UNIVERSITAS JEMBER
DISUSUN OLEH
JON HAFAN SUTAWARDANA
0
BAB 1
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang bersifat kronik, ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah sebagai akibat dari adanya gangguan penggunaan
insulin, sekresi insulin, atau keduanya . Estimasi IDF di tahun 2012 menunjukkan bahwa
China merupakan negara dengan prevalensi diabetes tertinggi di dunia dengan jumlah
penderita mencapai 92,3 juta jiwa, diikuti dengan India sebanyak 63 juta jiwa, dan
Amerika Serikat 24,1 juta jiwa. Indonesia sendiri berada pada peringkat ke 7 dengan
jumlah penderita mencapai 7,6 juta jiwa. Berdasarkan kecendrungan statistik selama 10
tahun terakhir, IDF memprediksikan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan berada pada
peringkat ke enam dengan jumlah penderita mencapai 12 juta jiwa .
Self efficacy telah terbukti penting dalam pengelolaan diri pasien DM (Schester, 2002).
Self efficacy menurut Bandura adalah harapan penguasaan pribadi (Self efficacy)e dan
kesuksesan (Expectacy outcomes) yang menentukan individu terlibat dalam perilaku
tertentu . Expectacy outcomes adalah keyakinan individu tentang hasil dari perilaku yang
ditampilkan. Pemahaman yang baik terhadap teori self efficacy akan berdampak terhadap
1
perubahan positif perilaku, kognitif dan lingkungan pada individu . Persepsi individu
terhadap kemampuannya mengatasi kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang
sederhana akan memprediksi usahanya ke depan dalam menghadapi tantangan perilaku
yang bervariasi. Sederhananya adalah tingkat self efficacy akan berpengaruh pada usaha
mencapai target perilaku yang diharapkan dan akan berdampak pada kemampuan
individu dalam melakukan tugas yang dihadapai walaupun penuh rintangan dan
kegagalan (Bandura, 1977 dalam Lenz & Bagget, 2002). Pengukuran self efficacy dapat
dimanfaatkan untuk memprediksi tujuan seseorang untuk berubah dan memutuskan
keikutsertaan dalam mencapai tujuan intervensi dan peningkatan self care (Kavokjian,
2005). Peningkatan self efficacy dapat memotivasi ketaatan pasien dalam mengikuti
program pengobatan yang sudah direncanakan (schwarzer, 1999).
Self efficacy menjadi dasar dalam memperbaiki efektifitas edukasi diabetes karena
memfokuskan pada perubahan perilaku . Hal senada juga disampaikan bahwa
pengembangan program edukasi berdasarkan teori self efficacy dapat memperbaiki
pengelolaan diri pasien diabetes dan juga dapat memperbaiki edukasi diabetes yang
bersifat tradisional yang hanya berfokus pada penerimaan informasi dan kemampuan .
Pelayanan keperawatan profesional harus mampu memfasilitasi self efficacy secara
personal, memampukan individu dalam mengatur regimen perawatan diri sebagai sumber
kesehatan primer dan solusi yang efektif untuk pengelolaan diabetes. Intervensi strategis
yang bisa digunakan perawat adalah harus dapat melibatkan individu dalam membangun
self efficacy yang ada dalam dirinya untuk mengatur aktivitas self care maupun
mengembangkan espektasi positif dalam meningkatkan status kesehatannya .
Edukasi diabetes menjadi bagian penting dalam pengelolaan diabetes sejak tahun 1930
dan berkembang menjadi salah satu bagian utama dalam pengelolaan penyakit kronis .
Tujuan dari edukasi bagi pasien DM tipe 2 adalah mengoptimalkan kontrol metabolik,
mencegah komplikasi akut dan kronik, memperbaiki kualitas hidup dari pengaruh
perubahan perilaku, pengetahuan, sikap khususnya dalam menjaga perilaku hidup sehat
(Falvo, 2004; Snoek and Visser, 2003). Hasil penelitian menyatakan bahwa pasien yang
diberikan informasi tentang penyakitnya, prosedur perawatan dan pengobatannya akan
lebih mampu dalam bekerjasama untuk mensukseskan kesembuhan penyakitnya (Ellis, et
al, 2004). Sebagai contoh, hipoglikemia adalah salah satu dari masalah yang umum
dialami oleh pasien dengan DM, dengan memberikan informasi tentang monitoring
2
kadar gula darah secara mandiri maka akan sangat bermanfaat bagi pasien untuk
mencegah episode hipoglikemia (Banerj, 2007). Dengan perkembangan program edukasi
yang melibatkan dukungan aktif pasien dalam meningkatkan kepercayaan dan
kemampuan diri maka akan menjadi langkah kritis dalam mempromosikan penglolaan
diri secara aktif bagi pasien DM (Fu et al, 2003; Ismail, Winkley & Rabe, 2004).
Hal ini nampak dari hasil pengamatan penulis di RSCM yang menunjukkan bahwa
meskipun mayoritas pasien menderita DM lebih dari dua tahun akan tetapi masih
berulang kali masuk rumah sakit karena kadar gula darah yang tidak terkontrol.
Mayoritas pasien juga mengalami perawatan ulang karena tidak mampu mencegah
timbulnya luka pada kaki. Penulis mengidentifikasi pada umumnya pasien DM tipe 2
memiliki kadar HbA1c lebih dari 7,0%. Sementara itu penerapan asuhan keperawatan
pada pasien diabetes selama ini lebih terfokus pada masalah fisik dibandingkan masalah
psikologis, sehingga masalah psikososial tidak tertangani dengan baik karena juga tidak
teridentifikasi dengan jelas. Padahal masalah psikososial terutama stress mempunyai
peran dalam peningkatan kadar glukosa darah. Penulis mengidentifikasi bahwa evaluasi
edukasi diabetes hanya berfokus pada pengetahuan saja, dan sedikit yang mengukur
perbaikan self care dan self efficacynya. Penulis belum menemukan adanya instrumen
untuk mengukur self efficacy sebagai bagian penting dalam evaluasi edukasi khususnya
3
melihat outcome expectation pasien DM sehingga bisa diketahui efektifitas edukasi
tersebut dalam pengelolaan diri setiap hari di rumah.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui efektifitas program peningkatan self efficacy terhadap pasien DM tipe 2 di ruang
Poli Endokrinologi.
4
Hasil penerapan EBN ini dapat menjadi metode edukasi yang baru yang bisa diterapkan pada
pelayanan keperawatan sehingga penerapan edukasi tidak hanya berfokus pada pengetahuan
dan skills saja tetapi menyeluruh pada aspek afektif dan psikologis juga.
BAB 2
2.1.2 Intervention
5
Salah satu tugas perawat yaitu memberikan rasa nyaman kepada pasien khususnya pasien
post op dimana pasien tersebut sering mengeluhkan gangguan rasa nyaman berupa nyeri
yang timbul akibat operasi. Kebanyakan, terapi yang digunakan dalam mengurangi rasa
nyeri menggunkan terapi farmakologi, terapi tersebut merupakan terapi utama dalam
mengurangi rasa nyeri. Namun, terapi farmakologi memiliki efek samping misalnya
menggunakan sejenis opioid yang memiliki efek samping mual dan muntah. Maka dari itu
untuk menhindari efek samping tersebut terapi nonfarmakologi adalah solusi yang tepat
dalam meningkatkan dan mengurangi efek dari terapi farmakologi tersebut. Intervensi
keperawatan yang bisa dilakukan adalam pemberian program terapi non farmakologi berupa
metode Auricular Accupressure yang merupakan metode managemen nyeri (relaksasi)
berupa penekanan area tertentu pada telinga pasien.
Kebanyakan managemen nyeri yang dilakukan selain terapi farmakologi yaitu distraksi
dimana terapi tersebut sudah sering dilakukan oleh perawat yang berada di setiap ruangan.
2.1.4 Outcome
Dengan penerapan metode Auricular Accupressure dapat menjadi salah satu sarana metode
baru dalam management nyeri berupa relaksasi diharapkan metode tersebut menjadi terapi
tambahan dalam mengurangi dan menghilangkan efek samping dari terapi farmakologi
sehingga nyeri yang dirasakan pasien berkurang.
Apakah terapi Auricular Accupressure dapat mengurangi nyeri yang dirasakan pasien post
op?
6
acupressure/pain/nausea/vomitting
I Terapi relaksasi auricular Management pain
accupressure relaksation/Auricular
Accupressure
C Management nyeri yang biasa dilakukan
di ruangan
O Meringankan nyeri, mual dan muntah Pain control
pada pasien
Menggunakan kata kunci dan beberapa sinonimnya dari analisa PICO, peneliti
memasukkannya ke dalam search engine jurnal sebagai berikut :
a. http://primarycare.imedpub.com
b. http://omicsonline.org/open-acces/
c. http://www.sciencedirect.com/
didapatkan 24 judul artikel, kemudian dipilih sebanyak 5 journal yang relevan. Kesesuaian
dengan keadaan yang sebenarnya di rumah sakit membuat peneliti memilih 2 artikel pilihan
untuk kemudian memilih 1 artikel sebagai rujukan dan sisanya sebagai artikel pendukung.
2.5 Temuan artikel pilihan dari kata kunci PICO yang digunakan untuk digunakan
sebagai rujukan
Abstrak
Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk membantu efek dari penambahan terapi
auricular acupressure pada pasien dengan pemberian analgesic morphin dan
7
droperidol pada pasien post op tulang belakang dalam mengurangi efek nyeri, mual
dan muntah
Hasil : kelompok eksperimental memiliki rata rata skor nyeri rendah dengan
kelompok kontrol, tetapi tidak ditemukan perbedaan antara dua grup tersebut yang
ditemukan. Dosis analgesic dan kepuasan memiliki kesamaan antar dua grup. Insiden
PONV (mual muntah post op) rendah dan memiliki kesamaan antar grup.
Kesimpulan : meskipun pada penelitian ini tidak menunjukan efek dari auricular
acupressure pada nyeri post op, dosis analgesic kepuasan analgesic dan PONV,
kebanyakan responden puas dengan manajemen nyeri meskipun mereka mengalami
nyeri sedang karena analgesic yang tidak adekuat.
Abstrak
Metode : terapi APA didisaein untuk mengendalikan sekumpulan gejala dari nyeri,
kelelahan, dan gangguan tidur. Responden setiap orang mendapatkan terapi APA dan
8
setiap responden mendapatkan terapi berupa penekanan dengan benih setiap tiga kali
sehari selama 3 menit setiap hari selama 7 hari dan dilanjutkan setelah berada di
rumah.
Hasil : tingkat retensi dan kepatuhan sebesar 93% (gejala dan keparahan ≥30%).
Setelah diberikan APA selama 7 hari terapi sekumpulan gejala nyeri, kelelahan dan
gangguan tidur mengalami penurunan yang signifikan.
9
the trial? therapy farmacological.
BAB 3
PROSEDUR APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING
3.1. Subyek
Subyek dalam penerapan EBN ini adalah pasien post op yang drawat di irna 2 RSSA:
Kriteria inklusi: Pasien yang menjalankan rawat inap di RS, usia minimal 18 tahun, post op,
mendapatkan terapi antinyeri.
Kriteria eksklusi: Pasien yang memiliki kelainan dari telinga, tumor atau penyakit serius,
antiemetic sebelum operasi, kecanduan alcohol
10
Prosedur pelaksanaan evidence based practice ini meliputi prosedur teknis. Adapun prosedur
tersebut adalah sebagai berikut
3.2.1 Prosedur Teknis
a. Prosedur Pelaksanaan
- Menjelaskan pada pasien tujuan dan cara pengisian lembar pengkajian awal
- Meminta persetujuan pasien dengan informed concent
- Menjelaskan setiap sesi yang akan diikuti pada program managemen nyeri Auricular
acupressure.
Sesi Intervensi auricular acupressure
Pada sesi ini akan membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Setiap point acupressure
membutuhkan ±3 menit. Titik point pada telinga terdapat 6 titik (the shenmen (TF4), occipital
(AT3) and lumbar-sacrum vertebra (AH9), the stomach (CO4), cardia (CO3), dan endocrine
(CO18). Terapis memberikan intervensi 4 kali sehari dan terapis menginstruksikan pasien
untuk melakukan sendiri yang sebelumnya telah dipraktikan. Untuk menilai hasil yang
dirasakan oleh pasien terapis menyediakan lembar observasi berupa American Pain Society
Patient Outcome Questionnaire (APSPOQ).
BAB 4
HASIL APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING
MENGGUNAKAN KUISIONER APSPOQ
11
DAFTAR PUSTAKA
12