Anda di halaman 1dari 74

i

HASIL PENELITIAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

TANPA BERDASAR HUKUM

(Studi Kasus Putusan Nomor: 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks)

Oleh:

NAMA : Andi Oki Mesrawati

No. STAMBUK : 04020170362

Hasil Penelitian Ini Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka

Penyelesaian Studi Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2021

i
ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Dengan ini diterangkan bahwa Hasil Penelitian Mahasiswa:

Judul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TANPA

BERDASAR HUKUM (Studi Kasus Putusam

Nomor: 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks)

Nama : Andi Oki Mesrawati

NIM : 04020170362

Program Studi : S1 Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Hukum Perdata

Dasar Penetapan : SK Dekan

Telah diperiksa dan memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian seminar hasil.

Disetujui oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ilham Abbas, SH.,MH. Dr. Ahmad Fadil ,SH.,MH.

Mengetahui,

Ketua Bagian Hukum Perdata

…………

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………….………………………. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………….………..…………………… ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….…………. 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………..……….……….. 10

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………...………... 10

D. Manfaat Penelitian ………………………………...…………………..... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hubungan Kerja …………………………….………………………… ...12

1. Pengertian Hubungan Kerja ………………………………………….12

2. Unsur-unsur Hubungan Kerja ………………………………..……... 14

B. Pemutusan Hubungan Kerja

1. Konsep Hukum Pemutusan Hubungan Kerja ……….…….……...… 18

2. PHK dalam Ketentuan Peraturan Perundang-undangan …….....….... 26

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ………………………………………………………….. 42

B. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum …..………………………………….. 42

C. Tujuan Pengumpulan Bahan Hukum ……….…………………………... 43

D. Analisis Bahan Hukum …………………………………………………. 43

iii
iv

BAB IV PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tentang Pemutusan Hubungan Kerja ……………..……….. 44

B. TINJAUAN TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TANPA

BERDASAR HUKUM pada Putusan Nomor 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks

………………………………………………………………….……….. 45

1. Duduk Perkara ………………………………………..…………….. 45

2. Tuntutan Penggugat…. ……………………………………………... 51

3. Putusan ...……………………………………………………………. 52

C. Analisis terhadap PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TANPA

BERDASAR HUKUM pada Putusan Nomor 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks

………………………………………………………………….……….. 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan … ………………………………………………………….. 65

B. Saran …….. …………………………………………………………….. 67

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 69

iv
v

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak diproklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia

berusaha memperbaiki kondi Ketenagakerjaan agar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan.1 Sejalan dengan salah satu tujuan didirikannya Negara

Republik Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah dari

Indonesia serta kesejahteraan umum dan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusian.2 Dalam pelaksanaan pembangunan nasional tenaga kerja

mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan

tujuan pembangunan.

Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga

kerja.3 Hukum ketenagakerjaan dahulu disebut hukum perburuhan yang

merupakan yang merupakan terjemahan dari arbeidsrechts. Menurut pendapat

Molenaar arbeidsrechts adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada

pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan

buruh dan antara buruh dengan pengusaha.4 Menurut Mr. MG Levenbach

1
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Edisi Kedua, Penerbit
Pradnya Paramaita, Jakarta, 2007, hlm 4.
2
Ibid
3
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Cetakan Keenam, Sinar Grafika,
Jakarta, 2016, hlm. 2.
4
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cetakan Ketujuh, Penerbit Djambatan, Jakarta,
1985, hlm. 1

v
arbeidsrechts sebagai sesuatu yang melimputi hukum yang berkenaan dengan

hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan

keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.5

Sedangkan menurut Iman Soepomo memberikan batasan pengetian hukum

perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis

yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain

dengan menerima upah.6

Pihak dalam hukum ketenagakerja adalah pekerja/buruh, pengusaha, serikat

pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, dan pemerintah/pengusaha.7

Pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah

atau imbalan dalam bentuk lainnya.8 Tenaga kerja yaitu setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.9 Pengusaha adalah pihak yang

menjalankan perusahaan, baik milik sendiri maupun bukan.10 Secara umum istilah

pengusaha adalah orang yang melakukan suatu usaha. Pengusaha sebagai pemberi

kerja adalah seorang majikan dalam hubungannya dengan pekerja/buruh.11 Dalam

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

jelaskan tentang pengertian Pengusaha.

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

5
Ibid, hlm. 2.
6
Ibid, hlm. 3.
7
Maimun, Op.Cit., hlm. 11.
8
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
9
Ibid
10
Ibid, hlm. 25.
11
Ibid, hlm. 26.

2
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah

Pasal 1 ayat (15).12 Menurut Iman Soepomo hubungan kerja adalah hubungan

antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan

majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan

dengan menerima upah, dan dimana majikan menyatakan kesanggupnya untuk

mempekerjakan buruh dengan membayar upah.13 Dari pengertian diatas dapat

dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara

pengusaha dengan pekerja/buruh yang memuat unsur pekerjaan, upah, dan

perintah.

Perjanjian kerja yang diatur dalam KUHPer 1313 adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih lainnya. Dari pengertian tentang perjanjian kerja dapat disimpulkan bahwa

kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan

seimbang.14 Dimana syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPer dan Pasal 1338 menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-Undang bagi merka yang membuatnya. Suatu perjanjian

tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena

alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam perjajian dikenal adanya

asas kebebasan berkontrak yaitu para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian

12
Maimun, Op.Cit., hlm. 41.
13
Ibid
14
Djumadji, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Cetakan Keempat, Edisi Kedua, Penerbit Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2012, hlm. 9.

3
yang dikehendakinya, tidak terikat pada bentuk tertentu. Namun kebebasan itu ada

pembatasnya.15

Dalam dunia kerja, pemutusan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha

dikenal dengan istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK. Pemutusan

Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu

yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan

pengusaha16, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172.

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan

hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik

orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta

maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha- usaha lain yang

mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain.

Menurut Imam Soepomo “pemutusan hubungan kerja bagi buruh

merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya

mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai

keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya, permulaan dari berakhirnya

kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya”.17

PHK dapat terjadi karena berakhirnya waktu tertentu yang telah

15
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 101.
16
Pasal 1 ayat (25) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
17
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 115-116.

4
disepakati/diperjanjikan sebelumnya juga dapat terjadi karena adanya perselisihan

antara pekerja/buruh dengan pengusaha, meninggalnya buruh dan sebab lainnya.18

PHK karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak

menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak karena telah mengetahui

saat berakhirnya hubungan kerja, sehingga kedua belah pihak telah mempersiakan

diri.19 Berbeda dengan PHK yang terjadi karena pemutusan yang terjadi karena

adanya perselisihan, keadaan ini membawa dampak terhadap kedua belah pihak

terlebih bagi pekerja/buruh yang sudut ekonominya berkedudukan lemah

dibandingkan dengan pihak pengusaha.20

Pasal 151 dijelaskan bahwa

1) pengusaha penetapan, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,

dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan

hubungan kerja.

2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan

kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja

wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau

dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak

menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-

benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat

18
Zain al Asikin, et.al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm. 173.
19
Ibid, hlm. 174.
20
Ibid

5
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh

penetapan dari Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Penjelesan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK

adalah kegiatan-kegiatab yang positif yang dapat menghindari PHK, antara lain

pengaturan

waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja dan memberikan

pembinaan kepada pekerja/buruh21, sehingga pemutusan hubungan kerja

merupakan tindakan terakhir yang digunakan, namun bila segala upaya

pencegahan telah gagal baru pemutusan hubungan kerja boleh dilakukan.

Berdasarkan jenis-jenis pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam

beberapa golongan, yaitu:

a. PHK demi hukum terjadi karena alasan batas waktu yang disepakati telah

habis atau apabila pekerja/buruh meninggal dunia.

b. PHK oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri atau telah

terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan buruh minta di PHK. Dalam

Pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan

hubungan kerja kepada Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan yang melanggar

peraturan.

21
Ibid

6
c. PHK oleh majikan dapat terjadi karena alasan apabila buruh tidak lulus

masa percobaan, apabila majikan mengalamu kerugian sehingga menutup

usaha, atau apabila buruh melakukan kesalahan. Kesalahan buruh ada dua

macam, yaitu kesalahan ringan diatur dala Pasal 18 ayat (1) Permenaker N0.

Per- 4/Men/1986 dan kesalahan berat diatur dalam Pasal 158 UU No. 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

d. PHK karena putusan pengadilan dimana adanya sengketa antara

pekerja/buruh dengan pengusaha yang berlanjut ke proses peradilan.

Pasal 161 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam hal pekerja/buruh melakukan

pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan

atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan

kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan

pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan yang diberikan

berlaku paling lama 6 bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja menurut Iman Soepomo

meliputi 5 bidang hukum perburuhan22, yaitu:

a. Bidang pengerah/penempatan tenaga kerja adalah perlindungan hukum

22
JJ. H. Bruggink alih Bahasa Arief Sidarta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 157.

7
yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum ia menjalani hubungan kerja

b. Bidang hubungan kerja adalah masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak ia

mengadakan hubungan kerja dengan pengusaha. Dimana hubungan kerja

didahului oleh perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat dilakukan dalam

bata waktu tertentu atau tanpa batas waktu yang disebut dengan pekerja

tetap

c. Bidang kesehatan kerja adalag selama menjalani hubungan kerja yang

merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas

kesehatannya.

d. Bidang keamanan kerja adalah adanya perlindungan hukum bagi pekerja

atas alat-alat kerja yang dipergunakan oleh pekerja.

e. Bidang jaminan sosial buruh yang dimana telah diundangkan dalam

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja.

Perlindungan terhadap tenaga kerja yang dimaksud adalah menjamin hak-

hak dasar pekerja/buruh ketika aktif bekerja maupun sedang terjadi perselisihan

pemutusan hubungan kerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan

tanpa diskriminasi apapun sehingga menjamin rasa aman, tenteram, serta tidak

adanya tekanan dan paksaan di lingkungan kerja. Setiap orang mempunyai

kebutuhan yang beraneka ragam untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut

manusia dituntut untuk bekerja, baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun

bekerja pada orang lain. Pekerjaan yang dilakukan sendiri adalah bekerja atas

usaha modal dan tanggung jawab sendiri, sedangkan bekerja pada orang lain

8
adalah bekerja dengan bergantungan pada orang lain yang memberikan perintah

karena ia harus tunduk dan patuh pada orang yang telah memberikan pekerjaan

tersebut.23

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang

penyelesaian perselisihan hubungan industrial dimana pekerja/buruh dapat

melakukan upaya administrative atau upaya perdata. Upaya hukum melalui upaya

administratif dapat melalui upaya bipartid yang dilakukan antara pekerja/buruh

dengan penguasaha sebagai pihak yang terikat dalam hubungan kerja.24 Apabila

perundingan mencapai kesepakatan maka hasil persetujuan tersebut mempunyai

kekuatan hukum namun jika perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat

minta ajuran ke dinas tenaga kerja setempat. Sedangkan upaya hukum secara

perdata dapat dilakukan oleh pekerja apabila putusan pengusaha dalam

menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Secara perdata, pekerja

dapat menjatuhkan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 1365

BW. Upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial

akan dilakukan secara bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrase atau ke pengadilan

hubungan industrial.

Untuk itu penulis memilih judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pemutusan

Hubungan Kerja Tanpa Berdasar Hukum” (Studi kasus putusan Nomor

24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks).

23
Zainal Asikin, dasar-dasar hukum perburuhan, penerbit raja grafindo persada, Jakarta, 1997, hlm
94.
24
Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm. 175.

9
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia?

2. Bagaimanakah Tinjauan Yuridis pada kasus pemutusan hubungan kerja tanpa

berdasar hukum dalam putusan nomor 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks?

10
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaturan serta proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di

Indonesia

2. Mengetahui dan Meninjau putusan Pengadilan pada kasus pemutusan

hubungan erja tanpa berdasar hukum dalam putusan nomor 24/Pdt.sus-

PHI/2020/PN.Mks.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dalam

perkembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan masalah yang dibahas

dalam penelitian ini.

2. Secara praktis :

- Bagi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan perbendaharaan

perpustakaan yang berguna bagi mahasiswa.

- Hasil penelitian ini dapat mencadi referensi dalam perkembangan dibidang

hukum terutama dalam melihat sisi lain daripada penelitian ini.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hubungan Kerja

1. Pengertian Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal

dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan yang dilakukan antara seorang

pekerja/buruh dengan seorang pengusaha yang lahir dari perjanjian kerja yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Tanpa adanya satu unsur tersebut

maka tidak ada hubungan kerja. Hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

pengusaha merupakan hubungan yang sifatnya abstrak.25

Pengertian hubungan kerja menurut para ahli, yaitu:

a. Iman Soepomo menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara

buruh dan majikan yang terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan

majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada

majikan dengan menerima upah, dan dimana majikan menyatakan

kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.26

b. Hartoni Widodo dan Judiantoro menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah

kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seorang secara teratur demi

kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai

dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.27

25
Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm. 36
26
Maimun, Op.Cit, hlm. 41
27
Hartono dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Penerbit Raja
Wali Pers, Jakarta,1992, hlm. 10

12
c. Tjepi F. Aloewir mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah

hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari

perjanjian yang diadakan untuk jaka waktu tertentu maupun tidak tertentu.28

d. Sedjun H. Manulang mengemukakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang

diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu.29

Hubungan kerja pada dasarnya meliputi tentang pembuatan perjanjian kerja

(merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja) kewajiban buruh (melakukan

pekejaan sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan), kewajiban

pengusaha (membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari

pekerja/buruh atas upah), berakhirnya hubungan kerja, cara penyelesaian

perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan.30

Perjanjian kerja dalam Bahasa belanda disebut Arbeidsovereenkoms.

Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Dalam BW/KUHPer Pasal 1601 a Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana

pihak yang satu yaitu pekerja/buruh mengikatkan dirinya untuk bekerja pada pihak

yang lain yaitu pengusaha untuk waktu tertentu dengan menerima upah. Menurut

Iman Soepomo perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh,

28
Tjepi F. Aloewic, naskah akademis tentang pemutusan hubungan kerja dan
penyelesaian perselisihan industrial, Jakarta, BPHN, 1996, hlm. 32.
29
Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Cetakan Kedua,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 63
30
Ibid., hlm. 66

13
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima uah pada pihak lainnya, majikan

yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.31

Selanjutnya menurut Subekti perjanjian kerja adalah perjanjian antara


seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian dimana ditandai
oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaju tertentu yang diperjanjikan
dan adanya suatu hubungan di peratas (dierstverhanding) yaitu suatu
hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak
memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang
lain.32
Menurut R. Goenawan Oetomo, perjanjian kerja haruslah berdasarkan
atas pernyataan kemauan yang sepakat, dari pihak buruh kemauan
yang dinyatakan dan menyatakan untuk bekerja pada pihak majikan
dengan menerima upah dan dari pihak majikan kemauan yang
dinyatakan dan menyatakan akan mempekerjakan buruh itu dengan
membayar upah. Di samping kemauan yang sepakat antara kedua
belah pihak, harus pula ada persesuaian antara kedua belah pihak,
harus pula ada persesuaian antara pernyataan kehendak dan kehendak
yang dinyatakan itu sendiri serta kehendak itu harus dinyatakan secara
bebas dan bersungguh-sungguh.33

2. Unsur-unsur Perjanjian Kerja

Unsur dalam suatu perjanjian kerja yaitu:

a) Adanya pekerjaan (arbeid) dimana pekerja bebas sesuai dengan

kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, asalkan tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan

ketertiban umum.34

b) Dibawah perintah dimana dalam hubungan kerja kedudukan majikan

adalah pemberi kerja, sehingga ia tidak berhal dan sekaligus

31
Iman Soepomo, Loc.Cit., hlm. 57
32
Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kedua, Penerbit Alumi, Bandung, 1977, hlm. 63
33
R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan Di Indonesia,
Penerbit Grhadhika Binangkit Press, Jakarta, 2004, hlm. 38
34
Asri Wijayanti, Loc.Cit. hlm. 36

14
berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan

dengan pekerjaannya. Hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha

adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan, sehingga

bersifat subordinasi.

c) Adanya upah tertentu (loan) yang menjadi imbalan atas pekerjaan yang

telah dilakukan oleh pekerja/buruh.

d) Dalam waktu yang ditentukan dimana pekerja/buruh bekerja untuk waktu

yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak tertentu atau selama-

lamanya.35

Syarat-syarat perjanjian kerja yaitu:

a) Kesepakatan kedua belah pihak

b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan peraturan perundangan yang berlaku.36

Dimana keempat unsur perjanjian kerja diatas merupakan syarat

sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer dan Pasal

1338 menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang- Undang bagi merka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat

ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-

alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian

35
Ibid., hlm. 37
36
Ibid., hlm. 42

15
harus dilaksanakan dengan itikad baik. Bentuk perjanjian kerja adalah bebas,

dimana perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan, namun

sebaiknya perjanjian kerja dibuat secara tertulis untuk menjamin adanya

kepastian hukum. Dalam perjanjian terdapat beberapa asas, yaitu asas

kebebasan berkontrak, asas konsensual, dan asas kelengkapan.

3. Jenis-jenis Perjanjian Kerja

Dalam pembuatan perjanjian kerja pada pelaksanaanya ada beberapa

jenis perjanjian kerja yaitu:

a) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja

yang jangka waktu berlakunya ditentukan dalam perjanjian kerja.

Dimana harus dibuat secara tertulis untuk melindungi salah satu pihak

apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja.37

Dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu dilarang adanya masa

percobaan karena jika ada masa percobaan maka perjanjian tersebut bata

demi hukum. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dibuat menurut

jenis, sifat dan kegiatan pekerjaan akan selesai dalam waktu tertentu, jadi

bukan pekerjaan yang bersifat tetap.48 Mengenai berakhirnya hubungan

kerja dalam kesepakatan tertentu, terdapat dua kemungkinan, yaitu demi

hukum, dimana berakhirnya waktu atau obyek yang diperjanjiakan atau

disepakti telah lampau, dan karena pekerja meninggal dunia dengan

pengecualian jika yang meninggal dunia pihak pengusah, maka

37
Maimun, Op.Cit., hlm. 44.

16
kesepakatan kerja untuk waktu tertentu tidak berakhir.38

b) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian

kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan

hubungan kerja yang bersifat tetap. Dibuat secara tertulis atau lisan dan

tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instamsi ketenagakerjaan. Jika

dibuat secara lisan, klausul-klausul yang berlaku diantara pihak- pihak

yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dimana dalam perjanjian kerja

untuk waktu tidak tertentu biasanya ada masa percobaan (selama tiga

bulan), yang diberitahukan secara tertulis dan jika tidak ada

pemberitahuan secara tertulis maka di anggap tidak ada masa percobaan.

Selama masa masa percoban, pengusaha wajib membayar upah pekerja

dan upah tersebut tidak boleh rendah dari upah minimun yang berlaku.39

Perjanjian kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil

perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat

pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab

dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau

perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban

kedua belah pihak.40

Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat satu PKB yang berlaku bagi

seluruh pekerja/buruh di perusahaan. Pembuatan PKB dilakukan secara

38
Ibid., hlm. 45
39
R. Joni Bambang S., Loc.Cit. hlm. 116
40
R. Joni Bambang S., Op.Cit., hlm. 188

17
musyawarah antara para pihak yang berunding. Apabila musyawarah tidak

mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui proses

PPHI. Dalam PKB dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan

Bahasa Indonesia. PKB dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan

dapat diperpanjang masa berlakunya untuk paling 1 lama tahun sesuai

kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

apabila terjadi perubahan maka perubahan tersebut tidak dapat dipisahkan

dari PKB yang berlaku.41

Peraturan perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara tertulis

yang memuat ketentuan tentang syara-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.

Dimana peraturan perusahaan hanya dibuat secara sepihak oleh majikan yang

mencantumkan kewajiban pekerja/buruh dimana tidak melanggar ketertiban

umum, tata kesusilaan, serta dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.42

B. Pemutusuan Hubungan Kerja

1. Konsep Hukum Pemutusan Hubungan Kerja

Membahas mengenai permasalahan yang terjadi dibidang

ketenagakerjaan, maka masalah tersebut dapat dilihat dari berbagai factor dan

makna. Masalah ketenagakerjaan mau tidak mau haruslah dikaitkan dengan

kelangsungan hidup manusia, serta berbagai aspek kehidupan. Soal yang

sangat penting bahkan yang terpenting bagi pekerja/buruh dalam masalah

41
Maimun, Op.Cit., hlm. 135
42
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., hlm. 77-78

18
ketenagakerja adalah soal pemutusan hubungan kerja.

Dalam dunia kerja pemutusan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan

pengusaha lazim dikenal dengan istilah PHK, yang dapat terjadi karena

berakhirya waktu tertentu yang telah disepakati/perjanjikan dan dapat juga

terjadi karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha,

meninggalnya pekera/buruh atau sebab lainnya.43

Berakhirnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh berarti kehilangan mata

pencaharian, merupakan permulaan dari segala kesengsaran. Dalam teori

pekerja/buruh berhak pula untuk mengakhiri hubungan kerja, tetapi dalam

praktik pengusahalah yang mengakhirinya, sehingga pengakhiran itu selalu

merupakan pengakhiran hubungan kerja oleh pengusaha.44

Menurut Lalu Husni, pemutusan hubungan kerja merupakan suatu

peristiwa yang tidak diharapkan terjadi, terutama bagi pekerja/buruh karena

akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan keluarganya,

karena itu pihak yang terlibat dalam hubungan industrial baik pengusaha,

pekerja/buruh, atau pemerintah harus mengusahakan agar jangan terjadi

pemutusan hubungan kerja.45

Pemutusan hubungan kerja adalah langkah pengakhiran hubungan kerja

43
Ibid., hlm. 173
44
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hlm. 195
45
Asri Wijayanti., Op.Cit., hlm. 158

19
antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang disebabkan karena suatu

keadaan tertentu. Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya

waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak menimbulkan

permasalahan terhadap kedua belah pihak, berbeda dengan pemutusan yang

terjadi karena adanya perselisihan, dimana memberikan dampak terhadap

kedua belah pihak, terlebih bagi pekerja/buruh yang kedudukan ekonomis

yang lemah jika dibandingkan dengan pengusaha karena memberikan dampak

terhadap psikologi, ekonomis dan finansial.46

Dimana dengan adanya pemutusan hubungan kerja pekerja/buruh

kehilangan mata pencaharian. Dalam mencari pekerjaan yang baru

pekerja/buruh tetap harus mengeluarkan biaya, seperti biaya pembuatan surat-

surat untuk keperluan lamaran dan foto copy, juga pekerja/buruh kehilangan

biaya hidup untuk dirinya sendiri dan keluarganya.

Peran pemerintah sangat penting dalam masalah pemutusan hubungan

kerja karena bertanggung jawab atas berputarnya roda perekonomian

Indonesia dan menjamin ketertiban umum serta melindungi pihak yang

ekonominya lemah. Dalam peraturan perundang-undang pengusaha dilarang

melakukan PHK karena alasan tertentu dan PHK hanya dapat dilakukan

setelah ada penetapan dari lembaga PPHI dengan resiko batal demi hukum.

PHK harus menjadi tindakan terakhir apabila terjadi perselisihan hubungan

industrial.

46
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., hlm. 173-174

20
Dalam teori Hukum Perburuhan terdapat 4 jenis pemutusan hubungan

kerja, yaitu:

1) Pemutusan kerja demi hukum

Pemutusan hubungan kerja demi hukum adalah pemutusan hubungan

kerja yang dapat terjadi dengan sendirinya sehubungan dengan

berakhirnya jangka waktu perjanjian yang dibuat oleh majikan dan

buruh.47 Karena itulah pemutusan hubungan kerja terjadinya bukan karena

sebab-sebab tertentu baik yang dating dari pihak pekerja/buruh maupun

majikan, dalam pasal 1603e KUHPer menyebutkan “perhubungan kerja

berakhir demi hukum, dengan lewatnya waktu yang ditetapkan dalam

persetujuan maupun reglement atau dalam ketentuan Undang-Undang atau

lagi majikan itu tidak ada oleh kebiasaan”

Meskipun PHK itu terjadi dengan sendirinya namun para pihak dapat

memperjanjikan untuk mengadakan pemberitahuan apabila perjanjian

kerja akan berakhir, dimana pemberitahuan dapat diikuti dan ketentuan

apakah perjanjian kerja itu berakhir atau tidak.48

2) Pemutusan kerja oleh buruh

Dalam teori hukum perjanjian salah pihak dibolehkan untuk

memutuskan perjanjian dengan persetujuan pihak lainnya. Dimana

pekerja/buruh dapat memutuskan hubungan kerjanya dengan persetujuan

47
Soebekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Ketujuh, Penerbit Inter Masa, Jakarta, 1984, hlm. 19
48
Wiwoho soedjono, Hukum Pengantar perjanjian kerja, Cetakan Kesatu, penerbit
Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 20

21
pihak pengusaha pada setiap saat yang dikehendakinya karena dalam

KUHPer menyetarakan kedudukan pekerja/buruh dengan majikan.49

Dalam Pasal 1603i KUHPer apabila dalam perjanjian kerja

diperjanjikan adanya masa percobaan, maka selama waktu itu berlangsung

buruh berwewenang seketika mengakhiri hubungan kerja dengan

penyataan percobaan tersebut. Untuk pemutusan hubungan kerja dalam

masa percobaan tidak perlu izin dari penjabat yang berwenang. Namun

dalam prakteknya PHK oleh buruh jarang terjadi karena mencari pekerjaan

baru tidak mudah.

3) Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha adalah pemutusan yang

paling sering terjadi dan ada alasan yang menyebabkan pengusaha

melakukan PHK, misalnya pekerja/buruh melakukan kesalahan berat atau

kesalahan ringan, pekerja/buruh tidak lulus masa percobaan, dan

pengusaha mengalami kerugian sehingga menutup usaha. Dimana

pekerja/buruh berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa

kerja.50

4) Pemutusan hubungan kerja oleh putusan pengadilan

PHK yang terakhir adalah karena adanya putusan pengadilan yang

49
Koesparmono Irsan dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2016, hlm. 111.
50
Aloysius Uwiyono, et.al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, Cetakan Kedua, Edisi Kesatu,
Penerbit Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hlm. 138

22
dikarenakan sengketa antara buruh dan majikan yang berlanjut ke

pengadilan.51 Pengusaha harus berusaha sebaik mungkin untuk

menghindari terjadinya PHK. Pengusaha dapat melakukan upaya untuk

menghindari terjadinya PHK berupa pengaturan waktu kerja, penghematan

(efisiensi), pembenahann metode kerja, dan pembinaankepada

pekerja/buruh.52

Apabila segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak dapat

dihindari, dimana PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat

pekerja/serikat buruh, atau apabila pekerja/bururh tidak menjadi anggota

serikat pekerja/serikat buruh, perundingan dilakukan dengan

pekerja/buruh secara langsung, jika perundingan yang dilakukan tidak

menghasilkan kesepakatan, maka pengusaha mengajukan permohonan

penetapan PHK secara tertulis kepada Lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.53

Setelah menerima permohonan PHK Lembaga PPHI akan memanggil

para pihak untuk dimintai keterangan di persidangan. Berdasarkan

pembuktian yang dilakukan dalam persidangan, Lembaga PPHI

menetapkan keputusan yang berisi menolak atau mengabulkan PHK yang

diajukan. Selama putusan oleh Lembaga PPHI belum ditetapkan maka baik

pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan

51
Asri Wijayanti, Loc.Cit. hlm. 167
52
Maimun, Op.Cit., hlm. 99.
53
Pasal 151 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

23
kewajibannya.

Dalam hal ini harus diputuskan oleh Lembaga PPHI menyangkut

dapat atau tidak pesangon, besar kecilnya pesangon serta hak-hak, dan

keabsahan pemutusan hubungan kerja.

Prosedur pemutusan hubungan kerja menurut Lalu Husni yang

dilakukan oleh pengusaha54 adalah:

a. Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK


b. Setelah dilakukan segala usaha dimana PHK tidak dapat dihindari,

maka pengusaha harus merundingkan maksud untuk mengadakan

PHK dengan organisasi pekerja yang bersangkutan atau yang ada

diperusahaan atau dengan karyawan/tenaga kerja/pekerja sendiri

dalam hal tenaga kerja tersebut tidak menjadi anggota organisasi

pekerja.

c. Bila perundingan tersebut nyata-nyata tidak menghasilkan

persetujuan paham, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja dengan tenaga kerja setelah mendapat izin dari Panitia

Perselisihan Perburuhan Daera (P4D) bagi pemutusan hubungan kerja

perseorang dan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) bagi

pemutusan hubungn kerja secara besar-besaran.

d. P4D dan P4P menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan

kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya menurut tata cara yang

54
Lalu Husi, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,
hlm. 127-130

24
berlaku untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam

hak P4D atau P4P memberikan izin, maka dapat ditetapkan pula

kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada tenaga

kerja/karyawan yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan

uang kerugian lainnya.

e. Hal-hal yang harus dimuat dalam permohonan izin pemutusan


hubungan kerja oleh pengusaha adalah:
i. Nama dan kedudukan perusahaan

ii. Nama orang yang bertanggung jawab di perusahaan

iii. Umur dan jumlah keluarga si pekerja

iv. Jumlah masa kerja dari setiap tenaga kerja yang dimintakan

pemutusan hubungan kerja

v. Penghasilan terakhir berupa uang dan cuti tiap bulannya

vi. Alasan-alasan pengusulan PHK secara terperinci.

f. Permohonan izin PHK tidak dapat diberikan apabila PHK didasarkan

pada:

i. hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan serikat pekerja atau

dalam rangka pembentukan serikat pekerja dan melaksanakan

tugas- tugas atau fungsi serikat diluar jam kerja.

ii. Pengaduan pekerja/ tenaga kerja kepada yang berwajib mengenai

tingkat laku pengusaha yang terbukti melanggar peraturan Negara.

iii. Paham agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin

g. Permohonan izin PHK dapat diberikan dalam hal tenaga kerja/pekerja

25
melakukan kesalahan berat.

2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Undang-Undang yang mengatur

tentang pemutsan hubungan kerja adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan dibuat

memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja untuk menjamin hak- hak

dasar pekerja/buruh dan menjmin kesamaan kesempatan serta perlakuan

tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan

pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

kemajuan dunia usaha perlu dilakukan.

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja diatur dalam Pasal 150


sampai Pasal 172. Pemutusan hubungan kerja dalam Undang-Undang ini
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan
atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun
usaha-usaha sosial dan usaha-usah lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Bagi pekerja/buruh putusnya hubungan kerja berati permulaan masa

pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian

dan ketentraman hidup kaum pekerja/buruh seharusnya pemutusan hubungan

kerja tidak terjadi.55 Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (1) dijelaskan bahwa pengusaha,

pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala

55
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., hlm. 186-187

26
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

Pasal 1 ayat (2) Jika segala upaya telah dilakukan namun pemutusan

hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib

dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan

pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi

anggota serikat pekerja serikat buruh. ayat (3) dalam hal perundingan

sebagaimana dijelaskan dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan

persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan

pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial. Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan

bila perundingan mencapai persetujuan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh maka pemutusan hubungan

kerja tidak perlu memperoleh penetapan dari Lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.

Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis

kepada Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai

alasan yang menjadi dasarnya. Permohonan dapat diterima apabila telah

dirundingkan tetapi tidak menghasilkan kesepakatan. Dalam Pasal 154

dijelaskan bahwa, Penetapan tidak diperlukan jika pekerja/buruh masih dalam

masa percobaan kerja bilaman telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya

angka (a). Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara

tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi

dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja

27
waktu tertentu untuk pertama kali angka (b). pekerja/buruh mencapai usia

pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, perjanjian kerja Bersama, atau peraturan perundang-undangan

angka (c) dan pekerja/buruh meninggal dunia angka (d).

Dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

diatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja serta dasar-dasar yang

dapat dijadikan alasan PHK, termasuk larangan bagi pengusaha untuk

melakukan pemutusan hubungan kerja pada Pasal 153, yaitu:

a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan


dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus- menerus.
b. Pekerja/bruruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
d. Pekerja/buruh menikah.
e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya
f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
Bersama.
g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh diluar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama.
h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter

28
yang jangka waktu pnyembuhnnya belum dapat dipastikan.
Jika pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang dijelaskan diatas maka

akan batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali

pekerja/buruh.

Menurut Iman Soepomo alasan-alasan pemutusan hubungan kerja dapat

digolongkan menjadi 3, yaitu:

a) Alasan-alasan yang berkenaan dengan pribadi buruh atau melihat dari

pribadi buruh.

b) Alasan-alasan yang berhubungan dengan kelakuan buruh.

c) Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan.56

Pada dasarnya cara terjadi PHK ada 4 macam yaitu PHK demi hukum,

PHK oleh buruh, PHK oleh majikan dan PHK atas dasar putusan pengadilan.

a) PHK demi hukum

Berdasar ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja berakhir

apabila:

a. Pekerja meninggal dunia

b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja

c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan penetapan lembaga

56
Iman Soepomo, Op.Cit., hlm. 78.

29
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, atau

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama yang menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

b) PHK oleh pekerja/buruh

PHK oleh buruh dapat terjadi apabila pekerja/buruh

mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang

mengakibatkan buruh minta di PHK. Berdasarkan ketentuan Pasal 151

ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerja, atas kemauan pekerja/buruh tanpa ada

tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan keraj sesuai

dengan perjanjian waktu tertentu untuk pertama kali.

Ketentuan pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, dimana pekerja/buruh dapat mengajukan

permohonan pemutusan hubungan kerja kepada Lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial jika pengusaha melakukan perbuatan

sebagai berikut:

a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam


pekerja/buruh
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan

30
selama 3 bulan berturut-turut atau lebih
d. Tidak melakukan kewajiban yang tela dijanjikan kepada
pekerja/buruh
e. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehantan, dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

c) PHK oleh majikan.

Majikan yang mengalami kerugian berdasarkan ketentuan Pasal

163- pasal 165 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh,

yakni:

a. PHK massal karena perusahaan tutup akibat mengalami kerugian


terus-menerus disertai dengan bukti keuangan yang telah diaudit
oleh akuntan public paling sedikit 2 tahun teralhir, atau keadaan
memaksa (force majeur).
b. PHK massal karena perusahaan tutup karena alasan perusahaan
melakukan efisiensi
c. PHK karena perubahan status atau perubahan kepemilikan
perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah lokasi
dengan syarat-syarat baru yang sama dengan syarat-syarar kerja
lama dan pekerjaan tidak bersedia melakukan hubungan kerja
d. PHK karena perubahan status atau perubahaan kepemilikan
perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah lokasi
dengan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di
perusahaannya dengan alasan apapun.
Selanjutnya PHK oleh pengusaha dapat tejadi karena adanya kesalahan

dari buruh yang dibagi menjadi 2 macam, yakni kesalahan berat dan

kesalahan ringan.

Kesalahan berat terdapat diatur dalam Pasal 158 ayat (1), yaitu:

31
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan.
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
perusahaan
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya di lingkungan kerja.
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.Membujuk teman sekerja
atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undang.
f. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang millik perusahaanyang menimbulkan
kerugian bagi perusahaan.
g. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja
h. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepetingan neagara.
i. Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Dimana dalam Pasal (2) kesalahan berat harus didukungan dengan
buktiberupa:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan
b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan
c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang diperusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-
kurangan 2 (dua) orang saksi.
Dalam pasal (3) dan (4) pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya dapat

memperoleh uang penggantian, pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak

mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, mendapatkan uang pisah yang

besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian keja, peraturan perusahaan,

atau perjanjian kerja Bersama.

Dari Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dapat dilihat bisa menimbulkan celah hukum yang dapat

32
disalahgunakan oleh pengusaha. Dimana 3 bukti menjadi syarat adanya kesalahan

berat yang dilakukan oleh pekerja yang bersifat alternatif bukan kumulatif.

Sedangkan kesalahan ringan diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Permenaker No.

Per-4/Men/1986, yaitu:

a. Setelah tiga kali berturut-turut pekerja tetap menolak untuk menaati

perintah atau penugasan yang layak sebagai tercantum dalam perjanjian

kerja, KKB atau peraturan perusahaan.

b. Dengan sengaja atau karena lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan

demikian, sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang diberikan

kepadanya.

c. Tidak cakap melakukan pekerjaan walaupun sudah dicoba di bidang tugas

yang ada.

d. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja

Bersama, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja.

e. PHK karena putusan pengadilan.

Pemutusan oleh pengadilan biasanya terjadi atas permintaan pihak yang

bermasalah (pengusaha atau pekerja/buruh) yang disertai alasan yang menjadi dasar

penyebab hubungan kerja tidak dapat berlangsung terus.

Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan

pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hakm

33
perselisihan kepentingan, perselihan hubungan kerja, dan perselisihan antar

seerikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 Undang- Undang

Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial).

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan industrial mengenal 4 jenis perselisihan, yaitu:

a. Perselisihan hak karena tidak dipenuhinya hak, dimana hal ini timbul
karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran terhadap
ketentuan UU, PK, PP atau PKB
b. Perselisihan kepentingan karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja dalam
PK,PP, atau PKB.
c. Perselisihan PHK apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.
d. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan
karena tidak adanya kesusaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan
hak dan kewajiban keserikatan.57

Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-

Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial.

Penyelesaian melalui bipartit dalam Pasal 6 sampai Pasal 7, adalah perundingan

antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengn pengusaha untuk

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, dimana wajib diupayakan

penyelesaiannya melalui perundingan bipartite secara musyawarah untuk mencapai

mufakat yang harus diselesaikan paling lama 30 hari sejak tanggal dimulainya

perundingan. Jika dalam jangka 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding

atau tidak tercapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Penyelesaian melalui mediasi dalam Pasal 8 sampai Pasal 16, adalah

57
R. Joni Bambang, Op.Cit., hlm. 309-310

34
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan

perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaa melalui

musyawarah ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam waktu

selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian

perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkara

dan segera mengadakan sidang mediasi.

Jika tercapainya kesepakatan penyelesaiannya, maka proses seperti apa yang

dilakukan dalam penyelesaian bipartit harus berlakukan. Sementara, jika tidak

tercapai kesepakatan PPHI melalui mediasi, maka:

a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis


b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis, dalam
waktu selambat-lambatnya 10 hari pekerja setelah menerima anjuran
tertulis
d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud dalam
huruf c dianggap menolak anjuran tertulis
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaiman dimaksud
dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para
pihak membuat perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar pada
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah hukum
pihak-pihak mengadakan perjanjian Bersama untuk mengadakan akta
bukti pendaftaran, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian Bersama
f. Bilamana perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam huruf
e tidak dilaksanakan oleh salah satu diantara para pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
pengadilan.58

Penyelesaian melalui konsiliasi diatur dalam Pasal 17 sampai Pasal 29

58
Koesparmono Irsan, Op.Cit., hlm. 126-127

35
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan industrial. Adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,

perselisihan PHK atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya

dalam satu perusahaan melalui suatu musyawarah yang ditengahi oleh

seorang atau lbih konsiliator yang netral. Jika proses konsiliasi tidak

mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada

pengadilan hubungan.

Waktu yang diberikan paling lambat 7 hari kerja setelah menerima

permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah

mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya

pada hari kerja kedelapan harus sudah melakukan sidang konsiliasi pertama.

Dimana konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam

sidang guna diminta atau didengar keterangannya. Jika tercapai kesepakatan

penyelesaian perselisihan hubungan industril melalui konsiliasi, maka dibuat

perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh

konsiliator dan didaftar di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan

negeri diwilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian Bersama untuk

mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan

hubungan industrial melalui konsiliasi, maka.

a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis


b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya 10 hari sejak sidang konsiliasi pertama harus
sudah disampaikan kepada para pihak
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliatr yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis

36
dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis
d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud
pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari
kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai
membantu para pihak membuat perjanjian Bersama untuk kemudian
didaftar dipengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di
wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Penyelesaian melalui arbitrase dalam Pasal 29 sampai Pasal 54 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan

industrial adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

oleh para pihak yang bersengketa. PPHI melalui arbitrase meliputi

perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekera/serikat buruh

hanya dalam satu perusahaan. PPHI melalui arbiter dilakukan atas dasar

kesepakatan para piahk yang berselisih. Kesepakatan para pihak yang

berselisih dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat

rangkap 3 dan masing- masing pihak mendapatkan satu yang mempunyai

kekuatan hukum yang sama.

3. Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak

PHK Sepihak adalah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh

perusahaan tanpa melalui proses hukum atau penetapan Lembaga

penyelesaian hubungan industrial dan merupakan awal penderitaan bagi

pekerja/buruh karena PHK yang dilakukan perusahaan akan membuat hak-

hak pekerja/buruh hilang. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

37
Tentang Ketenagakerja Pasal 151 ayat (2), (3) jo Pasal 155 ayat (1) dan Pasal

170 tidak diatur adanya PHK Sepihak.

Dalam ketentuan pasal 151 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerja dijelaskan bahwa PHK tidak boleh

dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan terlebih

dahulu, bila perundingan tidak menghailkan persetujuan, maka pengusaha

hanya dapat memutuslan hubungan kerja pekerja/buruh setelah memperoleh

penetapa dari Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial begitu

juga dengan ketentuan Pasal 151 ayat (3).

Pemutusan hubungan kerja tanpa adanya penetapan dari Lembaga

penyelesaian hubungan industrial akan batal demi hukum (Pasal 155 ayat 1)

dan selama putusan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap

melaksanakan segala kewajiban (Pasal 155 ayat (2). Dalam Pasal 15 ayat (3)

pekerja/buruh harus tetap bekerja dan pengusaha tetap harus membayar upah

pekerja/buruh selama belum ada keputusan dari Lembaga penyelesaian

hubungan industrial, namun pengusaha dapat melakukan pengecualian

berupa tindakan skorsing kepada pekera/buruh yang sedang dalam prose PHK

dengan tetap mebayarkan upah serta hak-hak yang biasa diterima

pekerja/buruh.

Dimana jika perusahaan tetap tidak mau menerima si pekerja/buruh dan

tetap tidak mau membayarkan gajinya, maka menurut Pasal 96 Undang-

38
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

industrial, apabila dalam persidangan pertama secara nyata pihak pengusaha

terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, maka hakim ketua sidang harus

segera memberikan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk

membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh

yang bersangkutan. Jika putusan sela tersebut tidak dilaksanakan oleh

pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah

Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan sela tersebut tidak dapat

diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.

Bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK maka alasan PHK dapat

menentukan pekerja/buruh berhak atau tidak atas uang pesngon, uang

penghargaan dan uang penggantian hak yang dimana diatur dalam Pasal 156,

asal 160 sampai dengan Pasan 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan hukum yang

diberikan.

Dari penjelasan yang diatas dapat diketahui bahwa Hubungan kerja

terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan

pengusaha, dimana perjanjan kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan

dengan peraturan yang berlaku. Dalam perjanjian kerja harus memuat tentang

hak-hak dan kewajiban yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.

Dalam perjanjian kerja terdapat 2 pelaksanaan yaitu perjanjian kerja untuk

waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu

(PKWTT).

39
Dimana dalam perjanjian kerja terdapat perjanjian kerja Bersama yang

merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau

beberapa serikat pekera/serikat buruh dengan pengusaha yang memuat syara

kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sedangkan peraturan perusahaan

adalah ketentuan tentang syarat kerja serta tata tertib yang dibuat oleh

perusahaan.

Dari penjelesan tentang konsep PHK SEPIHAK dan PHK dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan diatas penulis menyimpulkan

bahwa masalah ketenagakerjaan dapat dilihat dari berbagai faktor dan makna.

Dimana berakhirnya hubungan kerja yang dialami pekerja/buruh akan

membuat pekerja/buruh menderita karena kehilangan mata pencaharian untuk

membiayai keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya.

Dimana dalam ketentuan perundang-undang dijelaskan bahwa

pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu

hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja/buruh dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena

berakhirnya waktu yang telah ditetapkan tidak menimbulkan masalah antara

kedua belah pihak. Namun bila pemutusan hubungan kerja yang dilakukan

pengusaha kepada pekerja/buruh secara sepihak akan menimbulkan

permasalahan.

Pengusaha dan pekerja/buruh dengan segala upaya harus

mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, namun bila

upaya yang dilakukan gagal maka wajib melakukan perundingan. Jika

40
perundingan tetap tidak menghasilkan persetujuan maka Pengusaha baru

dapat melakukan pemutusan hubungan setelah mendapatkan penetapan dari

Lembaga penyelesaian perselisihan.

Dimana dalam hal pemutusan hubungan kerja pengusaha dapat

melakukan pemutusan jika pekerja/buruh melakukan kesalahan berat atau

kesalahan ringan. Untuk memberikan perlindugan hukum yang diberikan

untuk pekerja/buruh yang di PHK adalah menyangkut kebenaran status

pekerja dalam hubungan kerja serta kebenaran alasan dilakukan PHK.

Pengusaha diwajibkan memberikan hak-hak yang dimiliki pekerja/buruh

sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja yang berupa uang pesangon

unag penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

Dalam penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan wajib dilaksanakan

oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat buruh secara musyawarah untuk

mufakat, jika penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai,

maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang di atur dalam Undang-Undang.

Penyelesaian melalui Bipartit, Mediasi, Konsilisasi dan Arbitrase.

41
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum doktrinal.59 Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji atau

menganalisis isi putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 24/Pdt.sus-

PHI/2020/PN.Mks, bahan-bahan pustaka dan perundang-undangan yang berkaitan

dengan penelitian ini.

B. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum

Jenis data dari penelitian ini adalah data sekunder. Data yang dimaksud terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum mengikat, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. KUH Perdata

c. Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan objek penelitian ini.

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan

dapat membantu menganalisis dan memahami bahan primer.

59
Said Sampara, Metode Penelitian Hukum, (Kretakupa Print, Makassar), 2017, hlm 44.

42
3. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.

C. Tujuan Pengumpulan Bahan Hukum

1. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu pengkajian informasi tertulis yang berkaitan mengenai

hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta

dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dliakukan

untuk memperoleh data sekunder yaitu dengan cara membaca dan mengutip

literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas.

2. Studi Dokumen

Studi dokumen yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak

dipublikasikan secara umum tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu. Studi

dokumen dilakukan untuk mengkaji Putusan Pengadilan Negeri Makassar

Nomor 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks.

D. Analisis Bahan Hukum

Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan analisis kualitatif dengan tahapan

pengumpulan data, mengklasifikasikan, menghubungkan dengan teori dan masalah

yang ada, selanjutnya menarik kesimpulan guna menentukan hasilya. Kemudian

diuraikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan

sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

43
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PENGATURAN TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Undang-undang No 13 tahun 2003 pasal 1 angka 25 menjelaskan bahwa pemutusan

hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu

yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan

pengusaha.

Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam undang-undang nomor

2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Dengan berlakukan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI tersebut, undang-undang

Nomor 12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta dan

undang-undang nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan

pelaksanaan kedua undang- undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI.

Pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan,

ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi

pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau

tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik

milik swasta maupun milik Negara, maupun usaha- usaha sosial dan usaha-usaha

lain yang memiliki pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar

upah atau imbalan dalam bentuk lain.

44
UU ketenagakerjaan 2003 pun mengatur tata cara pelaksanaan PHK sehingga ada

acuan yang dapat digunakan oleh pekerja untuk mencermati keputusan PHK yang

dilakukan oleh pihak pengusaha/perusahaan UU ketenagakerjaan 2003 mewajibkan

kepada pihak pengusaha/perusahaan untuk terlebi dahulu mengajukan permohonan

izin melakukan PHK kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (LPPHI).

Selama masa menunggu keputusan dari LPPH baik pengusaha maupun pekerja

tetap menjalankan kewajibannya seperti semula. Kecuali jika pengusaha

melakukan skorsing kepada pekerja, pekerja/buruh yang sedang dalam proses

pemutusan hubungan kerja tetap menerima upah beserta hak-hak lainya yang biasa

diterima.

Menurut UU ketenagakerjaan 2003 pasal 154, penetapan atas permohonan izin

PHK hanya akan dikeluarkan jika dalam perundingan antara pengusaha dan pekerja

mengalami kegagalan.

B. TINJAUAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TANPA BERDASAR

HUKUM pada Putusan Nomor 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks.

1. Duduk Perkara

Penggugat adalah karyawan CV. CAHAYA SURYA, berkerja sejak 5 Desember

2016 sampal dengan 30 Juli 2020 Tergugat adalah sebuah perusahaan besar yang

bergerak di bidang Penjualan dan distribusi Ban Kendaraan yang ada di Kota

Makassar PenggugatadalahburuhyangbekerjapadaTergugatdanmenerimaupah

45
setiap bulannya dan terkahir dibayarkan pada Juni 2020 dengan upah sebesar Rp.

4.750.000,- (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). awalnya Penggugat

diterima sebagai Karyawan Tergugat yang ditempatkan khusus di bagian

administrasi stok yang bertugas mengadminstrasikan segala jenis transaksi manual

kedalam computer. Namun karena Penggugat memiliki kemampuan IT maka sering

juga membantu menyelesaikan masalah computer yang terjadi di CV. CAHAYA

SURYA (Tergugat).

selain sebagai administrasi, Penggugat kadang melayani complain pegawai yang

bekerja pada Tergugat yang bermasalah dengan komputernya, dan sudah puluhan

masalah computer yang di perbaiki dan tanpa bayaran. Bahwa Pimpinan Tergugat

sering berkonsultasi kepada Penggugat tentang spesifikasi computer yang cocok di

Perusahaan Tergugat, bahkan Penggugat telah merekomendasikan program

antivirus yang dapat melindungi computer ketika computer Tergugat akan di

onlinekan. selain bekerja di CV. CAHAYA SURYA, Penggugat juga sering

melayani keluhan computer di perusahaan kedua milik Tergugat yakni di PT.

TIFUNINDO RAYA yang terletak di jalan Kima Raya.

atas perintah atasan kemudian Pengugat memeriksa computer di perusahaan kedua

Tergugat dan ternyata ditemukan masalah yakni terjangkit Virus dan menyebabkan

kerusakan pada system dan telah memberitahukan kepada Pemilik Perusahaan.

Bahwa Penggugat tidak langsung mengerjakan computer yang terserang virus

karena terbentur juga dengan pekerjaan utama Penggugat. selanjutnya Tergugat

melalui anaknya menyampaikan ada 2 (dua) computer yang dibawa ke Tempat

46
sevice yakni computer pertama yang sering dipakai Penggugat dan juga computer

yang ada di PT. TIFUNINDO RAYA. Bahwa karena situasi tersebut, kemudian

karena tidak adanya computer yang biasa dipakai oleh Penggugat maka Penggugat

meminjam computer admin yang lain yaitu milik karyawan ibu Kurnia. Bahwa

selain meminjam computer milik ibu kurnia, Pengugat juga meminjam computer

admin yang lain juga yakni computer milik Juliana, untuk melakukan print.

ketika Penggugat masuk pada tanggal 30 Juli 2020, Tergugat kemudian

menyampaikan bahwa Penggugat telah merusak system database computer milik

Tergugat dan ketika Penggugat berusaha untuk memperbaikinya Tergugat tidak

diperken an kan un tu k melaku kan perbaikan atas tu duh an tersebu t dan

menyerahkan kepada tempat service computer Bumi Makmur. dan hasil

pemeriksaan computer milik Tergugat di tempat service computer BUMI

MAKMUR, hasilnya adalah terdapat 42 Virus dan dilakukanlah recovery data dan

sebagian data data dapat dikembalikan namun ada database yang rusak dan tidak

bisa diperbaiki oleh tempat service computer Bumi Makmur.

pada hari yang sama, Penggugat kembali ke perusahaan Tergugat, namun pada saat

berbicara dengan Pemilik Perusahaan (Tergugat), Penggugat dinyatakan berbuat

kesalahan yang fatal karena merusak computer Tergugat. Bahwa atas tuduhan

Tergugat tersebut Penggugat merasa tidak melakukan apa- apa karena pada saat

meminjam computer admin yang lain karena Penggugat mengerjakan pekerjaan

yang selalu dilakukan yakni mengimput segala jenis transaksi manual kedalam

computer. selanjutnya Tergugat juga membuat dan menyerahkan Surat Pernyataan

47
dengan nomor : 002/CS-HR/VII/2020 tentang Surat Pernyataan Pemutusan

Hubungan Kerja tertanggal 30 Juli 2020 yang ditandatangani oleh SHIOEL

CHANDRA selaku Pimpinan CV. CAHAYA SURYA (Tergugat) yang isinya

Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan Penggugat dikarenakan

pelanggaran berat yaltu menyebabkan kerusakan pada system master data

perusahaan sehingga menghambat perkejaan admin kantor secara menyeluruh.

Bahwa atas surat tersebut, Tergugat menawarkan 1 (satu) kali gaji kepada

Penggugat, namun Penggugat menolah hal tersebut dan memilih untuk mengajukan

keberatan atas tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh Tergugat tersebut.

karena merasa tidak bersalah dan tentunya melanggar ketentuan Pasal 161 ayat (1)

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 maka Penggugat mengajukan aduan atas

tindakan Tergugat pada Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Makassar agar

dapat dimediasi oleh Pejabat Mediator Ketenagakerjaan. kemudian oleh Pihak

Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Makassar telah memanggil para pihak

secara patut secara berturut-turut yakni Perundingan I, Perundingan II dan

Perundingan III namun tidak membuahkan hasil. dan hasil Perundingan tersebut,

tidak ditemukan kata sepakat sehingga kemudian oleh Dinas Ketenagakerjaan

Pemerintah Kota Makassar kemudian mengeluarkan Anjuran Nomor

1831/Disnaker/5651/IX/2020 tertanggal 14 September 2020 sebagai berikut:

I. Agar pimpinan perusahaan CV. CAHAYA SURYA dapat

mempertimbangkan Kembali/membatalkan surat Pemutusan Hubungan

Kerja Sdr. Wellington Dumalang (pekerja).

48
II. Agar pimpinan pimpinan perusahaan CV. CAHAYA SURYA memanggil

kembali pekerja Sdr. Wellington Dumalang untuk bekerja seperti semula.

III. Agar pekerja Sdr. Wellington Dumalang dapat menerima surat panggilan

masuk bekerja oleh pimpinan perusahaan perusahaan CV. CAHAYA

SURYA.

IV. Agar baik Pimpinan perusahaan CV. CAHAYA SURYA maupun pekerja

Sdr. Wellington Dumalang membenikan jawaban selambat-lambatnya 10

(sepuluh) hari setelah menerima surat Anjuran ini.

Pihak Tergugat dan ajuran Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Makassar tidak

melakukan anjuran tersebut. Penggugat melakukan tindakan atau upaya-upaya

hukum dengan mengirimkan Surat Teguran (Somasi) pada bulan 26 Nopember

2020 kepada Pihak Tergugat namun oleh Pihak Tergugat tidak menunjukkan itikad

baik guna menyelesaikan perkara ini, yang kemudian langkah selanjutnya yaitu

dengan harus memasukkan Gugatan pada Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan Negeri Makassar

karena tindakan Tergugat telah menunjukkan itikad yang kurang baik “habis manis

sepah dibuang” yang dikategorikan sebagai perlakuan yang tidak manusiawi,

karena Tergugat tidak pernah sama sekali mau menghargai jerih payah dan kucuran

keringat Penggugat sebagaimana seorang Pekerja/Buruh yang mempunyai harkat

dan martabat yang harus diganti. karena sekalipun Penggugat dikembalikan bekerja

maka sudah pasti akan terjadi diharmonis hubungan pekerja antara Penggugat dan

Tergugat. Selain itu, Tergugat telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

49
sepihak kepada Penggugat, maka dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat

(3) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga

dengan demikian hubungan pekerja sidah tepat menyatakan putusan hubungan

kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak dijatuhkan putusan.

berdasarkan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut penggugat berhak

memperoleh Uang Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berupa Uang

Pesangon 2 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa kerja 1 x

ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesual dengan dengan

ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

serta upah selama proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seusai dengan SEMA

No. 3 Tahun 2015. dikarenakan Penggugat dinyatakan belum Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) secara resmi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) dan (3)

Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Maka dengan

demikian, Tergugat dibebankan dengan upah proses sebagaimana dalam

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1 /Yur/PHI/2018 yang berbunyi:

“Upah proses dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah


selama-lamanya 6 bulan, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 3 Tahun 2015.”

Bahwa dalam SEMA No. 3 Tahun 2015, menyatakan: “Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) No. 37/PUU/-IX/2011, tertanggal 19 September

2011 terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM

PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan

50
waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 2

Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi

menjadi tanggung jawab para pihak.

atas hal tersebut maka perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan

masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses PHK terhadap perkara a quo

guna mencegah Tergugat menghindarkan diri dari kewajibannya untuk membayar

kewajibannya kepada Penggugat, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 277 HIR,

maka dimohon kepada Majelis Hakim yang mulia untuk meletakkan Sita Jaminan

(CB) atas barang bergerak maupun tidak bergerak rnilik Tergugat yaitu:

a. (satu) unit Kendaraan Mitsubishi Fuso Plat Nomor : DD 8400 SY atas nama

CV. CAHAYA SURYA

b. (satu) unit Kendaraan Daihaitsu Gran Max Jenis Pick Up Warna Biru

Nomor Plat DD 8664 DV atas nama SHIOEL CHANDRA.

Yang dimohonkan dalam Putusan Sela sementara Perkara ini berjalan dalam proses

atau diperiksa.

Karena Penggugat memiliki alasan hukum dan memiliki bukti yang sempurna,

untuk itu wajar dan beralasan hukum apabila Penggugat meminta kepada Ketua

Pengadilan Negeri Makassar cq. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili

perkara ini untuk menyatakan putusan yang dapat dilaksanakan Iebih dahulu

(u/tvoerbaar bfj voorraad) meskipun upaya Kasasi.

2. Tuntutan Penggugat

51
Berdasarkan uraian posita gugatan di atas, maka dengan ini Penggugat memohon

perkenaan Majelis Hakim yang mulia agar kiranya berkenan untuk menjatuhkan

putusan sebagai berikut:

1. MengabulkangugatanPenggugatuntukseluruhnya.;

2. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat putus demi

hukum, sejak putusan diucapkan.;

3. Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap Penggugat tanpa berdasar hukum.;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar Upah Pesangon Penggugat beserta

hak-hak lainnya.

5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap harta benda milik

Tergugat yaitu baik bergerak maupun tidak bergerak yaitu

- 1 (satu) unit Kendaraan Mitsubishi Fuso Plat Nomor : DD 8400 SY atas

nama CV, CAHAYA SURYA.

- 1 (satu) unit Kendaraan Dahaitsu Gran Max Jenis Pick Up Warna Biru

Nomor Plat DD 8664 OV atas nama SHIOEL CHANDRA.;

6. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan lebih dulu sekalipun terdapat

Upaya Hukum (Uitvoeraar bij voorraad).;

7. MenghukumTergugatuntukmembayarbiayaperkara.;

Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain agar dapat memberikan putusan yang

seadil adilnya (ex aequo et bono).

52
3. Putusan

Bahwa terhadap tuntutan tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai

berikut;

Menimbang, bahwa oleh karena dalam gugatannya Penggugat telah mengajukan

tuntutan pembayaran uang pesangon dan hak-hak lainnya, menurut Majelis Hakim

pada dasarnya Penggugat tidak berkehendak lagi untuk melanjutkan hubungan

kerjanya dengan Tergugat, namun demikian apakah pemutusan hubungan kerja

yang dilakukan Tergugat telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-

undangan yang berlaku, Majelis Hakim terlebih dahulu akan memeriksa prosedur

pemutusan hubungan kerja sebagamana diatur dalam Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 151 ayat (3) Jo. Pasal 155 ayat (1)

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha hanya

dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh

penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, tanpa

penetapan tersebut maka pemutusan hubungan kerja yang dilakukan batal demi

hukum;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 yang isinya menerangkan hal yang sama

dengan bukti T-3 yaitu tentang surat Pernyataan Pemutusan Hubungan Kerja

terhadap Welington Dumalang (in casu Penggugat) tertanggal 30 Juli 2020, artinya

terhitung sejak tanggal tersebut Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan

53
kerja terhadap Penggugat faktanya sampai dengan diperiksanya perkara ini, belum

ada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang memutus hubungan kerja antara

Penggugat dengan Tergugat, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151 ayat (3)

Jo. Pasal 155 ayat (1) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan tersebut di atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana bukti P-

1 dan T-3 batal demi hukum dengan demikian terbukti benar bahwa pemutusan

hubungan kerja yang dilakukan Tergugat tidak berdasar hukum sehingga terhadap

tuntutan Penggugat untuk menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap Penggugat tanpa berdasar hukum dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 dan bukti T-3, Tergugat melakukan

pemutusan hubungan kerja karena Penggugat telah melakukan kesalahan berat

yaitu merusak system master data perusahaan sehingga menghambat pekerjaan

admin kan tor secara menyelu ruh, terhadap alasan pemutusan hubungan kerja

tersebut selanjutnya Majelis Hakim akan memeriksa alasan dilakukannya

pemutusan hubungan kerja serta hak-hak yang seharusnya diberikan kepada

Penggugat;

Menimbang, bahwa dalan jawabannya Tergugat telah medalilkan bahwa Penggugat

diputus hubungan kerjanya karena telah melakukan kesalahan berat sebagaimana

diatur dalam Peraturan Perusahaan.

Menimbang, bahwa Berdasarkan bukti T-6 tentang Peraturan Perusahaan CV.

Cahaya Surya, perbuatan sebagaimana yang didalilkan Tergugat dalam

jawabannya, telah diatur sebagai berikut :

54
Pasal 9 ayat (2)

Macam Tindak Kedisiplinan Tentang Tindak Kedisiplinan Dapat Diberikan

Kepada Karyawan, (pada huruf e):

“ PHK dengan alasan mendesak, PHK dapat dilakukan tanpa adanya surat

peringatan apabila karyawan melakukan tindakan-tindakan yang dikategorikan

pelanggaran berat sebagaimana ditetapkan didalam peraturan perusahaan ini “;

Pasal 9 ayat (6) :

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan mendesak/pelanggaran berat, apabila

karyawan :

Huruf o :

“menyebabkan kebakaran, gangguan, pencurian, atau kecelakaan lain disebabkan

kelalaiannya yang menyebabkan keruagian perusahaan“

Menimbang, bahwa dalam surat gugatannya Penggugat secara jelas menyebutkan

latar belakang pendidikannya adalah S1 (Ilmu Komputer), demikian pula pada dalil

gugatan nomor 5, Penggugat mendalilkan antara lain kadang melayani keluhan

karyawan lain yang computernya bermasalah dan sudah puluhan computer yang

diperbaiki. Dalil gugatan ini dikuatkan pula oleh saksi saksi Penggugat yaitu

ASRUL memberikan keterangan bahwa Penggugat paham dengan masalah

computer, saksi lainnya yaitu BEATRIX L menerangkan bahwa saksi biasa

konsultasi kepada Penggugat via handphone untuk menanyakan masalah computer

karena saksi tahu kalau Penggugat itu sarjana ilmu computer. Berdasarkan

keterangan mengenai latar belakang pendidikan Penggugat, dalil gugatan

55
Penggugat pada nomor 5 serta keterangan saksi ASRUL dan BEATRIX L, Majelis

Hakim berkesimpulan bahwa Penggugat memiliki pengetahuan yang cukup

mengenai komputerisasi;

Menimbang, bahwa sebagaimana keterangan yang diberikan oleh saksi Tergugat

yaitu KURNIA SEHUDDIN, bahwa pada waktu terjadinya kerusakan computer

pada system data base, saksi sedang off kerja dan yang masuk kerja hanya

Penggugat, oleh karena computer yang digunakan Penggugat rusak maka ketika itu

Penggugat menggunakan computer yang digunakan oleh saksi. Sebelum saksi off

kerja semua computer dalam keadaan baik kecuali computer Penggugat. Namun

ketika saksi masuk kerja semua computer yang ada di ruang kerja saksi rusak dan

datanya hilang dan computer yang digunakan saksi itu adalah server data atau pusat

penyimpanan data untuk semua data computer, saksi Kurnia Sehuddin kemudian

melapor ke saksi FELICIA JULIANA THEOSWIN selaku atasan saksi Kunia

Sehuddin dan Penggugat, lalu saksi FELICIA JULIANA THEOSWIN menelpon

Penggugat menanyakan perihal kerusakan tersebut dan Penggugat mengatakan

bahwa mungkin karena flashdisk yang dicolokkan. Berdasarkan keterangan yang

diberikan oleh ASRUL dan Beatrix L keduanya adalah saksi dari Penggugat serta

keterangan yang diberikan oleh Kurnia Sehuddin dan Felicia Juliana Theoswin

keduanya adalah saksi dari Tergugat serta fakta persidangan tentang latar belakang

pendidikan Penggugat, menurut Majelis Hakim seharusnya Penggugat tahu bahwa

computer yang digunakannya saat itu adalah computer kerja yang digunakan saksi

Kurnia Sehuddin yang merupakan server atau data base dari semua computer yang

56
ada, Penggugat seharusnya lebih berhati-hati dan teliti ketika akan

mengoperasionalkan computer termasuk ketika akan mencolokkan flashdisk;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan dari saksi Kurnia Sehuddin dan saski

Felicia Juliana Theoswin tersebut Majelis Hakim menyimpulkan bahwa kerusakan

pada system data base terjadi pada saat Penggugat menggunakan computer saksi

Kurnia Sehuddin, sedangkan computer tersebut adalah server atau pusat data untuk

semua kompeter yang ada sehingga semua computer lainnya pun mengalami

kerusakan atau kehilangan data pula. Menurut keterangan saksi Tergugat yaitu

ROY IRWAN DESAN, karena kerusakan pada system data base itu, semua system

kerja dilakukan secara manual dan hal itu berlangsung kurang lebih antara 4 sampai

5 bulan lamanya. Oleh karena kerusakan system data base terjadi pada saat

Penggugat yang menggunakan computer dan pada saat itu hanya Penggugat yang

bekerja di ruangan maka menurut Majelis Hakim kerusakan terjadi karena sebab

kelalaian Penggugat dan hal tersebut menurut ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf e dan

ayat (6) huruf o Peraturan Perusahaan CV. Cahaya Surya adalah kesalahan berat

dan dapat dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerja atau dengan kata lain

terbukti bahwa benar Penggugat telah melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan

Perusahaan CV. Cahaya Surya;

Menimbang, bahwa terhadap pemutusan hubungan kerjanya Penggugat telah

mengajukan tuntutan pembayaran sejumlah uang yaitu uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja, uang penggantian hak serta pembayaran upah proses

selama 6 (enam) bulan terhitung sejak diputus hubungan kerjanya, namun oleh

57
karena telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa pemutusan hubungan kerja yang

dilakukan oleh Tergugat batal demi hukum, sedangkan untuk memeriksa dan

mempertimbangkan mengenai pembayaran sejumlah tersebut harus terlebih dahulu

jelas tentang putusnya hubungan kerja antara kedua pihak, dan untuk memberikan

kepastian hukum terhadap telah putusnya hubungan kerja antara Penggugat dengan

Tergugat, maka Majelis Hakim menyatakan bahwa hubungan kerja antara

Penggugat dengan Tergugat putus demi hukum sejak putusan dibacakan;

Menimbang, bahwa terhadap hak-hak pekerja/buruh yang diputus hubungan

kerjanya karena melanggar ketentuan Peraturan Perusahaan, Majelis Hakim

mempertimbangkan dengan berdasarkan ketentuan Pasal 161 ayat (3) Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, sebagai berikut :

“ Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang uang pesangon sebesar 1

(satu) ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)

kali ketentuan psal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal

156 ayat (4).”

Sedangkan mengenai upah proses, Majelis Hakim mengacu pada ketentuan SEMA

NOMOR 3 Tahun 2015, sebagai berikut :

“ Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 37/PUU/IX/2011 tertanggal 19

September 2011 terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah

MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6

58
BULAN. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam

Undang- undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak “

Menmbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 161 ayat (3) Undang- undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan SEMA NOMOR 3 Tahun

2015 tersebut di atas, maka terhadap tuntutan Penggugat pada nomor 4 dapat

dikabulkan menjadi :

Menghukum Tergugat untuk membayar Pesangon Penggugat beserta hak-hak

lainnya .

Menimbang, bahwa oleh karena sampai dengan diputusnya perselisihan dalam

perkara ini tidak ada penetapan yang meletakkan sita jaminan terhadap harta benda

milik Tergugat maka tuntutan menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap

harta benda milik Tergugat yaitu baik bergerak maupun tidak bergerak yaitu 1

(satu) unit kendaraan Mitsgubshi Fuso plat Nomor DD 8400 SY atas nama CV.

Cahaya Surya dan 1 (satu) unit kendaraan Daihatsu Gran Max Pick Up warna biru

nomor plat DD 8664 OV atas nama Shioel Chandra, tidak dapat dikabulkan dan

harus ditolak ;

Menimbang, bahwa berdasarkan segala sesuatu yang telah dipertimbangkan diatas

dan mengesampingkan bukti-bukti lainnya, telah cukup alasan bagi Majelis Hakim

mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak gugatan Penggugat

untuk selain dan selebihnya ;

59
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat dinyatakan dapat didikabulkan

untuk sebahagian, maka Tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara ini

dihukum untuk membayar biaya perkara, namun karena nilai gugatan dalam

perkara ini di bawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) maka

berdasarkan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial biaya perkara tersebut dibebankan

kepada negara yang sampai saat ini diperkirakan sebesar Rp. ; 190.000 ,-

Memperhatikan, ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial dan peraturan-peraturan lain yang bersangkutan;

MENGADILI :

Dalam Eksepsi :

- Menolak Eksepsi Tergugat

Dalam Pokok Perkara :

1. MengabulkanGugatanPenggugatuntuksebagian.

2. Menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap Penggugat tanpa berdasar hukum.

3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus demi

60
hukum sejak putusan dibacakan.

4. Menghukum Tergugat untuk membayar Pesangon Penggugat beserta hak-

hak lainnya.

5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

6. Membebankan biaya perkara yang timbul dalam pemeriksaan perkara ini

kepada Negara sebesar Rp. 190.000,- (seratus semblian puluh ribu rupiah);

61
C. Analisis Terhadap PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TANPA

BERDASAR HUKUM pada Putusan Nomor 24/Pdt.sus-

PHI/2020/PN.Mks.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Hubungan Industrial dalam pasal 3 ayat 1

yang menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan diwajibkan menempuh upaya

perundingan bipartit terlebih dahulu. Dalam kasus ini, proses penyelesaian

langsung ketahap penyelesaian dengan prundingan tripartit yakni dengan

penyelasaian mediasi.

PHK sepihak yang dilakukan Pimpinan CV. Cahaya Surya terhadap Penggugat

tersebut melanggar hukum oleh karenanya PHK tersebut semestinya dinyatakan

belum berkekuatan hukum berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:

1. Penggugat telah mengalami PHK padahal Penggugat belum ada mendapat

Surat Peringatan (SP) dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan secara terus

menerus

2. Penggugat tidak ada melakukan pelanggaran berat yang dapat dijadikan

alasan PHK dan tanpa adanya peringatan terlebih dahulu sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 158 Undang-Undang R.I. Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan;

3. PHK terhadap Penggugat tidak (belum) mendapat persetujuan dari

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Makassar

62
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang R.I.

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

Dalam hal ini sesuai dengan kasus PHK sepihak yang dilakukan Pimpinan CV.

Cahaya Surya terhadap Penggugat telah mengakibatkan ketidaksesuaian dengan

peraturan UUK, menimbulkan terjadinya perselisihan hubungan industrial.

Pengugat yang telah melaporkan penanganan pengaduan atas PHK sepihak kepada

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan

mediasi. Namun proses mediasi tidak tercapai kesepakatan. Berdasarkan surat

anjuran yang dikeluarkan mediator, penggugat memohon keadilan dengan

mengajukan gugatan Perselisihan PHK di Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Makassar.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004 yang menyatakan “Dalam hal Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para

pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat”.

Dalam buku hukum perjanjian karangan Prof. Subekti, dalam bab VI mengenai

saat dan tempat lahirnya perjanjian, tentang materi adanya persesuaian paham dan

persesuaian kehendak pada dasarnya asas konsensualisme suatu perjanjian lahir

pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan anatara kedua belah pihak

mengenai halhal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat itu

adalah persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak. Dalam lingkup yang

63
kecil dan spesifik persesuaian kehendak itu dapat dinyatakan dengan tegas secara

langsung, namun dalam perkembangannya persesuain kehendak tersebut tidak

harus dinyatakan secara tegas melalui lisan dan juga tidak menjadikan jaminan

dinyatakan secara langsung oleh kedua belah pihak. Yang terpenting dalam hal ini

bukan lagi terhadap pernyataan kehendak, tetapi juga dari apa yang dinyatakan oleh

seseorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk

orang lain. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian dianggap

telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh

pihak lain, dengan kata lain pernyataan/kehendak yang dikeluarkan oleh suatu

pihak itu disanggupi oleh pihak lain untuk dilakukan.

PHK yang sewenang-wenang telah menyebabkan Penggugat kehilangan

pekerjaan sebagai sumber penghidupan sehari-hari. PHK secara sewenang- wenang

tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 ayat (1) dan (2) UUK yang pada

azasnya melarang pengusaha melakukan PHK secara sewenang- wenang, sehingga

semestinya Tergugat mendapat sanksi hukum sepantasnya, selanjutnya dihukum

untuk membayarkan hak- hak pekerja menurut ketentuan Pasal 163 ayat (2) UUK

yang berbunyi: “Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dalam

hal terjadi perubahan status, penggabun gan, peleburan, atau perubahan

kepemilikan perusahaan dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di

perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas Uang Pesangon sebesar 2 (dua)

kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1 (satu)

kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal

156 ayat (4)”.

64
Maka sudah sepantasnya penggugat mendaptkan hak-haknya yang telah diatur

dalam UUK.

65
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tersebut diatas adalah :

1. Proses Penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial dapat diselesaikan melalui dua jalur, yaitu

penyelesaian di luar Pengadilan Hubungan Industrial (non litigasi) dan

penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (litigasi).Apabila

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan di luar

Pengadilan Hubungan Industrial tidak mencapai kesepakatan, maka

penyelesaian perselisihan dapat dilanjutkan untuk diselesaikan di

Pengadilan Hubungan Industrial (litigasi).

1. Secara yuridis, Putusan Nomor: 24/Pdt.sus-PHI/2020/PN.Mks tentang

penyelesaian kasus Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak yang

dilakukan oleh CV. CAHAYA SURYA terhadap penggugat telah sesuai

berdasarkan Undang-Undang Ketenagaerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

66
B. Saran

1. Pada UUK agar di dalam peraturan perundang-undangan lebih rinci lagi

dengan mengatur hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, sehingga

memperkecil terjadinya perselisihan hubungan industrial. Selain itu, instansi

yang terkait di bidang ketenagakerjaan juga lebih memperdalam fungsi

pengawasannya.

2. Pengusaha diharapkan lebih menaati ketentuan peraturan perundang-

undangan tentang ketenagakerjaan yang mengatur mengenai hubungan kerja

dan pemutusan hubungan kerja, sehingga tidak terjadi perselisihan pemutusan

hubungan kerja di kemudian hari. Serta mengangkat karyawan yang telah

bekerja selama 3 tahun menjadi karyawan tetap sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Bagi pekerja sebaiknya bekerja lebih hati-hati dan mengikuti peraturan di

perusahaan, sehingga memperkecil kemungkinan pengusaha dalam melakukan

pemutusan hubungan kerja.

67
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Maimun. (2007). Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya

Paramaita.

Sampara, S. (2017). Metode Penelitian Hukum. Makassar: Kretakupa Print.

Wijayanti, A. (2016). Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar

Grafika.

Soepomo, I. (1985). Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Bruggink, J. H. (1996). Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Asikin, Z. (2008). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Bambang, R. J. (2013). Hukum Ketenegakerjaan. Bandung: Pustaka Setia.

Djumadi. (2002). Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Asikin, Z. (2012). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Soepomo, I. (1983). Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja.

Jakarta: Djambatan.

Hardijan, R. (2011). Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan UU No.13/2003

tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Terkait Lainnya. Bogor: Ghalia

Indonesia.

Hartono, & Judiantoro. (1992). Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan. Jakarta: Rajawali Pers.

68
Manulang, S. H. (1995). Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia.

Jakarta: Rineka Cipta.

Aloewic, T. F. (1996). Naskah Akademis Pemutusan Hubungan Kerja dan

Penyelesaian Perselisihan Industrial. Jakarta: BPHN.

Subekti. (1977). Aneka Perjanjian. Bandung: Penerbit Alumi.

Oetomo, R. G. (2004). Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan Di

Indonesia. Jakarta: Gradhika Binangkit.

Husni, L. (2006). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Soebekti. (1984). Hukum Perjanjian. Jakarta: Penerbit Inter Massa.

Wiwoho, S. (1983). Hukum Pengantar Perjanjian Kerja. Jakarta: Bina Aksara.

Irsan, K., & Armansyah. (2016). Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar. Jakarta:

Erlangga.

Aloysius, U. (2014). Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Husni, L. (2000). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Zaeni, A. (2013). Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hukum Kerja. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Husni, L. (2006). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

69
Peraturan Perundang-Undangan.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial

70

Anda mungkin juga menyukai