang berkaitan dengan perawatan yang harus dijalani. Hal ini dapat

memberikan beban psikososial bagi penderita maupun anggota

keluarganya. Respon pesikologis yang negatif terhadap diagnosis bahwa

seseorang mengidap penyakit ini dapat berupa penolakan atau

menyangkal, marah dan merasa berdosa. Selain perubahan tersebut, jika

penderita DM yang sudah memiliki komplikasi akan menambah

kecemasan pada penderita karena dengan adanya komplikasi akan

membuat penderita mengeluarkan lebih banyak biaya sehingga

memberikan beban ekonomi serta pandangan negatif tentang masa depan

(Putra et al., 2017).

Salah satu intervensi yang dapat dilakukan pada penderita DM

yaitu Relaxasi otot progresif merupakan salah satu cara dalam manajemen

x
stres yang merupakan salah satu bentuk mind-body therapy (terapi pikiran

dan otot-otot tubuh) dalam terapi komplementer (Moyad, 2009). Relaxasi

otot progresif ini mengarahkan perhatian pasien untuk membedakan

perasaan yang dialami saat kelompok otot di lemaskan dan dibandingkan

dengan ketika otot dalam kondisi tegang, dengan demikian diharapkan

klien mampu mengelola kondisi tubuh terhadap stres. Kemampuan

mengelolah stres ini akan berdampak pada kestabilan emosi klien.

Pelatihan relaxasi otot progresif yang di berikan perawat merupakan salah

satu bentuk dari suportif edukatif, yaitu sistem bantuan yang diberikan

agar pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (Nurul Aeni,

2013).

Pengobatan diabetes yang paling utama adalah mengubah gaya

hidup terutama mengatur pola makan yang sehat dan seimbang. Penerapan

diet merupakan salah satu komponen utama dalam keberhasilan

penatalaksanaan diabetes, akan tetapi sering kali menjadi kendala dalam

pelayanan diabetes karena dibutuhkan kepatuhaan dan motivasi dari pasien

itu sendiri (Nurul Aeni, 2013).

Hal ini tentunya dapat menimbulkan kejenuhan dan stres karena

mereka harus menaati program diet yang dianjurkan selama hidupnya.

Stres dua kali lebih mudah menyerang orang dengan diabetes

dibandingkan dengan orang yang tidak mengidap diabetes. Stres yang

timbul dan lamanyan stres ditentukan oleh berbagai kesulitan yang dialami

pasien dengan diabetes selama melaksanakan diet terutama berhubungan

dengan jumlah makanan yang harus di ukur, pembatasan jenis makanan,

xi
pola kebiasaan makan yang salah sebelum sakit serta selama menderita

diabetes (Setyorini, 2017).

Penderita diabetes mudah mengalami stres dalam melaksanakan

program diet sehingga cara penanganan yang dilakukan penderita dalam

menangani stres ketika menjalani diet dapat mempengaruhi keberhasilan

mereka dalam mematuhi perogram diet serta pengendalian kadar gula

darah. Pada dasarnya pasien DM banyak yang telah mengetahui anjuran

diet tetapi tidak mematuhinya karena banyak yang menganggap bahwa

makana diet untuk pasien DM cenderung tidak menyenangkan sehingga

mereka makan sesuai dengan keinginan bila menunjukkan gejala serius.

Apabila dilihat kembali terkait komplikasi yang bisa dialami oleh pasien

DM yang tidak terkontrol, maka kemungkinan mereka sangat beresiko

untuk mengalami komplikasi mulai komplikasi akut hingga kronis

(Setyorini, 2017).

Relaksasi otot progresif termasuk dalam pilar penyuluhan/edukasi

dalam pengelolaan DM. Pelatihan relaxasi otot progresif pada pasien DM

diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pasien DM dalam

mengelolah stres yang dialami sehingga klien mampu melakukan

perawatan diri dengan baik dan resiko komplikasi yang di timbulkan dapat

di kurangi.

Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Bulukumba dari tahun

ketahun mengalami peningkatan, di tahun 2018 sekitar 5,520, tahun 2019

sekitar 6621, tahun 2020 sekitar 5,213 dan pada tahun 2021 sekitar 6926.

xii
Berdasarkan pendataan awal dan hasil wawancara dari salah satu

petugas di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba mengatakan bahwa

jumlah pasien DM mengalami peningkatan setiap bulannya, dengan

jumlah penderita pada tahun 2021 sebanyak 1091 jiwa.

Berdasarkan fenomena yang ada bahwa pasien dengan penyakit

DM mengalami stres karena faktor makanan, penyakit berjangka lama

(kronis), kesenjagan ekonomi serta kejadian buruk di kehidupan sehari-

hari dan diikuti dengan peningkatan gula darah setiap 1 bulan sekali harus

melakukan pemeriksaan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang berjudul” Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap Stres

Pada Penderita DM Tipe 2 Di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba”

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah ”Apakah terdapat Pengaruh Relaksasi Otot Progresif

Terhadap Stres Pada Penderita DM Tipe 2 Di Puskesmas Caile Kabupaten

Bulukumba”

C. Tujuan

1.Tujuan umum

Diketahuinya Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Stres

Pada Penderita DM Tipe 2 Di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba.

xiii
2. Tujuan khusus

a. Di identifikasinya tingkat stres sebelum dilakukan terapi terhadap

pengaruh relaksasi otot progresif terhadap stres pada penderita DM

tipe 2 Di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba

b. Di identifikasinya tingkat stres setelah dilakukan terapi terhadap

pengaruh relaksasi otot progresif terhadap stres pada penderita DM

tipe 2 Di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba

c. Di identifikasinya tingkat stres DM terhadap pengaruh relaksasi

otot progresif terhadap stres pada penderita DM tipe 2 Di

Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba

D. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

menangani stres dengan melakukan terapi relaksasi otot progresif,

khususnya pada pasien DM. Penelitian ini juga diharapkan dapat

menambah wawasan Mahasiswa Stikes Panrita Husada Bulukumba

mengenai pengalaman pasien diabetes mellitus yang melakukan terapi

relaksasi otot progresif di Puskesmas Caile Bulukumba.

2. Manfaat aplikatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

kepada pembaca untuk meningkatkan mutu pendidikan kesehatan

khususnya terkait intervensi nonfarmakologis relaksasi otot progresif

terhadap stres pada penderita diabetes mellitus agar tidak terpengaruh

terhadap stresnya.

xiv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

1. Tinjauan teori stres pada pasien DM

a. Definisi Diabetes mellitus

DM adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan

ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat,

lemak dan protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar gula darah

tinggi). DM terkadang dirujuk sebagai “gula tinggi” baik oleh klien

maupun penyedia layanan kesehatan(Black & Hawks, 2014).

DM merupakan penyakit gangguang metabolisme kronis yang

ditandai peningkatan glukosa darah (Hiperglikemi), disebabkan

karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan untuk

memfasilitasi masuknya glukosa dalam sel agar dapat digunakan

untuk metabolisme dan pertumbuhan sel (Derek et al., 2017).

1) Klasifikasi

a) Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI)

DMTI atau IDDM (insulin Dependen Diabetes Mellitus)

dikenal jugan dengan istilah DM tipe 1, di mana penyakit ini

terjangkit di masa kanak-kanak dan usia dibawah 35 tahun.DM

tipe 1 diakibatkan karena pankreas tidak bisa memproduksi

insulin yang disebabkan oleh sel β yang berada di dalam

pankreas mengalami kerusakan karena virus atau terjadi

autoimunitas (Sari, 2012).

15
b) Diabetes Mellitus Tak Tergantung Insulin(DMTTI)

DMTTI atau NIDDM (Non insulin Dependen Diabetes

Mellitus) dikenal juga dengan istilah DM tipe 2 merupakan

jenis penyakit DM yang lebih ringan. DM tipe 2 disebabkan

karena terjadinya resistensi insulin atau menurunnya sensivitas

terhadap insulin atau karena disebabkan oleh jumlah produksi

insulin yang menurun (Rendy & Margareth, 2012).

c) Diabetes Sekender

DM tipe ini merupakan penyakit DM yang berhubungan

dengan keadaan aau penaki tertuntu, seperti penyakit

pangkreas, indokrinopati, obat-obatan atau zat kimia, dan

penyakit infeksi (Tarwoto, Wartonah & Mulyati, 2012)

d) Gestational Diabetes Militus (GDM)

GDM merupakan penyakit DM yang di derita oleh

wanita yang sedang berada di masa kehamilan dan biasa

terjangkit pada bulan ke enam (Sari, 2012). Gupta et al. (2015).

Dalam (Hardianto, 2021) mengemukakan bahwa GDM

biasanya terjadi pada trimester ke dua dan ke tiga di akibatkan

oleh menurunnya fungsi insulin karena hormon yang disekresi

oleh plasena. Dan sekiar 30-40% penderita GDM dapat

berkembang menjadi DMTT (Milita et al., 2021).


17

2) Etiologi

Bagi yang sudah terserang DM pasti khawatir sewaktu-

waktu gula darahnya naik, pemantauan kadar glukosa sangatlah

penting. Pencegahan ini harus dilakukan, terlebih lagi bagi yang

DM dalam keadaan rawan. Apabila pengobatan yang dilakukan

tidak berhasil atau kadar gulanya terus menurus meningkat,

mungkin akan mengalami beberapa gejala yang dahulu pernah

dialami sebelum kondisi tersebut didiagnosi (Noviyanti, 2015).

Seseorang yang terkena DM harus sering berkonsultasi

dengan dokter Diabetes tentang perubahan dan penyesuaian yang

memungkinkan. Ketika diobati dengan insulin dan beberapa

macam tablet, mungkin mengalami masalah yang berkebalikan,

mengalami berbagai gejala yang berbeda, karena glukosa secata

teratur turun terlalu rendah. Biasanya gula darah naik dikarenakan

beberapa faktor:

a) Stres Berat

Jangan terlalu stres dan selalu jaga emosi, karena hal

tersebut dapat menyebabkan kadar gula radah naik. Selalu

kontrol emosi dan tenangkan pikiran supaya kadar gula darah

tetap stabil.

b) Mengkomsumsi Makanan Yang Terlalu Banyak Mengandung

Karbohidrat.

Setiap tubuh manusia mempunyai anti bodi yang

berbeda. Kadang tubuh tidak sanggup memproses karbohidrat


18

yang terlalu banyak menjadi energi dengan cepat sehingga

tingkat gula darah bisa meningkat hanya dalam hitungan jam.

c) Kurang Bergerak Atau Kurang Berolahraga

Berolahraga setiap hari bisa membantu mengatur

tingkat gula dalam darah. Sebaliknya kurang berolahraga bisa

membuat gula darah meningkat.

d) Infeksi, penyakit, dan operasi

Saat mengalami sakit, infeksi, ataupun menjalani

operasi, kadar gula dalam darah biasanya naik lebih cepat

dibandingkan pada orang yang tidak sakit atau mengalami

infeksi.

e) Obat-obatan

Mengkomsumsi beberapa jenis obat juga bisa

meningkatkan gula darah.

f) Kontrol Insulin

Naiknya gula darah juga bisa disebabkan oleh

kurangnya produksi insulin dalam tubuh (Noviyanti, 2015).

3) Patofisiologi

Patogenesis DM tipe 2 berbeda dengan signifikan dari DM tipe

1, respons terbatas sel beta terhadap hiperglikemia tampak menjadi

faktor mayor dalam pengembangannya. Sel beta terpapar secara

kronis terhadap kadar glukosa darah tinggi menjadi secara progresif

kurang efesien ketika merespons peningkatan glukosa lebih lanjut.

Fenomena ini dinamai desensitisasi, dapat kembali dengan


19

menormalkan kadar glukosa rasio proinsulin (prekursor insulin)

terhadap insulin tersekresi juga meningkat.(Black & Hawks, 2014).

Patofisiologi terjadinya gangguang kogniif terkait diabetes

mellitus tipe 2 melibatkan tiga mekanisme utama, antara lain

hiperglikemia kronik, disfungsi endoel pembuluh darah otak,

hipoglikemia. Resistensi insulin, suatu kondisi yang mendasari

terjadinya diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab terjadinya

abnormalitas insulin signaling pathway pada tingkat seluler, baik

pada sel endotel pembuluh darah otak, neuron, maupun sel-sel glia.

Dengan demikian, kondisi resistensi insulin berperan penting dalam

terjadinya gangguang fungsi kognitif terkait hiperglikemia kronik

dan disfungsi endetol pembuluh darah.

Kondisi hiperglikemia kronik akibat kontrol glikemik yang

buruk pada pasien DM tipe 2 menyebabkan terjadinya gangguang

metabolosme glukosa dan serangkaian proses patologis yang

ditimbulkannya, antara lain peningkatan produksi advanced end

products (AGEs), aktivasi jalur polyol, dan protein kinase, baik di

sirkulasi sisemik maupun di jaringan otak. Dampak dari

serangkaian proses patologis tersebut pada jaringan otot adalah

terjadinya stres oksidatif,neuroinflamasi, danoksitotoksisitas

glutamat (Harahap & Indrayana, 2020)


20

4) Tanda dan gejala

Gejala umum DM adalah polidipsi, polifagia, glikosuria,

poliuria, dehidrasi, kelelahan, berat badan menurun, dan

penglihatan berkurang (Hardianto, 2021) . Berikut adalah tanda dan

gejala DM menurut Riyadi (2014):

a) Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI)

1) Polifagia, poliuria, berat badan menurun, polidipsi, lemah

atau lemas dan terjadi semnolen selama beberapa hari atau

minggu.

2) Terjadi ketoasiodosis dan bisa membua penderita

meninggal jika tidak langsung diobati.

3) Biasanya dibutuhkan terapi insulin agar karbohidrat

terkontrol.

b) Diabetes Mellitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)

1) Gejala klinis jarang diperlihatkan.

2) Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan glukosa

darah dengan tes toleransi glukosa melalui laboratorium.

3) Ketika mengalami hiperglikemia berat akan timbul keluhan

polidipsia, poliuria, lemah atau lemas, dan samnolen.

4) Jagan mengalami katoasidosis (Wahyuni, 2019).


21

5) Manifestasi Klinis

a) Sering kencing/Miksi atau meningkatnya frekuensi buang air

kecil (Poliuria)

Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa

dikeluarkan oleh ginjal bersama urin karena keterbatasan

kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorpsi dari

tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka

diperlukan banyak air sehingga prekuensi miksi menjadi

meningkat.

b) Meningkatnya rasa haus (Polidipsia)

Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan

(Dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang mengakibatkan

peningkatan rasa haus.

c) Meningkatnya rasa lapar (Polipagia)

Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk

energi menyababkan cadangan energi berkurang, keadaan ini

menstimulasi pusat lapar.

d) Penurunan berat badan

Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya

kehilangan cairan, glikogen dan cadangan trigliserida serta

masaa otot.

e) Kelainan pada mata

Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan

aliran menjadi lambat, sirkulasi kepaskuler tidak lancar,


22

termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan

pada lensa.

f) Kulit gatal, infeksi kulit

Gatal-gatal disekitar venis dan vagina, peningkatan glukosa

darah mengakibatkan penumpukan gula pada kulit sehingga

menjadi gatal, jamur dan bakteri mudah meyerang kulit.

g) Ketonoria

Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, maka

digunakan asam lemak untuk energi, asam lemak akan di pecah

menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan

dikeluarkan melalui ginjal.

h) Kelemahan dan keletihan

Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel,

kehilangan potasium menjadi akibat pasien mudah lelah dan

letih.

i) Terkadang tanpa gejala

Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi

dengan peningkatan glukosa darah (Tarwoto et al., 2012

(Wahyuni, 2019).
23

6) Kriteria Diagnosa

Diagnosis diabetes dapat dijelaskan sebagai berikut.

Kategori Glukosa Gukosa Darah 2 HbA1c

Darah Puasa Jam Post Prandial (%)

(GDP) mg/dL (GD2PP) mg/dL

Normal < 100 <140 <5,7

Pra Diabetes 100-125 140-199 5,7-6,4

Diabetes ≥ 126 ≥ 200 ≥ 6,5

Tabel diatas menunjukkan bahwa seseorang dengan nilai GDP dan

GD2PP dalam rentang paradiabetes dikatakan telah mengalami

gangguan inloleransi glukosa. Kondisi gangguan toleransi glukosa

tidak dapat dilihat sebagai satu kesatuan melainkan perlu

memperhatian adanya faktor resiko diabetes atau faktor resiko

penyakit jantung, misalnya adanya obesitas (Terutama obesitas

abdominal dan visceral), dislifidemia (kadar trigliserida tinggi dan

atau kadar kolestrol HDL yang rendah), serta adanya hipertensi

(Rifka Kumala Dewi, 2014).

7) Komplikasi

Komplikasi Diabetes Militus terbagi menjadi dua yaitu:

a) Komplikasi Akut

Komplikasi yang akut akibat diabetes terjadi secara

mendadak. Keluhan dan gejalanya terjadi dengan cepat dan

biasanya berat. Komplikasi akut umurmnya timbul akibat gula

darah yang terlalu rendah (Hipoglikemia) atau terlalu tinggi


24

(Hiperglikemia). Penanganannya harus cepat karena merupakan

kasus gawat darurat medis, dan harus segera menghubungi dokter

untuk mengatasinya.

b) Komplikasi Kronik

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan gula darah,

terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian pasien

diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis.

Kelangsungan hidup pasien lebih panjang. Diabetes bisa dikontrol

dalam waktu yang leebih lama. Namun selama bertahun-tahun

hidup dengan diabetes, muncul berbagai kerusakan atau

komplikasi yang kronis, seperti kerusakan saraf, mata, ginjal,

jantung, dan pembuluh darah (Tandra, 2017)

Diabetes bisa merusak semua organ tubuh, dari ujung rambut

kepala sampai ke ujung kaki, semua bisa terkena. Komplikasi

diabetes timbul akibat kontrol gula tidak teratur, gaya hidup yang

keliru, tidak disiplin berdiet, minum obat, atau berolahraga.

Semakin disiplin dan semakin baik kendali gula darah, kita bisa

mencegah dan mengarahkan komplikasi diabetes yang memtiakn

itu. (baca buku Hans Tandra, Strategi Mengalahkan Komplikasi

Diabetes: Dari kepala sampai kaki. (Tandra, 2017).


25

2. Tinjauan teori stres

a. Definisi stres

Stres merupakan emosi ganda (multi emotion) yang bukan

emosi tunggal. Menurut Dwight (2004), stres adalah suatu

perasaan ragu terhadap kemampuannya untuk mengatasi suatu

karena persendian yang ada tidak dapat memenuhi tuntutan

kepadanya. Dwight menekankan pengertian stres pada perasaan

ragu atau cemas terhadap kemampuannya. Goldenson (1970)

mengatakan bahwa stres adalaah suatu kondisi atau situasi

internal atau lingkungan yang membebankan tuntutan

penyesuaian terhadap individu yang bersangkutan. Keadaan stres

cenderung menimbulkan usaha ekstra dan penyesuaian baru,

tetapi dalam waktu yang lama akan melemahkan pertahanan

individu dan menyebabkan ketidapuasan (Prof. Dr.Zulfan Saam

& Sri Wahyuni, M.Kep., 2012).

Stres dapat muncul dari dua jenis yaitu eksternal dan

internal. Stres yang muncul yang muncul dari eksternal berasal

dari lingkungan, seperti: kecelakaan, tidak lulus ujian, persaingan

terlalu ketat, pemutusan hubungan kerja (PHK), perkawinan yang

tidak humoris, penyakit dan lain sebagainya. Stres internal daang

dari dalam individu itu sendiri, yaitu suatu sifat atau ciri yang

terlalu menonjol, seperti mudah marah, terlalu bersih atau kotor,

terlalu disiplin atau sembrono, obsesif, dan lain sebagainnya

(Maramis, W. Dan Maramis,A., 2012).


26

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jelantik dan Haryanti

(2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia

dengan kejadian DM tipe 2 yaitu sebagian besar responden

memiliki umur lebih dari 40 tahun. Hasil penelitian Yusra (2010),

mengatakan bahwa dengan bertambahnya usia pada seseorang,

maka dapat menimbulkan suatu perubahan baik secara fisik,

psikologis, maupun intelektual. Perubahan tersebut dapat

menyebabkan kerentanan terhadap berbagai penyakit dan dapat

menimbulkan kegagalan dalam mempertahankan hemeostatis

terhadap stres (Livana et al., 2018).

b. Stres pada pasien DM

Stres adalah keadaan internal yang dapat diakibakan oleh tuntutan

fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dll) atau oleh kondisi

lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak

terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan

koping.

Beberapa peneliian telah dilakukan untuk menelaah hubungan

pencetus stres pada pasien DM dibeberapa lokasi yang berbeda pula

dan juga dengan hasil yang bervariasi. Seperti halnya penelitian yang

dilakukan oleh, Verdhara, (2010) menunjukkan bahwa pasien DM

Tipe 2 memiliki stres yang tinggi yang akan mempengaruhi emosi,

fisik, dan finansial. Stres yang tinggi yang dialami pasien disebabkan

oleh infeksi, amputasi dan biaya perawat yang tinggi yang

berhubungan dengan perubahan pola hidup pada pasien DM. Stres


27

emosional memnberikan danpak negaif terhadap pengendalian DM

karena peningkatan hormon stres akan meningkatkan kadar glukosa

darah, khususnya asupan makanan dan pemberian insulin yang tidak

terkontrol (Smeltzer dan bare, 2008).

c. Jenis Jenis stres

Ada dua jenis stres, yaitu stres baik dan stres buruk. Stres

melibatkan perubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami

sebagai perasaan yang baik anxiousness (distres) atau pleasure

(eustres) (Livana et al., 2018).

1) Stres yang baik atau eustres adalah sesuatu yang positif.

Stres dikatakan berdampak baik apabila seseorang

mencoba untuk memenuhi tuntutan untuk menjadikan orang

lain maupun dirinya sendiri mendapatkan sesuatu yang baik

dan berharga dengan stres yang baik semua pihak merasa

diuntungkan. Stres yang baik terjadi jika setiap stimulus

mepunyai arti sebagi hal yang memberikan pelajaran bagi kita,

betapa suatu hal yang dirasakan seseorang memberikan arti

sebuah pelajaran, dan bukan sebuah tekanan.

Tahu diri sendiri, tahu menepatkan diri, dan tahu

membawa diri akan menepatkan kita pada suasana yang baik

dan menyenangkan, terutama dalam menghadapi suatu

stimulus internal maupun eksternal. Dengan demikian bisa

dikatakan stres positif apabila setiap kejadian dihadapi dengan


28

selalu berpikir dan berperilaku bagaimana agar apa yang akan

dilakukan selalu membawa manfaat dan bukan bencana.

2) Stres yang buruk atau distres adalah stres yang bersifat

negatif

Distres dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai

sesuatu yang buruk, dimana respon yang digunakan selalu

negatif dan ada indikasi mengganggu integritas diri sehingga

bisa diartikan sebagai sebuah ancamaan. Distres akan

menempatkan pikiran dan perasaan kita pada tempat dan

suasana yang serba sulit.

Hal tersebut dikarenakan cara memandang suatu

masalah hanya dilihat dari sisi yang sempit dan merugikan

saja. Ini berdampak pada suatu penentuan sikap untuk

mencoba mengusir stimulus tersebut dengan cara menyalahkan

diri sendiri, menghindar dari masalah, atau menyalahkan orang

lain. Hans Selye (1982), menyebutkan bahwa distres adalah

tubuh jika dihadapkan pada tuntutan yang berlebihan,

sedangkan menurut Dadang Harwari (2001), distres dimaknai

sebagai sebuah reaksi tubuh yang menyebabkan fungsi organ

tubuh tersebut sampai terganggu.

Hal yang mengejutkan adalah ternyata sedikit stres sama

merusaknya dengan banyak stres. Ketika kita mengalami

sedikit tekanan, kita mungkin hanya berusaha sedikit sehingga

performa kita kurang optimal. Sebaiknya, tingkat stres yang


29

tinggi membuat sulit berkonsentrasi sehingga performa juga

menjadi kurang efektif dan efesien. Dengan stres yang tidak

baik, dapat dipastikan ada salah satu pihak yang akan

dirugikan, bisa mengenai diri sendiri, maupun orang lain.

Terdapat empat jenis stres, antara lain sebagai berikut.

(a) Frustasi. Kondisi dimana sesorang merasa jalan akan

ditempuh untuk meraih tujuan dihambat.

(b) Konflik. Kondisi ini muncul ketika dua atau lebih perilaku

saling berbenturan dimana masing-masing perilaku tersebut

butuh untuk diekspresikan atau malah saling memberatkan.

(c) Perubahan. Kondisi yang dijumpai ternyata merupakan

kondisi yang tidak semestinya serta membutuhkan adanya

suatu penyesuaian.

(d) Tekanan. Kondisi dimana terdapat suatu harapan atau

tuntutan yang sangat besar terhadap sesorang untuk

melakukan perilaku tertentu (Livana et al., 2018).

d. Faktor resiko stres pada DM

Stres dan DM memiliki hubungan sangat erat terutama pada

penduduk perkotaan tekanan kehidupan dan gaya hidup yang tidak

sehat disertai kemajuan teknologi yang semakin pesat dan berbagai

penyakit yang sedang di derita menyebabkan penurunan kondisi

seseorang sehingga memicu timbulnya stres. Pasien DM yang

mengalami stres dapat mengakibatkan gangguang pada

pengontrolan glukosa darah. Pada keadaan stres terjadi


30

peningkatan ekskresi hormon katekolamin, glukagon,

glukokortikoid, endorphin dan hormon pertumbuhan.

Dampak psikologis dari DM mulai dirasakan oleh pasien

sejak terdiagnosis DM dan penyakitnya telah berlangsung selama

beberapa bulan. Pasien mulai mengalami gangguang psikis

diantaranya stres pada dirinya sendiri berkaitan dengan pengobatan

yang dijalani (I Made Sukarja, I Wayan Sukawana, n.d.).

e. Tahap stres pada DM

gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak

disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara

lambat.dan baru dirasakan bila tahapan gejala sudah lanjut dan

mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari di rumah,ditempat

kerja ataupun dipergaulan lingkungan sosialnya. Dr. Robert J.

Van Amberg (1979) dalam (Hawari,2013) membagi tahapan-

tahapan stres sebagai berikut:

a) stres tahap 1

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan,

dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai

berikut:

(a) Semangat bekerja besar, berlebihan ( over acting)

(b) Penglihatan “tajam” tidak sebagai mana biasanya

(c) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari

biasanya namun tanpa disadari cadangan energi

dihabiskan (all out) disertai rasa gugup yang berlebihan


31

(d) Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin

bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan

energi semakin menipis.

b) Stres tahap II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “

menyenangkan” sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas

mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang

disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup

sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk istirahat.

Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup bermanfaat

untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang

mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan

oleh sesorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai

berikut:

(a) Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya

merasa segar

(b) Merasa mudah lelah sesudah makan siang

(c) Lekas merasa capai menjelang sore hari

(d) Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman

(bowel discomfort)

(e) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-

debar)

(f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang

(g) Tidak bisa santai.


32

c) Stres tahap III

Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam

pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagai

mana diuraikan pada steres tahap II tersebut, maka

bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang

semakin nyata dan mengganggu yaitu:

(a) Gangguan lambung dan usus semakin nyata

(b) Ketegangan otot-otot semakin terasa

(c) Perasaan ketidak-tenangan dan ketegangan emosional

semakin meningkat

(d) Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk

mulai masuk tidur (early insomnia), atau

terbanguntengah malam dan sukar kembali tidur (

middle insomnia) atau bangun terlalu pagi/dini hari dan

tidak dapat kembali tidur ( late insomnia)

(e) Koordinasi tubuh terganggu ( badan terasa lemas dan

serasa mau pingsan).

d) Stres tahap IV

Tidak jarang sesorang pada waktu memeriksakan diri

kedokter sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III,

oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak di temukan

kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila hal ini

terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk


33

bekerja tanpa mengenal istirahat,maka gejala stres tahap IV

akan muncul:

(a) Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat

sulit

(b) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan

mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa

lebih sulit

(c) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi

kehilangan kemampuan untuk merespons secara

memadai (adequate)

(d) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin

sehari-hari

(e) Gangguan pola tidur disertai denga mimpi-mimpi yang

menegangkan

(f) Seringkali menolak ajakan ( negativism) karena tiada

semangat dan kegairahan

(g) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun timbul

perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat

dijelaskan apa penyebabnya.

e) Stres tahap V

Bila keadaan berlanjut, maka sesorang itu akan jatuh

dalam stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut :

(a) kelelahan fisik dan mental yang semkin mendalam

( physical and psychological exhaustion)


34

(b) ketidakmampuan untuk meyelesaikan pekerjaan sehari-

hari yang ringan dan sederhana

(c) gangguan sistem pencernaan semakin berat ( gastro-

intestinal disorder)

(d) timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang

semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

f) Stres tahap VI

Tahap ini merupakan tahap klimaks, seseorang

mengalami serangan panik ( panic attack) dan perasaan takut

mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI

berulang-kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU,

meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan

kelainan fisik organ tubuh. Stres tahap VI ini adalah ssebagai

berikut:

(a) Debaran jantung teramat keras

(b) Susah bernafas ( sesak dan mengap-mengap)

(c) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat

bercucuran

(d) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan

(e) Pingsan atau kolaps ( collapse).

g) Stres pada eksekutif

Perubahan-perubahan yang terjadi pada stres

eksekutif yang dimaksud adalah sebagai berikut:


35

(a) Meminum minuman keras dan merokok berlebihan dari

biasanya.

(b) Gangguang fungsi seksual, libido dapat meningkat atau

bahkan menurun tidak seperti biasanya.

(c) Kesulitan dalam mengambil keputusan yang semula

mampu dan percaya diri.

(d) Bila harus mengambil keputusan,seringkali keputusan

yang diambil adalah yang paling aman buat dirinya dari

pada yang paling baik (safety player ) untuk perusahaan

atau departemen yang dipimpinnya padahal

sebelumnya ia lebih mengutamakan kepentingan

perusahaan atau departemennya serta bagi kepentingan

orang banyak (umum). Keputusan dan kebijakan yang

diambil tidak konsisten (selalu berubah-ubah) .

(e) Gangguang dalam alam perasaan ( efective) yaitu

mudah tersinggung dan mudah marah serta reaktif

dalam merespon permasalahan yang dihadapinya

padahal semula ia seorang yang ramah penyabar dan

menyenangkan

(f) Terjadi perubahan secara mencolok dan tiba-tiba pada

berat badan bertambah atau bahkan sebalinya menurun.

(g) Terjadi perubahan pola makan yaitu tiba-tiba menjalani

diet, atau gemar berolahraga yang semula biasa-biasa

saja.
36

(h) Terdapat perubahan dalam etika dan moral, dari yang

semula jujur dan terbuka menjadi kurang jujur, tertutup

dan seringkali mengabaikan nilai-nilai etika dan moral

yang berlaku umum dimasyarakat (Prof. Dr. H. Dadang

Hawari, 2013).

f. Alat ukur tingkat stres

Alat ukur yang di gunakan untuk mengukur tingkat stress

yaitu dengan menggunakan kuosioner DASS (Depression Axiety

stress scale) oleh Lovibond & Lovibond (1995) Dalam Crawford

et al., (2003). Unsur yang dinilai antara lain skala stress. Pada

kuosioner ini terdiri dari 14 pertanyaan. Penelitian dapat diberikan

untuk menggunakan 0: tidak pernah, 1: kadang-kadang, 2: sering,

3: hampir setiap saat (D. D. Tampa’i et al., 2021). Untuk penilaian

tingkat stress dengan ketentuan sebagai berikut :

Normal : 0-14

Ringan : 15-18

Sedang : 19-25

Berat : 26-33

Sangat berat : ≥34


37

3. Tinjauan terapi relaksasi progresif

a. Definisi terapi relakasi progresif

Relaksasi otot progresif merupakan salah satu cara dalam

manajemen stres yang merupakan salah satu bentuk mind-body

therapy (terapi pikiran dan otot-otot tubuh) dalam terapi

komplementer. Relaksasi otot progresif ini mengarahkan perhatian

pasien untuk membedakan perasaan yang dialami saat kelompok

otot dilemaskan dan dibandingkan dengan ketika otot dalam

kondisi tegang, dengan demikian diharapkan klien mampu

mengelola kondisi tubuh terhadap stres. Kemampuan mengelola

stres ini akan berdampak pada kestabilan emosi klien. Pelatihan

otot progresif yang diberikan perawatan merupakan salah satu

bentuk dari suportif edukatif, yaitu sistem bantuan yang diberikan

agar pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri

(Nurul Aeni, 2013).

a. Tujuan dari terapi otot relaksasi progresif

Terapi relaksasi otot progresif bertujuan untuk mengurangi

ketegangan subjektif dan berpengaruh terhadap proses fisiologis.

Terapi relaksasi berjalan bersama dengan relaxasi mental.

Perasaan cemas subjektif dapat di kurangi atau dihilangkan dengan

sugesti tidak langsung atau menghapus dan menghilangkan

komponen otonomik dari perasaan itu (Nurul Aeni, 2013).


38

b. Penatalaksanaan dalam terapi relaksasi progresif

Pasien DM rentan mengalami stres dan kecemasan berkaitan

dengan perawatan yang harus dijalani dan komplikasi yang

ditimbulkannya. Kondisi ini sangat berkaitan dengan perawatan

DM yang harus di jalani seperti diet pengaturan makan, kontrol

guka darah, konsumsi obat, dan latihan jasmani yang harus

dilakukan sepanjang hidupnya. Keluhan fisik serta komplikasi

dari DM membuat pasien merasakan bahwa kesehatan fisik yang

mereka alami sedang mengalami penurunan.

Kesehatan fisik yang menurun mengakibatkan kualitas hidup

mereka menjadi buruk. Latihan jasmani adalah salah satu pilar

dalam pengelolaan penyakit DM apabila tidak disertai dengan

nefropati atau disebut dengan penyakit ginjal diabetes. Latihan

jasmani yang dianjurkan pada pasien DM yaitu latihan yang

dianjurkan secara teratur yang sesuai dengan continous,

rhythmical, interval, progresive, endurance (CRIPE). Namun

latihan juga harus disesuaikan dengan kemampuan pasien agar

tidak timbul cedera. Latihan jasmani dengan teknik relaxasi yang

dapat diterapkan pada pasien DM adalah Progressive Muscle

Relaxation (PMR) .

PMR ini dapat menfasilitasi peningkatan metabolisme tubuh,

mempercepat pernapasan, ketegangan dan rileksasi otot,

keseimbangan tekanan darah sistolik dan diastoli. Gerakan


39

kelompok otot secara berturut-turut agar dapat memunculkan

kondisi rileks yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan

implus saraf pada jalur aferen ke otak. Perubahan ini

menyebabkan perasaan pasien menjadi lebih tenang baik fisik

maupun psikologis ditandai dengan berkurangnya denyut jantung

serta menurunkan kecepatan metabolisme tubuh dalam hal ini

mencegah peningkatan kadar gula darah pada pasien DM.

Latihan PMR ini terdiri atas tiga sesi dengan tujuan masing-

masing, dan dilakukan selama 3 hari seminggu, dua kali sehari

(pagi dan sore) dengan durasi 15 menit. Pada sesi satu bertujuan

untuk mengidentifikasi ketegangan otot otot yang dirasakan. Pada

sesi dua bertujuan menjelaskan prosedur pelaksanaan latihan

PMR, pada sesi ketiga bertujuan mengevaluasi gerakan yang

sudah dilakukan. Latihan dilakukan dengan mengencangkan dan

menlemaskan otot yang meliputi tangan dan lengan dominan dan

bukan lengan dominan, bisep dominan dan bisep non dominan,

dahi, pipi atas dan hidung, pipi bawah dan rahang, leher dan

tenggorokan. Dada dengan bahu dan punggung atas, perut, paha

dominan dan paha non dominan, betis dominan dan non dominan

dan kaki dominan dan non dominan. PMR dapat diajarkan oleh

profesional perawatan kesehatan, termasuk psikolog klinis dan

perawat, serta ahli hipnoterapis, isntruktur yoga, dan praktisi

pelengkap lainnya. Terapis mendemonstrasikan gerakan 1-13

sebagai berikut:
40

1) tahap persiapan

Sebelum melakukan tindakan penulis menyiapkan kursi,

bantal, serta lingkungan yang tenang dan sunyi kemudian

memposisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring dengan mata

tertutup menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau

duduk di kursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri,

lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan

sepatu longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain sifatnya

mengikat, dan pada saat memulai proses terapi dianjurkan untuk

melemaskan otot dan merileksasikan pikiran dan diiringi tarik

nafas dan hembuskan secara perlahan.

2) Tahap prosedur

a) Gerakan pertama ditunjukkan untuk otot dahi dan mata

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik, tahan lalu mengerutkan

dahi dan alis sekeras-kerasnya dan memejamkan mata

sekuat-kuatnya hingga kulit terasa mengerut hingga

dirasakan ketegangan di sekitar alis dan mata

(2) Lemaskan dahi, alis dan mata secara perlahan sambil

hembuskan nafas

b) Gerakan kedua ditunjukkan untuk otot otot pipi

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik tahan lalu gembungkan

pipi sehingga terasa ketegangan otot otot sekitaran pipi

(2) Lemaskan dengan cara meniup sambil menghembuskan

napas
41

c) Gerakan ketiga ditunjukkan untuk otot sekitar mulut

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik tahan, lalu muncongkan

bibir kedepan sekeras-kerasnya hingga terasa tegangan

area mulut

(2) Lemaskan mulut dan bibir secara perlahan sambil

menghembuskan nafas

d) Gerakan keempat ditunjukkan untuk otot otot rahan dan mulut

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik, tahan lalu mengetupkan

mulut sambil menggigit gigi sekuat-kuatnya sambil tarik

lidah kebelakang sehingga terasa ketegangan disekitar otot

otot rahang

(2) Lalu lemaskan mulut secara perlahan

e) Gerakan kelima ditunjukkan untuk otot otot leher belakang

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik, tahan lalu menekankan

kepala kearah punggung sedemikian rupa sehingga terasa

ketegangan otot leher bagian belakang

(2) Lalu lemaskan leher sambil menghembuskan udara

f) Gerakan keenam ditunjukkan untuk otot leher bagian depan

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik, tahan lalu turunkan

dagu atau tekukkan hingga menyentu dada sehingga rasa

ketegangan di daerah leher bagian depan

(2) Lalu lemaskan dan angkat dagu secara perlahan sambil

menghembuskan nafas

g) Gerakan ketujuh ditunjukkan untuk otot otot bahu


42

(1) Tarik nafas selama 3 detik, tahan lalu mengangkat bahu

hingga ketelinga setinggi-tingginya

(2) Lalu lemaskan dan turunkan bahu secara perlahan sambil

menghenbuskan nafas

h) Gerakan kedelapan ditunjukkan untuk otot tangan

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik, tahan lalu genggam

tangan kiri dan tangan kanan lalu membuat kepalan,

kepalan ini digenggam semakin kuat sambil merasakan

sensasi ketegangan pada daerah tangan

(2) Setelah itu lepaskan kepalan secara perlahan sambil

merasakan rileksdidaerah kepalan tangan tersebut, sambil

menghembuskan nafas

i) Gerakan kesembilan ditunjukkan untuk otot tangan bagian

belakang

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik, tahan lalu tekukkan

pergelangan tangan ke belakang secara perlahan hingga

otot-otot tangan bagian belakang dan lengan bawah

menegang dan jari-jari menghadap kelangit-langit

(2) Setelah itu, lemaskan dan turunkan kedua tangan secara

perlahan sambil menghembuskan nafas

j) Gerakan kesepuluh ditunjukkan untuk otot lengan atau biseps

(1) Tarik nafas dalam selama 3 detik, tahan lalu genggam

kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian


43

membawa kedua kepalan tersebut kearah pundak sehingga

otot-otot lengan bagian dalam menegang

(2) Selanjutnya lemaskan atau turunkan kedua tangan secara

perlahan sambil menghembuskan nafas

k) Gerakan kesebelas ditunjukkan untuk otot otot punggung

(1) Tarik nafas selama 3 detik, tahan lalu angkat tubuh dari

sandaran kursi lalu busungkan dada dan lengkungkan

punggung kebelakang tahan selama 10 detik dan rasakan

ketegangan pada otot punggung bagian belakang

(2) Selanjutnya lemaskan punggung sambil menghembuskan

nafas

l) Gerakan keduabelas ditunjukkan untuk otot otot perut

(1) Tarik nafas secara perlahan selama 3 detik, tahan lalu

menarik perut sekuat-kuatnya kedalam atau mengempiskan

perut tahan selama 10 detik hingga perut terasa kencang dan

tegang

(2) Lalu lemaskan perut secara perlahan sambil

menghembuskan nafas

m) Gerakan ketigabelas ditunjukkan untuk otot otot betis

(1) Tarik nafas selama 3 detik, tahan lalu menarik kedua

telapak kaki kearah dalam sekuat-kuatnya dan kedua tangan

berusaha menggapai kedua jari kaki hingga terasa

ketegangan dikedua betis


44

(2) Selanjutnya lemaskan kedua kaki secara perlahan sambil

menghembuskan nafas

Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama latihan

diantaranya pasien yang mengalami distres emosional selama

melakuka PMR dianjurkan menghentikan latihan dan

mengkonsultasikanya kepada perawat/dokter mengenai terjadinya

cedera akut dan muskuloskeleta, infeksi atau inflamasi, dan

penyaki jantung berat atau akut serta tidak dilakukan pada sisi

otot yang sakit. (Trisnawati, Fajriyah, & Samudera, 2020)


45

B. Kerangka Teori

DIABETES MELLITUS

Adalah kenaikan kadar glukosa


dalam darah atau hiperglikemia
dengan GDS ≥126

(wijayah dan putri,2013)

Resistensi insulin

(Harahap & Indrayana, 2020)

Stres eksternal Stres internal

(Maramis, W Dan Maramis,A., 2012). (Maramis, W Dan Maramis,A., 2012).

Stres dari lingkungan akibat Stres dari dalam individu itu


kecelakaan, tidak lulus sendiri yaitu suatu sifat
ujian,persaingan terlalu ketat, mudah marah, terlalu bersih
PHK, perkawinan yang tidak atau kotor, terlalu disiplin,
harmonis, penyakit dan lain atau sembrono, obsesif dan
sebagainya lain sebagainya

(Maramis, W Dan (Maramis, W Dan


Maramis,A., 2012). Maramis,A., 2012).

Teraapi relaksasi otot progresif adalah terapi


komplementer untuk mengarahkan perhatian pasien
untuk membedakan perasaan yang dialami saat
kelompok otot dilemaskan dan demikian diharapkan
klien mampu kondisi tegang

(Nurul Aeni, 2013).


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep penelitian merupkan abstraksi dari suatu realitas

sehingga dapat dikomunikasikan dan membentuk teori yang

menjelaskan keterkaitan antara variabel yang diteliti (Nursalam, 2017).

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori maka kerangka

konsep pengaruh relaksasi progresif terhadap stres pada penderita

diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba

sebagai berikut:

RELAKSASI OTOT STRES


PROGRESIF PADA DM

Keterangan:

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Penghubung antar variabel

B. VARIABEL PENELITIAN

Variabel merupakan ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-

anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang memiliki oleh

kelompok lain. variabel merupakan gejala yang bervariasi, dan gejala

46
47

merupakan objek penelitian. Jadi variabel adalah objek penelitian

yang bervariasi (Sryono, 2017).

C. DEFINISI KONSEPTUAL

Koseptual bisa dikatakan sebagai salah satu unsur dalam arti

penelitian yang menjelaskan tentang karakteristik suatu permasalahan

yang hendak diteliti. Disisi lain, istilah konseptual itu sendiri mengacuh

pada sesuatu yang berkaitan dengan pikiran atau bahkan bisa dikatakan

berkaitan dengan konsep mental atau ide filosofis atau imajiner.

1. Relaksasi progresif merupakan salah satu cara dalam manajemen stres

yang merupakan salah satu bentuk mind-body therapy (terapi pikiran

dan otot-otot tubuh) dalam terapi komplementer. Relaxasi otot

progresif ini mengarahkan perhatian pasien untuk membedakan

perasaan yang dialami saat kelompok otot dilemaskan dan

dibandingkan dengan ketika otot dalam kondisi tegang, dengan

demikian diharapkan klien mampu mengelola kondisi tubuh terhadap

stres.

2. Menurut Dwight (2004), stres adalah suatu peerasaan ragu terhadap

kemampuannya untuk mengatasi suatu karena persendian yang ada

tidak dapat memenuhi tuntutan kepadanya. Dwight menekankan

pengertian stres pada perasaan ragu atau cemas terhadap

kemampuannya.
48

D. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulkan data

dan menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup

variabel.

1. Relaksasi progresif yaitu terapi yang memusatkan suatu perhatian

pada aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian

menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi.

2. Stres adalah suatu kondisi yang membuat pikiran menjadi tidak

terkontrol oleh keadaan yang dapat memicu sehingga tekanan pikiran

akibat memikirkan penyakit gula darah (DM) yang dialami

a. Dengan kriteria objektif yaitu:

1) Normal jika mencapai 0-14

2) Ringan jika mencapai 15-18

3) Sedang jika mencapai 19-25

4) Berat jika mencapai 26-33

b. Alat ukur : Lembaran kuosioner dengan menggunakan skala

likert

c. Skala ukur : Ordinal


49

E. HIPOTESISI PENELITIAN

Hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan

antar variabel yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan

hasil penelitian. didalam pernyataan hipotesisi terkandung variabel yang

akan diteliti dan hubungan antar variabel-variabel tersebut. pernyataan

hipotesisi mengarahkan peneliti untuk menentukan desain penelitian,

teknik pemilihan sampel, pengumpulan dan metode analisis data.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh

relaksasi otot progresif terhadap stres pada penderita DM Tipe 2 Di

puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Pada penelitian tentang pengaruh relaksasi otot progresif terhadap

stres pada penderita DM tipe 2 ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif,

dengan metode penelitian Pre experiment.

Penelitian Pre experiment adalah penelitian rancangan yang meliputi

hanya satu kelompok atau kelas yang diberikan pra dan pasca uji.

Rancangan one grup pretest and posttest desaign ini, dilakukan terhadap

satu kelompok tanpa adanya kelompok control atau pembanding.

Pada penelitian ini, sebelum dilakukan terapi Relakasi otot progresif

(pre-test), tingkat stres di ukur. Kemudian peneliti melakukan terapi

Relakasi otot progresif menampilkan vidio dengan durasi 9:24 detik selama

2 minggu.

B. Waktu dan lokasi pelaksanaan

1. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan september 2022.

2. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Caile Kabupaten

Bulukumba.

50
51

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek

yang mempunyai kualiatas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari (Sugiyono, 2017).

Populasi dalam penelitian ini yaitu pasien DM yang mengalami stres di

wilayah kerja Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba pada tahun 2021

dengan jumlah populasi 1091 pasien.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2017). Rumus pengambilan sampel menurut

(Isaac dan michael) adalah sebagai berikut:

Rumus pengambilan sampel menurut slovin adalah sebagai

berikut:

N
ɳ=
1+ N (e)

Keterangan:

ɳ : ukuran sampel/jumlah responden

N : ukuran populasi

E : presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel

yang masih bisa ditolerir e: 0,18 sehingga presentase kelonggaran

yang digunakan adalah 18% dan hasil perhitungan dapat

dibulatkan untuk mencapai kesesuaian. Maka untuk mengetahui

sampel penelitian dengan perhitungan sebagai berikut:


52

N
ɳ=
1+ N ( e ) ²

1091
ɳ=
1+1091 ( 0,18 ) ²

1091
ɳ=
1+1091 x 0,032

1091
ɳ=
36,3484

ɳ=30,1 disesuaikan oleh peneliti menjadi 30 responden.

Berdasarkan perhitungan diatas maka sampel yang menjadi responden

dalam penelitian ini disesuaikan menjadi sebanyak 30 responden hal ini

dilakukan untuk mempermudah dalam mengelolah data untuk hasil

pengujian yang lebih baik.

3. Kriteria inklusi dan eksklusi

a. Kriteria inklusi

1) Pasien DM yang bisa membaca dan menulis

2) Pasien umur 45-60 tahun

3) DM dengan luka kering

b. Kriteria eksklusi

1) Pasien tidak bersedia jadi responden

2) Pasien yang tidak berada pada lokasi saat penelitian

3) Pasien menolak karena keadaan yang tidak memungkinkan


53

4. Teknik sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi unuk

mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh

dalam pengambilan sampel, yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan

subjek penelitian (Nursalam, 2017).

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah

Pourposive sampling. Dimana Pourposive sampling ini merupakan

penentu jumlah sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2020).

D. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti

untuk mengobservasi, mengukur atau meneliti suatu fenomena alam maupun

sosial yang diamati secara spesifik, semua fenomena ini disebut variabel

penelitian (Sugiyono, 2017).

Instrumen penelitian yang akan digunakan untuk menilai variabel

penelitian yaitu:

1. Tingkat stres pasien DM dengan menggunakan kuosioner yang diisi

oleh pasien DM (Herlambang, 2019).

2. Sebelum dan sesudah melakukan terapi relaxasi otot progresif

menggunakan SOP dengan lembar observasi yang diisi oleh pasien

DM (Trisnawati, Fajriyah, & Samudera, 2020).


54

E. Alur penelitian

Rangkaian pelaksanaan kegiatan


penelitian dilapangan

Prosedur penelitian

Pengukuran tingkat stres mengunakan


kuosioner

Sampel

30 responden

Diberikan terapi relakasi progresif dengan menggunakan


vidio selama ( 9 menit 24 detik )

Pada minggu pertama pemberian kuosioner ke 30 responden sekaligus membuat


kontrak waktu terlebih dahulu kepada responden

kemudian di minggu kedua memberikan terapi relaksasi otot progresif menggunakan


vidio dengan 15 responden diberikan terapi dan 15 reponden lainnya di jadikan
pembanding

setelah melakukan terapi relakasi progresif


peneliti Kembali mengukur tingkat stresnya
55

Kesimpulan
F. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan dalam

pengumpulan data penelitian (Hidayat, 2018). Melalui beberapa proses

pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek

yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2017)

G. Teknik pengelolahan dan analisa data

1. Teknik pengelolahan data

Dalam (Sumantri, 2011) ada beberapa teknik pengelolahan data:

a. Editing data

Yaitu mengoreksi jawaban yang telah diberikan responden, apabila

ada data yang salah satu kurang segera dilengkapi.

b. Coding data

Yaitu melakukan pengkodean terhadap beberapa variabel yang

akan diteliti, dengan tujuan untuk mempermudah pada saat melakukan

analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data

c. Entry data

Yaitu memasukkan data dalam variabel sheet dengan

menggunakan komputer.

d. Clining data

Yaitu pembersihan data untuk mencegah kesalahan yang mungkin

terjadi.
56

2. Analisa data

Analisa data dilakukan untuk mengelola data dalam bentuk yang

lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan serta untuk menguji secara

statistic kebenaran hipotesis yang telah diterapkan. Menurut (Sumantri,

2011) analisa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a) Analisa univariat

Analisa univariat digunakan untuk menjabarkan secara

deskriptif mengenai distribusi frekuensi dan proporsi masing-

masing variabel yang diteliti baik variabel bebas maupun variabel

terikat. Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

b) Analisa bivariat

Analisa brivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkolerasi. Analisa ini digunakan untuk

menguji hipotesis dengan menentukan hubungan variabel dengan

menentukan variabel bebas dan variabel terikat dengan metode pre

dan post dengan menggunakan uji paired samples test

H. Etika penelitian

1) Menghormati harkat dan martabat manusia(respect for human dignity)

Penelitian dilakukan dengan memperhatikan dan menjungjung

tinggi harkat dan martabat individu yang dijadikan subjek pada penelitian.

dalam penelitian tidak dianjurkan ada pemaksaan atau bahkan penekanan

dari peneliti, selain itu dalam penelitian subjek mempunyai hak untuk
57

mendapatkan info terkait dengan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari

tujuan dan manfaat itu dilakukan, prosedur penelitian, resiko yang bisa

terjadi pada saat proses penelitian berlangsung, serta hal positif yang bisa

didapatkan setelah penelitian itu dilaksanakan.

2) Menghormati privasi daan kerahasiaan subjek (respectfor privasy and

confidentiality)

Individu sebagai subjek peneliti memiliki privasi dan hak asai

untuk mendapatkan kerahasiaan informasi. Namun tidak dapat dipastikan

bahwa setiap penelitian bisa memberikan dampak terhadap privasi yang

dimiliki oleh subjek dan bahkan bisa menyebabkan privasi subjek terbuka.

Sehingga peneliti harus mampu merahasiakan setiap privasi yang dimiliki

oleh individu yang menjadi partisipasinya.

3) Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice inclusiveness)

Dalam penelitian keterbukaan sangat diperlukan dan harus segera

tepat, jujur, cermat, deilakukan dengan kehati-hatiandan harus profesional.

Kemudian didalam penelitian diperlukan keadilan, sehingga penelitian itu

bisa memberikan keuntungan serta beban yang diberikan kepada subjek itu

bisa secara adil dan merata.

4) Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harm and benefits)

Setiap penelitian yang harus dilakukan memikirkan manfaat yang

bisa didapatkan oleh subjek pada penelitian dan pada populasi dimana

penelitian ini dilakukan. Kemudian dalam penelitian harus mampu

mengurangi dampak yang bisa merugikanbagi subjek.


58
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Karakteristik responden

Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin,


Umur, Status perkawinan yang mengalami stres
Karakteristik Frekuensi (n) Persentasi (%)

Jenis kelamin :

Perempuan 27 90

Laki-laki 3 10

Total 30 100

Usia :

41-50 17 56,7

51-60 13 43,3

Total 30 100

Status perkawinan

Menikah 25 83,3

Janda/duda 2 6,7

Cerai 3 10

total` 30 100

Pada tabel 6.1 menunjukkan hasil penelitian distribusi responden

berdasarkan jenis kelamin pasien Diabetes mellitus di Puskemas Caile

59
60

Kabupaten Bulukumba menunjukkan bahwa sebagian besar responden (90%)

berjenis kelamin perempuan.

Distribusi responden berdasarkan rata-rata usia responden pasien

Diabetes mellitus di Puskemas Caile Kabupaten Bulukumba berada direntang

usia 41-60 tahun, usia terendah 41 dan tertinggi 60 tahun.

Distribusi reponden berdasarkan status perkawinan pasien Diabetes

mellitus di Puskemas Caile Kabupaten Bulukumba menunjukkan bahwa

responden sebagian besar yang sudah menikah sebanyak (83,3%), responden

yang berstatus janda/duda sebanyak (6,7%) dan responden yang berstatus

cerai sebanyak (10%).

2. Analisis Univariat

a. Tingkat stres sebelum perlakuan

Tabel 6.2 karakteristik stres responden sebelum diberikan Relaksasi Otot


Progresif tahun 2022
Karakteristik Frekuensi Persetase(%)

Normal 2 6,7

Ringan 13 43,3

Sedang 15 50

Berat 0 0

Total 30 100

Pada tabel 6.2 hasil penelitian distribusi responden berdasarkan tingkat

stres pada pasien Diabetes Mellitus sebelum diberikan relaksasi otot progresif di

Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba menunjukkan tingkat stres Normal 2

( 6,7%), tingkat stres ringan 13 (43,3%), dan tingkat stres sedang 15 (50%).
61

b. Tingkat stres setelah perlakuan

Tabel 6.3 karakteristik stres responden setelah diberikan relaksasi otot


progresif tahun 2022.
Katakteristik Frekuensi Persentase (%)

Normal 4 13,3

Ringan 22 73,4

Sedang 4 13,3

Berat 0 0

Total 30 100

Pada tabel 6.3 hasil penelitian distribusi responden berdasarkan tingkat

stres pada pasien diabetes mellitus setelah diberikan relaksasi otot progresif di

puskesmas caile kabupaten bulukumba menunjukkan tingkat stres normal 4

(13,3%), tingkat stres ringan 22 (73,4%) dan tingkat stres sedang 4 (13,3%).

3. Analisis Bivariat

Tabel 6.3 Hasil uji statistik paired sampel test Pengaruh pemberian Relaksasi
Otot progresif terhadap stres penderita Diabetes mellitus di Puskesmas Caile
Kabupaten Bulukumba Tahun 2022

Std. Std. Sig.(2-


Kelas Mean deviation Error N tailed)
Mean
Pretest 18,40 2,621 ,479 30 ,000

Postest 16,63 1,903 ,347 30 ,000

Berdasarkan tabel 6.3 hasil uji statistik paired sampel T test dari 30 sampel
yang telah diteliti, dapat diketahui nilai rata-rata kelas pretest sebelum dilakukan
62

relaksasi progresif sebesar 18,40 dan rata-rata selisih kelas postest sebesar 16,63
serta nilai sig.(2-tailed) kelas pretest =0,000 < 0,05 dan nilai sig. (2-tailed) kelas
postest =0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh relaksasi otot
progresif terhadap stres pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas caile
kabupaten bulukumba.
B. Pembahasan
1. karakteristik sampel berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia dan jenis kelamin merupakan karakteristik responden pada penelitian
kali ini, menurut Smeltzer & Bare dalam (Sitepu & Simanungkalit, 2019) usia tua
berisiko mengalami diabetes karena kemampuan tubuh pada usia tua terjadi
penurunan fungsi pankreas akibatnya fungsi pankreas untuk bereaksi terhadap
insulin menurun sehingga mengakibatkan gangguang kadar gula darah pada
penderita dengan usia antara 41-60 memiliki resiko lebih tinggi bertambahnya
usia responden karena adanya penurunan fungsi organ pankreas dalam
memproduksi insulin. Dalam penelitian ini, umur sampel yang diambil adalah
dimulai dari umur 41 tahun hingga umur 60 tahun. Jumlah sampel terbanyak
berada pada rentan usia 41-50 tahun yaitu sebesar 56,7% atau sebanyak 17 orang
dari 30 orang total sampel pada kelas pre dan post Sehingga pada hasil penelitian
yang dilakukan peneliti usia yang paling rentang terkena diabetes mellitus adalah
usia 41-50 tahun berdasarkan kategori umur menurut Riset Kesehatan Masyarakat
(RISKESDAS) dalam (Rabrusun, 2014) menunjukkan prevalensi DM mulai
meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meningkat pada umur 55-64 tahun.
Hasil penelitian dari Hartini dalam (Imelda, 2019) semakin bertambahnya usia
semakin tinggi kemungkinan terjadinya resistensi insulin, dimana insulin masih di
produksi tetapi dengan jumlah yang tidak mencukupi, proses menua yang
berlangsung setelah 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan
biokimia. Peningkatan diabetes risiko diabetes seiring dengan umur, khususnya
pada usia lebih dari 45-64 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai
terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Perubahan dimulai dari tingkat sel,
berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat
mempengaruhi fungsi homeostatis.
Keseluruhan sampel pada kelas pre adalah berjenis kelamin perempuan
sedangkan pada kelas post sebagian besar berjenis kelamin perempuan pula yaitu
63

sebesar 90 % atau sebanyak 27 orang. Hasil penelitian ini didukung oleh Irawan
dalam (Zainuddin & Utomo, 2015) yang mengatakan bahwa perempuan lebih
tinggi mengalami diabetes tipe 2 dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan lebih
beresiko mengidap diabetes, karena secara fisik perempuan memiliki peluang
penigkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan
(premenstrual syndrome), pasca monopause yang membua disribusi lemak–lemak
tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut. Perubahan
hormonal terjadi pada perempuan yaitu dimana telah terjadi penurunan hormon
estrogen progeseron akibat monopause. Estrogen pada dasarnya berfungsi untuk
menjaga keseimbangan kadar gulah darah dan meningkakan penyimpanan lemak,
serta penyimpanan progesteron yang berfungsi menormalkan kadar gulah darah
dan membantu menggunakan lemak sebagai energi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Leslie et al., dalam R. Tampa’i et al.,
2021) kejadian DM tipe 2 lebih rentan terjadi pada orang yang berjenis kelamin
laki-laki dibandingkan dengan perempuan, akan tetapi kenyataannya jenis kelamin
perempuan lebih banyak terkena DM tipe 2 dibanding laki-laki. Hal ini
sebebabkan perempuan mempunyai angka harapan hidup lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki, sehingga perempuan lanjut usia yang mengidap
DM tipe 2 lebih banyak dari pada laki-laki lanjut usia.
2. Hasil penelitian sebelum melakukan relaksasi otot progresif
Berdasarkan hasil penelitian sebelum dilakukan terapi teknik relaksasi otot
progresif pada penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Caile Kabupaten
Bulukumba, diketahui bahwa tingkat stres responden setelah diberikan teknik
relaksasi otot progresif dari yang mengalami stres sedang sebanyak 15 orang
(50%) stres ringan sebanyak 13 orang (43,3%) dan normal 2 (6,7%)
Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian dari studi literature dalam
(Asiah, 2018) yang diperoleh, menunjukkan bahwa sebelum dilakukan terapi
relaksasi otot progresif sebanyak 7 responden (43%) masuk dalam kategori
ringan, 8 responden (50%) masuk kedalam kaegori stres sedang 1 responden
(6,2%) masuk kedalam kategori stres berat. Sehingga peneliti berasumsi dalam
penelitiannya sebelum dilakukan relaksasi otot progresif tingkat stres normal 2
orang (6,7%), tingkat stres ringan 13 orang (43,3%), dan tingkat stres sedang 15
(50%).
64

Menurut jimenez e al,. Dalam (Widiastuti et al., 2022) diabetes mellitus


merupakan penyakit yang dikenal dengan DM adalah kelainan metabolik yang
mengakibakan adana gangguang hormonal yang menyebabkan peningkatan kadar
gula darah yang bisa disebut dengan hiperglikemia. Menurut penelitian awad
Dalam (Imelda, 2019) salah satu faktor pernyebab tingginya prevalensi diabetes
mellitus tipe 2 disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis
dan paparan terhadap lingkungan, faktor lingkungan yang diperkirakan dapat
meningkatkan faktor resiko diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan gaya hidup
sesorang, diantaranya adalah kebiasaan makan yang tidak seimbang akan
menyebabkan obesitas. Selain pola makan yang tidak seimbang, aktivitas fisik
juga merupakan faktor resiko diabetes mellitus, latihan fisik yang teratur dapat
meningkatkan mutu pembuluh darah dan memperbaiki semua aspek metabolik
termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki toleransi glukosa.
Stres menurut (Asiah, 2018) adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi
antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-
tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis
dan sosial dari sesorang. Stres juga bisa diartikan sebagai tekanan, ketegangan,
atau gangguang yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
3. Hasil penelitian sesudah dilakukan relaksasi otot progresif
Berdasarkan analisa kuosioner tingkat stres menggunakan kuosioner
DASS 42 sesudah diberikan relaksasi otot progresif dari 30 responden, 4 orang
yaitu mengalami normal, 22 orang yaitu stres ringan, dan 4 orang yaitu stres
sedang. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Helen (2015) dalam Nuwa,
Kusnanto & utami (2018) bahwa teknik relaksasi otot progresif efektif dalam
mengurangi ketegangan otot di tubuh, perubahan aktivitas sistem saraf simpatik,
termasuk penurunan denyut nadi, tekanan darah, dan fungsi neuroendokrin dan
peneliti telah menyarankan bahwa PMR dapat berfungsi sebagai metode relaksasi
bagi pasien yang menjalani kemoterapi.
Peneliti membuktikan bahwa setelah dilakukan teknik relaksasi otot
progresif terjadi perubahan. Pada penderita Diabetes Mellitus mengalami
perubahan dari stres sedang sebanyak 15 orang (50%) menjadi stres sedang 4
(13,3), stres ringan, 13 orang (43,3%) menjadi stres ringan 22 (73,4%) dan normal
2 (6,7%) menjadi 4 (13,3%). Uji statistik menggunakan uji paired samples
65

statistics menunjuk hasil sig.(2-tailed) =0,000< ∝=0,05 sehingga diterima yang


artinya terdapat pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap stres pada
penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ungkas herlambang
(2019) dengan judul “ Pengaruh progressive muscle relaxation Terhadap Stres
Dan Penurunan Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2” dengan hasil
terdapat perbedaan tingkat stres penderita perlakuan p=0,01 (p<0,05) dan kontrol
p=0,404 (p <0,05).
Berdasarkan uraian di atas peneliti berasusmsi bahwa ada pengaruh teknik
relaksasi otot progresif terhadap perubahan tingkat stres pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 di Puskesmas Caile Kabupaten Bulukumba. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa teknik relaksasi otot progresif dapat menurunkan tingkat stres pada
seseorang karena teknik relaksasi otot progresif memberikan efek yang
menenangkan dan merilexsasikan tubuh. Sehingga penggunaan teknik relaksasi
otot progresif dapat diterapkan karena muda untuk dilakukan, relaksasi ini hanya
melibatkan sistem otot tanpa memerlukan alat lain dan dapat dilakukan ketika
dalam keadaan istirahat yaitu saat menonton tv atau duduk di kursi, sehingga
dilakukan kapan saja.
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu manajemen stres dimana
harapannya setelah melakukan latihan ini stres yang dialami responden dapat
menurun. Menurut sugurdardottir (2005) dalam (Maghfirah et al., 2015)
menyebutkan bahwa masalah emosional yang biasanya di alami pasie yaitu stres,
sedih, khawatir akan masa depan, memikirkan komplikasi jangka panjang yang
akan mungkin muncul, perasaan takut hidup dengan DM,merasa tidak semangat
dengan program pengobatan yang harus di jalani, khawatir terhadap perubahan
kadar gula darah dan bosan dengan perawatan rutin yang harus dijalani.
Menurut penelitian Resti (2014) dalam (., 2019) teknik relaksasi ini akan
menimbulkan efek rileks yang melibatkan saraf parasimpatis dalam sisem saraf
pusat. Manusia memiliki sistem saraf dan otonom, sistem saraf pusat berfungsi
mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki seperti gerakan tangan, kaki,
leher, dan jari-jari. Sistem sa raf otonom mengendalikan gerakan-gerakan yang
otomatis seperti proses kardiovaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf ini terdiri
dari dua subsitem yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis yang bekerja saling
66

berlawanan. Jika saraf simpatis bekerja meningkatkan rangsangan atau mengacu


organ-organ tubuh, meningkatkan denyut jantung dan pernapasan, serta
menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi, maka sebaliknya dengan sistem
saraf parasimpatis menstimulus turunnya semua fungsi yang dinaikan oleh saraf
simpais. Ketika individu mengalami ketegangan dan kecemasan ang bekerja
adalah sistem saraf simpatis, sedangkan saa relaks ang bekerja adalah sisem saraf
parasimpatis. Jadi, relaksasi otot progresif dapat mengurangi rasa stres, tegang
pada otot dan cemas dengan cara merilekskan otot.
Teknik relaksasi otot memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot
dengan mengidentifikasi otot tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan
melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan rileks ( Herodes ,2010
dalam (Widyastuti et al., 2020). Relaksasi otot progresif merupakan suatu proses
mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah yaitu memberikan tegangan
pada kelompok otot dan menghentikan tegangan tersebut dan memusatkan
perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi
rileks, dan ketegangan menghilang.
Hasil penelitian (Rusnoto & Prasetyawati, 2021)sesuai teori yang
mengatakan bahwa mekanisme progressive muscle relaxation (PMR) dalam
menurunkan kadar gula darah sewaktu pada pasien diabetes mellitus erat
kaitannya dengan stress yang dialami pasien baik fisik maupun psikologis.
c. Keterbatasan penelitian
1. Peneliti harus mendatangi kediaman responden satu persatu sehingga memakan
waktu yang lama.
2. Jumlah sampel yang hanya 30 orang tentunya masih sangat kurang untuk
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pengelolahan data maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Tingkat stres responden mayoritas sebelum dilakukan intervensi adalah stres

sedang sebanyak 15 orang stres ringan 13 orang dan nomal 2 orang.

2. Tingkat stres setelah dilakukan intervensi adalah stres sedang 4 orang , stres

ringan 22 orang dan normal 4 orang.

3. Terdapat pengaruh setelah dilakukan relaksasi otot progresif terhadap stres

penderita Diabetes Mellitus.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan diatas maka

penulis mengajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi responden

Kepada responden diharapkan dapat melakukan intervensi relaksasi

progresif ketika mengalami stres dan sudah terbukti efektif di beberapa

penelitian termasuk penelitian ini serta dapat mengurangi tingkat stresnya.

2. Bagi petugas kesehatan

Kepada petugas kesehatan diharapkan dapat menggunakan relaksasi

progresif sebagai alternative agar dapat mengurangi tingkat stres pasien

diabetes mellitus pada kategori stres ringan dan sedang.

67
68

3. Bagi institusi

Kepada institusi diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada

masyarakat mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya stres pada diabetes

mellitus, pencegahan atau alternative yang dapat dilakukan pada penderita

diabetes mellitus.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan bisa tertarik untuk meneliti permasalahan yang sama mungkin

dengan metode lain atau solusi penanganan yang dapat membantu para

penderita diabetes mellitus dalam mengurangi ataupun mencegah terjadinya

stres yang berkepanjangan.


69

Anda mungkin juga menyukai